Click here to load reader
Upload
andykayayansetiawan
View
54
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
perio
Citation preview
Analisa perbandingan level zinc saliva pada recurrent herpes labialis
ABSTRAK
Latar Belakang: Recurrent Herpes Labialis (RHL) merupakan salah satu lesi
vesikuloulseratif infektif yang paling umum. Berdasarkan beberapa penelitian,
pemberian komposisi zinc topikal dan/atau sistemik efektif pada perawatan dan
pencegahan. Artikel ini bertujuan untuk membandingkan tingkat zinc pada subyek
sehat dan pasien RHL pada fase akut dan penyembuhan.
Bahan dan Metode: Ini merupakan kasus retrospektif, penelitian kontrol-kasus,
dilakukan pada 80 pasien (40 normal dan 40 pasien RHL) usia rata-rata=34,5 dan
34,4 berturut-turut. Sampel saliva diambil pada pasien pada fase akut sekali dan
setelah penyembuhan lesi pada fase sembuh (rata-rata 21 hari kemudian) dan pada
individu normal. Konsentrasi level zinc saliva diukur dengan flame atomic absorption
spectrophotometer dengan metode dry dingestion. Hasil secara statistic dianalisa
dengan software SPSS dengan t-test (α=0,05).
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa level zinc saliva pada kelompok kasus dan fase
penyembuhan adalah 160,8 ngr/ml dan 205,7 ngr/ml berturut-turut dan terdapat
perbedaan signifikan antara mereka (P<0,05). Perbedaan yang signifikan juga
terdapat antara konsentrasi zinc pada subyek sehat dan kelompok pasien (pada kedua
fase) (P=0,01 dan 0m02 untuk fase akut dan penyembuhan berturut-turut).
Kesimpulan: Berdasarkan hasil, level zinc secara signifikan lebih rendah pada fase
akut daripada pada fase penyembuhan dan secara signifikan lebih rendah pada kedua
fase dibandingkan dengan individu sehat, sehingga penentuan level zinc serum dan
pemberian tambahan zinc pada status serum yang rendah mempunyai efek perawatan
dan pencegahan pada pasien RHL.
PENDAHULUAN
Infeksi dengan herpes simplex virus (virus DNA) merupakan penyakit infektif yang
paling sering terjadi pada manusia setelah infeksi pernapasan akibat virus.
Terdapat dua tipe utama virus (HSV1 dan HSV2). Secara sederhana, HSV1
menyebabkan sebagian besar infeksi rongga mulut dan faring, meningo-enchepalitis
dan dermatitis diatas pinggang sedangkan HSV2 melibatkan sebagian besar infeksi
genital. Setelah infeksi awal, dimana sering merupakan stomatitis akut,
mikroorganisme penyebab, herpes simplex virus (HSV) tipe 1, masih tidak aktif pada
ganglion terminal, dan dapat teraktivasi kembali oleh stress, demam, infeksi saluran
pernafasan atas, sinar ultraviolet, trauma dan gangguan imun, tapi kondisi tersebut
dapat bervariasi dan tidak dapat diprediksi pada sebagian besar pasien. Infeksi herpes
kambuhan mulut (Recurrent herpes labialis (RHL)) terjadi pada pasien yang
mengalami infeksi herpes simplex sebelumnya.
Banyak pasien dengan RHL mengalami beberapa episode kekambuhan
selama setahun sehingga penyakit merupakan gangguan untuk sebagian besar pasien
dan dapat melumbuhkan pasien dengan lesi parah sebagian besar untuk seseorang
dengan gangguan imun. Faktor-faktor tersebut mengharuskan perawatan lesi karena
mereka dapat menyebababkan gangguan makan dan berbicara. Acyclovir, obat
antiherpes utama, telah menunjukkan efektif pada perawatan infeksi HSV, tapi dapat
mempunyai toksisitas atau efek samping dan dapat menyebabkan resistensi virus.
Sehingga, metode yang lebih aman dan lebih efektif untuk mencegah
mengeliminasi atau pada akhirnya mengurangi kekambuhan dapat dipertimbangkan.
Saat ini keefektifan dan peran pencegahan komponen zinc pada sebagian banyak
hewan dan abnormalitas manusia dan penyakit telah dipertimbangkan. Zinc
mempunyai beberapa peran pada metabolisme. Terdapat lebih dari 100 zinc
metalloenzim, meliputi sejumlah besar nicotanimide adenine dinucleotide (NADH)
dehidrogenase, RNA dan DNA polymerase, daan faktor transkripsi DNA serta
alkaline phosphatase, superoxide dismutase dan carbonic anhydrase. Zinc terlibat
pada metabolisme asam nukleat dan protein tapi pemeriksaan klinis defisiensi zinc
ringan sulit dilakukan karena banyak tanda dan gejala tidak spesifik. Acrodermatitis
enterphatica merupakan bentuk defisiensi zinc pada anak-anak yang lebih parah,
dimana bermanifestasi dengan periorofasial (oral, anal, genital) dan acral dermatitis,
diare, perubahan sikap dan mental, gangguan neurologis, dan infeksi sekunder jamur
dan bakteri, walaupun kondisi tersebut tidak dilaporkan menyebabkan lesi herpetic.
Tanda biokimia berhubungan dengan defisiensi zinc meliputi penurunan tingkat zinc
plasma (<70 µg/dl), penurunan level serum alkaline phosphatase, alcohol
dehidrogenase pada retina (dimana menyebabkan kebutaan pada malam hari), dan
penurunan testosterone plasma serta gangguan fungsi T-limfosit, penurunan sintesa
kolagen (menyebabkan penyembuhan luka buruk), dan penurunan aktivitas
polimerasi DNA pada beberapa jaringan). Zinc memiliki kapasitas untuk kontrol
aman virus dengan stimulasi imunitas yang diperantarai oleh sel. Respon limfosit T-
sel merupakan dasar cellular-mediated immunity (CMI). CMI penting pada
perlindungan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa, serta terhadap penyakit
keganasan dan autoimun. Zinc dapat meningkatkan jumlah sel T-helper atau efektor,
atau prekuser sel pembentuk antibody atau meningkatkan aktivitas sel penekan. Ion
zinc menstimulasi sintesa DNA limfosit dalam beberapa hari dan sekitar 10-40%
limfosit berubah menjadi limfoblast. Selain itu kompleks tak jenuh zinc-8
hydroxyquinoline merupakan stimulator mitosis limfosit pada hewan dan setidaknya
terdapat dua mekanisme untuk zinc dapat menstimulasi limfosit pada hewan coba.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian zinc sistemik dan/atau topikal
dapat mengurangi jumlah kedua episode dan waktu penyembuhan herpes labialis.
Karena relative mudah dengan dimana saliva dapat dikumpulkan
dibandingkan dengan metode pengambilan sampel darah yang relative infasif dan
perlu dicatat bahwa saliva merupakan indikator potensial konsentrasi sebagian besar
komponen darah, dan juga dengan hubungan antara konsentrasi zinc saliva dan intake
makanan dilaporkan dalam literature sedangkan masih tidak terdapat penelitian yang
tercatat yang mengukur level zinc pada pasien dengan RHL dan perbandingannya
dengan subyek sehat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur konsentrasi zinc
saliva pada fase akut dan fase penyembuhan RHL pada pasien dengan riwayat
setidaknya tiga episode per tahun dibandingkan dengan orang sehat.
BAHAN DAN METODE
Penelitian retrospektif kontrol-kasus ini dilakukan antara tiga kelompok. Kelompok
pertama (kelompok perlakuan) terdiri dari 40 orang (22 perempuan dan 18 laki-laki,
usia rata-rata = 34,4 standar deviasi = 14,52) yang secara klinis terdapat mengalami
herpes labialis pada waktu pemeriksaan durasi ≤48 jam dan riwayat setidaknya 3
episode kekambuhan setiap tahun tanpa riwayat penyakit imunologis. Kriteria
eksklusi adalah: memiliki riwayat penyakit yang dapat mempengaruhi fungsi imun
tubuh dan memiliki riwayat RHL kurang dari tiga kali setahun.
Kelompok kedua adalah orang yang sama dengan kelompok 1 tapi 21 hari kemudian,
pada fase penyembuhan penyakit.
Kelompok ketiga (kelompok kontrol) terdiri dari 40 subyek sehat (24 perempuan dan
16 laki-laki, rata-rata usia=34,5, standar deviasi = 13,85) tanpa riwayat penyakit
sistemik dan immunologi dengan kompetensi imun, yang sesuai dengan jenis kelamin
dan usia dan kebiasaan nutrisi (sebagai contoh berapa kali minum susu dan makan
daging dalam seminggu) dengan kelompok perlakuan. Semua subyek diberi informasi
tujuan dan informed consent diperoleh dari semua orang dan komite etik lokal
menyetujui bahwa sesuai dengan update terakhir deklarasi Helsinki didapatkan.
Pengumpulan saliva
10 cc seluruh saliva yang tidak terstimulasi diambil dengan tube test steril dari setiap
orang antara jam 9.00 dan 12.00. Semua subyek diminta untuk menghindari makan
dan minum dua jam sebelum pengambilan sampel. Saliva dikumpulkan menggunakan
metode meludah (peludahan saliva selama 5 menit dikumpulkan), kemudian setiap
tube dibekukan pada -180 C sampai mengirimnya ke laboratorium biokimia.
Pengumpulan saliva lain dilakukan hanya pada kelompok pasien 21 hari kemudian
pada fase penyembuhan setelah lesi sembuh seluruhnya. Setelah 120 sampel saliva
dikirim ke lab biokima secara bersamaan untuk menghindari masalah beberapa unit.
Sampel dianalisa menggunakan metode dry digestion dengan flame absorption
spectrophotometer sesuai dengan langkah berikut ini:
Memindahkan sampel saliva ke sirkulasi porselen dan dikeringkan pada suhu
1050C selama 24 jam.
Memanaskan sampel dalam 450 cc pada tungku pembakaran elektrik 14 jam.
Melarutkan pembakaran pada 0,5 ml asam nitrat (7 molar) dan dilakukan
dilusi/pengenceran sampai 10 ml dengan air murni.
Pengukuran level zinc dengan aspirasi langsung ke dalam spectrophotometer
menggunakan hollow multielemental cathodic lamp.
Reliabilitas analisa diuji dengan perbandingan uji standar hati-sapi institute
internasional standard dan teknologi. Hasil akhir dianalisa pada masing-masing 3
kelompok dengan software statistic SPSS menggunakan paired t-test (P<0,05).
HASIL
Subyek penelitian terdiri dari 18 laki-laki dan 22 wanita (usia rata-rata = 34,4 tahun,
standar deviasi = 14,52) dan subyek sehat terdiri dari 16 laki-laki dan 24 wanita (usia
rata-rata 34,5 tahun dengan standar deviasi = 13,85).
Terdapat 120 sampel saliva dimana 40 dari sampel sehat dan 40 dari pasien pada fase
akut dan 40 dari pasien yang sama pada fase penyenbuhan. Fase akut merupakan
waktu dimana pasien mempunyai lesi dengan gejala seperti rasa gatal, terbakar, kulit
kering.
Fase penyembuhan adalah 21 hari setelah dimulainya lesi setelah lesi sembuh
seluruhnya tapi bertambahnya virus pada saliva dapat berlanjut.
Durasi lesi pada kelompok perlakuan adalah setidaknya 4 sampai 15 hari dan rata-rata
adalah 9,2 hari (standar deviasi = 2,84).
Jumlah kekambuhan setiap tahun adalah setidaknya 3 sampai 10 dan sebagian besar
prevalensi adalah tiga kali kekambuhan dan rata-rata adalah 4,8 (standar deviasi =
1,65).
Hasil pengukuran zinc saliva pada tiga kelompok ditunjukkan pada (Tabel 1).
Berdasarkan tabel 1 terdapat perbedaan signifikan antara level zinc saliva pada fase
akut dan penyembuhan penyakit pada kelompok pasien (P<0,05) dan antara kedua
fase dan kelompok sehat juga (P<0,05).
Analisa hubungan antara level saliva zinc pada fase akut dan penyembuhan dan
parameter lain (waktu kekambuhan per tahun, durasi penyakit, usia dan jenis kelamin,
tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara level zinc dan setiap parameter
tersebut. (P>0,05 pada semua perbandingan).
PEMBAHASAN
Herpes labialis merupakan salah satu penyakit virus yang paling sering terjadi dan
terlihat secara klinis dan kekambuhan merupakan karakteristik umum dan banyak
pasien mengalami lesi yang sering, besar, sakit atau buruk sehingga penyakit
mengganggu pasien dan mengganggu aktivitas sosial mereka dan dapat menyebabkan
masalah psikologis.
Penelitian telah menunjukkan beberapa mekanisme untuk reaktivasi HSV laten,
meliputi IgA serum yang rendah, penurunan cell-mediated immunity, dan penekanan
antibody-dependent cell cytotoxycity (ADCC). Walaupun obat antivirus, meliputi
asiklovir, dapat efektif terhadap recurrent herpes labialis, mereka memiliki banyak
efek samping dan dapat menyebabkan resistensi virus. Di sisi lain, banyak penelitian
menekankan efek komponen zinc pada perawatan RHL.
Berdasarkan banyak penelitian, zinc berhubungan dengan rasa dan daya penciuman
dan penyembuhan luka. Hal ini penting untuk inetgritas sistem imun karena
memainkan peran pada stabilisasi membrane sel. Zinc memiliki potensi pada kontrol
aman virus dengan stimulasi imunitas yang diperantarasi sel, oleh karena itu
defisiensinya dapat berhubungan dengan banyak abnormalitas. Tujuan penelitian ini
adalah menentukan dan membandingkan level zinc saliva pada pasien dengan RHL
pada kedua fase akut dan fase penyembuhan penyakit dan antara dua fase penyakit
dan subyek sehat.
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat perbedaan signifikan antara nilai rata-rata
level zinc saliva pada fase akut penyakit (160,8) dan fase penyembuhan (205,7)
(P=0,001) (Tabel 1). Peningkatan signifikan level zinc selama fase penyembuhan
RHL dapat menunjukkan peran perbaikan zinc pada lesi mukosa. Beberapa tanda
biokima yang berhubungan dengan defisiensi zinc meliputi penurunan sintesa
kolagen (menyebabkan penyembuhan luka yang buruk) dan penurunan aktivitas
polymerase RNA pada beberapa jaringan.
Dan juga temuan ini dapat mengkonfirmasi penelitian sebelumnya yang menemukan
tentang efek komposisi topikal dan sistemik zinc pada pemendekan durasi penyakit
dan mempercepat proses penyembuhan lesi. Terdapat perbedaan signfiikan antara
konsentrasi rata-rata level zinc saliva pada pasien pada kedua kasus (160,8 dan 205,7,
berturut-turut) dan orang sehat (317,5), menunjukkan bahwa level zinc pada subyek
sehat adalah sekitar dua kali lebih banyak daripada levelnya pada fase akut dan 1,5
kali lebih banyak daripada levelnya pada fase penyembuhan.
Hasil tersebut menekankan peran penting zinc sebagai bahan pencegah dan perbaikan
pada lesi mukokutan. Oleh karena itu pada kasus defisiensi zinc, pemberian zinc
dapat memiliki efek terapetik dan profilaksis signifikan pada banyak penyakit seperti
RAS, RHL, penyakit periodontal seperti yang ditunjukkan pada banyak penelitian.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa defisiensi zinc merupakan faktor resiko
potensial untuk recurrent herpes labialis. Sehingga pemberian tambahan zinc jika
level zinc rendah pada pasien dengan RHL mempunyai efek terapetik dan
pencegahan dan ini disarankan.