ANALISIS KRITIS IMPLEMENTASI AKAD WADI’AH (Studi Kasus Pada Perbankan Syariahdi Indonesia)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ANALISIS KRITIS IMPLEMENTASI AKADWADI’AH (Studi Kasus Pada Perbankan Syariahdi Indonesia)AbstractIslamc banks have became a tredsetter nowadays. Its appearwherever. It is supported by the regulation for Islamic banks conducted byBank of Indonesia. However, this fact is not followed by the quality ofIslamic bank itself. Many products are not suitable with the Islamic rules,ie. saving bywadi’ah yad dhamanahcontract. After reviewing some classicalliteratures, it is concluded that fikih scholars agreed in understandingwadi’ahmerely as yad amanah or pure trust without any guarantee. Theproduct ofWadi’ah yad dhamahis the result of contemporary muslimscholars’s reasoning for the sake of bank to gain the profit. This is inaccordance the aim of establishment of conventional financial institutionfor making profit. Fikih scholars agreed that the core ofwadi’ahis trust,whether yad dhamanahhas the meaning ‘untrust’. By applying transactionofwadi’ah yad dhamanah , it means the manipulation of trust is permitted.PendahuluanP embahasan hukum riba di perbankan tidak dijumpaidalam buku-buku fikih klasik. Karena jaman dulu belum berdiri bank-bank seperti saat ini yang menjadikebutuhan masyarakat banyak untuk penyimpanan hartakekayaan. Sehingga untuk memahami berbagai masalahseputar bank atau lembaga keuangan perlu merujuk kepenjelasan ulama fikih kontemporer yang menjumpai praktikperbankan. Sebagaimana kajian fikih klasik, kesimpulan fatwadi antara ulama berbeda-beda, sesuai sudut pandang yangmereka pahami. Namun demikian, mereka tetap sepakat bahwa bunga bank adalah riba dan haram.

Citation preview

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 85

    ANALISIS KRITIS IMPLEMENTASIAKAD WADIAH

    (Studi Kasus Pada Perbankan Syariahdi Indonesia)

    Mufti Afif*Institut Studi Islam Darussalam Gontor

    Email: [email protected]

    Abstract

    Islamc banks have became a tredsetter nowadays. Its appearwherever. It is supported by the regulation for Islamic banks conducted byBank of Indonesia. However, this fact is not followed by the quality ofIslamic bank itself. Many products are not suitable with the Islamic rules,ie. saving by wadiah yad dhamanah contract. After reviewing some classicalliteratures, it is concluded that fikih scholars agreed in understandingwadiah merely as yad amanah or pure trust without any guarantee. Theproduct of Wadiah yad dhamah is the result of contemporary muslimscholarss reasoning for the sake of bank to gain the profit. This is inaccordance the aim of establishment of conventional financial institutionfor making profit. Fikih scholars agreed that the core of wadiah is trust,whether yad dhamanah has the meaning untrust. By applying transactionof wadiah yad dhamanah, it means the manipulation of trust is permitted.

    Bank syariah telah menjadi tren yang sangat luar biasa pada saatini. Di mana-mana bermunculan bank-bank syariah yang baru. Hal inididukung dengan dikeluarkannya regulasi untuk perbankan syariah olehBank Indonesia. Namun demikian, fenomena ini tidak dibarengi dengankualitas bank syariah itu sendiri. Banyak produk-produk bank syariah yangbelum memenuhi prinsip-prinsip syariah. Contohnya adalah produksimpanan dengan akad wadiah yad dhamanah. Setelah meninjau ulang

    * Kampus Institut Studi Islam Darussalam Gontor, Demangan SimanPonorogo, 63471, Telp. 0352 483 762 / Fax 0352 488 182.

  • Jurnal EKONOMI ISLAM86 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    beberapa pustaka klasik, dapat disimpulkan bahwa para ahli fikihsependapat bahwa pengertian wadiah adalah bersifat yad amanah saja yaitutitipan murni tanpa ada penjaminan ganti rugi. Produk wadiah yaddhamanah merupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer agar pihakpemegang amanat (yaitu perbankan) menerima keuntungan. Hal ini sejalandengan prinsip didirikannya lembaga keuangan konvensional yangberorientasi keuntungan. Kesepakatan ulama fikih, wadiah dasarnya adalahamanat. Sedangkan yad dhamanah mengandung makna tidak amanat.Dengan mengaplikasikan transaksi wadiah yad dhomanah berartipenyelewangan amanat telah diizinkan.

    Kata Kunci: Titipan, wadiah yad amanah, wadiah yad dhamanah.

    Pendahuluan

    P embahasan hukum riba di perbankan tidak dijumpaidalam buku-buku fikih klasik. Karena jaman dulubelum berdiri bank-bank seperti saat ini yang menjadikebutuhan masyarakat banyak untuk penyimpanan hartakekayaan. Sehingga untuk memahami berbagai masalahseputar bank atau lembaga keuangan perlu merujuk kepenjelasan ulama fikih kontemporer yang menjumpai praktikperbankan. Sebagaimana kajian fikih klasik, kesimpulan fatwadi antara ulama berbeda-beda, sesuai sudut pandang yangmereka pahami. Namun demikian, mereka tetap sepakat bahwabunga bank adalah riba dan haram.

    Sejak dikeluarkannya UU perbankan syariah, kian marakdan semakin bertambah kepercayaan masyarakat Indonesiaterhadap keberadaan lembaga keuangan syariah. Hal initerlihat dari peningkatan jumlah kuantitas Lembaga KeuanganSyariah yang berdiri dan siap melayani masyarakat Indonesia.

    Pertanyaannya adalah apakah berdirinya LembagaKeuangan Syariah (LKS) di Indonesia sudah menjadi solusiterbaik bagi pencegahan praktik ribawi yang diharamkanAgama Islam? Apakah praktik LKS masih seperti lembagakonvensional?

    Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jikadalam kesempatan ini penulis mencoba memaparkan kajianliteratur baik klasik maupun modern yang berkenaan dengan

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 87

    Mufti Afif

    salah satu transaksi muamalat yang kemudian dikomparasikandengan hakikat kontrak yang terjadi dilapangan. Akad yangpertama dibahas adalah akad wadiah, di mana akad (transaksi)ini dipraktikkan di seluruh LKS; baik perbankan ataupunkoperasi dalam proses penghimpunan dana/aset.

    Wadiah (Titipan)

    Pengertian WadiahSecara bahasa, wadiah berasal dari Bahasa Arab yaitu

    berarti meninggalkan. Dikatakan demikian karenapemilik harta meninggalkan hartanya kepada orang lain.1Bentuk jamak wadiah adalah wadaai.2

    Secara istilah wadiah berarti mewakilkan penjagaansuatu harta yang spesial atau bernilai tertentu dengan caratertentu.3 Dikutip oleh ath-Thayyar dkk., al-Bahuti Mansyurmendefinisikan wadiah sebagai pemberian kuasa oleh penitipkepada orang yang menjaga hartanya tanpa kompensasi(gantirugi).4 Menurut Sjahdeini, Akad wadiah merupakan suatuakad yang bersifat tolong-menolong antar sesama manusia.5Yaitu tolong-menolong dalam hal menyempurnkan amanat.

    Landasan Syariat Akad WadiahWadiah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya boleh.

    Adapun landasan hukum diperbolehkannya termaktub dalamal-Quran, Sunnah Rasulullah Saw. dan ijma ulama, yaitu:

    1 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid V, Cet II, (Syiria:Darul Fikri, 1985). h.37

    2 Fadhlul HNM Baz, Fikih Abdullah Ibnu Masud ra. fi Fiqhil Muamalat;Diraasah Muqarranah, (Saudi Arabia: Umul Qura Press, 1996). h. 363

    3 Ibid4 Muhammad Ath-Thayyar dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah; dalam

    Pandangan 4 Madzhab, (Riyadh: Madar al-Wathan, 2004). h. 3895 S.R. Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum

    Perbankan Indonesia, Cet I., (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999). h. 55

  • Jurnal EKONOMI ISLAM88 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    Firman Allah Swt:

    Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanatkepada yang berhak menerimanya (pemiliknya) (Qs. an-Nisa[4]:58)

    Ibnu Masud menafsirkan kata amanat pada ayat diatas mencakup perintah Allah seperti wudhu, shalat, zakat,mandi besar (junub), puasa, menakar timbangan dan ukurandengan adil, serta menjaga titipan. Maka segala bentuk ibadahkepada Allah atau perbuatan amanat yang berkaitan denganorang lain wajib ditunaikan. Ibnu Masud berpendapat bahwapejuang yang gugur syahid, dihapuskan semua dosa-dosanyakecuali masih memiliki tanggungan amanat.

    Dan Allah berfirman:

    ..maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(titipan/hutang) dan hendaklah ia bertakwa kepada AllahTuhannya (Qs. al-Baqarah[2]: 283)

    Dalam ayat yang lain disebutkan:

    Dan saling tolong-menolonglah kalian di dalam kebajikan danketaqwaan (Qs. Al-Maidah [5]: 2)6

    Rasulullah Saw bersabda:

    Tunaikan amanah orang yang memberi amanah kepadamu danjanganlah kamu menghianati orang yang menghianatimu (HR.Abu Daud dan Tirmidzi, Ahmad dan Ahshabun Sunan).

    Seluruh ulama muslim hingga saat ini- bersepakatbahwa akad wadiah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 89

    Mufti Afif

    adalah boleh, mengingat manusia saling membutuhkanbantuan satu sama lain, dan bahkan hal ini menjadi kepentinganbagi beberapa orang.

    Rukun Aqad WadiahMenurut jumhur ulama rukun wadiah ada 4 (empat):

    1. dan 2. Adalah dua orang yang bertransaksi (pemilik harta;penitip, dan penerima harta titipan)

    3. Harta yang dititipkan4. Shighah (ijab qabul)

    Syarat-syarat Sah Rukun WadiahUlama Madzhab Hanafiyah mensyaratkan bahwa dua

    orang yang melakukan aqad wadiah harus berakal sehat. Makatidak sah jika akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belumbisa membedakan antara yang baik dan buruk atau belumfaham benar dan salah. Demikian juga yang dilakukan olehorang gila. Kedewasaan (baligh) tidak menjadi syarat sah wadiahmenurut ulama Madzhab Hanafiyah.

    Menurut jumhur ulama, pelaku perjanjian wadiah harusbaligh, berakal sehat dan cakap (sanggup melakukan transaksitersebut).

    Syarat harta yang dititipkan harus berupa benda yangbisa dititipkan dan dijaga. Bukan dikatakan sebagai barangtitipan jika harta itu berupa burung yang masih terbang bebasdi langit atau harta yang tenggelam di dasar laut.

    Tinjauan Hukum Wadiah dalam Tijauan Fikih Klasik.Hukum Menyetujui atau Menerima Harta Titipan.

    Bagi siapa saja yang menerima amanat titipan dariseseroang, maka ia wajib menunaikan amanatnya yaitumenjaga. Karena pihak pemilik harta mengharapkan keutuhanatas harta miliknya, pastinya ia akan menunjuk seseorang ataukelompok yang bersedia untuk menjaganya dan beramanat.Adapun tugas penerima titipan adalah hanya menjaga.

  • Jurnal EKONOMI ISLAM90 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    Bagaimana jika ada dua orang penitip harta (kepadaseorang penerima), yang kemudian salah satu penitip memintakembali haknya, dapatkah ia menerima haknya itu?.

    Menurut Imam Hanafi; Jika ini terjadi, maka tidak bolehharta titipan tersebut diserahkan kepada salah satu pemilikharta, tanpa kehadiran rekannya. Kalau mereka berduamenitipkan satu harta untuk bersama, maka mereka pun harusmengambil secara bersama-sama. Meskipun salah satu pihakdari penitip sudah menjelaskan dengan rinci kepada penerimaamanat tersebut mengenai sifat harta titipan bisa dibagi duadan pembagiannya berprosentase 50 : 50.

    Menurut Imam Malik dan Imam Syafii; penerimaamanat wajib membayarkan setengah/sebagian harta salah satupemiliknya jika penitip telah menjelaskan sifat harta dantakaran pembagiannya. Pendapat ini dikiaskan pada kasus dainmusytarak (hutang tergabung), dimana pemilik hak bisamengambil haknya dari orang yang berhutang tanpa menuggupihak piutang lain.

    Alasan yang dikemukakan Abu Hanifah mengenaimasalah ini adalah bahwa yang berhak memotong/membagiharta tadi adalah dua orang pemilik harta, dan mereka harushadir dalam satu tempat dan satu waktu agar tetap terjagakeadilan antar keduanya. Jika seorang di antara merekamemaksa untuk mengambil bagian haknya (tanpa kehadiranrekannya), hal ini dipastikan akan memicu persengketaan.

    Kalaupun ternyata harus dibagi, maka siapa yang berhakmembagi? Sementara pihak penerima amanat tidak punya hakuntuk membagi harta mereka. Menurut Abu Hanifah, kasusini berbeda dengan dain musytarak yang mana masing-masingpemilik harta sudah jelas kadar haknya.

    Seorang penitip (muwaddi) menitipkan hartanya kepada duaorang penerima amanat, bagaimana hukumnya?

    Kasus ini merupakan kebalikan kasus di atas. Ilustrasi-nya adalah; mula-mula seseorang hendak bepergian keluar kota

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 91

    Mufti Afif

    dengan membawa sekantong uang, lantaran takut uangtersebut hilang dijalan, dia menitipkan sekantong uang tadi(katakan senilai Rp.2.000.000,00) kepada dua orang tetangganyayang kebetulan sendang ada di depan rumah. Jika kedua orang(tetangga) tadi menyanggupi untuk menerima titipan secarabersamaan (lantaran ingin saling menolong), maka merekaberhak membagi uang amanat tersebut menjadi dua. Sehinggamasing-masing memegang amanat Rp.1000.000,00. Apabilasalah seorang penerima amanat mengembalikan hartatitipannya (Rp. 1000.000,-) kepada si pemilik, maka ia wajibmenanggung Rp.1.000.000,- sisanya. Demikian menurutpendapat Imam Abu Hanifah, karena ia sudah sepakat menjagaseluruh jumlah harta yaitu 2.000.000,- wajib juga baginya untukmengembalikan seluruh jumlah tersebut.

    Menurut Imam Malik dan Syafii tidak ada kewajibanmenanggung (dhaman) sisa amanatnya. Dengan alasankeduanya telah rela mengemban amanat, sehingga setiap orangpenerima amanat wajib mengembalikan sendiri-sendiri,sebagaimana mereka mengemban amanat yang tidak terbagi.

    Semua madzhab sependapat bahwa harta titipan yangutuh (tidak pecah-belah), tidak menyebabkan keterlibatanorang lain dalam hal tanggungjawab. Sepenuhnya tanggung-jawab ada di tangan penerima amanat harta tersebut. Logika-nya bahwa seorang tidak mungkin dapat menerima amanatsebuah harta yang mestinya utuh (dalam satu tempat) tapikenyataanya hanya menerima sebagian, sisanya terpisah-pisahdi beberapa tempatnya.

    Status Harta Titipan; Apakah ia Amanat atau DijaminkanKesepakatan ulama menyatakan bahwa harta titipan

    hukumnya boleh, dan menjaganya mendapat pahala.Sedangkan sifatnya adalah amanat, bukan jaminan ataudijamin. Penjaminan tidak diperbolehkan atas wadi kecualiadanya suatu hal yang mewajibkan jaminan.

  • Jurnal EKONOMI ISLAM92 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    Rasulullah saw bersabda:

    Artinya: orang yang dititipi barang tidak dikenakan ganti rugiselama ia tidak berkhianat (HR. ad-Daru Qutni)

    Artinya: tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercayamemegang amanat (HR. ad-Daru Qutni)

    Pada kedua hadits di atas jelas, dijelaskan oleh MadzhabImam Hanifah bahwa memberikan syarat ganti rugi pada orangyang amanat hukumnya membatalkan akad wadiah.

    Bagaimana jika harta titipan dikembalikan dirumahpemilik harta, tapi diterima oleh saudaranya? Ulama fikih(empat madzhab) sepakat tidak boleh. Jika hal ini terjadi, makawajib bertanggung jawab untuk ganti rugi. Karena bisa jadiharta titipan ini bersifat pribadi milik penitip. Berbeda denganhukum pinjaman atau sewa-menyewa yang mana pengembali-annya boleh diserahkan kepada sanak famili muwaddi.

    Menggunakan (Memanfaatkan) Harta TitipanImam Hanafi: Apabila harta titipan dimanfaatkan atau

    dipakai oleh pemegang amanat, maka hukumnya adalah wajibmengganti rugi atas pemakaiannya. Seperti menaiki kudatitipan, memakai baju titipan. Tapi jika tidak digunakan samasekali semua ulama empat madzhab sepakat tidak adatanggungan ganti rugi. Karena bentuk dan nilai benda masihutuh seperti semula (sewaktu dipegang pemilik).

    Ulama madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali: apabilaterjadi kerusakan atau kehilangan harta titipan setelahpemakaian (oleh pemegang amanat), wadi wajib bertanggungjawab atas ganti rugi, walaupun setelah pemakaian terjadikerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh bencana alam.Karena pemakaian harta titipan berarti telah melanggaramanat, hilang hukum akad titipan dan batal hukum

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 93

    Mufti Afif

    permintaan keamanan. Hukumnya pun dianggap sebagaipelanggaran atas hukum wadiah. Jika pemegang amanatmengakui kesalahannya, maka baginya tanggungjawab danmengembalikan hartanya kepada pemilik.7

    Mencampurkan Harta Titipan dengan Harta PribadiJika harta bercampur dan masih memungkinkan untuk

    dipisahkan (antara milik wadi dan milik muwaddi), makahukumnya tidak apa-apa. Apabila tidak mungkin bisadibedakan (dipisahkan), maka wadi wajib menanggung ganti-rugi menurut Imam Abu Hanifah, karena pencampuran hartatersebut sama halnya dengan menghilangkannya. Demikianjuga apabila titipan berupa uang seperti dirham yang dicampurdengan dirham yang lain, maka hukumnya wajib menjaminganti rugi (ulama Madzhab Hanafi).

    Pendapat ulama madzhab yang lain masih sependapatdengan Imam Abu Hanifah. Mereka menyatakan; kalau tidakmemungkinkan pemisahan harta yang bercampur, sepertiminyak, dinar dan harta lain (baik harta itu sejenis atauberlainan jenis), maka wajib bagi wadi untuk menanggunggantinya. Karena muwaddi jelas tidak menghendaki terjadinyapencampuran harta tersebut. Kecuali pendapat Imam Malikyang menambahkan pendapatnya bahwa boleh tidakmenangung ganti-rugi atas harta yang dicampur, jika tujuannyakeamanan semata atas harta titipan. Namun jika ada tujuanlain dari keamanan, maka wajib menjamin ganti rugi.

    Apabila harta titipan masih bisa dipisahkan dengan hartapribadi (harta sejenis), maka tidak wajib menanggung gantirugi. Kecuali terjadi pengurangan nilai dari harta tersebut.

    Mengingkari Syarat yang Diajukan Muwaddi dalam HalPenjagaan

    Apabila muwaddi memberikan syarat tertentu kepadawadi dalam penjagaan; seperti harus disimpan dirumahpenerima, atau di tempat yang ditentukan muwaddi maka wajibmenjamin ganti rugi jika ternyata harta tersebut dipindahkan

  • Jurnal EKONOMI ISLAM94 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    ke tempat lain tanpa ada sebab yang mengharuskanperpindahan. Pendapat ini dikemukakan ulama Hanafi danlainnya. Kecuali mengganti kotak dengan yang serupa ataubahkan lebih aman dari sebelumnya.

    Apabila muwaddi memerintahkan supaya hartanyadijaga dinegara atau wilayah tertentu serta melarangnya untukdisimpan di wilayah, negara lain, maka menurut ulama Hanafidan Syafii tidak wajib menjamin ganti rugi jika masih dalamwilayah, negara yang sama. Tapi apabila dipindah ke daerahlain (keluar wilayah), wajib menjamin ganti-ruginya.

    Menurut madzhab Hanbali dan ini adalah pendapatyang paling kuat dikalangan madzhab mereka; wajibmenanggung ganti rugi, baik masih satu wilayah, satu negaraatau bahkan lebih aman dari tempat yang disayaratkanmuwaddi. Kecuali jika ada ketakutan pada diri wadi akankerusakan harta. Jika tidak dipindah, dan benar terjadikerusakan atau kehilangan maka wajib mennggantinya.

    Menurut Ulama Maliki ada enam perkara yangmenyebabkan wadi mengganti rugi (dhoman):1. Menitipkan titipan kepada orang lain tanpa ada udzur,

    terlebih lagi hilang pada saat diminta oleh pemiliknya.2. Memindahkan harta titipan dari negara ke negara lain.

    Bukan dari rumah ke rumah.3. Mencampurkan harta titipan dengan harta lain hingga sulit

    untuk dipisahkan (dibedakan).4. Harta titipan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.5. Harta titipan disia-siakan dan dirusak, tidak dijaga

    semestinya.6. Menyalahi aturan /syarat yang ditetapkan penitip.

    Masalah-masalah furu wadiahMenurut Ibnu Jizyi dari Madzhab Imam Malik ada

    beberapa persoalan furuiyah dalam wadiah, di antaranya yaitu:1. Menjual-belikan (memproduktifkan) harta titipan;

    Abu Hanifah menyatakan keuntungan harus disedekahkan.Ulama yang lain (dari madzhab Abu hanifah) menyatakan

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 95

    Mufti Afif

    keuntungan sepenuhnya hak muwaddi. Wadi berhakmenerima upah sebatas biaya yang dikeluarkan untukmenjaga harta.

    2. Meminta upah kepada muwaddi atas jerih payah (menjagaamanat);Hal ini tidak diperkenankan, karena unsur dasar wadiahadalah tolong menolong, bukan mencari kehidupan.Apabila butuh biaya untuk membeli kunci atau alatkeamanan, maka biaya penuh ditanggung oleh muwaddi.8

    III. Diskusi; Apakah Tabungan Implementasi dari AkadWadiah?

    Menabung di lembaga keuangan baik konvensionalmaupun syariah pasti dikenalkan dengan istilah rekening.Rekening adalah daftar catatan transaksi antara nasabah danlembaga. Rekening ini di dalam Bahasa Arab dinamankan al-hisab al-jari (perhitungan yang berjalan), atau dikenal dalambahasa ekonomi dengan account. Dikatakan al-hisab al-jarikarena terus bertambah atau berkurang.

    Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, menabung dilembaga keuangan memiliki dua permasalahan penting, yaitu:a. Pertama, lembaga memegang tabungan (rekening) dan

    memiliki hak untuk mengembangkannya, serta mengikatdirinya untuk bersedia mengembalikan dana (asset) yangsuatu saat diambil oleh pemiliknya.

    b. Kedua, lembaga mengharuskan dirinya untuk mengembali-kan dana (asset) tersebut apapun risikonya; baik karenakelalaian ataupun diluar itu. Sehingga lembaga bertanggungjawab terhadap semua bentuk kehilangan dan hal-hal yangtidak diinginkan.9

    6 Ibid7 Ibid, p 368 Ibid, h. 51-539 Dimyauddin Djuwanini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet I, (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2008). h. 179

  • Jurnal EKONOMI ISLAM96 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    Diskusi I: Fatwa Tabungan atas Titipan (Wadiah YadDhamanah)

    Ulama kontemporer Indonesia memasukkan transaksitabungan dalam akad wadiah. karena mereka membagi aqadwadiah menjadi dua macam yaitu wadiah yad amanah danwadiah yad dhamanah. Menurut Sjahdaeni wadiah yad dhamanahmerupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer. Hal ini Buchorimenyetarakan wadiah dengan akad investasi sukarela(nasabah) yang ditujukan untuk kepentingan usaha denganmekanisme bagi hasil (mudharabah).

    Sebagian orang menyatakan wadiah yad dhamanah adalahtitipan nasabah kepada lembaga (baca: Lembaga KeuanganSyariah) yang diizinkan untuk dikelola dalam usaha riil se-panjang dana tersebut belum diambil oleh sipemiliknya.Mengingat dana tersebut dapat dikelola, maka sepantasnyalembaga memberikan kelebihan berupa bonus kepada sipenitip(muwaddi), meski tidak ada larangan untuk tidak memberikanbonusnya.

    Dasar hukum dibolehkannya wadiah yad dhamanahdengan menyertakan bonus adalah riwayat dari Abu daudberikut:

    Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Qanabi, dari Malikdari Zaid bin Aslam dari Atha` bin Yasar dari Abu Rafi, ia berkata;Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghutang seekor untamuda, kemudian terdapat unta zakat yang datang kepada beliau.Lalu beliau memerintahkanku agar mengembalikan unta mudatersebut kepada yang punya. Lalu aku katakan; saya tidakmendapatkan di antara unta tersebut selain unta pilihan yangberumur empat tahun. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 97

    Mufti Afif

    bersabda: Berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik orangadalah yang terbaik dalam menunaikan hutang.10

    Sanggahan: nasabah yang mengizinkan hartanya untuk dikelolaoleh penerima amanat, menyebabkan terjadi perubahan setatusharta; yaitu dari titipan (wadiah) menjadi pinjaman (qard). Karenahakikat titipan menurut ulama Empat Madzhab (yang sudahdibahas) adalah amanat, bukan pemakaian yang kemudian dijamin.

    Diskusi II: Penggunaan / Memproduktifkan Harta MuwaddiBerdasarkan fatwa wadiah yad dhamanah, dana titipan

    dapat dikelola oleh pemegang amanat, dengan konsekuensisiap menjamin atau bertanggungjawab.

    Sanggahan: Sebuah kasus berupa pemanfaatan harta titipan sepertiini pernah dialami oleh Zubair bin Awwam. Masyarakat Arab padasaat itu mendatangi Zubair untuk menitipkan harta kekayaannyadengan tujuan melimpahkan penjagaan dan pemeliharaan. TapiZubair tidak mau atau tidak rela jika ia tidak diberi hak untukmentransaksikanya. Dengan catatan Zubair akan menjamin hartatersebut kembali pada pemiliknya. Sehingga dalam penerimaanbarang titipan, Zubair tidak mengakui akad wadiah, ia mengatakantidak, ini adalah pinjaman (Shahih Bukhari).

    Sehingga akad yang semestinya berlaku di dalam akadwadiah adalah pinjaman (qard).

    Diskusi III: Pemberian Bonus dari Pihak Wadi KepadaMuwaddi

    Dalam praktiknya, lembaga (pihak wadi) memberikankelebihan profit berupa bonus kepada nasabah/pemilik(muwaddi), meski tidak ada larangan untuk tidak memberikanbonusnya.

    Sanggahan: Praktik ini tidak dapat dibenarkan karenabertentangan dengan hasil ijtihad para ulama empat madzhabyang diakui dunia. Abu Hanifah menyatakan keuntunganharus disedekahkan. Ulama yang lain (dari madzhab Abuhanifah) menyatakan keuntungan sepenuhnya hak muwaddi.

    10 Nur.S Buchori, Koperasi Syariah; Teori dan Praktik, Cet I, (Banten:PAM Press, 2012). h. 19-20

  • Jurnal EKONOMI ISLAM98 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    Wadi berhak menerima upah sebatas biaya yang dikeluarkanuntuk menjaga harta. Meminta upah kepada muwaddi atas jerihpayah (menjaga amanat); tidak diperkenankan, karena unsurdasar wadiah adalah tolong menolong, bukan mencarikehidupan. Apabila butuh biaya untuk membeli kunci atau alatkeamanan, maka biaya penuh ditanggung oleh muwaddi.

    Diskusi IV: Akad Wadiah Terjadi Karena Kesepakatan DuaBelah Pihak

    Sebagian praktisi berpendapat bahwa tindakan lembagaterhadap dana berpijak pada izin yang disepakati oleh nasabah.Demikianlah yang berlaku dimasyarakat kita. Sehingga maknatitipan masih bisa berlaku dengan tetap mengembalikan danayang semisal.

    Sanggahan: argumen praktisi tersebut tidak bisa diterima. Karenaaktivitas lembaga terhadap tabungan telah menghilangkan statustitipan. Ada niat menggunakan atau mengolah dana berarti pihaklembaga punya niat untuk mengkhianati amanat (ingkar), lembagatidak menjaga titipan. Seandainya penerima titipan meminta izinmenggunakan dana titipan dan kemudian mendapat izin daripemiliknya, berarti status barang yang dimanfaatkan saat itu adalahpinjaman (ariyah). Apabila dana digunakan lembaga sampai habis,maka status dana tabungan adalah tanggung jawab (menjadihutang) yang wajib diganti.11

    Sebagian praktisi lain menjawab bahwa sudah kewajibanlembaga untuk mengembalikan dana milik nasabah. Sekalipunlembaga tersebut tidak melakukan pelanggaran, hal ini sudahmenjadi kebiasaan transaksi di lembaga keuangan.

    Sanggahan: bagaimana bisa pemegang amanat mewajibkan diriuntuk bertanggung jawab penuh atas kerusakan harta yang bukanakibat kelalaian. Jika wadiah berlaku seperti ini, maka tidak akanada seorangpun yang mau menerima harta titipan. Maka jelasbahwa praktik wadiah di lembaga keuangan tidak sesuai dengansyariat Islam yang benar.

    11 Kholdi Syamsudi, Tabungan di Bank Syariah, Bukan Wadiah, MajalahPengusaha Muslim, edisi 25, (Yogyakarta: Yayasan Bina Pengusaha Muslim Press,2012). h. 64

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 99

    Mufti Afif

    Diskusi V: Landasan Fatwa Wadiah yad Dhamanah; dariRiwayat Abu Rafi

    Sanggahan: Dalil yang digunakan untuk memperbolehkan akadwadiah yad dhamanah dari riwayat Abu rafie di atas, tidak sesuaidan sangat tidak tepat. Karena Rasulullah tidak memerintahkanseseorang untuk menitipkan unta kepada Abu Rafie, tapi untukmeminjami unta untuk qurban. Sehingga akadnya adalah pinjam(qard).

    Diskusi VI: Kritik Khusus pada Tatanan Prkatis BMI (BankMuamalat Indonesia)

    Wadiah yang bersifat yad amanah dikembangkan olehBMI (Bank Muamalat Indonesia) dengan cara memodifikasimenjadi yad dhamanah (sistem ganti rugi) ini menimbulkanskema baru dalam pengelolaan dana, yaitu serupa tapi tidaksama dengan mudharabah atau DPK. Dikatakan serupa tapitidak sama karena terdapat bagi keuntungan, tapi disisi laintidak ada batas tempo yang diikat dalam kontrak akad.

    Dalam praktiknya BMI mengelola dengan cara yadhdhamanah dimana apabila terdapat keuntungan dalampengelolaan dana, maka seluruh profit tersebut menjadi hakmilik pihak Bank. Disamping itu, atas kehendak BMI sendiri,tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan muwaddi (pemilikdana), tapi BMI dapat memberikan bonus kepada paramuwaddi. Menurut pihak BMI (red.pen) praktik ini sejalandengan pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki.

    Sanggahan: Madzhab Hanafi secara jelas menyatakan bahwa, jikawadi memproduktifkan harta titipan maka keuntungan harusdisedekahkan. Atau keuntungan sepenuhnya hak muwaddi. Wadiberhak menerima upah sebatas biaya yang dikeluarkan untukmenjaga harta tersebut.

    Madzhab Maliki tidak bertentangan dengan madzhabyang lain di mana menyatakan bahwa prinsip akad wadiahadalah amanat, bukan dhaman. Hanya saja secara rinci madzhabmaliki menyebutkan sebab-sebab gugurnya akad wadiah, yaitu:1. Penglihan harta titipan kepada orang lain tanpa ada udzur,

    terlebih lagi hilang pada saat diminta oleh pemiliknya.

  • Jurnal EKONOMI ISLAM100 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    2. Pemindahan harta titipan dari negara ke negara lain. Bukandari rumah ke rumah dalam satu negara.

    3. Pencampuran harta titipan dengan harta lain hingga sulituntuk dipisahkan (dibedakan).

    4. Pemanfaatan harta titipan untuk kepentingan pribadi.5. Penyesia-siaan harta (pengabaian harta) dan dirusak, tidak

    dijaga semestinya.6. Menyalahi aturan /syarat yang ditetapkan penitip.

    Rincian yang demikian ini, bukan berarti madzhabMaliki membolehkan akad wadiah amanat berubah menjadidhamanah, sebagaimana madzhab Maliki masih komitmenterhadap kewajiban wadi dalam menjaga harta titipan denganserius, tidak boleh lalai.

    Diskusi VII: Akad Wadiah serupa Dengan DPK (Dana PihakKetiga)

    Sanggahan: tidak bisa dipersamakan antara DPK dengan wadiah,karena terdapat perbedaan antara DPK dan Wadiah sebagaiberikut:12

    12 Shomad, Keraguan Atas p 21

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 101

    Mufti Afif

    KesimpulanSetelah meninjau ulang beberapa pustaka klasik

    (sebagaimana dipaparkan di atas), dapat disimpulkan bahwapara ahli fikih (fuqaha dari empat madzhab) sependapat bahwapengertian wadiah adalah bersifat yad amanah saja yaitu titipanmurni tanpa ada penjaminan ganti rugi. Kecuali jika terjadikelalaian atau kesengajaan penerima amanat meninggalkanamanatnya sebagaimana dijelaskan secara rinci di atas.Sjahdeini menjelaskan lebih lanjut bahwa Wadiah yad dhamanahmerupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer agar pihakpemegang amanat (yaitu perbankan) menerima keuntungan.Hal ini sejalan dengan prinsip didirikannya lembaga keuangankonvensional yang berorientasi keuntungan.

    Bagi lembaga keuangan, seharusnya berhati-hati dalammemahami fatwa, terkait dengan aplikasi yang terjadi dilapangan. Di perbankan dan lembaga keuangan mengklaimtabungan sebagai akad wadiah yad dhamanah, padahal maknadhomanah itu adalah bertanggung jawab (mengganti harta).Kesepakatan ulama fikih, wadiah dasarnya adalah amanat.Sedangkan yad dhamanah mengandung makna tidak amanat.Bagaimana bisa instansi keuangan yang ber lebelkan syariahtapi melegalkan aktifitas yang tidak amanat. Dengan meng-aplikasikan transaksi wadiah yad dhomanah berartipenyelewangan amanat telah diizinkan.

    Setelah mencermati definisi, hasil ijtihad ulama sertaargumen-argumen dalam diskusi di atas, seharusnya karakter

  • Jurnal EKONOMI ISLAM102 |

    Analisis Kritis Implementasi Akad Wadiah

    penghimpunan dana di lembaga keuangan terdapat duamekanisme simpanan suka rela, yaitu:1. Simpanan sukarela dengan akad qard, yang memiliki skema:

    a. Lembaga bertindak sebagai pemohon bantuan dana darisegenap masyarakat.

    b. Lembaga tidak diperkenankan menjanjikan pemberianimbalan berupa bonus kepada masyarakat.

    c. Lembaga dapat menetapkan permintaan bantuan danakepada masyarakat berupa biaya administrasi yangterkait langsung dengan biaya pendataan danpengelolaan.

    d. Lembaga Syariah menjamin sepenuhnya dalampengembalian titipan masyarakat jika sewaktu-waktuakan diambil.

    Daftar PustakaAth-Thayyar, Muhammad, dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah;

    dalam Pandangan 4 Madzhab, Riyadh: Madar al-Wathan,2004.

    Baz, Fadhlul HNM, Fikih Abdullah Ibnu Masud ra. fi FiqhilMuamalat; Diraasah Muqarranah, Saudi Arabia: UmulQura Press, 1996.

    Buchori, Nur.S, Koperasi Syariah; Teori dan Praktik, Cet I, Banten:PAM Press, 2012.

    Djuwanini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet I,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

    Furywardhana. F. dan Adnan M.A., Evaluasi Non PerformingLoan (NPL) Pinjaman Qardul Hasan; Studi Kasus diBNI Syariah Cabang Yogyakarta, JAAI volume 10. No02, Desember 2006.

    Kementrian Negara Kuwait, al-Mausuah al-Fiqhiyah, Kuwait,1978.

    Muslich, A.W, Fiqh Muamalat, cet-1, Jakarta: Amzah, 2010.Shomad, M. Abdus, Keraguan Atas Praktik Bank Syariah,

    Majalah Pengusaha Muslim, edisi 24, Yogyakarta,Yayasan Bina Pengusaha Muslim Press.

  • Vol. 2, No. 1, Desember 2013 | 103

    Mufti Afif

    Sjahdeini, S.R., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam TataHukum Perbankan Indonesia, Cet I., Jakarta: PustakaUtama Grafiti, 1999.

    Syamsudi, Kholdi., Tabungan di Bank Syariah, BukanWadiah, Majalah Pengusaha Muslim, edisi 25,Yogyakarta: Yayasan Bina Pengusaha muslim Press,2012.

    Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid V, Cet II,Syiria: Darul Fikri, 1985

    _______, al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid IV, Cet II, Syiria:Darul Fikri, 1985.