12
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021 97 ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PENYIDIKAN DELIK PEMBUNUHAN DI KOTA PALU Muh. Dian Irfansyah Muhram Email: [email protected] Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Abstrak Permasalahan yang diteliti adalah prosedur pelaksanaan autopsi dalam upaya pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu dan kendala dalam pelaksanaan autopsi sebagai upaya pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu. Metode Penelitian menggunakan penelitian hukum empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian dipresentasikan dalam bentuk pola berpikir induktif yaitu dari hal yang bersifat khusus menuju ke hal yang bersifat umum. Hasil penelitian menemukan bahwa prosedur pelaksanaan autopsi dalam upaya pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu meliputi tahap sebelum autopsi, pelaksanaan autopsi dan setelah autopsi yang pada prinsipnya autopsi forensik baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis dari penyidik dan setelah keluarga diberitahu serta telah memahami. Setelah dua hari dalam hal keluarga tidak menyetujui autopsi atau keluarga tidak ditemukan. Izin keluarga untuk melakukan autopsi forensik tidaklah begitu diperlukan. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan autopsi sebagai upaya pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu yaitu pemikiran masyarakat yang sempit, kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum, kurangnya kesadaran dan pengetahuan keluarga korban, biaya dalam pelaksanaan bedah mayat, keterbatasan fasilitas dalam pelaksanaan bedah mayat, kurangnya sumber daya manusia dalam bidang forensik Kata Kunci: Autopsi; Pembuktian; Pembunuhan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil (materiile waarheid) terhadap suatu perkara yang akan di periksa. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada

ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

97

ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI

UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PENYIDIKAN DELIK

PEMBUNUHAN DI KOTA PALU

Muh. Dian Irfansyah Muhram

Email: [email protected]

Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah

Abstrak

Permasalahan yang diteliti adalah prosedur pelaksanaan autopsi dalam upaya pembuktian

delik pembunuhan di Kota Palu dan kendala dalam pelaksanaan autopsi sebagai upaya

pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu. Metode Penelitian menggunakan penelitian

hukum empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian

dipresentasikan dalam bentuk pola berpikir induktif yaitu dari hal yang bersifat khusus

menuju ke hal yang bersifat umum. Hasil penelitian menemukan bahwa prosedur

pelaksanaan autopsi dalam upaya pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu meliputi

tahap sebelum autopsi, pelaksanaan autopsi dan setelah autopsi yang pada prinsipnya

autopsi forensik baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis dari penyidik dan

setelah keluarga diberitahu serta telah memahami. Setelah dua hari dalam hal keluarga

tidak menyetujui autopsi atau keluarga tidak ditemukan. Izin keluarga untuk melakukan

autopsi forensik tidaklah begitu diperlukan. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan autopsi

sebagai upaya pembuktian delik pembunuhan di Kota Palu yaitu pemikiran masyarakat yang

sempit, kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum, kurangnya kesadaran dan

pengetahuan keluarga korban, biaya dalam pelaksanaan bedah mayat, keterbatasan fasilitas

dalam pelaksanaan bedah mayat, kurangnya sumber daya manusia dalam bidang forensik

Kata Kunci: Autopsi; Pembuktian; Pembunuhan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemeriksaan suatu perkara pidana di

dalam suatu proses peradilan pada

hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari

kebenaran materil (materiile waarheid)

terhadap suatu perkara yang akan di periksa.

Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai

usaha yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang

dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara

baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan

seperti penyidikan dan penuntutan maupun

pada tahap persidangan perkara tersebut.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh

para penegak hukum untuk mencari

kebenaran materiil suatu perkara pidana

dimaksudkan untuk menghindari adanya

kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap

diri seseorang, hal ini sebagaimana

ditentukan dalam Undang-Undang No.4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada

Page 2: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

98

seorang juapun dapat dijatuhi pidana,

kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut Undang-

Undangmendapat keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggung

jawab, telah bersalah atas perbuatan yang

dituduhkan atas dirinya”.

Dengan adanya ketentuan perundang-

undangan diatas, maka dalam proses

penyelesaian perkara pidana penegak hukum

wajib mengusahakan pengumpulan bukti

maupun fakta mengenai perkara pidana yang

ditangani dengan selengkap mungkin.

Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah

sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah

ditentukan menurut ketentuan perundang-

undangan adalah sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya

disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat 1 yang

menyebutkan Alat bukti yang sah adalah :

a) Keterangan saksi;

b) Keterangan ahli;

c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan terdakwa.

Dalam usaha memperoleh bukti-bukti

yang diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali

para penegak hukum dihadapkan pada suatu

masalah atau hal-hal tertentu yang tidak

dapat diselesaikan sendiri dikarenakan

masalah tersebut berada di luar kemampuan

atau keahliannya.Dalam hal demikian maka

bantuan seorang ahli sangat diperlukan

dalam rangka mencari kebenaran materil

selengkap-lengkapnya bagi para penegak

hukum tersebut. Dalam terminologi ilmu

kedokteran autopsi atau bedah mayat berarti

suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh

mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh

dan susunanya pada bagian dalam setelah

dilakukan pembedahan dengan tujuan

menentukan sebab kematian seseorang, baik

untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun

menjawab misteri suatu tindak kriminal.1

Jadi kata autopsi dalam penapsiran dapat

diartikan sebagai pemeriksaan terhadap

tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan

terhadap bagian luar maupun dalam, dengan

tujuan menemukan proses penyakit dan atau

adanya cedera, melakukan interpretasi atas

penemuan-penemuan tersebut, menerangkan

penyebab kematian serta mencari hubungan

sebab akibat antara kelainan-kelainan yang

ditemukan dengan penyebab kematian.

Kata Autopsi dikenal juga dengan

kalimat Visum Et Repertum yang merupakan

laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat

dokter berdasarkan sumpah/janji yang

diucapkan pada waktu menerima jabatan

dokter, memuat berita tentang segala hal

yang dilihat dan ditemukan pada barang

bukti berupa tubuh manusia/benda yang

berasal dari tubuh manusia yang diperiksa

1 M.Soekry Erfan Kusuma, Ilmu kedokteran Forensik

dan Medikolegal, Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga, Surabaya : 2012, hlm 200

Page 3: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

99

sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya

atas permintaan penyidik untuk kepentingan

peradilan. Visum Et Repertum merupakan

pengganti barang bukti, oleh karena barang

bukti tersebut berhubungan dengan tubuh

manusia (luka, mayat atau bagian tubuh).

KUHAP tidak mencantum kata visum et

repertum. Namun visum et repertum adalah

alat bukti yang sah. Bantuan dokter pada

penyidik : Pemeriksaan Tempat Kejadian

Perkara (TKP), pemeriksaan korban hidup,

pemeriksaan korban mati. Penggalian mayat,

menentukan umur seorang korban/terdakwa,

pemeriksaan jiwa seorang terdakwa,

pemeriksaan barang bukti lain (trace

evidence). Yang berhak meminta visum et

repertum adalah Penyidik, Hakim Pidana,

Perdata Maupun Agama.2

Forensik (berasal dari bahasa Yunani

’Forensis’ yang berarti debat atau

perdebatan) adalah bidang ilmu pengetahuan

yang digunakan untuk membantu proses

penegakan keadilan melalui proses

penerapan ilmu (sains). Dalam kelompok

ilmu-ilmu forensik ini dikenal antara lain

ilmu fisika forensik, ilmu kimia forensik,

ilmu psikologi forensik, ilmu kedokteran

forensik, ilmu toksikologi forensik,

komputer forensik, ilmu balistik forensik,

ilmu metalurgi forensik dan sebagainya. Dari

pengertian-pengertian forensik maupun

2Abdul Muin’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran

Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta Barat : 1997, hlm

2

kriminalistik terdapat beberapa unsur yang

sama yaitu :3

1. Ada satu metode, peralatan, proses dan

pekerjaan.

2. Dengan mendayagunakan ilmu

pengetahuan dengan teknologi terapan.

3. Dilakukannya terhadap suatu benda yang

berhubungan dengan suatu tindakan

pidana.

4. Bertujuan untuk membuat jelas suatu

perkara sehingga hasilnya dapat

digunakan sebagai bukti di pengadilan.

Menurut R. Susilo Kriminalistik

adalah ilmu pengetahuan untuk menetukan

terjadinya kejahatan dan menyidik

pembuatnya dengan mempergunakan cara

ilmu pengetahuan alam, dengan

mengesampingkan cara-cara lainnya yang

dipergunakan oleh ilmu kedokteran

kehakiman (sekarang ilmu kedokteran

forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang

toksikologiforensik) dan ilmu penyakit jiwa

kehakiman (ilmu psikologi forensik).4

Mengenai perlunya bantuan seorang ahli

dalam memberikan keterangan yang terkait

dengan kemampuan dan keahliannya untuk

membantu pengungkapan dan pemeriksaan

suatu perkara pidana, Karim Nasution

menyatakan :5 “Meskipun pengetahuan,

pendidikan dan pengalaman dari seseorang

3Ibid

4R. Soesilo, Kriminalistik (ilmu penyidikan

Kejahatan), Politeia, Bogor : 2001, hal. 3 5A. Karim Nasution, Hukum Pembuktian, Pusat Diktat

Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta : 1997, hlm 17

Page 4: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

100

mungkin jauh lebih luas daripada orang

lain, namun pengetahuan dan pengalaman

setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka

oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan

bahwa ada soal-soal yang tidak dapat

dipahami secukupnya oleh seorang penyidik

dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun

seorang hakim di muka persidangan

sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh

orang-orang yang memiliki sesuatu

pengetahuan tertentu. Agar tugas-tugas

menurut hukum acara pidana dapat

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka

oleh Undang-Undang diberi kemungkinan

agar para penyidik dan para hakim dalam

keadaan yang khusus dapat memperoleh

bantuan dari orang-orang yang

berpengetahuan dan berpengalaman khusus

tersebut.”

Menurut ketentuan hukum acara

pidana di Indonesia, mengenai permintaan

bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan

didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan

tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan

pada Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan :

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia

dapat minta pendapat orang ahli atau orang

yang memiliki keahlian khusus”.

Bantuan seorang ahli yang diperlukan

dalam suatu proses pemeriksaan perkara

pidana, baik pada tahap pemeriksaan

pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan

lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai

peran dalam membantu aparat yang

berwenang untuk membuat terang suatu

perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti

yang memerlukan keahlian khusus,

memberikan petunjuk yang lebih kuat

mengenai pelaku tindak pidana, serta pada

akhirnya dapat membantu hakim dalam

menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap

perkara yang diperiksanya. Terhadap tahap

pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan

proses penyidikan atas suatu peristiwa yang

diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan

ini mempunyai peran yang cukup penting

bahkan menentukan untuk tahap

pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan

proses peradilan pidana. Tindakan

penyidikan yang dilakukan oleh pihak

Kepolisian atau pihak lain yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang untuk

melakukan tindakan penyidikan, bertujuan

untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti tersebut dapat membuat

terang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil

yang didapat dari tindakan penyidikan suatu

kasus pidana, hal ini selanjutnya akan

diproses pada tahap penuntutan dan

persidangan di pengadilan.

Terkait dengan bantuan keterangan

ahli yang diperlukan dalam proses

pemeriksaan suatu perkara pidana, maka

bantuan ini pada tahap penyidikan juga

mempunyai peran yang cukup penting untuk

membantu penyidik mencari dan

mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya

Page 5: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

101

menemukan kebenaran materiil suatu perkara

pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan

penyidik sangat bergantung terhadap

keterangan ahli untuk mengungkap lebih

jauh suatu peristiwa pidana yang sedang

ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana

seperti pembunuhan, penganiayaan dan

perkosaan merupakan contoh kasus dimana

penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli

seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli

lainnya, untuk memberikan keterangan

medis tentang kondisi korban yang

selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan

penyidik dalam mengungkap lebih lanjut

kasus tersebut. Suatu kasus yang dapat

menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku

aparat penyidik membutuhkan keterangan

ahli dalam tindakan penyidikan yang

dilakukannya yaitu pada pengungkapan

kasus pembunuhan. Kasus kejahatan

terhadap nyawa seseorang khususnya

kejahatan pembunuhan, membutuhkan

bantuan keterangan ahli dalam

penyidikannya. Keterangan ahli yang

dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter

yang dapat membantu penyidik dalam

memberikan bukti berupa keterangan medis

yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan

mengenai keadaan korban, terutama terkait

dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah

dilakukannya suatu pembunuhan. Dalam

kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian

mendapat laporan dan pengaduan terjadinya

tindak pidana pembunuhan yang telah

berlangsung lama. Dalam kasus yang

demikian barang bukti yang terkait dengan

tindak pidana pembunuhan tentunya dapat

mengalami perubahan dan dapat kehilangan

sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-

barang bukti yang mengalami perubahan,

keadaan korban juga dapat mengalami

perubahan seperti telah hilangnya tanda-

tanda pada fisik mayat korban. Mengungkap

kasus pembunuhan yang demikian, tentunya

pihak Kepolisian selaku penyidik akan

melakukan upaya-upaya lain yang lebih

cermat agar dapat ditemukan kebenaran

materiil yang selengkap mungkin dalam

perkara tersebut.

Pada kantor kepolisian daerah

sulawesi tengah mengalami hal serupa, yakni

persoalan pembuktian terhadap perkara

tindak pidana pembunuhan. Hal ini biasanya

terjadi pada kasus-kasus pembunuhan yang

tidak memiliki alat bukti yang cukup

sehingga mengharuskan dilakukannya

autopsi sebagai upaya pembuktiannya.

Sebagai contoh pada kasus Nomor :

LP/II/2018/SPKT yang mana kurangnya alat

bukti sehingga penyidik ingin melakukan

proses autopsi guna keperluan penyidikan

serta persidangan. Akan tetapi terhadap

pelaksanaannya terkadang tidak memiliki

titik temu yang mana pihak keluarga

seringkali menghalangi proses autopsi,

seperti tidak memberikannya izin untuk

dilakukannya proses autopsi terhadap korban

pembunuhan tersebut. Mengungkap suatu

Page 6: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

102

kasus pembunuhan pada tahap penyidikan,

akan dilakukan serangkaian tindakan oleh

penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti

yang terkait dengan tindak pidana yang

terjadi, berupaya membuat terang tindak

pidana tersebut, dan selanjutnya dapat

menemukan pelaku tindak pidana

pembunuhan. Terkait dengan peranan dokter

dalam membantu penyidik memberikan

keterangan medis mengenai keadaan korban

pembunuhan, hal ini merupakan upaya untuk

mendapatkan bukti atau tanda pada diri

korban yang dapat menunjukkan bahwa telah

benar terjadi suatu tindak pidana

pembunuhan.

Pembuktian terhadap tindak pidana

khususnya dalam perkara tindak pidana

pembunuhan masih saja mengalami kendala-

kendala terhadap proses pelaksanaannya. Hal

tersebut yang menjadi acuan bagi penulis

untuk meneliti terkait Analisis Hukum

Terhadap Pelaksanaan Autopsi Sebagai

Upaya Pembuktian Dalam Penyidikan

Delik Pembunuhan di Kota Palu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang,

permasalahan yang dapat diangkat untuk

selanjutnya diteliti dan dibahas dalam

penulisan Tesis ini yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur pelaksanaan autopsi

dalam upaya pembuktian delik

pembunuhan di Kota Palu ?

2. Apa saja kendala dalam pelaksanaan

autopsi sebagai upaya pembuktian delik

pembunuhan di Kota Palu ?

PEMBAHASAN

A. Prosedur Pelaksanaan Autopsi Dalam

Upaya Pembuktian Delik Pembunuhan

Di Kota Palu

Dasar hukum pelaksanaan autopsi di

Indonesia adalah pasal 133 KUHAP yaitu

sebagai berikut:

1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan menangani seorang korban baik

luka, keracunan ataupun mati yang diduga

karena peristiwa yang merupakan tindak

pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter dan

atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara

tertulis yang dalam surat itu disebutkan

dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan

bedah mayat.

3. Mayat yang dikirim kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter pada

rumah sakit harus diperlakukan baik

dengan penuh penghormatan terhadap

mayat tersebut dan diberi label yg

memuat identitas mayat diberi cap jabatan

yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau

bagian lain badan mayat.

Tanggal 13 September 1955 telah

dikeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 1955 dari

Page 7: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

103

Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak,

Kementerian Kesehatan RI, perihal soal

bedah mayat yang telah memustuskan:

1. Bedah mayat itu boleh/mubah hukumnya

untuk kepentingan ilmu pengetahuan,

pendidikan dokter dan penegakan

keadilan diantara umat manusia

2. Membatasi kemubahan itu sekedar darurat

saja menurut kadar yang tidak boleh tidak

harus dilakukan untuk mencapai tujuan-

tujuan tersebut.

Untuk kepentingan penegakan hukum

mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter pada rumah sakit

harus diperlakukan secara baik dengan penuh

penghormatan terhadap mayat tersebut dan

diberi label yang memuat identitas mayat

dengan diberi cap jabatan yang diletakan

pada ibu jari kaki atau bagian lain pada

mayat. Untuk mengetahui status hukum

terhadap tindakan autopsi mayat yang

digunakan sebagai pembuktian hukum di

pengadilan dengan menggunakan teori

Qawa’id al-Fiqhiyah dapat diterapkan

kaidah-kaidah berikut ;

a. Kaidah Pertama

الضرر العام يتحمل الضرر لاجل

“kemudaratan yang khusus boleh

dilaksanakan demi menolak kemudaratan

yang bersifat umum” Berdasarkan kaidah di

atas, kemadharatan yang bersifat khusus

boleh dilaksanakan demi menolak

kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah

tindakan pembunuhan misalnya, adalah

tergolong tindak pidana yang mengancam

kepentingan publik atau mendatangkan

mudaharatan. Untuk menyelamatkan

masyarakat dari rangkaian tindak

pembunuhan maka terhadap pelakunya harus

diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum

yang berlaku. Bukti-bukti atas tindakan

pembunuhan yang dilakukanya harus

diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan

sampai bebas dalam proses pengadilan,

sungguhpun untuk pembuktian itu harus

dengan melakukan autopsi atau membedah

mayat korban. Didalam hukum Islam, suatu

tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk

menjamin keamanan dan keselamatan diri

orang yang hidup harus lebih diutamakan

daripada orang yang sudah mati.

b. Kaidah Kedua

احرام مع الضرورات ولاكراهة مع الحاجة

“Tiada keharaman dalam kondisi darurat,

dan tidak ada makruh dalam kondisi hajat”

Kaidah kedua ini menyatakan bahwa

tiadanya keharaman dalam kondisi darurat,

seperti halnya tidak adanya kemakruhan

dalam kondisi hajat. Maka jika autopsi di

atas dipahami sebagai hal yang bersifat

darurat, artinya satu-satunya cara

membuktikan, maka autopsi itu sudah

menempati level darurat, dan karena itu

status hukumnya dibolehkan. Selanjutnya,

proses pembuktian untuk mengetahui dan

dapat membantu dalam proses penyidikan,

dalam perkara pidana yang menyangkut

tubuh, kesehatan dan nyawa manusia

Page 8: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

104

diperlukan pengetahuan khusus, yaitu ilmu

kedokteran kehakiman. Kedokteran forensik

inilah yang akan membantu penyidik untuk

mengumpulkan alat bukti terkait kasus

tersebut.

B. Kendala Dalam Pelaksanaan Autopsi

Sebagai Upaya Pembuktian Delik

Pembunuhan Di Kota Palu

Seperti kasus yang telah penulis

uraikan sebelumnya dapat dikemukakan

bahwa pelaksanaan autopsi guna kepentingan

penyidikan di Indonesia tidaklah berjalan

dengan mulus sesuai harapan. Tujuan dari

permintaan autopsi ini untuk membuat terang

suatu kasus kematian, apakah ada kaitannya

dengan tindak pidana atau tidak. Berkaitan

dengan nyawa manusia merupakan hal yang

sangat dipandang serius dan harus

mengupayakan penegakan hukum sebaik

mungkin. Hukum mengkaji dan mengatur

sanksi yang berat kepada kejahatan terhadap

nyawa manusia sebagaimana diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Selanjutnya sebagai negara hukum,

tentunya hukum harus dilaksanakan dan

ditegakkan. Setiap orang mengharapkan

dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi

peristiwa konkrit. Sebagaimana hukumnya

itulah yang harus berlaku, pada dasarnya

tidak dibolehkan menyimpang. Namun,

dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana

terhadap proses bedah mayat, sesuai dengan

institusi –institusi yang berwenang yaitu

Polri selaku penyidik dan dokter forensik

selaku ahli dalam kasus kematian tidak wajar

yang menyangkut tubuh, banyak mengalami

kendala – kendala dalam melaksanakan

bedah mayat guna untuk menemukan

kebenaran materil dan keadilan. Berikut ini

akan dibahas kendala – kendala dalam

penegakan hukum pidana terhadap proses

bedah mayat di Kota Palu, yaitu :

1. Pemikiran Masyarakat yang Sempit

Lapangan ilmu kedokteran

kehakiman masih banyak ditolak oleh

berbagai kalangan, masih banyak yang

beranggapan bahwa ilmu kedokteran

kehakiman identik dengan bedah mayat,

sesuai dengan tugas pokok yang

dipekerjakan bagian ini. Reaksi yang

timbul dari masyarakat sebagian besar

masih menganggap bahwa bedah mayat

merupakan hal yang tidak ada gunanya.

Masyarakat belum memahami peran ilmu

kedokteran kehakiman dalam memberikan

pelayanan untuk tegaknya hukum dalam

masyarakat. Orang menganggap

dilakukanya bedah mayat ini hanyalah

untuk kepentingan dokter atau untuk

kepentingan pendidikan calon dokter,

bahkan ada yang menganggap bahwa

bagian dari tubuh korban dimanfaatkan

untuk dijadikan obat.

2. Kurangnya pengetahuan aparat

penegak hokum

Permintaan bantuan bedah mayat

kepada dokter sampai sekarang belum penuh

dihayati oleh kepolisian, masih banyak

Page 9: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

105

prosedur yang tidak sesuai dengan yang

ditentukan, dengan kata lain jalinan kerja

sama antara dokter dengan pihak kepolisian

masih belum mencapai taraf yang baik.

Pengetahuan hakim dan jaksa dalam masalah

bantuan dokter untuk penegakan hukum ini

masih sangat kurang, misalnya sering dokter

diperlakukan di depan sidang pengadilan

bukan sebagai saksi ahli yang sedang

dimintai bantuan, malah diperlakukan

sebagai terdakwa.

3. Kurangnya kesadaran dan

pengetahuan keluarga korban

Menurut Ipda I Gede Ariyadi,

Amd.Kep, SKM permasalahan yang paling

sering muncul dalam permintaan autopsi ini

adalah kurangnya kesadaran keluarga korban

dalam mendukung tugas penyidik dalam

mencari kebenaran materiel serta

mengungkap siapa tersangkanya. Masyarakat

tersebut sering juga mengkaitkan dengan

alasan adat istiadat, budaya dan agama

melarang tindakan bedah mayat atau

autopsi.6 Bahwa pelaksanaan bedah mayat

bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Seperti yang termuat dan diputuskan oleh

Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’

Kementerian Kesehatan RI pada tahun 1955.

Adapun fatwa yang dimaksud adalah Fatwa

Nomor 4 / 1955 yang bunyinya antara lain :

a. Bedah mayat itu mubah / boleh hukumnya

untuk kepentingan ilmu pengetahuan,

6 Wawancara Tanggal 18 Juni 2019

pendidikan dokter, dan penegakan

keadilan di antara umat manusia.

b. Membatasi kemubahan ini sekadar darurat

saja menurut kadar yang tidak boleh tidak

harus di lakukan untuk mencapai tujuan

tersebut.

Maka penolakan bedah mayat oleh

keluarga dengan alasan keagamaan sudah

tidak mendasar lagi. Maka sebaiknya

dilaksanakan bedah mayat untuk kepentingan

peradilan. Selain itu, menurut Ipda I Gede

Ariyadi, Amd. Kep, SKM juga kasus

kematian tidak wajar yang dilakukan oleh

keluarga sendiri, kadang kala sangat sulit

untuk dilakukan bedah mayat forensik,

dikarenakan keluarga seakan-akan tidak

ingin tubuh korban yang telah meninggal

tersebut dirusak-rusakkan, padahal keluarga

tidak ingin kasus tersebut ditindak lanjuti

karena takut kebenaran akan terbongkar.7

Hasil wawancara penulis dengan

Bribda Gede Roby, Amd. Kep mengatakan

bahwa ada contoh kasus autopsi jenazah atas

nama Suriani, usia 36 tahun. Awalnya

keluarga korban menolak untuk dilakukan

autopsi karena alasan agama, budaya dan

adat istiadat. Bahkan kakak kandung korban

yang bernama Praka Syahputra yang seorang

TNI sampai mengancam pihak kepolisian

kalau sampai mengautopsi jenazah adiknya,

maka akan terjadi kekacauan antara Polisi

dan TNI. Setelah 3 bulan kemudian keluarga

7 Wawancara tanggal 18 Juni 2019

Page 10: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

106

termasuk kakak kandung meminta kembali

untuk melakukan autopsi sehingga pihak

forensik harus melakukan eksumasi. Autopsi

pada jenazah yang sudah berbulan-bulan

dikubur tersebut tentu akan sangat

menghambat pihak forensik untuk

mengungkap penyebab kematian.8

Kendala dalam bedah mayat untuk

penegakan hukum pidana di Kota Palu

berasal dari Sumber Daya Manusia (SDM) di

bagian forensik. Berdasar hasil wawancara

diketahui bahwa Kota Palu belum

mempunyai dokter forensik kepolisian, yang

ada hanya dokter forensik sipil, yaitu dr.

Anisa. SP.F, sehingga legalitasnya dalam

memberikan hasil autopsi kurang diakui.

Selama ini kalau akan melakukan autopsi

pihak kepolisian menghadirkan dokter

forensik kepolisian Makassar yaitu Kompol.

dr. Eko D, FM. Kalau yang bersangkutan

dalam hal ini Kompol. dr. Eko D, FM

berhalangan hadir, barulah pihak kepolisian

meminta autopsi kepada dokter forensik sipil

dengan harga yang sangat mahal yaitu sekitar

8 jutaan hanya untuk pemeriksaannya saja

belum termasuk memberikan keterangan, dll.

Hal inilah juga yang menjadi salah satu

kendala dalam bedah mayat, untuk

kepentingan peradilan. Padahal kalau saja

Kepolisian Kota Palu memilki dokter

8 Wawancara tanggl 18 Juni 2019

forensik kepolisian pasti biaya untuk otpsi

bisa sedikit lebih ringan.9

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prosedur Pelaksanaan Autopsi Dalam

Upaya Pembuktian Delik Pembunuhan Di

Kota Palu yaitu tahap sebelum autopsi,

pelaksanaan autopsi dan sesudah autopsi,

yang pada prinsipnya autopsi forensik

baru boleh dilakukan jika ada surat

permintaan tertulis dari penyidik dan

setelah keluarga diberitahu serta telah

memahami. Setelah dua hari dalam hal

keluarga tidak menyetujui autopsi atau

keluarga tidak ditemukan. Izin keluarga

untuk melakukan autopsi forensik

tidaklah begitu diperlukan.

2. Kendala Dalam Pelaksanaan Autopsi

Sebagai Upaya Pembuktian Delik

Pembunuhan Di Kota Palu yaitu

pemikiran masyarakat yang sempit,

kurangnya pengetahuan aparat penegak

hukum, kurangnya kesadaran dan

pengetahuan keluarga korban, biaya

dalam pelaksanaan bedah mayat,

keterbatasan fasilitas dalam pelaksanaan

bedah mayat, kurangnya sumber daya

manusia dalam bidang forensic

B. Saran

9Andi Fitriani. (et.al.,) “Hambatan Dalam Penerapan

Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

di Pengadilan Negeri Palu” Legal Opinion, dalam

http://fakultas hukum Untad.ac.id/jurnal di akses pada

5 Desember 2019, pukul 19.30 Wib.

Page 11: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

107

1. Sebaiknya dibuat suatu peraturan yang

mengatur tentang konsekuensi yang jelas

terhadap keluarga yang menolak diadakan

bedah mayat untuk kepentingan peradilan.

Sebaiknya aparat penegak hukum khususnya

penyidik diberikan pengetahuan forensik

yang lebih terhadap kegunaan bedah mayat

untuk kepentingan peradilan, Penyidik dan

dokter harus memiliki koordinasi yang baik.

Pemerintah juga hendaknya menambah

angga ran dan memberikan fasilitas yang

baik untuk kepentingan forensik serta

masyarakat sebaiknya diberikan

penyuluhan–penyuluhan tentang pentingnya

diadakan bedah mayat, sebagaimana

Indonesia negara hukum yang juga memiliki

cita – cita bagi keadilan dan kesejaheraan

rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdul Muin’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta Barat :

1997.

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung : 2004.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan

& Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cetakan ke-5, PT Raja Grafindo, Jakarta : 2010.

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di Indonesia,

Raih Asa Sukses, Penebar Swadaya Grup, Depok : 2012.

A. Karim Nasution, Hukum Pembuktian, Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta

: 1997.

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, PT Rafika Aditama, Bandung

: 2011.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,

Bandung : 2003.

Page 12: ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN AUTOPSI SEBAGAI …

Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 1, Februari 2021

108

Hartono, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta : 2012.

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang :

2006.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Priss, Jakarta

: 2006.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

C. Sumber Lain

Arief Sidharta, 2002, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia Tahun XII No.1, Januari

1994.

http://abysatrio.blogspot.com/2013/05/visum-dan-autopsi.html.

Andi Fitriani. (et.al.,) “Hambatan Dalam Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya

Ringan di Pengadilan Negeri Palu” Legal Opinion, dalam http://fakultas hukum

Untad.ac.id/jurnal di akses pada 5 Desember 2019, pukul 19.30 Wib.