88
ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari’ah Oleh: M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206 JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/97/jtptiain...Meskipun calon suami mengucapkan suatu persyaratan, namun jika tidak ada niat seperti

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA

NIKAH MUHALLIL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh: M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206

JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

IAIN WALISONGO SEMARANG

2010

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah

a.n. Sdr. M. Da'in Fazani IAIN Walisongo Di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini

saya kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : M. Da'in Fazani

Nomor Induk : 2103206

Jurusan : AS

Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I

TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL

Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqasyahkan

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, Desember 2009

Pembimbing,

Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19590413 198703 2001

iii

DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. Dr. HAMKA km.2 (Kampus III) Ngalian 50159 Semarang

PENGESAHAN

Skripsi saudara : M. Da'in Fazani

NIM : 2103206

Fakultas : Syari’ah

Jurusan : AS

Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG

SAHNYA NIKAH MUHALLIL

Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:

29 Desember 2009

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1

tahun akademik 2008/2009.

Semarang, Januari 2010 Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Dra. Hj. Endang Rumaningsih, M.Hum Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19560101 198403 2 001 NIP. 19590413 198703 2 001 Penguji I, Penguji II, Drs. H. Muhyiddin, M.Ag Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19690709 199703 1 001

Pembimbing,

Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19590413 198703 2001

iv

M O T T O

تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فإن طلقها فال : البقرة(فال جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله

230( Artinya: Jika ia mentalak isterinya maka tidak halal baginya kemudian

sehingga ia kawin dengan laki-laki lain. Jika kemudian ditalaknya juga, maka tidaklah berdosa bagi mereka untuk kembali rujuk, jika mereka yakin akan dapat menjalankan hukum Allah. (QS.Al-Baqarah.-230).∗

∗Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55..

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk:

o Bapak H. Sholeh Asy'ari dan Ibu Hj. Siti Shofiati selaku orang tuaku

tercinta yang selalu memberi semangat, membimbing dan mengarahkan

hidupku, yang memberi tahu arti hidup ini.

o Kakak-kakakku tercinta (Miftakhul Falakh, Nichlatun Nafi'ah, M.Imam

Nafi', dan Umi Zarin) yang selalu tak henti-hentinya memberi semangat dan

motivasi dalam hidup ini terutama dalam menyelesaikan studi dan khususnya

skripsi ini.

o Nida Naily 'Illiyyun, yang telah banyak membantu dan memotivasi dalam

penulisan skripsi ini

o Teman-Temanku (Ucup, Gepeng, Eko, Syafiq, Fendy dan teman-teman

WSC yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama-sama dalam

meraih cita-cita

Penulis

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak

berisi materi yang telah pernah ditulis oleh

orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-

pemikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

rujukan.

Semarang, 8 Desember 2009

M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206

vii

ABSTRAK

Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan

bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil itu sah. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah. Yang menjadi perumusan masalah yaitu bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil? Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil?

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data primernya yaitu Al-Umm sedangkan sumber data sekundernya yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Tasir Ibnu Kasir; Tafsir al-Maragi, Tafsir Ahkam; Fath al-Mu'in; Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Fiqh al-Sunnah. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi juga berupa artikel dan penelitian-penelitian sebelumnya. Data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode penelitian deskriptif analisis.

Hasil penulisan menunjukkan bahwa Menurut Imam Syafi'i nikah muhallil sah. Dalam pandangan Imam Syafi'i, nikah muhallil itu sah sepanjang dalam ijab qabul pada saat akad nikah tidak disebutkan suatu persyaratan, meskipun adanya niat untuk menghalalkan wanita itu menikah lagi dengan suami yang lama. Menurut penulis, tampaknya Imam Syafi'i lebih melihat kepada aspek zahir atau luarnya saja yaitu ucapan dianggap bisa membatalkan keabsahan nikah muhallil, sedangkan niat tampaknya kurang dihiraukan oleh Imam Syafi'i. Padahal niat itu justru yang lebih menentukan suatu perbuatan. Meskipun calon suami mengucapkan suatu persyaratan, namun jika tidak ada niat seperti ucapannya, dengan kata lain, berbedanya niat dengan ucapan, maka sepatutnya ucapan dikalahkan oleh niat. Namun justru sebaliknya dalam perspektif Imam Syafi'i "niat" bisa dikalahkan oleh "ucapan". Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah muhallil dengan nikah biasa.

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I

TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL” ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan

bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan

layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,

beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan

5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang

tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para

pembaca pada umumnya. Amin.

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v

HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .................................................... 6

D. Telaah Pustaka .................................................... 6

E. Metode Penelitian .................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .................................................... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH MUHALLIL

A. Pengertian Akad .................................................... 13

B. Unsur-Unsur Akad .................................................... 14

C. Rukun dan Syarat Akad . ................................................... 17

D. Akad Nikah Muhallil ………………………………….. 30

BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA NIKAH

MUHALLIL

A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karyanya ................. 35

1. Latar Belakang Imam Syafi'i ..................................... 35

2. Pendidikan ..................................... 38

x

3. Karyanya ..................................... 40

B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil ........ 42

C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya

Nikah Muhallil ..................................... 43

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG NIKAH

MUHALLIL

A. Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya

Nikah Muhallil ..................................... 52

B. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya

Nikah Muhallil ..................................... 62

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................... 73

B. Saran-saran .................................................... 73

C. Penutup .................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian berarti

perpisahan atau perpecahan.1 Islam melarang perceraian yang bisa

merobohkan sendi-sendi keluarga dan menyebarkan aib-aibnya,

melemahkan kesatuan umat dan membuat perasan mendendam serta

mengkoyak-koyak tabir kehormatan.2

Abul A'la Maududi mengatakan, salah satu prinsip hukum

perkawinan Islam adalah bahwa ikatan perkawinan itu harus diperkuat

sedapat mungkin. Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar

persekutuan tersebut dapat terus berlangsung. Namun, apabila semua

harapan dan kasih sayang telah musnah dan perkawinan menjadi sesuatu

yang membahayakan sasaran hukum untuk kepentingan mereka dan

kepentingan masyarakat, maka perpisahan di antara mereka boleh

dilakukan. Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan perkawinan,

namun berbeda dengan ajaran agama lain, Islam tidak mengajarkan bahwa

pasangan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan lagi. Bila pasangan tersebut

telah benar-benar rusak dan bila mempertahankannya malah akan

1Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 209. 2Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi

Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta: Agung Lestari, 1993, hlm. 87.

2

menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan akan

melampaui ketentuan-ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan. Itu

berarti pintu perceraian harus dibuka, walaupun tidak selebar yang

dilakukan negara Rusia, Amerika, dan sebagian negara Barat.3

Meskipun tidak ada ayat al-Qur’an yang menyuruh atau melarang

melakukan talak, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi

Nabi Saw. Ketidaksenangan Nabi Saw kepada perceraian itu terlihat dalam

hadisnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan

disahkan oleh Al-Hakim, sabda Nabi:

قال رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن ابن عمر رضى اهللا عنهما قالوسلم اب احلالل إىل اهللا الطالق رواه ابو داود وابن ماجه (غض

4)وصححه احلاكم

Artinya: Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw bersabda: perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim).

Walaupun talak itu dibenci namun terjadi dalam suatu rumah tangga,

dan sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan

tertentu (darurat, logis dan argumentatif) boleh dilakukan.5

Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali

kepada mantan istrinya, talaq itu ada dua macam:

3Abul A'la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad Rais,

"Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991, hlm. 41. 4Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Bairut: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah,

tth, hlm. 223 5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2006, hlm. 201

3

1). Talaq raj'iy. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talaq dimana

suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk)

sepanjang istrinya tersebut masih alam masa 'iddah, baik istri tersebut

bersedia dirujuk maupun tidak.6 Hal senada dikemukakan juga oleh Ibnu

Rusyd bahwa talaq raj'iy adalah suatu talaq dimana suami memiliki hak

untuk merujuk istri.7

Dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa talaq raj'iy adalah talaq satu

atau talaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri, dimana suami boleh

ruju' kepada istri, sebagaimana firman Allah pada surat al-Baqarah (2)

ayat 229:

: البقرة(الطالق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان 229(

Artinya: Talaq itu adalah sampai dua kali, sesudah itu tahanlah dengan baik atau lepaskanlah dengan baik. (Q.S. al-Baqarah: 229)8

Lafaz فإمساك بمعروف mengandung arti ruju' pada waktu

masih berada dalam masa 'iddah.

2). Talaq bain. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talaq bain adalah talaq

yang menceraikan istri dari suaminya sama sekali, dimana suami tak dapat

lagi secara sepihak merujuki istrinya.9 Dengan kata lain, takak bain yaitu

6Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,

Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 451. 7Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 45. 8Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55. 9Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar

Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411.

4

talaq yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami

kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru, talaq bain inilah yang

tepat untuk disebut putusnya perkawinan.

Talaq bain ini terbagi pula kepada dua macam:

a. Bain sughra, ialah talaq yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas

suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas

istrinya itu.10 Atau talaq yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan

istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui

muhallil.

b. Bain kubra, yaitu talaq yang telah dijatuhkan tiga.11 Atau dengan kata lain

talaq yang tidak memungkinkan suami ruju' kepada mantan istrinya. Dia

hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan

laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis 'iddahnya.

Sebagian berpendapat, perkawinan istri dengan suami kedua tersebut

bukanlah suatu rekayasa licik, akal-akalan, seperti nikah muhallil (sengaja

diselang). Sebagian lainnya mengatakan, hal itu dapat saja terjadi dan

halal bagi suami pertama.

Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan

bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah

muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah

muhallil itu sah.12 Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan

batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah.

10Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 140. 11Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81. 12Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44.

5

Menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah, hal ini sebagaimana ia

katakan dalam kitabnya al-Umm:

وكذلك لو نكحها ونيته ونيتها أو نية أحدمها دون االخر أن ال ا لزوجها ثبت النكاح وسواء ميسكها إال قدر ما يصيبها فيحلله

13نوي ذلك الواىل معهما أونوى غريه أومل ينوه وال غريه

Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menyëtubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.

Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini

dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

B. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi

perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil ditinjau

dari aspek sahnya?

2. Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah

muhallil?

13Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.

6

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil

ditinjau dari aspek sahnya

2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya

nikah muhallil

D. Telaah Pustaka

Dalam penelitian di perpustakaan, peneliti belum mampu menemukan

skripsi yang membahas nikah muhallil, dan berdasarkan penelitian baru

ditemukan skripsi yang judulnya hanya membahas talaq tapi belum

menyentuh persoalan nikah muhallil. Skripsi yang dimaksud di antaranya:

1. Penelitian yang disusun Mukhsin, 2199141 (Fakultas Syariah IAIN

Walisongo Semarang): Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang

Batalnya Talaq dengan Sumpah Talaq. Dalam skripsi ini dijelaskan

bahwa menurut Ibnu Hazm, talaq dengan sumpah talaq tidak berlaku

sehingga dengan sendirinya talaq yang demikian tidak sah atau batal.

Apabila seorang suami berkata seperti, "apabila akhir bulan datang maka

engkau tertalaq atau ia menyebutkan waktu tertentu maka dengan ucapan

seperti ini tidak berarti jatuh talaq baik sekarang ini maupun nanti ketika

akhir bulan tiba. Alasannya ialah karena di dalam Al-Qur'an dan Sunnah

Nabi tidak ada keterangan tentang jatuhnya talaq seperti itu atau karena

7

Allah telah mengajarkan kepada kita tentang mentalaq isteri yang sudah

dikumpuli atau yang belum dikumpuli.

2. Penelitian yang disusun oleh Siti Nur Khasanah, 2100146 (Fakultas

Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul: Studi Komperatif

Terhadap Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm Tentang Taklik

Talaq Kaitannya Dengan Waktu Yang Akan Datang. Menurut penyusun

skripsi ini bahwa ucapan ta'lik talaq yang dikaitkan pada waktu akan

datang maksudnya ialah: talaq yang diucapkan dikaitkan dengan waktu

tertentu sebagai syarat dijatuhkannya talaq, dimana talaq itu jatuh jika

waktu yang dimaksud telah datang. Contohnya: seorang suami berkata

kepada isterinya: Engkau besok tertalaq atau engkau tertalaq pada akhir

tahun; dalam hal ini talaqnya akan berlaku besok pagi atau pada akhir

tahun, selagi perempuannya masih dalam kekuasaannya ketika waktu

yang telah tiba yang menjadi syarat bergantungnya talaq.

3. Penelitian yang disusun oleh Nur Kheli, 2100043 (Fakultas Syariah IAIN

Walisongo Semarang) dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i

tentang Talaq Tiga yang Dijatuhkan Sekaligus Sebagai Talaq Sunni.

Penyusun skripsi ini menjelaskan bahwa talaq tiga yang dijatuhkan

sekaligus menurut Imam Malik adalah bukan talaq sunni, sedangkan

Imam Syafi'i dan juga menurut daud al-Zhahiriy memandang yang

demikian adalah talaq sunni. Alasannya adalah bahwa selama talaq yang

diucapkan itu berada sewaktu suci yang belum dicampuri adalah talaq

sunni. Menurut ulama Hanafiyah talaq tiga yang termasuk talaq sunni itu

8

adalah talaq tiga yang setiap talaq dilakukan dalam masa suci, dalam arti

talaq tiga tidak dengan satu ucapan.

4. Penelitian yang disusun oleh Aliyatulhikmah, 2101339 (Fakultas Syariah

IAIN Walisongo Semarang)dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i

tentang Hak Waris Istri yang Ditalaq Bain oleh Suami Yang Sedang Sakit

Parah. Menurut penulis skripsi ini bahwa mengenai orang sakit yang

menjatuhkan talaq ba'in kemudian meninggal karena penyakitnya, maka

Imam Malik dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa istrinya (yakni

bekas istri) menerima warisan. Sedang Imam Syafi'i dan fuqaha lainnya

berpendapat bahwa istrinya itu tidak menerima warisan. Fuqaha yang

menetapkan istri menerima warisan terbagi menjadi tiga golongan.

Golongan pertama berpendapat bahwa istri menerima warisan selama ia

masih berada dalam masa 'iddah (ketika suaminya meninggal). Di antara

fuqaha yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah bersama

para pengikutnya dan ats-Tsauri. Golongan kedua berpendapat bahwa istri

mendapat warisan selama ia belum kawin lagi. Fuqaha yang berpendapat

demikian antara lain Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila. Golongan ketiga

berpendapat bahwa istri menerima warisan tanpa dibedakan apakah ia

masih berada dalam masa 'iddah atau tidak, dan apakah ia sudah kawin

lagi atau belum. Ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Laits. Silang

pendapat ini disebabkan oleh perselisihan mereka tentang keharusan

diterapkannya saddu 'dz-dzara-i' (penyumbatan jalan). Demikian itu

karena suami yang sedang sakit yang dalam sakitnya itu menceraikan

9

istrinya, dapat dituduh bahwa ia bermaksud menghapuskan bagian

warisan istrinya.

Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka

penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu

penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan pendapat

Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil..

E. Metode Penelitian

Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-

langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan

masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya

dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat

dijelaskan sebagai berikut:14

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif doktrinal

yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis,

maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research

menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian

murni.15 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau

sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain.

2. Sumber Data

a. Data Primer, yaitu karya Imam Syafi'i yang berjudul: Al-Umm. Kitab

14Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 21 - 22.. 15Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 89.

10

ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i secara sistematis sesuai dengan

bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam Mazhab Syafi’i. Kitab

ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fikih.

Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi'i yang dikenal

dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid

(pendapat baru). Al-qaul al-qadim di kemukakan Imam Syafi'i ketika

di Bagdad, sedangkan al-qaul al-qadim dikemukakan Imam Syafi'i

ketika di Mesir. Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid.

Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir,

kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.16

b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di

atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Fath al-Mu'in;

Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar;

Subulus Salam; Fiqh al-Sunnah.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library

research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang

dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang

digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi berupa bahan

dokumentasi, agar dapat ditemukan berbagai teori hukum, dalil, pendapat,

guna menganalisa masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan

masalah yang sedang dikaji.

16Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132

11

4. Metode Analisis Data

Data-data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul

kemudian dianalisis dengan metode komparatif yaitu dengan

membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan ulama lainnya . Metode ini

diterapkan dengan cara mendeskripsikan pendapat dan metode istinbat

hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil dan pendapat para

ulama yang berbeda dan yang sama pandangannya dengan Imam Syafi'i.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-

masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan

yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara

dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian,

telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pernikahan muhallil yang

meliputi pengertian nikah muhallil, rukun dan syarat nikah, pernikahan yang

diharamkan, larangan pernikahan, pendapat para ulama tentang nikah

muhallil.

Bab ketiga berisi pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil

yang meliputi biografi Imam Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat

Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil, metode istinbat hukum Imam

Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil.

12

Bab keempat berisi analisis pendapat imam Syafi'i tentang nikah

muhallil yang meliputi analisis pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah

muhallil, metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

penutup.

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH MUHALLIL

A. Pengertian Akad

Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul

(pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’ah yang

berpengaruh kepada obyek perikatan1 Rukun yang pokok dalam akad

(perjanjian) itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan di satu pihak dan

ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-qabul dalam pernikahan ini

merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang mengadakan

akad pernikahan.

Pernikahan berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat

saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu akad. Namun suka

saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari

manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan

suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang

saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu

indikasi.2

Ijab-qabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang

adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini kita dapat menemukan cara

lain yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau

1Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Madhal al-Fiqh al’am, Beirut: Darul al-Fikr, 1968, hlm. 247-

248 2Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195

14

saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi

unsur suatu akad.

B. Unsur-Unsur Akad

Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur'an yang berhubungan

dengan perjanjian, yaitu al-'aqdu (akad) dan al-'ahdu (janji). Pengertian akad

secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya

adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan

salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi

seperti seutas tali yang satu.3 Kata al-'aqdu terdapat dalam QS. al-Maidah (5):

1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman

Djamil, istilah al-'aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam

KUH Perdata.4 Sedangkan istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan istilah

perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk

mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan

orang lain.5 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76, yaitu "sebenarnya

siapa yang menepati janji (huruf tebal dari penulis) (yang dibuat)nya dan

bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."6

Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad

sebagai: "pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara yang

3Ghufron A. Mas'adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002, hlm. 75. 4 Faturrahman Djamil, "Hukum Perjanjian Syari'ah", dalam Kompilasi Hukum Perikatan

oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 247-248. 5Ibid., hlm. 248 6Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, ed. Revisi, Semarang: Kumudasmoro

Grafindo Semarang, 1994, hlm. 88.

15

menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya."7 Abdoerraoef

mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-aqdu) melalui tiga tahap, yaitu

sebagai berikut:8

1. Al'Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya

dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya

untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh

Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3): 76.

2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang

dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut hams sesuai dengan

janji pihak pertama.

3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka

terjadilah apa yang dinamakan 'akdu' oleh al-Qur'an yang terdapat dalam

QS. al-Maidah (5): 1. Maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah

pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau 'ahdu itu, tetapi akdu.

Sebagai contoh, jika A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil

kemudian B menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil, maka A dan B

berada pada tahap 'ahdu. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati

oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut

7Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi,

Yogyakarta: U1I Press, 2000, hlm. 65; dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu'amalah, cet. 1, ed. 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 14.

8Abdoerraoef, Al-Qur'an dan llmu Hukum: A Comparative Study, Djakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 122-123.

16

dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh

A, maka terjadi perikatan atau 'akdu di antara keduanya.

Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang

dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Subekti

memberi pengertian perikatan adalah "suatu perhubungan hukum antara dua

orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut

sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu."9 Sedangkan, pengertian perjanjian menurut Subekti

adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di

mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal."10

Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan di antara orang-orang tersebut

yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan

dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang

tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah

satu sumber perikatan.

Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam

dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan

Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua

tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata,

perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang

kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka. Menurut A Gani

Abdullah, dalam Hukum Perikatan Islam, titik tolak yang paling

9 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 14, Jakarta: Intermasa, 1992, hlm. 1. 10 Ibid.

17

membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam

tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan

dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah 'aqdu (perikatan).

C. Rukun dan Syarat Akad .

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa definisi akad adalah pertalian

antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat

hukum terhadap obyeknya. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur

yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:11

1. Pertalian ijab dan kabul

Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan

menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya

(qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan.

Bentuk dari ijab dan kabul ini beraneka ragam dan diuraikan pada bagian

rukun akad.

2. Dibenarkan oleh syara'

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari'ah atau

hal-hal yang diatur oleh Allah SWT. dalam al Qur'an dan Nabi

Muhammad SAW, dalam Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun

objek akad tidak boleh bertentangan dengan syari'ah. Jika bertentangan,

akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu perikatan

yang mengandung riba atau objek perikatan yang tidak halal (seperti

11Mas'adi, op. cit., hlm 1. 76-77 dan Djamil, op. cit., hlm. 248

18

minuman keras), mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut

Hukum Islam.

3. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya

Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf).

Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang

diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan

kewajiban yang mengikat para pihak.

Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan

tasharruf. Musthafa Az-Zarqa, mendefinisikan tasharruf adalah "segala

sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara'

menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).12 Menurut

Mustafa az-Zarqa, tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu sebagai berikut:13

a. Tasharruf fi'li (perbuatan). Tasharruf fi'li adalah usaha yang dilakukan

manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus

atau mengelola tanah yang dibiarkan kosong oleh pemiliknya.

b. Tasharruf qauli (perkataan). Tasharruf qauli adalah usaha yang keluar dari

lidah manusia. Tidak semua perkataan manusia digolongkan pada suatu

akad. Ada juga perkataan yang bukan akad, tetapi merupakan suatu

perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi dalam dua bentuk, yaitu sebagai

berikut:

1) Tasharruf qauli aqdi adalah sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua

pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan

12Ibid, hlm. 77 13Ibid., hlm. 78. Lihat juga Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 25-27.

19

kabul. Pada bentuk ini, ijab dan kabul yang dilakukan para pihak ini

disebut dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan

di antara mereka.

2) Tasharruf qauli ghairu aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat

akad atau tidak ada ijab dan kabul. Perkataan ini ada yang berupa

pernyataan dan ada yang berupa perwujudan.

(a) Perkataan yang berupa pernyataan, yaitu pengadaan suatu hak atau

mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak,

pemberian hibah. Namun, ada juga yang tidak sependapat

mengenai hal ini, bahwa ikrar wakaf dan pemberian hibah

bukanlah suatu akad. Meskipun pemberian wakaf dan hibah hanya

ada pernyataan ijab saja tanpa ada pernyataan kabul, kedua

tasharruf ini tetap termasuk dalam tasharruf yang bersifat akad.

(b) Perkataan yang berupa perwujudan, yaitu dengan melakukan

penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya

akibat hukum. Sebagai contoh, gugatan, pengakuan di depan

hakim,. sumpah. Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat,

sehingga tidak dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan

hukum.

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang

harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk

20

sahnya suatu pekerjaan,"14 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan,

petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."15

Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn],

jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dan

sandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan

syarat (Arab, syarth jamaknya syara'ith) secara literal berarti pertanda,

indikasi dan memastikan. Dalam istilah para ahli hukum Islam, rukun

diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari

keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu

sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku)

berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan

yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati). Adapun

syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad

Al-Khudlari Bek, ialah: "sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan

(mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri." Yang demikian itu terjadi,

kata Al-Khudlari, karena hikmah dari ketiadaan syarat itu berakibat pula

meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum.16

Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau

tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang

merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang

menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya

14Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2002, hlm. 966. 15Ibid., hlm. 1114. 16Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004, hlm. 95

21

sesuatu itu."17 Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya

keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang

ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada."18 Perbedaan antara rukun

dan syarat menurut ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang

kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu

sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung

keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.19 Sebagai

contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat

itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal,

tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan

bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak

sah.

Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan

rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih.

Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-

'aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-'aqidain (subjek

akad) dan mahallul 'aqd (objek akad). Alasannya adalah al-'aqidain dan

mahallul 'aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum

akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda halnya

dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi'i termasuk Imam Ghazali dan

kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-'aqidain dan

17Abdul Azis Dahlan, ed.. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: Ichtiar Barn van

Hoeve, 1996, hlm. 1510 18Ibid., hlm. 1691. 19Ibid., hlm. 1692.

22

mahallul 'aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan

salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.20

Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-'aqidain,

mahallul 'aqd, dan sighat al-'aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-

Zarqa menambah maudhu'ul 'aqd (tujuan akad). la tidak menyebut keempat

hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat 'aqd (unsur-unsur

penegak akad).21 Sedangkan menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal

tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk

terbentuknya suatu akad.22

Dalam konteksnya dengan uraian di atas, bahwa dalam transaksi

ekonomi dikenal pula istilah khiyar. Kata al-khiyar dalam bahasa Arab, berarti

pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para Ulama Fiqih dalam

permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya

transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang

melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi

dimaksud.

Secara terminologis para Ulama Fiqih mendefinisikan al-khiyar

dengan: Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan

transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati

sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan

transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan,

20Mas'adi, op. cit., hlm. 79 21Ibid. hlm. 81. Lihat juga Djamil, op.cit, hlm. 252-258. 22Ash-Shiddieqy, op. cit., hal. 23. 80-86 3.

23

sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan

sebaik-baiknya, Status khiyar, menurut Ulama Fiqih, adalah disyariatkan atau

dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

Berikut dikemukakan beberapa pengertian masing-masing khiyar:

1) Khiyar al-Majlis

Yang dimaksud dengan khiyar al-majlis, yaitu hak pilih kedua

belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya

masih berada dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah

badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah

pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang di

antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.

Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat

mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual-beli

dan sewa menyewa.

Dasar hukum adanya khiyar al-majlis ini adalah Sabda Rasulullah

SAW. yang berbunyi: "Apabila dua orang melakukan akad jual-beli, maka

masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum

berpisah badan ,. ."(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn 'Umar)

Para pakar hadis menyatakan, bahwa yang dimaksudkan

Rasulullah SAW. dengan kalimat "berpisah badan" adalah setelah

melakukan akad jual-beli barang diserahkan kepada pembeli dan harga

barang diserahkan kepada penjual. Imam an-Nawawi, muhadis dan pakar

fiqih Syafi'i, mengatakan bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli

24

telah berpisah badan, seluruhnya diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan

masyarakat setempat di mana jual-beli itu berlangsung.

2) Khiyar at-Ta'yin

Yang dimaksud dengan khiyar at-ta'yin, yaitu hak pilih bagi

pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual-beli.

Contoh adalah dalam pembelian keramik, misalnya, ada yang berkualitas

super (KW 1) dan sedang (KW 2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui

secara pasti mana keramik yang super dan mana keramik yang berkualitas

sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan pakar

keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut Ulama Hanafiyah adalah

boleh. Dengan alasan, bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat

banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli,

sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak

tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka

khiyar at'ta'yin diperbolehkan.

3) Khiyar asy-Syarth

Yang dimaksud dengan khiyar asy-syarth, yaitu hak pilih yang

ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi

orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli, selama masih

dalam tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan

"saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih

antara meneruskan atau membatalkan akad selama seminggu.

25

Para Ulama Fiqih sepakat menyatakan, bahwa khiyar asy-syarth ini

dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur

penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual. Khiyar asy-syarth,

menurut mereka hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat

kedua belah pihak, seperti jual-beli, sewa menyewa, perserikatan dagang,

dan ar-rahn (jaminan utang). Untuk transaksi yang sifatnya tidak mengikat

kedua belah pihak, seperti hibah, pinjam-meminjam, perwakilan (al-

wakalah), dan wasiat, khiyar seperti ini tidak berlaku. Demikian juga

halnya dalam akad jual- beli pesanan (bai' as-salam) dan ash-sharf (valuta

asing), khiyar asy-syarth juga tidak berlaku sekalipun kedua akad itu

bersifat mengikat kedua belah pihak yang berakad, karena dalam jual beli

pesanan, diisyaratkan pihak pembeli menyerahkan seluruh harga barang

ketika akad disetujui, dan dalam akad ash-sharf diisyaratkan nilai tukar

uang yang dijualbelikan harus diserahkan dan dapat dikuasai (diterima)

masing-masing pihak setelah persetujuan dicapai dalam akad. Sedangkan

khiyar asy-syarth menentukan, bahwa baik barang maupun nilai/ harga

barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah tenggang waktu khiyar

yang disepakati itu selesai.

Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar ibn Huzail (728- 774 M), pakar

fiqih Hanafi dan Imam asy-Syafi'i (150- 204 H/767- 820 M), tenggang

waktu dalam khiyar asy-syarth tidak lebih dari tiga hari. Hal ini sejalan

dengan hadis yang berbicara tentang khiyar asy-syart, yaitu hadis tentang

kasus Habban ibn Munqiz yang melakukan penipuan dalam jual-beli,

26

sehingga para konsumen mengadu kepada Rasulullah SAW. yang ketika

itu bersabda sebagai berikut:

"Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada

penjual): Jangan ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga

hari".(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar).

Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa tenggang waktu itu

ditentukan sesuai dengan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap objek

akad. Untuk buah-buahan, khiyar tidak boleh lebih dari satu hari. Untuk

objek lainnya, seperti tanah dan rumah diperlukan waktu lebih lama.

Dengan demikian, menurut mereka, tenggang waktu amat tergantung pada

objek yang diperjualbelikan.

Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut itu:

a) Terjadi penegasan pembatalan akad atau penetapannya.

b) Berakhir batas waktu khiyar.

c) Terjadi kerusakan pada objek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi

dalam penguasaan pihak penjual, maka akadnya batal dan berakhirlah

Khiyar. Namun, apabila kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan

pembeli, maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad.

d) Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak

pembeli, baik dari segi jumlah seperti, beranak atau bertelur atau

mengembang

e) Wafatnya shahibul khiyar, ini menurut pendapat Mahzab Hanafiyah

dan Hanabilah. Sedangkan Mahzab Syafi'iyah dan Malikiyah

27

berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris

ketika shahibul khiyar berakhir.

4) Khiyar al'Aib

Yang dimaksud dengan Khiyar al'Aib, yaitu hak untuk

membatalkan atau melangsungkan jual-beli bagi kedua belah pihak yang

berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan,

dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.

Misalnya, seseorang membeli telur ayam satu kilogram, kemudian satu

butir di antaranya sudah busuk atau ketika telur dipecahkan sudah menjadi

anak ayam. Hal ini sebelumnya belum diketahui, baik oleh penjual

maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini, menurut para pakar fiqih,

ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukum khiyar al'Aib di

antaranya; adalah sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi: "Sesama muslim

itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjadi barangnya kepada

muslim lain, padahal pada barang terdapat 'aib/cacat. (HR. Ibn Majah dari

'Uqbah ibn 'Amir)

Khiyar al'Aib ini, menurut kesepakatan Ulama Fiqih, berlaku sejak

diketahuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh

ahli waris pemilik hak khiyar.

Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak objek

jual-beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang.

Tetapi, menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah seluruh cacat yang

28

menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan

daripadanya.

Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar al'-Aib, menurut para

pakar fiqih, cacat pada barang itu adalah:

a) cacat itu diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima

barang dan harga; atau cacat itu merupakan cacat lama.

b) pembeli tidak mengetahui, bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad

berlangsung.

c) ketika akad berlangsung, pemilik barang (penjual) tidak mensyaratkan,

bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan.

d) cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.

5) Khiyar ar' Ru'yah

Yang dimaksud dengan Khiyar ar-Ru'yah, yaitu hak pilih bagi

pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual-beli yang ia lakukan

terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Jumhur

ulama fiqih, yang terdiri atas Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan

Zahiriyah menyatakan, bahwa khiyar ar-Ru'yah disyariatkan dalam Islam

berdasarkan Sabda Rasulullah SAW, yang mengatakan: "Siapa yang

membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah

melihat barang itu". (HR. ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).

Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek

yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena

29

sulit dilihat, seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ar-Ru'ya, menurut

mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan ia beli.

Akan tetapi, Ulama Syafi'iyah dalam pendapat baru (Al-Mahzab

al-jadid), mengatakan bahwa jual-beli yang gaib tidak sah, baik barang itu

disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut

mereka, khiyar ar-Ru'yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung

unsur penipuan yang boleh membawa kepada perselisihan, dan hadis

Rasulullah SAW. menyatakan: Rasulullah SAW. melarang jual-beli yang

mengandung penipuan. (HR .al-Jamaah) {mayoritas pakar hadis}, kecuali

al-Bukhari.

Hadis yang dikemukakan jumhur di atas, menurut mereka, adalah

hadis dho'if (lemah), tidak boleh dijadikan dasar hukum. jumhur Ulama

mengemukakan beberapa syarat berlakunya Khiyar ar-Ru'yah, yaitu:

a) Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.

b) Obyek akad itu berupa materi, seperti tanah, rumah, dan kendaraan.

c) Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti jual-beli

dan sewa menyewa. Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, menurut

Jumhur Ulama, maka Khiyar ar-Ruyah tidak berlaku. Apabila akad ini

dibatalkan berdasarkan Khiyar ar-Ru'yah menurut Jumhur Ulama,

pembatalan harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1) hak khiyar masih berlaku bagi pembeli;

2) pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan

hanya dilakukan pada sebagian objek yang dijual belikan; dan

30

3) pembatalan itu diketahui pihak penjual.

6) Khiyar Naqad (pembayaran) pihak melakukan jual-beli dengan ketentuan, jika

pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak

menyerahkan barang, dalam batas waktu tertentu, maka pihak yang dirugikan

mempunyai hak untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya.

D. Akad Nikah Muhallil

Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata kata, zawaj. Dalam

Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah ( النكاح ( dan az-

ziwaj/az-zawj atau az-zijah الزيجه - الزواج-الزواج ( ). Secara harfiah, an-nikah

berarti al- wath'u (الوطء ), adh-dhammu ( الضم ) dan al-jam'u ( الجمع ). Al-

wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an وطأ - يطأ-وطأ ( ), artinya

berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli

dan bersetubuh atau bersenggama.23 Adh-dhammu, yang terambil dari akar

kata dhamma - yadhummu – dhamman ( ضما- يضم-ضم ) secara harfiah

berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,

menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.

Juga berarti bersikap lunak dan ramah.24

Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jama’a - yajma'u -

jam'an ,berarti: mengumpulkan, menghimpun ( ) جمعا - يجمع-جمع

menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya

23Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461. 24Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada, 2004, hlm.42-43

31

mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-

jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua

aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.25

Sebutan lain buat pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj dan az-zijah.

Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan ( - زوجا- يزوج-زاج ) yang secara

harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu

domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini ialah at-

tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju- tazwijan -زوج(

- يفعل-فعل( "dalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu- taf'ilan ) تزويجا-يزوج

,yang secara harfiah berarti menikahkan, mencampuri, menemani )تفعيال

mempergauli, menyertai dan memperistri.26 Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz

al-Malibary dalam kitabnya mengupas tentang pernikahan. Pengarang kitab

tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan

melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan. Kata

nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.27

Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah

nikah", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untuk dirinya

terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika dikatakan:

"Anak itu lahir diluar nikah", artinya bahwa anak tersebut dilahirkan oleh

25Ibid, hlm. 43. 26Ibid, hlm. 43-44. 27Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,

hlm. 72.

32

seorang wanita yang tidak berada dalam atau terikat oleh ikatan pernikahan

berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum.

Dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan;

"Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".28

Dalam konteksnya dengan pernikahan muhallil, maka yang dimaksud

dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan mantan istri yang

telah ditalak tiga kali. Menurut Ibnu Rusyd, nikah muhallil adalah nikah yang

dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah ditalaq tiga kali.29

Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya adalah

haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang

menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi

boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain

melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal

melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai

muhallallah.30

Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk

menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali

28Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

(INPRES No 1 Tahun 1991), pernikahan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

29Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 44.

30Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm.. 103.

33

kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya

sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak

boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah

menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:

تح دعمن ب حل لها فال تفإن طلقه هرجا غيوز نكحت 230:البقرة(ى( Artinya: Kemudian jika suami menalaknya (setelah talak yang kedua), maka

perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suami lain. (QS. al-Baqarah: 230).31

Yang dimaksud dengan menikah dengan laki-laki lain dalam ayat

tersebut bukan hanya sekadar melakukan akad nikah, tetapi lebih jauh telah

melakukan hubungan kelamin sebagaimana layaknya kehidupan suami istri

pada umumnya.

Suami kedua yang telah mengawini perempuan itu secara biasa dan

kemudian menceraikannya dengan cara biasa sehingga suami pertama boleh

kawin dengan mantan istrinya itu sebenarnya dapat disebut muhallil. Namun

tidak diperkatakan dalam hal ini, karena nikahnya telah berlaku secara

alamiah dan secara hukum.32

Suami yang telah menalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali

lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut

ketentuan nikah yaitu mantan istri kawin dengan suami kedua dan hidup

secara layaknya suami istri, kemudian karena suatu hal yang tidak dapat

31Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 56. 32Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 43 – 44.

34

dihindarkan suami yang kedua itu menceraikan istrinya dan habis pula

iddahnya, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat

maksudnya itu ia mencari seorang laki-laki yang akan mengawini bekas

istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syarat bahwa setelah

berlangsung akad nikah segera diceraikan sebelum sempat digaulinya. Ini

berarti kawin akal-akalan untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.

Atau sengaja melakukan nikah secara akal-akalan untuk mempercepat

berlangsungnya nikah suami pertama dengan mantan istrinya. Nikah akal-

akalan seperti inilah yang, disebut nikah tahlil dalam arti sebenarnya. Suami

kedua disebut muhallil dan suami pertama yang merekayasa nikah kedua

disebut muhallallah.33

Nikah tahlil biasanya dalam bentuk persyaratan yang dilakukan

sebelum akad atau syarat itu disebutkan dalam ucapan akad, seperti: "Saya

kawinkan engkau kepadanya sampai batas waktu engkau menggaulinya"; atau

"Saya kawinkan engkau dengan syarat setelah engkau menghalalkannya tidak

ada lagi nikah sesudah itu"; atau "saya kawinkan engkau kepadanya dengan

ketentuan setelah engkau halalkan segera menalaknya". Dalam bentuk ini

nikah tahlil nikah dengan akad bersyarat. Nikah tahlil ini tidak menyalahi

rukun yang telah ditetapkan; namun karena niat orang yang mengawini itu

tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, nikah ini dilarang oleh Nabi

dan pelakunya baik laki-laki yang menyuruh kawin (muhallallah) atau laki-

laki yang menjadi penghalal itu (muhallil) dilaknat.

33Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.

21.

35

BAB III

PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG

SAHNYA NIKAH MUHALLIL

A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karyanya

1. Latar Belakang Imam Syafi'i

Imam Syafi'i adalah imam ketiga dari empat imam madzhabi

menurut urutan kelahirannya.1 Nama lengkap Imam Syafi'i adalah

Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn

Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.2

Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150

H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman

Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al

Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun

204 H/820 M.3

Imam Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi

di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun

kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari

perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.

1Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat

Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 127. 2Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60,

"Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 355. 3Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,

Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.

36

Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan

mereka.

Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an

dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian

menghafal hadiś. Ia menerima haditsdengan jalan membaca dari atas

tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke

tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat

dipakai.4

Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri

dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.

Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari

bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di

pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam

bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat indah susunan

bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain

panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal

hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai

kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah.

Imam Syafi'i belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulama-

ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadits, sehingga ia terkenal dalam

bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu.

Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam Syafi'i

4Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV

Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.

37

bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan

yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.5

Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah al-Munawwarah ada

seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang memang pada masa itu

terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang

ilmu dan hadits. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi

sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta'’,

susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian ia

berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan

membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai ketika itu ia

memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping mempelajari al-

Muwatta'’. Imam Syafi'i mengadakan mudarasah dengan Imam Malik

dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam

Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa

dan matang.6

Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam

Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan sunnah atau

metode istinbat (ushul fiqih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya

dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada

kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu

yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi

demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul

5Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 28. 6TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT

Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481.

38

fiqih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang

ahli haditsbernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar

Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbat.7

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum

Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu disusun ketika Imam

Syafi'iberada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu

berada di Mekkah. Imam Syafi'i memberi judul bukunya dengan "al-

Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku), kemudian lebih dikenal

dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat." Dinamakan demikian,

karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada Abdurrahman bin

Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan ar-Risalah

al-Qadimah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya

termuat buah-buah pikiran: Imam Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah

sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan

bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan

al-Risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul-fiqih sepakat

menyatakan bahwa kitab ar-Risalah karya Imam Syafi'i ini merupakan

kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih

sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun

pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.8

7Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 8Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60

Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 361.

39

2. Pendidikan

Imam Syafi'i menerima fiqih dan haditsdari banyak guru yang

masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-

tempat berjauhan bersama lainnya. Imam Syafi'i menerima ilmunya dari

ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan

ulama-ulama Yaman.9

Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,

Muslim ibn Khalid al-Zanzi, Said ibn Salim al-Kaddlah, Daud ibn abd-

Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad.

Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Imam Malik ibn

Annas, Ibrahim ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad ad-

Dahrawardi, Ibrahim ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Said Ibn

Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi’ teman ibn Abi Zuwaib.10

Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf ibn

Mazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, teman Auza’in dan

Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi

gurunya ialah: Waki’ ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, dua

ulama Kuffah Ismail ibn ‘Ulaiyah dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid, dua

ulama Basrah. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu

dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya.

Dari padanyalah dipelajari fiqih Iraqi.11

9Mahmud Syalthut, op.cit. hlm. 18. 10Ibid 11TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 486-487.

40

Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H

Imam Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar dan

mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam

membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka

menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah

tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197

H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dengan demikian ia sempat

membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan

bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang

terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhabi Hanbali),

Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-

Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270

H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting

dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam Syafi'i.12

Imam Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30

Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak

orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan

makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.13

3. Karyanya

Karya-karya Imam Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas

di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i

secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama

12Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680.

13Ibid, hlm. 18.

41

dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam

berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam

Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan

al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam

delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam Syafi'i yang

berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-

Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.14

(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama

kali dikarang dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar

ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i

dalam menetapkan hukum.15 (3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra;

Mukhtasar al-Buwaithi;16 Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab

Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastra.17 Siradjuddin Abbas dalam

bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam

fiqih Imam Syafi'i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing

dari karya Imam Syafi'i tersebut.18 Ahmad Nahrawi Abd al-Salam

menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi'i adalah Musnad li al-

Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.19

14TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 15Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 16Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat

Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 17Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab",

Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110. 18Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 19Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,

Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44.

42

B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan

bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah

muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah

muhallil itu sah.20 Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan

batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah.

Menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah, hal ini sebagaimana ia

katakan dalam kitabnya al-Umm:

حدمها دون االخر أن ال وكذلك لو نكحها ونيته ونيتها أو نية أميسكها إال قدر ما يصيبها فيحللها لزوجها ثبت النكاح وسواء

21نوي ذلك الواىل معهما أونوى غريه أومل ينوه وال غريه

Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menyëtubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.

Dalam perspektif Imam Syafi'i apabila seorang suami menceraikan

istrinya dengan talak yang sudah berjumlah tiga, kemudian istri itu menikah

lagi dengan pria lain. niat keduanya untuk menghalalkan kembalinya istri itu

pada suami pertama, maka jika hanya sekedar niat tanpa diucapkan syarat itu

dalam akad nikah, maka pernikahan yang demikian dianggap halal. Yang

20Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44. 21Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.

43

penting telah melakukan layaknya hubungan suami istri, maka jika terjadi

perceraian lagi dan istri ingin menikah lagi dengan suami pertama, maka

nikahnya halal.

C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i

menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah

muhallil dengan nikah biasa.

Sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Dua

sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya

merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil

lain selain al-Qur'an dan sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi

tiga dalil disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya

merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung

oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Karena hanya sebagai alat bantu untuk

memahami al-Qur'an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai

metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode

istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil digunakan untuk Al-

Qur'an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti

ijma', qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, 'urf dan sadd az-zari'ah

tidak digunakan istilah dalil. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil

yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati,22 yang disepakati yaitu

al-Qur'an, as-sunnah, ijma, qiyas. Sedangkan yang belum disepakati yaitu

22Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007, hlm. 77-78.

44

istihsan, maslahah mursalah, istishhab, mazhab shahabi, syari'at kaum

sebelum kita.

Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i

menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah

muhallil dengan nikah biasa. Qiyas menurut bahasa Arab berarti

menyamakan, membandingkan atau mengukur.23 Menurut Hanafi, qiyas

menurut istilah, ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada

ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.24

Menurut Abd al-Wahhâb Khalâf, qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh

adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan

suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena

persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.25 Sejalan dengan itu, menurut

Abu Zahrah, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada

nashnya dalam al-Qur'an dan hadis dengan cara membandingkannya dengan

sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash atau menyamakan

sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash

hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.26

Apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus

dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk

mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus

23Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, Jiid I, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 107. 24A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 2001, hlm. 128. 25Abd al-Wahhâb Khalâf, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,

Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 66. 26Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Terj. Saefullah Ma'shum, et al, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003, hlm. 336.

45

yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada

kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada

nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum

itu ada di mana illat hukum ada.27

Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para

ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat yaitu:28

(1). Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah

ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur'an atau dalam Sunnah

Rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis 'alaih (tempat mengiyaskan

sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramnya dalam ayat:

يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر واألنصاب واألزالم رجس )90: املائدة(من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)

khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan Al-Qur'an. (QS. al-Maidah/5:90).29

Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi adalah:

a). Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada

pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan

(mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat

pemindahan hukum.

27Abd al-Wahhâb Khalâf, op.cit., hlm. 66. 28Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 132 29Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:

DEPAG RI, 1999, hlm. 179.

46

b). Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara',

bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa,

karena pembicaraan kita adalah qiyas syara'.

c). Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti

sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.

Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada

apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya

(meniadakannya), tetapi puasanya tetap ada.30

(2). Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara' yang terdapat pada ashal yang

hendak ditetapkan pada far'u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya

hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur'an.

Syarat-syarat hukum ashal, menurut Abu Zahrah, antara lain adalah:

a). Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara' yang berhubungan

dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh

adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.

b). Hukum ashal dapat ditelusuri 'illat (motivasi) hukumnya. Misalnya

hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu

diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal

pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui 'illat

hukumnya (gairu ma'qul al-ma'na), seperti masalah bilangan rakaat

shalat.

c). Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi

30Hanafie, op.cit., hlm. 129.

47

Muhammad SAW misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari

empat orang wanita sekaligus.31

(3). Adanya cabang (far'u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan

hukumnya dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma', yang hendak ditemukan

hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky. Syarat-

syaratnya, seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:

a). Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul fiqh

menetapkan bahwa: "Apabila datang nas (penjelasan hukumnya

dalam Al-Qur'an atau sunnah), qiyas menjadi batal". Artinya, jika

cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya

dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam

masalah tersebut.

b). 'Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat

pada ashal.

c). Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.32

(4). 'Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena

berdasarkan 'illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an

dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. 'Illat menurut bahasa

berarti "sesuatu yang bisa mengubah keadaan", misalnya penyakit

disebut 'illat karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena

penyakit itu.33

31Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 359. 32Hanafie, op.cit., hlm. 129. 33Satria Effendi, M. Zein, op.cit., hlm. 135.

48

Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i

menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah

muhallil dengan nikah biasa yang dapat dijelaskan sebagai berikut:.

(1) Ashal yaitu nikah biasa yaitu dipenuhinya syarat dan rukun

(2) Hukum ashal yaitu menikah itu menghalalkan hubungan suami istri

(3) Fara yang berarti nikah muhallil

(4) Illat, ada ijab qabul, ada kedua calon mempelai, ada saksi, ada wali.

Hadits nabi menurut Imam Syafi'i bersifat mengikat dan harus ditaati

sebagaimana al-Qur'an. Walaupun hadits itu adalah hadits ahad. Bagi ulama

sebelumnya, konsep hadits tidak harus disandarkan kepada nabi. Pendapat

sahabat, fatwa tabi'in serta ijma ahli Madinah dapat dimasukkan sebagai

hadits. Bagi Imam Syafi'i, pendapat sahabat dan fatwa tabi'in hanya bisa

diterima sebagai dasar hukum sekunder, dan bukan sebagai sumber primer.

Adapun hadits yang bisa diterima sebagai dasar hukum primer adalah yang

datang dari nabi.34

Dari sisi lain Imam Syafi'i juga dipandang sebagai perintis dalam

perumusan kaedah-kaedah ilmu hadits. Dalam kitab al-Risalah terdapat

banyak rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadits tersebut.

Terutama persyaratan para periwayat dan hal-hal yang berkaitan dengan

hadits-hadits yang pada lahirnya tampak bertentangan. Bahasan-bahasan

Imam Syafi'i ini masih relevan dan dapat dijadikan rujukan.

34Muhammad Ibn Idris al-Syafi'i, al-Risalah, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938,

hlm. 73-91.

49

Meskipun demikian, kitab Musnad al-Syafi'i tidaklah termasuk dalam

sembilan kitab sumber hadits standar. Para ulama menyepakati lima buah

kitab sebagai kitab sumber pokok yang dikenal dengan Kutub al-Khamsah,

yaitu: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa'i

dan Sunan at-Tirmizi.35 Ada sebuah kitab lagi yang oleh ulama dimasukkan

sebagai kitab standar dalam urutan yang keenam, namun para ulama tidak

sependapat tentang nama kitab standar yang menempati urutan keenam ini.

Menurut Ibn Tahir al-Maqdisi, kitab tersebut adalah Sunan Ibn Majah,

menurut Ibn Asir, kitab keenamnya adalah al-Muwatta', sedangkan menurut

pendapat Ibn Hajar al-Asqalani kitab keenamnya adalah Sunan al-Darimi.

Di antara ulama ada yang menambah lagi sebuah kitab hadits sebagai

kitab pokok, kitab hadits tersebut adalah kitab Musnad Ahmad bin Hanbali.36

Sehingga dengan demikian secara kumulatif dari berbagai pendapat ulama

terdapat sembilan kitab hadits sumber pokok yaitu; Sahih Bukhari, Sahib

Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan al-Nasa'i, Sunan Ibn

Majah, al-Muwatta', Sunan al-Darimi dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal.

Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi'i banyak menggunakan hadits-hadits

nabi sebagai landasan baginya dalam mengambil instinbat hukum. Sebagai

seorang ulama yang diberi gelar Nasir al-Sunnah, sudah barang tentu al-Syafi'i

telah melakukan penyaringan terhadap hadits-hadits yang ia pakai. Oleh

karenanya merupakan suatu yang menarik untuk diteliti tentang kesahihan

hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'i. Terlebih lagi kaedah-

35Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm. 104.

36M. Alfatis Suryadilaga (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 298.

50

kaedah dan dasar-dasar pensahihan dan pendaifan hadits itu sifatnya relatif.

Nilai kebenarannya lebih banyak ditentukan oleh hasil ijtihad ulama yang

bersangkutan.37 Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila hasil ijtihad

ulama hadits dalam rangka menilai suatu hadits berbeda dengan hasil ijtihad

ulama yang lain. Pengkajian ulang terhadap hadits-hadits yang terdapat kitab

al-Umm dapat dinilai positif atau mungkin negatif. Dengan pengkajian itu

mungkin saja akan ditemukan hadits-hadits yang tidak mencapai standar

hadits sahih.

Imam Syafi'i lahir di masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya

berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah wilayah-

wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang

berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang

luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki

berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam.

Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa

India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Mengingat pentingnya

pembahasan ini, maka kami akan memberikan gambaran singkat tentang

tentang kondisi pemikiran dan sosial kemasyarakatan pada masa itu.

Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki

unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan

Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat

37Ibid, hlm. 298 – 299..

51

peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari

berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-

duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya,

kedatangan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa

dan perasaannya yang dalam.

Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak

timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak

muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh

interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing

ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul

dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan

hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat

umum.38

Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap

permasalahan yang terjadi; baik permasalahan itu masuk dalam kategori

permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang

terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat

menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi.

Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan

menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian memberikan

kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu' yang berbeda.39

38Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu, Terj.

Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 85.

39Ibid, hlm. 86

52

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG NIKAH MUHALLIL

A. Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

Di dalam ketentuan hukum Islam bila seorang suami telah mentalak

isterinya tiga kali maka tidak halal bagi suami tadi untuk merujuk atau kawin

kepada isteri yang telah ditalaknya tersebut. Si suami dapat nikah kepada

isterinya ini, manakala si isteri tersebut telah kawin pula dengan laki-laki lain

dan telah pula bergaul sebagai suami isteri. Perkawinan yang kedua ini

dilaksanakan secara wajar dan tidak ada niat untuk menghalalkan bagi

suaminya yang pertama. Jelasnya pernikahan ini dilaksanakan secara wajar

dengan i'tikad dan niat yang baik, untuk membentuk rumah tangga yang

bahagia sebagaimana disyari'atkan oleh agama Islam.

Kenyataan kemudian, rumah tangga ini tidak dapat

berjalan/berlangsung sebagaimana mestinya sehingga suami menceraikan

isterinya atau suami meninggal dunia. Manakala iddah si isteri itu habis, maka

suami pertama dapat menikahi wanita ini kembali. Hal ini adalah sejalan

dengan apa yang dimaksud dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat

230:

عمن ب حل لها فال تا فإن طلقهفإن طلقه هرجا غيوز نكحت ىتح د: البقرة(فال جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله

230( Artinya: Jika ia mentalak isterinya maka tidak halal baginya kemudian

sehingga ia kawin dengan laki-laki lain. Jika kemudian

53

ditalaknya juga, maka tidaklah berdosa bagi mereka untuk kembali rujuk, jika mereka yakin akan dapat menjalankan hukum Allah. (QS.Al-Baqarah.-230).1

Imam Muslim meriwayatkan:

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعمرو الناقد واللفظ لعمرو قالا حدثنا ن عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت جاءت امرأة رفاعةسفيا

عليه وسلم فقالت كنت عند رفاعة فطلقني إلى النبي صلى الله ما معه مثل هدبة فبت طلاقي فتزوجت عبد الرحمن بن الزبري وإن

مسبب فتلى اللهالثوول الله صسأن ر ريدينفقال أت لمسه وليع رواه (ترجعي إلى رفاعة لا حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك

2)مسلم

Artinya:Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Amar dan Naqid Amr dari Sufyan dari az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah berkata: "Isteri Rifa'ah pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata : Saya dulu pernah menjadi isteri Rifa'ah kemudian saya ditalaknya. Dan talaknya kepada aku itu sudah tiga kali, lalu aku kawin dengan Abdurrahman Ibnu Zubair, tetapi sayang dia ibarat ujung kain yaitu lemah syahwat. Lalu Nabipun tersenyum seraya bersabda: Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa'ah ? Oh, tidak boleh, sebelum kamu benar-benar merasakan madu kecilnya Abdurrahman bin Zubair (bersetubuh) dan dia juga merasakan madu kecilmu." (HR. Muslim).

Berdasarkan ayat ini maka jelas suami yang telah mentalak isterinya

talak tiga boleh nikah kembali kepada bekas isterinya dengan syarat sebagai

berikut :

1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55. 2Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,

Juz. 2, Mesir: Tijariah Kubra, tt., hlm. 154.

54

1). Hendaklah isterinya itu telah nikah dengan laki-laki lain dalam suatu

pernikahan yang secara wajar dan benar, sesuai dengan syari'at agama.

2). Suami yang kedua ini telah melakukan hubungan kelamin sebagaimana

layaknya suami isteri.

Hikmah disyari'atkannya ketentuan yang demikian ini telah banyak

ditulis oleh para ulama, fuqaha dan ahli tafsir. Kalau seorang suami telah

mentalak isterinya dengan talak pertama, maka di dalam masa iddah dia dapat

merasakan bagaimana perasaan, keadaan pada waktu ia berpisah itu. Mungkin

timbul penyesalan atas talak yang dijatuhkannya itu, maka dia akan rujuk

kembali. Tetapi setelah dia rujuk mungkin karena sesuatu hal, karena marah,

oleh karena perlakuannya, maka dia ceraikan kembali. Ternyata perceraian

yang kedua ini juga tidak berguna baginya dan mungkin juga dia tidak tahan

lalu dia rujuk kembali untuk yang kedua kalinya. Tetapi di dalam perjalanan

kemudian, rumah tangganya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya,

sehingga dia terpaksa menjatuhkan talak yang ketiga kalinya. Setelah talak

yang ketiga dijatuhkan, maka di dalam syari'at Islam tidak diperkenankan

untuk rujuk kembali dan juga setelah habis masa iddahnya tidak

diperkenankan untuk kawin kembali, kecuali kalau wanita tadi telah kawin

dengan laki-laki lain seperti ketentuan tersebut di atas.

Pada umumnya laki-laki demi gairah dan kehormatannya, tidak suka

kalau isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain, kemudian dia kawin lagi

dengannya. Oleh karena itu dia harus berhati-hati untuk mentalak isterinya

sampai dengan tiga kali, sebab isteri itu akan kehilangan untuk selama-

55

lamanya baginya. Tetapi mungkin juga oleh karena satu dan lain hal, oleh

karena masalah pendidikan anak-anak masalah kerukunan keluarga, masalah

harta benda dan sebagainya, maka Islam memberikan kesempatan untuk nikah

kembali kalau isterinya tersebut telah nikah dengan orang lain dan orang lain

tersebut menikahinya secara wajar dan menceraikannya secara wajar pula.

Itulah hikmahnya disyari'atkan demikian.

Dalam kenyataan, orang banyak menyalahgunakan ketentuan ayat

dalam surat Al-Baqarah dan hadits Rifa'ah tersebut di atas yaitu ; Orang

membuat helah (ketentuan tersendiri) sehingga menyimpang dari maksud dan

tujuan syari'at agama. Itulah yang dinamakan dengan kawin tahlil. .

Ibnu Rusyd mendefinisikan kawin tahlil adalah seorang laki-laki

mengawini seorang wanita dengan tujuan agar wanita yang telah bertalak tiga

dari suami pertama dapat nikah kembali kepada suaminya yang pertama itu.3

Sayyid Sabiq mendefinisikan kawin tahlil adalah seorang laki-laki

menikahi seorang perempuan yang sudah bertalak tiga sesudah habis masa

iddahnya dan dia telah dukhul kepadanya kemudian ia mentalak wanita itu

dengan maksud agar dia dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang

pertama.4

Si muhalil atau suami kedua melaksanakan akad nikah yang demikian

ini mungkin disuruh atau diupah oleh suami pertama atau tidak. Yang menjadi

pokok masalah adalah niat dari suami kedua ini dalam melaksanakan akad

nikahnya. Kalau dia berniat pernikahannya itu adalah untuk menghalalkan

3Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. 2, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 58.

4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 134.

56

wanita itu bagi suaminya yang pertama maka itulah yang dinamakan nikah

tahlil.

Ada beberapa kelompok ulama yang menetapkan hukum nikah tahlil

ini.

1). Pendapat Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdullah Ibnu Umar

menyatakan bahwa nikah tahlil ini hukumnya tidak sah termasuk

perbuatan dosa besar dan munkar serta diharamkan oleh Allah. Pelakunya

mendapat laknat dari Allah SWT. Mereka berdasarkan pendapat ini

kepada beberapa hadits sebagai berikut;

Sabda Rasulullah saw.:

حدثنا أحمد بن يونس حدثنا زهير حدثني إسمعيل عن عامر عن ارث عهالحنضي الله عر ليع نص بيلى الله قال أن النسه وليع لم

لل لهحالملل وحالم الله ن5)رواه ابو داود(قال لع

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ahmad bin Yunus dari Zuhair dari Ismail dari Amir dari al-Haris dari Ali ra. berkata: Sesungguhnya Nabi Saw bersabda: Allah melaknati si muhallil yang kawin tahlil dan si muhallalah-nya bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil. (HR.Abu Daud).

Sabda Rasulullah saw.:

حدثنا يحيى بن عثمان بن صالح المصري حدثنا الليث بن سعد نامر قال قالعع نة بقبلى الله عول الله صسألا ر لمسه وليع

5Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, hadis No. 1520 dalam

CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

57

ركم بالتيس المستعار قالوا بلى يا رسول الله قال هو المحلل أخب لل لهحالملل وحالم الله ن6)ابن ماجه(لع

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bi Usman bin Shaleh al-Mishri dari al-Laits bin Sa'd dari Uqbah Ibnu Amir, Rasulullah saw. bersabda: Maukah kamu saya beritahu tentang kambing pinjaman atau kambing yang dipersewakan. Para sahabat menjawab : Mau wahai Rasulullah. Itulah yang namanya si muhallil maupun si muhallalahnya." (HR. Ibnu Majah).

Umar pernah berkata : Tidak didatangkan kepadaku seorang muhallil

dan tidak pula si muhallalah kecuali akan aku rajam kedua-duanya.

Ibnu Umar pernah ditanya tentang hukum nikah tahlil ini, Ibnu Umar

menjawab: Kedua-duanya adalah berbuat zina.

Dari dalil-dalil nash tersebut tegas menerangkan bahwa nikah tahlil

hukumnya batal atau tidak sah dan pelakunya mendapat laknat dari Allah

SWT. Kalau nikah kepada suami yang kedua itu hukumnya tidak sah, maka

kembalinya wanita itu kepada suami yang pertama adalah juga tidak sah/tidak

diperkenankan.

Yang menjadi ukuran dalam masalah ini, menurut pendapat

pertama ini bukanlah hanya ucapan tetapi niat dari yang bersangkutan.

Niat itulah yang dinilai dan dilihat oleh Allah SWT. Sabda Rasulullah

saw.:

أبو الطاهر أحمد بن عمرو بن سرح حدثنا ابن وهب عن حدثنيسامة وهو ابن زيد أنه سمع أبا سعيد مولى عبد الله بن عامر بن أ

6Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 1230

dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).

58

عليه رسول الله صلى اللهكريز يقول سمعت أبا هريرة يقولا قالو قصنو ادزو داوديث دح وحن فذكر لمسلا و فيه إن الله ادا زمم

إلى قلوبكم ظرني لكنو ركمولا إلى صو ادكمسإلى أج ظرني 7)رواه مسلم(وأشار بأصابعه إلى صدره

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abu ath-Thahir Ahmad bin Amr bin Sarhi dari Ibnu Wahb dari Usamah bin Zaid; sesungguhnya dia pernah mendengar Abu Sa'id, budaknya Abdullah bin Amir bin Kuraiz mengatakan: "Aku pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan: "Rasulallah saw. bersabda". Dia kemudian menuturkan seperti haditsnya Daud di atas. Cuma ada sedikit pengurangan dan penambahan. Di antara tambahannya ialah kalimat yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasad maupun bentuk-bentukmu. Akan tetapi Dia melihat pada hatimu" sambil menunjuk dada dengan jari-jarinya. (HR. Muslim).

Pendapat yang pertama ini adalah sesuai dengan pendapat Imam

Malik yang menyatakan, nikah tahlil ini adalah batal.

2). Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i menetapkan nikah ini

sah.8

Pendapat Imam Syafi'i yang mengatakan nikah ini sah kalau tidak

disyaratkan di dalam akad nikahnya itu bahwa nikah tersebut adalah agar

suaminya yang pertama dapat kembali kepada wanita itu. Nikah yang

disyaratkan sebagai usaha agar suami yang pertama dapat kembali kepada

wanita itu, kalau dia nikah kemudian mentalaknya, maka nikah yang

semacam ini menurut Imam Syafi'i tetap tidak sah hukumnya. Jadi jelas

7Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, op.cit., Juz. 4,

hlm. 11. 8 Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 58.

59

pendapat Imam Syafi'i ini hanya melihat lahir dari apa yang diucapkan.

Untuk lebih jelasnya Abdurrahman Al-Jaziri menjelaskan keempat

pendapat imam madzhab sebagai berikut:

a. Madzhab Syafi'iyah mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki

kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya

yang pertama dengan niat agar wanita itu halal kembali bagi suaminya

yang pertama maka nikahnya sah dengan syarat sebagai berikut:

(1). Akad nikahnya dilakukan sebagaimana akad nikah biasa yang sah.

(2). Tidak mengucapkan bahwa akad nikahnya itu adalah sebagai akad

nikah tahlil. Jadi nikahnya tidak bersyarat.

(3). Laki-laki yang kedua adalah telah mengerti masalah nikah,

walaupun belum dewasa.

(4). Telah melaksanakan persetubuhan secara wajar.

b. Madzhab Hanafiyah menyatakan bahwa apabila seorang laki-laki

kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga dengan maksud

agar dia halal bagi suaminya yang pertama maka nikahnya sah dengan

syarat sebagai berikut:

(1). Akad nikahnya dilakukan sebagaimana akad nikah biasa yang sah.

(2). Dia telah dukhul dengan isterinya ini sebagaimana mestinya, jadi

tidaklah halal bagi suaminya yang pertama kalau tanpa dukhul

dengan semata-mata akad saja.

(3). Dukhul yang dilakukan itu mewajibkan mandi, jadi dukhul yang

sempurna.

60

(4). Yakin benar bahwa telah dukhul pada tempat semestinya

(5). Telah dicerai dan kemudian telah habis pula masa 'iddahnya.

c. Madzhab Malikiyah menyatakan bahwa apabila seorang laki-laki

kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga dengan maksud

untuk menghalalkan wanita itu kembali bagi suaminya yang pertama,

maka akad nikahnya fasiq dan tidak boleh dukhul, tetapi nikah itu

sendiri jadi batal seluruhnya. Demikian juga kalau seseorang

mensyaratkan nikah itu nikah tahlil, maka nikahnya menjadi fasakh

tanpa talak. Demikian juga apabila dia mengikrarkan syarat tersebut

sebelum akad, maka akad nikahnya juga menjadi fasakh. sebagaimana

halnya dia mensyaratkan tahlil di dalam akad.

d. Madzhab Hanabilah (Hanbaliyah) menyatakan bahwa apabila seorang

laki-laki kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh

suaminya yang pertama, dengan maksud agar dia dapat kembali

kepada isterinya yang pertama, atau ditegaskannya betul syarat itu di

dalam akad nikah, dan telah disepakati. Umpamanya bersama isterinya

itu atau bersama walinya dan tidak pernah dicabut, maka batallah

nikah tersebut, sehingga tidak halal si isteri itu kembali kepada

suaminya yang pertama. Hal ini sesuai dengan hadits dari riwayat Ibnu

Majah yang menyatakan ; Laki-laki itu sama dengan kambing jantan

yang dipersewakan. Madzhab Hanabilah ini menyatakan, suami yang

pertama dapat kawin dengan isterinya yang sudah bertalak tiga mana

kala terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

61

(1). Akad nikah pada suami yang kedua telah dilaksanakan secara

wajar dan sah. Tidak terdapat padanya beberapa ketentuan syarat

termasuk juga tidak diniatkan untuk mentalaknya.

(2). Suami yang kedua telah dukhul dengan isterinya tersebut pada

tempat yang semestinya. Tidak cukup hanya dengan telah

diadakan akad nikah; atau telah berkhalwat atau telah mubasyarah

(bermesra-mesraan) dengan suaminya yang kedua tetapi tanpa

dukhul.

(3). Dukhul yang dilakukannya tersebut telah mengeluarkan mani

secara wajar.

(4). Pada waktu dukhul si isteri tersebut tidak berhalangan untuk

melaksanakan dukhul (artinya tidak pada saat tidak boleh di-

dukhul). Oleh karena itu tidaklah sah kalau pada waktu dukhulnya

itu si isteri tersebut dalam keadaan haid, nifas, puasa, dalam

keadaan ihram atau dukhul itu dilaksanakan di dalam masjid dan

sebagainya.

Demikianlah pendapat para imam madzhab tentang nikah tahlil ini.9

(1) Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

Menurut Imam Syafi'i nikah muhallil sah, hal ini sebagaimana ia

katakan dalam kitabnya al-Umm:

وكذلك لو نكحها ونيته ونيتها أو نية أحدمها دون االخر أن ال

9Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. 4, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 78-84

62

ميسكها إال قدر ما يصيبها فيحللها لزوجها ثبت النكاح وسواء 10نوي ذلك الواىل معهما أونوى غريه أومل ينوه وال غريه

Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menyëtubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.

Pernyataan Imam Syafi'i tersebut menunjukkan bahwa jika seorang

istri yang telah dijatuhi talaq sampai tiga, kemudian menikah lagi dengan pria

lain, dimana keduanya menikah atas dasar kehendak kedua belah pihak bukan

atas dorongan atau suruhan dari mantan suaminya, dan suami yang baru

melakukan persetubuhan sebagaimana layaknya suami istri, maka pernikahan

yang demikian adalah sah. Jika kemudian ia bercerai dengan suami barunya,

maka mantan suami pertama halal menikah lagi dengan mantan istrinya itu.

B. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

Secara bahasa, kata "istinbat" berasal dari kata istanbatha-yastanbithu-

istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau

menarik kesimpulan. Istinbat hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau

dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil

hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan sesuatu produk hukum guna

10Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.

63

menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.11 Sejalan dengan itu, kata istinbat

bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin Ali

al-Fayyumi sebagaimana dikutip Satria Effendi, M. Zein berarti upaya

menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.12

Dapat disimpulkan, istinbat adalah mengeluarkan makna-makna dari

nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan

(potensi) naluriah. Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa

(lafadziyah) dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dimaklumi

(maknawiyah). Yang berbentuk bahasa (lafadz) adalah al-Qur'an dan as-

Sunnah, dan yang bukan berbentuk bahasa seperti istihsan, maslahat,

sadduzdzariah dan sebagainya.13

Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbat) dari nash ada dua macam

pendekatan, yaitu pendekatan makna (thuruq ma'nawiyyah) dan pendekatan

lafaz (thuruq lafziyyah). Pendekatan makna (thuruq ma'nawiyyah) adalah

(istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti

menggunakan qiyas, istihsan, mashalih mursalah, zara'i dan lain sebagainya.

Sedangkan pendekatan lafaz (thuruq lafziyyah) penerapannya membutuhkan

beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan

terhadap ma'na (pengertian) dari lafaz-lafaz nash serta konotasinya dari segi

umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq

11Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986, hlm. 73.

Dapat dilihat juga dalam Abdul Fatah Idris, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2007, hlm. 5.

12Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 177. 13Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995,

hlm. 2.

64

lafzy ataukah termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan mafhum yang

diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang

membatasi ibarat-ibarat nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari

lafaz nash apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash. Sehubungan

dengan hal tersebut, para ulama ushul telah membuat metodologi khusus

dalam bab mabahits lafziyyah (pembahasan lafaz-lafaz nash).14

Imam Syafi'i menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam karya

monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-Umm

banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh sebagai pedoman dalam ber-

istinbat. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri itulah ia

membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang kemudian dikenal dengan mazhab

Syafi’i. Menurut Imam Syafi'i “ilmu itu bertingkat-tingkat”, sehingga dalam

mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai

berikut:

1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW

apabila telah tetap kesahihannya.

2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam al-

Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang

menyalahinya.

4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.

14Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971, hlm. 115-

116

65

5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.15

Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari

beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.

Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih atas dari tingkatan-

tingkatan tersebut.

Dalil atau dasar hukum Imam Syafi'i dapat ditelusuri dalam fatwa-

fatwanya baik yang bersifat qaul qadim (pendapat terdahulu) ketika di

Baghdad maupun qaul jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda

dengan mazhab lainnya, bahwa Imam Syafi'i pun menggunakan Al-Qur’an

sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fiqih, kemudian

sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji kesahihannya.16

Dalam urutan sumber hukum di atas, Imam Syafi'i meletakkan sunnah

sahihah sejajar dengan al-Qur’an pada urutan pertama, sebagai gambaran

betapa penting sunnah dalam pandangan Imam Syafi'i sebagai penjelasan

langsung dari keterangan-keterangan dalam al-Qur’an. Sumber-sumber

istidlal17 walaupun banyak namun kembali kepada dua dasar pokok yaitu: al-

Kitab dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam sebagian kitab Imam Syafi'i, dijumpai

bahwa al-Sunnah tidak semartabat dengan al-Kitab. Mengapa ada dua

pendapat Imam Syafi'i tentang ini.18

15Imam Syafi'i, al-Umm. Juz 7, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 246. 16Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 362. 17Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil. Lihat TM. Hasbi Ash

Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 588 dan 585. Menurut istilah menegakkan dalil untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma' ataupun lainnya atau menyebutkan dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma ataupun qiyas. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 214.

18Ibid., hlm. 239.

66

Imam Syafi'i menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurutnya, al-Kitab

dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua

sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-Sunnah

semartabat dengan al-Qur’an. Pandangan Imam Syafi'i sebenarnya adalah

sama dengan pandangan kebanyakan sahabat.19 Imam Syafi'i menetapkan

bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an. Namun

demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan

dari Nabi semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah semartabat

dengan al-Kitab pada saat meng-istinbat-kan hukum, tidak memberi

pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam menetapkan

aqidah. Orang yang mengingkari hadis dalam bidang aqidah, tidaklah

dikafirkan.20

Imam Syafi'i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’an dalam

mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan

cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an

hendaklah mengambil al-Qur'an. Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya

kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah

karena al-Qur'an memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai

penjelas atau ketentuan yang merinci Al-Qur'an.21.

Ijma22 menurut Imam Syafi'i adalah kesepakatan para mujtahid di

suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum

19Imam Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 32. 20Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 45. 21Ibid 22Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah

67

muslimin. Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh

mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam Syafi'i menolak ijma

penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya

sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.23

Imam Syafi'i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah SAW

dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat,

maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Imam Syafi'i berkata:24

خري من رأ ينا أل نفسنارأ يهم لنا Artinya: "Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita

sendiri untuk kita amalkan" Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam

sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya, Imam

Syafi'i melakukan ijtihad. Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan sesuatu

dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk

perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah, ijtihad

ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum

syari’at. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu

mengangkat kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW secara lebih

maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian

penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam Syafi'i

kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm, hlm. 45.

23Imam Syafi'i, al-Risalah , op. cit, hm. 534. 24Imam Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 562.

68

adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam

Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad

dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-

Sunnah”.25

Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas.

Imam Syafi'i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam

menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat

kriteria bagi istinbat-istinbat yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas,

martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.

Juga diterangkan syarat-syarat yang harus ada pada qiyas. Sesudah itu

diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbat yang

lain selain qiyas.26

Ulama usul menta'rifkan qiyas sebagai berikut:

إحلاق أمرغريمنصوص على حكمه بأمر معلوم حكمه الشتراكه 27معه ىف علة احلكم

Artinya: "Menyamakan sesuatu urusan yang tidak ditetapkan hukumnya dengan sesuatu urusan yang sudah diketahui hukumnya karena ada persamaan dalam illat hukum."

Dengan demikian Imam Syafi'i merupakan orang pertama dalam

menerangkan hakikat qiyas. Sedangkan terhadap istihsan, Syafi'i menolaknya.

Khusus mengenai istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan.

Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan

25Ibid, hm. 482. 26Ibid, hlm. 482. 27TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 257.

69

dalam kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan al-Umm. Kesimpulan yang dapat

ditarik dari uraian-uraian Imam Syafi'i ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak

bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, asar, ijma’ atau qiyas dipandang istihsan,

dan ijtihad dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.28 Jadi alasan Imam

Syafi'i menolak istihsan adalah karena kurang bisa dipertanggungjawabkan

kebenarannya.

Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam Syafi'i adalah maslahah

mursalah. Menurut Syafi’i, maslahah mursalah adalah cara menemukan

hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur’an

maupun dalam kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan

masyarakat atau kepentingan umum.29 Menurut istilah para ahli ilmu ushul

fiqh maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan di mana syari’ tidak

mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada

dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.30

Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, Imam Syafi'i

terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat

pihak lain yang diajukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya

dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak

penggunaan istihsan.31

28Ibid, hlm. 146. 29Imam Syafi'i, al-Risalah, op.cit., hlm. 479. 30Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 84. Bandingkan dengan Sobhi Mahmassani,

Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum dalam Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976, hlm.184.

31Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. VII, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 271-272.

70

Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metode eksplanasi

(menjelaskan dan mengelaborasi) dalam arti menguraikan secara panjang

lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan

prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan, hal seperti ini

tampak dalam penjelasannya mengenai persoalan pernikahan,32 misalnya

tentang thalâq sharîh ada tiga yaitu thalâq (cerai), firaq (pisah), dan sarah

(lepas), dalam konteks ini ia telah melakukan eksplanasi terhadap ruang

lingkup makna thalâq sharîh.

Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang

terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm

diantaranya adalah :

1 Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi'i dalam meriwayatkan hadis-hadis

Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam

Syafi'i.

2 Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik

gurunya.

3 Al-Radd 'Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap

mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan,

murid Abu Hanifah.

4 Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas'ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang

berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan AH Abi

Talib dan Abdullah bin Mas'ud.

32Ibid., hlm. V.

71

5 Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan

Imam Abu Yusuf.

6 Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi'i atas hadis-

hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang dicetak

tersendiri.

7 Jima' al-'llmi, berisi pembelaan Imam Syafi'i terhadap Sunnah Nabi Saw.

Analisis penulis

Menurut penulis nikah muhallil itu sah dan qiyas yang digunakan

Imam Syafi'i sudah tepat karena peran dan fungsi perkawinan itu sendiri

adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri. Persoalan adanya rekayasa

dalam nikah muhallil adalah tidak bisa dijadikan alasan yang kuat untuk

mengharamkan nikah muhallil.

Sebagaimana telah dikemukakan serbelumnya bahwa dalam perspektif

Imam Syafi'i, nikah muhallil itu sah sepanjang dalam ijab qabul pada saat

akad nikah tidak disebutkan suatu persyaratan, misalnya calon suami tidak

mengucapkan bahwa "saya mau menikah ini dengan maksud agar kamu (calon

mempelai wanita) menjadi halal bagi suamimu yang lama dan nanti saya akan

mentalaq kamu". Jika hal itu tidak diucapkan, maka nikah tersebut sah,

meskipun calon suami baru itu mempunyai niat seperti yang telah disebut.

Demikian pendapat Imam Syafi'i.

Menurut penulis, tampaknya Imam Syafi'i lebih melihat kepada aspek

zahir atau luarnya saja yaitu ucapan dianggap bisa membatalkan keabsahan

nikah muhallil, sedangkan niat tampaknya kurang dihiraukan oleh Imam

72

Syafi'i. Padahal niat itu justru yang lebih menentukan suatu perbuatan.

Meskipun calon suami mengucapkan suatu persyaratan, namun jika tidak ada

niat seperti ucapannya, dengan kata lain, berbedanya niat dengan ucapan,

maka sepatutnya ucapan dikalahkan oleh niat. Namun justru sebaliknya dalam

perspektif Imam Syafi'i "niat" bisa dikalahkan oleh "ucapan".

Bagaimana pun juga bila memperhatikan dalil-dalil tentang nikah

muhallil itu, tampaknya lebih menunjukkan pada tidak sahnya nikah tersebut,

bahkan menyebutkan ancaman rajam. Kata-kata laknat dalam hadis-hadis

menunjukkan betapa terkutuknya perbuatan yang keji itu. Oleh karena itu,

kalaupun terjadi perkawinan tersebut, status wanita itu tetap tidak halal bagi

suami yang pertama. Hal ini bila perkawinan tersebut dimaksudkan untuk

mengembalikan mantan suami kepada mantan istrinya walaupun dalam akad

tidak secara eksplisit disebutkan. Pendapat ini diikuti sebagian besar ulama,

tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan

bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas

istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah

muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa

nikah muhallil itu sah. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya

rusak dan batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami

pertama tidak sah, menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah

2. Menurut penulis nikah muhallil itu sah dan qiyas yang digunakan Imam

Syafi'i sudah tepat karena peran dan fungsi perkawinan itu sendiri adalah

untuk menghalalkan hubungan suami istri. Persoalan adanya rekayasa

dalam nikah muhallil adalah tidak bisa dijadikan alasan yang kuat untuk

mengharamkan nikah muhallil.

B. Saran-Saran

Terlepas dari pendapat Imam Syafi'i yang berbeda dengan Imam

lainnya, namun kehati-hatian dan kepiawaian Imam Syafi'i tidak disanksikan.

Atas dasar itu, pendapatnya dapat dijadikan masukan dalam merumuskan

Kompilasi Hukum Islam di masa datang.

74

C. Penutup

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat

dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti

menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam

paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada

gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca

menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004.

Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999.

Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.

Fikri, Ali, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.

Ghazi, Syekh Muhammad bin Qasim, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-lhya at-Kutub al-Arabiah, tth.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981.

Hakim, Rahmat, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.

Hanafie, A., Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 2001.

Idris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2007.

Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.

Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Zaadul Ma'ad, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.

Jazirî, Abdurrrahmân, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. 4, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972.

Khalâf, Abd al-Wahhâb, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama, 1994.

Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995.

M. Zein, Satria Effendi,, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986.

Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum dalam Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976

Malibary, Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Maliki, Syekh Muhammad Alwi, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta: Agung Lestari, 1993.

Maududi, Abul A'la, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad Rais, "Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991.

Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.

Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995.

-------, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim, Juz. 2, Mesir: Tijariah Kubra, tt.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.

Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Da'in Fazani

Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 26 Juli 1982

Alamat Asal : Sekarpetak RT/RW 05/04 No. 26 Kebonagung Kec.

Kebonagung Demak 59573

Pendidikan : - SDN Kebonagung II Demak lulus th 1994

- MTs YATPI Godong Grobogan lulus th 1999

- MAN Tambakberas Jombang lulus th 2002

- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Angkatan 2003

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk

dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

M. Da'in Fazani

BIODATA DIRI DAN ORANG TUA

Nama : M. Da'in Fazani NIM : 2103206

Alamat : Sekarpetak RT/RW 05/04 No. 26 Kebonagung Kec.

Kebonagung Demak 59573.

Nama orang tua : Bapak H. Sholeh Asy'ari dan Ibu Hj. Siti Shofiati Alamat : Sekarpetak RT/RW 05/04 No. 26 Kebonagung Kec.

Kebonagung Demak 59573.