21
ANALISIS DAMPAK TERJADINYA SHOCK VARIABEL MONETER TERHADAP NON PERFORMING LOAN RATIO DI INDONESIA Arief Budiman Simon 1 Abstract This research focuses to analyze monetary variables shock’s impact to Indonesian’s NPL. Empirical studies have found short run connection between BI rate, inflation, exchange rate, and NPL ratio. Granger Causality tests found a bidirectional causality between NPL and BI rate, as soon as BI rate and inflation. An unidirectional causality also exist between inflation and exchange rate to NPL. Vector Auto Regression (VAR) seems to suggest Null hypothesis that is an monetary variables shock’s have a trivial effect to NPL. Processing result of VAR could be seen from impulse response and variance decomposition. Impulse response’s result shows that Non Performing Loans Ratio lead to have a positive response Inflation and Exchange rate shock. But, another result also shows that NPL lead to have a negative response to BI rate. Variance decomposition’s result found that Inflation and BI rate has the biggest influence to NPL. Keywords: monetary variables shock’s, BI rate, inflation, exchange rate, NPL, VAR. JEL Classification: E51, G21 Abstraksi Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak terjadinya shock variabel moneter terhadap rasio NPL di Indonesia. Studi empiris menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka pendek antara BI rate, inflasi, nilai tukar, dan rasio NPL. Uji kausalitas Granger menunjukkan terjadinya bidirectional causality antara NPL dan BI rate serta BI rate dan inflasi. Selain itu, unidirectional causality juga terjadi antara inflasi dan nilai tukar terhadap NPL. Vector Auto Regression (VAR) juga memberikan hasil yang mendukung hipotesis awal bahwa shock variabel moneter memiliki pengaruh yang kecil terhadap NPL. Hasil estimasi VAR dapat dilihat dari uji Impulse Response dan Variance Decomposition. Hasil Impulse Response menunjukkan bahwa terjadinya shock pada inflasi dan nilai tukar memberikan dampak positif terhadap perubahan NPL. Namun, di lain pihak NPL justru merespon negative ketika terjadi shock pada suku bunga acuan. Hasil Variance Decomposition menunjukkan bahwa inflasi dan suku bunga acuan (BI rate) memiliki kontribusi yang paling besar jika dibandingkan dengan kontribusi nilai tukar. Kata kunci : shock variabel moneter, BI rate, inflasi, nilai tukar, NPL, VAR. JEL Classification: E51, G21

Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

ANALISIS DAMPAK TERJADINYA SHOCK VARIABEL MONETER TERHADAP NON PERFORMING LOAN RATIO DI INDONESIA

Arief Budiman Simon 1

Abstract This research focuses to analyze monetary variables shock’s impact to

Indonesian’s NPL. Empirical studies have found short run connection between BI rate, inflation, exchange rate, and NPL ratio. Granger Causality tests found a bidirectional causality between NPL and BI rate, as soon as BI rate and inflation. An unidirectional causality also exist between inflation and exchange rate to NPL. Vector Auto Regression (VAR) seems to suggest Null hypothesis that is an monetary variables shock’s have a trivial effect to NPL. Processing result of VAR could be seen from impulse response and variance decomposition. Impulse response’s result shows that Non Performing Loans Ratio lead to have a positive response Inflation and Exchange rate shock. But, another result also shows that NPL lead to have a negative response to BI rate. Variance decomposition’s result found that Inflation and BI rate has the biggest influence to NPL.

Keywords: monetary variables shock’s, BI rate, inflation, exchange rate, NPL, VAR. JEL Classification: E51, G21

Abstraksi

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak terjadinya shock variabel moneter terhadap rasio NPL di Indonesia. Studi empiris menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka pendek antara BI rate, inflasi, nilai tukar, dan rasio NPL. Uji kausalitas Granger menunjukkan terjadinya bidirectional causality antara NPL dan BI rate serta BI rate dan inflasi. Selain itu, unidirectional causality juga terjadi antara inflasi dan nilai tukar terhadap NPL. Vector Auto Regression (VAR) juga memberikan hasil yang mendukung hipotesis awal bahwa shock variabel moneter memiliki pengaruh yang kecil terhadap NPL. Hasil estimasi VAR dapat dilihat dari uji Impulse Response dan Variance Decomposition. Hasil Impulse Response menunjukkan bahwa terjadinya shock pada inflasi dan nilai tukar memberikan dampak positif terhadap perubahan NPL. Namun, di lain pihak NPL justru merespon negative ketika terjadi shock pada suku bunga acuan. Hasil Variance Decomposition menunjukkan bahwa inflasi dan suku bunga acuan (BI rate) memiliki kontribusi yang paling besar jika dibandingkan dengan kontribusi nilai tukar.

Kata kunci : shock variabel moneter, BI rate, inflasi, nilai tukar, NPL, VAR.

JEL Classification: E51, G21

Page 2: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

I. LATAR BELAKANG

Peran utama dari keberadaan lembaga keuangan dalam suatu negara adalah fungsi intermediarisnya, yaitu menyalurkan kembali dana yang telah dihimpun dari masyarakat (Dana Pihak Ketiga) dalam bentuk pinjaman atau kredit kepada sektor-sektor usaha riil dalam upaya pengembangan atau ekspansi atas usahanya. Artinya, melalui fungsi intermediasi tersebut, sektor keuangan haruslah berperan sebagai agen dalam mempercepat pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat baik berupa pengadaan lapangan pekerjaan baru di sektor riil maupun peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat.

Stabilitas sistem keuangan secara langsung memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto suatu negara. Hal ini dibuktikan dengan keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika terjadi krisis moneter di tahun 1997-1998. Pada saat itu depresiasi rupiah yang besar telah mengakibatkan inflasi yang tinggi selama lima bulan pertama tahun 1998. Selain itu kondisi keuangan sistem perbankan makin merosot seiring dengan makin dalamnya krisis ekonomi. Tekanan pada nilai tukar dan cadangan devisa juga semakin berat dengan tidak diakuinya kredit perdagangan dan kredit lainnya dari perbankan Indonesia oleh bank-bank asing.

Salah satu kutipan mengenai definisi stabilitas sistem keuangan yang dikutip oleh Bank Indonesia adalah :

” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.”

Hal ini dapat uraikan bahwa stabilitas sistem keuangan akan tercermin dari tingkat harga yang stabil, alokasi dana yang tepat, serta pengelolaan risiko yang minimum sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan baik. Kestabilan tingkat harga maupun pengalokasian dana yang tepat dapat dicapai dengan berbagai jalan kebijakan, salah satunya adalah kebijakan moneter. Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan moneter adalah kebijakan dari bank sentral dalam mengendalikan variabel moneter untuk menggapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Perekonomian yang diinginkan dengan maksud untuk meningkatkan pertumbuhan output dan atau terpeliharanya stabilitas harga (Rahardja dan Manurung, 2001:359).

Keadaan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah kurang efisiensinya penyebaran dana melalui kredit terhadap sektor yang membutuhkan sebagai dampak dari krisis finansial global. Untuk memulihkan kembali sektor perekonomian, saat ini pemerintah sedang melakukan kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif mulai dari penurunan pajak hingga menurunkan tingkat suku bunga. Semua dilakukan dengan tujuan memperbesar proporsi kredit untuk menjaga agar perekonomian tetap berjalan. Walaupun suku bunga acuan telah turun sampai ke posisi dibawah 7%, pada awalnya suku bunga kredit masih belum mengalami penurunan. Hal ini berdampak pada penurunan permintaan kredit. Namun diperkirakan dalam waktu dekat suku bunga

Page 3: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

kredit akan mengalami penurunan. Hal ini diungkapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil survei kepada pengelola 44 bank di Indonesia.

Lambatnya reaksi penurunan suku bunga kredit setelah bank sentral menurunkan suku bunga acuannya diperkirakan karena masih tingginya risiko kredit yang ada di Indonesia. Hal ini menyebabkan perbankan lebih hati-hati dalam mengucurkan dana yang telah dihimpun sehingga para pihak yang membutuhkan dana untuk melakukan siklus usaha menjadi kesulitan. Padahal penurunan BI Rate pada akhirnya dimaksudkan untuk menurunkan bunga kredit, sehingga akan mendorong perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang produktif, sehingga perekonomian Indonesia akan mampu bertahan di tengah gelombang krisis global.

Ketika BI Rate sudah menyentuh 7,75%, penurunan BI Rate ini baru direspons perbankan dengan menurunkan bunga kredit sebesar 0,05% sejak awal tahun ini. Secara umum, suku bunga kredit pada akhir Desember 2008 mencapai 14,2% dan pada pekan kedua Maret 2009 turun tipis menjadi 13,93%. Hal ini memberikan gambaran bahwa walaupun tingkat suku bunga acuan telah turun, namun perbankan masih belum dapat percaya bahwa penurunan tersebut juga diiringi penurunan risiko kredit.

Grafik1. Pergerakan BI Rate, Inflasi, dan NPL di tahun 2008 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Risiko kredit tercermin dari rasio non performing loan atau yang biasa disebut dengan kredit macet. Perbankan menilai bahwa pergerakan variabel moneter saat ini sewaktu-waktu dapat mempengaruhi tingkat rasio kredit macet sehingga institusi keuangan tersebut enggan menurunkan suku bunga kreditnya secara signifikan. Data tahun 2008 memperlihatkan bahwa pergerakan rasio NPL di tahun tersebut stabil dan mengalami penurunan, walaupun inflasi dan BI rate meningkat di pertengahan tahun dan kembali menurun di akhir tahun 2008.

Studi ini bertujuan untuk meneliti dampak yang akan ditimbulkan apabila terjadi shock terhadap variabel moneter dalam perekonomian. Dampak yang dimaksud adalah

Page 4: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

dampak yang akan ditimbulkan dari terjadinya shock tersebut terhadap risiko kredit yang tercermin dari rasio NPL. Shock variabel moneter yang dimaksud dalam paper ini mencakup tingkat suku bunga acuan, inflasi, dan nilai tukar. Selanjutnya akan diteliti tentang shock dari masing-masing variabel tersebut dan dampaknya terhadap pergerakan rasio NPL di Indonesia sehingga dapat diketahui sasaran kebijakan moneter yang tepat untuk menurunkan risiko kredit tersebut.

II. LANDASAN TEORI

II.1 Pengertian Stabilitas Keuangan

Menurut Sutton dan Tosovsky (dalam Arifin, 2007) dijelaskan bahwa stabilitas keuangan adalah situasi dimana sistem keuangan dapat: (i) mengalokasikan sumber daya secara efisien ke dalam kegiatan produktif pada waktu yang berbeda-beda; (ii) memprediksi dan mengukur risiko finansial, dan (iii) menyerap shocks. Maksudnya, stabiltas sistem keuangan meliputi efisiensi dan ketahanan sistem keuangan yang notabene merupakan konsep yang kompleks. Kestabilan sistem keuangan tidak hanya bergantung pada institusi keuangan secara individu, melainkan juga bergantung pada interaksi yang kompleks antara lembaga keuangan, sektor riil, dan pasar keuangan.

Perbedaan stabilitas keuangan dari stabilitas moneter mengacu pada stabilitas harga-harga secara umum. Menurut Croket (dalam Arifin, 2007) financial instability akan memberi dampak negatif pada efektivitas kebijakan moneter (monetary stability) apabila perbankan tidak dapat mentransmisikan kebijakan moneternya dengan baik. Secara teoritis, pada ekonomi tertutup kebijakan moneter memiliki kaitan erat dengan stabilitas keuangan. Hal ini disebabkan pada ekonomi tertutup tidak ada faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter dalam neger sehingga pengaruh kebijakan moneter terhadap stabilitas keuangan dalam negeri menjadi sangat dominan. Sebaliknya, dalam perkonomian terbuka, keterkaitan antara kebijakan moneter dengan stabilitas keuangan menjadi semakin longgar. Hal ini disebabkan adanya gangguan eksternal terhadap perekonomian dalam negeri sehingga diperlukan kebijakan pendukung, yaitu kebijakan fiskal, untuk meminimalisir kelonggaran hubungan antara kebijakan moneter dengan stabilitas sistem keuangan.

II.2. Suku Bunga

Suku bunga merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam kebijakan moneter (Nopirin, 1992:46). Sementara itu, Blanchard (2006:544) menyebutkan bahwa suku bunga dapat digunakan sebagai nominal anchor dalam kebijakan moneter jalur inflation targeting. Oleh karena itu bank sentral lebih cenderung menggunakan instrumen tersebut dibandingkan menggunakan money supply. Suku bunga juga memiliki korelasi dengan tingkat inflasi dan tingkat penggangguran. Hal tersebut dijelaskan oleh Taylor dalam Taylor rule yang menyatakan bahwa dalam usaha menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka pendek dan mencapai laju inflasi yang rendah dalam jangka panjang sebaiknya menggunakan suku bunga sebagai instrumen utama. Rumus Taylor rule adalah sebagi berikut :

Page 5: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

nttt uubaii ........................................................... 2.1

Dimana :

it : Suku bunga nominal

i* : Suku bunga nominal yang diharapkan (target)

π : Tingkat inflasi

π* : Tingkat inflasi yang diharapkan (target)

ut : Tingkat pengangguran

un : Tingkat pengangguran alami

a : Koefisien yang merefleksikan seberapa besar bank sentral mempengaruhi inflasi daripada tingkat pengangguran.

b : Koefisien yang merefleksikan seberapa besar bank sentral mempengaruhi tingkat pengangguran relatif terhadap inflasi.

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa bank sentral dapat menetapkan suku bunga saat ini dengan suku bunga yang diharapkan (it = i*) jika inflasi saat ini sama dengan inflasi yang diharapkan (π = π*) dan tingkat pengangguran juga sama dengan pengangguran alami (ut = un). Akan tetapi, jika inflasi yang terjadi lebih besar dari yang diharapkan, maka bank sentral akan cenderung untuk meningkatkan suku bunga nominal yang selanjutnya dapat mendorong peningkatan jumlah pengangguran dan menurunkan tingkat inflasi.

II.3. Inflasi

McEachern (2000:133-134) menyatakan bahwa inflasi merupakan kenaikan terus menerus dalam tingkat harga suatu perekonomian akibat adanya kenaikan permintaan agregat atau penurunan penawaran agregat. Inflasi yang timbul akibat kenaikan permintaan agregat disebut dengan demand-pull inflation. Sedangkan inflasi yang terjadi akibat penurunan penawaran agregat disebut dengan cost-push inflation.

Secara umum, besaran inflasi dapat dihitung dengan menggunakan indeks harga yang diukur dari Consumer Price Index (CPI), Producer Price Index (PPI), atau NPL Deflator (Miller, 2001:154). Nilai CPI diperoleh dari perbandingan antara biaya seperangkat barang dan jasa pada tahun tertentu dengan biaya seperangkat barang dan jasa pada tahun dasar (Frank, 2004:140). PPI merupakan penghitungan harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh suatu perusahaan. NPL deflator menunjukkan perubahan tingkat harga pada semua barang dan jasa baru yang diproduksi dalam perekonomian. NPL deflator dapat diperoleh dari perbandingan antara NPL nominal dengan NPL riil pada harga konstan (Nopirin, 1992:4).

Page 6: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

II.4. Nilai Tukar

Blanchard (2006:378-382) menyebutkan bahwa nilai tukar dapat dibedakan menjadi nilai tukar nominal dan riil. Nilai tukar nominal (E) merupakan harga mata uang dalam negeri relatif terhadap mata uang luar negeri. Sedangkan nilai tukar riil diperoleh dari perbandingan antara hasil kali nilai tukar nominal dan tingkat harga domestik dengan tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil dapat dirumuskan ke dalam persamaan berikut :

*PEP

........................................................................................... 2.2

Samuelson (2001:319-320) menyebutkan bahwa terdapat tiga macam sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap, mengambang bebas, dan mengambang terkendali. Sistem nilai tukar tetap adalah sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang ditetapkan oleh bank sentral. Sistem nilai tukar mengambang bebas merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang sepenuhnya ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Sedangkan sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan mekanisme pasar yang disesuaikan dengan batas pita intervensi yang ditetapkan bank sentral.

II.5. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai efek dari kebijakan moneter terhadap pengambilan risiko kredit telah dilakukan oleh Gabriel Jimenez, Banco de Espana di tahun 2008. Salah satu dari kesimpulan penelitian tersebut adalah dalam jangka pendek, tingkat suku bunga yang rendah akan mengakibatkan total risiko kredit menurun dan memperkecil kemungkinan terjadinya credit crunch. Namun dalam jangka menengah, suku bunga yang rendah akan menyebabkan total risiko kredit dalam suatu perekonomian menjadi meningkat. Penelitian mengenai respon suku bunga dan kredit bank di Bali terhadap kebijakan moneter oleh R. Aga Nugraha pada tahun 2007. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perubahan suku bunga acuan direspon secara cepat oleh suku bunga simpanan namun direspon secara lambat oleh suku bunga pinjaman. Secara umum, penurunan suku bunga lebih responsif dibandingkan dengan kenaikkan suku bunga. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dan inflasi mempengaruhi penyaluran kredit secara positif sementara suku bunga acuan berpengaruh negatif. III. METODOLOGI DAN DATA III. 1 Metode Analisa III. 1. 1 Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Test)

Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner). Nonstationary seri akan menciptakan kondisi spurious regression yang ditandai oleh

Page 7: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

tingginya koefisien determinasi, R2 dan t statistic tampak signifikan, tetapi penafsiran hubungan seri ini secara ekonomi akan menyesatkan. Sebuah seri dikatakan stasioner, jika seluruh moment dari seri tersebut (rata-rata, varians dan kovarians) konstan sepanjang periode waktu. Augmented Dickey–Fuller Test (ADF test) merupakan prosedur standar, untuk menguji hipotesis nol (H0) adanya akar unit (seri tidak stasioner) terhadap hipotesis alternatif (H1) sebuah seri stasioner (Gujarati, 2008). Jika Yt adalah seri dengan panjang lag p, maka:

p

itititt YYY

1110

Dimana :

∆Yt = Bentuk dari first difference

α0 = Intersep

Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya

P = Panjang lag yang digunakan dalam model

ε = Error term

III. 1. 2 Penentuan Lag Optimal

Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji stasioneritas adalah penentuan lag optimal. Haris (1995) menjelaskan bahwa jika lag yang digunakan dalam uji stasioneritas terlalu sedikit, maka residual dari regresi tidak akan menampilkan proses white noise sehingga model tidak dapat mengestimasi actual error secara tepat. Akibatnya γ dan standar kesalahan tidak diestimasi secara baik. Namun jika memasukkan terlalu banyak lag maka dapat mengurangi kemampuan untuk menolak Ho karena tambahan parameter yang terlalu banyak akan mengurangi degress of freedom. Dalam penentuan lag optimal dengan menggunakan beberapa kriteria informasi , maka dipilih kriteria yang mempunyai final prediction error corection (FPE) atau jumlah dari AIC, SIC, dan HQ paling kecil di antara berbagai lag yang diajukan. III. 1. 3 Uji Kausalitas Granger Metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger ditujukan untuk melihat arah hubungan antar variabel suku bunga acuan, inflasi, nilai tukar dan non performing loan ratio.

Page 8: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

III. 1. 4 Uji Kointegrasi

Widarjono (2007) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi adalah dengan metode Johansen. Uji kointegrasi metode Johansen dapat dianalisis melalui model autoregressive dengan ordo P yang ditunjukkan oleh persamaan berikut :

ttptptt ByAyAy ........11 Dimana :

ty : vektor-k pada variabel-variabel yang tidak stasioner

t : vektor-d pada variabel deterministik

t : vektor inovasi Selanjutnya, persamaan tersebut dapat ditulis ulang menjadi :

ttit

p

iitt Byyy

1

11

Dimana

p

ii IA

1,

p

ijji A

1

Representasi teori Granger menyebutkan bahwa koefisien matriks memiliki

k reduce rank yang mempunyai k matriks dan dengan rank , seperti dan ty yang merupakan 0 . merupakan bilangan kointegrasi (rank),

sedangkan tiap kolom menunjukkan vektor kointegrasi. lebih dikenal dengan parameter penyesuaian pada VECM. Selanjutnya, metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil reduced rank dapat diterima atau tidak. Selanjutnya dalam pengujian reduce rank tersebut, Johansen menggunakan dua tes statistik yang berbeda yaitu trace test trace dan maximum eigenvalue test max . Trace test menguji H0 pada persamaan kointegrasi sebagai kointegrasi alternatif dari persamaan kointegrasi-k, dimana k merupakan bilangan variabel endogen untuk

1,.....,1,0 k . Pengujian H0 melalui trace test dapat ditunjukkan melalui persamaan berikut :

k

riitr TkLR

1

1log

Page 9: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Dimana i merupakan eigenvalue terbesar dari matriks . Sedangkan maximum eigenvalue test menguji H0 pada persamaan kointegrasi sebagai kointegrasi alternatif dari persamaan kointegrasi-k+1. Pengujian H0 melalui maximum eigenvalue test dapat ditunjukkan melalui persamaan berikut :

1max kLR 11log rT

1,...,1,0;1 kkLRkLR trtr III. 1. 5 Estimasi VAR

Metode Vector Autoregression (VAR) pertama kali dikembangkan oleh Christoper Sims (1980). Kerangka analisis yang praktis dalam model ini akan memberikan informasi yang sistematis dan mampu menaksir dengan baik informasi dalam persamaan yang dibentuk dari data time series. Selain itu perangkat estimasi dalam model VAR mudah digunakan dan diintepretasikan. Perangkat estimasi yang akan digunakan dalam model VAR ini adalah fungsi impulse respon dan variance decompotition.

Ada beberapa keuntungan dari VAR (Gujarati, 1995:387) yaitu :

1. VAR mampu melihat lebih banyak variabel dalam menganalisis fenomena ekonomi jangka pendek dan jangka panjang.

2. VAR mampu mengkaji konsistensi model empirik dengan teori ekonometrika.

3. VAR mampu mencari pemecahan terhadap persoalan variabel runtun waktu yang tidak stasioner ( non stasionary ) dan regresi lancung ( spurious regresion ) atau korelasi lancung ( spurious correlation ) dalam analisis ekonometrika.

Unrestricted VAR adalah bentuk VAR yang tidak terrestriksi. Bentuk restriksi ini terkait erat dengan permasalahan kointegrasi dan hubungan teoritis. Jika data yang digunakan di dalam pembentukkan VAR stasioner pada tingkat level, bentuk VAR yang digunakan adalah VAR tanpa restriksi. Jika data yang digunakan di dalam pembentukkan VAR stasioner pada tingkat first difference, bentuk VAR yang digunakan VAR in level.

III. 1. 6 Fungsi Impulse Response

Widarjono (2007) menjelaskan bahwa analisis impulse response ini digunakan untuk melacak respons dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel gangguan (e). Impulse response dalam penelitian ini difokuskan untuk mengetahui respon RBI, INF, EXR, dan NPL apabila terdapat shock uRBI, uINF, uEXR, dan uNPL.

Page 10: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

III. 1. 7 Variance Decomposition

Analisis variance decomposition atau Forecast Error decomposition of variance ini menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena adanya shocks (Widarjono, 2007, hal. 383). Variance decomposition berguna untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR. Dalam penelitian ini, variance decomposition ditujukan untuk mengetahui proporsi varians σRBI(n)2, σINF(n)2, EXR(n)2, dan NPL(n)2 karena shock uRBI, uINF, uEXR, dan uNPL.

III. 2 Data dan Definisi Variabel

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa data time series dari bulan Juli 2005 sampai Juni 2009 yang dihimpun secara bulanan. Data tersebut bersumber dari Statistik Indonesia terbitan Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia serta Statistik Perbankan Indonesia yang telah diolah kembali.

Prosedur pengumpulan data dilaksanakan dengan metode dokumenter. Semua data yang diperlukan dikutip dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas. Setelah itu, semua data didokumentasikan dengan berlandas pada literatur-literatur yang mendukung. Rasio Non Performing Loans (NPL) digunakan sebagai indikator risiko kredit. Variabel moneter yang digunakan mencakup suku bunga acuan Bank Indonesia(RBI), tingkat inflasi Indonesia (INF), dan rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap dolar (EXR).

IV. HASIL DAN ANALISIS IV. 1. Uji Stasioneritas (Unit Root Test)

Berdasarkan uji akar unit, keseluruhan variabelnya baru stasioner setelah didiferensiasikan pada orde pertama. Uji dilakukan pada tingkat none. Berikut hasil dari uji akar unit pada semua variabel pada first difference :

Variabel ADF t-Statistik Lag

MacKinnon Critical Value 1% 5% 10%

RBI *-2.173943 0 -2.616203 -1.612320 -1.612320

INF *-5.549012 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320 EXR *-6.134623 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320 NPL *-6.962101 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320

Tabel 1.Hasil Uji Akar Unit BerdasarkanADF Statistik Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1 Catatan : * Signifikan pada α = 5%

Page 11: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

IV. 2 Penentuan Lag Length Optimal

Penentuan lag length optimal pada penelitian ini menggunakan pemilihan kriteria informasi dengan metode Final Prediction Error (FPE), Aike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn (HQ). Dari hasil uji tersebut dapat diketahui bahwa Eviews 4.1 telah merekomendasikan lag optimal pada model VAR tersebut. Hasil menunjukkan bahwa jumlah lag optimal yang direkomendasikan adalah lag 2. Proses pengujian dalam penentuan lag length optimal pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak Eviews versi 4.1 seperti pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 2. Hasil Pengujian Lag Length Optimal Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

IV. 3 Uji Kausalitas Granger

Uji Granger menunjukkan bahwa terdapat dua hubungan kausalitas dua arah pada persamaan Granger model 1. Hubungan kausalitas dua arah pertama terjadi dari variabel BI rate terhadap NPL (Non Performing Loans) pada α = 5%. Hubungan kausalitas dua arah kedua terjadi dari variabel BI rate terhadap Inflasi pada α = 5%. Sedangkan terdapat dua hubungan kausalitas satu arah pada persamaan Granger model 1. Hubungan kausalitas satu arah pertama terjadi dari variabel Inflasi terhadap NPL pada α = 1%. Sedangkan hubungan kausalitas satu arah kedua terjadi dari variabel NPL terhadap EXR (Nilai Tukar) pada α = 10%.

Model 1 Lag FPE AIC SC HQ 0 6822951.

27.08728

27.24787

27.14715

1 5137.772

19.89220

20.69516

20.19153

2 1868.948*

18.86278*

20.30811* 19.40158*

3 2397.545

19.06599 21.15369

19.84426

Hipotesis Nol (Ho) Probabilitas RBI does not Granger Cause NPL 0.03637 NPL does not Granger Cause RBI 0.02967 RBI does not Granger Cause INF 2.9E-05 INF does not Granger Cause RBI 0.04311 NPL does not Granger Cause INF 0.47653 INF does not Granger Cause NPL 0.00619 RBI does not Granger Cause EXR 0.77023 EXR does not Granger Cause RBI 0.40817

Page 12: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Tabel 3. Hasil Pengujian Granger Causility Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

IV. 4 Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kestabilan jangka panjang (long run equilibrium) diantara variabel-variabel yang diamati. Uji kointegrasi dalam penelitian menggunakan pendekatan Johansen.

Date: 09/10/09 Time: 18:53 Sample(adjusted): 2005:10 2009:06 Included observations: 45 after adjusting endpoints Trend assumption: No deterministic trend Series: EXR INF NPL RBI Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test

Hypothesized Trace 5 Percent 1 Percent No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value

None 0.359428 37.47918 39.89 45.58 At most 1 0.215207 17.43648 24.31 29.75 At most 2 0.135099 6.531376 12.53 16.31 At most 3 1.75E-06 7.88E-05 3.84 6.51

*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels

Hypothesized Max-Eigen 5 Percent 1 Percent No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value

None 0.359428 20.04270 23.80 28.82 At most 1 0.215207 10.90510 17.89 22.99 At most 2 0.135099 6.531297 11.44 15.69 At most 3 1.75E-06 7.88E-05 3.84 6.51

*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):

EXR INF NPL RBI -0.000361 -0.743070 -0.483825 1.501823 -0.000693 -0.339684 -1.459304 1.913761 0.000161 -0.152977 0.022388 -0.092750 0.000546 0.161579 -0.041575 -0.646878

Tabel 4. Hasil Uji Kointegrasi Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

NPL does not Granger Cause EXR 0.07135 EXR does not Granger Cause NPL 0.30123 INF does not Granger Cause EXR 0.99104 EXR does not Granger Cause INF 0.58429

Page 13: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa tidak terjadi hubungan kointegrasi dalam model pertama. Pada tabel hasil estimasi uji kointegrasi dapat diketahui bahwa nilai Trace Statistic dan Max Eigen Statistic masing-masing lebih kecil daripada Critical Valuenya baik pada tingkat 5% maupun 1%. Setelah diketahui tidak terdapat hubungan kointegrasi pada tiap variabel, maka dapat dipastikan bahwa model yang digunakan adalah VAR (Vector Auto Regression) bentuk diferensi.

IV. 5 Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi

Setelah dilakukan pengolahan data melalui model VAR bentuk diferensi dengan menggunakan software E-Views maka hasilnya dapat diketahui sebagai berikut :

Page 14: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Tabel 5. Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Pada umumnya, hasil koefisien pada persamaan VAR di atas sulit untuk diintepretasikan sehingga banyak praktisi menyarankan menggunakan impulse respon function. IV. 6 Hasil Impulse Response

Pembahasan mengenai impulse response pada persamaan VAR bentuk diferensi difokuskan pada respon variabel NPL terhadap shock variabel BI rate, Inflasi, dan Nilai tukar. Sumbu horisontal menunjukkan periode waktu, dimana satu periode mewakili satu bulan. Sedangkan sumbu vertikal menunjukkan perubahan NPL akibat shock variabel tertentu, dimana perubahan ini dinyatakan dalam satuan SE (Standart Error).

Page 15: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Gambar 1. Respon NPL terhadap shock BI rate Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa shock variabel BI rate direspon negatif dari periode kedua sebesar -0,0946SE terhadap NPL. Namun pada periode ketiga terjadi respon positif 0,0148% dan terus meningkat pada periode keempat hingga mencapai 0,0620SE.Selanjutnya secara bertahap menuju ke titik equilibrium pada periode kesepuluh.

NPL merespon negatif terhadap shock BI rate di awal periode, hal ini disebabkan karena pergerakan BI rate mencerminkan tingkat risiko dalam perekonomian yang bersangkutan. Ketika bank sentral meningkatkan BI rate hal ini mencerminkan bahwa tingkat inflasi dalam perekonomian tersebut mengalami kenaikkan.

Dalam jangka pendek hal ini direspon oleh perbankan dengan meningkatkan suku bunga kredit sehingga permintaan terhadap kredit turun untuk sementara waktu. Hal ini menyebabkan turunnya risiko kredit yang tercermin dari rasio NPL. Namun seiring berjalannya waktu, risiko kredit kembali meningkat karena suku bunga kredit yang meningkat menyebabkan debitur kesulitan dalam melunasi kreditnya. Respon NPL tersebut kemudian berangsur-angsur kembali ketitik equilibrium pada periode ke 10.

Gambar 2. Respon NPL terhadap shock Inflasi Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1

Page 16: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Dari gambar tersebut, diketahui bahwa NPL merespon positif terhadap shock yang ditimbulkan oleh inflasi. Ketika terjadi guncangan inflasi, maka nilai riil mata uang yang bersangkutan akan menurun.

Hal ini karena jumlah uang yang beredar melebihi jumlah barang. Merespon shock tersebut, terjadi peningkatan pada rasio NPL di periode kedua sebesar 0,024SE hingga puncaknya di periode ketiga sebesar 0,11SE. Namun setelah periode ketiga, respon NPL kembali melemah hingga akhirnya kembali ketitik ekuilibrium pada periode ke 8 hingga periode akhir.

Gambar 3. Respon NPL terhadap shock nilai tukar Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1

Respon NPL terhadap shock nilai tukar dalam jangka pendek tidak begitu signifikan dan berangsur mulai stabil di periode ke 7. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pinjaman atau kredit dalam bentuk mata uang asing adalah pinjaman berjangka waktu panjang, sehingga shock nilai tukar dalam jangka pendek kurang mendapat respon yang signifikan oleh rasio NPL.

Page 17: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

IV. 7 Hasil Variance Decomposition

Hasil variance decomposition pada persamaan VAR bentuk diferensi difokuskan pada konstribusi shock variabel BI rate, inflasi, dan nilai tukar terhadap rasio NPL. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1

Pada periode pertama varians NPL yang dijelaskan oleh variabel itu sendiri sebesar 98,47%. Pada periode kedua, varians NPL dapat dijelaskan oleh variabel itu sendiri sebesar 91,54%. Sisanya dijelaskan oleh variabel BI rate sebesar 6,37%, inflasi sebesar 0,9614% dan nilai tukar sebesar 1,11%. Kontribusi variabel BI rate dalam menjelaskan varians NPL mulai stabil dari periode ke empat hingga periode ke sepuluh, yakni berkisar di tingkat 8%.

Sedangkan kontribusi variabel Inflasi terhadap varians NPL mulai meningkat drastis di periode ke tiga di tingkat 9,81% dan besarnya stabil hingga periode ke sepuluh di kisaran 9,92%.

Kontibusi variabel nilai tukar dimulai pada tingkatan 0,95% pada periode pertama dan kemudian meningkat hingga kisaran 2,06% di periode ke tiga. Setelah itu tidak mengalami perubahan yang signifikan hingga periode ke sepuluh berada di tingkat 2,37%.

Kontribusi total ketiga variabel moneter tersebut dalam jangka pendek terhadap perubahan NPL hanya sebesar 21%. Sebanyak kurang lebih 79% varians NPL dipengaruhi oleh variabel NPL sendiri. Variabel suku bunga acuan hanya memiliki kontribusi sekitar 9%, begitu juga dengan variabel inflasi. Sedangkan variabel nilai tukar memiliki kontribusi terkecil, yakni sebesar 2% dalam periode akhir.

Period S.E. D(EXR) D(INF) D(NPL) D(RBI) 1 442.8265 0.955048 0.573012 98.47194 0.000000 2 453.4841 1.116010 0.961456 91.54621 6.376321 3 474.5919 2.060039 9.818978 82.26012 5.860865 4 477.3495 2.156521 9.693013 80.05429 8.096173 5 478.3245 2.246004 9.757910 79.84434 8.151749 6 478.5255 2.371952 9.928441 79.54892 8.150689 7 478.5618 2.369469 9.927476 79.45191 8.251146 8 478.5820 2.373806 9.926326 79.43735 8.262521 9 478.5874 2.373860 9.929176 79.43450 8.262460

10 478.5879 2.374554 9.929456 79.43149 8.264503

Page 18: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

IV. 8 Tinjauan Kualitatif Selama kurun waktu 2008 – 2009, suku bunga kredit sangat lambat dalam merespon perubahan suku bunga acuan. Hal ini diperkirakan karena perbankan masih ragu terhadap tingkat risiko kredit di Indonesia sehingga respon perubahan suku bunga kredit berjalan lambat. Selain itu, kondisi ekonomi makro juga dinilai belum stabil dan dapat menyebabkan risiko kredit meningkat, yang tercermin dari rasio Non Performing Loans di Indonesia. Gambaran kondisi hingga saat ini dapat diketahui dari grafik berikut :

Grafik2. Laju BI Rate, Inflasi, dan NPL sejak quartal 3 tahun 2005 hingga quartal 2 tahun 2009. Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Laju rasio NPL dari kuartal ketiga tahun 2005 secara positif merespon inflasi. Ketika laju inflasi mengalami peningkatan di tahun 2006, NPL merespon hal serupa. Begitu juga dengan pergerakan BI rate. Walaupun terkadang respon NPL terhadap perubahan BI rate bersifat negatif. Seperti pada pergerakan NPL, BI rate, dan inflasi di tahun 2008 hingga 2009. Ketika inflasi mengalami peningkatan, begitu juga dengan respon suku bunga acuan yang mengikuti pergerakan inflasi, laju NPL merespon negatif, mengalami penurunan dan kemudian kembali meningkat di kuartal pertama dan kedua tahun 2009. Hal ini menjelaskan bahwa masih banyak faktor di luar konteks variabel moneter yang mempengaruhi laju NPL itu sendiri.

Page 19: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Paper ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya shock variabel moneter terhadap NPL di Indonesia, dimana variabel moneter mencakup suku bunga acuan, inflasi, dan nilai tukar. Tingkat suku bunga kredit yang sulit untuk mengalami penurunan, diperkirakan disebabkan oleh risiko kredit yang masih tinggi yang tercermin dari rasio NPL. Guncangan variabel moneter sendiri dikhawatirkan berdampak pada peningkatan NPL sehingga perbankan makin enggan untuk menurunkan tingkat suku bunga kreditnya.

Hasil uji kausalitas granger menyimpulkan bahwa terdapat dua hubungan kausalitas dua arah, yakni antara variabel NPL dengan BI rate dan antara variabel BI rate dengan Inflasi. Hal ini mengindikasikan bahwa antara BI rate dan NPL serta antara BI rate dengan tingkat inflasi terdapat hubungan saling mempengaruhi. Sedangkan hubungan kausalitas satu arah terjadi antara variabel inflasi dengan NPL serta variabel nilai tukar dengan NPL. Hal ini berarti baik variabel inflasi dan nilai tukar mempengaruhi perubahan NPL namun NPL tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan nilai tukar maupun inflasi.

Uji kointegrasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kointegrasi antara keempat variabel tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa hubungan antara variabel NPL, BI rate, inflasi, dan nilai tukar hanya bersifat jangka pendek dan dalam jangka panjang keempat variabel tersebut tidak bergerak menuju equilibrium.

Hasil impulse response menunjukkan bahwa shock variabel BI rate direspon negatif oleh NPL. Sedangkan shock nilai tukar dan inflasi direspon positif oleh NPL walaupun respon yang diberikan hanya hingga periode ketujuh, setelah itu NPL mulai menuju kembali ke titik keseimbangan.

Hasil varianve decomposition menunjukan bahwa diantara ketiga variabel moneter tersebut, kontribusi terbersar dalam mempengaruhi NPL dimiliki oleh variabel BI rate dan inflasi yakni sebesar 9%. Sedangkan variabel nilai tukar hanya berkontribusi sekitar 2%. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh variabel moneter dalam jangka pendek, dalam hal ini suku bunga acuan, inflasi, dan nilai tukar, tidak begitu besar terhadap perubahan risiko kredit yang dicerminkan melalui NPL. Sehingga bentuk dari kebijakan moneter yang terfokus dalam usaha menstabilkan tingkat harga tidak memiliki dampak yang kuat dalam mempengaruhi risiko kredit dan penyalurannya.

Dari hasil tersebut, maka disimpulkan dalam usaha peningkatan penyaluran kredit dengan memaksimalkan fungsi perbankan sebagai intermediaris dan mengurangi risiko kredit, kurang dapat berjalan dengan memanfaatkan salah satu jalur transmisi kebijakan moneter saja. Selain itu, melihat kecilnya kontribusi variabel moneter yang diteliti terhadap perubahan NPL, dimungkinkan terdapat faktor lain yang lebih memiliki pengaruh dan kontribusi besar dalam perubahan risiko kredit.

Page 20: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Setelah menarik kesimpulan dari penelitian ini, penulis merekomendasikan beberapa kebijakan, antara lain :

1. Terus melakukan kebijakan moneter yang ekspansif dengan hati-hati. Dengan kebijakan moneter yang ekspansif seperti menurunkan suku bunga acuan diharapkan dapat mempengaruhi penurunan risiko kredit yang berakhir pada penurunan suku bunga pinjaman sehingga fungsi intermediaris perbankan dapat berjalan optimal.

2. Melakukan sinkronisasi dengan jenis kebijakan yang lain. Bank Sentral dapat mensinkronisasikan kebijakan moneter dengan jenis kebijakan yang lain seperti misalnya kebijakan fiskal, sehingga antara sektor riil dan moneter dapat saling bekerja sama terutama dalam mengurangi risiko kredit.

3. Membuat peraturan tentang batas minimum penyaluran DPK. Langkah ini membutuhkan ketegasan dari bank sentral dan dinilai lebih efektif jika dibandingkan dengan menstimulus turunya suku bunga pinjaman dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate).

Namun demikian hasil dari kesimpulan dan rekomendasi kebijakan harus dipertimbangkan secara hati-hati mengingat kecilnya jumlah sampel yang digunakan dan efek dari kebijakan yang diambil terhadap kondisi perekonomian di Indonesia.

Page 21: Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Di Indonesia

Daftar Pustaka

Bank Indonesia. Berbagai tahun . Statistik Perbankan Indonesia. Beberapa Nomor Penerbitan. Jakarta

Bank Indonesia, Berbagai tahun. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Beberapa Nomor Penerbitan, Jakarta.

Blanchard, Olivier. 2006. Macroeconomics. Fourth Edition. Upper Saddle River, New-Jersey: Prentice-Hall, Inc

Frank, Robert H dan Ben S. Bernanke. 2004. Principles of Macroeconomics. Second Edition. New York : Mc Graw-Hill/Irwin.

Harris, Richard.1995.Cointegration Analysis in Econometric Modelling.New York:Prentice Hall.

Jimenez, Gabriel dan Steven Ongena. 2008. Hazardous Times for Monetary Policy: What Do Twenty-Three Million Bank Loans Say About The Effects of Monetary Policy on Credit Risk-Taking?. Banco de Espana. Working Paper no.0833

McEachern, William A. 2000. Ekonomi Makro: Pendekatan Kontemporer. Terjemahan. Sigit Triandaru. 2000. Economics: a Contemporary Introduction. 2000. Jakarta: Salemba Empat

Miller, Roger Leroy. 2001. Economics Today. 2001-2002 Edition. New York: Addison Wesley Longman Inc.

Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Edisi 2. Yogyakarta: BPFE UGM.

Nugraha, R. Aga. 2007. Respon Suku Bunga dan Kredit Bank di Bali terhadap Kebijakan Moneter Bank Indonesia. Bali : Bank Indonesia, Denpasar.

Rahardja, Pratama., Mandala Manurung. 2001. Teori Makro Ekonomi : Suatu Pengantar. Jakarta : LPFE Universitas Indonesia.

Sjamsul Arifin, Charles P.R. Joseph, dkk. (2007), IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional. Jakarta: Bank Indonesia. Hal 11-15.

Warjiyo, Perry., Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta : PPSK Bank Indonesia.

Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII