Upload
vuduong
View
264
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT
MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI
PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Imam Syafi‟i
NIM: 21111016
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2015
iii
MOTTO
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
“Visi hanyalah ilusi tanpa ada aksi, dan
aksi tak kan berarti tanpa ridha Ilahy”
vi
ABSTRAK
Syafi‟i, Imam. 2015. Analisis Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat Muslim
Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014. Fakultas
Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Pembimbing : Farkhani, M.H.
Kata Kunci: Cerai Gugat
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui penyebab
maraknya kasus cerai gugat masyarakat muslim di Kota Salatiga.
Pertanyan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)
Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga
tahun 2014?, dan apa penyebabnya?, (2) bagaimana kualitas suami dari
Kota Salatiga dalam membina rumah tangga?. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perkara cerai di PA
Salatiga 70% yang mendominasi adalah perkara cerai gugat. Faktor yang
melatar belakanginya karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah
tangga yang disebabkan berbagai hal : perselisihan, ekonomi, tidak
adanya tanggung jawab dari suami, KDRT, hadirnya pihak ke-3, dan
krisis moral seperti suami pemabuk. Selain itu perkara yang ada lebih
didominasi pasangan muda yang usia perkawinannya dibawah 10 tahun,
hal ini menunjukkan ketidak siapan pasangan dalam berumah tangga.
Lebih dari pada itu, maraknya cerai gugat menunjukkan belum
maksimalnya peran lembaga pemerintah yang dalam hal ini Kementrian
Agama melalui Bimas Islam dalam pendampingan berkeluarga yang baik.
Berdasarkan penelitian yang telah diakukan, bahwa tingkat cerai gugat
masyarakat muslim Kota Salatiga tergolong minim. Hal ini berdasarkan
fakta dari data perkawinan yang ada, rata-rata pertahunnya tercatat
sebanyak 1170 perkawinan di Kota Salatiga dengan perbandingan
perceraian sebanyak 120 pasangan. Artinya setiap terjadi 10 perkawinan
ada 1 pasangan yang bercerai di PA Salatiga. Ini menunjukkan bahwa
tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat muslim Kota Salatiga
dalam membina keluarga sakinah tinggi, sehingga diperoleh fakta bahwa
suami dari warga muslim Kota Salatiga rata-rata bertanggung jawab.
Mengacu pada temuan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan
agar tidak terjadi cerai gugat, maka bagi pasangan calon pengantin untuk
mematangkan kembali kesiapannya untuk menikah. Selanjutnya,
pemerintah harus memberikan perhatiannya berupa pendampingan
berkeluarga melalui lembaga yang ada, dalam hal ini Kementrian Agama
melalui Bimas Islam agar cerai gugat yang marak terjadi dapat
diminimalisir.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat-
Nya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: ”Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat
Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014”, untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Fakultas
Syari‟ah Jurusan Ahwal al-Syahkhshiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya
guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya
pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengahturkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., Selaku Rektor IAIN Saltiga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Bapak Syukron Makmun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-
Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk menyusun skripsi ini.
viii
4. Bapak Farkhani, M.H., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang
telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitiaan di
Pengadilan Agama Salatiga
6. Dra. Widad sebagai Panitera Muda Hukum PA Salatiga yang telah membantu
memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan.
7. Para Dosen Syari‟ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do‟a selama
penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
8. Bapak dibumi rantau yang jauh disana, yang senantiasa membanting tulang
untuk mengais rizki demi membantu mewujudkan cita-cita penulis menuntut
ilmu.
9. Adik-adik dan para sahabatku yang telah memberikan dorongan, motivasi dan
do‟anya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
10. Semu pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi
ini sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
Skripsi ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kasempurnaan tulisan ini serta bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis.
ix
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat
khususnya bsgi civitas akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang
membutuhkannya.
Atas perhatiannya penulis sampaikan banyak terimakasih.
Salatiga, 13 Agustus 2015
Penulis
Imam Syafi‟i
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
MOTTO ...................................................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING ............................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
E. Penengasan Istilah ............................................................................. 8
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 12
G. Metode Penelitian.............................................................................. 15
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.................................................. 15
2. Kehadiran Peneliti ....................................................................... 18
3. Lokasi Penelitian ......................................................................... 18
4. Kebutuhan dan Sumber Data ...................................................... 18
5. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 19
6. Analisis Data ............................................................................... 21
7. Pengecekan Keabsahan Data....................................................... 22
8. Tahap-tahap Penelitian ................................................................ 23
xi
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Makna Perkawinan ............................................................................ 27
1. Pengertian Perkawinan ................................................................ 27
2. Dasar Hukum Perkawinan........................................................... 30
3. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan ....................................... 33
4. Tujuan Perkawinan...................................................................... 36
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri .................................................. 38
B. Putusnya Perkawinan ........................................................................ 46
1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian ..................................... 47
2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian .................................... 48
3. Putusnya Perkawinan Karena Atas Putusan Pengadilan ............. 57
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Salatiga .................................... 62
1. Sejarah pembentukan PA Salatiga .............................................. 62
2. Dasar hukum pembentukan PA Salatiga ..................................... 68
3. Wewenang Pengadilan Agama Salatiga...................................... 68
4. Visi dan Misi PA Salatiga ........................................................... 69
5. Struktur Organisasi PA Salatiga ................................................. 70
B. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga......................................... 72
C. Temuan Penelitian ............................................................................. 76
xii
BAB IV PEMBAHASAN
A. Gambaran Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ................................ 83
B. Faktor Penyebab Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ...................... 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 100
B. Saran .................................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-
Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya (Tihami & Sahrani,
2009:6). Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan
berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna
yakni manusia. Dalam surat al-Dzariyah ayat 49 disebutkan:
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”
Manusia tidak seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan
bebas dan sekehendak hawa nafsunya. Bagi binatang, perkawinan hanya
semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedang bagi
manusia perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lainya yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh
karena itu, perkawinan manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.
Perkawinan tidak hanya semata-mata menjadi urusan kedua mempelai
saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diridhoi Allah sebagai
suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita. Mereka
2
dipersatukan dengan saling mencintai dan mengharapkan dapat membuahkan
hasil dari cintanya yakni keturunan dalam suatu rumah tangga yang kekal dan
bahagia untuk mengarungi cakrawala kehidupan rumah tangga yang damai.
Namun demikian, kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu
tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri yang bersangkutan.
Artinya apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap
keterbukaan, saling perhatian, saling menyayangi dan sikap serta saling
berfikir positif, hal ini dapat menimbulkan konflik dan masa suram yang
dihadapi sebuah rumah tangga. Konflik dan masa suram yang dimaksud dapat
disebabkan beberapa faktor. Faktor permasalah ini dapat mengganggu atas
kekalnya perkawinan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perceraian.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada
Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa : perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari Undang-undang tersebut dapat
difahami bahwa perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan
manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali
perjanjian yang suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat
membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta
dan kasih sayang. Untuk menegakan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,
perkawinan tidak hanya bersandar pada ajaran Allah dalam al-Qur‟an dan as-
Sunnah yang bersifat global. Akan tetapi, perkawinan berkaitan pula dengan
3
hukum suatu negara. Perkawinan baru dikatakan sah jika menurut hukum
Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
(Saebani, 2008:15).
Syari‟at yang dibangun Islam di atas dalam kenyataannya hal tersebut
tidaklah mudah diwujudkan. Dalam melaksanakan kehidupan rumah tangga
tidak mustahil apabila akan terjadi salah paham antara suami dan istri, salah
satu atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban, tidak saling percaya dan
sebagainya sehinga menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga
dikarenakan tidak dapat dipersatukan kembali persepsi dan visi antara
keduanya, keadaan seperti ini ada kalanya dapat di atasi dan diselesaikan,
sehingga hubungan suami istri baik kembali, namun adakalanya tidak dapat
diselesaikan atau didamaikan. Bahkan kadang-kadang menimbulkan
kebencian dan pertengkaran yang berkepanjangan dan berujung pada
perceraian.
Menurut UU Perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi karena:
(1) kematian; (2) perceraian; dan (3) karena putusan pengadilan. Dengan
demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
Perceraian yang diajukan oleh pihak laki-laki (suami) disebut dengan cerai
talaq, sementara cerai yang diajukan oleh pihak perempuan (istri) disebut
dengan cerai gugat.
Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan untuk diproses secara
hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang semakin bertambah
tiap tahunnya. Nazarudin Umar, mengungkapkan bahwa secara nyata, angka
4
perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibanding negara Islam
lainnya. Indonesia berada di peringkat tertinggi memiliki angka perceraian
paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam di dunia
lainnya. Menurutnya, gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga
ini semakin bertambah jumlahnya. Setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi
yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100
orang yang menikah, 10 pasangnya bercerai, dan umumnya mereka yang baru
berumah tangga. Dari berbagai kasus perceraian hampir 70 % adalah gugatan
cerai dari istri kepada suaminya, sedangkan sisanya adalah cerai talak dari
permohonan suami (Bahari, 2012:12).
Pergeseran nilai di dalam kehidupan masyarakat saat ini terlihat jelas,
dahulu isteri paling khawatir atau takut jika dicerai oleh suaminya, bahkan
dahulu isteri tidak punya kewenangan dalam hal cerai, karena talak merupakan
hak prerogatif suami, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sebagaian
besar istri-lah yang mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama.
Gugat cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama didasari dengan
berbagai alasan, mulai dari perselisihan terus menerus yang tidak dapat rujuk
kembali, suami berzina, suami tidak memberi nafkah, suami meninggalkan
istri tanpa kabar, hingga persoalan karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.
Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat
selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian hampir 70%. Pada
tahun 2010, terjadi sebanyak 285.184 perceraian di Indonesia. Penyebab
5
pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak adalah akibat faktor
ketidak harmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab
78.407 perkara dan masalah ekonomi 67.891 perkara (Republika.co.id, diakses
24 Januari 2012) .
Trend perceraian di Kota Salatiga terus mengalami peningkatan. Hal
ini sebagaimana dilangsir dari surat kabar Semarangmetro pada Jum‟at, 28
Februari 2014 yang menyebutkan bahwa permohonan perceraian yang
diajukan ke Pengadilan Agama Salatiga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berikut adalah rincian perkara Pengadilan Agama Salatiga dari tahun 2010-
2013
Tahun Diterima Jumlah Dicabut Dikabulkan Sisa Tahun
Sebelumnya
2010 1.051 1.340 68 921 289
2011 1.151 1.444 48 964 293
2012 1.254 1.596 50 1.165 342
2013 1.379 1.750 60 1.272 371
Tabel 1.1. Rincian data perkara PA Salatiga
Dalam surat kabar Semarangmetro dipaparkan berita bahwa pada
Januari 2014, PA Salatiga menerina 520 kasus 386 di antaranya sisa tahun
sebelumnya. Artinya dalam sebulan ada 134 permohonan cerai. Selanjutnya
sebagaimana wawancara yang telah dilakukan wartawan Semarangmetro
kepada Panitera Muda Hukum PA Salatiga Dra. Widad yang mengatakan
bahwa untuk perkara perceraian ada dua jenis yaitu cerai gugat dan cerai talak.
Cerai gugat merupakan permohonan dari istri sedangkan cerai talak atas
inisiatif suami. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa dari data yang
6
ditangani PA Salatiga, permohonan cerai gugat lebih banyak dibanding cerai
talak.
Dari data tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah perceraian
yang ada di Kota Salatiga, dengan fokus penelitian adalah perkara cerai gugat
yang diajukan oleh pihak istri di Pengadilan Agama Kota Salatiga selama
kurun waktu tahun 2014 yang telah lalu untuk dicari tahu apa alasan
pengajuan gugatan cerai itu, sehingga setelah diketemukan alasan-alasan dari
para istri tersebut penulis akan mengklasifikasikan data tersebut untuk dapat
dianalisa dengan seksama dan pada akhirnya mengetahui kredibilitas para
suami di Kota Salatiga berkenaan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala
rumah tangga dalam rangka menaungi dan melindungi istri dan keluarganya.
Sehingga penelitian ini sangatlah perlu untuk dilakukan untuk memberikan
pertimbangan bagi masyarakat dalam rangka mencari calon suami yang ideal
dari wilayah Kota Salatiga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan:
1. Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga
tahun 2014?, dan apa penyebabnya?
2. Bagaimana kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam
membina rumah tangga?
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penyebab cerai gugat yang terjadi di Kota Salatiga.
2. Mengetahui kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam
membina rumah tangga.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam
mengetahui sejauh mana pemahaman warga kota Salatiga dalam
memahami arti penting dari sebuah pernikahan.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi
para peneliti di bidang syari‟ah.
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi peneliti,
seluruh pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa IAIN Salatiga
pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi mengenai karakter seorang suami dari kota
Salatiga berkaitan masalah kredibilitasnya dalam mengemban tanggung
jawabnya sebagai seorang suami untuk membahagiakan istrinya dan
membangun keluarga yang sakinah sebagaimana diamanatkan oleh agama
dan Negara.
8
E. Penengasan Istilah
Definisi Cerai Gugat
1. Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang
Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata
kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian,
kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal
bercerai (antara suami istri); perpecahan. Adapun kata bercerai berarti: v
(kata kerja), 1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi; 2.
Berhenti berlaki-bini (suami istri) (KBBI, 1997: 185).
Perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuan fakultatif bahwa perkawinan putus karena kematian,
perceraian, dan putusan pengadilan. Jadi istilah perceraian secara yuridis
berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan
sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri) sebagaimana
diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.
Istilah perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suai atau istri untuk
memutus hubungan perkawinan di antara mereka.
b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami istri yaitu
kematian suami atau istri yang bersangkutan yang merupakan
ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa.
9
c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat
hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri
(Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: Sinar Grafika).
Dalam buku Hukum Perceraian (Syaifuddin, Turatmiyah &
Yahanan. 2013: 19-20), pengertian perceraian dapat dijelaskan dari
beberapa perspektif hukum berikut:
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal
38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP
No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:
b. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan
Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan
siding Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP
No. 9 Tahun 1975).
c. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala
akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan
Psal 36).
d. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah
dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP
10
No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan
oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang
dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di
Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9
tahun 1975).
2. Istilah Perceraian Menurut Doktrin Hukum
Menurut Abdul Kadir Muhammad, putusnya perkawinan karena
kematian disebut dengan cerai mati, sedangkan putusnya perkawinan
karena perceraian ada 2 (dua) istilah, yaitu cerai gugat (khulu’) dan cerai
talak. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan disebut dengan
istilah cerai batal (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 16).
Lebih lanjut Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa untuk
menyebut perkawinan dengan istilah-istilah tersebut, terdapat beberapa
alasan, yaitu:
a. Penyebutan istilah cerai mati dan cerai batal tidak menunjukkan kesan
adanya perselisihan antara suami istri;
b. Penyebutan cerai gugat (khulu’) dan cerai talak menunjukkan kesan
adanya perselisihan antara suami dan istri;
c. Putusnya perkawinan baik karena putusan pengadilan maupun
perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan (Syaifuddin,
Turatmiyah & Yahanan. 2013: 16).
11
Perceraian dalam istilah fikih disebut talak, itu dugunakan oleh
para ahli fikih sebagai salah satu istlah yang berarti membuka ikatan,
membatalkan perjanjian. Perceraian dalam istilah fikih juga sering disebut
dengan furqah yang artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul.
Kemudian kedua istilah tersebut digunakan oleh para ahli fikih sebagai
salah satu istilah yang berarti perceraian suami istri (Soemiyati, 1982:
103).
Kata talak dalam istilah fikih mempunyai arti umum, ialah segala
macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya
atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Selain itu, talak juga
mempunyai arti yang khusus, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh pihak
suami (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 17).
Cerai gugat (talak tebus) dalam Islam dikenal dengan khulu’,
artinya talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak
istri kepada suami. Cerai gugat terjadi karena adanya kemauan dari pihak
istri, dengan alasan perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi. Cerai
gugat dapat terjadi jika ada keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak
istri, karena ia benci kepada suaminya (Syaifuddin, Turatmiyah &
Yahanan. 2013: 17).
Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur
Anshori (2011: 36) menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti
berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam
12
bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk
putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 (empat) kemungkinan,
sebagai berikut:
a. Putusnya perkawinan karena atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami istri. Adanya kematian itu menyebabkan
dengan sendirinya berakhir hubungan perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami karena adanya alasan
tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu.
Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena istri melihat sesuatu
yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang
disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.
Putusnya perkawinan dengan cara seperti ini disebut khulu’.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/istri yang menandakan
tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dijalankan. Putusnya
perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tentu saja bukan penelitian yang pertama dengan
mengusung tema yang sama yaitu seputar perceraian. Banyak sekali
13
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berkaitan masalah perceraian ini,
namun tentunya fokus penelitiannya yang berbeda. Ada beberapa literal kajian
karya ilmiah yang pernah ditulis baik berupa skripsi, artikel maupun dalam
bentuk buku yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Salah satu penelitian yang pernah ada adalah penelitian oleh Nakiyah
(2002), mahasiswi Jurusan Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dalam skripsinya,
yang berjudul “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai
Alasan Perceraian (Studi Kasus di PA Salatiga Tahun 1999-2001)”, Nakiyah
menggunakan metode penelitian Field Research. Penelitian ini berusaha
mengetahui motif tindakan kekerasan suami terhadap istri. Hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini bahwa motif tindakan kekerasan suami terhadap
istri lebih banyak ditimbulkan akibat kesenjangan ekonomi, nilai budaya dan
pemahaman agama yang kurang. Sehingga akibat tidakan-tindakan suami
yang kasar seperti itu menyebabkan alasan mengapa istri menggugat cerai
pada sang suami.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Istikara (2004), mahasiswi
Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang
berjudul “Putusnya Perkawinan Karena Cerai Gugat (Analisa Kasus Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 1091/ pdt. G/ 2004/ PA JS)”, yang
menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Peneliti meneliti faktor-faktor apa
yang menyebabkan putusnya perkawinan dan bagaimana akibat cerai gugat
terhadap anak. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa perceraian dalam kasus
14
di atas itu disebabkan karena dahulu kedua belah pihak antara suami dan istri
terburu-buru untuk melangsungkan pernikahan, tanpa ada petimbangan yang
matang untuk menikah. Terlebih ketika sang suami tidak cakap dalam
membangun sebuah keluarga yang akhirnya mengakibatkan perseturuan
panjang antara suami dan istri. Selanjutnya hadlanah pemeliharaan anak di
pegang oleh ayahnya karena ibunya tidak menyatakan keberatan dan ada hal-
hal tertentu yang menyebabkan ibu tersebut tidak bisa mendapatkan hak asuh
anak.
Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh Taufiqi (2008) mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berjudul “Penelantaran
Ekonomi Sebagai Alasan Gugatan Perceraian (Studi di Pengadilan Agama
Gresik)” dengan menggunakan metode penelitian yurudis sosiologis.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penelantaran ekonomi
sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai alasan gugat cerai karena tidak tidak
terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi penelantaran
ekonomi yang berujung pada perselisihan dan pertengkaran terus menerus
dapat dijadikan sebagai gugatan perceraian. Hal ini yang menjadi dasar bagi
hakim untuk mengabulkan gugatan istri sesuai dengan pasal 19 (F PP No. 9
Tahun 1975).
Kemudian skripsi yang ditulis oleh Aliyah (2013), mahasiswi Jurusan
Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga yang berjudul “Perceraian Karena Gugatan Istri
(Studi Kasus Perkara Cerai Gugat Nomor: 0597/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal Dan
15
Nomor: 0740/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal di Pengadilan Agama Salatiga)”.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis atau berdasarkan pengalaman subjek penelitian. Dalam
penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada perkara cerai gugat
dengan alasan pengajuan gugatan oleh istri berupa masalah sosial-ekonomi.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ditemukannya faktor-faktor
yang menyebabkan istri menggugat cerai suami, diantaranya adalah pertama,
suami meninggalkan kewajiban menafkahi keluarga dan yang kedua, karena
suami dipenjara. Alasan-alasan tersebut yang dijadikan dasar gugatan istri.
Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di atas, hampir
kesemuanya hanya fokus membahas seputar alasan pengajuan gugatan
perceraian istri kepada suami yang alasan-alasannya berupa masalah ekonomi.
Berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam penelitian yang
berjudul Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masayarakat Muslim Kota
Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014, peneliti tidak hanya
meneliti alasan-alasan pengajuan gugatan istri. Tidak hanya terfokus pada
petitum dalam surat gugatannya, namun peneliti akan mengkualifikasin
alasan-alasan tersebut dan akan menganalisis dari pada alasan-alasan yang
telah ada hingga pada akhirnya akan ditarik kesimpulan mengenai kredibilitas
rasa tanggung jawab suami kepada istri dan keluarga dalam membangun
sebuah mahligai rumah tangga sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan
agama.
16
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Adapun yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Menurut
Milles dan Michael sebagaimana dikutip oleh Maslikhah (2013: 319)
penelitian kualitatif akan mendapatkan data kualitatif yang sangat menarik,
memiliki sumber dari dekripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta
memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup
setempat. Penelitian ini dapat memahami alur peristiwa secara kronologis,
menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan
memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat, serta dapat
memperoleh penemuan-penemuan yang tidak diduga sebelumnya untuk
membentuk kerangka teoritis baru. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variable dan keadaan yang terjadi
saat penelitian berjalan dan menyuguhkan data apa adanya.
Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan
masalah yang ada berdasarkan data-data. Penelitian deskriptif kualitatif
17
menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang
sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam masyarakat,
pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antar variable, perbedaan
antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi dan lain-lain. Selain itu
pendekatana yang digunakan adalah pendekatan normative, yakni sebuah
pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-
produk hokum, perbandingan konsep hukum dan sejarah ataupun idiologi
yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat hukum (Soekanto &
Mamudji, 1995: 13-14). Berkaitan dengan apa yang penulis teliti, maka al-
Qur‟an dan al-Sunnah menjadi rujukan utama selain perbandingan dengan
hokum Islam di Indonesia serta konsep gender yang sedang ramai dibahas
dimasyarakat. Dan yang terakhir adalah pendekatan sosiologis, yaitu
pendekatan yang melandaskan pada fenomena atau gejala-gejala yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat guna memahami hukum yang
berlaku dalam masyarakat (Soekanto, 1999: 45).
Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini dimaksudkan menelisik penyebab dominasi perkara cerai
gugat yang ada di PA Salatiga dengan mngumpulkan data-data perceraian
pada periode tahun 2014, guna memperoleh informasi mengenai alasan-
alasan pengajuan cerai gugat tersebut. Sehingga setelah diketahui
penyebab atau alasan-alasan cerai gugat tersebut akan dapat diketahui
kualitas sosok suami dari wilayah Kota Salatiga sebagai seorang kepala
rumah tangga, pada hasil akhir dari penelitian ini. Diharapkan melalui
18
penelitian ini mampu menyibak tabir dari rumusan masalah yang telah
penulis rumuskan di atas.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran penulis dalam penelitian ini adalah sebagai seorang
peneliti. Dalam rangka mendapatkan data-data yang diperlukan, peneliti
akan melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada subjek yang
diteliti, ditempat sumber data itu berada. Sehingga sudah berang tentu
peneliti akan turut aktif dalam kegiatan penelitian ini guna mencari data-
data yang dibutuhkan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014 ini dilaksanakan di Pengadilan
Agama Salatiga yang beralamatkan di Jln. Lingkar Selatan, Dusun
Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga,
Jawa Tengah.
4. Kebutuhan dan Sumber Data
Kebutuhan dan sumber data dalam penelitian yang berjudul
Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga
Tahun 2014 adalah data-data perceraian yang masuk di PA Salatiga dalam
periode tahun 2014. Kemudian dari data-data tersebut peneliti akan
mengklasifikasikan menurut jenis percerainnya dan dari situ akan tampak
dominasi perceraian yang ada di PA Salatiga. Setelah itu peneliti akan
menganalisis data-data perkara cerai gugat itu lebih dalam untuk diketahui
19
alasan-alasan dalam gugatannya. Selain data-data perceraian tersebut
sumber data juga akan diperoleh dari para ahli yang ada di PA. Salatiga,
baik para hakim, panitera maupun dari para pihak yang berperkara sendiri
sebagai data sekunder guna menguatkan data primer yang telah ada.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang
yang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan
tujuan tertentu (Mulyana, 2004: 180). Wawancara yang akan dilakukan
menggunakan dua tahap, pertama peneliti melakukan deskripsi dan
orientasi awal tentang masalah dan subjek yang dikaji. Kedua
melakukan wawancara mendalam sehingga menemukan informasi
yang lebih banyak dan penting sampai menemukan titik jenuh.
Wawancara yang digunakan dengan model wawancara terbuka, artinya
informan dapat mengungkapkan beberapa upaya yang dilaksanakan
dan gagasan beserta strategi yang akan dilaksanakan serta hambatan
yang diprediksikan (Maslikhah, 2013: 321). Meskipun demikian,
peneliti tetap menggunakan kisi-kisi wawancara yang sesuai dengan
rumusan masalah di atas. Untuk membantu mendapatkan data penting,
maka peneliti menggunakan alat rekam suara baik tape recorder
ataupun dengan handphone.
20
Dalam wawancara ini informan yang akan dijadikan sebagai
nara sumber adalah para hakim di pengadilan agama kota salatiga.
Menggingat para hakim adalah sebagai eksekutor dalam perkara
perceraian di PA Salatiga. Dan tentunya dalam setiap putusannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan konstitusi
dan agama. Dengan mewawancarai para hakim di PA Salatiga ini
diharapkan penelitian mendapatkan data yang dibutuhkan sehingga
dapat membantu dalam penelitian ini.
b. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti
mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala
subjek yang sedang diteliti. Baik pengamatan itu dilakukan di dalam
situasi yang sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi yang khusus
diadakan (Surachmad, 1972: 155). Dalam melaksanakan observasi ini
peneliti akan berkunjung langsung ke Pengadilan Agama kota Salatiga
guna menggali informasi dan mengumpulkan data-data seputar
perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama kota Salatiga. Disini
peneiliti akan mengamati langsung bagaimana proses perceraian yang
ada di Pengadilan Agama kota Salatiga. Menelaah lebih inheren
penyebab perceraian itu terjadi, alasan pengajuan gugatan perceraian
dan mengkoding atau mengaktegorikan dominansi jenis perceraian
yang ada sehingga tujuan dari penelitian ini akan tercapai dengan baik.
21
c. Penggunaan Dokumen
Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun
foto saat pelaksanaan penelitian sebagai bukti autentik dalam
membantu penyusunan laporan penelitian setelah purna. Penggunaan
dokumen ini dirasa sangat penting dibutuhkan, karena dalam penelitian
ini penggunaan dokumen sebagai sumber utama dalam jenis penelitian
deskriptif-kualitatif. Melalui dokumen-dokumen perceraian yang ada
di pengadilan agama kota salatiga ini akan didapatkan informasi terkait
intensitas tanggung jawab suami dikota salatiga dilihat dari sudut
pandang dominasi kasus cerai gugat yang ada di pengadilan agama
kota salatiga.
d. Analisis Data
Proses analisis data sepertihalnya penelitian kualitatif model
Miles dan Huberman sebagaimana dikutip oleh Emzir (2010: 129-
135), maka digunakan teknik analisis data dengan reduksi data,
penyajian data dan verifikasi.
Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan,
pemusatan pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar
yang diperoleh dari lapangan. Melalui reduksi data ini peneliti akan
memilah dan memilih data dan sumber informasi yang ada sesuai
dengan focus penelitian sejak awal. Yaitu hanya berkutit dilingkup
perceraian. Mengingat begitu banyaknya kasus yang ditangani
pengadilan agama kota salatiga tidak hanya mengurusi masalah
22
perceraian saja ada juga kasusu-kasus lain seperti sengketa harta gono-
gini, warisan, wakaf dan lain sebagainya.
Penyajian data (data display) yaitu deskripsi kumpulan
informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan
kesimpulan dan mengambil tindakan. Dengan penyajian data ini
peneliti akan menyajikan dan menyusun sedemikian rupa secara runtut
data kasar yang berupa dukumen-dokumen perceraian, wawancara
dengan para hakim dan beberapa pihak yang berperkara, serta
pengamatan langsung tersebut dalam bentuk diskripsi kalimat yang
lugas sehingga mudah difahami dan dicermati hingga akhirnya penulis
akan dapat memberikan kesimpulan dalam penelitian ini.
Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclution drawing and
verification) dari permulaan pengumpulan data, periset kualitatif
mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh dilapangan, mencatat
keterangan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada,
alur akusalitas dan proposisi. Dalam penarikan kesimpulan ini akan
didapatkan jawaban-jawaban dari rumusan maslah yang telah ada,
sehingga hasil dari penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai
Gugat Masyarakat Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2014 dapat terealisasi dengan baik.
e. Pengecekan Keabsahan Data
Mengikuti teori Moleong sebagaimana dikutip oleh Maslikhah
(2013: 323-324) pengecekan keabsahan data yang digunakan
23
didasarkan pada empat kriteria yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan
kepastian (confirmablity). Uji derajat kepercayaan (credibility)
dilakukan dengan cara melakukan pembuktian apakah yang diamati
oleh peneliti benar-benar sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi
secara wajar dilapangan. Untuk melakukan derajat kepercayaan ini
dilakukan observasi secara terus menerus. Keteralihan (transferability)
membuat uraian laporan atas data yang ditemukan secara khusus
dengan jelas ditulis sehingga dapat dipahami oleh pembaca.
Ketergantungan (dependability) dilakukan untuk mengurangi
kesalahan-kesalahan dalam mengumpulkan, menginterpretasi temuan
dan laporan hasil penelitian cara menentukan dependent auditor
(konsultan peneliti). Kepastian (confirmability) dilakukan untuk
mengetahui apakah data yang diperoleh memenuhi obyektifitas atau
tidak. Untuk melakukan uji confirmability ini dilakukan dengan cara
melakukan konfirmasi apakah pandangan, pendapat dan penemuan
seseorang juga telah disepekati oleh orang lain secara obyektif. Oleh
karena itu, data yang sudah dikumpulkan dikonfirmasikan dengan para
ahli yang membidanginya.
f. Tahap-tahap Penelitian
a. Tahap Pra-Lapangan
Dalam tahap pra-lapangan ini ada lima hal yang harus
dilengkapi oleh peneliti, yaitu:
24
1) Menentukan setting dan subyek penelitian
2) Menyusun rancangan penelitian
3) mengurus perizinan penelitian
4) Menyiapkan perlengkapan penelitian
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga
bagian, yaitu:
1) Memahami latar penelitian
2) Adaptasi peneliti dilapangan
3) Berperan serta sambil mengumpulkan data
c. Tahap Pasca Lapangan
Pada tahap pasca lapangan ini, peneliti membaginya
menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Pengolahan data penelitian
2) Menganalisis data penelitian
3) Menyimpulkan hasil penelitian
d. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam
memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan
memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan
dibahas dengan sistematika penulisan yang akan penulis susun
mencakup lima bab, yang subtansinya meliputi:
25
Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menguraikan
tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan maslah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode
penelitian dan sitematika penulisan penelitian.
Bab kedua adalah kajian pustaka, yang berisikan penjelasan
tentang makna perkawinan, keluarga sakinah, putusnya
perkawinan. Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal terkait hal
tersebut di atas baik dari sudut pandang agama maupun secara
konstitusi perundang-undangan negara. Pada bagian kajian pustaka
ini sangatlah penting, karena pada bab ini ibarat sebagai pisau
bedah yang akan membantu peneliti membedah problem dari
subyek yang diteliti.
Selanjutnya Bab ketiga adalah paparan data dan temuan
penelitian. Dalam bab ini peneliti akan memaparkan data-data yang
telah didapatkan baik berupa data hasil wawancara, maupun data
tertulis yang akan di notasikan dalam bentuk tulisan, selanjutnya
akan dikorelasikan pada data dari teori pada bab sebelumnya
sehingga akan didapatkan temuan penelitian yang dimaksud sesuai
dengan rumusan masalah yang sebelumnya dirumuskan.
Bab empat adalah pembahasan. Setelah ditemukan gap atau
temuan masalah dalam penelitian pada bab ke-tiga, peneliti akan
mengkaji lebih dalam menurut interpretasi sendiri berdasarkan
teori-teori para ahli dan hukum yang ada, kemudian
26
mengkrucutkannya untuk didapat jawaban dari penelitian tentang
Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di PA Salatiga Tahun
2014.
Dan Bab kelima adalah penutup, pada bab yang terakhir ini
membahas tentang kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan
saran-saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
penulis pada khususnya, bagi civitas akademika IAIN Salatiga dan
bagi masyarakat pada umumnya.
27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
C. Makna Perkawinan
6. Pengertian Perkawinan
Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan
perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Manusia tidak seperti binatang yang melakukan
perkawinan dengan bebas dan sekehendak hawa nafsunya. bagi binatang,
perkawinan hanya semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu
syahwatnya, sedangkan bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai
etika dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh karena itu, perkawinan
manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.
Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah
hidupnya karena keturunan dan perkembangan manusia disebabkan oleh
adanya perkawinan. Akan tetapi, jika perkawinan manusia tidak
didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur
oleh bentuk-bentuk perzinahan sehingga manusia tidak berbeda dengan
binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya.
Perkawinan atau sering disebut dengan pernikahan berasal dari
kata dalam bahasa Arab yaitu kata nikah. Kata nikah adalah bentuk
masdar dari “nakaha”, yang artinya menggabungkan, mengumpulkan, atau
28
yang artinya kumpul. Juga bisa di artikan wath’u al-zaujah bermakna
menyetubuhi istri. Menurut Tihami dan Sahrani (2008: 7) sebagaimana
dikutip dari Rahmat Hakim memaparkan bahwa kata nikah berasal dari
bahasa Arab nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata
kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah
sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki-
laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah
serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah
adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; nikah
atau tazwij (Tihami & Sahrani, 2008: 8). Hal ini sesuai dengan ungkapan
yang ditulis oleh Zakiyah Daradjat dan kawan-kawan (1985: 48) yang
memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ النكاح أو التزويج أو معناهما Artinya: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan
kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna
keduanya”.
Pengertian perkawinan menurut Slamet Abidin dan Aminudin
sebagaimana dikutip oleh Saebani (2008: 14) terdiri atas beberapa definisi,
yaitu sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai
suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja.
29
Artinya, seorang laki-lakidapat menguasai perempuan dengan seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
b. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz nikah atau zauj, yang menyimpan arti
memiliki. Artinya, dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau
mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak
mewajibkan adanya harga.
d. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan
menggunakan lafadz inkah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.
Artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan dan sebaliknya. Dalam pengertian di atas terdapat kata-kata
milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad
nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil manfaat
untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan
membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah di dunia.
Dari beberapa pengertian nikah tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria
dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua
belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat
yang telah ditetapkan oleh syara‟ untuk menghalalkan percampuran antara
30
keduanya, sehingga satu sama lainnya saling membutuhkan menjadi
sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga (Saebani, 2008: 15).
Berbicara masalah perkawinan, dalam tata hukum Indonesia pun
diatur. Menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pada Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa: perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab II Dasar-Dasar Perkawinan Pasal
2 dinyatakan bahwa: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupaka ibadah. Dengan demikian,
pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya
dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial
yang sakral.
7. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamana yang menyangkut penyaluran
kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan
dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani, 2008: 8).
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara‟. Dalam
buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
31
Haji Departemen Agama RI (2002: 5) disebutkan bahwa dasar perkawinan
menurut ajaran Islam, yang pertama adalah melaksanakan Sunnatullah,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa‟
ayat 3 :
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sedirian (janda) diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan
yang patut “.
Dalam hadits Nabi Muhammad SAW, juga disebutkan:
يا : قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: عن عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه قالأغض للبصر وأحصن للفرج من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فاءنه معشرالشباب
.يستطع فعليه بالصوم فاءنه له وجاء ومن لمArtinya: “Ibnu Mas‟ud r.a berkata : “Rasulullah SAW bersabda kepada
kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untuk
kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk
menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya”
(H.R. Bukhari-Muslim).
Dan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunnah Rasulullah SAW
sebagaimana disebut dalam hadits Nabi :
عن أنس ابن مالك رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم حمد هللا واثنى عليه لكني أنا اصلى وانام وافطر واتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني: وقال
Artinya: “Anas bin Malik r.a berkata : “ Sesungguhnya Nabi SAW memuji
Allah dan menyanjungnya, beliau lalu bersabda : ”Akan tetapi
32
aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, akau berbuka, dan aku
mengawini perempuan, barang siapa yang tidak suka dengan
perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Tihami dan Sahrani menjelaskan dalam bukunya yang berjudul
Fikih Munakahat (2008: 11), bahwa hukum asal dari perkawinan adalah
mubah, namun dapat berubah menurut ahkam al-khamsah (hukum yang
lima) menurut perubahan keadaan :
a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang
akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah
mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari
perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali
dengan nikah.
b. Nikah Haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu nikah haram bagi
orang yang berkehendak menyakiti perempuan yang dinikahi.
c. Nikah Sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah
mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah
dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
wajib nikah dan tidak haram untuk menikah.
33
Selanjutnya Al-Aziz S (2005: 475) dalam bukunya Fiqih Islam
Lengkap Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam Dengan Berbagai
Permasalahannya menambahkan bahwa hukum nikah makruh, bagi oyang
yang tidak mampu memberi nafaqah kepada istrinya.
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar
perkawinan, menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, dan
makruh tergantung dengan keadaan maslahat dan mafsadatnya.
8. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia,
yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikat tali perjanjian yang
suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah
tangga yang sakinah, tentram dan di penuhi oleh rasa cinta dan kasih
sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,
perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam
al-Qur‟an dan as-Sunnah yang sifatnya global. akan tetapi, perkawinan
berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan
sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun
dan syarat-syaratnya. Perihal masalah syarat-syarat perkawinan, di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga telah di atur secara jelas, yaitu
pada Bab II Tentang Syarat-Syarat Perkawinan.
Berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan,
Sayyid Sabiq (1987: 86) mengatakan bahwa syarat sahnya perkawinan
adalah sebagai berikut;
34
Pertama, perempuan yang hendak dinikahi adalah yang halal untuk
dinikahi oleh laki-laki yang bersangkutan, bukan perempuan yang haram
untuk dinikahi karena saudara sekandungnya misalnya. Kedua, adanya
para saksi dalam perkawinan, Ketiga, adanya ijab kabul.
Selain itu dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yaitu pada Bab IV tentang Rukun Dan Syarat Perkawinan, Bagian Kesatu
tentang Rukun Perkawinan meliputi hal-hal:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali Nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan kabul
Sedangkan syarat perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Tihami
dan Sahrani (2008: 13-14) ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab
kabul.
Syarat-syarat Suami:
a. bukan mahram dari calon istri
b. tidak terpaksa/ atas kemauan sendiri
c. orangnya tertentu, jelas orangnya
d. tidak sedang ihram
e. tidak sedang beristri empat dalam satu masa
Syarat-syarat Istri:
35
a. tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang dalam iddah.
b. merdeka, atas kemauan sendiri.
c. jelas orangnya, dan
d. tidak sedang berihram
Syarat-syarat wali:
a. laki-laki
b. baligh
c. waras akalnya
d. tidak dipaksa
e. adil, dan
f. tidak sedang ihram
Syarat-syarat saksi:
a. laki-laki
b. baligh
c. waras akalnya
d. adil
e. dapat mendengar dan melihat
f. bebas, tidak dipaksa
g. tidak sedang ihram
9. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa
Rasulullah SAW, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan
36
duniawi dan ukhrawi. Dengan pengamatan sepintas lalu, pada batang
tubuh ajaran fikih dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu
(Tihami dan Sahrani 2008: 154) yakni;
a. Rub’al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk
dengan khaliknya.
b. Rub’al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas
pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya
sehari-hari.
c. Rub’al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam
lingkup keluarga,
d. Rub’al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib
pergaulan yang menjamin ketentramannya.
Dalam buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Islam RI (2002: 5) dijelaskan
bahwa tujuan perkawinan di dalam ajaran Islam yang pertama adalah
seperti yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 21:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
37
Tujuan yang kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata
dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
يا : قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: عن عبدهللا بن مسعود رضي هللا عنه قالمعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فاءنه أغض للبصر وأحصن للفرج
.ومن لم يستطع فعليه بالصوم فاءنه له وجاءArtinya: “Ibnu Mas‟ud r.a berkata : “Rasulullah SAW bersabda kepada
kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untuk
kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk
menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya”
(H.R. Bukhari-Muslim).
Selain dari dua hal tersebut di atas maka tujuan yang ketiga adalah
untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman kuat ilmu dan
kuat amal sehingga mereka itu akan dapat membangun hari depannya yang
lebih baik, bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan
negaranya.
Senada dengan pemaparan di atas, Zakiyah Darajat dkk (1985: 64),
mengemukakan ada lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:
a. mendapat dan melangsungkan keturunan;
b. memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya;
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan;
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal, serta
38
e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Bab I tentang Dasar
Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 3 disebutkan
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan rahmah. Dengan demikian, maka rumusan tentang
tujuan perkawinan yang ada di dalam undang-undang adalah sejalan
dengan ajaran Islam yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
10. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Terjadinya akad nikah telah menimbulkan akibat hukum bagi
pasangan yang menikah. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan
juga hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang
meliputi hak suami istri secara bersama, hak suami atas istrinya berarti
kewajiban yang harus diberikan oleh istri kepada suami, dan hak istri atas
suami berarti kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri.
Jika suatu pasangan suami istri sama-sama menjalankan tanggung
jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan
ketenangan hati sehingga sempurnalah kabahagiaan hidup berumah
39
tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai
dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, warahmah.
Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34. Dalam Pasal 30
disebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
Dalam Pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban
suami istri yaitu:
a. hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat;
b. masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;
c. suami adalah kepala keluarga dan istri ibu ramah tangga.
Pasal 32 menyatakan bahwa:
a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33; Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada
yang lain.
40
Pasal 34:
a. suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
b. istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
c. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Dalam KHI Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri dibagi
menjadi enam bagian, yaitu:
Bagian Kesatu, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama
materinya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1/1974 Pasal 30-34, yaitu:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, menghormati, setia dan
memberi bantun lahir batin.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun
kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
41
Bagian Kedua, Kedudukan Suami Istri pada Pasal 78:
a. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga;
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat;
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga, Kewajiban Suami pada Pasal 80:
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri;
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa;
d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
1) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
2) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak;
3) biaya pendidikan bagi anak.
e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b;
42
f. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
istrinya nusyuz.
Bagian Keempat, Tempat Kediaman pada Pasal 81
a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-
anaknya atau bekas istri istri yang masih dalam masa iddah;
b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perakawinan atau dalam iddah atau iddah wafat;
c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;
d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun
sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima, Kewajiban Suami Beristri Lebih dari seorang, Pasal 82;
a. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing istri, kecauali ada perjanjian perkawinan;
b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya
dalam satu tempat kediaman.
43
Bagian Keenam, Kewajiban Istri, pada Pasal 83
a. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;
b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
a. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecauali
dengan alasan yang sah;
b. Selama istri dalam nusyuz kewajiban suami terhadap istrinya tersebut
pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku, kecuali hal-hal
untuk kepentingan anaknya;
c. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istrinya tidak nusyuz;
d. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan atas bukti yang sah.
Hak dan kewajiban suami istri menurut Undang-Undang Nomor
1/1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sudah lengkap. Hak istri adalah kewajiban suami, sebaliknya
hak suami adalah kewajiban istri.
Dalam hukum Islam pun tidak berbeda kewajiban suami adalah
pemimpin dalam keluarga. Dengan demikian, beristri harus mengabdi
kepada suami yang membimbingnya ke jalan kebajikan dan takwa.
44
Menurut Sayyid Sabiq (1987: 52) jika akad nikah telah sah, ia akan
menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, menimbulkan pula hak
serta kewajiban selaku suami istri. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam,
yaitu: (1) Hak istri atas suami, (2) Hak suami atas istri, dan (3) Hak
bersama. Masing-masing suami istri jika menjalankan kewajibannya dan
memerhatikan tanggung jawabnya akan mewujudkan ketentraman dan
ketenangan hati sehingga suami istri mendapatkan kebahagiaan yang
sempurna.
Menurut Saebani (2008: 63) hak istri terhadap suami meliputi:
a. Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah;
b. Hak rohaniah, seperti melakukannya dengan adil jika suami poligami
dan tidak boleh menganiaya istri
Lebih lanjut Saebani (2008: 63) memaparkan bahwa suami
berkewajiban melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a. Memberi keperluan hidup keluarganya untuk kebutuhan rohaniah dan
jasmaniah;
b. Suami melindungi istri dan anak-anaknya dari segala sesuatu yang
dapat mengancam jiwa dan keselamatan, sebagaimana suami
berkewajiban memberi tempat kediaman;
c. Suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan;
d. Suami berkewajiban menggauli istrinya dengan baik dan benar.
Selanjutnya menurut Saebani (2008:63), kewajiban istri adalah
melakukan hal-hal sebagai berikut:
45
a. Melayani kebutuhan suaminya secara lahir maupun batiniyah;
b. Menjaga nama baik dan kehormatan suami serta harta bendanya;
c. Mengabdi dengan taat kepada ajaran agama dan kepemimpinan suami
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
d. Suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai semua
kebutuhan rumah tangganya memiliki hak untuk mengatur dengan baik
terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya dengan cara
bermusyawarah.
Tihami dan Sahrani (2008: 154) menjelaskan bahwa dengan
adanya akad nikah, maka antara suami dan istri mempunyai hak dan
tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai berikut:
a. Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual.
b. Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak
boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.
c. Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi
apabila salah seorang di antaranya telah meninggal meskipun belum
bersetubuh.
d. Anak mempunyai nasab yang jelas
e. Kedua belah pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat
melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup.
D. Putusnya Perkawinan
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974
dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
46
bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa
KHI disebut mitssaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Tentunya dari tujuan
yang diamanatkan dalam Undan-Undang tersebut, setiap pasangan suami istri
berkeinginan akan memiliki sebuah bahtera kehidupan rumah tangga yang
bahagia dengan berhiaskan kerukunan, serta ketentraman lahiriyah dan
batiniyah. Namun apa daya, manusia tidak tahu apa yang telah Allah gariskan
dalam perjalanan hidup hamba-Nya. Tidak selamanya sebuah kehidupan
berkeluarga berjalan mulus, seindah apa yang dibayangkan ketika pasangan
itu duduk dipelaminan. Ketidak harmonisan, salah faham, dan bahkan sampai
terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga pun kerap kali terjadi, hingga
pada akhirnya akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (peceraian).
Menurut Budi Susilo sebagaimana dikutip oleh Syaifuddin,
Turatmiyah dan Yahanan (2013: 5) dalam buku Hukum Perceraian,
menjelaskan bahwa memang benar perkawinan merupakan ikatan suci antara
seorang pria dan wanita, yang saling cinta mencintai dan menyayangi. sudah
menjadi kebutuhan hidup mendasar, bahwa setiap insan akan menikah.
Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali dalam seumur hidupnya
saja, tidak pernah terbersit bila di kemudian hari harus bercerai, lalu menikah
dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri. Namun, pada
kenyatannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suami istri, yang
akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidak cocokan dalam
sejumlah hal, berbeda dengan persepsi serta pandangan hidup, paling tidak
menjadi beberapa alasan penyebab terjadinya perceraian.
47
Perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama Islam tetap
memandang bahwa perceraian adalah suatu yang bertentangan dengan asas-
asas Hukum Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yaitu:
و أبغض انحالل إنى هللا تعانى انطالق .قال رسىل هللا ص: عه ابه عمر قالArtinya: “Dari Ibn Umar ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda “Sesuatu
yang halal yang amat dibenci oleh Allah ialah talak” (Rasjid, 2011:
401).
Pada prinsipnya, suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena
berbagai hal. Menurut ketentuan Undang-Undang Pasal 38 UU No. 1 Tahun
1974, perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu: 1. kematian; 2. perceraian;
3. atas putusan pengadilan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Undang-Undang
Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang isinya memuat ketentuan imperatif
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Dalam hal putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Pasal 38
UU No. 1 Tahaun 1974 akan dijelaskan sebagai berikut:
4. Putusnya Perkawinan Karena Kematian
Menurut Prawirohamidjojo (2006: 123) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kematian bukanlah kematian perdata (le mort civile),
akan tetapi kematian daripada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud
oleh Undang-Undang kematian salah satu pihak, apakah sang suami
ataukah sang istri. Akan tetapi bukan kedua-duanya. Sebab, andai kata
kedua-duanya meninggal tidak perlu lagi kita bicarakan mengenai akibat-
akibat putusnya perkawinan terhadap pihak-pihak.
48
5. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian
Putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri atau
kehendak keduanya, karena adanya ketidak rukunan disebut dengan istilah
“perceraian” yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri sebagaimana seharusnya
menurut hukum perkawinan yang berlaku. Pada dasarnya, seorang pria dan
seorang wanita yang mengikat lahir dan batinnya dalam suatu perkawinan
sebagai suami dan istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan
tersebut dengan cara perceraian berdasarkan hukum perceraian yang
berlaku.Yang dimaksud dengan perceraian di sini adalah penjatuhan talak,
yaitu untuk membedakan dengan perceraian atas dasar gugatan
(Prawirohamidjojo, 2006: 123).
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 hanya memuat
pengertian perceraian, yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat. Ini
berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut bentuk-
bentuk perceraian yang ada dalam hukum Islam bentuk-bentuk perceraian
itu justru lebih banyak pengaturan hukumnya. Namun demikian, bentuk-
bentuk perceraian yang berakibat hukum putusnya perkawinan itu tetap
dapat bermuara pada cerai talak dan cerai gugat serta alasan-alasan hukum
perceraiannya yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No.9
Tahun 1975.
Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya
perkawinan yang diatur dalam hukum Islam, yang dapat menjadi alasan-
49
alasan hukum perceraianya dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat
yang telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Talak
Pengertian talak secara bahasa artinya melepaskan atau
meninggalkan. Menurut Sayyid Sabiq (1987: 7), “ Talak artinya
melepaskan ikatan perkawinan”. Menurut istilah syarak (Syaifuddin,
Turatmiyah, & Yahanan. 2013: 229) talak adalah:
حم رابطة انسواج وإوهاء انعالقة انسوجية Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
istri”.
Menurut Al-Jazairi, talak ialah:
انطالق إزانة انىكاح او وقصان حهً بهفظ مخصىص Artinya: “Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau
mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata
tertentu”.
Sedangkan menurut Abu Zakariya Al-Anshari, talak ialah:
حم عقد انىكاح بهفظ انطالق ووحىي Artinya: “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang
semacamnya”.
Jadi, dari beberapa pengertian talak dapat dipahami
bahwasannya talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya. Ini terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakinatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi
hak suami dari tiga menjadi dua, daru dua menjadi satu, dan dari satu
menjadi hilang hak dalam talak raj’i (Syaifuddin, Turatmiyah, &
Yahanan. 2013: 230).
50
Dalam pengertian perceraian (talak) dalam hukum Islam secara
garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1) Talak raj’i
Yaitu talak di mana suami masih mempunyai hak untuk
merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-
lafal tertentu, dan istrinya benar-benar sudah digauli. Dalam talak
raj’i paling banyak talak hanya diperbolehkan dua kali seumur
hidup, atau selama pergaulan suami istri untuk bisa rujuk kembali,
namun dengan syarat masih dalam masa iddah. Bila perceraian
sudah sampai tiga kali, berarti telah melampaui batas dan ketika itu
tertutuplah pintu untuk kembali. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 229:
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah”.
2) Talak ba’in
51
Yaitu talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami
istri. Talak ba’in terbagi menjadi dua bagian:
a) Talak ba’in sughra yaitu talak yang menghilangkan hak-hak
rujuk dari bekas bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan
hak nikah baru kepada istri bekas istrinya itu. Yang termasuk
dalam talak ini adalah talak suami kepada istri sebelum terjadi
setubuh (dukhul) dan khulu‟.
b) Talak ba’in kubra yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya
hak rujuk kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri
itu ingin melakukanny, baik waktu iddah atau sesudahnya.
Yang termasuk dalam talak ini adalah talak yang diakibatkan
karena ila’, zihar, dan li’an.
Secara umum, masyarakat biasanya hanya mengenal istilah
talak sebatas sebutan talak satu, talak dua, dan talak tiga. Talak yang
dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak
yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada
dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak.
Produk cerai talak disebut sebagai talak raj’i, di mana untuk rujuk
tidak harus melalui akad nikah baru. Rujuk dalam talak raj’i cukup
hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk dengan sang
istri, tentu saja lewat lembaga KUA. Sedangkan produk cerai gugat
disebut talak ba’in, yang dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu ba’in
52
sughro (dimungkinkan rujuk dengan akad nikah baru) dan bain kubro
(tidak mungkin rujuk lagi).
Pembahasan mengenai masalah putusnya perkawinan karena
perceraian hanya terpaut pada cerai talak saja. Yaitu perceraian yang
diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada
Pengadilan Agama. Sedangkan perceraian dalam pengertian cerai
gugat dibicarakan dalam sub bab putusnya perkawinan karena atas
putusan pengadilan (Bahari, 2012: 19).
b. Syiqaq
Soemiyati menjelaskan bahwa syiqaq itu berarti perselisihan
atau menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang
diselesaikan oleh dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan
satu orang dari pihak istri. Pengangkatan hakam jika terjadi syiqaq ini
merujuk pada Al-Qur‟an surat An-Nisa Ayat 35, yang artinya : “ dan
jika kamu hawatir ada persengketaaan antara kedua suami istri, maka
utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-
istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”.
Pengangkatan hakam yang dimaksud dalam ayat tersebut, terutama
bertugas untuk mendamaikan suai istri itu. Hanya dalam keadaaan
terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami
53
istri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan
menceraikan suami-istri tersebut (Syaifuddin, dkk. 2013: 16).
c. Khulu’
Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa khulu’ secara
etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Khulu’ dalam
kaitan hukum perkawinan sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat
187, disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu
merupakan pakaian bagi suaminya. Penggunakan kata khulu‟untuk
putusnya perkawinan, karena istri sebagai pakaian bagi suaminya
berusaha menanggalkan pakaianya itu dari suaminya. Dalam arti istilah
hukum dalam beberapa kitab fiqih khulu’ diartikan dengan putusnya
perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan
talak khulu’. Khulu’ itu merupakan satu bentuk dari putusnya
perkawinan, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan
itu, dalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau „iwadl
(Syaifuddin, dkk. 2013: 131).
d. Fasakh
Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila
dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan
perkawinan atau merusakan perkawinan. Kemudian secara
terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh
Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat
dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah
54
terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Pengertian fasakh dijelaskan
oleh Sajuti Thalib ialah suatu lembaga pemutusan hubungan
perkawinan karena tertipu atau karena tidak mengetahui sebelum
perkawinan bahwa istri yang telah dinikahinya itu ada cacat celanya.
Salah satu hadits rasul yang membolehkan seorang wanita yang sudah
dinikahi baru diketahui bahwa dia tidak sekufu (tidak sederajat dengan
suaminya), untuk memilih tetap diteruskan hubungan perkawinannya
itu atau apakah dia ingin difasakhkan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Atsar, Umar bin Khatab pernah memfasakhkan suatu perkawinan pada
masa beliau menjadi khalifah karena penyakit bershak (semacam
penyakit menular) dan gila, rawahul Daruquthni (Syaifuddin, dkk.
2013: 137).
e. Fahisah
Fahisah menurut al-Qur‟an Surah Anisa‟: 15 ialah perempuan yang
melakukan perbuatan keji atau perbuatan buruk yang memalukan
keluarga, seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian, dan
sejenisnya. Apabila terjadi peristiwa yang demikian itu, maka suami
dapat bertindak mendatangkan empat orang saksi laki-laki yang adil
yang memberikan kesaksian tentang perbuatan itu, apabila terbukti
benar, maka kurunglah wanita itu dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, maksudnya sampai Allah memberikan jalan
petunjuk kepadanya hingga sadar dan bertaubat (Syaifuddin, dkk.
2013: 140).
55
f. Ta’lik Talak
Pada prinsipnya ta’lik talak, menurut penjelasan Sudarsono
adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap
peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya antara suami istri. Dalam kenyataan, hubungan suami-istri
menjadi putus berdasarkan ta’lik talak dengan adanya beberapa syarat,
yaitu pertama, berkenaan dengan adanya peristiwa adanya peristiwa
dimana digantungkan talak berupa terjadinya sesuatu seperti yang
diperjanjikan. Misalnya: pernyataan suami bahwa jika ia meninggalkan
istri selama enam bulan dengn tiada kabar dan tidak mengirim nafkah
lahir batin atau suami berjanji bahwa ia tidak akan meukul istri lagi.
Kedua, menyangkut masalah ketidakrelaan istri. Apabila suami
ternyata tetap melakukan pemukulan kepada istri, maka istri tidak rela.
Ketiga, apabila istri sudah tidak rela, maka ia boleh menghadap pejabat
yang berwenang menangani masalah ini, yang dalam hal ini Kantor
Urusan Agama. Keempat, istri membayar „iwadl melalui pejabat yang
berwenang sebagai pernyataan tidak senang terhadap sikap yang
dilakukan suami terhadapnya (Syaifuddin, dkk. 2013: 141).
g. Ila’
Ila’ berasal dari bahasa Arab, yang secara arti kata berarti
tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah. Ila’ sebagai
mana yang terdapat dalam Syarah Minhaj Al-Thalibin berarti sumpah
suami untuk tidak menggauli istrinya. Sementara Ila’ menurut syara‟
56
adalah bersumpah untuk tidak menggauli istri. Dasar adanya Ila’
adalah firman Allah: “Kepada orang-orang yang mengIla‟ istrinya
diberi tangguh empat bulan lamanya”. (QS. Al-Baqarah: 226)
(Syaifuddin, dkk. 2013: 148).
h. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan Ila’.
Arti Zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu
baginya sama dengan punggung ibunya. Syeikh Hasan Ayub
menjelaskan bahwa ulama sepakat bahwasanya zhihar berlaku dengan
cara menyerupakan istri dengan punggung ibunya. Namun mayoritas
ulama mengatakan yang disebut zhihar adalah apabila suami
menyerupakan istrinya dengan anggota tubuh yang haram dilihatnya
(Syaifuddin, dkk. 2013: 153).
i. Lian
Lian artinya melaknat. Diantara definisi yang representatif,
yang mudah difahami lian adalah sumpah suami yang menuduh
istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan
empat orang saksi. Hukuman menuduh zina tanpa saksi yang cukup
yaitu didera 80 kali. Al-Qur‟an Surah An-Nur ayat 4 mengatur:
Dalam hal yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik itu
berzina dan mereka tidak mempunyai empat orang saksi maka
deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk seama-
lamanya (Syaifuddin, dkk. 2013: 158).
j. Murtad (Riddah)
57
Syaikh Hasan Ayyub menjelaskan bahwa apabila salah seorang
suami-istri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena
fasakh menurut pendapat meyoritas ulama. Dituturkan dari Abu Daud
bahwa pernikahan tidak terkena fasakh sebab kemurtadan karena
menurut ketentuan dasar nikahnya tetap sah. Apabila kemurtadan
terjadi setelah persetubuhan maka dalam hal ini ada dua pendapat. Satu
pendapat mengatakan bahwa serta merta terjadi perpisahan. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Pendapat lain mengatakan
bahwa perpisahan ditunda hingga berakhirnya iddah. Apabila yang
murtad itu kembali masuk Islam sebelum iddah berakhir, maka suami-
istri tetap dalam hubungan pernikahan. Apabila ia tidak masuk Islam
sampai akhir iddah berakhir, maka terjadi perpisahan sejak hari ia
murtad. Ini adalah madzab Syafi‟i (Syaifuddin, dkk. 2013: 162).
6. Putusnya Perkawinan Karena Atas Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena atas putusan pengadilan dalam hal ini
yang dibahas adalah berkenaan masalah cerai gugat. Produk cerai gugat
sendiri seperti halnya yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya
adalah talak ba’in.
Dalam setiap gugatan perceraian oleh istri kepada suami, biasanya
Pengadilan Agama memutus dan mangabulkan atau menolak gugatan
didasarkan oleh alasan-alasan tertentu. Dalam pasal 39 ayat 2 UU No.
1/1974 dijelaskan “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
58
istri”. Sedangkan dalam penjelasan atas Pasal 39 ayat 2 UU No. 1/1974
dan juga dalam Pasal 19 PP No. 9/1975 disebutkan sebagai berikut: “
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauan;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
f. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Selanjutnya di dalam KHI juga dipertegas dalam Pasal 116, yang
substansinya sama dengan Pasal 19 PP No. 9/1975, namun ada tambahan
dua poin yaitu:
a. salah satu pihak melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab
kabul pernikahan;
59
b. salah satu pihak beralih agama atau murtad yang mengakibatkan
ketidakharmonisan keluarga dan tidak bisa hidup rukun.
Berbicara masalah taklik-talak sebagaimana dijelaskan di atas.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf e dijelaskan bahwa sighat
taklik adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai pria setelah akad
nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa
yang akan datang. Sighat taklik-talak ini terdapat pada buku kutipan akta
nikah bagian belakang. pada umumnya, setelah akad nikah mempelai pria
diminta untuk membacanya. Sekalipun sifatnya suka rela yang mana
berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, namun di negara ini
membaca taklik-talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh suami.
Rumusan sighat taklik-talak adalah rumusan yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990, yang
rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut (Saifullah, Arifin & Izzudin.
2005: 55):
Sesudah akad nikah, saya ... bin ... berjanji dengan sesungguh hati,
bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan
akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ... dengan baik (mu’asyarah
bil ma’ruf) menurut ajaran syari‟at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik atas istri saya itu
sebagai berikut:
60
Sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun bertururt-turut.
(2) Atau saya tidak memberi nafkaf wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
(3) Atau saya menyakiti badan/ jasmani istri saya itu
(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam
bulan lamanya,
kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu,
dan pengaduan dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas
tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak
saya satu kepadanya.
Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk
menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya
kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat untuk keperluan
ibadah sosial.
Berdasarkan rumusan tersebut ada 10 unsur-unsur pokok sighat
taklik-talak, yang apabila terpenuhi maka bisa dijadikan alasan dalam
pengabulan pemutusan perkawinan oleh Pengadilan, yakni:
a. Suami meninggalkan istri, atau;
b. Suami tidak memberi nafkah kepada istri, atau;
c. Suami menyakiti istri, atau;
d. Suami membiarkan tidak (memperdulikan) istri;
e. Istri tidak rela;
61
f. Istri mengadu ke Pengadilan;
g. Pengaduan istri diterima oleh Pengadilan;
h. Istri membayar uang iwadl;
i. Jatuhnya talak satu suami kepada istri;
j. Uang iwadl oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk
selanjutnya diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah
sosial.
62
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
D. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Salatiga
Dikutip dari website PA Salatiga (http://www.pa-
salatiga.go.id/index.php/news/profil.html#sejarah, diakses pada hari minggu
14 september 2014, 11.34 WIB), sekilas tentang sejarah perjalanan PA
Salatiga dapat dijabarkan sebagai berikut:
6. Sejarah pembentukan PA Salatiga
Pengadilan Negeri Salatiga dibentuk pada abad ke-19 yaitu pada
tahun 1896 berupa Landraad untuk keperluan Warga Negara Asing dan
Belanda, Pemerintah Daerah pada masa itu berupa Kabupaten Semarang
dan Kawedanan Salatiga yang berpusat di Salatiga berbentuk Gamanto
yang pada perubahannya setelah kemerdekaan menjadi Kota Praja dan kini
berbentuk Kota Madia. Sejarah Peradilan Agama Salatiga dibagi atas
beberapa dekade, yaitu:
a. Masa Sebelum Penjajah
Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita kenal
sekarang ini embrionya sudah ada sejak Agama Islam masuk ke
Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan
perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga
dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam di Salatiga dan di daerah
Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa,
63
mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang
diangkat oleh Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan
Tauliyah dari Waliyul Amri yakni penguasa tertinggi. Qodli (Hakim)
yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama' yang ahli dibidang
Agama Islam.
b. Masa Penjajahan Belanda Sampai Jepang
Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di
Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan
menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang Peradilan
umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan
keputusannya kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda
menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini.
Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda menghapus
pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah daging di
Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian
pemerintah Kolonial belanda menerbitan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische
Staatsregaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan
masyarakat Islam di bidang Peradilan yaitu berdirinya Raad Agama,
disamping itu pemerintah kolonial Belanda menginstruksikan kepada
para Bupati yang termuat dalam Staatblad tahun1820 No. 22 yang
menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di
kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama.
64
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun
1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid
Kauman Salatiga dengan ketua dan hakim Anggotanya diambil dari
alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang
yaitu K. Salim sebagai Ketua dan K. Abdul Mukti sebagai Hakim
Anggota dan Sidiq sebagai sekretaris merangkap bendahara dan
seorang pesuruh. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi
Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.
Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara
waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu
penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad
Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada
tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya
sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan
Ketua beserta stafnya juga masih sama.
c. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945,
Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa. Kemudian
pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 pegawai.
Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq
Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama
Kecamatan Salatiga yang sama-sama mengunakan serambi Masjid
sebagai kantor.
65
Kemudian kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari
serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72
Salatiga sampai tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor
Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 Mei
2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga.
Kemudian kantor lama digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas.
kemudian pada tahun 1953 Ketua dijabat oleh K. Moh Muslih,
padatahun 1963 Ketua dijabat oleh K.H. Musyafa'.Pada tahun 1967
Ketua dijabat oleh K. Sa'dullah, semua adalah alumnus Pondok
Pesantren.
d. Masa Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 pada tanggal 17 Desmber 1970 kedudukan dan posisi
Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan
Agama Salatiga, namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang
karena belum mempunyai undang-undang yang mengatur tentang
keluarga muslim. Melalu proses kehadirannya pada akhir tahun 1973
membawa suhu politik naik. Para ulama dan umat Islam di Salatiga
juga berjuang ikut berpartisipasi, akan terwujudnya undang-undang
perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.
Setelah secara efektif Undang-Undang Perkawinan berlaku
yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
66
Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti
dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin
mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh Pengadilan
Agama, di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang
menjadi kewenangannya.
Volume perkara yang naik yaitu perkara Cerai Talak disamping
Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara Isbat Nikah ( Pengesahan
Nikah ), karena di Pengadilan Agama Salatiga yang wilayahnya sangat
luas yaitu meliputi Daerah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang,
maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982 tanggal 2
Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10 Nopember
1982 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran. Adapun
penyerahan wilayah yaitu dilaksanakan pada tanggal 27 April 1984
dari Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs. A.M. Samsudin Anwar
kepada Ketua Pengadilan Agama Ambarawa yaitu sebagian wilayah
Kabupaten Semarang.
e. Masa Berlakunya UU No. 7 Tahun 1989
Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat. Pengadilan Agama
berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui
Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Untuk melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada
67
petugas Jurusita. Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang
Pengadilan Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan
bimbingan dan pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara
teknis Yustisial mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI
dan Pengadilan Tinggi Agama.
Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan
Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya
menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari
segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih
ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana yang
tersedia untuk sarana fisik kurang memadai, namun kwalitas sumber
daya manusia Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar
dengan Peradilan Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut
harus malalui seleksi yang ketat dan memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan.
Sejak Pengadilan Agama mendapatkan pembinaan dari
Mahkamah Agung RI mulai diadakan pemisahan jabatan antara
Kepaniteraan dan Kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara
Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi para Hakim juga diberi tugas
Pengawasan bidang-bidang. Upaya pembenahan di Pengadilan Agama
Salatiga selalu ditingkatkan. Pengadilan Agama Salatiga sampai tahun
2004 belum memenuhi standar gedung Pengadilan, yang ada sekarang
adalah bangunan rumah kuno peninggalan zaman Belanda, selain itu
68
balai sidang dan ruang-ruang lainnya sangat sempit. Demikianlah
keadaan sejarah Pengadilan Agama Salatiga sampai saat ini sehingga
untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagai Court of Law perlu pembenahan lebih lanjut.
7. Dasar hukum pembentukan PA Salatiga
a. Pengadilan Agama Salatiga dibentuk berdasarkan Staastblad tahun
1882 No. 152 (Nama Pengadilan Agama disebutkan sebagaimana
adanya pada saat itu Raad Agama).
b. Kemudian pada tahun 1951 terjadi perpindahan lokasi Pengadilan
Agama Salatiga dari halaman/serambi Masjid Jami' Kauman Salatiga
di tempat sekarang ini di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga, berdasarkan
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 dan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/010/SK/III/1996 tanggal
06 Maret 1996 terjadi perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama
Salatiga sampai sekarang ini.
8. Wewenang Pengadilan Agama Salatiga
Wewenang Pengadilan Agama terdiri dari wewenang absolut dan
wewenang relatif.
a. Wewenang Absolut
Wewenang absolut Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis
perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Pasal 49 ayat 1 UU No. 7
Tahun 1989 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
69
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a.
perkawinan, b. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, c. wakaf dan shadaqah.
b. Wewenang Relatif
Wewenang relatif berkenaan dengan daerah hukum suatu
Pengadilan. Adapun daerah yang termasuk dalam wewenang relatif
Pengadilan Agama Kota Salatiga disini terdiri dari 13 Kecamatan,
yaitu Kecamatan Sidorejo, Sidomukti, Argomulyo, dan Tingkir untuk
diwilayah Kota Salatiga sendiri. Sedangkan Kecamatan Bringin,
Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh dan
Pabelan untuk di wilayah Kabupaten Semarang.
9. Visi dan Misi PA Salatiga
a. Visi
Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan
berwibawa.
b. Misi
1) Mewujudkan rasa keadilan masayarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati
nurani;
2) Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan Independen, bebas dari
campur tangan pihak lain;
70
3) Meningkatkan pelayanan di bidang peradian kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan;
4) Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional
dan proposional;
5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan
bermartabat dalam melaksanakan tugas;
10. Struktur Organisasi PA Salatiga
Dasar hukum pembentukan:
a. UU No. 7 Tahun 1989
b. Keputusan Mahkamah Agung RI No. 004/sk/D/1992
c. Keputusan Mentri Negara No. 303 Tahun 1990
d. Keputusan Mentri Agama No. 73 Tahun 1993
e. SEMA RI No. 5 Tahun 1996
72
E. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
Angka perceraian di Kota Salatiga terus meningkat dari tahun ke
tahun. Selain angkanya meningkat, terdapat fakta kasus perceraian yang
sampai ke PA Salatiga, lebih banyak diajukan oleh kaum perempuan alias
pihak istri. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar perceraian itu
terjadi pada pasangan muda, yakni pada kisaran umur perkawinan 10 tahun ke
bawah, di usia produktif perkawinan. Data dari PA Salatiga menyebutkan,
mayoritas kasus yang mereka tangani terkait perceraian adalah perceraian
pasangan muda. Berdasarkan wawancara tanggal 26 Juni 2015 dengan Ibu
Widad, Panitera Muda Hukum PA Salatiga memaparkan bahwa pada tahun
2014, PA Salatiga menangani hampir 100 perkara perceraian tiap bulannya,
baik gugat cerai maupun gugat talak. Dari jumlah tersebut 70 adalah
perceraian pasangan usia muda yang umurnya dibawah 40 tahun. Jumlah ini
dinilai cukup tinggi. Pemohon cerai ini meliputi warga Kota Salatiga dan
beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Semarang, yang berdekatan
dengan Kota Salatiga.
Dari perkara perceraian yang masuk di PA Salatiga, pengajuan
perceraian yang ada lebih didominasi dari wilayah kabupaten Semarang.
Mengingat kewenangan relatif PA Salatiga terdiri dari 13 Kecamatan yang
terbagi atas Kota Salatiga hanya ada 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sidorejo,
Sidomukti, Argomulyo, dan Tingkir, sedangkan sisanya adalah wilayah
Kabupaten Semarang sebanyak 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Bringin,
Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh dan
73
Pabelan. Kewenangan relatif PA Salatiga ini berdasarkan Keputusan
Mahkamah Agung RI Np. KMA/010/SK/III/1996 tanggal 6 Maret 1996.
Meningkatnya gugatan cerai yang diajukan oleh pihak perempuan
terlihat jelas sejak beberapa tahun terakhir. Data yang dihimpun dari
Pengadilan Agama Kota Salatiga menyebutkan pada 2014 dari kasus
perceraian yang sampai ke Pengadilan Agama ada sebanyak 1329 perkara,
terdiri dari 401 permohonan cerai talak (penggugat laki-laki) dan 928
permohonan cerai gugat (penggugaat perempuan). Artinya separuh lebih
gugatan atau sekitar 70 dari gugatan cerai yang diajukan adalah lebih
banyak dari pihak istri dibanding gugatan yang diajukan pihak suami.
Berdasarkan data yang didapat dari laporan tahunan perkara yang
diputus pada Pengadilan Agama Salatiga, dalam setiap tahunnya rata-rata
perkara masuk adalah 1654 perkara. Hal ini didasarkan pada data perkara yang
masuk di PA Salatiga selama kurun waktu tahun 2011-2014. Dari data yang
ada sebanyak 73 adalah perkara perceraian dan 27 sisanya adalah perkara
campuran, baik masalah permohonan dispensasi nikah, perwalian, pengesahan
anak, isbat nikah, kewarisan, masalah perwalian dan lain sebagainya
mengingat Pengadilan Agama tidak hanya mengurusi masalah perceraian saja.
Di bawah ini adalah data perkara yang masuk di PA Salatiga dari tahun
2011-2014:
74
Tahun Diterima Jumlah Cerai
Talak
Cerai
Gugat
Dicabut Dikabulkan Sisa Tahun
Sebelumnya
2011 1.151 1.444 323 740 48 964 293
2012 1.254 1.596 405 768 50 1.165 342
2013 1.379 1.750 444 836 60 1.272 371
2014 1.440 1.826 401 928 70 1.345 386
Tabel 3.1. Data perkara masuk di PA Salatiga
Dari data tersebut di atas kita bisa melihat, bahwa pihak istri jauh lebih
banyak yang menggugat cerai dibanding suami setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil observasi data perceraian PA Salatiga tahun 2014
didapatkan informasi bahwasannya dari 1329 perkara cerai, faktor perceraian
yang paling dominan adalah hubungan pasutri (pasangan suami istri) yang
tidak harmonis sekitar 36%. Selanjutnya diikuti karena masalah ekonomi 25%
dan urutan tiga terakhir adalah karena suami meninggalkan kewajibannya
terhadap istri sekitar 22%.
Berikut adalah data penyebab perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2014:
75
Gambar 3.2. Data penyebab perceraian PA Salatiga
Sebagaimana wawancara pada tanggal 26 Juni 2015 kepada
Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Salatiga, Ibu Widad yang
mengatakan bahwa terkait kasus cerai gugat yang tinggi, penyebab
terbanyak biasanya dipicu akibat perselisihan. Faktor penyebab
perselisihan dipicu kawin paksa, cemburu, faktor ekonomi, kawin di
bawah umur, tidak ada keharmonisan, selingkuh, ada WIL (wanita idaman
lain) atau PIL (pria idaman lain) namun itu angkanya sangat kecil. Selain
itu, faktor lain penyebab perceraian adalah karena tidak adanya tanggung
jawab dari suami, seperti suami lari dari tanggung jawab untuk memberi
nafkah istri, suami meninggalkan istri selama bertahun-tahun tanpa ada
kabar dan tanpa diketahui keberadaannya, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), krisis akhlak seperti suami mabuk-mabukan, perselingkuhan,
Gangguan pihak ketiga, 53
Tidak ada keharmonisan, 472
Ekonomi; 330
Tidak Tanggung jawab; 292 Krisis akhlak; 83
Cemburu; 64KDRT; 29
Dihukum; 9
Kawin di bawah umur; 13
Other; 51
76
yang pada akhirnya berujung pada perselisihan yang berkepanjangan dan
tidak ada jelan keluar penyelesainnya secara baik-baik.
F. Temuan Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan di PA Salatiga, ada beberapa hal
yang ditemukan berdasarkan hasil dari observasi, wawancara dan pengkajian
data-data perceraian periode 2014. Di antara temuan penelitian tersebut yaitu:
Pertama adalah perihal data perkara yang masuk. Perkara yang
ditangani oleh PA Salatiga dalam setiap tahunnya rata-rata adalah 1654
perkara. Dengan porsi 73 adalah perkara perceraian yaitu sebanyak 1207
perkara, dan 27 sisanya yaitu 447 perkara adalah perkara campuran, baik
masalah permohonan dispensasi nikah, perwalian, pengesahan anak, isbat
nikah, kewarisan, masalah perwalian dan lain sebagainya. Dari 73 perkara
perceraian tersebut dibagi kembali atas cerai talak dan cerai gugat. Fakta yang
didapat, ternyata rata-rata prosentase kasus cerai yang paling besar ditangani
oleh PA Salatiga adalah perceraian sebab guguatan istri kepada suami atau
cerai gugat, sebesar 68% yaitu sebanyak 821 perkara . Dan 32% sisanya
sebanyak 386 adalah cerai talak.
Kedua, berkenaan kewenangan relatif PA Salatiga dalam mengadili,
dari rata-rata 1654 perkara yang masuk di PA Salatiga dalam setiap tahunnya,
hanya 10% perkara yang berasal dari wilayah Kota Salatiga yaitu sebanyak
165 perkara tiap tahunnya. Dan sisanya berasal dari sebagian kecamatan yang
ada di Kabupaten Semarang. Dari 165 perkara yang berasal dari Kota Salatiga,
77
sebanyak 120 perkara adalah berupa perkara perceraian dan 45 perkara adalah
selain perkara perceraian. Perkara perceraian yang terdaftar di PA Salatiga
dibagi atas cerai gugat yaitu sebanyak 84 perkara dan 36 lainnya adalah
perkara cerai talak . Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa yang paling
mendominasi perkara perceraian di PA Salatiga adalah permohonan
perceraian masyarakat dari wilayah Kabupaten Semarang. Sehingga dapat
diambil perbandingan perkara perceraian yang berasal dari wilayah asli Kota
Salatiga dengan wilayah sebagian Kabupaten Semarang adalah satu
berbanding sembilan perkara pada setiap tahunnya.
Ketiga adalah kuantitas perceraian di Kota Salatiga tahun 2014. Dari
data perkawinan tahun 2011-2014 berdasakan data base perkawinan dari
KUA Kota Salatiga didapatkan informasi bahwasannya selama periode
tersebut, KUA Kota Salatiga telah mencatat rata-rata 1170 peristiwa nikah
dalam setiap tahunnya. Berikut adalah data peristiwa nikah di Kota Salatiga
tahun 2011-2014:
No Tahun Frekuensi
1 2011 1224
2 2012 1199
3 2013 1109
4 2014 1146
Jumlah 4678 Tabel 3.2 Data Perkawinan KUA Salatiga
Jika ditelisik kembali berdasarkan data perceraian warga Salatiga
sendiri yang berjumlah 120 perkara tiap tahunnya, maka perkawinan yang
berhasil dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah ada
sebanyak 1050 pasangan atau sekitar 90% dari 1170 peristiwa nikah. Dan
78
sisanya yang gagal membina rumah tangga ada sebanyak 120 pasangan atau
sekitar 10% saja.
Keempat adalah alasan-alasan permohonan cerai gugat istri pada
suami. Berdasarkan petitum surat gugatan yang ada, hampir rata-rata petitum
dalam surat gugatan yang dilayangkan ke PA Salatiga beralasankan:
1. Tidak ada keharmonisan dalam keluarga
Salah satu faktor paling dominan yang menjadi penyebab terjadi
perceraian adalah karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga
yang berujung pada perselisihan dan tiada penyelesainnya. Di PA Salatiga,
perkara ini paling tinggi prosentasenya sekitar 36% yaitu ada sebanyak
472 perkara.
2. Faktor ekonomi
Permasalahn ekonomi menjadi alasan kedua kenapa istri
menggugat suaminya. Di PA salatiga ada sekitar 25% perkara karena
alasan ini, yaitu 330 perkara. Gugat cerai istri terhadap suaminya yang
didasari oleh permasalahn ekonomi terjadi karena suami memberikan
nafkah kepada istrinya tidak mencukupi. Ada beberapa alasan
ketidakmampuan suami memberi nafkah istri. Pertama, karena suami
seorang tunawisma, yang mana justru istri yang menanggung kebutuhan
keluarga termasuk kebutuhan suami seperti perkara perceraian No.
0426/Pdt.G/2014/PA.Sal. Kedua, karena suami banyak hutang dan
seringkali ditagih hutang oleh debt collekctor. Seperti perkara No.
79
0637/Pdt.G/2014/PA.Sal, akibat terlilit hutang benyak, suami tidak pernah
memberikan nafkah lahir dan malah seringkali meminta uang kepada istri.
3. Tidak adanya tanggung jawab dalam rumah tangga
Faktor tidak ada tanggung jawab dalam rumah tangga ini sebagai
akibat tidak adanya singkronisasi seimbang pelaksanaan hak dan
kewajiban sebagai suami istri. Dari beberapa contoh putusan yang ada
bentuk tidak adanya tanggung jawab suami dalam rumah tangga adalah
suami tidak pernah memperdulikan atau mengurusi istri. Selain itu suami
juga tidak pernah memberikan nafkah wajib, baik lahiriyah maupun
batiniyah kepada istri dan anaknya. Di PA Salatiga ada sekitar 22%
perkara karena alasan ini yaitu sebanyak 292 perkara.
4. Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Seperti dicontohkan dalam perkara No: 0637/Pdt.G/2014/PA.Sal,
KDRT memang sering dijumpai dalam kehidupan berumah tangga. Dalam
perkara tersebut istri sering menerima perlakuan kasar dari suami sehingga
tidak tahan dan menuntut cerai dari suaminya. Pengajuan gugatan
perceraian karena KDRT dewasa ini tidak begitu mendominasi di PA
Salatiga, ada sekitar 1% saja atau sebanyak 9 perkara perceraian karena
alasan ini.
5. Hadirnya pihak ketiga
Hadirnya pihak ketiga masih menjadi polemik yang kontras terjadi.
Tanpa disadari ternyata kehadiran orang lain di luar struktur keluarga
secara utuh memberi kontribusi perceraian yang sangat signifikan. Di PA
80
salatiga percerian karena alasan ini ada sekitar 4% atau sebanyak 53
perkara. Dicontohkan dalam perkara No: 1278/Pdt.G/2014/PA.Sal dalam
petitumnya menyebutkan bahwa alasan istri mengajukan gugatan
perceraian kepada suami adalah karena sang suami menjalin hubungan
cinta dengan beberapa wanita lain.
6. Krisis moral
Seperti dicontohkan dalam perkara No: 0426/Pdt.G/2014/PA.Sal.
Dalam petitum dijelaskan bahwa alasan istri menggugat cerai suami
karena suami sering minum-minuman keras bahkan sampai mabuk. Dari
kebiasaan-kebiasaan negatif suami tersebut yang pada akhirnya istri
mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Dalam perkara ini hanya
ada sekitar 6% atau 83 perkara perceraian yang di laporkan ke PA
Salatiga.
Berdasarkan pemaparan data yang telah disampaikan di atas
bahwasannya perkara perceraian yang masuk di PA Salatiga, bagi penduduk
asli warga muslim Kota Salatiga pada periode tahun 2014 ada sebanyak 120
perkara dengan perincian 84 perkara cerai gugat dan 36 perkara cerai talak.
Adapun faktor penyebab cerai gugat yang paling mendominasi adalah karena:
1. Alasan ketidak harmonisan, ada sebanyak 31 perkara. Jika kita pahami
tentang ketidak harmonisan dalam rumah tangga yang menyebabkan hal
tersebut terjadi dapat berupa perbedaan pandangan, tingkat pendidikan,
serta pemahaan terhadap membina rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah.
81
2. Faktor penyebab selanjutnya adalah karena masalah ekonomi, ada
sebanyak 24 perkara. Dari perkara cerai gugat warga muslim Kota Salatiga
yang masuk di PA Salatiga berdasarkan data para pihak yang berperkara,
hampir rata-rata profesi mereka adalah sebagai karyawan swasta baik
sebagai buruh pabrik ataupun yang lainnya. Apabila melihat gaji seorang
karyawan swasta, tentunya masalah kebutuhan ekonomi keluarga dapat
teratasi, namun faktanya dalam petitum penggugat masalah ekonomi
menjadi alasan perceraian.
3. Penyebab cerai gugat selanjutnya adalah karena tidak adanya tanggung
jawab suami terhadap istri, baik tanggung jawab secara lahiriyah maupun
batiniyah. Dari perkara yang masuk di PA Salatiga, perkara oleh warga
muslim Kota Salatiga ada sebanyak 16 perkara. Berdasarkan alasan dalam
petitum pemohon, rata-rata pengajuan cerai gugat karena suami pergi
meninggalkan istri tanpa ijin dan tanpa alasan yang jelas. Hampir rata-rata
pengajuan gugatan cerai oleh istri kepada suami sebagai akibat dari suami
yang meninggalkan istrinya selama bertahun-tahun, dengan tanpa ada
kabar dan tidak diketahui letak keberadaannya. Lebih daripada itu, suami
tidak memberikan tinggalan apapun baik berupa uang ataupun harta benda
lainnya agar bisa dipergunakan istri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Adapun faktor penyebab cerai gugat yang lain, namun tidak begitu
mendominasi bagi warga muslim Kota Salatiga sebagai alasan
permohonan cerai adalah karena masalah kekerasan dalam rumah tangga
ada sebanyak 6 perkara, krisis moral seperti suami sering mabuk-mabukan
82
ataupun seorang penjudi ada sebanyak 3 perkara dan karena hadirnya
pihak ke-3 ada sebanyak 4 perkara.
Gambar 3.3. Data Penyebab Perceraian Warga Muslim
Kota Salatiga Tahun 2014
Faktor-faktor di atas adalah sebagai alasan yang menyebabkan para
istri warga muslim Kota Salatiga berani mengambil tindakan untuk
mengambil sikap tegas agar hak-haknya dapat terlindungi yaitu melalui
pengajuan gugatan cerai atas suami kepada PA Salatiga. Karena mereka sadar
bahwa hukum di Indonesia menjamin dan memberikan perlindungan atas
tindakan-tindakan suami yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
tuntunan ajaran agama Islam yang ada.
24
16
6
34
Faktor Ekonomi Tidak Tanggung Jawab
KDRT Krisis Moral
Hadirnya Pihak Ketiga
83
BAB IV
PEMBAHASAN
C. Gambaran Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga
Perceraian merupakan bagian dari dinamika rumah tangga. Perceraian
ada karena adanya perkawinan. Walaupun tujuan perkawinan bukan
perceraian sebagaimana amanat Undang-Undang, tapi perceraian merupakan
sunnatullah dengan beragam penyebab yang melatar belakanginya. Pada
prinsipnya, suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal.
Dalam Undang-Undang Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan
disebabkan karena tiga hal yaitu: kematian, perceraian, dan atas putusan
pengadilan. Sebenarnya perceraian bisa dihindari jika suatu pasangan suami
istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan
terwujud ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan
hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan
terwujud sesuai dengan tuntunan agama dan amanat negara, yaitu sakinah,
mawaddah, warahmah. Wujud dari tanggung jawab sebagai suami istri itu
sendiri adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri,
sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam
BAB VI Pasal 30-34. Pasal 30 disebutkan, “Suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat”. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada semacam
sinergisitas tanggung jawab yang harus dipikul bersama oleh suami dan istri
84
dalam membina rumah tangga yang baik. Sehingga konsep rub’al-jinayat
dalam fikih munakahat, yaitu menata pengamanannya dalam suatu tertib
pergaulan yang menjamin ketentraman pasangan suami-istri dapat terealisasi
secara sempurna.
Meskipun konflik keluarga tidak selamanya terselesaikan secara damai
tanpa harus bercerai, namun jalan perceraian itu adalah sebuah perbuatan yang
legal dan sah-sah saja untuk dilakukan, akan tetapi perceraian di dalam Islam
amatlah tidak dianjurkan, karena Islam tetap memandang bahwa perceraian
adalah suatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam, sebagaimana
hadits Nabi Muhammad SAW:
و أبغض انحالل إنى هللا تعانى انطالق .قال رسىل هللا ص: عه ابه عمر قالArtinya: “Dari Ibn Umar ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda “Sesuatu
yang halal yang amat dibenci oleh Allah ialah talak” (Rasjid, 2011:
401).
Perkara perceraian yang diajukan ke PA Salatiga untuk diproses secara
hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang semakin bertambah
tiap tahunnya. Padahal kita tahu bahwa Pengadilan Agama, khususnya
Pengadilan Agama Salatiga sendiri dalam azasnya selalu mempersulit
perceraian dan lebih memprioritaskan perdamaian baik melalui cara mediasi
maupun lainnya mediasi. Selain itu, dalam proses perceraian terlebih
berkenaan masalah cerai gugat, di Indonesia harus dilakukan di depan
lembaga taklik talak yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama,
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 39 UU No. 1 Tahun
1974 yang isinya memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat
85
dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha mendamaikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, secara nyata diketahui bahwa
angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibanding negara
Islam lainnya (Bahari, 2012:12). Gejolak yang mengancam kehidupan struktur
keluarga ini semakin bertambah jumlahnya. Hal yang paling memilukan
adalah perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang
menikah, 10 pasangnya bercerai. Ironisnya dari berbagai kasus perceraian di
PA Salatiga hampir 70% adalah gugatan perceraian oleh istri kepada
suaminya, sedang sisanya adalah cerai talak dari permohonan suami. Hal ini
menunjukkan bahwa telah ada semacam pergeseran nilai-nilai dalam
kehidupan masyarakat.
Pada zaman dahulu kala perceraian adalah hak mutlak dari seorang
suami yang dijatuhkan kepada istrinya dengan sebab yang beragam di
antaranya karena permasalahan sudah tidak adanya rasa ketenangan dan
keharmonisan dalam rumah tangga dan lain sebagainya. Selain itu, dahulu istri
paling khawatir atau takut jika diceraikan oleh suaminya, namun kenyataan
sekarang yang terjadi menunjukkan bahwa sebagian besar istrilah yang lebih
banyak mengajukan cerai ke Pengadilan Agama. Pergeseran nilai ini
merupakan fenomena sosial yang menyangkut kultur budaya di masyarakat
yang menganggap lebih moderen dan mapan. Keberanian istri dalam
mengajukan gugatan cerai mengindikasikan perkembangan positif kesadaran
perempuan akan hak-haknya yang mulai meningkat. Dari yang dulunya masih
86
takut-takut ketika hak-hak dirinya apabila dalam rumah tangganya merasa
dizhalimi oleh suami, maka perempuan tersebut tidak merasa enggan lagi
untuk melaporkan ketidak adilan dan kekerasan yang terjadi pada rumah
tangganya, bahkan gugat cerai istri kepada suami sudah menjadi hal yang
dipandang biasa pada masa sekarang ini.
Dalam praktiknya yang terjadi di PA Salatiga, perceraian yang
dilakukan oleh istri atau yang lebih dikenal dengan cerai gugat mengalami
kenaikan atau bahkan lebih tinggi volumenya dibandingkan dengan perkara
cerai talak. Melonjaknya angka perceraian terlihat jelas sekali mulai tahun
2011 hingga 2014. Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2011 telah
menangani perkara cerai talak sebanyak 323 perkara, sedangkan cerai gugat
sebanyak 740 perkara, kemudian tahun 2012 ceri talak sebanyak 405 perkara
sedangkan cerai gugat sebanyak 768 perkara, pada tahun 2013 cerai talak
sebanyak 444 perkara, sedangkan cerai gugat 836 dan pada tahun 2014,
perkara cerai talak sebanyak 401, sedangkan perkara cerai gugat naik begitu
drastisnya hingga mencapai 928 perkara. Dari data perkara perceraian tahunan
tersebut dapat kita lihat, bahwa dalam kurun waktu empat tahun telah terjadi
kenaikan perceraian yang cukup signifikan baik cerai talak maupun cerai
gugat. Sempat terjadi penurunan perkara cerai talak di tahun 2014 dari tahun
sebelumnya namun berbanding terbalik dengan perkara cerai gugat yang
mengalami penambahan perkara yang melebihi separuh dari perkara cerai
talak. Fenomenaa ini sungguh sangat di sayangkan sekali ketika kasus perkara
cerai yang diajukan suami kepada istri tergolong rendah kenaikan tiap
87
tahunnya, namun melihat perkara cerai yang diajukan istri kepada suami justru
mengalami kenaikan berkali lipat setiap tahunnya sebagaimana pada
keterangan di atas . Untuk lebih mudahnya, berikut adalah grafik perkara
perceraian di PA Salatiga:
Gambar 4.1. Data perceraian di PA Salatiga
Dari sekian banyak perkara yang masuk di PA Salatiga setiap
tahunnya, apabila dilihat dari sudut pandang kewenangan relatif PA Salatiga
dalam mengadili perkara, kasus perceraian yang ada lebih didominasi dari
wilayah sebagian Kabupaten Semarang yaitu dari Kecamatan Bringin,
Bancak, Tuntang, Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh dan
Pabelan, dibandingkan dari wilayah Salatiga sendiri. Kalau diprosentasikan
perkara yang masuk di PA Salatiga 90% adalah dari luar Salatiga dan 10%
adalah dari Salatiga sendiri, artinya PA Salatiga dalam menangani perkara dari
warga muslim Kota Salatiga tergolong minim, yaitu kurang lebih hanya 165
perkara dari 1654 perkara yang terdaftar di PA Salatiga pertahun. Dari 165
perkara 120 adalah perkara perceraian dan 45 adalah perkara di luar
0
200
400
600
800
1000
2011 2012 2013 2014
323405 444 401
740 768836
928
Cerai Talak Cerai Gugat
88
perceraian. 120 perkara perceraian itu sendiri dibagi kembali atas perkara cerai
talak oleh suami kepada istri sebanyak 36 perkara dan 84 sisanya adalah cerai
gugat oleh istri kepada suami. Artinya dalam sebulan telah terjadi sebanyak 10
kasus perceraian warga muslim Kota Salatiga yang tercatat di PA Salatiga
dengan rincian 7 adalah perkara cerai gugat dan 3 adalah perkara cerai talak.
Apabila ditelisik dari jumlah pernikahan di Kota Salatiga menurut
data dari KUA Salatiga yang rata-rata setiap tahunnya terjadi 1170 pernikahan
maka dapat difahami berarti setiap sebulan sekali ada 98 peristiwa nikah di
Kota Salatiga, dan rata-rata terjadi 10 perceraian di Kota Salatiga. Padahal
Kota Salatiga terbagi menjadi empat kecamatan maka dapat disimpulkan
bahwa dari tiap-tiap kecamatan ada 25 peristiwa nikah dengan tingkat
perceraian 2 sampai 3 perkara perceraian setiap bulannya. Angka ini
menunjukkan bahwa perceraian warga muslim diwilayah Kota Salatiga
cenderung kecil dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Semarang yang
masuk dalam kewenangan relatif PA Salatiga.
D. Faktor Penyebab Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga
Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga
yang tentram, damai dan bahagia sepanjang masa. Hal ini sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pada BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 dinyatakan bahwa :
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
89
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam hukum perkawinan, begitu akad nikah selesai diucapkan secara
sah, maka hak dan kewajiban antara suami dan istri timbul dengan sendirinya.
Hal ini sebagaimana konsekuensi dari wujud pernikahan itu sendiri. Mengenai
hak dan kewajiban suami istri itu tidak hanya sebatas peraturan non legal saja,
melainkan juga diatur dalam perundang-undangan, sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu di Bab VI Pasal 30-34.
Selanjutnya diterangkan pula dalam KHI Bab XII perihal hak dan kewajiban
sebagai suami istri. Adanya peraturan ini tidak lain dalam rangka melindungi
antara suami dan istri dalam menjalani sebuah bahtera rumah tangga.
Dalam kehidupan rumah tangga tidak semudah apa yang kita
bayangkan, karena rumah tangga itu bukan angka yang bisa kita hitung
ataupun juga bisa kita prediksi. Banyak sekali problem yang selalu
bermunculan, baik itu disebabkan masalah ekonomi, biologis, psikologis,
perbedaan pandangan hidup, dan lain sebagainya. Semua itu adalah lika-liku
yang akan dijumpai dalam perjalanan kehidupan rumah tangga. Barang siapa
yang mampu melewatinya dengan baik maka selamatlah dia dengan keutuhan
rumah tangganya, namun barang siapa yang gagal melewatinya maka
perceraian adalah jalan akhirnya.
Perceraian adalah putusnya perkawinan, dalam makna putusnya ikatan
lahir-batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan
keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut. Perceraian adalah
90
perbuatan yang tercela dan dibenci oleh Allah SWT, namun hukum
membolehkan suami atau istri melakukan perceraian jika perkawinan mereka
sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian harus disertai dengan alasan-
alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Psal 19 PP No. 9 Tahun 1975.
Seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan semakin banyaknya
perempuan yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya, perempuan sebagai
istri tidak tinggal diam dan tidak mau diperlakukan semena-mena oleh laki-
laki, maka pihak perempuan akan menggunakan hak-haknya dengan
mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Pengadilan Agama yang
notabene sebagai lembaga yang berwenang memutuskan, apakah suatu
perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan tentunya tidak serta merta
langsung memutuskan gugatan pemohon. Di mata hukum, perceraian tentu
tidak dapat terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh
hukum untuk melakukan suatu perceraian.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974, tepatnya Pasal 19 dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila
terdapat sejumlah alasan penting yang mendasarinya. Alasan-alasan penting
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 19 juga dikuatkan dengan KHI Pasal
116 yang subtansinya termaktub dalam taklik-talak pernikahan. Jika bukan
demikian, maka pengadilan tidak akan mengambil langkah bercerai sebagai
solusi atas gugatan perceraian yang diajukan seorang penggugat.
91
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sebagaimana keterangan
yang diberikan Panitera Muda Hukum PA Salatiga, Ibu Widad pada
wawancara tanggal 26 Juni 2015 dan beberapa sampel salinan putusan dari PA
Salatiga, bahwa faktor penyebab cerai gugat bagi warga muslim Kota Salatiga
yang ada di PA Salatiga periode 2014, dilatarbelakangi karena masalah:
1. Tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga.
2. Faktor ekonomi
3. Tidak adanya tanggung jawab dalam rumah tangga
4. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
5. Hadirnya pihak ke-3
6. Krisis Moral
Masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, merupakan alasan
yang paling dominan dicantumkan dalam setiap gugatan perkara cerai gugat
yang dilayangkan ke PA Salatiga.
Berkaitan dengan alasan perceraian tersebut di atas, dalam Pasal 39
ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf a
PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa perceraian harus disertai dengan
alasan-alasan hukum, yaitu:
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
92
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sehingga sudah jelas bahwasannya perkara-perkara perceraian yang
terdaftar di PA Salatiga dengan faktor yang melatarbelakanginya sebagaimana
yang tercantum dalam petitum surat gugatan yang ada, telah melanggar Pasal
39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf a
PP No. 9 Tahun 1975.
Lebih daripada itu, kita mengetahui bahwasannya perkawinan di
Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan
sighat taklik-talak oleh suami setelah pengucapan ijab qabul. Sighat taklik
talak adalah perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam buku kutipan akta nikah. Sighat taklik talak ini berupa
janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertetu yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang. Pada dasarnya sighat taklik talak ini
bertujuan untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak dari istri. Selain
itu sighat taklik talak ini sebagai alat pendidikan yang dipegang oleh suami
terhadap istri. Namun seiring perkembangan zaman sebagaimana yang terjadi
93
di Kota Salatiga, telah terjadi keterbalikan urgensi awal bahwa adanya sighat
taklik talak ini justru malah menjurus pada sisi negatif yang lebih bersifat
ancaman terhadap keutuhan rumah tangga.
Dalam rumusan sighat taklik talak terdapat 10 unsur pokok, yang
apabila terpenuhi maka bisa dijadikan alasan dalam pengabulan pemutusan
perkawinan oleh Pengadilan, yakni:
a. Suami meninggalkan istri, atau;
c. Suami tidak memberi nafkah kepada istri, atau;
d. Suami menyakiti istri, atau;
e. Suami membiarkan tidak (memperdulikan) istri;
f. Istri tidak rela;
g. Istri mengadu ke Pengadilan;
h. Pengaduan istri diterima oleh Pengadilan;
i. Istri membayar uang iwad;
j. Jatuhnya talak satu suami kepada istri;
k. Uang iwad oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk selanjutnya
diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah sosial.
Seperti dicontohkan dalam perkara No: 0426/Pdt.G/2014/PA.Sal.
Dalam petitum dijelaskan bahwa semula rumah tangga penggugat dan tergugat
dalam keadaan rukun dan harmonis, namun sejak bulan November 2009
ketentraman rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah, sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran karena:
94
1. Masalah ekonomi yaitu tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada
penggugat karena tergugat tidak bekerja dan untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangga penggugat bekerja sendiri.
2. Tergugat sering minum-minuman keras bahkan sampai mabuk.
Karena penggugat tidak tahan lagi dengan sikap tergugat akhirnya
penggugat pulang kerumah orang tuanya yang hingga kini sudah 1 (satu)
tahun 11 (sebelas) bulan, dan selama itu pula penggugat dan tergugat sudah
tidak saling berkomunikasi lagi. Bahkan selama berpisah tergugat tidak pernah
memperdulikan / mengurusi penggugat dan tergugat juga tidak pernah
memberi nafkah wajib kepada penggugat dan anak. Karena masalah tersebut,
istri yang dalam hal ini sebagai penggugat tidak ridho atas perlakuan suami,
akhirnya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Kota Salatiga.
Sebagaimana perkara yang dicontohkan di atas, peran antara seorang
suami tidak terjalankan dengan baik, sehingga justru pelanggaran hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan suami terhadap istrinya
secara mu’asyarah bil ma’ruf (mempergaulinya dengan baik) tidak
terealisaasi. Maka berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, selanjutnya
pertimbangan majelis hakim tentang hukumya menimbang bahwa pokok
permasalahan perkara tersebut adalah cerai gugat dengan alasan rumah tangga
yang tidak harmonis. Bahwa dari fakta hukum yang terungkap dipersidangan
antara penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan sebagaimana yang
tercantum dalam petitum surat gugatan, hal ini dibuktikan dengan keterangan
saksi-saksi. Sehingga majelis hakim dalam amar putusannya mengabulkan
95
gugatan penggugat dengan talak bain sughro kepada tergugat, karena tergugat
terbukti telah memenuhi pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1975 jo Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang terumuskan dalam 10 poin
yang telah dijelaskan di atas.
Pada hakikatnya perkara cerai gugat yang ada sebenarnya kalau
diamati berdasarkan praktiknya dimasyarakat tidak murni karena kehendak
pribadi masing-masing pasangan. Sebagaimana penjelasan yang telah penulis
paparkan bahwa telah ada semacam pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan
bermasayarakat yang merubah pola berfikir dalam pribadi seseorang. Penulis
mengamati ada tiga hal yang menyebabkan meningkatnya perkara cerai gugat
khususnya bagi masyarakat muslim Kota Salatiga, yaitu:
1. Faktor ekonomi
Ekonomi merupakan kunci utama mengukur tingkat kesejahteraan
sebuah keluarga. Sebuah keluarga cenderung akan lebih tentram dan
bahagia ketika tingkat perekonomian keluarga tercukupi. Sinergisitas
pasangan suami istri juga akan berjalan dengan baik dalam rangka
membina rumah tangga yang baik pula. Namun kebalikannya ketika
ekonomi tergolong rendah, dengan kebutuhan keluarga tidak tercukupi,
maka berbagai macam polemik rumah tangga akan timbul, baik berupa
perselisihan, pertengkaran bahkan sampai perceraian.
96
2. Media Sosial
Di era globlisasi sekarang ini, kehidupan manusia tidak kesulitan
lagi dari yang namanya informasi up to date. Corak berfikir masyarakat
akan lebih dominan berubah kritis karena sumber informasi yang ada.
Tidak ubahnya dengan para istri yang menuntut cerai kepada suaminya di
Kota Salatiga, mereka seakan tidak takut lagi untuk bercerai karena
mereka sadar hukum dan tahu bagaimana harus bersikap ketika mereka
merasa terdholimi oleh suami. Keberanian itu secara tidak langsung
dipengaruhi oleh media informasi yang ada, baik berupa media elektronik,
maupun media cetak yang ada. Semisal dicontohkan program televisi yang
menyuguhkan pola hidup para artis yang marak bercerai. Itu merupakan
pembelajaran pasif yang mampu merubah mindset masyarakat.
Media sosial ada banyak macamnya, mulai dari facebook, twitter
dan sebagainya. Siapa sangka hal itu dapat menjadi pemicu penyebab
perpisahan suami istri. Banyak orang yang membawa bukti status atau foto
di media sosial sebagai penguat keinginan untuk bercerai dalam
pembuktian di persidangan. Tuduhan seperti perselingkuhan dari foto tag
dan status mesra yang bisa menyebabkan pertengkaran dalam keluarga.
3. Minimnya perhatian pemerintah
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila tugas pemerintah
untuk mengayomi, melindungi serta mensejahterakan rakyatnya tidak
terlepas hanya dalam persoalan politik dan ekonomi saja. Dalam hal
97
kehidupan rumah tangga rakyatnya pun pemerintah harus turut andil di
dalamnya.
Dilema pesoalan maraknya perceraian di Pengadilan Agama
terlebih adalah persoalan cerai gugat, merupakan PR besar bagi
pemerintah untuk dicarikan solusi jalan keluarnya. Melalui peningkatan
peran Kementrian yang ada yaitu Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Kementrian Agama melalui Ditjen Bimas Islam (KUA), Badan
Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) dengan bekerja
sama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan nasihat-nasihat
perkawinan dan pelayanan kursus calon pengantin.
Perlu adanya terobosan baru dalam pengembangan program
keluarga sakinah di mana orang yang mau menjadi pengantin bisa
mempunyai idola keluarga yang sukses, baik dari sisi ekonomi, sisi anak-
anak yang sukses studi, serta hubungan antar tetangga yang baik. Semua
itu perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang ada untuk
disampaikan kepada para calon pengantin. Sukses story keluarga sakinah,
baik yang sudah tua maupun para keluarga yang muda-muda bisa
ditularkan kepada para calon pengantin dengan harapan akan mengurangi
angka perceraian utanya masalah cerai gugat yang ada di Pengadilan
Agama.
4. Lemahnya Iman
Secara tidak langsung tingkat keimanan seseorang sebagai tolak
ukur dalam berumah tangga yang baik. Tidak bisa dipungkiri ketika
98
keimanan seseorang pada tingkat rendah maka intervensi dari pihak lain
akan sangat mudah untuk menggoyahkan bahtera rumah tangga yang telah
terjalin. Demikian sebaliknya ketika tingkat keimanan seseorang pada
tingkat tinggi maka problematika serumit apapun akan dapat terselesaikan
dengan baik. Adapun salah satu cara untuk mengokohkan keimanan untuk
diaplikasikan dalam keluarga adalah dengan menyimak sirah (pejalanan
hidup) Rasulullah SAW dan meneladani beliau, maka kehidupan rumah
tangga yang bahagia akan tercipta dengan baik. Fungsi keluarga sebagai
tempat untuk menjaga dan tameng dari berbagai macam keburukan,
bahkan sebagai tempat berlindung dari fitnah yang menyesatkan akan
terealisasikan.
Masih banyak lagi contoh perkara cerai gugat warga muslim Kota
Salatigas yang ada di PA Salatiga dengan baragam faktor yang melatar
belakanginya, namun dalam hal ini penulis tidak dapat menyebutkannya satu
persatu. Akan tetapi perlu penulis tegaskan kembali bahwa dari sekian banyak
kasus perceraian dengan gugatan oleh istri kepada suami yang ada, rata-rata
penyebab utamanya adalah karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah
tangga baik berupa perselisihan pendapat, pertengkaran, masalah ekonomi
maupun masalah ketidak harmonisan lainnya yang sumber masalahnya dari
para suami yang kurang bertanggung jawab dan tidak menjalankan
kewajibannya sebagaimana mestinya. Tentunya ini menjadi dilema tersendiri
dalam masyarakat, terutama bagi warga Kota Salatiga saat akan memilih
calon suami dari penduduk Kota Salatiga. Namun berdasarkan penelitian ini
99
telah terjawabkan bahwasannya tidak semua laki-laki muslim dari Kota
Salatiga tidak bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan bahwasannya dari kurun
waktu empat tahun terakhir, rata-rata jumlah perkawinan warga muslim Kota
Salatiga sebanyak 1170 dalam setiap tahunnya, terjadi rata-rata sebanyak 120
perceraian dalam setiap tahunnya pula, berarti perceraian hanya ada 10%-nya
saja. Kemudian apabila perceraian dikategorikan atas cerai gugat dan cerai
talak dengan perbandingan yang ada 70% : 30% maka kasus cerai gugat ada
sebanyak 84 perkara dan cerai talak ada sebanyak 36 perkara. Angka ini
menunjukkan tingkat perceraian warga muslim Kota Salatiga yang tergolong
rendah ketika dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Semarang yang
masuk dalam kewenangan relatif PA Salatiga.
100
BAB V
PENUTUP
C. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengadilan Agama Salatiga setiap tahunnya rata-rata menerima perkara
perceraian masyarakat muslim Kota Salatiga sebanyak 120 perkara, dibagi
atas cerai gugat yaitu sebanyak 84 perkara dan 36 lainnya adalah perkara
cerai talak. Apabila dikaitkan denngan rata-rata pernikahan masyarakat
muslim Kota Salatiga yang tercatat sebanyak 1170 pertahun, maka
perbandingan pernikahan dengan perceraian adalah 10 : 1, hal ini adalah
sebuah nilai yang relatif rendah di Kota Salatiga. Jika kita fahami berarti
setiap sebulan sekali ada 98 peristiwa nikah di Kota Salatiga, dan rata-rata
terjadi 10 perceraian di Kota Salatiga. Padahal Kota Salatiga terbagi
menjadi empat kecamatan maka dapat disimpulkan bahwa dari tiap-tiap
kecamatan ada 25 peristiwa nikah dengan tingkat perceraian 2 sampai 3
perkara perceraian setiap bulannya. Adapun untuk faktor yang melatar
belakangi terjadinya cerai gugat berdasarkan petitum dalam gugatan istri
adalah sebagian besar karena permasalahan tidak adanya keharmonisan
dalam rumah tangga disebabkan kerana perselisihan yang berkepanjangan
karena masalah ekonomi, tidak adanya tanggung jawab dari suami, seperti
suami lari dari tanggung jawab untuk memberi nafkah istri, suami
101
meninggalkan istri selama bertahun-tahun tanpa ada kabar dan tanpa
diketahui keberadaannya.
2. Dari penelitin yang telah dilakukan dan data-data yang didapat, dapat
ditarik kesimpulan bahwa tidak semua laki-laki diwilayah Kota Salatiga
tidak bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya perceraian
dari masyarakat muslim kota Salatiga tahun 2014.
D. Saran
Dalam rangka membangun keluarga yang utuh dan bahagia, serta
meminimalisir terjadinya perceraian, ada kiat-kiat khusus yang harus lebih
ditekankan, yaitu:
1. Pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya baik
berkaitan masalah kesejahteraan ekonomi melalui peyediaan lapangan
pekerjaan, maupun kesejahteraan dalam berumah tangga dengan
memaksimalkan peran lembaga pemerintahan yang ada agar problem
perceraia dapat terhindarkan.
2. Kegiatan penyuluhan keagamaan serta pendidikan berkeluarga pra-nikah
yang dilakukan oleh Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian
Perceraian (BP4), KUA Kota Salatiga harus lebih dipersiapkan dan
dimaksimalkan dalam rangka membekali pengetahuan pasangan suami
istri tentang tatacara bagaimana membina keluarga yang baik.
3. Pasangan suami istri tidak harus gegabah dalam mengambil tindakan,
dengan langsung memutuskan bercerai ketika terjadi konflik dalam
102
keluarganya. Perlu adanya musyawarah internal keluarga secara damai
dengan pendekatan-pendekatan yang inklusif yang bertujuan meredam
konflik yang ada dan mengembalikan keutuhan kehidupan berkeluarga.
Bagi pasangan suami istri harus menyadari bahwa walaupun perceraian
adalah hal yang legal, baik menurut agama dan perundang-undangan yang
ada, namun perceraian adalah suatu perbuatan halal yang dibenci oleh
Allah SWT. Lebih dari pada itu, dampak perceraian akan berimbas pada
status yang akan masing-masing sandang sebagai janda atau duda. Padahal
status janda atau duda dalam pranata sosial yang ada masih dinilai kurang
baik karena dicap sebagai orang yang tidak bisa membangun rumah tangga
yang baik.
4. Figur seorang tokoh agama atau ulama‟ sangat dibutuhkan dalam rangka
memberikan pemahaman tentang arti sebenarnya dari sebuah perkawinan
dan sebuah keluarga kepada masyarakat. Karena tokoh agama atau ulama‟
adalah figur yang disegani dalam masyarakat dan mempunyai kedekatan
emosional yang sama, sehingga keterangan-keterangan yang disampaikan
akan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al Aziz S, Moh. Saifullah. 2005. Fiqih Islam Lengkap Pedoman Hukum Ibadah
Umat Islam Dengan Berbagai Permasalahannya. Surabaya: Terbit
Terang
Aliyah, Himayatul. 2013. “Perceraian Karena Gugatan Istri (Studi Kasus
Perkara Cerai Gugat Nomor: 0597/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal Dan Nomor:
0740/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal di Pengadilan Agama Salatiga)”. Salatiga:
Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.
Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan
HukumPositif). Yogyakarta: UII Press
Bahari, Adib. 2012. Prosedur Gugatan Cerai + Pembagian Harta Gono-
Gini+Hak Asuh Anak. Yogyakarta: PustakaYustisia
Daradjat, Zakiah. dkk . 1985. Ilmu Fikih .Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta Utara: Raja
Grafindo Persada
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam. Departemen
Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Tahun 1999/2000
Istikara, Detty. 2004. “Putusnya Perkawinan Karena Cerai Gugat (Analisa Kasus
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 1091/ pdt. G/ 2004/ PA
JS)” Disertasi tidak ditebitkan. Jakarta: Fakultas Hukum Magister
Kenotariatan UI Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2010: Gama Press
Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta:
TrustMedia
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mulyana, Dedi. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Nakiyah, Siti. 2002. “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai
Alasan Perceraian (Studi Kasus di PA Salatiga Tahun 1999-2001)”
Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.
Pedoman Konselar Keluarga Sakinah. 2002. Jakarta: Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen
Agama RI
Prawirohardjojo, R. Soetoyo. 2006. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlagga University Press
Rasjid, Sulaiman. 2011. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma‟arif
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-
Undang. Bandung: CV Pustaka Setia
Saifullah, Muhammad. Mohammad Arifin & Ahmad Izzuddin. 2005. Hukum
Islam Solusi Permasalahan Keluarga. Yogyakarta: UII Press
Semarangmetro. 28 Februari 2014. Sebulan PA Salatiga Terima 134 Permohonan
Cerai, hal .30
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Pers
________. 1999. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Rajawali Pers
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 tantang Perkawinan).
Yogyakarta: Liberty
Surachmad, Winarno. 1972. Dasar dan Tehnik Research Pengantar Metodologi
Ilmiah. Bandung: CV Tarsito
Syaifuddin, Muhammad. Sri Turatmiyah & Annalisa Yahanan. 2013. Hukum
Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika
Taufiqi, Muhammad Iqbal. 2008. “Penelantaran Ekonomi Sebagai Alasan
Gugatan Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Gresik)”. Gresik:
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Gresik.
Tihami & Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers
http://www.pa-salatiga.go.id/index.php/news/profil.html#sejarah. (Online).
diakses pada hari minggu 14 september 2014, 11.34 WIB
Republika. 2012. Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70%.
(Online). (http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24,
Diakses 24 Januari 2012)