44
Analisis Cerpen "Anak Kebanggan karya A.A. Navis" Sinopsis Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang anak laki-laki bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya menjadi Ismail. Ompi mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi anaknya memilih nama Eddy. Ompi jengkel, tetapi karena sayang kepada anak satu-satunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi nama belakangnya Indra Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter. Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter. Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan menjadi seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim rapor dengan nilai-nilai yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitahukan kemajuannya, Ompi berlinang air mata. Ompi akan melakukan dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak menjadi dokter. Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang tahu itu adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman selama ini berbohong kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-orang tentang anaknya. Ia terus mengirim banyak uang tanpa memikirkan akibatnya hanya untuk menentang omongan orang tentang anaknya. Ompi terus mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada Ompi. Mereka tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi. Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi banyak gadis yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi benci kepada orang-

Analisis Cerpen

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Cerpen

Analisis Cerpen "Anak Kebanggan karya A.A. Navis"

Sinopsis            Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang anak laki-laki bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya menjadi Ismail. Ompi mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi anaknya memilih nama Eddy. Ompi jengkel, tetapi karena sayang kepada anak satu-satunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi nama belakangnya Indra Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter. Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter.            Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan menjadi seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim rapor dengan nilai-nilai yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitahukan kemajuannya, Ompi berlinang air mata. Ompi akan melakukan dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak menjadi dokter.            Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang tahu itu adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman selama ini berbohong kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-orang tentang anaknya. Ia terus mengirim banyak uang tanpa memikirkan akibatnya hanya untuk menentang omongan orang tentang anaknya. Ompi terus mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada Ompi. Mereka tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi.

Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi banyak gadis yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi benci kepada orang-orang yang mempunyai anak gadis itu. Ompi berbohong kepada Indra Budiman dengan mengirimi surat bahwa banyak gadis yang melamar Indra Budiman tetapi ditolak oleh Ompi. Indra Budiman percaya kepada Ompi dan menyuruh Ompi untuk mengirimkan foto gadis-gadis itu. Ompi menjadi cemas karena takut kalau ketahuan oleh Indra Budiman.

Kecemasan Ompi mereda karena Indra Budiman tidak mengirim surat, tetapi Ompi juga gelisah karena suratnya tidak dibalas. Sudah

Page 2: Analisis Cerpen

beberapa bulan Ompi menunggu surat balasan dari Indra budiman tapi tak datang juga. Ompi putus asa. Saat itu juga Pak Pos datang membawa tumpukan surat Ompi yang dikembalikan. Ompi jatuh sakit. Kini dalam hidupnya, Ompi hanya menunggu satu hal, yaitu surat dari anaknya, Indra Budiman. Setiap hari Ompi menengok jendela menunggu Pak Pos mengantar surat dari Indra Budiman, tapi hal itu tidak pernah terjadi.

Hingga pada suatu hari, Pak Pos datang mengirimkan surat yang berisi bahwa Indra Budiman sudah meninggal. Ompi tidak sanggup membaca dan mendengar isi surat itu karena ia tidak mau mati lemas karena bahagia mendapat surat dari anaknya. Didekap dan diciumnya surat dari Indra Budiman itu.

Unsur Intrinsik

Tema                          : Harapan orang tua kepada anakAlur                            : MajuSudut Pandang          : Orang pertama pelaku sampingan

·         Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapnya di dadanya. “Datang juga apa yang ku nantikan,” katanya.            Latar Tempat

1.      Di teras rumah Ompi·         Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Tergesa-gesa aku

menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu2.      Di kamar Ompi·         Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak.·         Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca

disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan.

Latar Waktu1.      Siang hari·         Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam

sebelas siang.

Latar Suasana1.      Menyenangkan·         Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan

kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan.

Page 3: Analisis Cerpen

·         “Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini…”

·         Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memincing.

2.      Menyedihkan·         Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang

menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

·         Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat.

3.      Mengharukan / mengenaskan·         Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai

mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita juga. Lahir dan batin.

·         Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore.

4.      Mengesankan / menakjubkan·         Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya

berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.

5.      Menegangkan·         Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali.

Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu.

·         Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

Tokoh1.      Ompi2.      Indra Budiman3.      Aku

Perwatakan1.      Ompia.       Penyayang·         “Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih

banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo,

Page 4: Analisis Cerpen

perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan ku kirim, Anakku. Mengapa tidak?”

·         Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah dibelakangnya dengan Indra Budiman.

b.      Sombong·         “Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi, karena belum sanggup

menghindarkan kemalangan ini. Cpba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong,” katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.

·         Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, “Ah, sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah.”

c.       Suka berbohong·         Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah

sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak.

·         Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal.

d.      Suka bermimpi·         Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi

kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang.

2.      Indra Budimana.       Suka berbohong·         Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini

sudah diketahui oleh orang kampungnya.3.      Akua.       Baik hati·         Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu di

dekat Ompi.·         Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari

perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya.

Konflik1.      Batin·         Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata

pengantar surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan.

·         Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari Indra Budimannya.

Page 5: Analisis Cerpen

·         Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat.

2.      Fisik·         Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan

memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore.

Amanat                      :1.      Janganlah menjadi orang yang sombong.2.      Jangan menjadi orang yang suka berbohong.3.      Jadilah orang yang baik dan suka menolong.4.      Jangan suka membuat orang tua kita khawatir.5.      Jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua.6.      Jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal

yang tidak baik.7.      Berbaktilah kepada orang tua.8.      Jangan mensia-siakan pengorbanan orang tua untuk hal yang tidak

baik.9.      Gapailah cita-citamu setinggi langit.10.  Belajarlah dengan giat untuk mencapai cita-cita.

Nilai Sastra1.      Budaya·         Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang

meminang.2.      Pendidikan·         Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah

yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya pasti tercapai. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.

3.      Moral·         Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah

tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik.

Page 6: Analisis Cerpen

Unsur Ekstrinsik

Haji Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 . Beliau adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. A.A. Navis meninggal pada 22 Maret 2003 karena mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes.

Beliau mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologibersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan olehGramedia Pustaka Utama pada 2002.Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah: Surau Kami (1955) Bianglala (1963) Hujan Panas (1964) Kemarau (1967) Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (1970) Dermaga dengan Empat Sekoci (1975) Di Lintasan Mendung (1983) Dialektika Minangkabau (editor, 1983)

Page 7: Analisis Cerpen

Alam Terkembang Jadi Guru (1984) Hujan Panas dan Kabut Musim (1990) Cerita Rakyat Sumbar (1994) Jodoh (1998)

Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakniJodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep,1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.            Karya tulisnya : Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005) Gerhana: novel (2004) Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001) Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001) Dermaga Lima Sekoci (2000) Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999) Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998) Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996) Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994) Surat dan Kenangan Haji (1994) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994) Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990) Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986) Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984) Di Lintasan Mendung (1983) Dialektika Minangkabau (editor) (1983) Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975) Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970) Kemarau (1967)

Page 8: Analisis Cerpen

Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963) Hudjan Panas (1963) Robohnya Surau Kami (1955)

Diposkan oleh Adhysta P. Putri   di 12:49 AMadhystapputri12.blogspot.com/2011/11/analisis-cerpen-anak-kebanggan-karya-aa.html

ooooo

Analisis Cerpen "Anak Kebanggan karya A.A. Navis"

Sinopsis            Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang anak laki-laki bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya menjadi Ismail. Ompi mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi anaknya memilih nama Eddy. Ompi jengkel, tetapi karena sayang kepada anak satu-satunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi nama belakangnya Indra Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter. Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter.            Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan menjadi seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim rapor dengan nilai-nilai yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitahukan kemajuannya, Ompi berlinang air mata. Ompi akan melakukan dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak menjadi dokter.            Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang tahu itu adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman selama ini berbohong kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-orang tentang anaknya. Ia terus mengirim banyak uang tanpa memikirkan akibatnya hanya untuk menentang omongan orang tentang anaknya. Ompi terus mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada Ompi. Mereka tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi.

Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi banyak gadis yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi benci kepada orang-orang yang mempunyai anak gadis itu. Ompi berbohong kepada Indra Budiman dengan mengirimi surat bahwa banyak gadis yang melamar Indra Budiman tetapi ditolak oleh Ompi. Indra Budiman percaya kepada Ompi dan menyuruh Ompi untuk mengirimkan foto gadis-gadis itu. Ompi menjadi cemas karena takut kalau ketahuan oleh Indra Budiman.

Kecemasan Ompi mereda karena Indra Budiman tidak mengirim surat, tetapi Ompi juga gelisah karena suratnya tidak dibalas. Sudah beberapa bulan Ompi menunggu surat balasan dari Indra budiman tapi tak datang juga. Ompi putus asa. Saat itu juga Pak Pos datang membawa tumpukan surat Ompi yang dikembalikan. Ompi jatuh sakit. Kini dalam hidupnya, Ompi hanya menunggu satu hal, yaitu surat dari anaknya, Indra

Page 9: Analisis Cerpen

Budiman. Setiap hari Ompi menengok jendela menunggu Pak Pos mengantar surat dari Indra Budiman, tapi hal itu tidak pernah terjadi.

Hingga pada suatu hari, Pak Pos datang mengirimkan surat yang berisi bahwa Indra Budiman sudah meninggal. Ompi tidak sanggup membaca dan mendengar isi surat itu karena ia tidak mau mati lemas karena bahagia mendapat surat dari anaknya. Didekap dan diciumnya surat dari Indra Budiman itu.

Unsur IntrinsikTema                          : Harapan orang tua kepada anakAlur                            : MajuSudut Pandang          : Orang pertama pelaku sampingan

         Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapnya di dadanya. “Datang juga apa yang ku nantikan,” katanya.            Latar Tempat

1.      Di teras rumah Ompi         Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak

Pos itu ke ambang pintu2.      Di kamar Ompi         Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak.         Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di

pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan.Latar Waktu

1.      Siang hari         Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang.

Latar Suasana1.      Menyenangkan         Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata

Ompi berlinang kegembiraan.         “Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh

kebahagiaan yang datang bergulung ini…”         Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya

matanya memincing.2.      Menyedihkan         Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja

tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

         Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat.

3.      Mengharukan / mengenaskan         Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh

seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita juga. Lahir dan batin.         Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang

baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore.

Page 10: Analisis Cerpen

4.      Mengesankan / menakjubkan         Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada

sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.

5.      Menegangkan         Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku

menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu.

         Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.Tokoh

1.      Ompi2.      Indra Budiman3.      Aku

Perwatakan1.      Ompia.       Penyayang         “Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak

memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan ku kirim, Anakku. Mengapa tidak?”

         Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah dibelakangnya dengan Indra Budiman.

b.      Sombong         “Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan

kemalangan ini. Cpba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong,” katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.

         Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, “Ah, sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah.”

c.       Suka berbohong         Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya.

Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak.

         Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal.

d.      Suka bermimpi         Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia

yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang.

2.      Indra Budimana.       Suka berbohong

Page 11: Analisis Cerpen

         Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya.

3.      Akua.       Baik hati         Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu di dekat Ompi.         Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah

berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya.Konflik

1.      Batin         Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu cuma

mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan.         Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari Indra

Budimannya.         Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang

bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat.2.      Fisik         Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke

ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore.Amanat                      :

1.      Janganlah menjadi orang yang sombong.2.      Jangan menjadi orang yang suka berbohong.3.      Jadilah orang yang baik dan suka menolong.4.      Jangan suka membuat orang tua kita khawatir.5.      Jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua.6.      Jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.7.      Berbaktilah kepada orang tua.8.      Jangan mensia-siakan pengorbanan orang tua untuk hal yang tidak baik.9.      Gapailah cita-citamu setinggi langit.10.  Belajarlah dengan giat untuk mencapai cita-cita.

Nilai Sastra1.      Budaya         Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang.2.      Pendidikan         Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun

demi setahun segala cita-citanya pasti tercapai. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.

3.      Moral         Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya

bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik.

Unsur EkstrinsikHaji Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17

November 1924 . Beliau adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka

Page 12: Analisis Cerpen

di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu. A.A. Navis meninggal pada 22 Maret 2003 karena mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes.

Beliau mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Diposkan oleh AnysyaRizkya   di 22.27

Ooooooo

Mastereon - Anak Kebanggaan adalah salah satu

cerpen dalam novel kumpulan cerpen berjudul

'Robohnya Surau Kami' karangan A. A.

Navis yang merupakan salah satu karya sastra

klasik kebanggaan bangsa Indonesia. Buku

Robohnya Surau Kami ini berisi 10 cerpen: Robohnya

Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi

Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan

Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran,

Penolong, dan Dari Masa ke Masa. Di dalam setiap

cerpennya di buku ini, A.A. Navis menampilkan wajah

Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran.

Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan

kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu -

Page 13: Analisis Cerpen

yang masih relevan pada masa sekarang ini. Kawan

tidak perlu lagi men-download novel Robohnya

Surau Kami lagi karena Mastereon sudah

menyediakan cerpen-cerpen A. A. Navis tersebut dan

dapat dibaca di postingan berikut.

Anak Kebanggaan

Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya

Ompi. Hatinya akan kecil bila di panggil lain. Dan

semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua

itu.

Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor

Residen. Maka sempatlah ia mengumpulkan harta

yang lumayang banyaknya. Semenjak istrinya

meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya

tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki. Mula-

mula si anak di namainya Edward. Tapi karena raja

Inggris itu turun takhta karena perempuan,

ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dengan

nama kerajaan Mesir yang pertama. Ketika tersiar

pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum

karena maling dan membunuh, Ompi naik pitam.

Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa

terhina. Dan pada suatu hari yang terpilih menurut

kepercayaan orang tua-tua, yakin ketika bulan

Page 14: Analisis Cerpen

sedang mengambang naik, Ompi mengadakan

kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman.

Namun si anak ketagihan dengan nama yang

dicarinya sendiri, Eddy.

Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia

terima juga nama itu, asal di tambah di belakangnya

dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun

dalam hati Ompi masih mengangankan suatu

tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang

sekarang. Calon dari nama tambahan itu banyak

sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli

kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai

dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah yang

menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan

datang. Dan ia menunggu dnegan hati yang disabar-

sabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang,

angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin

itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama

tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau

salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi

mulai mengangankan nama tambahan itu,

diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama

anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa

bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya

akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.

Page 15: Analisis Cerpen

"Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi, karena

belum sanggup menghindarkan kemalangan ini.

Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi

dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong,"

katanya bila ada orang meninggal setelah lama

menderita sakit.

Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah,

lalu ia berkata, "Ah sayang. Rumah-rumah orang kita

masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra

Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan

membantu mereka membuat rumah yang lebih

indah."

Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi

bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun

segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah.

Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim

rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik

sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam

tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan

pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang

berangka baik.

Ketika Ompi membaca surat anaknya yang

memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi

berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada

Page 16: Analisis Cerpen

diri sendiri, "Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi

dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu.

Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara

uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim,

Anakku. Mengapa tidak?"

Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran

oleh kelambatan jalan hari. Seperti calon pengantin

yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi

semua orang tahu, bahkan tidak menjadi rahasia lagi

bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi

semata. Namun orang harus bagaimana

mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak

percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua

manusia iri hati akan kemajuan yang di capai

anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak,

tanpa memikirkan segala akibatnya. Dan itu hanya

semata untuk menantang omongan yang

membusukkan nama baik anaknya.

"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk

mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti, kalau mereka

memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu

yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar

kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya

dalam sepucuk surat.

Page 17: Analisis Cerpen

Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak

seorang pun lagi membicarakan Indra Budiman

padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah

sepakat saja untuk memuji-muji.

"Ooo, anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke

sekolah, tentu menghafal di rumah," kata seseorang

yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.

"Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa

tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu?

Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."

"O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."

"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia

pasti berhasil. Aku bangga sekali. Ah, kau datanglah

ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."

Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada

Ompi. "Siapa yang tak kenal dia. Indra Budiman.

Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap

cintanya."

Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumnya.

"Bukan main. Bukan main. Indra Budiman anakku itu.

Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak

Page 18: Analisis Cerpen

tergila-gila kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau

ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."

Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di

kenalnya, ditegurnya: "Hai, kaukenal anakku, studen

dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku

perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha ha

ha."

Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa

tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu

karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.

Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia

dapat ilham baru. Dia pun merasa pula, bahwa Indra

Budiman sudah patut di tunangkan. Dan pada

sangkanya, tentu Indra Budiman akan gembira dan

bertambah rajin menuntut ilmu, sebagai imbangan

budi baik ayahnya yang tak pernah melupakan

segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula

kedatangan orang-orang meminang Indra

Budimannya. Karena di kampung kami pihak

perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu

harapan Ompi tinggal harapan saja. Tapi Ompi tak

mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah

tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada

orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik.

Page 19: Analisis Cerpen

Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, jika ia

tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang

cantik tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih

dulu. Tak masuk akal, orang-orang tak menginginkan

anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa

dendamnya pada mereka bagai membara. "Awaslah

nanti. Kalau Indra Budimanku sudah menjadi dokter,

akan kuludahi mukamu semua. Sombong."

Kepada Indra Budiman tak dikatakannya

kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya,

banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang

meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena

menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih

mementingkan studi daripada perempuan. Apalagi

seorang studen dokter tentu takkan mau dengan

gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis

di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat dengan

titelmu kelak," penutup suratnya.

Celakanya Indra Budiman yang selama ini

menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang

kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi

sungguh percaya, bahwa sudah banyak orang yang

datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa

bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah

diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa

Page 20: Analisis Cerpen

semua mata orang kampungnya yang tinggal di

Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang

bejat. Sejak itu berubahlah letak panggung

sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si ayah

yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si

anak yang percaya. Lalu si anak mengharapkan

kepada ayahnya supaya dikirimu foto-foto gadis

yang dicalonkan.

Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi

mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada

padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari

gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan

juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia

kirim terus dengan harapan semoga anaknya tidak

berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi,

andaikata tidak ada sebuah pun dari foto-foto itu

yang berkenan di hati anaknya. Disamping itu ia

sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah

tentu akan berakhir juga pada suatu masa. Anaknya

pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul

kesulitan lain yang tak mudah di selesaikan.

Tapi rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang

kepada anaknya. Persis ketika Ompi kehabisan foto

para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra

Budiman tak datang lagi. Antara rusuh dan lega,

Page 21: Analisis Cerpen

Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya.

Layaknya macan lapar yang terkurung menunggu

orang memberikan daging. Pasai ia menunggu,

dikiriminya surat. Ditunggunya beberapa hari. Tapi

tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya.

Juga tak terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak

berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal

menunggu terus.

Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah

mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di

tangannya segenggam surat. Maka darah Ompi

kencang berdebar. Gemetar karena ia bahagia.

Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena

ternyata pengantar surat itu Cuma mengantarkan

semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak

percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia seperti

merasa bermimpi dan tubuhnya serasa seringan

kapas yang melayang di tiup angin. Dibalik-baliknya

surat itu berulang kali. Lalu di bukanya dan

dibacanya satu persatu. Dan tahulah ia, bahwa

semuanya memang surat untuk anaknya yang ia

kirimkan dulu. Tapi ia tak meyakininya dengan

sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya

sendiri, bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia

kepada Tuhan, agar apa yang terjadi adalah

memang mimpi.

Page 22: Analisis Cerpen

Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit,

bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang

patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan

batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang

dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra

Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup

seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di

ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu

lebar terbuka memandang langit-langit kelambu.

Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh

badannya yang kian mengurus. Tapi mata yang lebar

itu tiada cemerlang. Redup.

Akan tetapi setiap sore, diantara jam empat dan jam

lima, Ompi kelihatan seperti orang sakit yang bakal

sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke

pintu depan. Dan cahaya matanya kembali bersinar-

sinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos

biasanya mengantarkan surat-surat ke alamatnya

masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang

membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga

masa yang menambah dalam luka hatinya, hingga

lebih meroyak. Sebab selamanya Pak Pos itu tak

mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman.

Dan kalau Pak Pos itu telah lewat tanpa singgah,

reduplah lagi mata Ompi.

Page 23: Analisis Cerpen

Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika

Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan

memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi

lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di

ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan

telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya

supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi

pantulan ke ambang pintu depan, sehingga ia akan

serta-merta dapat melihat Pak Pos mengantarkan

surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap

jam empat hingga jam lima sore, matanya akan

menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja.

Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada

segalanya.

Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga

kali ia datang. Karena kedatangan dokter hanya akan

memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter

itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada

Indra Budiman yang bakal  jadi dokter, tapi tak

pernah lagi mengiriminya surat. Kedatangan seorang

dokter di pandangnya sebagai suatu sindiran, bahwa

anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-

citanya tercapai.

Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah

Page 24: Analisis Cerpen

enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala

saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah

dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau

semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian.

Bila perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah

kembali mahligai angan-angannya."

Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan

diriku selalu dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada

harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah

sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari

perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut

berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Di

samping itu secara samar-samar aku elus terus

harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali.

Kukarang cerita masa lalu dan angan-angan masa

depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati

yang kecut.

Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu

yang dikehendakinya. Surat dari Indra Budiman.

Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan

telah mendapat titel dokterya. Kadang-kadang

terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi

aku selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau

permainan itu akan berakibat yang lebih fatal. Maka

tak pernah aku coba menulisnya.

Page 25: Analisis Cerpen

Pada suatu hari terjadilah apa yang kuduga bakal

terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat

Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu

itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan

surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram.

Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat

kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos

itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka

telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan

jika perlu akan kuubah isinya. Agar terelakkan saat-

saat yang menyeramkan.

Akan tetapi semua kejadian datang dengan serba

tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku. Tak sempat aku

membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku,

Ompi yang sudah lumpuh selama ini, telah berada

saja di belakangku. Sesaat ketika aku menerima dan

menandatangani resi telegram itu. Gemetar kaki

Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya

berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan

kepercayaan pada pandangan mataku sendiri.

Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa

berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.

"Bukalah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata

seperti ia memerintah orang-orang di waktu

Page 26: Analisis Cerpen

mudanya dulu.

Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan

tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku,

bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di

puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah

meninggal.

"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulanglah dia

membawa titel dokternya?" Ompi bertanya dengan

suara yang mendesis tapi terburu-buru berdesakan

keluar.

Tak tahulah aku, apa yang harus kukatakan. Dan

kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan

untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi

keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk.

Sedang dalam hatiku berteriak, terjadilah apa yang

akan terjadi.

Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang

memandang. Tangannya diulurkannya kepadaku

meminta telegram itu. Aku merasa ngeri

memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain.

Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu

digenggamnya erat. Lalu didekapkan ke dadanya.

"Datang juga apa yang kunantikan," katanya.

Page 27: Analisis Cerpen

Sepi begitu menekan, sehingga aku dapat

mendengar denyut jantungku sendiri.

"Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku

takut kegembiraanku akan meledakkan hatiku.

Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar

sepatah demi sepatah bisa menjalari segala saraf

sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.

Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jiwa dan

sesalam bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah

yang menyenangkan hatinya. Tapi telegram itu tak

diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan

dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum,

serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.

"Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku

mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh

kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau

sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan

kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan

dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar pada

waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang.

Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi dengan

gembira.

Page 28: Analisis Cerpen

Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya

dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya

memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan

matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan

telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya.Tweet

www.mastereon.com/2012/04/anak-kebanggaan-cerpen.html

oooooo

SANG KEPALA PENCEMOOH DALAM SEBUAH KISAH “ PROSES KREATIF A.A NAVIS”

PROSES KREATIF A.A NAVIS

A.    Profil Ali Akbar Navis

            Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih

dikenal dengan namanya yang lebih simpel A.A. Navis. Putera dari St. Marajo Sawiyah

ini lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 November 1924. Ia

merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara.Berbeda dengan kebanyakan putera

Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis telah memateri dirinya untuk tetap

tinggal di tanah kela hirannya. Ia berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah

tempat dan lingkungan, namun yang menentukan keberhasilan pada akhirnya tetaplah

kreativitas itu sendiri.

Page 29: Analisis Cerpen

            Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch

Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama 11 tahun. Kebetulan jarak

antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap

hari itulah yang kemudian dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku sastra yang

dibelinya itu. Selama sekolah di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga men

dapat pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan.Pendidikan Navis, secara formal,

hanya sampai di INS. Selanjutnya, dia belajar secara otodidak. Akan tetapi,

kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pe

ngetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang. Bahkan, terlihat agak

menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis

kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha menyoroti kelemahan dari cerpen-

cerpen Indonesia dan mencari ke kuatan-kekuatan dari cerpen-cerpen asing. Ketika

menulis cerpennya sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itulah yang coba diperbaikinya

dengan memadukan dengan kekuatan cerpen asing.

            Navis pernah berkeinginan menulis tentang peristiwa kemiliteran yang pernah

dihadapi bangsa Indonesia dan tentang kebangkitan umat Islam. Akan tetapi, keinginan

itu diurungkannya mengingat sulitnya mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita

yang berisi kedua peris tiwa tersebut. Kalau dipaksakan, hal itu bisa menjadi suatu karya

yang mubazir. Navis memang prihatin terhadap situasi bangsa Indonesia saat itu sehingga

tidak perlu heran mengapa banyak pengarang lebih memilih mem buat cerita “hiburan”

agar bisa terbit. Keadaan itu menimbulkan kesan bahwa bangsa Indonesia memang lebih

Page 30: Analisis Cerpen

menyukai pekerjaan di atas ranjang dari pada pekerjaan bermanfaat bagi manusia.

Sesuatu yang sangat mengganggu.

             

            Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu pekerjaannnya sebagai

sastrawan. Apabila ia sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu mendampinginya dan

membaca tiap lembar karangannya. Ia memperhatikan reaksi istri nya ketika membaca

dan itulah yang dibuatnya sebagai ukuran bahwa tulisannya sesuai atau tidak dengan

keinginannya.

Di hari tuanya, masih saja Navis menyimpan beberapa gagasan untuk menulis cerpen dan

memulai menggarap novel. Beberapa dari keinginannya itu sudah selesai, tetapi banyak

juga yang terbengkalai. Kendalanya adalah usianya yang bertambah tua yang menye

babkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin menurun. A.A. Navis meninggal karena

sakit, di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.

B.     Proses Kreatif Ali Akbar Navis

            Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya sekitar tiga puluhan.

Sebenamya, ia sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya

baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, se-

perti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman. Selain cerpen, Navis juga menulis

naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang,

Page 31: Analisis Cerpen

Palembang, dan Makassar. Seterusnya, ia juga mulai menulis novel. Tema-tema yang

muncul dalam karya-karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan

sekitar masyarakat Minangkabau.

            Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran

serius dan santai. ”Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah

tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah

tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari

saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya

merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya

            Ketika A. A Navis menciptakan sebuah karya ia harus berpikir berulang-ulang,

kadang ketika ia sudah selesai mencipakan sebuah tulisan ia tidak langsung

mengirimkannya pada sebuah penerbit ia diamkan tulisannya untuk beberapa saat

kemudian ia member penilaian tentang tulisannya sendiri ,ia seakan-akan menilai tulisan

orang lain .

            Banyak sekali pengalaman yang dialami oleh A. A Navis kadang hasil tulisannya

tidak dimuat , meskipun dia sudah menjadi pengarang ternama, berikut ini adalah hasil

karangannya yang ditolak oleh penerbit:

1.      Cerpen “ Datang dan Perginya” dan cerpen “ Anak Kebanggaan “ pada mulanya

dikirimkan ke majalah kisah , tetapi ditolak , kemudian ke majalah Mimbar Indonesia dan

dimuat.

Page 32: Analisis Cerpen

2.      Cerpen “ Angn dari Gunung “ dikirimkan ke majalah prosa ditoloak oleh redaksi ,

kemudian di muatkan dalam kumpulan cerpen robohnya surau kami .

      Ada beberapa alasan yang mungikin menjadi penyebab kenapa banyak tulisan A. A

Navis tidak Dimuat, Sebagai berikut:

1.      Mungkin ketika menulis tidak dalam kondsi yang fit , sehingga cepat lelah sedangkan

cerita itu belum selesai . kalau dipaksakan cerita mnjadi ngalantur.

2.      Mungkin konsep bahan cerita tidak matang sehingga alur cerita tidak menentuatau jalan

cerita bertele-tele.

3.      Mungkin juga disebabkan hal yang lain , situsi atau suasana yang akan dating

mengganggu kemudian .

            Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena

menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri

memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? ”Soalnya, senjata saya

hanya menulis,” katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya.

”Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu

ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen,”

katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997.

            Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik

pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif,

sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah

Page 33: Analisis Cerpen

pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki

pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran

penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.

            Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi

seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi

seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku

menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.

            Sebagai seorang  pengarang Ali Akbar Navis tentunya tidak lepas dari kesulitan –

kesulitan selama mengarang  . kesulitan yang ia alami terutama  menyangkut soal

kenahasaan . berikut ini adalah kesulitan yang dialami beliau:

1.      Bahasa yang digunakan tidak lancar hal ini mungkin karena A,A Navis jarang bergaul

dengan orang-orang yang memakai bahasa Indonesia , sehingga ketika menulis dia

menulis dalam stuktur bahasa minang kabau kemudian diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia. Kesuliatan utama adalah ketika menulis dialog.

2.      A.A Navis selama dibangku sekolahan tidak diberi pelajaran bagaimana mengungkapkan

pikiran yang tepat dengan bahasa Indonesia yang baik.

3.      A. A Navis tidak memiliki pengalaman hidup yang penuh avountur sehingga tidak bahan

yang luas untuk diberitakan dalam karya –karyanya.

C.     Kepengarangan Ali Akbar Navis

Page 34: Analisis Cerpen

            Ali Akbar Navis, lebih dikenal dengan nama AA Navis, yang di kalangan

sastrawan digelari sebagai kepala pencemooh. Ia seorang seniman yang perspektif

pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan

perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal

yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif,

konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

            Tentang kehadirannya di percaturan sastra Indonesia, A. Teeuw berkomentar

bahwa Navis sebenarnya bukan seorang pengarang besar, tetapi seorang pengarang yang

menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak

disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”. Komentar lain, Abrar Yusra mengatakan

bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah kedua dari

majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “kejantanan di Sumbing” karya

Subagio Sastrowardoyo.

            Hidup sebagai sastrawan tidaklah mudah, terutama dalam masalah perekonomian.

Hidup dari sekadar mengharapkan upah menulis menjadi suatu hal yang mustahil. Hal ini

disadari betul oleh Navis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa ia menjadi pengarang ha

nya ketika saat ia mengarang saja. Setelah itu, ia menjadi orang biasa lagi yang harus

bekerja untuk mendapatkan nafkah.

            Di Luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi

pada harian Semangat (harian angkat an bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus

Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang

Page 35: Analisis Cerpen

Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan

budaya, sebagai pemakalah atau peserta.  

D.    Hasil Karya Ali Akbar Navis

a. Cerita Pendek

 Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta. Gramedia, 1986 (2) Hujan Panas dan Kabut Musim(kumpulan

cerpen), Jakarta: Jam batan, 1990

(3) “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25—26

(4) “Terasing”,Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13

(5) “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957

(6) “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15

(7) “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961

(8) “Perebutan”,. Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961

(9) “Jodoh”, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6

b. Puisi

Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara.

c. Novel

 Kernarau, Jakarta: GrasIndo, 1992

 Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970.

d. Karya Non Fiksi

Page 36: Analisis Cerpen

(1) “Surat-Surat Drama”, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961

(2) “Hamka Sebagai Pengarang Roman”, Berita Bibliografi,Thn.X, No.2, Juni 1964

(3) “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan,16 Mel 1981

(4) “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978

 “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan Sebagai Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989

(6) “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, 1977

e. Hadiah dan Penghargaan

(1) Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”.

(2) Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpenSaraswati dalam Sunyi.

(3) Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen “Jodoh”.

4) Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen “Kawin”.

(5) “Hadiah Seni” dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau.

(6) SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand).ahmadali-laskar.blogspot.com/p/sang-kepala-pencemooh-dalam-sebuah.html

ooooo