Upload
jimmy-sean-hutauruk
View
704
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA
OLEH AULIA FABIA H14102054
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
AULIA FABIA. Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. (dibimbing oleh Muhammad Firdaus ).
Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman antar daerah yang tinggi, keragaman antar daerah itu terjadi karena adanya perbedaan karakteristik alam, sosial dan budaya. Sistem pemerintahan yang sentralistis dan kesalahan manajemen pemerintahan yang terjadi selama ini, disamping telah mengakibatkan terpuruknya perekonomian nasional juga menyebabkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah menyebabkan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk berperan dalam pembangunan semakin besar di daerahnya dan diharapkan dengan adanya otonomi daerah setiap daerah dituntut untuk bisa mengembangkan potensi daerahnya sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera dan menganalisis dampak otonomi daerah terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. Penelitian ini menggunakan data cross section PDRB perkapita atas harga dasar berlaku, jumlah penduduk dan tingkat pendidikan yang dilihat dari jumlah murid SMU di seluruh kabupaten/kota di pulau Sumatera. Tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda dengan PDRB perkapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB perkapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Diduga terjadi konvergensi pendapatan yang relatif tinggi antar kabupaten/kota di pulau Sumatera dan kebijakan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode analisis, pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dapat kita lihat dari nilai koefisien regresi pada tahun-tahun yang dianalisis nilainya lebih kecil dari nol. Hasil uji menunjukkan dampak otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. PDRB perkapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB perkapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan mempengaruhi PDRB perkapita tahun analisis, hal ini menunjukkan variabel tingkat pendidikan
sumberdaya manusia yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan teknologi. Dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang diduga dapat berpengaruh terhadap tingkat konvergensi antara lain tingkat kesehatan masyarakat, rasio kelahiran dan kematian penduduk, tingkat kesuburan wilayah untuk dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah khususnya kabupaten/kota di pulau Sumatera.
ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA
Oleh : AULIA FABIA H14102054
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS MANAJEMEN DAN EKONOMI INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Aulia Fabia Nomor Regristrasi Pokok : H14102054 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi :“Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera ”
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi NIP. 132 158 758
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Aulia Fabia H14102054
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Aulia Fabia lahir pada tanggal 19 April 1984 di Bogor, di Propinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Fawzul Kabir dan Hanny Kusumawati. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SDN Pengadilan 5 Bogor dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SMUN 7 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Udangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera ”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Bapak Dr. Muhammad Firdaus, SP. MSi., yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak M.P. Hutagaol Ph.D selaku dosen penguji hasil skripsi ini yang telah berkenan meluangkan waktunya dan memberikan masukan serta kritik dan saran yang membangun. 2. Ibu Henny Reinhardt M.Sc yang telah memberikan masukan terutama dalam hal penulisan. 3. Kedua orang tuaku Fawzul Kabir dan Hanny Kusumawati yang telah banyak memberikan do’a, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis. 4. Kakakku Mohammad Amarullah dan Adikku Aulia Nikmah atas masukan, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis. 5. Staf pengajar dan Tata Usaha FEM IPB jurusan Ilmu Ekonomi. 6. Pusatakawan FEM, IPB, BPS dan Bapak Dedy yang telah berkenan membantu penulisan skripsi ini. 7. Endang, Puput, teman-teman satu pembimbing atas kebersamaan dan dukungan hingga selesainya skripsi ini. 8. Faisal Pahlevi atas dukungan dan motivasinya selama ini. 9. Sahabat-sahabatku Ratna, Tasya, Wirda, Lia, atas dukungan dan motivasinya selama ini. 10. Teman-teman FEM angkatan 39 atas motivasi dan kebersamaannya selama penulisan skripsi ini dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dengan harapan dapat memperbaiki isi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan rekan-rekan yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................i DAFTAR ISI .....................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iv DAFTAR TABEL ............................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................vi 1. PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................4 1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................7 1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian...................................................................7 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................8 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah...............................................8 2.2. Teori Ketimpangan.............................................................................12 2.3. Kebijakan Otonomi Daerah................................................................17 2.4. Konsep Konvergensi...........................................................................19 2.5. Hasil Penelitian Terdahulu.................................................................20 3. METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................25 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .............................................................25 3.1.1. Konsep Konvergensi Wilayah...................................................25 3.1.2. Teori Pertumbuhan Model Solow ...........................................30 3.1.3. Teori Pertumbuhan Endogen....................................................32 3.1.4. Pengukuran Ketimpangan.........................................................33 3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual........................................................34 3.3. Definisi Operasional Data...................................................................37 3.4. Hipotesis.............................................................................................38 3.5. Waktu dan Lokasi Penelitian .............................................................38 3.6. Jenis dan Sumber Data.......................................................................39 3.7. Metode Analisis ................................................................................39 3.7.1. Analisis Konvergensi................................................................40
3.7.2. Uji Signifikan Individu (Uji t)..................................................41 3.7.3. Pengujian Terhadap Model Penduga (Uji F) ...........................42 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................43 4.1.Analisis Konvergensi ..........................................................................43 4.1.1 Analisis Konvergensi Absolut...................................................43 4.1.2 Analisis Konvergensi Bersyarat................................................47 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................52 5.1.Kesimpulan ..........................................................................................52 5.2 Saran....................................................................................................52 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................54 LAMPIRAN ......................................................................................................57
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Dampak Kemajuan Teknologi Model Solow.............................31 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual................................................36
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional Diukur Dengan Indeks Formulasi Williamson………………………………………………….6 Tabel 2. Indeks Formulasi Williamson Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional……………………………………………………..………...21 Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau Menggunakan Indeks Williamson……………………………................................................22 Tabel 4. Ketimpangan Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun 1977-1981.........22 Tabel 5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Propinsi Lampung Tahun 1995-2001…………………………………………..24 Tabel 6. Analisis Konvergensi Absolut 1995.......................................................43 Tabel 7. Analisis Konvergensi Absolut 2001.......................................................44 Tabel 8. Analisis Konvergensi Absolut 2004.......................................................46 Tabel 9. Analisis Konvergensi Bersyarat 1995....................................................47 Tabel 10.Analisis Konvergensi Bersyarat 2001....................................................49 Tabel 11.Analisis Konvergensi Bersyarat 2004....................................................50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Data PDRB per Kapita Atas Harga Dasar Berlaku Menurut Kabupaten/Kota se Pulau Sumatera ..............................................58
Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Se Pulau Sumatera........................................................................................60
Lampiran 3. Data Pendidikan Kabupaten/Kota Dilihat Dari Jumlah Murid SMU se Pulau Sumatera................................................................62
Lampiran 4. Data Hasil Analisis Konvergensi Absolut.....................................64 Lampiran 5. Data Hasil Analisis Konvergensi Bersyarat .................................66
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman antar daerah yang
tinggi, keragaman antar daerah tersebut terjadi karena adanya perbedaan
karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya. dimana sebaran sumber daya alam
(khususnya minyak dan gas) serta pertumbuhan pusat perdagangan dan industri
hanya terkonsentrasi pada beberapa tempat saja. Hal tersebut membuat
pembangunan ekonomi daerah yang memiliki keunggulan pada salah satu bidang
menjadi lebih tinggi dari daerah lainnya, sehingga tingkat ketidakmerataan
pembangunan ekonomi antar daerah menjadi tinggi. Pada periode tahun 1975
sampai tahun 1995 GDP (Gross Domestic Product) perkapita propinsi naik sekitar
5 persen pertahun, sementara itu GDP provinsi juga meningkat akan tetapi
peningkatan yang terjadi pada setiap provinsi berbeda-beda dan perbedaan
tersebut menyebabkan terjadinya pengurangan pendapatan antar daerah (Garcia
dan Soelistianingsih, 1998).
Secara garis besar struktur perekonomian Indonesia, distribusi lapangan
kerja dan populasi penduduk didominasi di pulau Jawa dan Sumatra, hampir
sekitar 80 persen GDP di Indonesia berasal dari kedua pulau tersebut dan sebagian
besar populasi penduduk Indonesia banyak tersebar di kedua pulau tersebut. Tiap
propinsi terdiri dari beberapa kabupaten yang memiliki kepadatan penduduk yang
berbeda dan potensi sumber daya yang berbeda, sehingga memungkinan
terjadinya ketimpangan pendapatan antar kabupaten. Ketimpangan merupakan
suatu fenomena alamiah yang dapat ditemukan dimana-mana dalam bentuk yang
beragam pula, oleh karena itu ketimpangan tidak dapat dihapuskan melainkan
hanya bisa diredam hingga ke tingkat yang bisa ditoleransi oleh suatu sistem
sosial tertentu agar harmoni di dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam
proses pertumbuhannya (Basri, 1995).
Pertumbuhan ekonomi yang cepat bukanlah hasil dari keadaan wilayah
miskin melainkan merupakan hasil dari sebagian kebijakan yang diciptakan untuk
memfasilitasi pertumbuhan yang cepat, sehingga yang penting untuk dilakukan
dan diperhatikan adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan-
kebijakan pembangunan. Kebijakan tersebut harus mendukung percepatan
pertumbuhan ekonomi daerah sehingga dapat mengarah pada konvergensi.
Dengan demikian pemerintah mempunyai peran yang tidak kecil dalam
memberikan berbagai bentuk dukungan untuk meningkatkan pertumbuhan
pendapatan perkapita di daerah-daerah terbelakang atau miskin.
Sistem pemerintahan yang sentralistis dan kesalahan manajemen
pemerintahan yang terjadi selama ini, disamping telah mengakibatkan terpuruknya
perekonomian nasional juga menyebabkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi
antar daerah. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pasca orde baru telah
menghasilkan perubahan dalam UU tentang pemerintahan daerah secara kongkret.
Gerakan tersebut berhasil mengganti UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun
tahun 1979 dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU
No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat. Salah satu kelebihan dari undang-undang tersebut adalah
memberikan daerah akses yang lebih luas terhadap pengolahan sumber daya alam
dan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan harapan daerah yang
bersangkutan. Akan tetapi kelemahan dari undang-undang tersebut diperkirakan
dapat menimbulkan ketidakefisienan di daerah-daerah yang diberi otonomi dan
mengabaikan social cost yang akan timbul sebagai akibat dari pelaksanaan
otonomi yang akan membutuhkan biaya yang besar untuk membentuk
pemerintahan baru, aparat-aparat, infrastruktur dan sebagainya.
Pendekatan desentralisasi dalam pembangunan Indonesia disebabkan
karena adanya berbagai kegagalan yang terjadi pada sistem sentralistik yang telah
menimbulkan ketimpangan sosial seperti semakin melebarnya kesenjangan antara
yang kaya dan miskin, ketimpangan kota dan desa maupun ketimpangan antar
sektor ekonomi dan ketimpangan antar sektor regional (antar daerah). Padahal
pulau Sumatra dikenal memiliki potensi sumber daya alam yang besar akan tetapi
potensi tersebut berbeda-beda di setiap daerah sehingga dari hal ini dapatkah kita
melihat kesenjangan antar daerah di pulau Sumatra khususnya antar daerah
tingkat II di wilayah tersebut, sehingga antar daerah tingkat II di Sumatra pun
terbagi-bagi menjadi daerah yang sangat maju, dan ada pula yang masih
terbelakang.
Menurut Anwar (1998) dalam pembangunan spasial misalnya kebijakan
yang cenderung mementingkan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub
semula diramalkan bakal terjadi penetesan ( tricle down effect ) dari kutub pusat
pertumbuhan ke wilayah hinterland , ternyata pada kenyataannya tidak terjadi.
Bahkan telah terjadi transfer netto yang negatif terhadap sumber daya dari wilayah
hinterland ke kutub dan dari desa ke perkotaan secara besar-besaran, oleh Lipton
(1997) di sebut urban bias. Hal ini akan menimbulkan disparitas pendapatan yang
sangat lebar antar daerah atau wilayah yang pada gilirannya keadaan ini akan
menciptakan ketidakstabilan (instability ) yang rentan terhadap goncangan yang
mengakibatkan gejolak sosial ekonomi.
Kenyataan ketidakmerataan ini mengakibatkan beban berat bagi
pemerintah dalam mengatasi hal tersebut apalagi dengan diberlakukanya UU No.
22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 kedua undang-undang ini memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur pemerintahannya
sendiri dan porsi keuangan yang lebih besar kepada daerah yang akhirnya
berimplikasi kepada ketidakmerataan pembangunan antar daerah karena
kepemilikan sumber daya yang berbeda-beda.
1.2. Perumusan Masalah
Di Indonesia pada saat globalisasi meningkat, semangat desentralisasi dari
berbagai daerah muncul, terutama daerah-daerah yang mempunyai sumber daya
alam yang melimpah. Kondisi ini dipicu oleh sistem pemerintahan sentralistik
yang diterapkan pada masa orde baru sehingga muncul adanya rasa ketidakadilan
dalam pembangunan antar daerah, dan ketika pemerintahan orde baru berakhir
semangat desentralisasi baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat semakin
menguat, yang kemudian berujung pada diterapkannya undang-undang otonomi
daerah, yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk melakukan
pembangunan daerahnya masing-masing.
Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah menyebabkan kewenangan
yang lebih luas kepada daerah untuk berperan dalam pembangunan semakin besar
di daerahnya dan diharapkan dengan adanya otonomi daerah setiap daerah
dituntut untuk bisa mengembangkan potensi daerahnya sehingga dapat
mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat,
akan tetapi hal itu juga memperlihatkan kenyataan bahwa setiap kabupaten daerah
tingkat II di Sumatra tidak memiliki potensi sumber daya yang merata baik dari
populasi penduduknya dan sumber daya alamnya yang secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB).
Pertumbuhan PDRB yang terjadi di daerah kabupaten tingkat II di Aceh
antara Aceh Selatan dan Aceh Besar contohnya sebelum otonomi daerah laju
pertumbuhan PDRB sebesar -24,83 persen namun setelah otonomi terjadi
peningkatan pertumbuhan menjadi 1,94 persen sedangkan pada Aceh Besar
sebelum otonomi pertumbuhannya sebesar 0,61 persen naik menjadi 1,89 persen
hal ini memperlihatkan pertumbuhan PDRB di Aceh Selatan jauh lebih besar
dibandingkan Aceh Besar, sehingga pemberlakuan otonomi daerah dapat
menguntungkan bagi daerah yang memiliki potensi yang lebih baik dari daerah
lainnya. Hal ini juga dapat menimbulkan ketidakmerataan pendapatan antar
daerah seperti adanya beberapa daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang relatif besar dan ada pula daerah yang memiliki PAD yang relatif
kecil.
Tadjoedin, et al , (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat
ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan
menggunakan PDRB per kapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia
berdasarkan harga dasar tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat
ketimpangan semakin meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional Diukur Dengan Indeks
Formulasi Williamson
Tahun Tadjoedin, et al 1993 0,923 1994 0,938 1995 0,962 1996 0.966 1997 0,982 1998 0,965 Sumber: Tadjoedin , et al , (2001)
Dari pemberlakuan otonomi daerah itu dapat dilihat apakah ketimpangan
pendapatan antar kabupaten/kota di Sumatera menjadi lebih besar atau tidak dan
dapat mencapai konvergensi yang diharapkan. Dari latar belakang dan
permasalahan tersebut dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera?
2. Bagaimanakah dampak otonomi daerah terhadap konvergensi pendapatan
daerah antar kabupaten/kota di pulau Sumatra?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota
di pulau Sumatera.
2. Menganalisis dampak otonomi daerah terhadap konvergensi pendapatan
daerah antar kabupaten/kota di pulau Sumatera.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah,
khususnya pemerintah daerah kabupaten Dati II di pulau Sumatra
mengenai arah kebijakan yang tepat dalam mengatasi kesenjangan antar
daerah kabupaten Dati II di pulau Sumatra.
2. Bagi penulis, adalah sebagai wahana untuk mengaplikasikan pemahaman
penulis tentang teori-teori yang di dapatkan selama mengikuti kegiatan
perkuliahan di Fakultas Ekonomi Manajemen, IPB.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini melihat dampak otonomi daerah terhadap ketimpangan
pendapatan antar daerah yang berpengaruh terhadap konvergensi pendapatan antar
kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Tahun yang dianalisis adalah tahun 1995, 2001
dan 2004 menggunakan tahun 1993 sebagai tahun dasar analisis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan
masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah
(added value ) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur
dalam nilai rill, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus
menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah
tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang berarti secara kasar
dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah
selain di tentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut
juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang
mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Richardson,
1991).
Menurut Boediono (1985) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output per kapita dalam jangka panjang jadi persentase pertambahan output itu
haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada
kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Ada
ahli ekonomi yang membuat definsi lebih ketat yaitu pertumbuhan haruslah
bersumber dari proses interen perekonomian tersebut, ketentuan yang terakhir ini
sangat penting di perhatikan dalam ekonomi wilayah karena bisa saja suatu
wilayah mengalami pertumbuhan tetapi petumbuhan itu tercipta karena
banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu
terhenti apabila suntikan dana dihentikan. Dalam kondisi seperti ini sulit
dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh, adalah wajar suatu wilayah
terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar di
bandingkan wilayah lain akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu wilayah
tersebut mestilah tetap bisa tumbuh walaupun tidak memperoleh alokasi yang
berlebihan.
Teori pertumbuhan neoklasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970)
dari Amerika Serikat dan T.W Swan (1956) dari Australia. Model Solow-Swan
menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan
teknologi dan besarnya output yang saling berinteraksi, Solow-Swan
menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya subtitusi antara
kapital (K) dan Tenaga kerja (L) dengan demikian syarat-syarat adanya
pertumbuhan yang mantap dalam model Solow-Swan kurang restriktif di
sebabkan kemungkinan subtitusi antara modal dan tenaga kerja. Hal ini berarti
adanya fleksibilitas dalam rasio modal output dan rasio modal tenaga kerja, Teori
Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat
menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak
mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas
kebijakan fiskal dan moneter.
Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu akumulasi modal,
bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Teknologi ini
terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas
perkapita meningkat dalam model tersebut masalah teknologi di anggap fungsi
dari waktu oleh karena itu fungsi produksinya berbentuk Yi = fi (K,L,t). Apabila
tiap daerah dimisalkan menghasilkan output yang homogen dan fungsi produksi
yang identik maka di daerah yang memiliki K atau L yang tinggi terdapat upah riil
yang tinggi dan MPK yang rendah dan adapun daerah yang K atau L yang rendah
terdapat upah rill yang rendah dan MPK yang tinggi sebagai akibatnya modal
akan mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah
karena akan memberikan balas jasa untuk modal yang lebih tinggi dan sebaliknya
tenaga kerja akan mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke daerah yang
upahnya tinggi sehingga mekanisme diatas pada akhirnya menciptakan balas jasa
faktor-faktor produksi di semua daerah sama dengan demikian perekonomian
regional atau pendapatan perkapita regional akan mengalami proses konvergensi
(makin sama). Paham neoklasik melihat peran kemajuan teknologi/inovasi sangat
besar memacu pertumbuhan wilayah dan menciptakan pertumbuhan yang mantap
(steady growth).
Menurut Mankiw (2001) peranan produktifitas mempengaruhi laju
pertumbuhan ekonomi, produktifitas merupakan jumlah kuantitas barang dan jasa
yang bisa dihasilkan pekerja per jam kerja. Dalam kasus perekonomian Crusoe
dengan mudah bisa dilihat bahwa produktifitas merupakan faktor penentu utama
standar kehidupan. Peranan produktifitas sebagai penentu standar kehidupan
terpenting juga berlaku bagi sebuah negara. Hal ini dapat dilihat melalui Gross
Domestic Product (GDP) yang mengukur dua hal sekaligus pendapatan total
untuk membeli output barang dan jasa.
Faktor-faktor yang menentukan produktifitas adalah :
1. Modal Fisik.
Para pekerja akan lebih produktif jika memakai peralatan untuk
bekerja. Peralatan dan infrastruktur yang digunakan untuk memproduksi
barang dan jasa dinamakan modal fisik.
2. Modal Manusia.
Modal manusia adalah pengetahuan dan keahlian yang diperoleh
selama tenaga kerja memperoleh pendidikan sejak TK sampai kuliah,
melalui pelatihan kerja dan pengalaman. Walaupun pendidikan tidak
berwujud tetapi melalui pendidikan modal manusia mampu menaikkan
kemampuan sebuah negara untuk membuat barang dan jasa.
3. Modal Alam.
Modal alam adalah input produksi yang dimiliki suatu daerah atau
negara yang sudah disediakan oleh alam.
4. Modal Pengetahuan Teknologi.
Modal pengetahuan teknologi merupakan pemahaman tentang cara
terbaik untuk memproduksi barang.
Fungsi produksi pertumbuhan ekonomi suatu negara dirumuskan oleh
Mankiw (2001) sebagai berikut :
Y = A F(L, K, H, N).........................................................................................(1)
Dimana :
Y : Fungsi input yang dikombinasikan dengan input lainnya untuk
memproduksi output.
A : Variabel yang mewakili ketersediaan teknologi untuk memproduksi
output, jika teknologi meningkat maka A akan meningkat.
L : Tenaga kerja
K : Kapital
H : Sumber daya manusia
N : Sumber daya alam
2.2. Teori Ketimpangan
Batasan dan ukuran kemiskinan yang di pakai oleh setiap daerah berbeda
satu sama lainnya hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar
kebutuhan hidup dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Adanya perbedaan
kemajuan antar daerah di jelaskan Myrdal dalam teorinya, Myrdal berpedapat
pembagunan ekonomi proses sebab dan penyebab sirkuler yang membuat si kaya
mendapat keuntungan yang semakin banyak dan mereka yang tinggal di belakang
akan menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash effect ) cenderung
membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil secara kumulatif
yang dalam bahasa Myrdal disebutnya cumulative causation , kecenderungan ini
semakin memperburuk ketimpangan internasional dan menyebabkan ketimpangan
regional di antara Negara-negara terbelakang ( Jhingan, 1990).
Perbedaan kemajuan antar wilayah berarti tidak samanya kemampuan
untuk bertumbuh yang analog dengan kesenjangan sehingga yang timbul adalah
ketidakmerataan sehingga muncul pendapat dan studi-studi empiris yang
menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dalam hal
ini (Kuznet, 1955) mengemukakan suatu hipotesis yang di kenal dengan sebutan “
U Hypothesis” , hipotesa ini dihasilkan lewat kajian empiris terhadap pola
pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan.
Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai tahap
tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti dengan hubungan kolerasi
positif antara pertumbuhan dan pemerataan yang disebabkan karena pertumbuhan
pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern
perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja.
Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional
meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di sektor modern
lebih cepat dibandingkan sektor tradisional. Berdasarkan tingkat kemajuannya
wilayah-wilayah dalam suatu Negara dapat di kelompokkan sebagai berikut
(Hanafiah, 1998) yaitu:
1. Wilayah terlalu maju terutama kota-kota besar dimana terdapat batas
pertumbuhan atau polarisasi, umpamanya dalam menghadapi masalah
diseconomies of scale yang menyebabkan masalah manajemen, kenaikan
biaya produksi, kenaikan biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan
upah, kenaikan harga bahan baku energi, peningkatan ongkos sosial.
2. Wilayah netral di cirikan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial
dan merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu padat.
3. Wilayah sedang merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola distribusi
pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik yang merupakan gambaran
kombinasi antara daerah maju dan kurang maju dimana terdapat juga
pengangguran dan kelompok masyarakat miskin.
4. Wilayah kurang berkembang atau kurang maju yan merupakan wilayah
dengan tingkat pertumbuhan jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan
tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan
nasional seperti daerah-daerah konsentrasi industri yang sudah mundur.
5. Wilayah tidak berkembang merupakan wilayah tidak maju atau wilayah
miskin dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam
berbagai skala umumnya di tandai dengan daerah pertanian dengan usaha tani
subsisten dan kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat kota
atau konsentrasi pemukiman yang relatif besar.
Kesenjangan regional oleh Murty dalam Yuzea (2006) diartikan sebagai
ketidakseimbangan pertumbuhan antar sektor primer, sekunder, tersier atau sektor
sosial di suatu negara, distrik, atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Di setiap
negara apakah itu negara maju atau berkembang, negara pertanian atau industri,
negara besar atau kecil, mempunyai wilayah yang maju dan tertinggal secara
ekonomi. Adalah penting untuk menghubungkan pola pembangunan ekonomi
regional dengan beragam variabel fisik dan sosial ekonomi untuk
mengidentifikasikan variabel mana yang mempunyai pengaruh terbanyak terhadap
pola pertumbuhan. Meskipun kesenjangan tidak berlaku di semua wilayah dengan
kekuatan (tingkatan) yang sama, tetap terdapat aspek-aspek umum yang dapat
memberikan beberapa generalisasi, penyebab utama kesenjangan adalah:
a) Faktor Geografis.
Apabila suatu wilayah yang sangat luas, distribusi dari sumberdaya nasional,
sumber energi, sumberdaya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan tidak
akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang
lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik.
b) Faktor Historis.
Tingkat pembangunan suatu masyarakat juga bergantung pada masa yang
lalu untuk menyiapkan masa depan. Bentuk organisasi ekonomi yang hidup
di masa lalu menjadi alasan penting yang dihubingkan dengan isu insentif,
untuk pekerja dan pengusaha. Sistem feodal memberikan sangat sedikit
insentif untuk bekerja keras. Sistem industri dimana pekerja merasa
tereksploitasi, bekerja tanpa istirahat, suatu perencanaan dan sistem yang
membatasi akan memberi sedikit insentif dan menyebabkan pembangunan
terhambat.
c) Faktor Politik
Ketidakstabilan politik dapat menjadi penghambat pembangunan yang
sangat kuat. Selain itu, jika pemerintah stabil tapi lemah, korupsi dan
ketidakmampuan untuk mengalahkan sikap mementingkan diri sendiri dan
menolak tekanan atau kontrol sosial akan menggagalkan tujuan dari
kebijakan pembangunan. Kondisi politik disetiap wilayah tidak sama.
d) Faktor Kebijakan Pemerintah
Belakangan ini, hampir semua negara kaya sedang diterapkan konsep negara
kesejahteraan ( welfare of state ). Di negara tersebut, kebijakan pemerintah
mulai diarahkan secara langsung pada pemertaan regional yang lebih besar.
Kekuatan pasar yang menghasilkan efek ” backwash ” dihilangkan, sementara
yang menghasilkan efek menyebar didukung sementara di negara-negara
miskin, kebijakan yang demikian masih sangat sedikit.
e) Faktor Administrasi (birokrasi)
Faktor administrasi yang efisien atau tidak efisien berpengaruh dalam
menambah kesenjangan antar wilayah. Saat ini pemerintah dalam
menjalankan fungsinya membutuhkan administrator yang jujur, terdidik,
terlatih dan efisien karena birokrasi yang efisien akan berhasil dalam
pembangunan regional dan sebaliknya.
f) Faktor Sosial
Banyak faktor sosial yang menjadi penghalang dalam pembangunan.
Penduduk di wilayah yang belum berkembang memiliki lembaga dan
keinginan (attitude) yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Di lain
pihak penduduk dari wilayah yang lebih maju memiliki kelembagaan dan
keinginan yang kondusif untuk pembangunan.
g) Faktor Ekonomi
Penyebab secara ekonomis seperti perbedaan-perbedaan dalam faktor
produksi, proses kumulatif dari berbagai faktor, siklus kemiskinan yang
buruk, kekuatan pasar yang bebas dan efek ” backwash ” dan efek menyebar
(spread) dan pasar tidak sempurna, berlangsung dan menambah kesenjangan
dalam pembangunan ekonomi.
2.3. Kebijakan Otonomi Daerah
Ketimpangan antara pusat dan daerah telah memacu lahirnya otonomi
sehingga paradigma pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model
pembangunan yang sentralistik menjadi model pembangunan yang desentralistik.
Pembagian kewenangan menjadi bagian dari arah kebijakan untuk membangun
daerah yang dikenal dengan istilah kebijakan otonomi daerah. Hal tersebut di
tandai dengan adanya undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
daerah dan pusat, pelimpahan kewenangan tersebut mempunyai pengaruh
terhadap cara-cara mempertanggungjawabkan keuangan pusat dan daerah. Tujuan
peletakan kewenangan dan penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan
penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah, atas dasar itu undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah sehingga memberi peluang kepada daerah agar leluasa
mengatur dan melaksanakan kewenagangan atas prakarsa sendiri sesuai dengan
kepentingan masyarakat setempat dan setiap potensi di setiap daerah.
Otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Otonomi dapat di wujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada
tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan dan
kewenangan untuk memungut pajak, membentuk dewan yang di pilih oleh rakyat,
kepala daerah yang di pilih oleh DPRD dan adanya bantuan dalam bentuk transfer
dari pemerintah pusat.
Implikasi langsung dari kewenangan atau fungsi yang di serahkan kepada
daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar, untuk itu perlu di atur
perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang
dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah di lakukan dengan
mengikuti pembagian kewenangan atau money follow function yang berarti
hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu di berikan pengaturan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung
jawab daerah dapat dibiayai dari sumber penerimaan yang ada.
Sejalan dengan pembagian kewenangan yang di sebutkan di atas maka
pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan pembiayaan penyelengaraan pemerintahan
berdasarkan asas desentrralisasi di lakukan atas beban APBD, pembiayaan
penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi di
lakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah atas
beban anggaran anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan
(Kusumah, 2003).
2.4. Konsep Konvergensi
Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah
kecenderungan perekonomian-perekonomian miskin tumbuh lebih cepat
dibandingkan perekonomian-perekonomian kaya dengan demikian diharapkan
perekonomian daerah miskin dapat mengejar ketertinggalannya dan ketimpangan
perekonomian antar daerah dapat menurun (Sukirno, 1985). Konvergensi terjadi
ketika perekonomian miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan
perekonomian kaya. Properti ini dihubungkan dengan konsep β-convergence yang
diperoleh dari analisa regresi antar perekonomian. Konsep konvergensi adalah β-
konvergence yang terdiri dari konvergensi absolut dan bersyarat serta α-
convergence .
Terjadinya proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh
lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan
regional per kapita. Artinya β-convergence tidak selalu identik dengan α-
convergence. Meskipun tidak identik tetapi secara empiris β-convergence akan
terverifikasi ketika α konvergen juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya
kedua konsep di atas dapat dilaksanakan bergantian. α-convergence akan terjadi
antar beberapa negara ketika negara-negara tersebut mempunyai dispersi
pendapatan per kapita yang cenderung menurun lebih cepat.
Studi empiris tentang konvergensi antar daerah dan antar Negara
umumnya terfokus pada ukuran utama konvergensi yaitu konvergensi beta (β-
convergence) dan (α-convergence). Satu kelebihan utama dari β-convergence
adalah analisa bersifat dinamis. Bila pengamatan jangka pendek tidak mampu
memberi jawaban tentang dampak dari kebijakan publik, maka kita tidak dapat
melihat bahwa dampak tersebut dalam kecenderungan jangka panjang. Dari sudut
pandang teoritis, analisa β-convergence hanyalah analisa deskriptif dan sama
sekali tidak berbicara tentang mekanisme di balik bekerjanya konvergensi tersebut
walaupun demikian analisanya berupa tes langsung terhadap hipotesis teori
pertumbuhan neoklasik dengan asumsi diminishing return of capital .
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional
pernah dilakukan oleh Upal dan Handoko (1986) dengan menggunakan formulasi
Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Upal dan Handoko mengukur
ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB diluar sektor
pertambagan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya
tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah pada
perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan
pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan kepada
propinsi.
Tadjoedin (1996) juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional
dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama dengan diatas untuk periode
1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
ketimpangan pendapatan selama periode analisis. Tadjoedin, et al , (2001)
melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun
1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita
menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga tahun 1993.
Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat, hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Indeks Formulasi Williamson Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional
Tahun Uppal & Handoko Tadjoedin Tadjoedin, et al 1976 0,4631 1977 0,4609 1978 0,4344 1979 0,5240 1980 0,4435 1984 0,4875 1985 0,4714 1986 0,4600 1987 0,4567 1988 0,4609 1989 0,5632 1990 0,5385 1991 0,5392 1992 0,5442 1993 0,5489 0,923 1994 0,938 1995 0,962 1996 0.966 1997 0,982 1998 0,965 Sumber: Uppal dan Handoko (1986) dan Tadjoedin (1996) dan Tadjoedin , et al , (2001)
Selain mengukur Ketimpangan nasional, Tadjoedin (1996) juga mengukur
besarnya ketimpangan pendapatan antar pulau yang perekonomiannya di dominasi
oleh sektor pertanian (pulau Sumatra) mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih
kecil dibandingkan dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor
industri (pulau Jawa). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian
tidak berada pada posisi yang dikotomis dengan pemerataan.
Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau Menggunakan Indeks Williamson
Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435 1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,0408 0,3582 1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,0423 0,3780 1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,0390 0,3324 1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,0460 0,4129 1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,0508 0,4183 1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,0515 0,4086 1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,5800 0,4507 1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,0591 0,4550 1993 0,1883 0,6158 0,4401 0,0632 0,4775 Sumber: Tadjoedin (1996)
Mattola (1985) melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya
ketimpangan pendapatan daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan
menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peran sektor
pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat
peranan tersebut, dibandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan
tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang
diperoleh dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan
dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil
dibandingkan dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi
ketimpangan pendapatan yang terjadi.
Tabel 4. Ketimpangan Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun 1977-1981
Tahun Tanpa PDRB Dengan PDRB di Persentase Penurunan Sektor Pertanian Sektor Pertanian Ketimpangan Pendapatan Daerah 1977 0,467 0,323 44,6% 1978 0,380 0,256 48,4% 1979 0,382 0,269 42,0% 1980 0,377 0,274 37,6% 1981 0,316 0,222 42,3% Sumber: Mattola (1985)
Muriza (1995) dalam penelitiannya yang berjudul kesenjangan kondisi
ekonomi regional antara kawasan barat dan timur Indonesia menyimpulkan
faktor-faktor yang mempengaruhi perumbuhan suatu daerah secara nyata adalah
pendapatan regional yang memcerminkan perolehan nilai tambah, kapital/modal
dan investasi, tenaga kerja yang dipengaruhi tingkat pendidikan, upah, dan jumlah
penduduk, dan pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun pendapatan asli
daerah (PAD) yang mempengaruhi secara tidak langsung pembentukkan investasi.
Selama 11 tahun pengamatan 1983-1993 terlihat kesenjangan
pertumbuhan masing-masing peubah pembangunan kawasan barat dan kawasan
timur. Pertumbuhan kawasan barat diketahui jauh lebih pesat dan ini semakin
dikuatkan dari hasil perhitungan terhadap efek yang dimiliki masing-masing
kawasan. Dari hasil analisis deskriptif, kesenjagan yang terjadi antara kawasan
barat dan timur sepanjang tahun 1983-1993 antara lain adalah kesenjangan PDRB
non migas dan PDRB non migas perkapita, diman a kawasan barat mempunyai
keadaan yang lebih baik dari kawasan timur. Selain itu terdapat kesenjangan
dalam arus penanaman modal/investasi, kapital, pembiyaan pembangunan baik
dari pusat maupun PAD, tingkat kemampuan baca tulis, tingkat partisipasi
pendidikan yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia serta partisipasi
angkatan kerja yang menunjukkan ketidakmerataan distribusi dan produktivitas
tenaga kerja.
Hendra (2004) melakukan penelitian yang menganalisis besarnya
ketimpangan pendapatan daerah di propinsi lampung tahun 1995-2001 dengan
menggunakan formulasi Williamson. Hendra juga menganalisis peran sektor
pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah dengan tanpa
memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor
pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan tanpa memasukkan PDRB
sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran
untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi.
Tabel 5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Propinsi
Lampung Tahun 1995-2001
Tahun Tanpa PDRB Dengan PDRB di Persentase Penurunan Sektor Pertanian Sektor Pertanian Ketimpangan Pendapatan Daerah
1995 0,8373 0,4404 47,4% 1996 0,8380 0,4499 46,3% 1997 0,8391 0,4846 42,2% 1998 0,8369 0,4426 47,1% 1999 0,7951 0,4207 47,1% 2000 0,7793 0,4160 46,6% 2001 0,7680 0,4068 47,0% Sumber: Hendra (2004)
Berdasarkan penelitian terdahulu di atas belum ada penelitian yang
menganalisis mengenai dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan
pendapatan antar kabupaten/kota khususnya di pulau Sumatera. Pada penelitian
ini tidak hanya melihat terjadinya ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota,
tetapi melihat juga terjadinya konvergensi antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Konvergensi Wilayah
Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah
kecenderungan perekonomian-perekonomian miskin tumbuh lebih cepat
dibandingkan perekonomian-perekonomian kaya dengan demikian diharapkan
perekonomian daerah miskin dapat mengejar ketertinggalannya dan ketimpangan
perekonomian antar daerah dapat menurun (Sukirno, 1985).
Terdapat dua pendekatan utama dalam konvergensi regional yaitu analisa
konvergensi yang diturunkan dari pokok penelitian utama di tingkat internasional.
Analisa jenis ini umumnya menggunakan regresi cross section antara tingkat
pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan perkapita (Barro and Sala-i-
Martin,1995). Pendekatan yang kedua berakar pada tradisi panjang dalam
penelitian regional dimana perhatian utama diberikan pada analisa disparitas
pendapatan yang membedakan dengan pendekatan satu dalam analisa pendekatan
dua kesenjangan regional di pelajari secara independen dari teori pertumbuhan.
Referensi klasik dari pendekatan penelitian yang kedua berdasarkan artikel
(Williamson, 1965) dimana ia menjelaskan bahwa proses konvergensi regional
terkait dengan proses pembangunan nasional, Williamson memprediksi bahwa
disparitas pendapatan regional akan memudar (konvergen) setelah melalui tiga
fase yaitu dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan ( maturity)
dalam proses pembangunan Dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi terdapat
dua pandangan tentang konsep konvergensi. Konvergensi terjadi ketika
perekonomian miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian
kaya. Property ini dihubungkan dengan konsep β-convergence yang diperoleh dari
analisa regresi antar perekonomian. Konsep konvergensi adalah β-konvergence
yang terdiri dari konvergensi absolut dan bersyarat serta α-convergence .
Terjadinya proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh
lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan
regional perkapita. Artinya β-convergence tidak selalu identik dengan α-
convergence. Meskipun tidak identik tetapi secara empiris β-convergence akan
terverifikasi ketika α konvergen juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya
kedua konsep di atas dapat dilaksanakan bergantian. α-convergence akan terjadi
antar beberapa negara ketika negara-negara tersebut mempunyai dispersi
pendapatan perkapita yang cenderung menurun lebih cepat.
Studi empiris tentang konvergensi antar daerah dan antar Negara
umumnya terfokus pada ukuran utama konvergensi yaitu konvergensi beta (β-
convergence) dan (α-convergence). Satu kelebihan utama dari β-convergence
adalah analisa bersifat dinamis. Bila pengamatan jangka pendek tidak mampu
memberi jawaban tentang dampak dari kebijakan publik, maka kita tidak dapat
melihat bahwa dampak tersebut dalam kecenderungan jangka panjang. Dari sudut
pandang teoritis, analisa β-convergence hanyalah analisa deskriptif dan sama
sekali tidak berbicara tentang mekanisme di balik bekerjanya konvergensi tersebut
walaupun demikian analisanya berupa tes langsung terhadap hipotesis teori
pertumbuhan neoklasik dengan asumsi diminishing return of capital . Studi
empiris menunjukkan bahwa meskipun perekonomian miskin tumbuh lebih cepat
dibanding perekonomian kaya, ketimpangan pada tahap awal pembangunan
persaingan perekonomian justru meningkat hal ini disebabkan ketimpangan
perekonomian daerah yang kaya lebih rendah namun secara relatif nilai perubahan
itu masih terlalu besar dibandingkan perubahan perekonomian di daerah miskin.
Dengan analisa β-convergence kecepatan konvergensi dapat diketahui
secara pasti. Jika konvergensi adalah cepat maka fokus kita adalah prilaku steady
state sebagaimana telah di ketahui bahwa mayoritas perekonomian berada dekat
pada posisi steady state , namun jika tidak yang berarti bahwa posisi
perekonomian berada jauh dari posisi steady state maka sebaiknya difokuskan
pada pengalaman pertumbuhan yang dialami perekonomian dalam dinamika
transional.
Terdapat berbagai studi yang mencoba mengukur kecepatan β-
convergence ini. Studi ini menghasilkan dua aliran utama dari regresi, pertama
adalah ide tentang club convergence regresi jenis ini bersandar pada hipotesis
bahwa hanya Negara-negara yang memiliki karakteristik struktural dan kondisi
awal yang mirip saja yang akan konvergen satu sama lain, maka Negara-negara
kaya OECD membentuk convergence club juga Negara-negara berkembang
lainnya membentuk club konvergensi lain dan Negara-negara miskin membentuk
klub lainya. Tidak terdapat kecenderungan untuk konvergen bagi club-club ini dan
karena adanya disparitas antar club yang berbeda ini dapat terus berlangsung
dalam jangka panjang, bahkan meningkatkan ide club, konvergensi ini sering pula
disebut sebagai hipotesis konvergensi absolut.
Formulasi kedua dalam model konvergensi adalah apa yang disebut
konvergensi bersyarat dimana perekonomian akan konvergen bukan ke steady
state yang sama melainkan ke steady state masing-masing, struktural yang
berbeda berimplikasi bahwa Negara-negara akan akan memilki tingkat steady
state pendapatan yang berbeda-beda pula. Metode terpopuler disini adalah dengan
menambahkan berbagai variabel bertipe struktural ke dalam regresi pertumbuhan
dasar, sekali koefisien beta menunjukkan tanda negatif ketika variabel-variabel ini
masuk regresor maka kita dapat menyebut bahwa perekonomian yang di teliti
mempergunakan konvegensi beta kondisional. Dari sinilah kemudian timbul
perhatian untuk menganalisa konvergensi antar daerah di suatu Negara walaupun
perbedaan teknologi, prefernsi, dan institusi antar daerah adalah eksis, namun
perbedaan ini relatif lebih kecil bila di bandingkan dengan perbedaan antar Model
standar pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan
tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara pendapatan
dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami pertumbuhan
ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung konvergen secara
absolut. Proses konvergen seperti ini disebut dengan konvergensi absolut karena
kenyataanya bahwa antar daerah mempunyai karakteristik perekonomian yang
beragam mengakibatkan dugaan proses konvergensi absolut dinilai menjadi lemah
sehingga konvergensi absolut pada umumnya diikuti oleh konvergensi bersyarat.
Hipotesis konvergensi absolut tidak selalu ada dengan keluarnya hubungan
negatif antar pendapatan dengan tingkat pertumbuhan. Adakalanya hubungan
tersebut tidak muncul namun ada ketika variabel-variabel lain yang dianggap
berpengaruh seperti pendidikan, kesuburan dan kesehatan yang diikutsertakan
dalam proses regresi. Kecenderungan konvergensi yang timbul dengan syarat
keadaan variabel-variabel tersebut disebut konvergensi bersyarat. Konvergensi
bersyarat merupakan alternatif uji konvergensi apabila daerah-daerah yang diteliti
tidak memiliki heterogenitas parameter-parameter yang memungkinkan setiap
daerah memiliki posisi steady-state .
Menurut Solow-Swan model menyatakan bahwa Negara-Negara yang
mempunyai perbedaan dalam proses produksi, tabungan, dan pertumbuhan
penduduk akan tetapi mempunyai kesamaan dalam kemajuan teknologi akan
menyebabkan rata-rata pendapatan perkapita mencapai konvergen menuju titik
keseimbangan pertumbuhan akan tetapi jika teknologi, tabungan dan pertumbuhan
penduduk sama antar Negara maka Negara-negara tersebut akan mencapai
konvergen dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi.
Barro dan Martin dalam Garcia dan Soelistianingsih (1998) menemukan
evolusi serupa dari pendapatan regional di AS, Jepang, dan Negara-negara Eropa.
Untuk kasus AS mereka menemukan tingkat pertumbuhan berhubungan negatif
dengan pendapatan per kapita dimana perbedaan pendapatan antar 47 negara
bagian menurun. Sekitar 1,7% per tahun untuk periode 110 tahun sejak tahun
1880. Untuk kasus Jepang, mereka menemukan bahwa pendaptan per kapita dari
47 perfecture untuk periode 1930-1990 cenderung konvergen pada 2,79% per
2 adalah 0,92. Untuk daerah eropa (11 di Jerman, 11 di Inggris, 20 di tahun dari R
Itali, 21 di prancis, 4 di belanda, 3 di Belgia, 3 di Denmark, dan 17 di Spanyol )
mereka menemukan GDP per kapita konvergen pada 1,9% per tahun untuk
periode 1950-1990.
3.1.2. Teori Pertumbuhan Model Solow
Mankiw (2001) Dalam model Solow teori pertumbuhan menggabungkan
unsur kemajuan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi ketiga. Model
ini telah mengasumsikan hubungan yang tidak berubah antara input modal dan
tenaga kerja dan output barang dan jasa.Tetapi model ini dapat dimodifikasi yang
memungkinkan peningkatan dalam kemampuan masyarakat untuk berproduksi.
Untuk memasukkan kemajuan teknologi haruslah kembali ke fungsi produksi
yang mengaitkan modal total (K) dan tenaga kerja total (L) dengan Fungsi:
Y= F(K, L) menjadi Y= F(K, L x E) dimana E adalah variabel baru yang dusebut
efisiensi tenaga kerja. Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan
masyarakat tentang metode-metode produksi ketika teknologi mengalami
kemajuan, efisiensi tenaga kerja akan meningkat. Asumsi yang paling sederhana
tentang kemajuan teknologi adalah kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi
tenaga kerja tumbuh pada tingkat konstan (g).
Analisis perekonomian akan membuahkan hasil ketika mengkaji
pertumbuhan populasi persamaannya adalah: 鏨 k = sf (k)- (δ + n + g) k dimana 啐 k
sama dengan investasi sf (k) dikurangi investasi pulang pokok (δ + n + g) k.
Investasi pulang pokok meliputi 3 kaidah yaitu: menjaga k tetap konstan, δk
dibutuhkan untuk mengganti modal yang disusutkan, nk dibutuhkan untuk
memberi modal bagi pekerja baru dan gk dibutuhkan untuk pekerja efektif yang
diciptakan oleh teknologi.
Investasi Investasi pulang pokok Pulang pokok (δ + n + g) k
Investasi sf (k)
* Modal per pekerja, k
k Kondisi Mapan Sumber : Mankiw, 2001
Gambar 1. Dampak Kemajuan Teknologi Model Solow
Dampak kemajuan teknologi menunjukkan empat variabel kunci dalam
kondisi mapan dengan kemajuan teknologi. Dimana k adalah konstan dalam
kondisi mapan, y = f(k), output per pekerja efektif juga konstan. Tingkat efisiensi
setiap pekerja aktual tumbuh pada tingkat g, output per pekerja juga tumbuh pada
tingkat g, sehingga output total tumbuh pada tingkat n + g.
Kemajuan teknologi dan model pertumbuhan Solow melihat kemajuan
teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g mempengaruhi model
pertumbuhan Solow dalam jumlah yang sama dengan pertumbuhan populasi pada
tingkat n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah modal per pekerja efektif.
Kenaikan dalam jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung
mengurangi k. Dalam kondisi mapan investasi sf (k) benar-benar menghilangkan
penurunan dalam k yang terkait dengan penyusutan, pertumbuhan populasi, dan
kemajuan teknologi.
Dengan adanya kemajuan teknologi model ini dapat menjelaskan kenaikan
yang berkelanjutan dalam standar kehidupan yang kita amati. Yaitu kemajuan
teknologi dapat mengarah ke pertumbuhan berkelanjutan dalam output per
pekerja. Kemajuan teknologi juga memodifikasi criteria untuk kaidah emas,
tingkat modal kaidah emas adalah kondisi mapan yang memaksimalkan konsumsi
per pekerja efektif. Dimana MPK = δ + n + g atau MPK – δ = n + g.
3.1.3. Teori Pertumbuhan Endogen.
Untuk memahami sepenuhnya proses pertumbuhan ekonomi kita perlu
keluar dari model Solow dan mengembangkan model-model yang menjelaskan
kemajuan teknologi, model ini disebut teori pertumbuhan endogen (endogenous
growth theory) karena menolak asumsi model Solow tentang perubahan teknologi
eksogen. Untuk menggambarkan gagasan dibelakang teori pertumbuhan endogen
dengan melihat fungsi produksi sederhana Y = A K Dimana Y adalah output, K
adalah persediaan modal dan A adalah konstanta yang mengukur jumlah output
yang diproduksi untuk setiap unit modal. Fungsi produksi ini tidak menunjukkan
muatan dari pengembalian modal yang kian menurun. Satu unit modal tambahan
memproduksi unti output tambahan A tanpa memperhitungkan berapa banyak
modal di sini, keberadaan pengembalian modal yang kian menurun ini merupakan
perbedaan penting antara model pertumbuhan endogen dengan model Solow.
Dalam teori pertumbuhan endogen fungsi produksi tentang pertumbuhan ekonomi
diasumsikan bagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan sehingga akumulasi
modal persamaannya adalah K = s Y – δK. Persamaan ini menyatakan bahwa
perubahan dalam persediaan modal (鿘 K) sama dengan investasi (sY) dikurangi
penyusutan (δK), lalu digabungkan dengan persamaan fungsi produksi Y = AK,
maka didapatkan 媐 Y/Y = 媐 K/K = sA – δ. Yang menunjukkan tingkat perumbuhan
output selama sA > δ pendapatan perekonomian tumbuh selamanya bahkan tanpa
asumsi kemajuan teknologi eksogen.
Jadi perubahan sederhana dalam fungsi produksi bisa membedakan secara
dramatis prediksi tentang pertumbuhan ekonomi. Dalam model Solow tabungan
akan mendorong pertumbuhan untuk sementara, tetapi pengembalian modal yang
kian menurun secara berangsur-angsur mendorong perekonomian mencapai
kondisi mapan dimana pertumbuhan hanya tergantung pada kemajuan teknologi
eksogen, sebaliknya dalam model pertumbuhan endogen tabungan dan investasi
dapat mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan. Penganjur teori
pertumbuhan endogen berpendapat bahwa asumsi pengembalian modal konstan
(bukan yang kian menurun) lebih bermanfaat jika K diasumsikan secara lebih
luas.
3.1.4. Pengukuran Ketimpangan
Ketimpangan pendapatan antar daerah atau wilayah dapat dipandang
sebagai salah satu ukuran dalam melihat perbedaan tingkat kemakmuran antar
daerah, walaupun kemakmuran itu sendiri tidak hanya diukur dengan indikator
pendapatan per kapita, sebagaimana indikator yang digunakan dalam ketimpangan
pendapatan daerah. Penyajian ketimpangan pendapatan antar daerah pada
dasarnya hanyalah memberikan gambaran secara makro mengenai ketimpangan
pendapatan rata-rata antara berbagai daerah atau wilayah tertentu dan tidak
memperlihatkan pola pembagian pendapatan antar golongan penerima
pendapatan.
Todaro (1981) menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan
hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan
pendapatan untuk negara maju dan negara sedang berkembang dan
menggambarkan ketimpangan pendapatan dari negara-negara tersebut dalam tiga
kelompok, dimana pengelompokan tersebut disesuaikan dengan tinggi, sedang
dan rendahnya tingkat pendapatan di masing-masing wilayah.
3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual
Kesenjangan ekonomi antar kelompok masyarakat berpendapatan tinggi
dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah pada suatu daerah, serta tingkat
kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan
dua masalah besar yang terjadi pada banyak negara berkembang di dunia, tidak
terkecuali Indonesia. Pada awal pembangunan pelita I pemerintah mengupayakan
kebijakan sentralistis yang diharapkan memiliki efek menetes kebawah ( trickel
down effect ) akan tetapi efek yang diharapkan berjalan sangat lambat, akibatnya
pada dekade 1980-an sampai 1990-an Indonesia mengalami peningkatan
pertumbuhan yang tinggi, namun tingkat kesejahteraan semakin menurun dengan
jumlah penduduk miskin tetap banyak bahkan meningkat. Kondisi seperti ini
merupakan kondisi yang tidak diinginkan dalam proses pembangunan dimana
masyarakatnya telah memiliki tingkatan ekonomi yang tinggi yang diharapkan
mampu menarik masyarakat yang berada pada tingkat ekonomi lemah sehingga
dapat terjadi pemerataan. Kondisi tersebut berdampak pada krisis multi
dimensional sehingga muncul keinginan dari pemerintahan daerah dan masyarakat
untuk mendesentralisasi kebijakan dan kewenangan tanggung jawab daerah
kepada pemerintahan daerah, setiap daerah menginginkan diberlakukannya
otonomi daerah sehingga kewenangan daerah jauh lebih besar dalam pencapaian
pembangunan dan kesejahteraan daerah. Jawaban dari semua itu maka
pemerintah mengeluarkan undang-undang No.22 tahun 1999 dan undang-undang
No.25 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
Konsekuensi dari semua itu adalah pemerintah daerah dituntut untuk dapat
melaksanakan pembangunan secara lebih merata, sehingga hasil pembangunan
dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, akan tetapi yang menjadi
tantangan dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah perbedaan potensi baik
sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada pada setiap daerah
yang mungkin dapat mengakibatkan kesenjangan antar daerah yang kaya dan
daerah yang miskin yang berpengaruh pada PDRB, tingkat pendidikan dan tingkat
kesehatan dari setiap daerah, sehingga dengan adanya otonomi daerah apakah
pemerataan antar daerah dapat terjadi dan mencapai kondisi yang konvergensi
pada titik yang seimbang antara daerah kaya dan daerah miskin. Kerangka
pemikiran konseptual dapat dilihat pada Gambar 2.
Kesenjangan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah
Kebijakan Otonomi Daerah
Daerah Kaya Daerah Miskin
PDRB perkapita Jumlah Penduduk Tingkat Pendidikan
Analisis Regresi
Konvergensi
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual
3.3. Definisi Operasional Data
1. PDRB adalah jumlah seluruh nilai tambah (produk) yang dihasilkan oleh
berbagai lapangan usaha atau sektor yang melakukan kegiatan usahanya
disuatu wilayah tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi yang
dipakai. Saat ini PDRB masih digunakan sebagai alat untuk mengukur
pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Hal ini dikarenakan masih
sulitnya memperhatikan arus pendapatan yang mengalir antar wilayah
(antar propinsi). Definisi pendapatan yang sebenarnya adalah perkiraan
pendapatan yang diterima oleh penduduk suatu wilayah yaitu jumlah
seluruh pendapatan /balas jasa atas faktor produksi yang dimiliki oleh
suatu wilayah tersebut tanpa memperhatikan dimana faktor produksi
tersebut berproduksi. PDRB terbagi menjadi dua bagian yaitu PDRB atas
dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar
harga berlaku adalah PDRB yang dinilai atas dasar harga berlaku dari
masing-masing tahunnya pada wilayah yang bersangkutan. Sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar adalah PDRB
tersebut dinilai atas dasar harga tetap yang terjadi pada tahun dasar
wilayah yang bersangkutan.
2. Jumlah Penduduk adalah jumlah seluruh penduduk pada suatu wilayah
menurut perkiraan akhir tahun.
3. Tingkat Pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah
diikuti oleh seseorang dalam hidupnya dan dihitung dalam tahun.
4. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis. Tahun dasar merupakan
tahun yang dijadikan sebagai patokan dan dasar untuk menganalisis, atau
dapat dikatakan sebagai tahun awal dalam menganalisis data tahun yang
dipakai adalah tahun 1993. Sedangkan tahun akhir analisis merupakan
tahun yang dijadikan sebagai akhir dalam menganalisis data. Dalam
analisis ini tahun akhir yang digunakan adalah tahun 1995, tahun 2001
serta tahun 2004.
3.4. Hipotesis
Untuk memberi arahan dalam melakukan analisis data, dikemukakan
hipotesis sebagai berikut:
1. Konvergensi yang terjadi antar kabupaten/kota semakin tinggi.
2. Diduga diberlakukannya otonomi daerah berpengaruh terhadap semakin
tingginya nilai konvergensi.
3.5. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penulisan skripsi ini di mulai pada bulan Juni 2006 waktu yang diperlukan
dalam rencana penulisan penelitian, pengumpulan data hingga penulisan laporan
dilakukan sampai bulan Agustus 2006. Penelitian mengambil seluruh kabupaten
Dati II di Propinsi Sumatera sebagai objek studi dan sekaligus sebagai lokasi
penelitian. Lokasi tersebut diambil dengan pertimbangan tersedianya data PDRB
kabupaten/kota yang ada di propinsi Sumatra, kondisi sumber daya alam yang
melimpah akan tetapi adanya kecenderungan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang masih rendah berdasarkan pertimbangan tersebut kesenjangan yang terjadi
dapat tergambar dengan nyata dan diharapkan adanya solusi dari permasalahan
tersebut agar antar kabupaten Dati II di propinsi Sumatra dapat mencapai
konvergensi.
3.6. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder. Data yang digunakan
dalam penelitian adalah data cross section berdasarkan PDRB Perkapita atas dasar
harga berlaku, jumlah penduduk kabupaten/kota propinsi Sumatra, propinsi
Sumatra dalam angka, berbagai macam data sekunder lainnya yang diambil dari
berbagai sumber, diantaranya dari BPS propinsi Sumatra, literature dan sumber
pustaka lainnya. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun 1995, 2001 dan
tahun 2004 dengan menggunakan tahun dasar 1993 dan pengolahan data
dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Minitab 1.4 dan Microsoft Excel .
3.7. Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis secara kualitatif diinterpretasikan secara deskriptif, sedangkan
data kuantitatif akan diolah dengan menggunakan analisis regresi. Analisis regresi
adalah analisis yang berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel
terhadap satu atau lebih variabel lain (Gujarati, 1993). Regresi yang digunakan
adalah regresi linear dan berganda dengan menggunakan bantuan software
Minitab 1.4 dan Microsoft Excel .
Untuk mengukur konvergensi yang terjadi antar kabupaten/kota Dati II di
pulau Sumatera, ada beberapa pendekatan atau tahapan-tahapan yang dilakukan
yaitu mencakup analisis tingkat konvergensi antar kabupaten yang terdiri dari
analisis konvergensi absolut dan analisis konvergensi bersyarat dengan
memasukkan variabel-variabel lain seperti pendidikan, kesehatan dll.
3.7.1. Analisis Konvergensi
Menurut Romer (2006) untuk menguji apakah terjadi konvergensi absolut
(kabupaten yang lebih miskin tumbuh lebih cepat dari pada kabupaten yang lebih
kaya) analisis yang digunakan adalah: ln (Y i T
/ Y i t ) = a + b ln (Y i t ) + ε i ……………………………………(2)
Dimana:
T
ln (Y i
ln (Y i
t/ Y i ) :PDRB per kapita tahun akhir analisis
t
) : PDRB per kapita tahun dasar analisis a : Konstanta
b : Koefisien regresi
T : Tahun analisis
t : Tahun dasar analisis
Jika nilai b < 0 maka akan menunjukkan bahwa pendapatan antar
kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Untuk melihat tingkat
konvergensi absolut yang terjadi, data yang digunakan adalah data PDRB
perkapita tahun 1995, 2001, dan tahun 2004 yang diregresikan dengan PDRB
perkapita tahun 1993.
Untuk menguji apakah terjadi konvergensi bersyarat (kabupaten yang
lebih miskin tumbuh lebih cepat dari pada kabupaten yang lebih kaya jika variabel
yang lain dimasukkan) maka analisis yang digunakan adalah:
T t t ln (Y i / Y i ) = a + b 1 ln (Y i ) + b 2 ln X 1 + ε i.....................................(3)
Dimana :
T t / Y i ) : PDRB per kapita tahun akhir analisis ln (Y i
t ln (Y i ) : PDRB per kapita tahun dasar analisis
ln X 1 : Tingkat Pendidikan tahun analisis
a : Konstanta
b1 : Koefisien regresi tahun dasar analisis
b2 : Koefisien regresi tingkat pendidikan
T : Tahun analisis
t : Tahun dasar analisis
Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi, dapat dilihat
dari nilai koefisien regresi. Jika nilai koefisien regresinya lebih kecil dari nol
(b 1,b 2 < 0) maka akan menunjukkan bahwa pendapatan antar kabupaten/kota di
pulau Sumatera cenderung konvergen.
3.7.2. Uji Signifikansi Individu (Uji t)
Uji signifikan individu dikenal dengan uji t (uji parsial). Pengujian ini
dilakukan untuk membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara
statistik bersifat signifikan atau tidak. Dengan uji t akan dilihat apakah secara
statistik koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas secara terpisah
memiliki pengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas. Melalui uji t ini
akan diuji apakah koefisien regresi satu per satu secara statistik signifikan atau
tidak. Untuk uji t hipotesis yang di uji adalah:
H0: β = 0
H1: β≠ 0
Untuk uji t ini dapat dilihat melalui probabilitas dari masing-masing
variabel bebas, jika probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan
maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel tak bebas, dan sebaliknya jika probabilitasnya lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa variabel
bebas tersebut tidak signifikan mempengaruhi variabel tak bebas.
3.7.3. Pengujian Terhadap Model Penduga (Uji F)
Uji F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh
seluruh koefisien regresi juga signifikan dalam mementukan nilai dari variabel tak
bebas. Dalam uji F jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama
dengan nol, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linear
antara variabel tak bebas dengan variabel bebas. Atau dapat dilihat juga dari nilai
probability F-statistiknya, jika probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata yang
digunaka maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan linear antara
variabel bebas dengan variebel-variabel tak bebas.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Konvergensi
4.1.1. Analisis Konvergensi Absolut
Konvergensi absolut dapat terjadi jika setiap daerah dengan tingkat
pendapatan yang sama dapat mencapai kondisi kemapanan yang sama. Untuk
mengetahui adanya konvergensi absolut antar kabupaten/kota yang terjadi di
pulau Sumatera tahun 1995 sebelum Otonomi Daerah, dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Konvergensi Absolut Tahun 1995
Variabel Coef SE Coef T P Constant 1.5236 0.3481 4.38 0.000 93
ln (Y i ) -0.08825 0.02448 -3.61 0.001 S = 0.114199 R-Sq = 15.5% R-Sq(adj) = 14.3% F-statistic = 13.00 Prob (F-statistic) = 0.001
Sumber: Lampiran 4.
Pada Tabel 6. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
95 93 93
/ Y i ) = 1.52 - 0.0882 ln (Y i ).........................................................(4) ln (Y i
Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.001 maka persamaan
ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel
penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen.
Untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang
mempengaruhi tingkat PDRB perkapita tahun 1995/1993 secara signifikan, perlu
dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan
dengan melihat probalitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas
kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan.
Pada Tabel 6. menunjukkan bahwa tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993
signifikan mempengaruhi PDRB perkapita tahun1995.
Untuk melihat tingkat konvergensi yang terjadi sebelum Otonomi Daerah
pada tahun 1995, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien
regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat
konvergensi absolut yang terjadi sebesar - 0.0882 < 0 ini berarti pendapatan antar
kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen.
Tingkat konvergensi absolut yang terjadi pada tahun 2001, dapat dilihat
dari Tabel 7. berikut:
Tabel 7. Analisis Konvergensi Absolut 2001
Variabel Coef SE Coef T P Constant 3.8821 0.9519 4.08 0.000 93
ln (Y i ) -0.17333 0.06692 -2.59 0.012
S = 0.312235 R-Sq = 8.6% R-Sq(adj) = 7.3% F-statistic = 6.71 Prob (F-statistic) = 0.012
Sumber: Lampiran 4.
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 7. maka diperoleh persamaan
regresi sebagai berikut: ln (Y i 01
/ Y i 93
) = 3.88 - 0.173 ln (Y i 93
)……………………….…………..…(5)
Persamaan PDRB per kapita pada tahun 2001 nilai probabilitas F-statistik sebesar
0,012 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan
diatas telah mendukung keabsahan model dan dapat juga dikatakan bahwa
variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen.
Untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang
mempengaruhi tingkat PDRB perkapita tahun 2001 secara signifikan, perlu
dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan
dengan melihat probalitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas
kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan.
Pada Tabel 7. tingkat PDRB perkapita tahun dasar signifikan karena
probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen.
Untuk melihat tingkat konvergensi yang terjadi pada tahun 2001, dapat
dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0,
maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen.
Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi absolut yang terjadi sebesar
-0.173 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera
cenderung konvergen.
Tingkat konvergensi absolut yang terjadi pada tahun 2004, dapat dilihat
dari Tabel 8.
Tabel 8. Analisis Konvergensi Absolut 2004
Variabel Coef SE Coef T P Constant 5.713 1.300 4.39 0,000 X -0.29150 0.09139 -3.19 0,002 S = 0.426427 R-Sq = 12.5% R-Sq(adj) = 11.3% F-statistic =10.17 Prob (F-statistic) = 0,002
Sumber : Lampiran 4
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 8. maka diperoleh persamaan
regresi sebagai berikut:
04 93 93
/ Y i ) = 5.71 - 0.292 ln (Y i )...........................................................(6) ln (Y i
mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,002 maka persamaan
ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel
penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t)
yang mempengaruhi tingkat PDRB perkapita tahun 2004 secara signifikan, perlu
dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan
dengan melihat probalitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas
kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan.
Pada Tabel 8. tingkat PDRB perkapita tahun dasar signifikan karena
probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen.
Untuk melihat tingkat konvergensi yang terjadi pada tahun 2004, dapat
dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0,
maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen.
Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi absolut yang terjadi sebesar
-0.292 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera
cenderung konvergen.
4.1.2. Analisis Konvergensi Bersyarat
Untuk melihat adanya konvergensi bersyarat yang terjadi antar
kabupaten/kota di pulau Sumatera, dapat diketahui dengan melakukan analisis
regresi yang memasukkan variabel lain yaitu tingkat pendidikan dilihat dari
jumlah murid SMU dan sederajat pada tiap kabupaten/kota di pulau Sumatera.
Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisis Konvergensi Bersyarat 1995
Variabel Coef SE Coef T P Constant 1.3911 0.3784 3.68 0.000 93
ln (Y i ) -0.08822 0.02451 -3.60 0.001 ln X 1 0.01515 0.01684 0.90 0.371
S= 0.114352 R-Sq = 16.4% R-Sq(adj) = 14.1% F-statistic = 6.89 Prob (F-statistic)= 0.002
Sumber: Lampiran 5.
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 9. maka diperoleh persamaan
regresi sebagai berikut: ln (Y i 95
93 93
/ Y i ) = 1.39 - 0.0882 ln (Y i ) + 0.0152 ln X 1 .................................(7)
Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.002 maka
persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel
penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t)
yang mempengaruhi tingkat konvergensi bersyarat pada tahun 1995 secara
signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini
dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel tersebut.
Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel
tersebut signifikan. Pada Tabel 9. bahwa tingkat PDRB perkapita tahun dasar
1993 signifikan terhadap PDRB perkapita tahun 1995 sedangkan tingkat
pendidikan tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap PDRB perkapita tahun 1995.
Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 1995,
dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil
dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung
konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi bersyarat yang
terjadi sebesar - 0.0882 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera cenderung konvergen. Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan
nilai koefisien regresinya 0.0152 > 0 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
cenderung divergen.
Untuk konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2001 setelah
kebijakan otonomi daerah diberlakukan, setiap daerah memiliki kewenangan yang
lebih luas untuk mengatur wilayahnya sendiri. Hasil analisis regresi dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Analisis Konvergensi Bersyarat 2001
Variabel Coef SE Coef T P 3.872 1.008 3.84 0.000 Constant 93 -0.17352 0.06762 -2.57 0.012
ln (Y i ) 0.00146 0.04313 0.03 0.973
ln X 1 S = 0.314454 R-Sq = 8.6% R-Sq(adj) = 6.0%
F-statistic = 3.31 Prob (F-statistic) = 0.042
Sumber: Lampiran 5
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 10. maka diperoleh persamaan
regresi sebagai berikut: ln (Y i 01
93 93
/ Y i ) = 3.87 - 0.174 ln (Y i ) + 0.0015 ln X 1.................................(8)
Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.042 maka
persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel
penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t)
yang mempengaruhi tingkat konvergensi bersyarat pada tahun 2001 secara
signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini
dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel tersebut.
Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel
tersebut signifikan. Pada Tabel 10. tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993
signifikan terhadap PDRB perkapita tahun 2001 sedangkan tingkat pendidikan
tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan tidak berpengaruh terhadap PDRB perkapita tahun 2001.
Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2001,
dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil
dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung
konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi bersyarat yang
terjadi sebesar - 0.174 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera cenderung konvergen. Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan
nilai koefisien regresinya 0.0015 > 0 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
cenderung divergen.
Untuk konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2004 setelah
beberapa tahun kebijakan otonomi daerah diberlakukan, persamaan regresi yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Analisis Konvergensi Bersyarat 2004
Variabel Coef SE Coef T P Constant 5.510 1.419 3.88 0.000 93
ln (Y i ) -0.29182 0.09196 -3.17 0.002 ln X 1 0.02312 0.06238 0.37 0.712 S = 0.429042 R-Sq = 12.7% R-Sq(adj) = 10.2% F-statistic = 5.09 Prob (F-statistic) = 0,009Sumber : Lampiran 5
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 11. maka diperoleh persamaan
regresi sebagai berikut:
ln (Y i 04
93 93
/ Y i ) = 5.51 - 0.292 ln (Y i ) + 0.0231 ln X 1...................................(9)
Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.009 maka
persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel
penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t)
yang mempengaruhi tingkat konvergensi bersyarat pada tahun 2004 secara
signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini
dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel tersebut.
Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel
tersebut signifikan. Pada Tabel 11. tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993
signifikan terhadap PDRB perkapita tahun 2004 sedangkan tingkat pendidikan
tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan tidak berpengaruh terhadap PDRB perkapita tahun 2004.
Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2004,
dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil
dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung
konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi bersyarat yang
terjadi sebesar - 0.292 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera cenderung konvergen. Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan
nilai koefisien regresinya 0.0231 > 0 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
cenderung divergen.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Selama periode analisis, pendapatan antar kabupaten/kota di pulau
Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dapat kita lihat dari nilai koefisien
regresi pada tahun-tahun yang dianalisis nilainya lebih kecil dari nol.
PDRB perkapita tahun dasar analisis berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai konvergensi baik konvergensi absolut maupun konvergensi
bersyarat. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai konvergensi bersyarat.
2. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif
terhadap peningkatan nilai konvergensi dan menurunnya kesenjangan
antar daerah.
5.2. Saran
1. Pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan kebijakan untuk
memelihara tingginya nilai konvergensi dengan cara meningkatkan
pendapatan daerahnya melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya
alam dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan
teknologi.
2. Pemerintah daerah perlu memelihara implementasi kebijakan otonomi
daerah dalam kebijakan pembangunan.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang diduga
dapat berpengaruh terhadap tingkat konvergensi, antara lain tingkat
kesehatan masyarakat, rasio kelahiran dan kematian penduduk untuk dapat
mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah khususnya daerah
tingkat II di pulau Sumatera.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Y.H.F.H. 2006. Disparitas Pendapatan Antar KBI dan KTI Wilayah Indonesia. Program Pascasarjana. IPB. Bogor
Anwar, A. 1995. Pengantar Metodelogi Penelitian Ekonomi Wilayah. Bahan Kuliah. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Sosial. Program Studi PWPPS. IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 1993-2004. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Kabupaten/Kota. BPS. Jakarta.
. 1993-2004. Aceh Dalam Angka. BPS Aceh.
. 1993-2004. Sumatera Utara Dalam Angka. BPS Sumatera Utara.
. 1993-2004. Sumatera Barat Dalam angka. BPS Sumatera Barat.
. 1993-2004. Riau Dalam Angka.BPS Riau.
. 1993-2004. Jambi Dalam Angka. BPS Jambi.
. 1993-2004. Sumatera Selatan Dalam Angka. BPS Sumatera Selatan.
. 1993-2004. Bengkulu Dalam Angka. BPS Bengkulu.
. 1993-2004. Lampung Dalam Angka. BPS Lampung.
. 2000-2004. Bangka Belitung Dalam Angka. BPS Bangka Belitung.
Barro, R. J. And Martin, X. S. 1995. Economics Growth . Mc Graw-Hill. New York.
Basri, F.H. 1995. Fenomena Ketimpangan Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Makalah Pada Diskusi Tetap Studi Pembangunan SM. IPB. Bogor. 28 Agustus 1995.
Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis. Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4. BPFE. Yogyakarta.
Dumairy, M.A. 1996. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Garcia, J.G., and L. Soelistianingsih. 1998. Why do differences in provincial incomes persist in Indonesia . Bull. Indonesian Economic Studies 34(1) : 95-120.
Gujarati. D. 1993. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hanafiah, T. 1998. Pendekatan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hendra. 2004. Peran Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Daerrah di Propinsi Lampung. Sarjana Ilmu Ekonomi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jhingan, M. L. 1990. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Press. Jakarta.
Kusumah, B. Dadang, S. 2003. Otonomi Penyelenggaraan Daerah. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.
Kuznet, S. 1995. Quantitative Aspect of The Economic Growth of Nation : I. Economic Development and Cultural Change, Vol. V.
Mankiw, N. G. 2001. Teori Makroekonomi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Matolla, A. Z. 1985. Peran Sektor Pertanian Terhadap Peningkatan dan Pemerataan Pendapatan Daerah Di Jawa Barat. Program Perencanaan Wilayah dan Kota, Pasca Sarjana ITB. Bandung.
Muriza, L 1995. Kesenjangan Kondisi Ekonomi Regional Antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
Richardson, H.W. 1991. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.
Romer, D. 2006. Advanced Macroeconomics Edisi 3. Mc Graw-Hill Irwin. New York.
Sukirno, S. 1985. Pengantar Teori Makroekonomi. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.
Tadjoedin, M.Z.1996. Disparitas Pendapatan Regional Indonesia Dalam Kaitan Dengan Pola Pertumbuhan dan Investasi. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Bogor.
Tadjoedin, M.Z, dkk. 2001. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia, UNSFIR Working Paper. Jakarta. Uppal, J.S dan Handoko, B.S.1986. Regional Income Disparities in Indonesia . Ekonomi Keuangan Indonesia Vol XXXIV No 3. LPEM-FEUI. Jakarta.
Williamson, J.G. 1965. Regional and Equality and The Process of National Development ; A Description of Pattern. Economic Development and Cultural Change, Vol.13, No. 4, Hal 3-45.
Lampiran 1. Data PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/kota se-pulau Sumatera (Rupiah).
KABUPATEN/KOTA 1993 1995 2001 2004 Aceh Selatan 1071542 1536435 4977168,82 5444980 Aceh Tenggara 896976 1442146 3212886,98 3579126 Aceh Timur 1585503 2147503 5878364,03 7286037 Aceh Tengah 1637789 2260141 5578888,27 5767033 Aceh Barat 1968609 1543644 4311504,29 4729899 Aceh Besar 1393542 1972934 5840176,18 6592498 Pidie 1043700 1478456 3145208,88 3412592 Aceh utara 8125143 8175940 29639008,86 30069602 Banda Aceh 1483548 1646844 6152215,53 6752778 Sabang 1665696 2237008 5197944,78 5792559 Nias 906682 1305516 3322389,21 3867358 Tapanuli Selatan 1322981 1804918 3979746,28 3523803 Tapanuli tengah 1250797 1583302 3019819,25 3400994 Tapanuli Utara 1123193 1480885 4424151,72 5131778 Labuhan Batu 1749615 2090619 7237095,93 8155933 Asahan 2344046 3121213 9808260,49 10888995 Simalungun 1633361 1981340 5257499,34 5788985 Dairi 850784 1302647 5557089,03 6260373 karo 1477025 1802442 8233152,67 8934605 Deli Serdang 1169047 1681717 6321760,47 7829186 Langkat 1954862 2315401 6086698,49 6443143 Sibolga 1894753 2724398 6066801,44 6752684 Tanjung Balai 2524697 3430943 7332637,7 8193792 Pemantang Siantar 2300066 3161646 6460842,13 7337394 Tebing Tinggi 2167716 3001621 6071608,95 6813151 Medan 2541367 3328578 11437781,23 12857576 Binjai 1413159 1950767 6036693,59 6847557 Pesisir Selatan 922960 1171581 3686840,56 3964788 Solok 1027436 1306236 4174193,98 4698609 Sawah lunto 1462122 1825894 5376976,51 5929691 Tanah Datar 1139113 1483204 5315914,63 5926525 Padang Pariaman 1187448 1624440 5014787,46 5679119 Agam 1237258 1561730 4805337,82 5371585 Lima Puluh Kota 1498507 1917556 5981239,13 6606695 Pasaman 873868 1106318 5079678,36 5633831 Padang 2685417 3427164 11057967,57 12468312 Solok 1789704 2244746 7903717,5 7987648 Sawah lunto 3374832 4985717 8989884,82 9615740 Padang panjang 1722911 2277690 6775439,85 7558429 Bukit Tinggi 1764960 2318520 7300715,22 7998363 payakumbuh 1440826 1895491 5668678,74 6414362 Indragiri Hulu 1414222 1476241 10354857,05 12762211 Indragiri hilir 1226562 1561324 7691824,13 8860397
Kepulauan Riau 4500374 6558051 10263733,13 10377084 Kampar 1093880 1375448 15487374,6 14630467 Lanjutan Lampiran 1. Data PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/kota se-pulau Sumatera (Rupiah).
Bengkalis 11137476 11749056 46544203,82 42490794 Pekan Baru 1700737 2039065 8522496,3 11174815 Batam 9845573 13067132 38667135,22 39978651 Kerinci 1047196 1330797 3880912,51 38302716 Bungo Tebo 802804 1050154 6358561 4743885 Sarolangun Bangko 865623 1104546 4081995,79 5642817 Batang Hari 1040421 1345177 4458791,84 4699939 Tanjung Jabung 1404145 1935309 15567322 10889367 Jambi 1604017 1967595 5412305,34 6076433 Ogan Komering Ulu 893153 1203336 4306549,03 4715509 Ogan Komering hilir 884541 1459091 3587075,06 3974183 Muara Enim 2338335 2964369 9968741,81 11099978 Lahat 938881 1236555 4131232,16 4597484 Musi Rawas 1302028 1313699 5373132,64 6151080 Musi Banyuasin 2115927 2381149 11998890,08 12580703 Bangka 1658538 2142882 7029136,79 8065785 Belitung 1650538 2160486 6630923,63 7491306 Palembang 2014073 2519192 9911895,98 11482413 Pangkal Pinang 1107418 1462813 6046733,38 6906003 Bengkulu Selatan 968386 1390655 2177085,63 2406060 Rejang Lebong 1216390 1797905 4500278,57 5021839 Bengkulu Utara 857085 1213446 2546541,57 27428600 Bengkulu 1552171 1935013 4686174,34 5349687 Lampung Selatan 681942 1390655 3388330,43 3792336 Lampung Tengah 853019 1165062 3947230,53 4331516 Lampung Utara 703113 1000882 4255369,75 4661968 Lampung Barat 522807 815238 3139581,79 3298886 Bandar Lampung 1794737 2188007 5570959,41 6264233 Sumber: BPS 2006
Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Kota Di Pulau Sumatera (Jiwa ).
KABUPATEN/KOTA 1993 1995 2001 2004 Aceh Selatan 258198 268468 305600 185704 Aceh Tenggara 185768 192565 216100 168229 Aceh Timur 585933 596858 669100 312014 Aceh Tengah 199634 221655 266800 285619 Aceh Barat 326900 336998 433900 160545 Aceh Besar 252437 261589 285500 301575 Pidie 420122 423465 506600 469888 Aceh utara 536446 541655 676900 487526 Banda Aceh 184650 198652 222700 239146 Sabang 24413 25654 24400 28692 Nias 588643 589451 699148 705989 Tapanuli Selatan 645463 655121 749003 772788 Tapanuli tengah 214353 223454 249668 289149 Tapanuli Utara 406244 411685 407831 418226 Labuhan Batu 733183 735125 863438 905888 Asahan 884203 886121 943822 1009856 Simalungun 805363 806251 863679 817555 Dairi 276980 284125 295323 299457 karo 264754 266555 287854 312300 Deli Serdang 1719390 1769825 2021021 2062451 Langkat 812141 829656 921911 941652 Sibolga 71559 72445 840034 86211 Tanjung Balai 107751 111551 136621 144616 Pemantang Siantar 219316 222112 245099 225444 Tebing Tinggi 116749 118262 126302 133655 Medan 1730052 1785112 1933746 1976654 Binjai 181866 194568 219122 226775 Pesisir Selatan 372593 373414 389480 417706 Solok 427463 428256 435950 457389 Sawah lunto 264287 267256 311580 343819 Tanah Datar 342139 345256 320960 339216 Padang Pariaman 447351 449256 71412 375538 Agam 407767 411256 414930 428433 Lima Puluh Kota 297256 295125 311820 324258 Pasaman 451151 464256 514990 555486 Padang 631263 658145 720780 784740 Solok 42702 43895 48680 55709 Sawah lunto 47924 49256 50750 53837 Padang panjang 38570 39565 40860 44699 Bukit Tinggi 83753 85156 92450 100254
payakumbuh 92739 93256 98599 104377 Indragiri Hulu 199160 222215 249242 282569 Indragiri hilir 477168 481365 557688 626229 Kepulauan Riau 241731 254165 360423 349789 Kampar 279768 280265 453359 527736 Bengkalis 407551 411656 523732 632637 Lanjutan Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Kota Di Pulau Sumatera (Jiwa ).
Pekan Baru 398621 400225 587729 666902 Batam 114080 115656 439131 526204 Kerinci 283495 296456 297454 305243 Bungo Tebo 360402 296545 243944 248227 Sarolangun Bangko 140511 141256 182117 195909 Batang Hari 154901 156254 194201 209817 Tanjung Jabung 362380 324125 398286 399441 Jambi 339786 340152 423891 229284 Ogan Komering Ulu 1013426 1012365 1170448 1096606 Ogan Komering hilir 771269 778565 986152 656828 Muara Enim 587257 598452 601255 611702 Lahat 629363 621256 670149 530304 Musi Rawas 512996 522224 641856 461809 Musi Banyuasin 904438 912521 441756 445756 Bangka 513826 515215 569125 570226 Belitung 192927 193256 204651 205651 Palembang 1144047 1152125 1394241 1293821 Pangkal Pinang 113129 114256 125319 125486 Bengkulu Selatan 325465 212252 127557 137568 Rejang Lebong 383100 325125 442568 244035 Bengkulu Utara 373979 381256 471302 318492 Bengkulu 222600 223662 293918 252199 Lampung Selatan 1065817 1125212 1142435 1187648 Lampung Tengah 1924473 1926568 1014084 1015218 Lampung Utara 506516 507256 534848 558981 Lampung Barat 352369 352256 371787 378545 Bandar Lampung 487083 491256 754847 761554 Sumber: BPS 2006
Lampiran 3. Data Pendidikan Kabupaten/kota Di lihat dari Jumlah Murid SMU (murid) KABUPATEN/KOTA 1995 2001 2004 Aceh Selatan 8112 9761 10200 Aceh Tenggara 2021 2162 2160 Aceh Timur 8616 10261 10729 Aceh Tengah 3763 5614 6790 Aceh Barat 2461 2752 3520 Aceh Besar 6263 8126 9795 Pidie 15421 17241 22867 Aceh utara 16241 17624 20772 Banda Aceh 2653 3474 3617 Sabang 976 1110 1121 Nias 7767 9920 9636 Tapanuli Selatan 9764 24728 9266 Tapanuli tengah 2763 5840 3764 Tapanuli Utara 15612 39310 15970 Labuhan Batu 16242 20081 13361 Asahan 13761 26211 17374 Simalungun 9696 10915 13928 Dairi 19261 23124 26006 karo 8212 11861 9168 Deli Serdang 44624 77490 25124 Langkat 9796 22918 11740 Sibolga 3168 6578 3828 Tanjung Balai 3212 4838 3705 Pemantang Siantar 12244 47372 16132 Tebing Tinggi 5126 15424 7136 Medan 56976 116117 67351 Binjai 8763 18666 11779 Pesisir Selatan 9767 13790 13861 Solok 7126 8239 9763 Sawah lunto 4624 5552 5624 Tanah Datar 7631 9656 98261 Padang Pariaman 12141 14860 14790 Agam 9612 10130 12121 Lima Puluh Kota 3676 5153 6264 Pasaman 8212 9179 9326 Padang 38461 44831 44941 Solok 5120 6034 6261
Sawah lunto 1784 2579 3021 Padang panjang 2165 4637 4712 Bukit Tinggi 10921 11351 13241 payakumbuh 7778 9378 9521 Indragiri Hulu 1765 2010 4294 Indragiri hilir 3264 5579 5236 Kepulauan Riau 3126 5695 2626 Kampar 4261 8176 4995 Bengkalis 5125 5624 10124 Lanjutan Lampiran 3. Data Pendidikan Kabupaten/kota Di lihat dari Jumlah Murid SMU (murid)
Pekan Baru 12645 18933 19999 Batam 5241 8530 5213 Kerinci 5168 8476 8462 Bungo Tebo 4217 5636 6764 Sarolangun Bangko 1636 1641 1758 Batang Hari 2164 2563 2468 Tanjung Jabung 3795 3561 3409 Jambi 18261 20451 23624 Ogan Komering Ulu 5616 6971 6885 Ogan Komering hilir 5216 6998 5769 Muara Enim 3641 5229 4636 Lahat 7842 8600 14287 Musi Rawas 3764 4277 5288 Musi Banyuasin 4444 6998 3026 Bangka 3612 4430 5283 Belitung 1821 1909 2448 Palembang 1263 14593 16351 Pangkal Pinang 2424 2700 2634 Bengkulu Selatan 5261 8483 6060 Rejang Lebong 6161 7261 7352 Bengkulu Utara 4721 6258 5297 Bengkulu 8679 10038 10094 Lampung Selatan 7776 8126 9264 Lampung Tengah 8326 8634 10641 Lampung Utara 8121 9992 11214 Lampung Barat 8916 9768 10431 Bandar Lampung 11642 13121 13841 Sumber: BPS 2006
Lampiran 4. Analisis Regresi Konvergensi Absolut
Regression Analysis: ln yi95/yi93 versus ln yi 93
The regression equation is ln yi95/yi93 = 1.52 - 0.0882 ln yi 93
Predictor Coef SE Coef T P Constant 1.5236 0.3481 4.38 0.000 ln yi 93 -0.08825 0.02448 -3.61 0.001
S = 0.114199 R-Sq = 15.5% R-Sq(adj) = 14.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 1 0.16953 0.16953 13.00 0.001 Residual Error 71 0.92594 0.01304 Total 72 1.09547
Unusual Observations
Obs ln yi 93 ln yi95/yi93 Fit SE Fit Residual St Resid 5 14.5 -0.2432 0.2446 0.0150 -0.4878 -4.31R 8 15.9 0.0062 0.1195 0.0436 -0.1133 -1.07 X 42 14.2 0.0429 0.2738 0.0134 -0.2309 -2.04R 46 16.2 0.0535 0.0917 0.0510 -0.0382 -0.37 X 48 16.1 0.2831 0.1025 0.0481 0.1805 1.74 X 59 14.1 0.0089 0.2811 0.0138 -0.2722 -2.40R 69 13.4 0.7126 0.3382 0.0233 0.3744 3.35R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: ln yi01/93 versus ln yi 93
The regression equation is ln yi01/93 = 3.88 - 0.173 ln yi 93
Predictor Coef SE Coef T P Constant 3.8821 0.9519 4.08 0.000
ln yi 93 -0.17333 0.06692 -2.59 0.012
S = 0.312235 R-Sq = 8.6% R-Sq(adj) = 7.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 1 0.65405 0.65405 6.71 0.012 Residual Error 71 6.92182 0.09749 Total 72 7.57587
Lanjutan Lampiran 4. Analisis Regresi Konvergensi Absolut
Unusual Observations Obs ln yi 93 ln yi01/93 Fit SE Fit Residual St Resid 8 15.9 1.2941 1.1243 0.1193 0.1698 0.59 X 45 13.9 2.6503 1.4719 0.0420 1.1784 3.81R 46 16.2 1.4301 1.0696 0.1395 0.3605 1.29 X 48 16.1 1.3680 1.0910 0.1316 0.2770 0.98 X 53 14.2 2.4057 1.4286 0.0368 0.9772 3.15R 65 13.8 0.8101 1.4930 0.0465 -0.6829 -2.21R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: ln yi04/93 versus ln yi 93
The regression equation is ln yi04/93 = 5.71 - 0.292 ln yi 93
Predictor Coef SE Coef T P Constant 5.713 1.300 4.39 0.000 ln yi 93 -0.29150 0.09139 -3.19 0.002
S = 0.426427 R-Sq = 12.5% R-Sq(adj) = 11.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 1 1.8498 1.8498 10.17 0.002 Residual Error 71 12.9107 0.1818 Total 72 14.7605
Unusual Observations
Obs ln yi 93 ln yi04/93 Fit SE Fit Residual St Resid 8 15.9 1.3086 1.0754 0.1629 0.2332 0.59 X 45 13.9 2.5934 1.6599 0.0573 0.9335 2.21R 46 16.2 1.3390 0.9835 0.1906 0.3555 0.93 X 48 16.1 1.4013 1.0194 0.1797 0.3819 0.99 X 49 13.9 3.5994 1.6726 0.0594 1.9268 4.56R 67 13.7 3.4658 1.7310 0.0710 1.7348 4.13R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Lampiran 5. Analisis Regresi Konvergensi Bersyarat
Regression Analysis: ln yi 95/93 versus ln yi 93, ln x1
The regression equation is ln yi 95/93 = 1.39 - 0.0882 ln yi 93 + 0.0152 ln x1
Predictor Coef SE Coef T P Constant 1.3911 0.3784 3.68 0.000 ln yi 93 -0.08822 0.02451 -3.60 0.001 ln x1 0.01515 0.01684 0.90 0.371
S = 0.114352 R-Sq = 16.4% R-Sq(adj) = 14.1%
Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 0.18012 0.09006 6.89 0.002 Residual Error 70 0.91535 0.01308 Total 72 1.09547
Source DF Seq SS ln yi 93 1 0.16953 ln x1 1 0.01059
Unusual Observations
Obs ln yi 93 ln yi 95/93 Fit SE Fit Residual St Resid 5 14.5 -0.2432 0.2310 0.0214 -0.4741 -4.22R 8 15.9 0.0062 0.1345 0.0468 -0.1283 -1.23 X 26 14.7 0.2698 0.2560 0.0421 0.0138 0.13 X 46 16.2 0.0535 0.0892 0.0512 -0.0357 -0.35 X 48 16.1 0.2831 0.1004 0.0483 0.1827 1.76 X 59 14.1 0.0089 0.2739 0.0159 -0.2649 -2.34R 69 13.4 0.7126 0.3419 0.0237 0.3707 3.31R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: lnyi01/93 versus ln yi 93, ln x1
The regression equation is lnyi01/93 = 3.87 - 0.174 ln yi 93 + 0.0015 ln x1
Predictor Coef SE Coef T P Constant 3.872 1.008 3.84 0.000 ln yi 93 -0.17352 0.06762 -2.57 0.012 ln x1 0.00146 0.04313 0.03 0.973
S = 0.314454 R-Sq = 8.6% R-Sq(adj) = 6.0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 2 0.65416 0.32708 3.31 0.042 Residual Error 70 6.92171 0.09888 Total 72 7.57587
Source DF Seq SS ln yi 93 1 0.65405 ln x1 1 0.00011 Lanjutan Lampiran 5. Analisis regresi Konvergensi Bersyarat
Unusual Observations
Obs ln yi 93 lnyi01/93 Fit SE Fit Residual St Resid 8 15.9 1.2941 1.1250 0.1221 0.1691 0.58 X 26 14.7 1.5042 1.3295 0.1207 0.1748 0.60 X 45 13.9 2.6503 1.4718 0.0423 1.1784 3.78R 46 16.2 1.4301 1.0686 0.1436 0.3615 1.29 X 48 16.1 1.3680 1.0906 0.1330 0.2773 0.97 X 53 14.2 2.4057 1.4273 0.0529 0.9784 3.16R 65 13.8 0.8101 1.4930 0.0469 -0.6829 -2.20R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: ln yi 04/93 versus ln yi 93, ln x1
The regression equation is ln yi 04/93 = 5.51 - 0.292 ln yi 93 + 0.0231 ln x1
Predictor Coef SE Coef T P Constant 5.510 1.419 3.88 0.000 ln yi 93 -0.29182 0.09196 -3.17 0.002 ln x1 0.02312 0.06238 0.37 0.712
S = 0.429042 R-Sq = 12.7% R-Sq(adj) = 10.2%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 2 1.8751 0.9376 5.09 0.009 Residual Error 70 12.8854 0.1841 Total 72 14.7605
Source DF Seq SS ln yi 93 1 1.8498 ln x1 1 0.0253