Upload
lehuong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan
Guna memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Biosains
Oleh
Rita Wulandari S 900809016
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
TESIS
Oleh
Rita Wulandari
S 900809016
Telah disetujui oleh pembimbing
Komisi
Pembimbing
Nama
Tanda tangan
Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si ……………… ………..………
Pembimbing II Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D ……………… ………………..
Mengetahui Ketua Program Studi Biosains
Program Pasca Sarjana
Dr. Sugiyarto, M.Si NIP. 19670430199203 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
ANALISIS GEN 16S rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
TESIS
Oleh
Rita Wulandari S900809016
Telah dipertahankan di depan penguji
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal..........................2011
Telah disetujui oleh tim penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr Sugiyarto, M.Si NIP. 19670430 199203 1 002
..................2011
Sekertaris Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si NIP.19601025 199702 1 001
..................2011
Anggota Penguji
Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si NIP.19660415 199103 1 002
Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD NIP.19570820 198503 1 004
..................2011 ..................2011
Mengesahkan
Direktur Program Pasca Sarjana
Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD
NIP.19570820 198503 1 004
Ketua Program Studi Biosain
Prof. Dr. Sugiyarto, M.Si
NIP. 19670430 199203 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul : “Analisis gen 16s rRNA pada bakteri penghasil
enzim fitase” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat
karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah
ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila
ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsure-unsur
jiplakan, maka saya bersedia Tesis beserta gelar MAGISTER saya
dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (UU No.20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
2. Tesis ini merupakan hak milik Prodi BIosains PPs-UNS. Publikasi sebagian
atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin
Ketua Prodi Biosains PPS-UNS dan minimal satu kali publikasi menyertakan
tim pembimbing sebagai author. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya
satu semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan
publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Biosains PPS-
UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh
Prodi Biosains PPS-UNS dan atau media yang ditunjuk. Apabila saya
melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia
mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, 20 Desember 2011
Mahasiswa,
Rita Wulandari S900809016
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ANALISIS GEN 16s rRNA PADA BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE
Rita Wulandari, Sajidan, Suranto Program Studi Magister Biosains, Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Fitase merupakan enzim yang mampu melepaskan ikatan fosfat pada fitat, menghasilkan myo-inositol dan fosfat inorganik. Fitase mempunyai peran penting dalam ketersediaan nutrisi pada bahan pangan. Bakteri merupakan salah satu sumber penghasil fitase yang potensial sehingga perlu dilakukan penggalian galur bakteri penghasil fitase dari lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengukur aktivitas fitase pada bakteri dari abu vulkanik Gunung Merapi, (2) Mengidentifikasi bakteri penghasil fitase berdasarkan gen 16S rRNA, (3) Mengkarakterisasi ekstrak fitase yang diperoleh dari bakteri penghasil fitase pada abu vulkanik Gunung Merapi.
Bakteri diisolasi dari Abu vulkanik gunung Merapi dalam media LB (Luria Bertani) dan media LB (Luria Bertani) + Na fitat 0,4%. Aktivitas fitase diukur dengan metode spektrofotometri. Sebanyak 3 isolat bakteri dengan aktivitas fitase tertinggi diidentikasi dengan marka gen 16s rRNA menggunakan primer universal. Karakterisasi ekstrak kasar fitase meliputi pH optimum, suhu optimum dan efektor logam.
Hasil penelitian diperoleh 3 isolat dengan aktivitas fitase terbesar, yaitu isolat RW Sm A, RW Sm C, dan RW Sl 5 masing-masing dengan aktivitas fitase sebesar 0,1071 U/mL, 0,1020 U/mL dan, 0,0874 U/mL. Berdasarkan analisis gen 16s rRNA ketiga isolat diketahui sebagai Bacilllus cereus RW Sm A, Bacillus aryabhattai RW Sm C dan Bacillus cereus RW Sl 5. Ekstrak kasar fitase dari ketiga isolat masing-masing mempunyai suhu optimum berturut turut; 40 oC, 60 oC, 50 oC. pH optimum ketiga isolat berkisar antara 5-6. Aktivitas fitase isolat dihambat oleh penambahan ion Fe3+, dan Zn2+, tetapi meningkat dengan penambahan ion Ca2+.
Kata kunci : Fitase, asam fitat, 16s rRNA, Bakteri, Bacillus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
16s rRNA GENE ANALYSIS ON PHYTASE-PRODUCING BACTERIA
Rita Wulandari, Sajidan and Suranto Biosience Program, School of Graduates
Sebelas Maret University of Surakarta
Abstract
Phytases is an enzyme that catalyzes the releasing of phosphomonoester bonds in phytate, thereby producing lower forms of myo-inositol phosphates and inorganic phosphate. Phytase has important role in animal and human nutrition availability. Bacteria is one of potential source of phytase,so more excavation for phytase-producing strains of bacteria from the environment is needed. The purposes of this study are (1) Analyzing the phytase activity bacteria from volcanic ash of Merapi mountain, (2) Identifying of phytase producing bacteria based on 16S rRNA gene, (3) Characterizing of extracted phytase from bacteria on volcanic ash of Merapi Mountain.
Bacteria were isolated from volcanic ash of Merapi Mountain in LB (Luria Bertani) medium and LB (Luria Bertani) + 0.4% Na phytate. Phytase activity measure by spectrophotometric methods. Three isolates of bacteria with the highest activity was identified with 16s rRNA gene markers using universal primer. Crude phytase extract characterization including optimum pH, optimum temperature and mineral efector.
The results should that for three isolates with the largest phytase activity, ie isolates RW Sm A, RW Sm C and RW Sl 5 with phytase activity 0.1071 U / mL, 0.1020 U / mL and, 0.0874 U / mL. Based on 16s rRNA gene analysis of three isolates known as Bacilllus cereus RW Sm A, Bacillus aryabhattai RW Sm C and Bacillus cereus RW Sl 5. Three isolated of crude phytase extractions have an optimum temperature 40 °C, 60 °C, 50 °C respectively, range of the optimum pH between 5-6. Phytase activity was inhibited by the addition of Fe3+ ions, and Zn2+, but increased with the addition of Ca2 + ion.
Key words: Phytase, phytic acid, 16s rRNA, bacteria, Bacillus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada,
Ibu Darmini dan bapak Sarjono tercinta,
Suamiku, Muhammad Irham Mahfud tercinta,
Mas Yus dan Dik Arum tersayang.
‘Jagoan kecilku’, yang sebentar lagi hadir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, atas limpahan rahmat dan
hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Analisis gen
16s rRNA pada bakteri penghasil enzim fitase”. Tulisan ini menyajikan
bahasan tentang bakteri penghasil enzim fitase, identifikasi, dan karakteristik
enzim yang dihasilkan.
Penelitian ini mempunyai nilai penting dalam penemuan sumber enzim
fitase baru yang diisolasi dari lingkungan sehingga memperkaya sumber enzim
fitase dari mikroorganisme yang berasal dari lingkungan dan wilayah berbeda.
Adanya bakteri penghasil fitase yang diisolasi dari lingkungan vulkanik
diharapkan menambah keberagaman jenis bakteri sumber enzim fitase.
Identifikasi dan karakteristik enzim yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan
dan dikembangkan untuk karakterisasi dalam aplikasi bioteknologi serta
pengembangan teknik rekayasa genetika untuk mendapatkan enzim yang lebih
optimal.
Kekurangan penulis dalam mengungkapkan ide, gagasan dan eksplorasi
hasil merupakan keterbatasan yang penulis miliki. Berbagai saran yang
membangun penulis harapkan untuk menambah kemanfaatan tulisan ini.
Desember 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, atas segala rahmat dan karunia
yang senantiasa tercurah, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan
judul ” Analisis gen 16s rRNA pada bakteri penghasil enzim fitase”.
Penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan, kerjasama dan bimbingan
berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin untuk
mengadakan penelitian ini.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya mengikuti pendidikan pascasarjana.
3. Prof. Dr. Sugiyarto, M.Si dan Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si selaku Pengelola
Program Studi BIOSAIN yang telah membimbing dan memotivasi dalam
menyelesaikan program pembelajaran.
4. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si selaku pembimbing pertama dan Prof. Drs.
Suranto, M.Sc, Ph.D selaku pembimbing kedua yang telah berkenan
memberi bimbingan sepenuhnya sampai tesis ini dapat penulis selesaikan
5. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si selaku ketua Tim peneliti yang telah
mensupport dana untuk rangkaian penelitian ini
6. Bapak Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, S.Pt., M.P, bapak Dr. sc. agr. Adi
Ratriyanto, S.Pt., M.P, dan Umi Fatmawati M.Si yang telah bekerjasama dan
membantu penelitian ini
7. Semua dosen Program studi Biosain yang telah memberikan ilmu, bantuan
dan pengarahan
8. Seluruh staff UPT sub Laboratorium BIOLOGI Universitas Sebelas Maret
yang telah berkenan mengijinkan dan membantu penulis dalam melakukan
penelitian
9. Seluruh staff UPT sub Laboratorium KIMIA Universitas Sebelas Maret yang
telah berkenan mengijinkan dan membantu penulis dalam melakukan
penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
10. Seluruh staff Laboratorium Prodi P. Biologi FKIP Universitas Sebelas Maret
yang telah berkenan memberi ijin penelitian bagi penulis.
11. Evi Novitasari, Suci, Lala dan mbak Tri, atas kerjasama serta bantuan selama
penyelesaian penelitian, mas Rosyid dan dek Ivah, atas bantuan dalam
berbagai urusan administrasi.
12. Teman-teman Biosain angkatan 2009 (Pipit, Ana, Ainun, Nina, Dodik, Zahra,
Mbak Ifan, Pak Hamdin, Pak Supriyadi, Bu Yayuk, Bu Mamik, Bu Nony,
Phyllis, Bundo Ria, Bundo Tiwuk, Bu Turweni, Pak Muryanto, Pak
Inpurwanto, Pak Heru, Pak Amar, Pak Supono) yang telah memberikan
bantuan, dukungan dan kerjasama.
13. Ibu Darmini, bapak Sarjono, yang selalu memberi restu, dan doa-doa disetiap
langkah penulis, dek Arum, mas Yus, Ibu Tasmiyati, bapak Ahmad Sardi,
mbak Laily, mbak Nana, mas Udin, dek Fitri, yang semakin membuat penulis
bersyukur berada ditengah tengah keluarga ini.
14. Abi, Muhammad Irham Mahfud, sebagai partner sepanjang waktu yang selalu
mendukung, memotivasi, mendoakan, dan juga telah membantu dalam akses
berbagai jurnal selama penulisan tesis ini.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
berkontribusi dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala kebaikan dibalas dengan kebaikan yang lebih baik dari
Allah SWT.
Surakarta, Desember 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN ORISINALITAS iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
HALAMAN PERSEMBAHAN vii
KATA PENGANTAR viii
UCAPAN TERIMAKASIH ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 5
1. Ribosomal RNA 5
1.1 Gen 16s rRNA 5
1.2 Analisis gen 16s rRNA 6
2. Asam Fitat 7
2.1 Struktur Asam fitat 7
2.2 Sumber Asam fitat 8
2.3 Ketersediaan nutrisi dan dampak lingkungan 10
3. Enzim Fitase 12
3.1 Enzim 12
3.1.1 Aktivitas Enzim 12
3.2 Enzim Fitase 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
3.2.1 Klasifikasi Enzim Fitase 16
3.2.2 Aktifitas Enzim Fitase 19
3.2.3 Sumber Enzim Fitase 20
a. Fitase Asal Mikroba 21
b. Fitase Tanaman 23
c. Fitase pada jaringan tubuh hewan 24
B. Kerangka Penelitian 26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 27
B. Alat dan Bahan Penelitian 27
C. Rancangan Penelitian 28
D. Prosedur Penelitian 28
E. Teknik Analisis Data 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Isolasi Bakteri Fitase 35
B. Seleksi Bakteri Fitase 37
C. Karakteristik Bakteri Fitase 40
C.1. Morfologi Sel 40
C.2. Fisiologi Sel dan Ekspresi Fitase 42
D. Identifikasi Bakteri 44
E. Karakteristik Ekstrak Kasar Fitase 53
E.1. Suhu Optimum 53
E.2. pH Optimum 54
E.3. Efektor Logam 56
F. Fitase pada Bacillus 58
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN 61
B. SARAN 61
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Ribosomal RNA 5
Tabel 2. Bahan pangan dan kandungan asam fitat 9
Tabel 3. 4 kelompok fitase 20
Tabel 4. Fitase Tanaman 23
Tabel 5. Tabel Homologi Isolat RW Sm A 49
Tabel 6. Tabel Homologi Isolat RW Sm C 50
Tabel 7. Tabel Homologi Isolat RW Sl 5 50
Tabel 8. Karakteristik Enzim Fitase pada Bacillus 59
Tabel L.A1. Pembuatan Kurva Standar Phosphat 69
Tabel L. A2. Aktivitas Relatif Fitase (%) 16 Isolat Bakteri 70
Tabel L. A3. Aktivitas Fitase 16 Isolat Bakteri (U/mL) 70
Tabel L. A4. Aktivitas Relatif Fitase (%) 5 Isolat Bakteri 71
Tabel L. A5. Aktivitas Fitase 5 Isolat Bakteri 71
Tabel L. A6. Absorbansi berdasarkan lama inkubasi Isolat RW Sm A 71
Tabel L. A7. Aktivitas Fitase berdasarkan lama inkubasi Isolat RW Sm A 71
Tabel L. A8. Absorbansi berdasarkan Lama Waktu Inkubasi Isolat
RW Sm C 72
Tabel L. A9. Aktivitas Fitase berdasarkan Lama Waktu Inkubasi Isolat
RW Sm C 72
Tabel L. A10. Absorbansi Berdasarkan Lama waktu Inkubasi Isolat
RW Sl 5 72
Tabel L. A11. Aktivitas Fitase Berdasarkan Lama waktu Inkubasi Isolat
RW Sl 5 73
Tabel L. A12. Absorbansi berdasarkan pH substrat pada Isolat
RW Sm A 73
Tabel L. A13. Aktivitas Fitase berdasarkan pH substrat pada Isolat
RW Sm A 73
Tabel L. A14. Absorbansi berdasarkan pH substrat pada Isolat
RW Sm C 74
Tabel L. A15. Aktivitas Fitase berdasarkan pH substrat pada Isolat
RW Sm C 74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Tabel L. A16. Absorbansi berdasarkan pH Substrat pada Isolat
RW Sl 5 74
Tabel L. A17. Aktivitas Fitase berdasarkan pH Substrat pada Isolat
RW Sl 5 75
Tabel L. A18. Absorbansi berdasarkan Suhu Inkubasi Enzim-Substrat
pada Isolat RW Sm A 75
Tabel L. A19. Aktivitas Fitase berdasarkan Suhu Inkubasi Enzim-Substrat
pada Isolat RW Sm A 75
Tabel L. A20. Absorbansi berdasarkan Suhu Inkubasi Enzim-Substrat
pada Isolat RW Sm C 76
Tabel L. A21. Aktivitas Fitase berdasarkan Suhu Inkubasi Enzim-Substrat
pada Isolat RW Sm C 76
Tabel L. A22. Absorbansi berdasarkan Suhu Inkubasi Enzim-Substrat
pada Isolat RW Sl 5 76
Tabel L. A23. Aktivitas Fitase berdasarkan Suhu Inkubasi Enzim-Substrat
pada Isolat RW Sl 5 77
Tabel L. A24. Absorbansi Isolat RW Sm A pada pH dan Suhu optimum
pada berbagai durasi pemanasan (Stabilitas Suhu) 77
Tabel L. A25. Aktivitas Fitase Isolat RW Sm A pada pH dan Suhu optimum
pada berbagai durasi pemanasan (Stabilitas Suhu) 77
Tabel L. A26. Absorbansi Isolat RW Sm C pada pH dan Suhu optimum
pada berbagai durasi pemanasan (Stabilitas Suhu) 78
Tabel L. A27. Aktivitas Fitase Isolat RW Sm C pada pH dan Suhu optimum
pada berbagai durasi pemanasan (Stabilitas Suhu) 78
Tabel L. A28. Aktivitas Fitase Isolat RW Sl 5 pada pH dan Suhu optimum
pada berbagai durasi pemanasan (Stabilitas Suhu) 78
Tabel L. A29. Aktivitas Fitase Isolat RW Sl 5 pada pH dan Suhu optimum
pada berbagai durasi pemanasan (Stabilitas Suhu) 79
Tabel L. A30. Absorbansi penambahan Efektor Logam RW Sm A 79
Tabel L. A31. Absorbansi penambahan Efektor Logam RW Sm C 79
Tabel L. A32. Absorbansi penambahan Efektor Logam RW Sl 5 80
Tabel L. A33. Aktivitas Fitase dengan penambahan Efektor Logam 80
Tabel L. G1. Jadwal kegiatan penelitian 89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Aktif Enzim 8
Gambar 2. Ikatan Asam fitat dengan Fe2+ dan Protein 11
Gambar 3. Struktur aktif enzim 12
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi enzim pada aktivitas 13
Gambar 5. Pengaruh Konsentrasi substrat pada aktivitas enzim 13
Gambar 6. Pengaruh pH pada aktivitas enzim 14
Gambar 7. Pengaruh Suhu pada aktivitas enzim 14
Gambar 8. Hidrolisis Fitat 16
Gambar 9. 6 – fitase (EC 3.1.3.26), fitase 3 – fitase (EC 3.1.3.8) 17
Gambar 10.Defosforilasi asam fitat oleh 3-fitase Saccaromices cerevisae.. 17
Gambar 11. Kerangka Penelitian 26
Gambar 12. Isolasi Bakteri medium cair dan padat 36
Gambar 13. Warna kuning pada reaksi vanadomolibdofosforik 38
Gambar 14. Aktivitas fitase 16 isolat bakteri 39
Gambar 15. Koloni Bakteri 40
Gambar 16. Diagram pewarnaan gram bakteri 41
Gambar 17. Perbandingan dinding sel Bakteri gram positif dan gram
Negatif 42
Gambar 18. Perbandingan fase pertumbuhan bakteri 43
Gambar 19. Elektroforesis DNA 45
Gambar 20. Elektroforegram hasil amplifikasi gen 16s rRNA 48
Gambar 21. Perbandingan urutan basa DNA 49
Gambar 22. Pohon filogenetik 52
Gambar 23. Kurva aktifitas fitase pada berbagai suhu inkubasi 54
Gambar.24a. Kurva aktivitas fitase pada berbagai pH 55
Gambar.24b. Kurva aktivitas fitase pada berbagai waktu inkubasi 56
Gambar.25. Kurva aktivitas relatif fitase pada penambahan ion mineral 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A. Pengukuran Aktifitas Fitase 69
Lampiran B. Pengenceran Primer 81
Lampiran C. Hasil Sekuensing isolat Bakteri 82
Lampiran D. Fasta Format sekuen DNA 83
Lampiran E. Hasil Alignment sekuen DNA 85
Lampiran F. Surat Pernyataan Kerjasama 88
Lampiran G. Jadwal kegiatan Penelitian 89
Lampiran H. Dokumentasi Penelitian 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sumber pangan makhluk hidup di alam berasal dari tumbuhan. Bahan
pangan yang berasal dari tumbuhan mengandung fosfat sebanyak 30% fosfat
bebas dan sisanya 70% terdapat dalam bentuk Fitat (Kembhavi, 2005). Asam
fitat adalah bentuk utama simpanan fosfat pada tanaman, merupakan sumber
inositol dan fosfat dalam biji tumbuhan. Asam fitat terutama terdapat pada
tanaman dari golongan serealia, biji-bijian dan polong-polongan, antara lain pada
tanaman jagung, gandum, kedelai, kacang tanah, padi dan biji bunga matahari
(Chu et al., 2000).
Asam fitat dapat menjadi sebuah komponen antinutrisi karena
kemampuannya mengikat protein dan ion mineral seperti kalsium, besi, seng,
magnesium, mangan dan copper (Chu et al, 2000). Ikatan yang kuat akan
menurunkan kelarutan, daya cerna dan penyerapan protein serta mineral (Ca,
Fe, Zn dan Mg). Komplek asam fitat bersama dengan protein enzim pencernaan
menyebabkan penurunan aktivitas enzim pencernaan.
Hidrolisis asam fitat akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai
nutrisi pada tanaman pangan. Enzim yang mengkatalis perubahan asam fitat
menjadi inositol dan fosfat inorganik adalah fitase. Ternak monogastrik seperti
babi, unggas, dan ikan tidak mampu mendegradasi asam fitat karena alat
pencernaannya sedikit menghasilkan enzim fitase. Sehingga pada hewan
monogastrik asam fitat tidak terhidrolisis dan menyebabkan ketersediaan unsur
fosfor sangat rendah dan zat makanan lain tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh ternak. Fosfor yang tidak dicerna akan dikeluarkan melalui feces
sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran tanah, air sungai, dan danau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
karena eutrofikasi yaitu terjadinya penyuburan perairan berlebihan yang akan
menyuburkan alga beracun dan menganggu ekosistem perairan.
Fitase atau mio-inositol heksakisfosfat fosfohidrolase adalah enzim yang
mengkatalis reaksi ikatan fosfodiester pada asam fitat (mio-inositol
heksakisfosfat), menghasilkan fosfat anorganik dan ester ester fosfat dari mio-
inositol yang lebih rendah. Fitase dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan,
mikroorganisme (bakteri, jamur, yaest) dan jaringan tubuh ternak. Fitase dapat
juga dihasilkan dari proses cloning gen Phy A dari fungi Aspergillus ficum (Ullah,
1998a), cloning gen Phy K dari bakteri Klebsiella sp. Strain ASR1 (Sajidan et al.,
2004)
Penambahan fitase pada pakan ternak dapat meningkatkan ketersediaan
fosfat, kalsium dan protein pada ternak. Beberapa penelitian tentang
penggunaan fitase dalam bentuk probiotik pada ternak telah dilakukan dengan
penggunaan bakteri penghasil fitase sebagai campuran wheat pollard pakan
ternak unggas. Diketahui campuran probiotik tersebut dapat meningkatkan
retensi protein dan mineral sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ayam
(Sajidan et al., 2004). Selain dimanfaatkan dalam industri pakan ternak, industri
pangan pada umumnya juga telah banyak memanfaatkan enzim fitase.
Pembuatan tepung, susu kedelai, sereal bebas fitat, pembuatan roti dan produksi
isolat protein dari tanaman menggunakan fitase dalam prosesnya.
Indonesia sebagai negara tropis mempunyai potensi keanekaragaman
bakteri yang tinggi. Karakteristik wilayah Indonesia yang mempunyai banyak
area vulkanik menambah potensi diversitas bakteri. Aktifitas bakteri fitase telah
berhasil diidentifikasi pada beberapa daerah dengan karakteristik yang berbeda,
antara lain; pada suhu tinggi dari sumber air panas di Sumatera Barat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(Guzmanizar et al., 2009), pada ekosistem sawah, pada ladang gandum
(Shobirin, 2009), lapisan rizhosfer tanah vulkanik (Jorsquera et al., 2009).
Bakteri sebagai salah satu penghasil enzim yang potensial menjadi faktor
penting dalam produksi enzim. Oleh karena itu diperlukan usaha penggalian
galur galur bakteri penghasil fitase dari lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan
screening mikroorganisme yang mampu menghasilkan fitase dari abu vulkanik
Gunung Merapi. Abu vulkanik yang menutup tanah dan lahan pertanian akibat
letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 November 2010 mempunyai potensi
untuk diperoleh isolat bakteri baru sebagai penghasil enzim yang mempunyai
rentang suhu dan pH lebih lebar. Suriadikarta dkk (2010) menyebutkan adanya
kandungan fosfat pada abu vulkanik mulai dari rendah sampai tinggi. Sementara
pH abu vulkanik berkisar antara 4 – netral. Lapisan tanah vulkanik mempunyai
kandungan fosfat yang tinggi, tetapi fosfat yang tersedia sangat rendah, pada
lapisan tersebut dapat ditemukan adanya bakteri fosfat (Jorsquera., et al 2008).
Isolat bakteri yang mampu menghasilkan fitase dengan aktifitas terbesar akan
diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dan analisis gen 16s rRNA. Ekstrak
kasar fitase dari bakteri terpilih dikarakterisasi meliputi suhu optimum, pH
optimum, kestabilan termal dan kestabilan pH. Karakterisasi ekstrak kasar enzim
dilakukan dengan harapan akan diperoleh bakteri penghasil fitase yang dapat
dimanfaatkan dalam industri pangan dengan optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aktivitas fitase pada bakteri yang berasal dari abu vulkanik
Gunung Merapi?
2. Bagaimana identitas bakteri penghasil fitase tersebut berdasarkan
metode 16S rRNA?
3. Bagaimana karakteristik ekstrak fitase yang diperoleh dari bakteri
penghasil fitase tersebut?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengukur aktivitas fitase pada bakteri yang berasal dari abu vulkanik
Gunung Merapi
2. Mengidentifikasi bakteri penghasil fitase berdasarkan gen 16S rRNA
3. Mengkarakterisasi ekstrak fitase yang diperoleh dari bakteri penghasil
fitase pada abu vulkanik Gunung Merapi
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Menambah keanekaragaman bakteri penghasil fitase yang berasal dari
karakteristik area yang berbeda
2. Memberi sumbangan pengetahuan terhadap biodiversitas
mikroorganisme lokal Indonesia
3. Merupakan referensi untuk pemanfaatan enzim fitase selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ribosomal RNA
Gen rRNA mempunyai area konservatif didalam sel. Urutan basa rDNA
pada beberapa organisme sangat mirip. Gen rRNA biasa digunakan untuk
determinasi taxonomi, untuk mengetahui hubungan evolusi (filogenetik) dan
mengestimasi keberagaman bakteri. Ribosom organisme prokariotik merupakan
organ sel berukuran 70S dan terdiri dari 2 subunit besar dan kecil berukuran 30S
dan 50S, dimana huruf S menyatakan konstanta Svedberg, yaitu satuan
koefisien sentrifugasi (Tabel 1). Subunit 30S mengandung rRNA berukuran 16S
dan protein sebanyak 21 buah, sedangkan subunit 50S mengandung rRNA
berukuran 5S dan 23S, serta protein sebanyak 34 buah (Madigan dan Martinko,
2006).
Tabel 1. Ribosomal RNA
Nama Ukuran Lokasi
5s 120 Sub Unit Besar Ribosom
16s 1500 Sub Unit Kecil Ribosom
23s 2900 Sub Unit Besar Ribosom (Stephanie, 2007)
1.2 Gen 16S rRNA Gen 16S rRNA terletak pada DNA kromosom organisme
prokariotik yang mengkode komponen ribosom 16S rRNA yang dapat
digunakan sebagai daerah sidik jari antar spesies. Penggunaan 16s rRNA
untuk klasifikasi mikroorganisme dilakukan pertamakali oleh Carl woese,
yang mengelompokkan mikroorganisme menjadi 3 sistem utama; Archaea,
Bacteria, Eucarya (Stephanie, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Gen 16S rDNA digunakan untuk mempelajari identitas
organisme prokariotik dan dapat digunakan untuk mengukur perubahan
evolusi dan keterkaitan filogenetiknya (Madigan dan Martinko, 2006). Selain
16S terdapat komponen nukleotida lain yang menyusun ribosom yaitu 5S
dan 23S, namun karena ukuran 5S yang terlalu kecil dan 23S yang terlalu
besar maka dipilih 16S sebagai alat penanda sidik jari.
16S rDNA mempunyai beberapa kelebihan sebagai area sidik
jari, yaitu antara lain; gen 16S rDNA berukuran cukup besar untuk dapat
digunakan sebagai pembeda antar spesies, 16S rDNA mempunyai fungsi
konstan dalam sel, terdistribusi secara universal pada seluruh organism
prokariotik dan memiliki beberapa daerah lestari yang dapat digunakan
sebagai pembeda antar spesies. Daerah lestari pada 16S rDNA adalah
daerah yang diapit oleh dua daerah universal yang merupakan daerah yang
sama pada seluruh organism prokaroitik. Sehingga melalui daerah tersebut
dapat dirancanag sepasang primer untuk mengamplifikasi gen 16S rDNA
yang berasal dari berbagai spesies (Madigan dan Martinko, 2006).
1.3 Analisis gen 16s rRNA
Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku
untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem.
16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler karena molekul ini
bersifat ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme.
Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat
digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul 16S rRNA
memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif
dan beberapa daerah urutan basanya variatif. Analisis gen penyandi 16S
rRNA praktis untuk definisi spesies, karena molekul ini bersifat ubikuitus,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
sehingga dapat dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh
kelompok.
Indentifikasi bakteri dengan 16s rRNA dilakukan berdasarkan
perbandingan urutan basa yang konservatif. Jika urutan basa memiliki
persamaan yang tinggi maka strain dapat dimasukkan dalam satu spesies
yang sama. Sebaliknya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi
16S rRNA kurang dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru. Data
urutan basa dari berbagai spesies mikrobia telah dikumpulkan dalam sebuah
database yang dapat diakses. Kumpulan data spesies tersebut memuat data
klasifikasi, diagnose labolatorium dan urutan basa suatu spesies. Melalui
data tersebut dapat dilakukan analisis berdasarkan persamaan urutan basa
menggunakan jarak matrik. Metode yang sering digunakan adalah Multiple
sequence Alignment (MSA), sebuah metode yang akan mengelompokkan
suatu strain berdasarkan derajat kesamaan urutan basa antar spesies (Helal
et al., 2011).
2. Asam Fitat
Asam fitat adalah bentuk simpanan fosfor dalam biji-bijian. Merupakan
garam mio-inositol asam heksafosfat, mampu membentuk kompleks dengan
bermacam-macam kation atau protein dan mempengaruhi derajat kelarutan
komponen tersebut (Piliang, 1997).
2.1 Struktur Asam fitat
Asam fitat atau disebut sebagai Myo-inositol (1,2,3,4,5,6)
hexakisfosfate (C6H18O24P6 dan IP6). Inositol fosfat terdiri dari cincin
inositol dan sebuah kelompok fosfat (Gambar 1). Prefik Myo-
menunjukkan adanya bentuk hidroksil pada cincin inositol (Posternak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
1965 cit. Bohn et al., 2008). Asam fitat dalam bentuk fosforilase cincin
mio-inositol merupakan struktur yang kuat (Johnson, 1969). Satu molekul
fosfat mengandung dua belas proton dengan letak terpisah. Enam proton
merupakan asam sangat kuat dengan nilai pKa 5.7, 6.8 dan 7.6 dan
sisanya asam sangat lemah dengan pKa lebih besar dari 10 (Costelo et
al., 1976). Asam fitat adalah mio-inositol, mengikat fosfor pada enam
hidroksil group. Fitat membentuk garam asam fitat dengan kalsium dan
magnesium (Irving, 1980). Pada pH netral atau pH umum dalam
makanan, asam fitat memiliki sifat negatif, dimana dalam keadaan ini
sangat aktif membentuk ikatan dengan kation atau protein. Kation akan
berikatan dengan satu atau lebih fosfat group dari molekul asam fitat,
akan tetapi interaksi antara protein dengan asam fitat tergantung pada pH
(Weaver and Kannan, 2002).
Gambar 1. Struktur Asam Fitat (Graf, 1983)
2.2 Sumber Asam Fitat
Kandungan asam fitat sangat banyak terdapat dalam tumbuhan,
sel mikroorganisme dan ternak. Biji-bijian tumbuhan mengandung 60 –
90% fosfor terikat fitat dalam bentuk garam asam fitat. Asam Fitat
terdapat pada tanaman pangan seperti; jagung, gandum, kedelai, kacang
tanah, padi dan juga terkandung dalam biji bunga matahari. Asam fitat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
berperan dalam proses dormansi tanaman dan perkecambahan biji
sebagai sumber ATP, berperan pada fungsi biologis penyimpanan fosfor
dan kation yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bibit tanaman. (Chu et
al., 2000). Kebanyakan tanaman yang mengandung asam fitat
merupakan sumber pangan pada ternak maupun manusia (Tabel 2).
Barriento et al., (1994) menyatakan bahwa asam fitat dalam sereal bukan
merupakan bentuk distribusi dalam biji, akan tetapi merupakan
penghubung dalam komponen morfologi spesifik dalam biji. Dalam biji-
bijian dikotil, biji-bijian yang mengandung minyak dan biji-bijian legume
seperti pir, fitat tersebar didalam seluruh biji termasuk di dalam sub
selluler, dan membentuk ikatan dengan protein. Dalam tanaman komplek
fitat bersama dengan kation (K+ dan Mg2+) membentuk phityn. Phytin
tersimpan dalam protein bodi sebagai Kristal globoid. Pada padi, Kristal
globoid mengandung 67% asam fitat, 19% K, 11% Mg dan 1% Ca
(Ogawa et al., 1975 cit. Maenz et al., 2000).
Tabel 2. Bahan pangan dan kandungan Asam fitat
Tanaman Struktur % Asam fitat Wijen Biji kering 4.71 Labu Embrio 4.08 Canola Biji kering 2.50 Bunga matahari Embrio 2.10 Mustard Biji kering 2.00 Kacang mete Embrio 1.97 Kacang-kacangan Embrio 1.80 Kacang tanah Biji 1.70 Tomat Biji 1.66 Kedelai Biji kering 1.55 Almond Embrio kering 1.42 Terung Biji 1.42 Kapri Biji kering 1.41 Pistachio Embrio 1.38 Semangka Biji 1.36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Lanjutan
Tanaman Struktur % Asam Fitat Kiwi Buah segar 1.34 Kacang panjang Biji kering 1.11 Mentimun Biji tua 1.07 Sorghum Biji kering 1.06 Coklat Biji kering 1.04 Barley Biji kering 1.02 Oat Biji kering 1.02 Gandum Biji kering 1.02 Kacang polong Biji kering 1.00 (Lott et al., 2002 cit. Afinah et al., 2010)
2.3 Ketersediaan nutrisi dan dampak lingkungan
Pada tumbuhan, asam fitat berperan dalam proses dormansi
dan perkecambahan biji tanaman (Chu et al., 2000). Asam fitat juga
merupakan antioksidan dan agen anti kanker (Raboy et al., 2002). Namun
demikian, pada hewan dan manusia, asam fitat dapat menjadi komponen
antinutrisi. Asam Fitat sangat potensial mengikat protein, asam amino dan
multivalent kation atau mineral pada makanan. Ikatan tersebut
merupakan komplek yang tidak larut sehingga sulit dihidrolisis dalam
pencernakan, sukar di serap dan mempengaruhi ketersediaan nutrisi.
Asam fitat juga mengikat serat sehingga mempengaruhi kecernaan dan
kelarutannya. Asam fitat berikatan dengan mineral penting seperti
kalsium, magnesium, cuper, besi (Fe2+, Fe3+), seng, cobalt dan mangan
(Gambar 2).
Potensi asam fitat mengikat ion mineral penting mengurangi
ketersediaan mineral dalam makanan yang mengandung asam fitat.
Ikatan asam fitat dengan divalent kation (Zn2+, Ca2+, Mg2+) membentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
komplek garam mineral-fitat penta-, hexa- yang tidak larut (Weaver and
kannan, 2002).
Gambar 2. Ikatan asam fitat dengan Fe2+ dan protein (Weaver and kannan,
2002).
Tanaman membutuhkan fosfat inorganik dan mempunyai
timbunan asam fitat terutama dalam biji. Asam fitat tersebut harus
dihidrolisis menjadi fosfat inorganik dalam tanah untuk kembali memenuhi
kebutuhan fosfat inorganik tanaman. Adanya fosfat inorganik pada
lingkungan terutama pada perairan menyebabkan terjadinya eutrofikasi,
yaitu pertumbuhan alga atau tanaman air secara berlebihan menutup
permukaan perairan, sehingga menurunkan kadar oksigen perairan dan
keseimbangan lingkungan perairan terganggu.
Pencernaan pada hewan monogastrik tidak dapat menghidrolisis
asam fitat. Asam fitat yang tidak tercerna dengan baik akan disekresikan
melalui kotoran ternak. Kotoran ternak tersebut dapat dihidrolisis oleh
mikrobia tanah dan air, sehingga ikatan fosfat pada asam fitat terlepas ke
lingkungan, mencemari sungai, danau (perairan). Menyebabkan blooming
alga, menurunkan kadar oksigen perairan, dan kematian hewan air (Shin
et al., 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Enzim Fitase 3.1. Enzim
Enzim merupakan katalis yang dapat mengubah laju reaksi tanpa ikut
bereaksi. Enzim bersifat khas dan bekerja secara spesifik sehingga aktifitasnya
dapat diatur. Dalam sitem biologis kecepatan kerja enzim dapat dipengaruhi oleh
kehadiran molekul lain yang dapat berperan sebagai pemicu (aktifator) atau
penghambat (inhibitor), keduanya disebut sebagai efektor (Gambar 3) (Suhara,
2000).
Gambar 3. Struktur aktif enzim (Suhara, 2000).
3.1.1 Aktifitas Enzim
Enzim merupakan protein yang berperan penting dalam
aktivitas biologis. Enzim sebagai katalisator reaksi mempunyai sifat
yang khas. Enzim dapat kehilangan aktivitasnya karena panas, asam
atau basa kuat, pelarut organik, dan keadaan lain yang menyebabkan
protein terdenaturasi (Girindra, 1989:91).
Selanjutnya diungkapkan oleh Suharsono (1990:124), bahwa
enzim yang aktif merupakan enzim yang mampu melakukan aktivitas
katalitiknya. Aktivitas enzim didefinisikan sebagai suatu jumlah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dapat menyebabkan perubahan atau transformasi substrat sebanyak 1
mikromol per menit pada suhu dan lingkungan yang optimal selama
pengukuran aktivitas berlangsung. Satu unit aktivitas enzim (1U)
merupakan perubahan substrat 1µmol/menit.
Enzim bersifat khas dan aktif pada kondisi optimum tertentu,
sehingga aktivitasnya dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a. Konsentrasi Enzim
Enzim dengan derajat kemurnian yang tinggi dalam batas-batas
tertentu, menunjukkan hubungan linier antara jumlah enzim dan taraf
aktivitasnya (Gambar 4).
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi enzim pada laju aktivitas enzim
b. Konsentrasi Substrat
Konsentrasi substrat pada taraf tertentu dapat mempengaruhi laju
aktivitas enzim dan selanjutnya laju aktivitas tidak tergantung pada
konsentrasi substrat yang ada (Gambar 5).
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi substrat pada aktivitas enzim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
c. pH
Aktivitas maksimum dicapai pada pH tertentu saja (Gambar 6).
Gambar 6. Pengaruh pH pada Aktivitas enzim
d. Suhu
Aktivitas suhu akan meningkat pada kenaikan suhu sampai batas
tertentu dan pada kenaikan suhu selanjutnya, aktivitas enzim
berkurang (Gambar 7).
Gambar 7. Pengaruh Suhu pada aktivitas enzim
Aplikasi enzim dalam industri pakan ternak telah banyak
dilakukan dan efektifitas penggunaan enzim tersebut dipengaruhi oleh
aktifitas enzim. Enzim yang ditambahkan dalam pakan ternak
berpengaruh terhadap kecernaan pakan sehingga berdampak pada
pencernaan ternak.
Beberapa keuntungan penambahan enzim pada pakan ternak
antara lain;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
a. Mendegradasi antinutrisi dalam makanan yang mengganggu
proses pencernakan
b. Meningkatkan ketersediaan nutrisi dari suatu bahan pakan yang
tidak dapat terdegradasi oleh enzim pencernakan hewan ternak
c. Sebagai suplemen terhadap aktifitas pencernakan pada hewan
dalam masa pertumbuhan dan pada hewan dalam masa
penyembuhan
d. Membantu efektifitas penyerapan nutrisi sehingga mengurangi
dampak polusi kotoran ternak (Boyce et al., 2004).
3.2. Fitase
Fitase atau myo-inositol heksaisfosfat hidrolase merupakan enzim
fosfatase yang mampu mengkatalis hidrolisis pelepasan fosfat pada fitat.
Hidrolisis asam fitat sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai nutrisi pada
beberapa tanaman pangan (Gambar 8) (Shin et al., 2001).
Fitase adalah enzim yang dapat memutuskan ikatan phospat pada fitat,
yaitu suatu bentuk timbunan fosfat organik yang ada di alam (Jorquera et al.,
2008). Fitase aktif asal mikroba banyak ditemukan pada spesies fungi dan
aspergillus. Shieh dan Ware (1968), menyatakan bahwa hasil penyaringan pada
isolat tanah terdapat lebih dari dua ribu (2000) mikroorganisme yang mampu
menghasilkan enzim fitase. Dari isolat tersebut kebanyakan memproduksi fitase
intraselluler, sedangkan 30 isolat adalah fitase ekstraselluler.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
(Lei et al., 2003)
3.2.1 Klasifikasi Fitase
“The Enzym Nomenclature of The International Union of Biochemistry”
menggolongkan fitase ke dalam dua tipe yaitu 6–fitase (EC 3.1.3.26) dan 3–fitase
(EC 3.1.3.8). Pengelompokan tersebut didasarkan pada posisi gugus fosfat
pertama yang dihidrolisis oleh enzim. Enzim 6-fitase memulai reaksi hidrolisis
fitat dari gugus fosfat posisi L-6 atau D-4, menghasilkan produk awal L-inositol
(1,2,3,4,5)P5. Enzim 3-fitase memulai hidrolisis fitat pada gugus fosfat posisi D-3,
menghasilkan produk awal D-inositol (1,2,4,5,6)P5 (Gambar 9). Enzim 6–fitase
biasanya terdapat pada tumbuhan dan 3–fitase dijumpai pada fungi (Dvorakova,
1998).
Hidrolisis asam fitat terjadi secara berurutan mulai dari ester fosfor mio-
inositol yang lebih rendah (gambar 9), kemudian menurun sesuai dengan nomor
asam fosfat (IP5 – IP1). Enzim dalam bentuk tunggal tidak mampu melakukan
Gambar 8. Fitat dihidrolisis oleh Fitase menjadi inositol, fosfat dan ion mineral Fitat mengikat element besi (Fe) dan seng (Zn) diantara group fosfat pada satu molekul fitat maupun antar molekul fitat. Fitase memulai hidrolisis fitat dari karbon no 1, 3 atau 6 pada cincin inositol, sehingga fosfat terlepas dari ikatan dan melepaskan kalsium (Ca), besi (Fe), seng (Zn) ataupun mineral lain yang terikat sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
defosfolirase asam fitat secara penuh. Kombinasi fitase dan fosfatase non
spesifik akan meningkatkan aktivitas defosforilasi asam fitat (Maenz, 2001).
Degradasi fitat dalam saluran pencernaan unggas berhubungan dengan
aksi fitase dari satu atau tiga sumber enzim. Fitase dalam saluran pencernaan
berasal dari :1). Fitase usus yang terdapat dalam saluran pencernaan, 2) fitase
asal tumbuhan dan 3) fitase asal mikroba.
Gambar 9. 6 – fitase (EC 3.1.3.26), 3 – fitase (EC 3.1.3.8)
Gambar 10. Defosforilasi asam fitat oleh 3-Fitase Saccaromices cerevisae
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Berdasarkan mekanisme hidrolisis fitat terdapat 4 pengelompokkan
Fitase, yaitu; histidine acid phosphatase (HAP), cysteine phytase (CPhy),
purple acid phosphatase (PAP) dan -propeller phytase (BPP) (Tabel 3).
a. Histidine Acid Phophatase (HAP)
Merupakan kelompok enzim yang banyak digunakan dan dipelajari.
Enzim kelompok ini terdapat pada hewan, tumbuhan maupun mikro
organisme. Enzim ini tetap mempunyai aktivitas dalam kondisi asam.
Salah satu prokariotik yang menghasilkan HAPhy (Histidine Acid
Phophatase) adalah Escherichia coli, dari kelompok kapang antara
lain Aspergillus niger PhyA and PhyB. Aktivitas katalitik enzim terjadi
melalui 2 tahap reaksi yang menghidrolisis asam fitat menjadi
monoester fosfat. HAPhy (Histidine Acid Phophatase) banyak
digunakan dalam hidrolisis asam fitat dalam sereal dan biji-bijian
untuk pakan ternak.
b. Cysteine Phytase (CPhy)
Merupakan kelompok fitase yang ditemukan pada bakteri anaerob
dalam rumen yaitu Selomonas ruminantium (Chu et.al., 2004).
Mempunyai suhu optimum 50-55 0C dan pH optimum antara 4-5.
CPhy (Cysteine Phytase) mengkatalis reaksi defosforilasi asam fitat
menjadi myo-inositol monophosphat, aktivitas katalitiknya dihambat
oleh Fe2+
, Fe3+
, Hg2+
, dan Zn2+
.
c. Purple Acid Phosphatase (PAP)
PAP (Purple Acid Phosphatase) merupakan kelompok fitase yang
terdapat pada Burkholderia cepacia, dan pada kedelai (Glycine max L.
Merr) GmPhy (Lim et al., 2007). GmPhy (Glycine max Phytase)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ditemukan pada perkecambahan biji kedelai. GmPhy (Glycine max
phytase) mempunyai aktivitas spesifik terhadap asam fitat yang lebih
rendah dibanding aktivitas fitase dari kapang. Rendahnya aktivitas
spesifik fitase GmPhy (Glycine max Phytase) menguntungkan bagi biji
tanaman selama proses perkecambahan, dimana defosforilasi terjadi
dengan lambat dan seimbang selama perkecambahan biji. Dalam
tahap perkecambahan biji asam fitat mempunyai peran penting
sebagai sumber fosfat (Mullaney and Ullah, 2003).
d. β-Propeller Phytase (BPP)
Fitase kelompok β-Propeller Phytase (BPP) mempunyai 2 situs
pelekatan, yaitu situs untuk hidrolisis substrat dan situs untuk
mengikat substrat yang akan dihidrolisis. β-Propeller Phytase (BPP)
memutuskan ikatan 3-fosfat pada asam fitat menghasilkan inositol
3fosfat, aktivitas katalitik meningkat dengan adanya Ca (kalsium).
Adanya ikatan fitat dengan Ca (kalsium) akan membentuk
penghubung yang mendekatkan fitase dengan substrat (Shin et al.,
2001). BPP (β-Propeller Phytase) dapat digunakan sebagai tambahan
pada pakan ternak dan bermanfaat pada pertumbuhan tanaman yang
hidup pada kondisi fosfat terbatas. BPP (β-Propeller Phytase)
terdapat pada Bacillus subtilis 168PhyA, Shewanella oneidensis
PhyS, ; Xanthomonas oryzae PhyA (Lim et al., 2007).
3.2.2 Aktivitas fitase
Kebanyakan aktivitas fitase diketahui melalui warna fitat atau fosfat
inorganik yang terbentuk dari reagent setelah terjadi reaksi enzim-substrat.
Metode untuk mengetahui kuantitas fitat meliputi tahap yang kompleks;
beberapa tahap ekstraksi, presipitasi dengan FeCl3, sentrifugasi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pencucian (Thomson, 1982 dalam Lim et al., 2007). Beberapa metode
analisis HPLC atau infrared spektrocopy merupakan teknik lain yang
digunakan (Chen, 2003). Metode yang paling mudah digunakan untuk
mengetahui aktivitas fitase adalah dengan cara menentukan fosfat inorganik
yang dilepaskan setelah terjadi reaksi enzim-substrat. Penentuan tersebut
didasarkan pada terbentuknya komplek warna antara fosfat inorganik dengan
ammonium molybdate vanadat (Sajidan, 2000).
Tabel 3. 4 kelompok Fitase
Kelompok Enzim Struktur Khas Mekanisme Katalitik Contoh
Histidine Acid Phophatase
N-terminal RHGXRXP C-terminal HD motif konsensus
N-terminal H membentuk intermediet phosphohistidin, C-terminal bertindak sebagai donor proton/ sebagai tempat spesifik untuk substrat bermuatan positif
A. Niger,
P. lycii,
E. coli,
Zea mays β Propeller Phytase Molekul yang
berbentuk 6 bilah baling baling
Mekanisme katalitik terdiri dari 2 situs yaitu situs pelekatan dan situs pemecahan. Situs pelekatan mengikat grup phosphat sementara situs yang lain memecah ikatan phosphat pada grup phosphat yang berdampingan. Adanya situs ganda tersebut menguntungkan IP6, IP5 atau IP4 sebagai substrat
Bacillus sp, X. oryzae
Cysteine Phosphatase
Struktur P loop terdiri dari motif konsensus HCXXGXXR(T/S)
Protein tirosin phosphat memecah grup phosphat
S. ruminantium
Purple Acid Phosphat
Motif konsensus: DXG/GDXXY /GNH(E,D) /VXXH/GHXH
Metalloenzim, terdapat pada tanaman
Glycine max, M. truncatula
(Lei et al., 2007)
3.2.3 Sumber Fitase
Fitase terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan mikroorganisme dan
jaringan tubuh ternak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
a. Fitase Mikrobia
Mikroorganisme penghasil fitase berasal dari bakteri misalnya
spesies pseudomonas (Irving dan Cosgrove, 1971), yeast seperti
Saccharomyces cereviceae, dan spesies aspergillus seperti
Aspergillus niger dan Aspergillus ficuum. Dvorakova (1998)
mendaftarkan 29 spesies fungi, bakteri dan yeast yang memproduksi
enzim fitase aktif. Dari 29 spesies yang terdaftar 21 memproduksi
fitase ekstraselluler dengan aktivitas paling tinggi (Volfova. et al.,
1994). Nielsen et al., (1997) menyatakan bahwa hidrolisis fitat pada
induk sapi perah dan anak terjadi di dalam saluran pencernaan.
Keadaan ini memungkinkan fitase asal mikroba akan aktif dalam
saluran pencernaan monogastrik dengan kondisi tertentu, walaupun di
dalam unggas kelihatannya hidrolisis fitat kurang penting. Selanjutnya
dinyatakan bahwa fitase asal mikroba aktif di dalam saluran
pencernaan. Mereka mengadakan penelitian dengan memberikan
penambahan alkali Esceria coli cellular, akibat perlakuan tersebut
terjadi difisiensi fosfor di dalam usus halus, selanjutnya
menambahkan campuran tepung jagung dan kacang kedelei pada
ransum dan terjadi perbaikan pada pertumbuhan dan kalsifikasi
unggas, respon ini mambuktikan akan adanya fitase atau enzim yang
serupa asal bakteri.
Enzim fitase ekstraselluler yang berasal dari mikroba stabil
pada suhu tinggi. Peningkatan suhu pada medium pereaksi dari suhu
ruang menjadi 58oC, terjadi peningkatan hidrolisis fitat oleh fitase asal
Aspergillus ficuum (Ullah et al.,1991). Peningkatan suhu dari suhu
medium secara sinergis terjadi penurunan aktifitas enzim dan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
terdeteksi pada suhu 68oC (Ullah dan Dischinger, 1995). Suhu
optimum perlu diperhatikan untuk menjaga stabilitas enzim terutama
pada saat proses pembuatan ransum. Enzim fitase asal Asphergilus
fumigatus aktif pada kisaran pH yang luas dan suhu ekstrim 100oC
selama 20 menit atau 90oC selama 120 menit (Pasamontes et al.,
1997). Fitase Aspergillus fumigatus memiliki potensi untuk
dikembangkan secara komersial sebab pada lingkungan tersebut
akan mampu mempertahankan aktivitasnya dalam proses pelleting.
Enzim fitase yang diproduksi secara komersial adalah hasil
encoding gen pada Aspergillus niger. Produksi enzim berasal dari
Aspergillus niger var. vacuum perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terhadap aktivitasnya. Enzim fitase komersial asal Aspergillus niger
itu sudah digunakan sebagai pakan aditif pada hewan monogastrik di
Eropa (Wodzinski dan Ullah, 1996)
Secara umum fitase aktif pada suhu 45℃ sampai 60℃ dan
stabil pada pH tertentu. Sementara Asphergilus fumigates dapat stabil
sampai suhu 100℃ , selama 20 menit dengan hanya kehilangan 10%
aktivitas enzim (Pasamontes et al., 1997). Fitase dari mikroba yang
berasal dari fungi, umumnya mempunyai pH optimum berkisar antara
4.5-6.0, dan aktivitas enzimnya menurun pada pH kurang dari 3.0
atau pada pH yang lebih tinggi dari 7.5. Fitase dari
Enterobacter,mempunyai pH optimum 7,5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b. Fitase Tanaman
Beberapa Fitase yang ditemukan pada tanaman merupakan
jenis Histidin Acid phytase (HAP). Umumnya bahan pangan yang
mengandung fitat juga mempunyai kandungan enzim fitase (Tabel 4).
Tabel 4. Fitase Tanaman
Sumber Fitase pH Temp (0C) Km (mmol/L) M (kD) Reference
Labu 4.8 48 67 Goel and Sharma, 1979
Biji canola 4.5 - 5 50 0.36; 0.25 70 Kim and Eskin, 1987
Kacang Faba 5 0.148 65 Greiner et al., 2001b
Biji Hazel 5 0.162 72 Andriotis and Ross, 2003
Biji Legum 8 Scott, 1991
Pollen bunga Lily 8 55 0.081 88 Jog et al., 2005
Biji Lupin 5 50 0.08; 0.3; 0.13 57 - 64 Greiner, 2002
Kacang Mung 7.5 57 0.65 160 Mandal et al., 1972
Kacang Navy 5.3 50 0.018 Lolas and Markakis, 1977
Kacang tanah 5 55 22 Gonnety et al., 2007
Biji lobak 5.2 50 Mahajan and Dua, 1997
Daun Bawang daun 5.5 51 0.2 Phillippy, 1998
Biji kedelai 4.5 – 4.8; 55; 0.05; 119; Gibson and Ullah, 1988;
4.5 – 5 58 0.061 72 – 130 Hegeman and Grabau, 2001
Bunga matahari 5.2 55 0.29 Agostini and Ida, 2006
Akar tomat 4.3 45 0.038 164 Li et al., 1997
Serbuk sari Typha latifolia
8 0.017 Hara et al., 1985
Barley 5; 6 45; 55 0.072; 0.19 67 Greiner et al., 2000
Jagung 5 55 0.02; 0.03 71; 76 Hubel and Beck, 1996
0.04; 0.117 Laboure et al., 1993
Oat 5 38 0.030 67 Greiner and Alminger, 1999
Beras 4.4; 4.6 40 0.17; 0.09 66;61 Hayakawa et al., 1989
Rye 6 45 0.3 67 Greiner et al., 1998
Spelt 6 45 0.4 68 Konietzny et al., 1994
Gandum murni 5.15 55 0.3 Peers, 1953
Dedak gandum 5 0.49 Nagai and Funahashi, 1962
Dedak gandum 5.6; 72 0.02; 0.2 47 Lim and Tate, 1973
Dedak gandum 6 45; 50 0.0005; 0.0008
68; 66 Nakano et al., 1999
Ekstrak kasar gandum 6 45 0.83 65 Bohn et al., 2007
(Bohn et al., 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
c. Fitase pada jaringan tubuh Hewan
Beberapa fitase yang berasal dari jaringan tubuh hewan
memiliki pH optimal antara netral sampai basa. Fitase yang terdapat
pada jaringan membran intestinal vesikel unggas mempunyai pH
optimal antara 5,5-6,0. Meskipun di dalam jaringan tubuh unggas
terdapat fitase, namun tetap membutuhkan supplement fitase dari luar
tubuh untuk memenuhi kebutuhan diet unggas (Maenz, 1998).
Aktifitas fitase yang ditemukan pada rumen sapi berasal dari mikrobia
yang terdapat melimpah pada rumen (Yanke et al., 1998).
3.2.4 Prospek dan Aplikasi Enzim Fitase
Fitase biasanya digunakan sebagai supplement pada
makanan untuk meningkatkan ketersediaan P (fofat), melaui hidrolisis
fitat yang terdapat pada bahan pangan dari tumbuhan. Peningkatan
ketersediaan fosfat pada makanan dapat mengurangi kandungan
fosfat pada kotoran ternak, sehingga mengurangi melimpahnya fosfat
pada lingkungan peternakan. Fosfat inorganik (Pi) merupakan
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, diperkirakan ketersediaan
fosfat di bumi akan habis dalam kurun 50 tahun. Sehingga Fitase
sangat efektif digunakan sebagai sumber natural fosfat dalam skala
global (Lei et al., 2007).
Fitase telah banyak digunakan sebagai supplement tambahan
pada makanan ternak. Diantaranya sebagai campuran wheat pollard
pakan ternak unggas. campuran probiotik tersebut dapat meningkatkan
retensi protein dan mineral sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan ayam (Sajidan et al., 2004). Prospek aplikasi fitase
selanjutnya adalah sebagai tambahan nutrisi pada manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Kebanyakan sumber pangan berasal dari sereal dan biji bijian.
Tanaman tersebut mempunyai kandungan fitat yang tersimpan dalam
biji yaitu pada aleuron dan pada titik germinasi yang merupakan
tempat penyimpanan utama mineral dalam tanaman. Adanya fitase
yang menhidrolisis fitat, akan memperbaiki ketersediaan mineral,
protein dan nutrisi penting dalam konsumsi makanan manusia (Raboy
et al., 2002). Fitat yang berikatan dengan beberapa mineral, misalnya
besi dapat berperan sebagai antioksidan dan anti kanker. Sehingga
penggunaan fitase sebagai enzim yang bermanfaat pada ketersediaan
mineral, protein dan nutrisi dalam tubuh melalui hidrolisis fitat dengan
tetap mempertimbangkan efek positif fitat, merupakan bagian menarik
yang perlu diketahui lebih lanjut. Beberapa industri pembuatan
gandum, roti atau makanan dari bahan sereal dan biji-bijian telah
menggunakan fitase untuk mengurangi adanya fitat dalam bahan
makanan, sehingga bahan makanan menjadi lebih mudah dicerna
(Brune et al., 1992 cit. Lei et al., 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
B. KERANGKA PENELITIAN
Gambar 11. Diagram Kerangka Penelitian
Abu Vulkanik
Koloni dengan aktifitas Fitase tertinggi
Platting Method (Isolasi Bakteri)
Sub Kultur
Koloni Koloni Tunggal
Inokulasi pada media Screening cair
Morfologi Molekuler (16S rRNA)
Isolasi DNA
Amplifikasi gen 16S rRNA
Penentuan Urutan
Nukleotida
Analisis Filogenetik
Pengamatan Koloni
Pewarnaan
Gram
Uji aktifitas Enzim
Identifikasi Bakteri Fitase Ekstrak kasar Fitase
Karakterisasi
pH Suhu
Efektor Logam Stabilitas pH & Suhu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
BAB III
METODOLOGI
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
1. Waktu
Penelitian dilaksanakan bulan Desember sampai Mei 2010. Jadwal
kegiatan penelitian terlampir (Table L. G1, lampiran G).
2. Tempat
Sampel Abu vulkanik gunung Merapi Jawa Tengah diambil dari 2 tempat
yaitu; Desa Lencoh Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dan Cangkringan
Sleman Yogyakarta. Abu merupakan lapisan di atas tanah setebal 5 cm. Isolasi
bakteri dari sampel abu Selo Boyolali dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Isolasi bakteri dari sampel abu
Cangkringan Sleman Yogyakarta dilaksanakan di LPPT Universitas Gajah Mada.
Identifikasi bakteri dilaksanakan di sub laboratorium Mikrobiologi FKIP UNS dan
sub Lab. Biologi laboratorium pusat Universitas Sebelas Maret. Karakterisasi
ekstrak kasar enzim fitase dilaksanakan di sub Lab. Biologi dan sub Lab. Kimia
laboratorium pusat Universitas Sebelas Maret. Sekuensing DNA dilaksanakan
dengan jasa komersial Laboratorium 1st base Singapura.
B. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Alat
Bunsen, cawan petri, tabung reaksi, gelas beker, gelas ukur, ose,
pinset, pipet, pipet mikro, tip, tabung mikro 1500 ml (eppendorf), neraca
timbang, inkubator, vortex, stirer, elektroforesis DNA, laminar air flow,
autoklaf, lampu ultraviolet, refrigerator, freezer, sentrifuge, PCR,
microwave, incubator, ice maker, sarung tangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2. Bahan
Aquades, dH2O filter, Master mix PCR (goTaq green Promega),
agarosa, DNA kit (Promega), etidium bromide, kristal violet, safranin.
primer forward Bact F1 (5'-GAGAGTTTGATCCTGGCCAG-3’), primer
reverse Uni B1 (5‘-CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC-3‘). Marka DNA 1 kb
(Fermentas). Media Luria Bertani (LB), terdiri dari; 1% tripton, 1% NaCl,
0,5% yeast extract, 2% bacto agar untuk media LB padat, 0,4% Na Fitat
(Natrium Fitat) untuk media screening, Ammonium molibdate, Ammonium
metavanadate, HNO3 (asam nitrat), HCL (asam klorida).
C. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Abu vulkanik
gunung Merapi diambil dari Desa Kepuh Harjo Cangkringan Sleman Yogyakarta
dan Lencoh Selo Boyolali. Sampel Abu diambil dari lahan pertanian penduduk.
D. PROSEDUR PENELITIAN
1. Isolasi Bakteri dari sampel Abu Vulkanik
Bakteri fitase diisolasi dari abu vulkanik gunung Merapi dengan
menggunakan metode seri pengenceran (Platting Method). 1 gram abu dilarutkan
ke dalam 10 ml aquades ditambah larutan NaCl fisiologis 1%. Diambil sebanyak
1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis
sehingga didapat pengenceran 10-2. Pengenceran dilanjutkan sampai 10-6, 10-7
dan 10-8. Masing-masing seri pengenceran diambil 10 µl dimasukkan kedalam
cawan Petri yang telah berisi media LB (Luria bertani). Kemudian diinkubasi
selama 16 jam pada suhu 37oC. Subkultur dilakukan terhadap hasil kultur
sebelumnya sehingga diperoleh koloni tunggal.
2. Seleksi bakteri Fitase
Masing masing koloni tunggal ditumbuhkan pada media LB (Luria bertani)
yang mengandung 0,4% Na fitat, dengan komposisi media LB (Luria bertani); 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tripton : 1 yeast ekstrak : 2 NaCl. Koloni bakteri diinokulasi pada 10 mL media
cair. Diinkubasi pada suhu 37 oC selama 16 jam. Produksi ekstrak kasar enzim
fitase dilakukan dengan sentrifugasi kultur cair 4000 rpm selama 5 menit pada
suhu 4 oC. Supernatan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar enzim fitase.
Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran aktivitas fitase.
3. Pengukuran Aktivitas Fitase
Pengukuran aktivitas bakteri penghasil fitase dengan metode dari Sajidan
(2002): 25 µl enzim, 125 µl susbtrat 0,4 % natrium fitat dalam 100 mM Natrium
asetat diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit. Reaksi dihentikan dengan
penambahan larutan STOP yang terdiri dari 2,352 g Ammonium molibdate/100
ml Aquadest sebagai larutan A, 10 g Ammonium metavanadate/100 ml Aquadest
sebagai larutan B. Larutan STOP dibuat dengan perbandingan : 1,5 volume
larutan A + 1,5 volume larutan B + 1 volume HNO3 pekat + 2 volume aquades.
Warna kuning dari fosfomolibdovanadat diukur dengan spektrofotometer pada
ʎ=415 nm
4. Tahap Identifikasi
Bakteri penghasil fitase dengan aktivitas tertinggi selanjutnya dilakukan
identifikasi berdasarkan karakter morfologi dan analisis gen 16s rRNA.
a. Pewarnaan Gram dan pengamatan Koloni
Kaca objek ditetesi dengan aquades, kemudian jarum ose steril
diusapkan dalam biakan bakteri, dihomogenkan dan difiksasi diatas nyala
bunsen (± 30 cm). Usapan yang telah kering ditetesi satu tetes kristal violet
dan didiamkan selama 1 menit. Selanjutnya diteteskan satu tetes lugol dan
dibiarkan selama 30 detik. Bercak Lugol dibilas sampai warna bilasan bening
menggunakan etanol 95%. Kemudian diteteskan larutan safranin, dibiarkan
30 detik dan dibilas dengan aquades. Warna koloni diamati dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
mikroskop. Warna ungu pada sel menunjukkan Gram positif dan warna
merah menunjukkan Gram negatif.
b. Isolasi DNA Bakteri
Isolat bakteri ditumbuhkan dalam medium LB (Luria bertani), sebanyak
1 ml kultur disentrifugasi pada 12.000 rpm. Kemudian DNA diekstrak dengan
DNA kit (Promega USA) dengan langkah kerja sebagai berikut:
i. Pellet sel yang diperoleh ditambah 480 µL 50 mM EDTA dicampur
sehingga tersuspensi, kemudian ditambahkan 120 µL Lisozim 10mg/ml
dan diinkubasi pada suhu 370C selama 60 menit, kemudian di sentrifuge
12.000 rpm selama 2 menit. (Untuk bakteri gram Positif)
ii. Pellet sel ditambah 600 µL Nuclei Lysis Solution (Promega) dicampur
sehingga sel tersuspensi kembali.
iii. Inkubasi 800C selama 5 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang.
iv. Ditambahkan 3 µL RNAse Solution (Promega) mikro tube dibolak balik
sampai tercampur.
v. Inkubasi 370C selama 60 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang.
vi. Ditambahkan 200 µL Protein precipitation Solution, vortex dengan
kecepatan tinggi selama 20 detik
vii. Inkubasi dalam es selama 5 menit, kemudian sentrifuge 12.000 rpm
selama 3 menit.
viii. Supernatan dipindahkan ke dalam mikro tube baru yang telah berisi 600
µL isopropanol (mikro tube dibolak balik sehingga tercampur dan benang-
benang DNA terlihat)
ix. Sentrifuge 12.000 rpm selama 2 menit, kemudian supernatant dibuang dan
tube dikeringkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
x. Ditambahkan 600 µL 70% etanol, kemudian sentrifuge 12.000 rpm selama
2 menit
xi. Mikro tube dikering-anginkan selama 10 sampai 15 menit
xii. Ditambahkan 100 µL DNA Rehidration Solution (Promega), inkubasi pada
suhu 650C selama 60 menit.
xiii. Disimpan pada suhu 40C
Kualitas DNA diketahui melalui spektrofotometer (A260) dan
kemurnian DNA yang telah berhasil diisolasi di cek melalui elektroforesis
pada agaros gel 1%.
c. Amplifikasi DNA
Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
menggunakan universal primer (Shobirin et al., 2009) Primer Forward :
(5'GAGAGTTTGATCCTGGCCAG-3'), Primer Reverse:
(5‘CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC-3‘). 1 mikrotube reaksi PCR berisi 25 µl
yang terdiri dari; 6, 5 µl master mix PCR go-Taq Green Promega, 2 DNA µl, 2
µl primer forward, 2 µl primer reverse, 12,5 µl dH2O filter. Siklus PCR
(Polymerase Chain Reaction) meliputi 3 tahap yaitu; denaturasi, annealing
dan ekstention. Denaturasi awal pada 94°C selama 2 menit dilanjutkan
dengan 30 siklus, denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit, 45 detik
annealing pada 50° C dan 1.5 menit primer ekstension pada 72°C.
Kemudian 72°C ektra ektension selama 5 menit dan terakhir 4°C selama 1
menit.
Pita DNA dari reaksi PCR diamati dengan 1% agarosa, dengan DNA
marker 1 Kb. Setelah itu dilakukan sekuensing pada hasil PCR di
laboratorium 1st base Singapura.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
5. Karakterisasi Ekstrak Kasar Fitase dari Isolat Terpilih
Isolate bakteri yang mempunyai aktivitas fitase paling tinggi
ditumbuhkan dalam 5 ml medium screening cair pada suhu 370C selama 16
jam. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit pada
suhu 40C. Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar fitase.
Karakterisasi ekstrak kasar fitase meliputi penentuan pH optimum,
suhu optimum, efektor logam (MgCl2, ZnCl2, CaCl2, FeCl3 pada 10-3 dan 10-4
M), stabilitas pH dan stabilitas suhu.
5.1. pH optimum
pH optimum ditentukan dengan cara mengukur aktivitas enzim pada
berbagai pH substrat yaitu pada rentang 3 – 9. 0,4% Na-fitat dalam 100 mM
Na-asetat digunakan sebagai substrat di atur tingkat keasamannya sehingga
mempunyai pH 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9.
5.2. Suhu optimum
Suhu optimum ditentukan dengan cara mengukur aktifitas enzim pada
berbagai suhu inkubasi enzim-substrat. Mulai dari suhu diruang, 370C, 400C,
500C, 600C, 700C, 800C. Ekstrak kasar enzim fitase sebanyak 25 µL
ditambahkan substrat 125 µL dan diinkubasi selama 60 menit pada berbagai
suhu yang telah ditentukan tersebut. Setelah itu ditambahkan 400 µL larutan
STOP, kemudian diukur absorbansi larutan pada ʎ = 415 nm.
Stabilitas termal enzim diketahui dengan memanaskan enzim pada
suhu optimum selama rentang waktu tertentu dan diukur aktivitasnya sampai
enzim tidak memperlihatkan aktivitas yang signifikan. Pada pengukuran
stabilitas pH dilakukan dengan cara melarutkan enzim dalam larutan buffer
dengan berbagai pH. Masing masing campuran diinkubasi pada suhu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
optimum selama 1 jam kemudian diukur aktifitas fitase pada tiap-tiap pH
tersebut.
5.3. Efektor Logam
Kedalam setiap larutan enzim-substrat ditambahkan 10 µL FeCl3,
MgCl2, CaCl2, dan ZnCl2 dengan konsentrasi 10-3 dan 10-4 M. Kemudian
diinkubasi pada pH dan suhu optimum selama 60 menit.
E. ANALISIS DATA
Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis meliputi;
1. Data Pengukuran aktivitas Fitase
Nilai absorbansi yang diperoleh pada pengukuran ekstrak kasar Fitase
dianalisis jumlah kandungan fosfat anorganik (PO43-) yang terbentuk Unit/ml
dengan menggunakan persamaan regresi linier dari kurva standar P
(KH2PO4). Kurva standar fosfat dibuat dengan mengukur nilai absorbansi
larutan KH2PO4 pada berbagai konsentrasi.
Larutan KH2PO4 untuk membuat kurva standar fosfat dibuat dengan
cara melarutkan 0,38334 g KH2PO4 dalam 100 mL aquades. Kemudian
larutan tersebut diencerkan 100 kali sehingga setiap larutan mengandung
0,03834 mg KH2PO4. Seri standar dibuat dengan mengambil 0.025, 0.5,
0.075, 1, 2, 3, 4 larutan standar ditambah 6.25 mL molibdo-vanadat, dan
diencerkan sampai 25 mL. Larutan tersebut diukur absorbansinya pada ʎ =
415 nm. Nilai absorbansi larutan pada berbagai konsentrasi tersebut dihitung
korelasinya dan dibuat persamaan regresi.
2. Analisis gen 16s rRNA
Data urutan nukleotida dari hasil sekuensing gen 16s rRNA diolah
dengan program Bioedit untuk menggabungkan nukleotida menjadi satu untai
utuh. Kemudian dilakukan analisis BLAST yaitu, penjajaran urutan DNA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
sampel dengan urutan DNA data genbank. Analisis BLAST dilakukan secara
online di http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/blast. Melalui analisis BLAST akan
diperoleh data homologi dari isolat bakteri terhadap data urutan nukleotida
spesies-spesies dalam genebank. Data urutan nukleotida spesies spesies
yang memiliki homologi dengan isolat dikumpulkan dalam satu file dengan
format fasta. Data-data urutan nukleotida tersebut kemudian dianalisis
Multiple sequence Alignment dengan program ClustalW2 secara online di
http://www.ebi.ac.uk/tool/msa/clustalW. Setelah kumpulan data urutan
nukleotida disejajarkan, dilanjutkan dengan analisis filogenetik dengan
menggunakan program ClustalW2. Dari analisis filogenetik diperoleh jarak
matrik berdasarkan urutan DNA isolat dengan DNA spesies spesies yang
telah dikumpulkan dari data homologi sebelumnya. Matrik jarak tersebut
digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik dengan program treeview
yang diunduh dari http://darwin.zoology.gla.ac.uk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Isolasi Kultur Bakteri Fitase
Fitase merupakan kelompok enzim yang mampu membebaskan fosfat
dari fitat, yaitu bentuk penimbunan fosfat organik di alam. Enzim fitase dapat
ditemukan pada beberapa organisme, salah satunya adalah bakteri (Jorquera
et al., 2008). Bakteri fitase diisolasi dari abu vulkanik gunung Merapi Jawa
Tengah yang berada diatas tanah, diambil dari 2 lokasi yaitu Selo Boyolali
dan Cangkringan Sleman Yogyakarta. Lapisan tanah paling atas dan lapisan
tanah yang berdekatan dengan akar tanaman merupakan tempat tumbuh
berbagai spesies bakteri, antara lain bakteri fosfat (Rengel, 2008).
Lokasi Selo Boyolali dan Cangkringan Sleman merupakan daerah yang
ikut terkena dampak letusan gunung Merapi pada tanggal 26 November
2010. Pada jarak 2,92 km dari puncak merapi di daerah Selo, abu menutupi
lahan mencapai ketebalan 2-3 cm. pH abu dan tanah yang tertutup abu
berkisar 5,4-netral. Sementara di daerah Cangkringan ketebalan abu yang
menutupi tanah mencapai ketebalan 10-29 cm dengan kisaran pH 5,5-netral.
Kandungan P (fosfat) pada abu vulkanik berkisar antara rendah sampai tinggi
(8-232 ppm P2O5). Abu vulkanik mempengaruhi mikroorganisme tanah, pada
ketebalan Abu sampai 5 cm, total bakteri abu vulkanik mencapai 7,2 x 107 –
1,4 x 109 , terdiri dari Azotobacter spp (0 - 3,1 x 105), Azospirillum spp (0 - 1,1
x 106), bakteri pelarut P (0 – 6,0 x 104) (Suriadikarta dkk., 2010).
Kultivasi bakteri dilakukan pada medium LB (Luria Bertany) padat
maupun cair (Gambar 12). Kultivasi pada media padat dilakukan dengan
teknik pengenceran untuk memisahkan bakteri menjadi koloni koloni tunggal.
Masing-masing isolat yang diperoleh dibedakan berdasarkan penampakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
bentuk fisik koloni yang tumbuh sehingga belum dapat dipastikan apakah
isolat-isolat yang diperoleh merupakan spesies yang berbeda atau sama.
Isolat yang tampak berbeda diambil sehingga mewakili seleksi untuk
mendapatkan bakteri yang memiliki aktivitas fitase.
Semua koloni tunggal yang telah diperoleh selanjutnya ditumbuhkan
pada medium LB (Luria bertani) yang mengandung 0,4% Na-fitat dalam 100
mM Na-asetat pH 5 (Nuhriawangsa dkk., 2004). Koloni bakteri yang tumbuh
pada medium yang mengandung Na-fitat dan membentuk zona bening
merupakan bakteri fitase. Fitat yang terdapat pada medium akan
terdegradasi menjadi fosfat anorganik. Sehingga kebutuhan fosfat anorganik
yang tidak terdapat pada medium terpenuhi karena kerja enzimatis. Dari 20
strain yang dapat diisolasi hanya 16 strain bakteri dapat tumbuh pada
medium dengan Na-Fitat namun tidak semua isolat bakteri membentuk zona
bening. Park (2001) mengungkapkan bahwa tidak semua bakteri fitase
membentuk zona bening pada medium skrining. Isolat-isolat yang tidak dapat
tumbuh atau tidak membentuk zona bening dalam medium skrining memiliki
2 kemungkinan, yaitu isolat tersebut bukan merupakan bakteri fitase, tidak
memiliki gen fitase atau isolat tersebut bisa jadi termasuk bakteri fitase
dengan gen fitase yang tidak berhasil diekspresikan. Induksi fitase tergantung
pada 2 hal, yaitu ketersediaan Na-Fitat dan tidak adanya fosfat anorganik
dalam media (Kusumadjaja., 2009).
Gambar 12. Isolat bakteri dalam (a) medium cair Luria bertany,
(b) medium Luria Bertany padat
a a b b
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
B. Seleksi Bakteri Fitase
Dalam berbagai usaha menemukan sumber-sumber enzim baru
ataupun usaha peningkatan sifat-sifat enzim sesuai dengan kebutuhan,
terdapat berbagai metode skrining yang digunakan sehingga diperoleh sifat
spesifik yang diharapkan. Suatu sistem seleksi atau skrining yang efisien
diperlukan untuk mengidentifikasi spesies-spesies dengan aktifitas fitase.
Pengukuran aktivitas fitase pada penelitian ini menggunakan metode Sajidan
(2000) yaitu dengan menentukan kadar fosfat melalui spektrofotometri.
Aktifitas fitase diartikan sebagai jumlah enzim yang mengkatalis reaksi yang
menghasilkan 1,0 µmol fosfat anorganik per menit pada kondisi optimum.
Penentuan konsentrasi fosfat anorganik dilakukan dengan persamaan regresi
dari kurva standar fosfat.
Aktivitas fitase ditentukan dengan mengukur kadar fosfat yang
dihasilkan selama proses enzimatik berlangsung. Filtrat kultur cair bakteri
yang mengandung ekstrak kasar enzim direaksikan dengan Na-Fitat,
diinkubasi selama 1 jam. Kemudian ditambahkan komplek asam
vanadomolibdofosforik sebagai larutan stop. Senyawa fosfat anorganik dalam
filtrat akan bereaksi dengan reagen ammonium molibdat membentuk
kompleks asam molibdofosforik, selanjutnya bersama ammonium vanadat
membentuk komplek asam vanadomolibdofosforik yang berwarna kuning
(Kusumadjaja, 2009). Vanadat merupakan senyawa yang menghambat
aktivitas fosforilasi enzim fitase dengan cara membentuk komplek bangun
trigonal bipiramid (Kerovuo et al., 2000). Warna kuning yang terbentuk diukur
nilai absorbansinya pada panjang gelombang 415 nm. Digunakan kontrol
yaitu filtrat kultur bakteri tanpa substrat, untuk membedakan warna kuning
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
yang terbentuk karena adanya asam komplek vanadomolibdofosforik
(Gambar 13).
Gambar 13. Perbandingan Warna kuning dari Reaksi vanadomolibdofosforik yang terbentuk dari ikatan fosfat dengan vanadat-molibdat antara (a) control; enzim Fitase tanpa Fitat, tidak menghasilkan fosfat anorganik, (b) sampel; enzim fitase dengan Fitat, menghasilkan Fosfat anorganik ditunjukkan dengan warna yang lebih terang.
Nilai absorbansi (lampiran 1) yang terbaca pada spektrofotometer
dikonversikan dalam aktivitas fitase U/mL dengan persamaan linier yang
diperoleh dari kurva standar KH2PO4 pada beberapa tingkat konsentrasi yang
berbeda (Lampiran 1). Aktivitas fitase dinyatakan dalam unit/mL, yaitu jumlah
enzim yang diperlukan untuk melepaskan 1 mikromol fosfat anorganik
permenit pada kondisi pengukuran. Dari aktivitas fitase 16 isolat bakteri
(Gambar 14) dipilih 3 isolat bakteri dengan aktivitas fitase tertinggi, yaitu RW
Sm A, RW Sm C, RW Sl 5, masing masing berturut-turut memiliki aktivitas
sebesar; 0,1071 U/mL, 0,1020 U/mL, 0,0874 U/mL.
Umumnya aktivitas fitase dari bakteri masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan fitase yang dihasilkan oleh kapang, Candida
diddensiae mempunyai aktifitas sebesar 676,02 U/mL (Makhode, 2006).
Aktifitas fitase ketiga isolate juga masih lebih rendah dibandingkan dengan
Bacillus cereus ASUIA260 sebesar 1,160 U/mL (Sobirin et al., 2009), namun
lebih tinggi dibanding Bacillus subtilis AP-17 sebesar 0,0296 U/mL
(Kusumadjaja, 2009).
a b a b b
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Gambar 14. Aktivitas fitase dari 16 isolat bakteri (RW Sm merupakan isolat dari
sampel abu yang diambil di daerah Sleman Yogyakarta , RW Sl merupakan
isolat dari sampel abu yang diambil dari daerah Selo Boyolali)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
C. Karakteristik Bakteri Fitase
C.1. Morfologi Sel
Identifikasi mikroorganisme dilakukan dengan mengamati ciri-ciri
morfologi, meliputi; bentuk, ukuran dan reaksi pewarnaan. Identifikasi
mikroorganisme yang didasarkan pada morfologi tidak mampu memberikan
informasi filogenetik suatu mikroorganisme namun pengamatan morfologi sel
tetap diperlukan sebagai tahap awal identifikasi Iebih lanjut.
Isolat bakteri terpilih; RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl 5 diidentifikasi
berdasarkan bentuk koloni dan pewarnaan gram. Isolate RW Sm A memiliki
karakteristik koloni berwarna putih, agak mukoid, tepi tidak rata (Gambar
15a). Pewarnaan gram terhadap isolate RW sm A, menunjukkan bakteri
bentuk batang, gram positif. Isolat RW Sl 5 memiliki koloni berwarna putih,
berbentuk bulat kecil, tepi rata, tidak tembus cahaya (Gambar 15b). Hasil
pewarnaan gram menunjukkan isolate RW Sl 5 merupakan bakteri gram
positif, bentuk batang. Isolat RW Sm C memiliki koloni berwarna putih, tepi
rata (Gambar 15c), merupakan bakteri gram positif berbentuk batang.
Gambar 15. Koloni 3 isolat Bakteri yang mempunyai aktivitas fitase tertinggi,
masing-masing (a) isolat RW Sm A, (b) isolat RW Sl 5, (c) Isolat RW Sm C
Pada pewarnaan bakteri, Kristal violet akan membentuk senyawa
komplek dengan lugol memberi warna ungu. Pada beberapa jenis bakteri, zat
warna tersebut dengan mudah dilepaskan dengan pencucian menggunakan
larutan alkohol 95%, sementara pada jenis bakteri yang lain, zat warna
a b c
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tersebut dapat tetap melekat setelah dicuci dengan alkohol 95%. Bakteri
yang zat warnanya tidak terlepas setelah pencucian dengan alkohol 95%
akan berwarna ungu dan tidak terwarnai oleh pewarna safranin merupakan
bakteri gram positif. Bakteri yang tidak terwarnai oleh Kristal violet setelah
pencucian dengan alkohol 95%, kemudian terwarnai oleh safranin sehingga
berwarna merah, merupakan bakteri gram negatif (Gambar 16) (Mark, 2000).
Gambar 16. Diagram pewarnaan Gram pada Bakteri (Mark, 2000).
Pada pewarnaan gram terjadi perbedaan kemampuan terhapusnya zat
warna tertentu ketika proses berlangsung. Hal tersebut disebabkan oleh
perbedaan struktur dinding sel bakteri, antara bakteri gram positif dan gram
negative (Gambar 17). Bakteri gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan
yang lebih tebal dibanding pada bakteri gram negatif sehingga warna dari
Kristal violet melekat kuat pada bakteri gram positif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Gambar 17. Perbandingan Dinding sel bakteri gram positif dan gram
negative, pada bakteri gram positif terdapat lapisan peptidoglikan yang
lebih tebal
C.2. Fisiologi Bakteri dan Ekspresi Fitase
Pengamatan fisiologi bakteri dilakukan terhadap 3 isolat bakteri dengan
aktivitas fitase tertinggi; RW Sm A, RW Sm C, RW Sl 5, meliputi kurva
pertumbuhan bakteri (Gambar 18). Dari seleksi terhadap isolat bakteri ketiga
isolat terpilih mempunyai aktivitas fitase tertinggi, dimana pembentukan
enzim pada suatu mikroorganisme sangat tergantung pada kondisi optimum
ketika sebuah sifat diekspresikan (Qiagen, 2003 cit. Sajidan, 2010).
Selanjutnya perlu diketahui fase optimum produksi enzim pada masing-
masing isolat bakteri.
Kurva pertumbuhan dibuat untuk mengamati pola pertumbuhan bakteri.
Pola keberlangsungan hidup bakteri dapat diamati sehingga diketahui fase
optimum aktivitas fitase tertinggi pada masing-masing isolat tersebut. Pola
pertumbuhan bakteri meliputi 4 fase, yaitu :
Lapisan Peptidoglikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
a. Fase Adaptasi (Lag phase)
Merupakan fase adaptasi bakteri terhadap lingkungan pertumbuhan.
Individu bakteri tumbuh menjadi dewasa tetapi tidak diikuti dengan
pembelahan sel.
b. Fase Eksponensial (Exponential phase atau Logaritmik phase)
Merupakan fase terjadinya penggandaan jumlah bakteri. Jumlah
bakteri baru yang terbentuk per satuan waktu sebanding dengan
populasi.
c. Fase Stasioner (Stationery phase)
Laju pertumbuhan bakteri melambat oleh beberapa factor antara lain;
ketersediaan nutrisi, akumulasi metabolisme, ketersediaan ruang
d. Fase Kematian (Dead Phase)
Merupakan fase yang ditandai dengan menurunnya populasi bakteri
(Dwidjoseputro, 2008).
Gambar 18. Perbandingan fase pertumbuhan Bakteri antara isolate RW Sm A,
RW Sm C, RW Sl 5, ketiga isolate mencapai fase eksponensial pada 16 jam
inkubasi dengan Aktifitas tertinggi dicapai pada puncak fase eksponensial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pada umumnya enzim diproduksi selama pertumbuhan bakteri dan
akan mencapai aktivitas tertinggi pada akhir fase eksponensial atau fase log
(Haros et al., 2005). Kurva pertumbuhan (Gambar 18) memperlihatkan
aktivitas ketiga isolate bakteri mencapai aktivitas tertinggi pada akhir fase log
yaitu pada 16 jam inkubasi. Pada akhir fase log terjadi peningkatan jumlah
sel dan setiap sel aktif menggandakan diri. Aktivitas fitase mulai menurun
ketika memasuki fase stasioner. Pada fase stasioner tidak lagi terjadi
penggandaan sel-sel bakteri.
D. Identifikasi Bakteri
Setelah mendapatkan informasi sifat morfologi bakteri, selanjutnya
dilakukan identifikasi dengan marka gen 16s rRNA. Gen 16s rRNA terdapat
pada sub unit ribosom 30s. Gen 16s rRNA ditemukan pada semua
prokariotik, memiliki jumlah nukleotida yang cukup banyak, terdapat basa-
basa yang bersifat lestari sehingga dapat disusun sebuah primer universal
untuk mengamplifikasi gen 16s rRNA suatu organisme.
Analisis gen 16s rRNA untuk identifikasi bakteri membutuhkan jumlah
gen yang cukup dengan cara mengamplifikasi fragmen gen 16s rRNA
menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). DNA kromosom
terlebih dahulu diekstraksi dari isolat RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl 5.
Profil DNA kromosom yang telah diisolasi dianalisis dengan elektroforesis
agarosa 1%. Elektroforegram hasil elektroforesis DNA kromosom ketiga
isolat (Gambar 19) menunjukkan adanya 1 pita tunggal. Kuantitas DNA
(Dioksiribo Nukleotida) diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 260 dan 280. Kuantitas DNA merupakan perbandingan hasil
absorbansi yang terbaca pada kedua panjang gelombang tersebut. Kuantitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
1 2 3
DNA sebesar 1,7 menunjukkan kuantitas yang cukup, DNA kromosom
berhasil diisolasi dengan baik.
Ekstraksi DNA untuk mendapatkan DNA dari isolat bakteri,
menggunakan langkah kerja sesuai dengan protokol dari promega. Proses
ekstraksi DNA diawali dengan proses lisis dinding bakteri, melarutkan DNA,
mengendapkan DNA dan RNA. Setelah itu RNA dihilangkan dengan RNAse.
Protein didetanasi dengan protein presipitasion. DNA yang telah diperoleh
diendapkan dalam bentuk benang-benang dengan isopropanol. DNA yang
telah ter-ekstrak kemudian di elektroforesis dalam gel agarosa 1%.
Prinsip dasar teknik elektroforesis adalah pemisahan molekul DNA oleh
medan listrik. Molekul DNA dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya oleh
gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Sampel molekul DNA ditempatkan
dalam sumur (well) pada gel yang ditempatkan didalam larutan penyangga
(TBE), kemudian dialirkan medan listrik. Molekul DNA akan bergerak di
dalam matriks gel kearah elektroda positif, karena adanya muatan negatif
pada rangka gula-fosfat.
Gambar 19. A. Elektroforesis DNA, B. Elektroforegram agarosa 1%. (1,
2 & 3) Hasil isolasi DNA kromosom Isolat RW Sm A, RW
Sm C, dan RW Sl 5 (dilihat dengan bantuan sinar UV)
A B
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gen 16s rRNA berukuran 710 pb pada isolat RW Sm A, RW Sm C, dan
RW Sl 5 berhasil diamplifikasi dengan primer universal; forward Bact F1 (5'-
GAGAGTTTGATCCTGGCCAG-3’), primer reverse Uni B1
(5‘CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC-3‘) (gambar 20).
Lisdiyanti (1997) menjelaskan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan primer adalah :
a. Panjang urutan basa primer yang optimal adalah 18-20 basa dan tidak
terdapat duplikasi antara kedua primer untuk mendeteksi gen target.
b. Spesifitas urutan basa harus tinggi untuk menghindari bergabungnya primer
pada daerah yang tidak diiinginkan, terutama pada daerah terminal 3’.
c. Persentase kandungan basa G + C kedua primer antara 40-60%.
d. Nilai Tm (melting temperature) kedua primer antara 55-800C.
e. Konsentrasi optimal dari primer antara 0,1-0,5 µM. Konsentrasi yang tinggi
akan mengakibatkan kesalahan menempel sehingga mensintesis produk
yang tidak diiinginkan.
Nilai Tm dari kedua primer adalah sebagai berikut :
Forward Primer; Tm = 2 (A + T) + 4 (G + C)
= 2 (4 + 5) + 4 (7 + 4)
= 18 + 44
= 62 0C
Reverse Primer; Tm = 2 (A + T) + 4 (G + C)
= 2 (1 + 8) + 4 (3 + 8)
= 18 + 44
= 62 0C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Kedua primer mempunyai Tm (melting temperature) 62 0C sehingga diperoleh
suhu annealing 62 0C dan presentase kandungan basa G dan C kedua primer
55%. Kandungan basa G dan C yang rendah menyebabkan nilai Tm (melting
temperature) rendah.
Reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) dalam penelitian
menggunakan master mix gotaq green (Promega). Program PCR (Polymerase
Chain Reaction) yang digunakan berdasarkan optimasi alat PCR (Polymerase
Chain Reaction) yang akan digunakan. Komposisi larutan dalam 1 mikrotubr
reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) terdiri dari; 2 µL DNA, 2 µL Primer
Forward, 2 µL Primer reverse, 12,5 µL gotaq green master mix PCR (Promega)
dan 6,5 µL dH2O filter. Reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) dimulai pada
kondisi Pra PCR (predenaturasi) pada suhu 94oC selama 2 menit, 30 siklus
meliputi denaturasi pada suhu 94oC selama 1 menit, annealing (penempelan)
pada suhu 50oC selama 45 detik, pemanjangan 72oC selama 1,5 menit,
dilanjutkan pasca PCR 72oC selama 5 menit, pendinginan pada suhu 4oC selama
1 menit.
Dalam satu siklus PCR (Polymerase Chain Reaction) mempunyai tiga
tahap yaitu:
a. Pemisahan (Denaturation).
Tahap pertama dalam proses penggandaan adalah pemisahan utas ganda
menjadi utas tunggal dengan temperatur tinggi, yaitu 90-95oC selama 30 detik
hingga 1,5 menit.
b. Penempelan primer (Renaturation/Annealing).
Tahap penempelan primer terjadi pada suhu yang lebih dingin dibanding
dengan tahap denaturasi, yaitu antara 55-70oC. Pada suhu tersebut primer
akan menempel pada komplemen DNA target yang spesifik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
1500
500 700
1000 ±710 bp
1 2 3 4
c. Sintesa (Synthesis/Ekstension).
Pada tahap sintesa atau ekstensi, temperatur dinaikkan menjadi 72oC, suhu
ini merupakan kondisi optimum untuk proses katalisa taq DNA polimerase.
Enzim polimerase mulai bekerja dengan cara menyusun pasangan untai DNA
baru dengan nukelotida-nukleotida dari dNTPs yang telah tersedia dalam
larutan. Sintesa DNA dimulai dari ujung 3’-hidroksi pada tiap primer.
Produk PCR yang berukuran 710 pb tersebut kemudian disekuensing
(1st base Singapura). Setiap urutan DNA yang diperoleh dari masing-masing
primer untuk masing-masing isolat disejajarkan dengan program bioedit
sehingga diperoleh satu urutan DNA utuh. Berdasarkan analisis penyusunan
gen, diperoleh 317 pasang basa untuk isolat RW Sm A, 351 pasang basa
untuk isolat RW Sm C dan 353 pasang basa untuk isolat RW Sl 5 (Lampiran
C).
Gambar 20. Elektroforegram hasil amplifikasi gen 16s rRNA
isolat RW Sm A (2), RW Sm C (3),RW Sl 5 (4)
marker DNA 1kb (1) (dilihat dengan sinar UV).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Urutan DNA yang telah berhasil disekuensing kemudian dianalisis
dengan program BLASTn. Data sekuen DNA isolat RW Sm A, RW Sm C, RW
Sl 5 dibandingkan dengan data sekuen DNA yang tersedia di genebank.
Identifikasi ditentukan dari kemiripan urutan nukleotida penyusun gen 16s
rRNA. Hasil analisis BLASTn terhadap gen 16s rRNA yang mempunyai
homologi urutan yang kurang dari 98% menunjukkan bahwa spesies yang
dibandingkan merupakan spesies berbeda, homologi antara 93–95%
menunjukkan bahwa spesies yang dibandingkan berada pada genus yang
berbeda dan homologi antara 89–93% menunjukkan spesies yang
dibandingkan berada pada famili yang berbeda. Analisis BLASTn pada
isolate RW Sm A, RW Sm C, RW Sl 5 menunjukkan homologi 99%, sehingga
ketiga isolat tersebut merupakan kelompok Bacillus (Tabel 5, tabel 6 dan
tabel 7). Perbandingan urutan DNA ketiga isolat RW Sm A, RW Sm C dan
RW Sl 5 dengan DNA bakteri dari gen bank, Bacillus cereus acc no.
EU621383.1 dan Bacillus aryabattai acc no. JF939025.1) (gambar 21).
Tabel 5. Hasil Homologi urutan nukleotida isolat RW Sm A
No Deskripsi Total Nilai %
kemiripan
1 Bacillus sp. 3 599 99%
2 Bacillus cereus strain AIMST PV6.0 599 99%
3 Bacillus sp. Clone RS2 599 99%
4 Bacillus cereus strain CM100B 1165 99%
5 Bacillus cereus strain 6 599 99%
6 Bacillus cereus 599 99%
7 Bacillus sp. Cp-h45 599 99%
8 Bacillus subtilis strain AIMST 1.Dl.3 597 99%
9 Bacillus subtilis strain AIMST 1.All.14 597 99%
10 Bacillus cereus strain AIMST Saf2 597 99%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tabel 6. Hasil Homologi urutan nukleotida isolat RW Sm C
No Deskripsi Total Nilai %
kemiripan
1 Bacillus aryabhattai strain AIMST Ngse11 542 100%
2 Bacillus sp. TBRh7 542 100%
3 Bacillus aryabhattai strain starin Z7B-11 542 100%
4 Bacillus aryabhattai PSB53 542 100%
5 Bacillus megaterium strain AIMST Hli2 542 100%
6 Bacillus megaterium strain AIMST 2.Hb.5 542 100%
7 Bacillus megaterium strain AIMST 1.Ic.3 542 100%
8 Bacillus sp. PL18-1 542 100%
9 Bacillus sp. 210_33 542 100%
10 Bacillus sp. 210_27 542 100%
Tabel 7. Hasil Homologi urutan nukleotida isolat RW Sl 5
No Deskripsi Total Nilai %
kemiripan
1 Bacillus sp. ATY3 597 99%
2 Bacillus sp. ATY2 597 99%
3 Bacillus cereus starin Hs2-17 595 99%
4 Bacillus sp. IBA 33 isolat 1 595 99%
5 Bacillus sp 2 595 99%
6 Bacillus cereus strain TBLs6 595 99%
7 Bacillus cereus strain C4 595 99%
8 Bacillus anthracis strain H7B-47 595 99%
9 Bacillus anthracis strain G7Ba-66 595 99%
10 Bacillus cereus strain J9B-45 595 99%
Analisis homologi mikroorganisme memberikan informasi kemiripan
tertinggi isolat yang diuji dengan data yang tersedia pada genebank.
Sedangkan analisis mikroorganisme berdasarkan hubungan kekerabatan
pada sistem klasifikasi organisme dilakukan melalui analisis filogenetik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
RW_Sm_A GGGAAATAAA AAGANAACCA AAACGGGTGC TATACATGCA AGTCGAGCGA 50 RW_Sl_5 N..G...C.. .GAGA...T. ...-AAC... .......... .......... 50 RW_Sm_C -..GGCCT.. ....G...A. ....A..... .......... .......... 50 Bacillus_a ---------- ---------- --GG...... .......... .......... 50 Bacillus_c ---------- ----T.G.-- .TG....... .......... .......... 50 RW_Sm_A ATGGATTAAG AGCTTGCTCT TATGAAGTTA GCGGCGGACG GGTGAGTAAC 100 RW_Sl_5 .......... .......... .......... .......... .......... 100 RW_Sm_C .CT.....GA ........TC .....C.... .......... .......... 100 Bacillus_a .CT.....GA ........TC .....C.... .......... .......... 100 Bacillus_c .......... .......... .......... .......... .......... 100 RW_Sm_A ACGTGGGTAA CCTGCCCATA AGACTGGGAT AACTCCGGGA AACCGGGGCT 150 RW_Sl_5 .......... .......... .......... .......... .......... 150 RW_Sm_C .......C.. ......TG.. .......... ....T..... .....AA... 150 Bacillus_a .......C.. ......TG.. .......... ....T..... .....AA... 150 Bacillus_c .......... .......... .......... .......... .......... 150 RW_Sm_A AATACCGGAT AACATTTTGA ACCGCATGGT TCGAAATTGA AAGGCGGCTT 200 RW_Sl_5 .......... .......... .......... .......... .......... 200 RW_Sm_C .......... .GG..C..CT C.TT.....G AGATG..... ...AT..T.. 200 Bacillus_a .......... .GG..C..CT C.TT.....G AGATG..... ...AT..T.. 200 Bacillus_c .......... .......... .......... .......... .......... 200 RW_Sm_A CGGCTGTCAC TTATGGATGG ACCCGCGTCG CATTAGCTAG TTGGTGAGGT 250 RW_Sl_5 .......... .......... .......... .......... .......... 250 RW_Sm_C .....A.... ...CA..... G......GT. .......... .......... 250 Bacillus_a .....A.... ...CA..... G......GT. .......... .......... 250 Bacillus_c .......... .......... .......... .......... .......... 250 RW_Sm_A AACGGCTCAC CAAGGCAACG ATGCGTAGCC GACCTGAGAG GGTGATCGGC 300 RW_Sl_5 .......... .......... .......... .......... .......... 300 RW_Sm_C .......... .......... ....A..... .......... .......... 300 Bacillus_a .......... .......... ....A..... .......... .......... 300 Bacillus_c .......... .......... .......... .......... .......... 300 RW_Sm_A CACAC TGGGACTGAG ACGCGGCCCA GACTCCTACG GGAGGCAGCA GTAGGGAA-- 355 RW_Sl_5 ..... .........C ..A....... T......... .......... ........TC 355 RW_Sm_C ..... .......... ..A------- ---------- ---------- ---------- 355 Bacillus_a ..... .......... ..A....... .......... .......... ........TC 355 Bacillus_c ..... .......... ..A....... .......... .....CAGCA GTAGG...TC 355 Gambar 21. Perbandingan urutan basa DNA dari Bacillus sp (i. RW Sm A, ii. RW Sm C
dan iii. RW Sl 5) dengan data gen bank Bacillus aryabattai no.akses JF939025.1 dan Bacillus cereus no.akses EU621383.1 (Keterangan : Tanda titik (.) menunjukkan adanya kesamaan basa DNA antar spesies)
,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
0,01
Konstruksi pohon filogenetik didasarkan pada data urutan gen 16s
rRNA yang memiliki kemiripan dengan isolat RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl
5 yang telah diketahui melalui analisis homologi. Analisis filogenetik dilakukan
dengan menggunakan program ClustalW2. Urutan DNA dari spesies spesies
yang memiliki homologi dengan isolat bakteri terpilih dikumpulkan pada satu
file format fasta (Lampiran D) untuk disejajarkan dengan program Multiple
sequence Alignment dari software ClustalW2 (Lampiran E). Analisis MSA
(Multiple sequence Alignment) dilakukan dengan bootstrap 1000
pengulangan. Diperoleh nilai jarak matrik berdasarkan perbedaan urutan
nukleotida tiap spesies. Nilai tersebut digunakan untuk mengkonstruksi
pohon filogenetik.
Isolat RW Sm A dan isolat RW Sl 5 memiliki hubungan kekerabatan
terdekat dengan Bacillus cereus. Isolat RW Sm C berkerabat dekat dengan
Bacillus aryabhattai (Gambar 22).
Gambar 22. Pohon filogenetik Bacillus cereus RW Sm A, Bacillus aryabhattai
RW Sm C, Bacillus sp RW Sl 5 dengan beberapa spesies Bacillus
dengan kelompok luar dari Pantoea agglomerans menggunakan
ClustalW2 (Skala yang terlihat merupakan nilai subtitusi yang
diharapkan 1 dari 100 sekuen).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Ketiga isolat yang diisolasi dari abu vulkanik gunung Merapi, seluruhnya
merupakan mikroorganisme dari genus Bacillus. Mikroorganisme dari genus
Bacillus memiliki kemampuan membentuk endospora, sehingga
memungkinkan genus ini dapat hidup pada kondisi lingkungan yang kurang
mendukung dan memilki rentang temperatur yang lebar. Bacillus merupakan
salah satu kelompok bakteri yang diketahui memiliki aktivitas fitase, Bacillus
Subtilis AP-17 memiliki aktivitas fitase 0.0296 U/mL (Kusumadjaja, 2009),
Bacillus Subtilis TS 16-111 0.05 U/mL (Park, 2001), Bacillus cereus
ASUIA260 dengan aktivitas fitase 1,160 U/mL, Bacillus stewartii ASUIA271
dengan aktivitas fitase 1,570 U/mL, Bacillus sakazaki ASUIA279 dengan
aktivitas fitase 4,480 U/mL (Sobirin et al., 2009).
E. Karakteristik Ekstrak Kasar Fitase
E.1. Suhu Optimum
Suhu optimum merupakan suhu yang menyebabkan terjadinya reaksi
kimia dengan kecepatan paling besar. Suhu tersebut memungkinkan
terjadinya reaksi yang efektif oleh enzim tertentu. Setiap enzim memiliki
aktivitas maksimum pada suhu tertentu. Aktivitas akan meningkat pada suhu
tertentu dan menurun ketika suhu semakin tinggi karena terjadi denaturasi
protein (Pelczar dan Chan, 1986: 318-320).
Isolat RW Sm A, RW Sm C, dan RW Sl 5 mempunyai aktivitas fitase
pada suhu optimum berturut turut; 40oC, 60 oC, 50 oC (Gambar 23). Pada
reaksi yang terjadi antara enzim-substrat, kenaikan suhu pada tingkat
tertentu akan menaikkan energi kinetik sehingga meningkatkan gerakan
molekul-molekul yang bereaksi dan tumbukan antara enzim-substrat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
berlangsung optimum. Sementara peningkatan suhu pada batas tertentu
menyebabkan aktivitas enzim menurun, karena protein terdenaturasi.
Enzim fitase aktif antara suhu 35 oC - 63 oC (Wodzinski et al., 1996).
Beberapa bakteri mempunyai aktivitas fitase dengan suhu optimum yang
berbeda, antara lain; Enterobacter spp pada suhu 50oC (Sun Yoon, 1998),
Klebsiella oxycota MO-3 pada suhu 55 oC (Jareonkitmongol, 1998), Bacillus
substilis TS16-III pada suhu 70 oC (Park, 2001), Bacillus substilis AP-17 pada
suhu 75 oC (Kusumadjaja, 2009) kapang Candida sp memiliki pada suhu 30
oC (Makhode, 2006).
Gambar 23. Kurva aktivitas fitase pada berbagai suhu inkubasi (pH substrat 5)
E.2. pH Optimum
pH optimum enzim terjadi ketika aktivitas enzim mencapai nilai tertinggi.
Sebuah reaksi yang dikatalis oleh enzim akan terjadi pada suatu kondisi
optimum tertentu. Pada kondisi tidak optimum aktivitas enzim akan
berkurang. Kondisi pH yang terlalu ekstrim mampu merusak enzim (Pelczar
dan Chan, 1986:326). Beberapa jenis kapang Candida sp memiliki pH
optimum antara 5,5 – 6 (Makhode, 2006), Enterobacter sp mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
aktivitas optimum pada pH 7 – 7,5 (Jun Yoon, 1998), Klebsiella oxycota pada
pH 5 – 6 (Jareonkitmongol, 1998), Bifidobacterium sp pada pH 7 (Haros et
al., 2005), Bacillus subtilis TS16-III pada pH 7 (Park, 2001) dan Bacillus
subtilis AP-17 pada pH 6 (Kusumadjaja, 2009).
Isolat RW Sm A, dan RW Sl 5 mempunyai aktivitas fitase pada pH
optimum 5, sementara isolate RW Sm C mempunyai aktivitas fitase pada pH
optimum 6 (Gambar 24a). Isolat RW Sm C mempunyai rentang pH yang lebih
luas dibanding isolat RW Sm A dan RW Sl 5. Pada pH optimum, enzim
mempunyai tingkat ionisasi paling sesuai untuk berikatan dengan substrat.
Ikatan tersebut dalam keadaan paling stabil sehingga meningkatkan
efektifitas enzim-substrat. Adanya perubahan pH akan menyebabkan
perubahan konformasi ikatan enzim-substrat sehingga efektifitas enzim-
substrat menurun dan aktivitas enzim berkurang (Nelson et al., 2000).
Gambar 24a. Kurva Aktivitas Fitase pada berbagai pH (pada suhu optimum )
Waktu inkubasi enzim-substrat yang tepat dapat mempengaruhi
aktivitas enzim (Nelson et al., 2000). Isolat RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl 5
mempunyai waktu inkubasi enzim-substrat optimum pada pH dan suhu
optimal selama 1 jam (60 menit) (Gambar 24b). Enzim fitase dari ketiga isolat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
cukup stabil, setelah 6 jam inkubasi enzim-substrat, aktivitas fitase dari ketiga
isolate masih tersisa 25%. Bacillus sp AP-17 mempunyai 32% aktivitas pada
pemanasan selama 6 jam pada suhu optimum 75 0C (Kusumadjaja, 2009).
Gambar 24b. Kurva aktivitas relatif fitase pada berbagai waktu inkubasi
(pH dan suhu optimum)
E.3. Efektor Logam
Enzim membutuhkan kofaktor untuk aktivitasnya, yaitu sebuah
komponen non protein, kofaktor terdiri dari 3 macam jenis yaitu berupa ion
organik, gugus prostetik dan koenzim (Sasmitamihardja dkk., 1996: 134). Ion
logam yang ditambahkan dalam reaksi enzim-substrat dapat berfungsi
sebagai aktivator atau inhibitor. Aktivator merupakan substansi yang mampu
meningkatkan aktivitas enzim, dan inhibitor adalah substansi yang
menghambat aktivitas suatu enzim (Pelczar dan Chan, 1986: 329). Hasil dari
penelitian, berperan sebagai aktivator aktivitas fitase adalah Mg2+ dan Ca 2+,
isolate RW Sm A mempunyai aktivitas fitase yang tinggi dengan penambahan
ion Mg2+ (10-4 M). Isolat RW Sm C dan RW Sl 5 meningkat aktifitas fitasenya
dengan penambahan ion logam Ca2+. Sementara sebagai inhibitor yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
menghambat aktivitas enzim pada ketiga isolat adalah Zn2+ dan Fe3+
(Gambar 25 a,b,c).
Aktivitas fitase dihambat oleh Zn2+, Ba2+, Cu2+ dan Al3+ (Sun Yoon,
1998), NaF dan Fe2+ jg merupakan ion logam yang berperan sebagai inhibitor
pada enzim fitase (Jareonkitmongkol, 1998). Aktivitas ketiga isolat dihambat
dengan penambahan ion mineral Zn2+ dan Fe3+. Mineral Fe merupakan
inhibitor enzim fitase. Ikatan asam fitat dengan Fe menyebabkan
pengendapan garam fitat sehingga ikatan fosfat pada fosfat cincin inositol
sulit dihidrolisis oleh fitase.
Aktivitas fitase akan meningkat dengan penambahan EDTA atau N-
ethymalemide (Jareonkitmongkol, 1998), serta penambahan Ca2+ dan Mg2+
(Maenz, 2005). Adanya ikatan Ca2+ dengan fosfat pada fitat menyebabkan
salah satu rantai fosfat yang terikat lepas sehingga menghasilkan Inositol
trifosfat (Oh et al., 2006). Ikatan kalsium pada fitase meningkatkan stabilitas
struktur dan meningkatkan aktivitas enzim fitase (Ha et al., 2000). Bacillus
cereus RW Sm A mengalami peningkatan aktivitas fitase dengan
penambahan mineral Mg2+. Bacillus subtilis N-77 (natto) mempunyai aktivitas
relatif sebesar 55,8% pada penambahan 5 mM MgCl2 (Shimizu, 1992).
Bacillus subtilis TS16-111 mengalami peningkatan aktivitas pada
penambahan 1 mM dan 5 mM MgCl2 (Park, 2001). Enzim fitase menjadi
relatif stabil dengan kehadiran bivalen kation seperti, kalsium dan
magnesium. Fitase lebih stabil pada suhu tinggi dengan keberadaan bivalen
kation (Ha et al., 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Gambar 25. Kurva Aktivitas Relatif Fitase Isolat RW Sm A, RW Sm C, RW Sl 5
dengan penambahan ion mineral 10-4 M
F. Fitase pada Bacillus
Dalam penelitian ini aktivitas fitase tertinggi terdapat pada Bacillus
cereus strain RW Sm A dengan suhu optimum 40 0C, pH optimum 5. Diikuti oleh
Bacillus cereus strain RW Sl 5, pada suhu optimum 50 0C, pH optimum 5 dan
Bacillus aryabhatttai strain RW Sm C pada suhu optimum 60 0C, pH optimum 6.
Aktivitas fitase pada ketiga Bacillus tersebut meningkat dengan penambahan Ca
(kalsium) pada substrat.
Fitase Bacillus (table 8) diketahui mempunyai aktivitas pada pH
dibawah netral, stabil pada suhu yang tinggi dan mempunyai substrat spesifik
komplek kalsium-fitat (Fu et al., 2008). Fitase yang stabil pada suhu tinggi
merupakan kriteria penting dan sangat potensial digunakan sebagai supplement
pakan. Dalam proses industri, enzim akan mendapat perlakuan panas dan dalam
saluran pencernakan terdapat suasana asam. Fitase dari bacillus merupakan
kandidat yang sesuai untuk aplikasi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Tabel 8. Karakteristik Enzim fitase pada Bacillus
Spesies pH optimum
Suhu optimum(0C)
Berat Molekul (kDa)
Aktivator Pustaka
Bacillus cereus strain RW Sm A 5,0 50 - Mg2+, Ca2+ Penelitian ini
Bacillus aryabhattai strain RW Sm C 6,0 60 - Ca2+ Penelitian ini
Bacillus cereus strain RW Sl 5 5,0 50 - Ca2+ Penelitian ini
aBacillus substilis 7,0-7,5 60 36,5 Power dan Jagannatan, 1982
bBacillus substillis 6,0-6,5 60 36; 38 Ca2+ Shimizu, 1992
cBacillus substilis VTT F-68013 7,0 55 - Ca2+ Kerovuo et al., 1998
dBacillus sp KHU-10 6,5-8,5 40 44 Ca2+ Choi et al., 2001
eBacillus laevolacticus 7,0-8,0 70 - Gulati et al., 2007
fBacillus megaterium 6,0 70 - Dechavez et al., 2011
gBacillus substilis TS16-IIIc 7,0 70 - Mg2+, Ca2+ Park, 2001
hBacillus substilis AP-17d 6,0 75 - Ca2+ Kusumadjaja, 2009
iBacillus subtilis CF92 7,0 60 46 EDTA Hong et al., 2010
Karakteristik fitase pada Bacillus adalah β-propeller Phytase (Gambar
26). Kelompok β-propeller Phytase (BPP) mempunyai 2 situs aktif yaitu situs
afinitas (affinity site) dan situs pemecahan (cleavage site), cleavage site
berperan dalam menghidrolisis substrat dan affinity site berperan dalam
meningkatkan afinitas terhadap substrat yang mengandung grup fosfat. Aktivitas
katalitik BPP (β-propeller Phytase) tergantung pada keberadaan ion metal
terutama kalsium. Enzim yang aktif berikatan dengan 6 ion kalsium, sedangkan
enzim yang tidak aktif hanya mempunyai 3 kalsium yang hilang dari situs aktif
enzim, sehingga hanya berikatan dengan 3 kalsium (Shin et al., 2001). Pada
BPP (β-propeller Phytase) ion Ca2+ bukan hanya sebagai activator enzim
melainkan juga merupakan komponen substrat (komplek garam fitat). Aktivasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
enzim merupakan hasil interaksi antara enzim, ion Ca2+, dan substrat. Pada
enzim yang aktif minimal membutuhkan 5 ikatan Ca2+ (Kim et al., 2010)
Gambar 26. Mekanisme katalitik β-propeller Phytase pada Fitat yang mengikat Ca2+
Bakteri dari genus bacillus penghasil fitase berhasil diisolasi dari abu
vulkanik gunung Merapi, dalam studi sebelumnya beberapa Bacillus sp yang
mampu melarutkan fosfat telah diisolasi untuk meningkatkan ketersediaan fosfat
telah diisolasi dari lapisan rhizosfer tanah vulkanik (Jorsquera et al., 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Sebanyak 16 isolat bakteri telah berhasil diisolasi dari abu vulkanik
gunung Merapi. Terdapat 3 isolat dengan aktifitas fitase terbesar, yaitu isolate
RW Sm A dengan aktifitas fitase 0,1071 U/mL, RW Sm C dengan aktifitas
fitase 0,1020 U/mL dan RW Sl 5, memiliki aktifitas sebesar 0,0874 U/mL.
Berdasarkan uji morfologi dan analisis gen 16s rRNA ketiga isolat merupakan
kelompok Bacillus, masing-masing adalah Bacilllus cereus RW Sm A,
Bacillus aryabhattai RW Sm C dan Bacillus cereus RW Sl 5.
Ekstrak kasar fitase dari ketiga isolate RW Sm A, RW Sm C dan RW Sl
5 masing-masing mempunyai suhu optimum berturut turut; 40oC, 60oC, 50oC.
pH optimum ketiga isolate berkisar antara 5-6. Aktifitas fitase isolate
dihambat oleh penambahan ion Fe3+, dan Zn2+, tetapi meningkat dengan
penambahan ion Mg2+ dan Ca2+.
B. Saran
Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk mengisolasi dan
mengkarakterisasi enzim fitase dari bakteri galur lokal yang berasal dari
lingkungan ekstrim (abu vulkanik Gunung Merapi). Penelitian ini selanjutnya
masih menyediakan banyak aspek yang perlu dikaji untuk menemukan
sumber-sumber bakteri baru penghasil Fitase dengan karakteristik yang
beragam. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui enzim yang telah
dihasilkan meliputi kajian tentang struktur, fungsi, aktifitas dan termostabilitas
untuk aplikasi dalam bioteknologi. Lebih lanjut, diperlukan studi dengan
pendekatan molekuler untuk DNA rekombinan, mutagenesis acak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
mutagenesis terarah ataupun rekayasa protein, sehingga produksi enzim
lebih efektif, stabil, dan optimal.