Upload
arie-prasetyo
View
1.270
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN, TINGKAT UPAH MINIMUM KABUPATEN, DAN KESEMPATAN KERJA TERHADAP
PENGANGGURAN TERDIDIK DI KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
YOS MERIZAL
NIM. C2B 003 202
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
ABSTRAKSI
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh Jumlah tamatan pendidikan SMU (X1), Tingkat Upah Minimum Kabupaten (UMK) per bulan (X2), Kesempatan Kerja (X3) terhadap Jumlah Pengangguran Terdidik (Y) di Kabupaten Semarang.
Data yang digunakan adalah data time series berupa data sekunder dengan jangka waktu 16 (enam belas) tahun dari tahun 1991-2006. Uji analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda dengan menggunakan uji statistik parsial (uji t) dengan derajat keyakinan 95 persen. Dilakukan Uji F dan diukur dengan Uji R2 (uji determinan). Disamping itu juga dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik berupa uji multikolinearitas, autokorelasi, heterokedastisitas dan normalitas.
Hasil penelitian ini telah menggunakan hipotesis bahwa apabila jumlah tamatan SMU (X1) naik maka akan menurunkan Jumlah pengangguran terdidik (Y). Apabila tingkat UMK/Upah Minimum Kabupaten (X2) naik maka akan menurunkan Jumlah pengangguran terdidik (Y). Apabila jumlah kesempatan kerja (X3) naik maka akan menurunkan Jumlah pengangguran terdidik (Y).
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan ini adalah bahwa kenaikan tenaga terdidik akan tidak mempengaruhi kenaikan angka pengangguran terdidik Tingkat perubahan UMK tidak mempengaruhi perubahan angka pengangguran terdidik meski tidak konsisten dengan teori oleh karena itu angka pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang dipengaruhi oleh besar kecilnya UMK. Kesempatan kerja tidak mengalami peranan penting dalam mempengaruhi peningkatan atau penurunan angka pengangguran terdidik
Kata Kunci : Jumlah tamatan pendidikan SMU (X1), Tingkat Upah Minimum Kabupaten (UMK) per bulan (X2), Kesempatan Kerja (X3), Jumlah Pengangguran Terdidik (Y)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita
penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang (Lincolin Arsyad, 2001). Tujuan
utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi adalah menciptakan pertumbuhan dan
peningkatan sumber daya manusia (SDM), dimana secara potensial Indonesia
mempunyai kemampuan sumber daya manusia yang cukup untuk dikembangkan dan di
lain pihak dihadapkan dengan berbagai kendala khususnya di bidang ketenagakerjaan,
seperti perkembangan jumlah angkatan kerja yang pesat namun tidak diikuti tersedianya
lapangan pekerjaan yang cukup. Kendala lain yang merupakan kendala pokok di bidang
ketenagakerjaan yaitu, penawaran tenaga kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
kualifikasi yang dituntut oleh pasar tenaga kerja, meskipun permintaan sangat tinggi,
sehingga timbul angka pengangguran yang tinggi. Sejalan dengan pembangunan ekonomi
nasional, maka adanya kesenjangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan
kemauan berbagai sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja menjadi
kesempatan kerja masih menjadi masalah utama di bidang perekonomian. (Mudrajat
Kuncoro, 2004)
Otonomi daerah menyebabkan perencanaan tenaga kerja dan pembangunan menjadi
perhatian pemerintah daerah. Pemerintah daerah baik Kota maupun Kabupaten dalam
pembiayaan pembangunan semakin meningkat, sehingga perlu peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan. Untuk
meningkatan kualitas subser daya manusia, tamatan pendidikan, tingkat upah dan
kesempatan kerja, upaya membekali manusia dengan pengetahuan, keterampilan,
keahlian dan kesehatan yang baik agar siap untuk bekerja.
Pendidikan mencerminkan tingkat kepandaian (kualitas) atau pencapaian pendidikan
formal dari penduduk suatu negara. Semakin tingginya tamatan pendidikan seseorang
maka semakin tinggi pula kemampuan kerja (the working capacity) atau produktivitas
seseorang dalam bekerja. Pendidikan formal merupakan persyaratan teknis yang sangat
berpengaruh terhadap pencapaian kesempatan kerja. Selain itu, tingkat upah juga
memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Semakin
tinggi tingkat upah maka semakin tinggi pula kemampuan untuk meningkatkan kualitas
seseorang.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui tamatan pendidikan dan tingkat upah
diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran, dengan asumsi tersedianya lapangan
pekerjaan formal. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kualitas seseorang (tenaga kerja)
maka peluang untuk bekerja semakin luas. Pada umumnya untuk bekerja di bidang
perkotaan (white collar) atau pekerjaan yang bergengsi membutuhkan orang-orang
(tenaga kerja) berkualitas, profesional dan sehat agar mampu melaksanakan tugas-tugas
secara efetif dan efisien.
Dewasa ini di Kabupaten Semarang setiap tahun, jumlah tamatan pendidikan SMU
semakin meningkat, dan tidak diikuti tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
Jumlah tamatan SMU di Kabupaten Semarang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
TABEL 1.1
Pertumbuhan Angkatan Kerja tamatan SMU
di Kabupaten Semarang
Tahun Tamatan SMU (orang) Perubahan (%)
1991 2.380 -
1992 2.600 9,24
1993 2.735 5,19
1994 2.440 -10,79
1995 2.775 13,73
1996 3.935 41,80
1997 4.589 16,62
1998 3.966 -13,58
1999 4.762 20,07
2000 4.846 1,76
2001 4.431 -8,56
2002 4.846 9,37
2003 5.381 11,04
2004 5.483 1,90
2005 6.542 19,31
2006 7.227 10,47
Sumber : BPS Kabupaten Semarang dalam angka tahun 1991-2006
Pada Tabel 1.1 bahwa jumlah tamatan pendidikan formal khususnya SMU dan Perguruan
Tinggi setiap tahunnya rata-rata mengalami kenaikan, kecuali pada tahun 1994, 1998 dan
2001 untuk jumlah tamatan SMU serta pada tahun 1995, 2001 dan 2006 untuk jumlah
tamatan Perguruan Tinggi. Dapat dilihat bahwa di Kabupaten Semarang ini rata-rata
kenaikan jumlah tamatan SMU sebesar 7,79 setiap tahunnya. Sedangkan untuk jumlah
tamatan Perguruan Tinggi meningkat rata-rata 8,62 tiap tahunnya.
Jumlah tamatan pendidikan penduduk menggambarkan tingkat ketersediaan tenaga
terdidik atau sumber daya manusia pada daerah tersebut. Semakin tinggi tamatan
pendidikan maka semakin tinggi pula keinginan untuk bekerja. Dengan kata lain,
semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK). Dimana TPAK merupakan perbandingan antara angkatan kerja
dan penduduk usia kerja.
Tingkat upah dari setiap tenaga kerja selalu berbeda. Suatu kunci terhadap perbedaan
tingkat upah terletak pada kualitas yang sangat berbeda diantara tenaga kerja (Samuelson,
1993: 280). Perbedaan kualitas ini disebabkan oleh pembawaan mental, kemampuan
fisik, jumlah tamatan pendidikan dan pelatihan serta pengalaman. Penyebab yang paling
berpengaruh yaitu tamatan pendidikan dan pelatihan serta pengalaman seseorang. Setiap
orang berbeda dalam kemampuan dan kontribusinya bagi pendapatan yang diterima oleh
perusahaan. Semakin tinggi kualitas seseorang maka akan semakin besar kontribusinya
bagi perusahaan, sehingga upah yang diterima juga semakin besar. Tingkat upah terendah
yang diberikan oleh perusahaan adalah tingkat upah minimum. Tingkat upah minimum
merupakan tingkat upah bagi tenaga kerja yang ditentukan oleh pihak perusahaan
(Pengusaha), serikat pekerja dan pemerintah kabupaten, yang tiap tahunnya mengalami
perubahan sesuai kesepakatan. Besarnya tingkat Upah Minimum Kabupaten Semarang
(UMK) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
TABEL 1.2
Pertumbuhan Tingkat Upah Minimum Kabupaten Semarang
Tahun UMK (Rp) Perubahan (%)
1991 32.000 -
1992 40.000 25,00
1993 50.000 25,00
1994 81.000 62,00
1995 90.000 11,11
1996 102.000 13,33
1997 113.000 10,78
1998 130.000 15,04
1999 153.000 17,69
2000 185.000 20,92
2001 252.000 36,22
2002 341.800 35,63
2003 386.500 13,08
2004 430.000 11,25
2005 463.600 7,81
2006 515.000 11,09
Sumber : BPS Kabupaten Semarang dalam angka tahun 1991-2006
Berdasarkan Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa tingkat Upah Minimum Kabupaten Semarang
terus meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikan sebesar 19,75 persen. Dengan
adanya kenaikan UMK tiap tahunnya menunjukkan bahwa kebutuhan hidup manusia juga
terus mengalami peningkatan.
Beberapa tahun terakhir ini di Indonesia dilanda krisis yang berkepanjangan. Hal ini
berdampak sistem perekonomian yang semakin terpuruk, dimana akan mengakibatkan
angka pengangguran yang semakin meningkat. Untuk mengatasi hal tersebut, masyarakat
ada yang mempunyai inisiatif untuk membuat lapangan pekerjaan sendiri. Akan tetapi
untuk melaksanakan hal tersebut membutuhkan modal yang tidak sedikit, jadi tetap ada
banyak orang yang menganggur. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat masa kini
lebih memilih pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidangnya (ilmu yang diperoleh),
dengan anggapan bahwa lebih baik bekerja dari pada tidak bekerja. Berikut jumlah
kesempatan kerja di Kabupaten Semarang :
Tabel 1.3
Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Kabupaten Semarang
Tahun Kesempatan Kerja (orang) Perubahan (%)
1991 387.540 -
1992 390.098 0,66
1993 383.041 -1,81
1994 400.713 4,61
1995 407.652 1,73
1996 412.950 1,30
1997 428.007 3,65
1998 441.776 3,22
1999 428.676 -2,97
2000 413.223 -3,60
2001 446.121 7,96
2002 445.471 -0,15
2003 482.737 8,37
2004 483.208 0,10
2005 500.896 3,66
2006 501.194 0,06
Sumber : BPS Kabupaten Semarang dalam angka tahun 1991-2006
Dari Tabel 1.3 tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah kesempatan kerja rata-rata
mengalami kenaikan tiap tahunnya, kecuali pada tahun 1993, 1999, 2000 dan 2002
mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,81 persen, 2,97 persen, 3,6 persen dan
0,15 persen. Jumlah kesempatan kerja di Kabupaten Semarang ini rata-rata mengalami
kenaikan 1,67 persen tiap tahunnya.
Kemajuan perekonomian negara yang diukur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, telah
menunjukkan bahwa pengangguran tetap telah menjadi ancaman terbesar. Pengangguran
adalah perubahan struktur industri, ketidakcocokan keterampilan, ketidakcocokan
geografis, pergeseran demografis, kekakuan institusi, tidak bisa dipekerjakan dan
pengangguran karena adanya restrukturisasi kapital (Guy Standing, 1983:137).
Hampir semua ahli ekonomi menduga bahwa pengangguran banyak dipengaruhi oleh
variabel-variabel ekonomi seperti tingkat penanaman modal, tingkat permintaan dan
tingkat upah yang ada.
Sedangkan ahli sosial mempunyai dugaan bahwa disamping variabel ekonomi, terdapat
variabel-variabel non ekonomi yang menjadi perhatian diantaranya yaitu pendidikan,
dimana meliputi tamatan pendidikan dan jenis pendidikan. Hal tersebut diduga
mempengaruhi keengganan terhadap pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Pada tabel di bawah ini tertulis jumlah pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang:
Tabel 1.4
Pertumbuhan Pengangguran Terdidik di Kabupaten Semarang
Tahun Jumlah Pengangguran Terdidik (orang) Perubahan (%)
1991 2.985 -
1992 3.336 11,76
1993 3.052 -8,51
1994 2.413 -20,94
1995 2.309 -4,31
1996 2.387 3,38
1997 2.450 2,64
1998 3.997 63,14
1999 4.185 4,70
2000 5.687 35,89
2001 5.753 1,16
2002 5.908 2,69
2003 6.089 3,06
2004 6.542 7,44
2005 7.026 7,40
2006 7.143 1,67
Sumber : BPS Kabupaten Semarang dalam angka tahun 1991-2006
Pada Tabel 1.4 di atas terlihat bahwa pengangguran terdidik semakin meningkat tiap
tahunnya dimana pada tahun 1997 dan 2000 mengalami kenaikan yang sangat besar dari
tahun sebelumnya yaitu sebesar 63,14 persen dan 35,89 persen. Rata-rata kenaikan
jumlah pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang ini mencapai 6,95 persen tiap
tahunnya. Pengangguran terdidik di sini dimaksudkan yaitu tamatan SMU dan Perguruan
Tinggi yang tidak bekerja.
Tamatan pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi memberikan kontribusi yang
cukup besar pada pengangguran. Hal ini dapat dilihat pada perbandingan antara Tabel 1.1
dan 1.4 bahwa rata-rata lebih dari separuh tamatan SMU dan Perguruan Tinggi
menganggur tiap tahunnya. Untuk tamatan SMU tidak semuanya bisa mengenyam
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan tidak adanya biaya, jadi para
tamatan SMU lebih memilih untuk bekerja. Padahal kenyataan yang terjadi bahwa
lapangan pekerjaan yang tersedia tidak cukup untuk menampung mereka. Selain itu para
tamatan SMU terkadang merasa cukup tinggi tingkat pendidikannya sehingga enggan
untuk mengerjakan pekerjaan kasar, jadi mereka lebih cenderung memilih untuk
menganggur dan mencari pekerjaan yang cocok bagi dirinya. Sedangkan untuk tamatan
Perguruan Tinggi juga banyak yang menganggur dikarenakan persaingan dunia kerja
semakin ketat. Tidak semua tamatan Perguruan Tinggi bisa langsung bekerja. Sebagian
besar tamatan Perguruan Tinggi ingin bekerja sebagai ahli profesional/ahli dan tenaga
kepemimpinan. Padahal untuk mencapai hal tersebut, seorang tamatan Perguruan Tinggi
harus bekerja dari tingkat/level bawah dulu. Selain itu, ketidaksesuaian antara ilmu yang
diperoleh dengan pekerjaan yang diinginkan juga menjadi salah satu faktor penyebab
pengangguran tamatan Perguruan Tinggi. Karena itu, sebagian tamatan Perguruan Tinggi
lebih memilih untuk bekerja tidak sesuai dengan bidangnya daripada menganggur.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis ingin menganalisis masalah sumber daya manusia dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Pendidikan (X1), Upah Minimum Kabupaten (X2) dan Kesempatan Kerja (X3) terhadap Pengangguran Terdidik (Y) di Kabupaten Semarang”.
Hubungan atau pengaruh dari Variabel tersebut di ats dapat digambarkan dalam grafik 1.1 berikut ini :
Gambar 1.1
Sumber : BPS Kabupaten Semarang dalam angka tahun 1991-2006
Grafik diatas menunjukkan pertumbuhan yang menunjukkan tanda-tanda
meningkat dari tahun ke tahun.
1.2. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari semua uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan
dianalisis adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh tingkat pendidikan terhadap jumlah pengangguran
terdidik di Kabupaten Semarang.
2. Seberapa besar pengaruh tingkat UMK terhadap jumlah pengangguran terdidik di
Kabupaten Semarang.
3. Seberapa besar pengaruh jumlah kesempatan kerja terhadap pengangguran
terdidik di Kabupaten Semarang.
1.3. Batasan Masalah
Karena banyak faktor yang mempengaruhi pengangguran di Kabupaten
Semarang, maka penulis membatasi masalah yaitu dengan mengambil beberapa variabel
yang mungkin berpengaruh. Antara lain variabel yang diukur melalui tingkat pendidikan
terakhir yang dimiliki, variabel yang diukur melalui tingkat UMK per bulan yang
diterima oleh tenaga kerja serta variabel yang diukur melalui kesempatan kerja.
Penelitian ini mengambil periode analisis dibatasi yakni dari tahun 1991-2006.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk melihat seberapa besar pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap jumlah
pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang.
2. Untuk melihat seberapa besar pengaruh tingkat UMK per bulan terhadap jumlah
pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang.
3. Untuk melihat seberapa besar pengaruh kesempatan kerja terhadap jumlah
pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya maupun yang secara langsung terkait didalamnya. Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah :
1. Manfaat praktis
Berguna sebagai salah satu informasi dan atau untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh dari variabel-variabel tersebut di atas yang mempengaruhi jumlah
pengangguran terdidik terutama di Kabupaten Semarang.
1. Manfaat teoritis
Bagi peneliti diharapkan dapat menambah pengetahuan serta dapat digunakan sebagai
landasan atau pangkal tolak bagi penelitian di bidang yang sama di masa yang akan
datang.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan dan uraian skripsi ini secara menyeluruh akan menjelaskan tentang
pengaruh kualitas sumber daya manusia menurut tamatan pendidikan, tingkat upah, dan
kesempatan kerja terhadap jumlah pengangguran terdidik. Sistematika penulisan ini
dibagi dalam lima bab dengan urutan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Membicarakan tentang rancangan dari penelitian ini yang mencakup Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Memuat tentang teori-teori yang mendasar mengenai kualitas sumber daya manusia menurut tamatan SMU dan Perguruan Tinggi, tingkat upah minimum kabupaten semarang, jumlah kesempatan kerja dan jumlah pengangguran terdidik. Pada bagian ini akan dikemukakan teori Human Capital dan teori permintaan tenaga kerja.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Untuk menganalisa permasalahan tentang keadaan pengangguran terdidik di
Kabupaten Semarang maka digunakan variabel-variabel yang
mempengaruhinya yaitu disini diambil tiga variabel saja antara lain lain tamatan
pendidikan, tingkat upah dan jumlah kesempatan kerja
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam hal ini berisi seputar deskripsi obyek penelitian serta penjelasan atau
pembahasan mengenai hasil analisis data dengan metode analisis yang dipakai.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan membahas uraian mengenai kesimpulan yang telah
diperoleh dari pembahasan dan analisis terhadap permasalahan. Berdasarkan
kesimpulan maka diberikan saran guna memecahkan masalah yang ditemukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Definisi peningkatan sumber daya manusia adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menyangkut pengembangan aktifitas dalam bidang pendidikan dan latihan, peningkatan kemampuan penelitian pengembangan teknologi. Diantara unsur-unsur pengembangan sumber daya manusia di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan dan latihan merupakan unsur terpenting dalam peningkatan kualitas.
Pengembangan sumber daya manusia, dalam jangka pendek dapat diartikan sebagai pengembangan pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi kebutuhan segera tenaga-tenaga terampil yang bertujuan untuk mempermudah mereka terlibat dalam sistim sosial ekonomi di negara yang bersangkutan. Pengertian ini meletakkan manusia sebagai pelaku dan penerima pembangunan. (Effendi, 1993)
Pengembangan sumber daya manusia yaitu proses peningkatan kemampuan untuk melakukan pilihan. Pengertian ini memusatkan perhatian pada pemerataan dalam meningkatkan kemampuan melalui penciptaan kerangka keterlibatan manusia untuk mendapatkan pengahasilan dan perluasan peluang kerja (Effendi, 1993).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumber daya manusia tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan saja, tetapi juga menyangkut pemanfaatan manusia. Dengan demikian dalam pengembangan sumber daya manusia termasuk di dalamnya adalah meningkatkan partisipasi manusia melalui perluasan kesempatan untuk mendapatkan peluang kerja dan berusaha.
Pembinaan sumber daya manusia adalah usaha memperbesar kemampuan produksi seseorang atau masyarakat, baik dalam pekerjaan atau kegiatan lain yang dapat mempermudah orang atau masyarakat tersebut ditempatkan dalam pekerjaan. Menurutnya, usaha pembinaan sumber daya manusia pada waktu ini telah disetujui sebagai salah satu usah penciptaan kesempatan kerja (Suroto, 1992).
1.1.
1. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Jumlah Tamatan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan tidak hanya menambah cara-cara melaksanakan kerja yang baik dan juga dapat mengambil keputusan dalam pekerjaan atau dengan kata lain pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas akan tetapi juga merupakan landasan untuk pengembangan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana dan prasarana yang ada di sekitar kita untuk kelancaran pelaksanaan tugas. Semakin tinggi tamatan pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula kemampuan dan kesempatan untuk bekerja.
Pendidikan di Indonesia terdiri atas dua bagian, pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang dilaksanakan secara resmi dan pelajarannya berdasarkan pada kurikulum tertentu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, seperti SD, SLTP, SMU dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang dilaksanakan melalui kursus-kursus, seperti kursus bahasa Inggris, komputer, akutansi dan lain-lain. Di dalam skripsi ini, penulis lebih menitikberatkan pada pendidikan formal khususnya pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi.
Peranan pendidikan formal untuk meningkatkan keterampilan sudah diakui oleh semua negara. Pendidikan formal seperti dikatakan oleh Todaro (1978), tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi pekerja untuk kepentingan pembangunan, tetapi pendidikan formal juga bisa memberikan nilai-nilai, cita-cita, sikap dan aspirasi langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kepentingan pembangunan.
Dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa antara pendidikan dan pembangunan bangsa terdapat hubungan timbal balik. Jika kita ingin memajukan pendidikan, maka proses pembangunan harus dipercepat, sebaliknya jika kita ingin memajukan pembangunan maka harus digarap sektor pendidikan terlebih dahulu. Pembangunan pendidikan harus dilihat secara menyeluruh yaitu dari sudut peningkatan kebudayaan, sosial, politik dan ekonomi.
Dalam konsep ketenagakerjaan fungsi pendidikan memiliki dua dimensi penting yaitu dimensi kuantitatif yang meliputi kemampuan intuisi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik atau untuk mengisi lowongan kerja yang
tersedia, dan dimensi kualitatik yaitu penghasil tenaga kerja terdidik yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi tenaga kerja penggerak pembangunan. (Ananta, 1989).
Fungsi pertama sistem pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik memiliki arti penting dalam menjawab lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dan terlatih dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik meliputi jumlah dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, baik untuk usaha industri, perusahaan, maupun perkantoran.
Fungsi kedua adalah dalam menghasilkan lulusan yang dapat berfungsi sebagai tenaga penggerak pembangunan. Sesuai dengan fungsi ini, sistem pendidikan dan pelatihan harus membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga kerja yang dihasilkannya, khususnya di dalam menciptakan lapangan kerja dari sudut yang lebih luas tidak hanya terbatas pada lapangan kerja formal, tetapi juga pada lapangan kerja potensial yang dapat digali melalui kesempatan berusaha secara mandiri. Dengan konsep ini, setiap tambahan lulusan sekolah tidak seharusnya menuntut disediakannya lapangan kerja, melainkan sebaliknya harus mampu menjadi tambahan kekuatan untuk menciptakan kesempatan kerja baru.
Sistim pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam proses pembangunan nasional. Jika sistim pendidikan nasional tidak mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, bukannya tidak mungkin pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut justru diisi oleh tenaga kerja asing. Bahaya yang mungkin timbul jika mengenyampingkan aspek pendidikan adalah akan semakin banyaknya tenaga kerja asing yang menempati bidang-bidang yang tidak dapat diisi oleh tenaga kerja dalam negeri.
1.1.
1. Teori Upah dan Sistem Pengupahan
Dalam teori ekonomi pengertian upah dilihat dari dua pihak. Pertama pihak pengusaha, upah merupakan pembayaran atas jasa-jasa fisik atau mental yang disediakan oleh tenaga kerja. Kedua pihak tenaga kerja, upah merupakan imbalan jasa fisik atau mental yang diberikan pada pengusaha. Dari pengertian tersebut maka upah berperan penting dalam menentukan permintaan dan penawaran tenaga kerja.
Upah tenaga kerja dibedakan atas dua jenis, yaitu upah uang dan upah rill. Upah uang adalah jumlah uang yang diterima uang yang diterima pekerja dari para pengusaha sebagai pembayaran atas tenaga fisik/mental pekeja yang digunakan dalam proses produksi. Upah rill adalah tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan upah tersebut membeli barang/jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pekerja (Sukirno, 1994, 93). Untuk itu upah yang digunakan dalam penelitian ini adalah upah rill yang diterima oleh tenaga kerja perbulan.
Dalam pencapaian kesejahteraan tenaga kerja, upah memegang peranan yang sangat penting. Pada prinsipnya sistim pengupahan adalah mampu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya dan mencerminkan pemberian imbalan terhadap hasil kerja seseorang.
Hubungan antara inflasi dan pengangguran mulai menarik perhatian para ekonom pada akhir tahun 1950-an. A.W. Philips di dalam tulisannya dengan judul The Relation Between Unempoyment and The Rate of Change of money Wage rate in the United Kingdom, yang dimuat pada jurnal Economica edisi bulan November 1958 halaman 283-300 isinya antara lain memperkenalkan hubungan yang sistematik, maksudnya di sini bahwa terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran yang terjadi di Inggris. Studi yang dilakukan A.W Philips mengenai hubungan antara kenaikan tingkat upah dan tingkat pengangguran pada para pekerja di Inggris pada tahun 1957–1986. Hasil studi membuktikan adanya hubungan negatif antara kenaikan tingkat upah dan tingkat pengangguran sebagaimana tercermin pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.1
Hubungan antara Upah dan Pengangguran
Unemployment (pengangguran)
Sumber : Sadono Sukirno, 1999
Garis lengkung menunjukkan hubungan negatif antara persentase perubahan tingkat upah dan pengangguran yang lebih dikenal dengan sebutan Kurva Philips (Philips Curve), antara tingkat inflasi dan tingkat upah pekerja yang dibuktikan dengan kenaikan tingkat upah yang tinggi mengakibatkan menurunnya tingkat pengangguran. Sebaliknya, tingkat pengangguran yang tinggi disertai dengan menurunnya tingkat upah (pada saat upah rendah).
Hasil temuan A.W Philips selanjutnya dikembangkan di Amerika Serikat oleh Paul Samuelson dan Robert Solow dengan melakukan sedikit modifikasi. Hasil studi Paul Samuelson dan Robert Solow membuktikan adanya hubungan negatif antara laju pertumbuhan inflasi dan laju pertumbuhan pengangguran (tingkat pengangguran).
Kurva Philips membuktikan bahwa antara stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi tidak mungkin terjadi secara bersamaan karena harus ada trade off. Jika ingin mencapai kesempatan kerja yang tinggi, berarti sebagai konsekwensinya harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi.
Sistim pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan diterapkan. Sistim pengupahan di Indonesia pada umumnya berdasarkan pada tiga fungsi upah yaitu:
1. Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya
2. Mencerminkan imbalan atas hasil kerja sekarang
3. Menyediakan insentif untuk mendorong meningkatkan produktifitas kerja
Sistem penggajian di Indonesia berbeda-beda bagi pekerja, karena pada umumnya mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja.
Pangkat seseorang umumnya didasarkan pada tamatan pendidikan dan pengalaman kerja. Sistim pengupahan di Indonesia mempunyai beberapa masalah yaitu:
1. Masalah pertama bahwa pengusaha dan karyawan pada umumnya mempunyai
pengertian yang berbeda mengenai upah. Bagai pengusaha, upah dipandang
sebagai beban, karena semakin besar upah yang dibayarkan pada karyawan,
semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha. Dipihak lain, karyawan dan
keluarga biasanya menganggap upah sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk
uang.
2. Masalah kedua di bidang pengupahan berhubungan dengan keragaman sistim
pengupahan dan besarnya ketidakseragaman antara perusahaan-perusahaan.
Sehingga kesulitan sering ditemukan dalam perumusan kebijaksanaan nasional,
misalnya dalam hal menentukan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur
dan lain-lain.
3. Masalah ketiga yang dihadapi dalam bidang pengupahan dewasa ini adalah
rendahnya tingkat upah atau pendapatan masyarakat. Banyak karyawan yang
berpenghasilan rendah bahkan lebih rendah dari kebutuhan fisik minimumnya
yang menyebabkan rendahnya terhadap tingkat upah pada dasarnya dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu pertama rendahnya tingkat
kemampuan manajemen pengusaha di mana tingkat kemampuan manajemen yang
rendah menimbulkan banyak keborosan dana, sumber-sumber dan waktu yang
terbuang percuma. Akibatnya karyawan tidak dapat bekerja dengan efisien dan
biaya produksi per unit menjadi besar. Dengan demikian pengusaha tidak mampu
membayar upah yang tinggi. Penyebab kedua rendahnya produktivitas kerja
karyawan sehingga pengusaha memberikan imbalan dalam bentuk upah yang
rendah juga. Akan tetapi rendahnya produktivitas kerja ini justru dalam banyak
hal diakibatkan oleh tingkat penghasilan, kualitas sumber daya manusia yang
rendah, tingkat pendidikan, keterampilan dan keahlian yang kurang, serta nilai
gizi yang juga rendah.
Sehubungan dengan masalah-masalah tersebut diatas sebagai pemecahannya pemerintah telah mengembangkan penerapan upah minimum itu paling sedikit cukup menutupi kebutuhan hidup minimum karyawan dan keluarganya. Dengan demikian kebijaksanaan itu adalah :
(a) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
(b) Menjamin penghasilan karyawan sehingga tidak lebih rendah dari suatu tingkat tertentu.
(c) Mengembangkan dan meningkatkan perusahaan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien (Simanjuntak, 1998:133).
2.1.4 Konsep dan Pengertian Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja dapat diartikan sebagai daya serap dari penduduk yang berusia kerja dan telah masuk dalam angkatan kerja yang benar-benar telah bekerja, dinyatakan dalam bentuk jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan Employment. Istilah Employment dalam bahasa Inggris berasal dari kata To Employ yang berarti menggunakan dalam suatu proses atau mempekerjakan, usaha memberikan pekerjaan disertai sumber penghidupan.
Jadi, Employment berarti keadaan orang yang sedang mempunyai pekerjaan atau keadaan penggunaan tenaga kerja orang. Dapat dikatakan bahwa Employment
adalah kesempatan kerja yang diduduki atau jumlah orang yang mendudukinya. Kesempatan kerja dapat juga diartikan sebagai jumlah angkatan kerja yang melakukan pekerjaan paling kurang 1 jam yang dilakukan secara terus-menerus selama seminggu yang lalu, atau banyaknya lapangan pekerjaan yang dapat diciptakan dalam suatu perekonomian yang dinyatakan sebagai persentase dari jumlah angkatan kerja.
Dalam membahas kesempatan kerja sudah barang tentu tidak akan terlepas dari masalah kependudukan terutama penduduk yang termasuk kelompok berumur 10 tahun keatas sebagai kelompok penduduk usia kerja yang sampai saat ini masih dijadikan konsep dasar Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam pembangunan ekonomi nasional, Sumber daya manusia bersama-sama dengan sumber daya alam merupakan faktor komplementer terhadap modal dan teknologi. Pembangunan ekonomi yang mampu memberikan sumber penghidupan yang lebih baik, dimana orang yang ingin bekerja dapat memperoleh pekerjaan sebagai sumber penghidupannya. Dengan perkataan lain, perekonomian secara keseluruhan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, partisipasi angkatan kerja akan semakin meningkat pula.
Menurut konsep Badan Pusat Statistik (BPS 1980) dalam hal ketenagakerjaan menyebutkan bahwa penduduk yang termasuk dalam kelompok usia kerja adalah penduduk yang berumur 10 tahun keatas. Selanjutnya, menurut sumber yang sama dari kelompok penduduk yang berumur 10 tahun keatas dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja. Bagi kelompok yang bekerja dan sedang mencari pekerjaan dikelompokkan sebagai angkatan kerja, sedangkan penduduk yang sehari-harinya memiliki kegiatan terbanyak sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya dikelompokkan sebagai bukan angkatan kerja.
Simanjuntak (1998) memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kerja atau manpower mengandung dua pengertian. Yang pertama sebagian orang atau kelompok orang-orang bagian dari penduduk yang mampu bekerja. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan pengertian yang kedua yang terkandung didalamnya adalah sebagai jasa yang diberikan dalam proses produksi (labor service). Dalam hal ini tenaga kerja mencerminkan kualitas usaha yang diberikan seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa.
Di dalam Simanjuntak (1998), seseorang dikatakan sedang memiliki kegiatan bekerja bila selama satu minggu sebelum pencacahan melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan paling sedikit selama satu jam berturut-turut. Dalam konsep tersebut lebih lanjut diuraikan bahwa seseorang yang membantu melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan juga termasuk orang yang bekerja, walaupun orang tersebut tidak mendapatkan upah. Orang atau kelompok orang inilah yang termasuk ke dalam kelompok penduduk bekerja tidak selalu harus
mendapatkan penghasilan atau gaji dari pemberi kerja, tetapi hanya untuk membantu penghasilan tambahan bagi keluarganya juga termasuk kategori kelompok bekerja.
Menurut Simanjuntak (1998), kesempatan kerja dapat diartikan sebagai sejumlah orang atau kelompok orang yang sedang memiliki kegiatan bekerja. Lebih jelasnya, bahwa yang dimaksud kesempatan kerja adalah penduduk berusia 10 tahun keatas yang tertampung atau terserap di seluruh lapangan usaha. Dengan demikian yang dimaksud kesempatan kerja, sama dengan besaran/jumlah penduduk yang bekerja.
Suatu hal amat penting dalam proses pembangunan ialah semakin meluasnya kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi seharusnya membawa partisipasi aktif dalam kegiatan yang bersifat produktif oleh semua anggota masyarakat yang mampu berperan serta dalam proses ekonomi, partisipasi aktif dari masyarakat ini dapat ditunjukkan dalam pendapatan perkapita yang ada dalam suatu daerah, apakah pendapatan perkapitanya tinggi atau rendah. Kalau pendapatan perkapitanya tinggi menunjukkan tingkat kemakmuran sedangkan pendapatan perkapita yang rendah menunjukkan tingkat kemakmuran yang kurang.
1.1.
1. Pengangguran dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Pengangguran merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja yang ingin mendapatkan perkerjaan tetapi mereka belum dapat memperoleh pekerjaan tersebut (Sadono Sukirno, 1994). Sedangkan menurut Kaufman dan Hotchkiss (1999), pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam empat minggu terakhir untuk mencari pekerjaan.
Biro Pusat Statistik mendefinisikan penganggur sebagai mereka yang tidak bekerja atau mencari pekerjaan, seperti mereka yang belum bekerja yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Termasuk didalam kategori ini adalah mereka yang sudah bekerja karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusahan untuk mendapatkan pekerjaan (Biro Pusat Statistik, 1990). Usaha mencari pekerjaan ini tidak terbatas pada seminggu sebulan pencarian, jadi mereka yang berusaha mendapatkan pekerjaan dan permohonannya telah dikirim lebih satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai pencari kerja.
Untuk pengangguran terdidik digunakan batasnya yang menunjukkan mereka yang termasuk kategori menganggur menurut konsep SAKERNAS, yaitu penduduk yang berada dalam kelompok umur 15-24 tahun dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah minimal adalah SLTP, baik SLTP umum maupun SLTP kejuruan. Didalam penulisan skripsi ini, tamatan pendidikan yang penulis gunakan
adalah tamatan SMU, baik umum maupun kejuruan, serta Perguruan Tinggi yaitu Diploma I-II-III dan Strata Satu.
Menurut konsep yang digunakan Biro Pusat Statistik dalam SAKERNAS 1998, angkatan kerja yang merupakan penduduk usia kerja (10 tahun atau lebih) punya pekerjaan sementara, tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Sedangkan yang diartikan bekerja disini adalah mereka yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja sedikit satu jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu. Di dalam penulisan skripsi ini yang dimaksud dengan bekerja oleh penulis adalah tenaga kerja tamatan SMU, dan Perguruan Tinggi yang telah bekerja pada lapangan pekerjaan formal.
2.1.5.1 Jenis – Jenis Pengangguran
Menurut sebab terjadinya, pengangguran dapat digolongkan kepada tiga jenis
yaitu: (Kaufman dan Hotchkiss dalam Sadono Sukirno, 1999).
1. Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan
temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang ada.
Kesulitan temporer ini dapat berbentuk sekedar waktu yang diperlukan selama
prosedur pelamaran dan seleksi, atau terjadi karena faktor jarak atau kurangnya
informasi. Pengangguran friksional dapat pula terjadi karena kurangnya
mobilitas pencari kerja dimana lowongan pekerjaan justru terdapat bukan di
sekitar tempat tinggal si pencari kerja.
Bentuk ketiga pengangguran friksional terjadi karena pencari kerja tidak
mengetahui dimana adanya lowongan pekerjaan dan demikian juga pengusaha
tidak mengetahui dimana tersedianya tenaga-tenaga yang sesuai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengangguran friksional
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan walaupun secara teoritis jangka
waktu pengangguran tersebut dapat dipersingkat melalui penyediaan informasi
pasar kerja yang lebih lengkap.
1. Pengangguran Struktural
Pengangguran stuktural terjadi karena perubahan dalam struktur atau
komposisi perekonomian. Perubahan dalam keterampilan tenaga kerja yang
dibutuhkan sedangkan pihak pencari kerja tidak mampu menyesuikan diri
dengan keterampilan baru tersebut.
Bentuk pengangguran struktural yang lain adalah terjadinya pengurangan
pekerja akibat penggunaan alat-alat dan teknologi maju. Pengangguran sebagai
akibat perubahan struktur perekonomian pada dasarnya memerlukan tambahan
latihan untuk memperoleh keterampilan baru yang sesuai dengan permintaan
dan teknologi baru.
1. Pengangguran Siklikal
Pengangguran yang terjadi sebagai akibat dari ketidakcukupan pada
permintaan agregat untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pencari
kerja. Pengangguran siklikal ini diukur karena tidak adanya kecukupan pada
lapangan kerja yang tersedia. Pengangguran ini sangat terkait dengan perubahan
pada siklus kegiatan ekonomi.
Jenis-jenis pengangguran tersebut dikarenakan para pengangguran tidak
melakukan pekerjaan yang bersifat mencari nafkah pada waktu mereka
menganggur atau benar-benar tidak melakukan sesuatu kerja dalam keadaan
menganggur (Sadono Sukirno, 1994).
Namun ada pula jenis pengangguran yang terjadi dimana pekerja
melakukan pekerjaan untuk memperoleh pendapatan, akan tetapi pekerjaan
tersebut sifatnya tidak menambah tingkat produksi yang dicapai atau dilakukan
dalam waktu yang cukup singkat. Jenis-jenis pengangguran ini seringkali
dijumpai di negara-negara berkembang, antara lain : (Sadono Sukirno, 1994)
1. Pengangguran Tersembunyi
Pengangguran tersembunyi dapat terjadi apabila penambahan pada tenaga
kerja yang dilakukan tidak menghasilkan penambahan yang berarti pada
tingkat produksi.
1. Pengangguran Musiman
Pengangguran musiman seringkali muncul pada waktu-waktu tertentu pada
satu tahun, biasanya terjadi berkaitan dengan perubahan musim pada suatu
wilayah.
1. Pengangguran Setengah Menganggur
Pengangguran ini terjadi sebagai akibat dari adanya peningkatan jumlah
penduduk sehingga tenaga kerja yang ada akan berupaya untuk mencari
pekerjaan meskipun dengan waktu yang lebih sedikit.
2.1.5.2 Penyebab Pengangguran
Secara teori, terjadinya pengangguran disebabkan karena adanya kelebihan
penawaran tenaga kerja dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja yang ada
dipasar kerja. Menurut Kaufman dan Hotchkiss (1999), pengangguran akan muncul
dalam suatu perekonomian disebabkan oleh tiga hal :
a. Proses Mencari Kerja
Pada proses ini menyediakan penjelasan teoritis yang penting bagi pengangguran. Munculnya angkatan kerja baru akan menimbulkan persaingan yang ketat pada proses mencari kerja. Dalam proses ini terdapat hambatan dalam mencari kerja yaitu disebabkan karena adanya para pekerja yang ingin pindah ke pekerjaan lain, tidak sempurnanya informasi yang diterima para pencari kerja mengenai lapangan kerja yang tersedia, serta informasi yang tidak sempurna pada besarnya tingkat upah yang layak mereka terima dan sebagainya.
b. Kekakuan Upah
Besarnya pengangguran yang terjadi dipengaruhi juga oleh upah yang tidak fleksibel dalam pasar tenaga kerja. Penurunan pada proses produksi dalam perekonomian akan mengakibatkan pergeseran atau penurunan pada permintaan tenaga kerja. Akibatnya akan terjadi penurunan besarnya upah yang ditetapkan. Dengan adanya kekakuan upah, dalam jangka pendek, tingkat upah akan mengalami kenaikan pada tingkat upah semula. Sehingga akan menimbulkan kelebihan penawaran (excess supply) pada tenaga kerja sebagai indikasi dari adanya tingkat pengangguran akibat kekakuan upah yang terjadi.
c. Efisiensi Upah
Besarnya pengangguran juga dipengaruhi oleh efisiensi pada teori pengupahan. Efisiensi yang terjadi pada fungsi tingkat upah tersebut terjadi karena semakin tinggi perusahaan membayar upah maka akan semakin keras usaha para pekerja untuk bekerja. Hal ini justru akan memberikan konsekuensi
yang buru jika perusahaan memilih membayar lebih pada tenaga kerja yang memiliki efisiensi lebih tinggi maka akan terjadi pengangguran akibat dari persaingan yang ketat dalam mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
1.1.
1. Teori Penawaran Tenaga Kerja
Besarnya penyediaan tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Diantara mereka yang sudah aktif dalam kegiatannya menghasilkan barang atau jasa. Mereka dinamakan golongan yang bekerja. Sebagian lain tergolong yang siap bekerja atau sedang berusaha mencari pekerjaan. Mereka dinamakan pencari kerja atau penganggur. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja.
Penyediaan TK = AK = Supply TK
Dimana :
TK = Tenaga Kerja
AK = Yang Bekerja Tambah Penganggur
1.1.
1. Teori Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan suatu perusahaan atau industri terhadap tenaga kerja berbeda dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Permintaan konsumen terhadap barang dan jasa disebabkan karena adanya nilai guna. Permintaan perusahaan atau industri terhadap tenaga kerja gunanya untuk membantu memproduksi barang dan jasa untuk dijual kepada masyarakat, dengan demikian pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang diproduksinya.
Upah sebagaimana lazimnya diartikan sebagai harga dari tenaga kerja, dilihat dari pihak perusahaan upah merupakan biaya yang dikeluarkan untuk gaji buruh atau karyawan. Dilihat dari pengertian ini maka peranan upah sangat besar sekali dalam menentukan jumlah permintaaan maupun penawaran tenaga kerja (Syafruddin, 1984, 1).
GAMBAR 2.2
HUBUNGAN KESEMPATAN TENAGA KERJA DAN UPAH
Sumber : Payaman J. Simanjuntak, 1998
Dari kurva di atas terlihat bahwa kurva permintaan terhadap tenaga kerja bergerak dari kiri atas ke kanan bawah. Pada saat permintaan tingkat upah (W) tenaga kerja yang diminta berada pada titik N. Jika tingkat upah dinaikkan menjadi (W1) maka tenaga kerja yang diminta akan berkurang menjadi (A). Demikianlah pula jika tingkat upah diturunkan menjadi (W2) maka tenaga kerja akan meningkatkan permintaannya menjadi (B). Kalau kita perhatikan kurva di atas, terlihat bahwa permintaan terhadap tenaga kerja memiliki slop yang negatif, yakni bila tingkat upah meningkat maka permintaan akan tenaga kerja berkurang.
1. Kondisi dari permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja adalah dalam
full employment yaitu permintaan tenaga kerja sama dengan penawaran tenaga
kerja.
2. Faktor-faktor lain seperti teknologi dan harga adalah konstan.
Kurva permintaan tenaga kerja di atas, ditunjukkan oleh garis DD yang melukiskan besarnya nilai hasil marginal karyawan (Value Marginal Physical Product of Labor = VMPPL) untuk setiap tingkat penempatan tenaga kerja.
VMPPL = MPPL XL (3)
Dimana :
VMPPL = Value Marginal Physical Product of Labor
MPPL = Marginal Physical of Labor, tambahan hasil (output) yang diperoleh pengusaha
sehubungan dengan penambahan seorang karyawan.
P = Harga jual barang yang diproduksi per unit.
1.
1. Penelitian Terdahulu
Miki Aidiment (1999) dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia terhadap Jumlah Pengangguran Terdidik di Kabupaten Semarang”, Ia meneliti sejauh mana pengaruh kualitas sumber daya manusia dapat mempengaruhi jumlah pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang, dimana ia menekankan atau menitik beratkan penelitiannya ini pada faktor –faktor sebagai berikut : tingkat pendidikan, tingkat upah, tingkat kesehatan.
Dalam penelitiannya tersebut terbukti adanya hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat upah rill terhadap pengangguran terdidik di
Kabupaten Semarangt. Ia meneliti dengan tingkat kepercayaan 95 % R2 = 0,7542.
Evi Laura (1998), dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Kualitas Sumber
Daya Manusia terhadap Pengangguran Terdidik di Kabupaten Semarang.” Dalam
penelitiannya tersebut terbukti adanya hubungan yang signifikan antara tingkat
pendidikan, tingkat upah jumlah lapangan pekerjaan terhadap pengangguran terdidik di
Kabupaten Semarangt. Ia meneliti dengan tingkat pendidikan, tingkat upah, jumlah
lapangan pekerjaan terhadap pengangguran terdidik di Kabupaten Semarang. Ia meneliti
dengan tingkat kepercayaan 90% dan R2 = 0,76
Abdul Haris (1998), di dalam skripsinya yang berjudul “Pengangguran Pemuda
Terdidik di Kabupaten Semarang”, ia meneliti sejauh mana tingkat pertumbuhan yang
masih tinggi dan struktur umur yang masih muda serta penyebaran penduduk yang masih
tidak merata mempengaruhi tingkat pengangguran bagi para pemuda terdidik yang ada di
Kabupaten Semarang. Adapun faktor-faktor yang menjadi bahan penelitinya adalah:
jumlah penduduk, jumlah lapangan kerja yang tersedia, tingkat pendidikan, serta tingkat
upah.
Dalam penelitiannya ternyata hanya jumlah lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan saja yang signifikan mempengaruhi pengangguran sedangkan jumlah penduduk dan tingkat upah tidak signifikan dalam mempengaruhi pengangguran karena semakin banyak penduduk maka semakin sedikit tingkat upah yang tersisa sehingga semakin sedikit orang yng bekerja. Penelitian ini dilakukan dengn tingkat kepercayaan 90 % dan R = 0,988.
Benlia Susanti (1997), dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Upah dan
Jumlah Tenaga Kerja Terdidik Terhadap Produktifitas Tenaga Kerja”, ia meneliti
bagaimana pembangunan industri diarahkan untuk menuju kemandirian perekonomian
nasional, dengan cara meningkatkan kemampuan bersaing, dan menaikkan pangsa pasar
dalam dan luar negeri dengan selalu memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di
dalam skripsinya ia menuliskan juga bahwa pembangunan industri ditujukan untuk
memperkokoh struktur ekonomi nasional dengan keterkaitan yang kuat dan saling
mendukung antar sektor, meningkatkan daya tahan perekonomian nasional, memperluas
lapangan kerja dan kesempatan kerja serta mendorong berkembangnya kegiatan berbagai
sektor lainnya. Dalam penelitiannya terbukti adanya hubungan uyang signifikan antara
tingkat upah dan jumlah tenaga kerja dengan produktifitas tenaga kerja. Penelitian ini
menggunakan tingkat kepercayaan 95 % dan R2 = 0,78.
Effendi (1993), telah membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara
pengangguran dengan jumlah penduduk dimana dikatakannya bahwa manusia sebagai
penduduk adalah pelaku dan penerima pembangunan, sehingga jika jumlah penduduk
banyak sedangkan jumlah lapangan pekerjaan tetap maka penduduk tidak akan bisa
melakukan tugasnya dalam membangun sehingga terjadilah pengangguran.
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran dibuat untuk memudahkan penulis menjelaskan hasil penelitian dan
menciptakan model yang akan menjelaskan penelitian ini. Hubungan variabel bebas
terhadap variabel terikat akan dijelaskan dalam diagram atau bagan kerangka pemikiran.
Pengaruh dari variabel bebas yang terdiri dari variabel tingkat pendidikan (X1), tingkat
UMK/Upah Minimum Kabupaten (X2), dan jumlah kesempatan kerja (X3) dalam
mempengaruhi besarnya jumlah pengangguran terdidik (Y) di Kabupaten Semarang.
Model yang digunakan untuk menjelaskan dengan persamaan fungsi Y = f (X1,X2,X3).
Pengaruh dari masing-masing variabel bebas adalah negatif atau berbanding terbalik.
Lebih jelasnya dari tiap-tiap variabel bebas memiliki pengaruh terhadap variabel terikat
sebagai berikut :
1. Apabila tenaga kerja terdidik (X1) naik maka jumlah pengangguran terdidik (Y)
akan turun.
2. Apabila tingkat UMK/Upah Minimum Kabupaten (X2) naik jumlah
pengangguran terdidik(Y) akan tururn.
3. Apabila jumlah kesempatan kerja (X3) naik maka jumlah pengangguran terdidik
(Y) akan turun.
Penjelasan yang lebih rinci tersebut dapat digambarkan dalam bagan kerangka
pemikiran sebagai berikut :
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran Teoritis Pengaruh Pendidikan, Upah Minimum Kabupaten dan Kesempatan Kerja terhadap Pengangguran Terdidik di Kabupaten
Semarang
0100090000037400000002001c00000000000400000003010800050000000b0200000
000050000000c02dc05bc05040000002e0118001c000000fb02ceff000000000000900100
0000000440001254696d6573204e657720526f6d616e0000000000000000000000000000
000000040000002d0100000400000002010100050000000902000000020d000000320a2d
0000000100040000000000ba05dc05202716001c000000fb021000070000000000bc0200
0000000102022253797374656d00000000000000000000180000000100000068992200e4
040000040000002d010100030000000000
2.4 Hipotesis
Hipotesis adalah penjelasan sementara yang harus diuji kebenarannya mengenai
masalah yang sedang dipelajari. Hipotesis merupakan sarana penelitian yang penting dan
tidak dapat ditinggalkan karena merupakan instrumen kerja dari teori. Satuan hipotesis
selalu dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan yang menghubungkan antara dua
variabel atau lebih. Hipotesis yang dimaksud adalah suatu proporsi, kondisi atau prinsip
yang untuk sementara waktu dianggap benar dan mungkin tanpa keyakinan agar bisa
ditarik suatu konsekuensi yang logis, dengan cara ini kemudian diadakan pengujian
tentang kebenaran dengan menggunakan data empiris dari hasil penelitian (J. Supranto,
1993).
Berdasarkan tujuan di atas, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut :
1. Diduga adanya hubungan negatif antara tingkat pendidikan dengan jumlah
pengangguran terdidik.
2. Diduga adanya hubungan positif antara tingkat upah minimum kabupaten dan
jumlah pengangguran terdidik.
3. Diduga adanya hubungan positif antara jumlah kesempatan kerja dan jumlah
pengangguran terdidik.
4. Diduga adanya hubungan positif antara jumlah pengangguran terdidik satu
periode sebelumnya dan jumlah pengangguran terdidik.
5. Diduga adanya pengaruh secara bersama-sama antara tingkat pendidikan, tingkat
upah minimum kabupaten, dan jumlah kesempatan kerja terhadap jumlah
pengangguran terdidik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Penelitian memakai waktu selama sebelas tahun yaitu tahun 1991-2006, maka
periode yang diperhatikan untuk melihat perkembangan kualitas sumber daya manusia
dari segi pendidikan, tingkat upah minimum kabupaten (UMK), jumlah kesempatan kerja
dan jumlah penggangguran terdidik selama periode tersebut di atas. Agar penelitian ini
terarah dan tidak menimbulkan salah penafsiran, maka perlu dikemukakan defenisi
operasional variabel sebagai berikut:
3.1.1 Tingkat Pendidikan yang dimiliki tenaga kerja (X1)
Tingkat Pendidikan yang dimiliki tenaga kerja adalah tamatan pendidikan
berdasarkan jumlah tamatan pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi yang ditamatkan
oleh penduduk/individu berdasarkan reverensi waktu tertentu di Kabupaten Semarang,
satuan yang digunakan adalah orang.
3.1.2 Tingkat Upah Minimum Kabupaten Semarang (UMK) per bulan (X2)
Berdasarkan tingkat upah pekerja yang disepakati oleh pemerintah, pengusaha
dan pekerja melalui serikat pekerja yang ditentukan tiap tahun. Diambil dari data Upah
Minimum Kabupaten Semarang dalam rupiah.
3.1.3 Kesempatan Kerja (X3)
Kesempatan kerja adalah daya serap dari penduduk yang berusia kerja dan telah
masuk dalam angkatan kerja yang benar-benar telah bekerja. Satuan yang digunakan
adalah orang.
3.1.4 Jumlah Pengangguran Terdidik (Y)
Variabel terkait atau dependent variabel adalah merupakan jumlah pengangguran
terdidik, jumlah pencari kerja yang menamatkan pendidikan formal. Disini tingkat
pencari kerja formal yang penulis gunakan adalah SMU dan Perguruan Tinggi. Satuan
yang digunakan adalah orang.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan di dalam skripsi ini adalah jenis data sekunder yang
berbentuk time series dengan jangka waktu enam belas tahun (1991-2006). Data-data
tersebut meliputi : jumlah tamatan pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi di Kabupaten
Semarang, tingkat upah minimum kabupaten yang diterima oleh tenaga kerja, jumlah
kesempatan kerja, dan pengangguran berdasarkan pengangguran terdidik di Kabupaten
Semarang.
Sumber data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah.
Data yang digunakan penulis juga bersumber dari makalah seminar, hasil penelitian
sebelumnya dan buku-buku literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Riset Kepustakaan (Library Research)
Pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini
melalui literatur atau referensi kepustakaan. Seperti : perpustakaan Universitas
Diponegoro, Biro Pusat Statistik Jawa Tengah serta berbagai sumber penerbitan seperti
buku-buku ekonomi yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
1. Riset Lapangan (Field Research)
Pengumpulan data dan informasi secara langsung diperoleh melalui instansi dan
lembaga yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan oleh penulis untuk menerangkan kerangka dasar
perhitungan hubungan antara peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan jumlah
pengangguran terdidik didasarkan analisa regresi berganda. Untuk menyederhanakan
perhitungan dengan menggunakan metode ekonometrika, maka variabel terikat
merupakan jumlah pengangguran terdidik dengan lambang Y. Variabel bebas adalah
Tingkat Pendidikan (X1), Tingkat Upah Minimum Kabupaten / UMK (X2), Jumlah
Kesempatan Kerja (X3). Selanjutnya akan di analisis dengan cara sebagai berikut :
1.1.
1. Metode Analisis Regresi
Analisis ini digunakan untuk membahas pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen. Fungsi persamaan yang ditulis oleh penulis terdahulu Miki Aidiment
adalah sebagai berikut (Supranto, 1983) :
Y = f (X1, X2, X3) (3.1)
Dengan model dobel log dengan model distribusion lag persamaan sebagai
berikut :
(3.2)
dimana :
Y = Jumlah Pengangguran Terdidik pada tahun tertentu.
= Konstanta
X1 = Tingkat Pendidikan Pada Tahun Tertentu.
X2 = UMK/bulan pada tahun tertentu.
X3 = Jumlah Kesempatan Kerja pada tahun tertentu.
Yt-1 = Jumlah Pengangguran Terdidik pada tahun sebelumnya.
, , = Koefisien Regresi
u = Disturbance Error
Ditribusion lags ini dilakukan kerena adanya faktor autokorelasi dalam jangka panjang,
sehingga dilakukan model autoregresif.
1.1.
1. Metode Pengujian Statistik
Pengujian hipotesis ini disebut juga dengan pengujian signifikansi yang bertujuan
untuk melihat pengaruh variabel independen dengan variabel dependen, dengan cara
melakukan analisis regresi linier berganda kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS).
Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut :
1.1.
1. Pengujian t (t-test)
Yaitu untuk menguji hubungan regresi secara terpisah. Pengujian dilakukan untuk
melihat keberartian dari masing-masing variabel secara terpisah (parsial) terhadap
variabel dependen dengan ketentuan hipotesis sebagai berikut (Damodar
Gujarati,1999:144) :
ttes = ………………………………………………(3.4)
Dimana :
t = nilai t yang dihitung β = Elastisitas variabel ke (i)
Se = standar error
Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai-nilai t-hitung yang didapat dari
tabel coefficient dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (=0,05) dan derajat kebebasan
atau degree of freedom (df) sebesar (n-k) dengan ketentuan pengambilan keputusan
sebagai berikut :
Jika t-hitung < t-tabel maka H0 diterima dan Ha ditolak (tidak signifikan).
Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima.(signifikan).
1.1.
1. Pengujian F (F-test)
Yaitu pengujian yang dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-
tabel. Pengujian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya pengaruh seluruh variabel
bebas terhadap variabel terikat atau pengujian secara serentak.
Nilai F-test atau F-hitung diperoleh dengan menggunakan model sebagai berikut
(Damodar Gujarati, 1999:120) :
Ftest = …………………………………….(3.5)
Dimana :
F = nilai F yang dihitung
R2 = koefisien determinasi
k = jumlah variabel
n = jumlah tahun pengamatan
Nilai F-hitung yang dihasilkan dari perhitungan tersebut di atas (berdasarkan tabel
ANOVA) dengan tingkat kesalahan sebesar 5 persen dan derajat kebebasan atau degree
of freedom (df) sebesar (n-k), (k-1); df1 = (k-1), df2 =(n-k) dengan ketentuan pengambilan
keputusan sebagai berikut :
Jika F-hitung < F-tabel maka hipotesa nol (H0) diterima dan hipotesa alternatif
(Ha) ditolak berarti variabel bebas tidak mempunyai pengaruh atau tidak
signifikan terhadap variabel terikat.
Jika F-hitung > F-tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti variabel
bebas mempunyai pengaruh dan signifikan terhadap variabel terikat.
1.1.
1. Pengujian R2
Pengujian R2 atau koefisien determinasi berguna untuk melihat seberapa besar
proporsi sumbangan seluruh variabel bebas terhadap naik turunnya nilai variabel tidak
bebas, yang dilihat dari tabel Model Summary.
Nilai R2 diperoleh dengan menggunakan model sebagai berikut (Damodar
Gujarati, 1999:199) :
R2 = ……………………..(3.6)
Hasil pengujian koefisien determinasi mencerminkan pengukuran :
1. Merupakan ketetapan suatu garis regresi yang ditetapkan terhadap sekelompok
data hasil observasi (goodness of fit), dimana makin besar nilai R2 makin baik
hasil suatu garis regresi, dan sebaliknya makin kecil nilai R2 makin buruk hasil
garis regresi. Nilai R2 adalah 0 < R2 <1. jika R2 = 0 atau mendekati nol, maka
antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas tidak saling berhubungan, dan
sebaliknya apabila R2 = 1 atau mendekati satu, maka variabel bebas dan variabel
tidak bebasnya berhubungan sempurna.
2. Merupakan pengukuran besarnya proporsi (persentase) dari jumlah variasi dari
variabel tidak bebas yang diterangkan oleh model regresi atau mengukur besarnya
sumbangan dari variabel bebas terhadap naik turunnya variabel tidak bebas
tersebut. Oleh karena, dalam penelitian ini jumlah variabel independen lebih dari
dua, maka digunakan Adjusted R2 .
1.1. Uji Asumsi Klasik ( Second Order Test )
Persamaan yang diperoleh dari sebuah estimasi dapat dioperasikan secara statistik
jika memenuhi asumsi klasik, yaitu memenuhi asumsi bebas multikolinearitas,
heteroskedastisitas, dan autokorelasi.
3.5.1 Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti ada hubungan linear yang sempurna atau pasti, diantara
beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi( Gujarati, 1995 ).
Untuk mendeteksi adanya masalah ini dapat dilihat :
1. Besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance.
Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah:
1. Mempunyai nilai VIF di sekitar angka 1 atau diatas 0,1.
2. Mempunyai angka tolerance mendekati 1 atau dibawah 10.
1. Besaran korelasi antar variabel independen.
Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah:
Koefisien korelasi antar variabel independen haruslah lemah (di bawah 0,5). Jika
korelasi kuat maka terjadi problem multikolinearitas. (Singgih Santoso, 2000: 206-
207)
3.5.2 Uji Heteroskedastisitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah kesalahan pengganggu merupakan
varians yang sama atau tidak. Untuk mendeteksi adanya Heteroskedastisitas, yaitu
dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik Scatterplot, di mana sumbu X
adalah Y yang terprediksi, dan sumbu Y adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya).
Dasar pengambilan keputusan:
1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik (point-point) yang ada membentuk suatu
pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka
telah terjadi Heteroskedastisitas.
1. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah
angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi Heteroskedastisitas. (Singgih Santoso,
2000: 210).
3.5.3 Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antara anggota–anggota serangkaian observasi yang
diurutkan berdasarkan waktu dan ruang (Gujarati, 1995). Konsekuensi adanya
autokorelasi diantaranya adalah selang keyakinan menjadi lebar serta variasi dan standar
error ditaksir terlalu rendah. Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi dalam regresi
dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW).
Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah dalam suatu model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan-kesalahan pengganggu periode t dengan kesalahan t-
1. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada masalah autokorelasi. Autokorelasi muncul
karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu dengan yang lain. Uji
Autokorelasi dengan melakukan Durbin Watson test dengan berbagai macam syarat
dimana tidak terjadi autokorelasi bila :
1. 0 < dw < dL tidak terjadi autokorelasi positif.
2. dL < dw < dU tidak ada autokorelasi positif
3. 4 – dL < dw < 4 tidak ada autokorelasi negatif
4. 4 – dL < dw < 4 – dL tidak ada negatif autokorelasi
5. dU < dw < 4 – dU tidak ada positif atau negatif autokorelasi.
Apabila terjadi autokorelasi maka dilakukan regres ulang dengan memasukkan
unsur autoregresi dari variabel independen dalam model.
Durbin – Watson d test dapat dirumuskan sebagai berikut :
……………………………………………………… (3.7)
Dengan menyederhanakan rasio dari selisih jumlah kuadrat residual. d adalah
durbin watson hitung.. υ adalah residual atau distrurbance error.
Menurut Singgih Santoso (2000), jika angka DW berkisar antara -2 sampai +2
maka koefisien regresi bebas dari gangguan autokorelasi. Sedangkan jika angka DW
dibawah -2 berarti terdapat autokorelasi positif dan jika angka DW diatas +2 berarti
terdapat autokorelasi.
3.5.4 Uji Normalitas
Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi, variabel
dependen, variabel independen atau keduanya mempunyai distribusi normal ataukah
tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal.
Untuk mendeteksi adanya Normalitas adalah dengan melihat penyebaran data (titik) pada
sumbu diagonal dari grafik Normal Proablity Plot.
Dasar pengambilan keputusan :
1. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal,
maka model regresi memenuhi asumsi Normalitas.
2. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis
diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi Normalitas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengangguran
Terdidik
4.1.1 Perkembangan Jumlah Tamatan Pendidikan
Pembentukan watak bangsa disegala bidang, khususnya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam pembangunan ekonomi dan merupakan salah satu
usaha, yang terarah untuk mencapai kualitas bangsa yang tinggi, pada dasarnya
adalah melalui proses pendidikan. Hal ini tercermin pada tujuan pendidikan nasional
yakni untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan
dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
memperketat semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (GBHN RI, 1983 –
1988).
Jumlah tamatan pendidikan dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur
kualitas angkatan kerja. Secara umum telah terjadi peningkatan angkatan kerja di
Kabupaten Semarang menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan yang
digambarkan melalui tabel 4.1 berikut :
Tabel 4.1
Pertumbuhan Angkatan Kerja Kabupaten Semarang
menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
pada tahun 1991 – 2006
Tahun Tamat SMU (orang)
Pertumbuhan (%)
TamatPerguruan Tinggi (orang)
Pertumbuhan (%)
1991 2380 1131 -
1992 2600 9,24 1294 14,41
1993 2735 5,19 1548 19,63
1994 2440 -10,79 1683 8,72
1995 2775 13,73 1667 -0,95
1996 3935 41,80 2053 23,16
1997 4589 16,62 2316 12,81
1998 3966 -13,58 2926 26,34
1999 4762 20,07 3034 3,69
2000 4846 1,76 3403 12,16
2001 4431 -8,56 3233 -5,00
2002 4846 9,37 3810 17,85
2003 5381 11,04 3951 3,70
2004 5483 1,90 3984 0,84
2005 6542 19,31 4128 3,61
2006 7227 10,47 4002 -3,05
Sumber : BPS, Kabupaten Semarang Dalam Angka Tahun 1991 – 2006
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa proporsi angkatan kerja yang menamatkan
SMU dari tahun 1991 sampai dengan 2006 tidak selalu naik dan tidak pula selalu
turun. Pertumbuhan rata-rata pertahun 8,51 persen artinya orang yang menamatkan
pendidikan SMU naik 8,51 persen setiap tahunnya. Jumlah lulusan SMU rata-rata
adalah 4308 orang tian tahun. Dari Tabel 4.1 diatas juga dapat kita lihat bahwa
pertumbuhan rata-rata per tahun angkatan kerja yang menamatkan SMU yang paling
banyak pertambahannya adalah pada tahun 2006 yaitu sebesar 7227 orang.
Pertumbuhan tertinggi adalah tahun 1996 dengan jumlah pertumbuhan 41,80 persen.
Pada tahun 1998 pertumbuhan turun 13,58 persen, merupakan pertumbuhan yang
terendah. Proporsi angkatan kerja yang menamatkan Perguruan Tinggi dari tahun
1991 sampai dengan 2006 tidak selalu naik dan tidak pula selalu turun. Pertumbuhan
rata-rata pertahun 9,19 persen artinya orang yang menamatkan Perguruan Tinggi
naik 9,19 persen setiap tahunnya. Jumlah lulusan Perguruan Tinggi rata-rata adalah
2760 orang tiap tahun. Pertumbuhan rata-rata per tahun angkatan kerja yang
menamatkan Perguruan Tinggi yang paling banyak pertambahannya adalah pada
tahun 2005 yaitu sebesar 4128 orang. Pertumbuhan tertinggi adalah tahun 1998
dengan jumlah pertumbuhan 26,34 persen. Pada tahun 2001 pertumbuhan turun 5,00
persen, merupakan pertumbuhan yang terendah. Berdasarkan data ini maka secara
umum dapat dinyatakan bahwa jumlah tamatan pendidikan yang ditamatkan oleh
angkatan kerja di Kabupaten Semarang selalu mengalami peningkatan dan
penurunan baik jumlah tamatan pendidikan SMU maupun tamatan Perguruan Tinggi.
Jumlah tamatan pendidikan penduduk menggambarkan tingkat ketersediaan tenaga
terdidik atau sumber daya manusia pada daerah tersebut. Semakin tinggi jumlah
tamatan pendidikan angkatan kerja maka semakin tinggi pula keinginan untuk
bekerja, dengan kata lain semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi
pula tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK) adalah perbandingan antara angkatan kerja dan penduduk usia kerja.
4.1.2 Perbedaan Tingkat Upah Menurut Jumlah Tamatan Pendidikan
Tingkat upah dari setiap tenaga kerja selalu berbeda. Suatu kunci terhadap perbedaan
upah terletak pada kualitas yang sangat berbeda di antara tenaga kerja (Samuelson,
1993; 280). Perbedaan kualitas ini disebabkan oleh pembawaan mental, kemampuan
fisik, jumlah tamatan pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman. Penyebab yang
paling berpengaruh adalah tamatan pendidikan dan pelatihan serta pengalaman
seseorang. Setiap petugas kepegawaian tahu bahwa setiap orang berbeda dalam
kemampuan dan kontribusinya bagi pendapatan yang diterima oleh perusahaan.
Semakin tinggi kualitas seseorang maka semakin besar kontribusinya terhadap
perusahaan, maka tingkat upah yang diterimanya akan semakin besar.
Di Kabupaten Semarang tingkat upah yang diterima oleh seseorang juga disebabkan
oleh perbedaan jumlah tamatan pendidikan yang ditamatkannya. Hal ini dapat dilihat
pada tabel 4.2 di bawah ini :
Tabel 4.2
Tingkat Upah Minimum Kabupaten Semarang
tahun 1991 – 2006
Tahun UMK (Rp) Pertumbuhan (%)
1991 32000
1992 40000 25,00
1993 50000 25,00
1994 81000 62,00
1995 90000 11,11
1996 102000 13,33
1997 113000 10,78
1998 130000 15,04
1999 153000 17,69
2000 185000 20,92
2001 252000 36,22
2002 341800 35,63
2003 386500 13,08
2004 430000 11,25
2005 463600 7,81
2006 515000 11,09
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Semarang, 1991 – 2006
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tahun 2006 adalah merupakan tingkat
upah minimum kabupaten (UMK) yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 515.000
sedangkan pada tahun sebelumnya 2005 adalah sebesar Rp 463.600 yang mana
berarti penambahannya adalah sebesar 11,09 persen. Sedangkan kalau kita lihat
pertambahan tingkat upah riil tiap tahunnya bertambah rata-rata sebesar 21,06
persen.
4.1.3 Pengaruh Kesempatan Kerja Terhadap Jumlah Pengangguran Terdidik
Di Kabupaten Semarang masih banyak pencari kerja yang belum bekerja karena
pendidikan yang ia miliki tidak sesuai dengan apa yang diperlukan saat ini.
Oleh karena itu banyak orang yang bekerja tidak pada bidangnya masing-masing,
mereka menganggap daripada tidak bekerja lebih baik bekerja. Karena sesuatu yang
kita kerjakan lama kelamaan tidak akan menguasai pekerjaan itu.
Dari tabel 4.3 di bawah ini dapat dilihat bahwa pencari kerja sangat banyak, tetapi
pada setiap tahunnya mengalami pertambahan dan juga penurunan. Tabel 4.3 di
bawah ini akan memperlihatkan terjadinya pertambahan dan penurunan terhadap
pencari kerja, sebagai berikut :
Tabel 4.3
Jumlah Kesempatan Kerja Kabupaten Semarang
tahun 1991 – 2006
TahunKesempatan
Kerja (orang)(X3)
Pertumbuhan (%)
1991 387540
1992 390098 0,66
1993 383041 -1,81
1994 400713 4,61
1995 407652 1,73
1996 412950 1,30
1997 428007 3,65
1998 441776 3,22
1999 428676 -2,97
2000 413223 -3,60
2001 446121 7,96
2002 445471 -0,15
2003 482737 8,37
2004 483208 0,10
2005 500896 3,66
2006 501194 0,06
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Semarang, 1991 – 2006
Dari Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa kesempatan kerja dari tahun 1996-2006
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,78 persen setiap tahunnya. Namun jika
kita lihat pertambahan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 8,37
persen..
Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat bahwa dengan banyaknya pencari kerja, namun
lapangan pekerjaan yang tersedia belum tentu bisa menempatkan para pencari kerja
tersebut sesuai dengan jumlah tamatan pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing
pencari kerja tersebut, sehingga masih banyak yang menganggur. Oleh karena itu
diharapkan pada pencari kerja yang masih menganggur hendaknya mampu
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sesuai dengan ilmu pengetahuan yang telah
didapat.
4.1.4 Pengaruh Jumlah Tamatan Pendidikan Terhadap Jumlah Pengangguran
Terdidik
Kemajuan perekonomian negara yang diukur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
(GDP) telah menunjukkan bahwa pengangguran tetap, menjadi ancaman terbesar.
Hal ini pernah diduga oleh Standing (1978; 124) bahwa sebab dari pengangguran
adalah perubahan struktur industri, ketidakcocokan keterampilan, ketidakcocokan
geografis, pergeseran demografis, kekakuan institusi, tidak bisa dipekerjakan, dan
pengangguran oleh adanya restrukturalisasi kapital (Guy Standing, 1983; 137).
Hampir sama semua ahli ekonomi menduga bahwa pengangguran banyak
dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi seperti tingkat penanaman modal,
tingkat permintaan, dan tingkat upah yang ada. Sedangkan ahli sosial mempunyai
dugaan bahwa disamping variabel-variabel ekonomi, ada variabel-variabel sosial
yang mempengaruhi tingkat pengangguran.salah satu variabel non ekonomi yang
menjadi perhatian ahli sosial adalah pendidikan. Jumlah tamatan pendidikan atau
jenis pendidikan diduga bisa mempengaruhi keengganan terhadap pekerjaan –
pekerjaan tertentu.
Tabel 4.4 menunjukkan jumlah pengangguran selama periode 1991 – 2006 jumlah
pengangguran terdidik yang terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 7143.
Terjadi kenaikan terbesar pada tahun 1998 sebesar 63,14 persen.
Tabel 4.4 :
Jumlah Pengangguran Terdidik Kabupaten Semarang
tahun 1991 – 2006
Tahun Jumlah Pengangguran Terdidik (orang)(Y)
Pertumbuhan (%)
1991 2895
1992 3336 15,23
1993 3052 -8,51
1994 2413 -20,94
1995 2309 -4,31
1996 2387 3,38
1997 2450 2,64
1998 3997 63,14
1999 4185 4,70
2000 5687 35,89
2001 5753 1,16
2002 5908 2,69
2003 6089 3,06
2004 6542 7,44
2005 7026 7,40
2006 7143 1,67
Rata2 4448,25 7,64
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Semarang, 1991 – 2006
Pendidikan SMU memberikan kontribusi maksimum terhadap pengangguran, karena
pada tamatan SMU inilah masalah angkatan kerja muncul. Sulitnya tamatan SMU
untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi menyebabkan mereka mencari pekerjaan
padahal lapangan kerja tidak tersedia secara luas untuk menampung mereka. Ada
kemungkinan lain dari tingginya jumlah pengangguran tamatan SMU yaitu bahwa
para tamatan SMU merasa cukup tinggi tingkat pendidikannya, sehingga enggan
mengerjakan pekerjaan kasar, mereka cenderung memilih untuk menganggur dan
selalu mencari pekerjaan yang cocok bagi dirinya.
Gejala umum yang terjadi adalah bahwa jumlah pengangguran pada tamatan SMU
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran pada tamatan Perguruan
Tinggi. Berdasarkan gambaran dari tabel 4.4 tampak bahwa ada pengaruh tingkat
pendidikan terhadap jumlah pengangguran.
Dari data dalam tabel 4.4 terlihat pengangguran tamatan Perguruan Tinggi juga
tinggi. Ini disebabkan karena tamatan Perguruan Tinggi memilih jenis pekerjaan
dengan profesional atau ahli, tenaga administrasi, dan tenaga kepemimpinan dan tata
laksana. Tampaknya hal ini merupakan sesuatu hal yang logis, karena pendidikan di
negara kita mengarah ke modernisasi. Adapun penyebab lain dari tingginya jumlah
pengangguran bagi tamatan Perguruan Tinggi adalah ketidak cocokan antara jurusan
pendidikan yang dimiliki dengan lapangan pekerjaan yang dijalani. Misalnya sering
ditemukan seseorang yang menamatkan sekolah guru tapi tidak menjadi guru,
adapula seseorang tamatan sarjana pertanian tetapi kerja di kantor Bank.
Ketidakcocokan antara jurusan pendidikan dengan lapangan pekerjaan bisa
diakibatkan oleh tidak tersediannya lapangan pekerjaan, sistem balas jasa yang tidak
sama atau langkanya tamatan dari suatu jurusan tertentu yang diingini oleh suatu
lapangan kerja tertentu.
4.2 Uji Statistik
4.2.1 Analisis Regresi Pengaruh Pendidikan, UMK dan Kesempatan Kerja
terhadap Tingkat Pengangguran Terdidik di Kabupaten Semarang
Berikut ini dapat dilihat persamaan dari pengaruh Pendidikan (X1), UMK (X2),
dan Kesempatan kerja (X3) terhadap tingkat pengangguran terdidik di Kabupaten
Semarang, adalah :
Log Y = Log a + b Log X1 + c Log X2 + d Log X3 + e Log Yt-1
Log Y = -1,841 – 0,184 X1 + 0,09 X2 + 0,481X3 + 0,934Yt-1
t (-0,278) (-0,435) (0,322) (0,352) (3,676)*
prob (0,787) (0,673) (0,754) (0,732) (0,004)
R2 = 0,859
F = 15,244*
Dw = 2,032
Ket : * = signifikan (α = 5%)
Tiap tahun pertumbuhan pengangguran terdidik secara potensial berjumlah
menurun 1,841% apabila tidak ada perubahan pertumbuhan tenaga terdidik, UMK
dan kesempatan kerja. Persamaan diatas menerangkan bahwa setiap kenaikan 1%
pertumbuhan tenaga terdidik (X1) akan menurunkan 0,184% pertumbuhan
pengangguran terdidik (Y) di Kabupaten Semarang. Konsisten dengan hipotesis
dimana dengan tanda negatif dalam model akan menunjukkan bahwa kenaikan
pertumbuhan tenaga terdidik (X1) akan menurunkan Y (pertumbuhan pengangguran
terdidik). Artinya jika kenaikan tenaga terdidik (X1) akan menurunkan tingkat
pengangguran terdidik (Y), maka angka pengangguran terdidik akan turun jika
jumlah tenaga terdidik naik, naiknya jumlah tenaga terdidik ini ini akan
mengakibatkan penurunan pengangguran terdidik pula. Sayangnya penambahan
jumlah tenaga terdidik menerima hipotesis nol dalam teori, karena t hitung tidak
signifikan pada derajat keyakinan 95 persen. Karena Jumlah t hitung lebih besar dari t
tabel = 2,145 uji 2 arah.
Setiap kenaikan 1% pertumbuhan UMK (X2) akan menaikan 0,09% pertumbuhan
angka pengangguran terdidik(Y). Tanda positif dalam persamaan yang dihasilkan
menunjukkan bahwa adanya kenaikan UMK akan menaikkan pengangguran terdidik
di kabupaten semarang, hal ini mendorong peningkatan pengangguran terdidik
apabila upah dinaikan. Hal ini konsisten dengan teori. Karena dorongan untuk
mengurangi karyawan oleh pabrik apabila harus menambah tingkat Upah, dengan
adanya peningkatan upah dalam hal ini UMK, maka akan menambah biaya tenaga
kerja, biaya tenaga kerja dapat dikurangi dengan mengurangi tenaga kerja dengan
adanya efisiensi. Demikian pula beberapa tenga terdidik dikurangi pula, maka jumlah
pengangguran terdidik di kabupaten Semarang meningkat. Sayangnya Sayangnya
penambahan jumlah UMK menerima hipotesis nol dalam teori, karena t hitung tidak
signifikan pada derajat keyakinan 95 persen. Karena Jumlah t hitung lebih besar dari t
tabel = 2,145 uji 2 arah.
Setiap kenaikan 1% pertumbuhan kesempatan kerja (X3) akan menurunkan
0,841% pertumbuhan angka pengangguran terdidik. Tanda positif dalam hasil dari
persamaan di atas menunjukkan bahwa hasil konsisten terhadap teori, dimana
kenaikan kesempatan kerja akan menurunkan angka pengangguran terdidik.
Sayangnya penambahan kesempatan menerima hipotesis nol dalam teori, karena t
hitung tidak signifikan pada derajat keyakinan 95 persen. Karena Jumlah t hitung
lebih besar dari t tabel = 2,145 uji 2 arah.
Setiap kenaikan 1% pertumbuhan angka pengangguran terdidik (Yt-1) akan
menurunkan 0,934% pertumbuhan angka pengangguran terdidik. Tanda positif dalam
hasil dari persamaan di atas menunjukkan bahwa hasil konsisten terhadap teori,
dimana kenaikan angka pengangguran terdidik satu periode sebelumnya kerja akan
menurunkan angka pengangguran terdidik pada periode tersebut. Peningkatan
pengangguran terdidik satu periode sebelumnya menolak hipotesis nol dalam teori,
karena t hitung signifikan pada derajat keyakinan 95 persen. Karena Jumlah t hitung
lebih besar dari t tabel = 2,145 uji 2 arah.
4.2.1.1 Uji Koefisien Determinasi (Uji R2 )
Koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa kemampuan dalam
menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara
0 dan 1 yang bukan berarti kemampuan variabel dependen amat terbatas. Nilai
yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independen memberi hampir semua
informasi yang diperlukan untuk memprediksi variasi variabel dependen secara
umum.
Pada output terlihat bahwa nilai R2 = 0.859 sehingga dapat disimpulkan bahwa
kemampuan variabel-variabel independen menjelaskan sebesar 85,9 persen dan
sisanya dijelaskan oleh variabel diluar model.
4.2.1.2 Uji F
Untuk melihat hubungan atau pengaruh seluruh variabel independen
mempengaruhi variabel dependen dilakukan uji F, dimana dalam perhitungan
regresi linear berganda (OLS) diperoleh F yang cukup signifikan.
Besarnya F hitung adalah 15,244 (df 4,11) adalah lebih besar F tabel sebesar 6,88
berarti secara keseluruhan variabel independen memiliki pengaruh terhadap
variabel dependen. Kesimpulannya variabel pertumbuhan tingkat pendidikan (X1),
UMK (X2), kesempatan kerja (X3) dan angka pengangguran terdidik satu periode
sebelumnya bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
jumlah pengangguran terdidik (Y) di kabupaten Semarang dengan derajat
keyakinan 95 persen.
Secara parsial pengujian pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen adalah dengan uji t.
4.2.1.3 Uji Parsial ( Uji t)
Uji t menunjukkan hasil bahwa pada konstanta data tidak signifikan atau tidak
memiliki pengaruh secara parsial dengan t = -0,278 dengan probabilitas -0,787
pada derajat keyakinan 90 persen. X1 tidak memiliki pengaruh secara signifikan
dengan t = -0,435 dengan probabilitas 0,673 dengan derajat keyakinan 5 persen,
X2 tidak signifikan dengan t = 0,322 dengan probabilitas 0,754 derajat keyakinan
95%, dan X3 tidak signifikan secara setatistik dengan t = 0,352 probabilitas 0,732
dengan derajat keyakinan 95%. Yt-1 signifikan secara setatistik dengan t = 3,676
probabilitas 0,7004 dengan derajat keyakinan 95%
4.2.2 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Agar mendapat regresi yang baik harus memenuhi asumsi-asumsi yang
disyaratkan yaitu memenuhi uji asumsi normalitas dan bebas dari
multikolinearitas, heterokedaskitas, serta autokorelasi.
4.2.2.1 Uji Normalitas
Tujuan dilakukan uji ini adalah untuk mengkaji apakah dalam sebuah model
regresi, variabel dependen, variabel independent atau keduanya yang mempunyai
distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi normal atau
mendekati normal. Data distribusi normal dapat dilihat dari penyebaran data (titik)
pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusan : (Singgih
Santosa, 2000).
1.1. Jika data menyebar disekitar garis garis diagonal dan mengikuti
arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi normalitas.
Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan tidak mengikuti
arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi
normalitas.
Dari output yang telah diperoleh terlihat bahwa penyebaran data (titik-titik)
menyebar disekitar garis garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka
model regresi memenuhi distribusi normal.
4.2.2.2 Uji Multikolinearitas
Tujuan dilakukannya pengujian multikolinearitas adalah untuk menguji apakah
pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Jika
ada, maka dinamakan terdapat problem multiolinearitas. Untuk mendeteksi
adanya multikolinearitas caranya sebagai berikut : (Imam Ghozali, 2001)
1.1.
1. Besaran VIF (Variance Infalation Factor) dan Tolereance.
Nilai cut off yang umum dipakai sebagai pedoman suatu model regresi yang
bebas multikolinearitas adalah :
1.1.
1. Mempunyai nilai VIF dibawah 10
Mempunyai nilai tolerance lebih besar dari 0,10
2. Besaran korelasi antar variabel independen.
Pedoman suatu regresi yang bebas multikolinearitas adalah :
Koefisien korelasi antar variabel independent haruslah lemah (dibawah 0.9). Jika
korelasi kuat, maka terjadi problem multikolinearitas.
Dari output didapatkan nilai vif dan tolerance sebagai berikut :
Variabel Nilai tolerance Nilai VIF
X1 0,10 9,986
X2 0,684 1,547
X3 0,186 5,389
Yt-1 0,201 4,694
Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai VIF dibawah 10 dan nilai tolerance lebih besar
dari 0,10 sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model tidak terdapat
multikolinearitas. Sehingga data dikatakan BLUE (Best Un Biased Estimated) atau
data sehat atau fit.
4.2.2.3 Uji Heterokedaskitas
Tujuan pengujian ini adalah untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi
terjadi Ketidaksamaan varians dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan.
Jika varians berbeda maka terjadi heterokedaskitas. Model regresi yang baik adalah
tidak terjadi heterokedaskitas.
Cara untuk mendeteksi dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik data
yang diperoleh dengan menggunakan regresi berganda heterokedaskitas, dimana
sumbu X adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y diprediksi
–Y sesungguhnya). Dasar pengambilan keputusan : (Singgih Santosa, 2000)
Jika pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang
teratur (bergelombang, melebar. Kemudian menyempit), maka telah terjadi
heterokedaskitas.
Jika pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah sumbu Y, maka
terjadi heterokedaskitas.
Dari gambar scaterplot yang ada pada output terlihat bahwa penyebaran data tidak
membentuk pola yang jelas (bergelombang, melebar. Kemudian menyempit), titik-
titik menyebar diatas dan dibawah sumbu Y, maka dapat dimpulkan bahwa model
tidak terjadi heterokedaskitas.
4.2.2.4 Uji autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apapakah dalam suatu model regresi linear
ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada
periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu
berkaitan satu sama lain.
Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari
observasi ke observasi lainya. Hal ini sering ditemukan pada data runtut waktu atau
time series karena “gangguan” pada seseorang individu/kelompok cenderung
mempengaruhi “gangguan” pada individu/kelompok yang sama pada periode
berikutnya.
Pada data crossection (silang waktu), masalah autokorelasi relatif jarang terjadi
karena “gangguan” pada observasi yang berbeda berasal dari individu/kelompok
yang berbeda. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi.
Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi dengan menggunakan
uji Durbin-Watson.
Uji durbin-watson hanya digunakan untuk uji autokorelasi tingkat satu (frist order
autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi
dan tidak ada variabel lag diantara variabel bebas. Hipotesis yang akan diuji adalah :
H0 : tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha : ada autokorelasi (r 0)
Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi :
Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi.
Bila nilai DW lebih rendah dari batas bawah atau lower bound (dl), maka
koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.
Bila nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil
daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
Bila nilai DW terletak antara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau dw terletak
antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
Dari output didapatkan nilai dw tes sebesar 2,032 sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat autokoralasi dalam model regresi. Dari jumlah sampel sebesar 15 dan
jumlah variabel bebas 4 didapatkan nilai dl = 0,230 dan du = 2,193. Letak dw yaitu
0,230<2,032<2,193 tidak ada autokorelasi negatif ataupun positif sehingga dapat
disimpulkan tidak terdapat autokorelasi pada model regresi.
4.3 Hasil dan Pembahasan
Tiap tahun angka pengangguran terdidik secara potensial tidak ada perubahan
akibat peningkatan atau penurunan jumlah tenaga terdidik, perubahan UMK dan
kesempatan kerja. Persamaan diatas menerangkan bahwa setiap kenaikan 1 % tamatan
tenaga terdidik (X1) akan menurunkan 0,184% angka pengangguran terdidik (Y) di
kabupaten Semarang. Konsisten dengan hipotesis dimana dengan tanda negatif dalam
model akan menunjukkan bahwa kenaikan tenaga terdidik (X1) akan menurunkan Y
(angka pengangguran terdidik). Namun hasil menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
perubahan tenaga terdidik terhadap perubahan pengangguran terdidik secara signifikan.
Gejala tersebut diakibatkan pola pendidikan nasional saat ini yang kurang berbasis
pada permasalahan nasional dalam menciptakan lapangan kerja baru. Dengan demikian,
di samping membangun industri skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi,
perhatian juga sudah seharusnya diberikan pada pengembangan industri yang lebih
berorientasi pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar
tetapi juga tumbuh dengan sangat cepat. (Elwin Tobing, 2007)
Secara empiris telah terjadi kekurang-sepadanan antara Supply dan Demand
keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurang cocokan kebutuhan dan
penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung dari
perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam
masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi
masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan
dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.
Kondisi perekonomian yang masih lesu menjadi pemicu utama besarnya pengangguran
terdidik di Indonesia. Industri besar yang memerlukan banyak tenaga terampil dan
terdidik (termasuk lulusan sarjana) saat ini dalam kondisi yang mengkhawatirkan karena
naiknya harga minyak mentah dunia dan juga karena daya saing ekspor yang rendah.
Oleh karena itu, berharap banyak dari kondisi ekonomi makro bisa memerlukan waktu
lama, padahal masalah lapangan pekerjaan harus diatasi segera karena menyangkut
harkat hidup utama. Ada semacam dilema dalam penyelenggaraan pendidikan di
perguruan tinggi, yaitu antara memenuhi permintaan pasar atau bertahan dalam proses
pendidikan tinggi yang ideal. Permintaan pasar dipenuhi oleh perguruan tinggi dengan
membuka program studi yang “laku” di pasar tenaga kerja. Namun demikian, terkadang
perguruan tinggi mengabaikan kompetensinya. Alhasil, lulusan dari program studi itu
tidak memiliki bekal ilmu yang cukup sehingga menjadi sarjana yang tidak berkualitas.
Alasan utama sebuah perguruan tinggi melakukan jalan pintas seperti itu adalah demi
bertahan hidup dan memperluas bisnisnya. Perguruan tinggi sekarang mempunyai
paradigma sebagai unit bisnis yang harus menghasilkan keuntungan. Maka, orientasinya
adalah menghasilkan keuntungan dalam artian jumlah mahasiswa harus banyak. Mereka
berbuat demikian karena dituntut bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan
operasionalnya. (Anton A Setyawan, 2006)
Kenaikan UMK (X2) akan menaikan rupiah UMK akan menaikan angka
pengangguran terdidik (Y) namun tidak ada pengaruh yang signifikan. Tanda positif
dalam persamaan yang dihasilkan menunjukkan bahwa adanya kenaikan UMK akan
menaikkan pengangguran terdidik di kabupaten Semarang, hal ini mendorong
peningkatan pengangguran terdidik apabila upah dinaikan. Hal ini konsisten dengan teori.
Karena dorongan untuk mengurangi karyawan oleh pabrik apabila harus menambah
tingkat Upah, dengan adanya peningkatan upah dalam hal ini UMK, maka akan
menambah biaya tenaga kerja, biaya tenaga kerja dapat dikurangi dengan mengurangi
tenaga kerja dengan adanya efisiensi. Demikian pula beberapa tenga terdidik dikurangi
pula, maka jumlah pengangguran terdidik di kabupaten Semarang meningkat. Hal ini
diakibatkan kenaikan upah akibat akumulasi kenaikan UMK menjadikan penambahan
biaya perusahaan, di mana penambahan biaya ini ditekan dengan cara mengurangi biaya
dengan mengurangi tenaga kerja. Kenaikan UMK yang tidak dikuti dengan peningkatan
produksi ataupun produktivitas tenaga kerja justru akan menambah beban perusahaan,
terutama beban pembayaran upah dan gaji. Sesuai dengan teori permintaan dan
penawaran, apabila penawaran naik, permintaan tetap maka harga akan turun
demikianlah upah. Apabila upah tetap tenaga kerja naik dan lapangan kerja tetap,
sedangkan penawaran bertambah maka akan mengurangi kesempatan orang atau tanaga
kerja terdidik untuk mendapatkan pekerjaan. (Susanti, Hera, Moh. Ikhsan, Widyanti,
1999)
Setiap kenaikan kesempatan kerja (X3) akan menurunkan angka pengangguran
terdidik namun tidak signifikan. Tanda negatif dalam hasil di dari persamaan di atas
menunjukkan bahwa hasil konsisten terhadap teori, dimana kenaikan kesempatan kerja
akan menurunkan angka pengangguran terdidik. Logika ini wajar dimana artinya
kenaikan kesempatan kerja menambah permintaan tenaga kerja dan permintaan ini akan
memenuhi penawaran tenaga kerja. Pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya akan
menambah kesempatan angkatan kerja terutama angkatan kerja terdidik.
Sesuai dengan permintaan dan penawaran tenaga kerja di sisi mikro ekonomi
menunjukkan bahwa penambahan kesempatan kerja merupakan penambahan permintaan
tenaga kerja, secara tidak langsung penawaran tenaga kerja yang ada, khususnya tenaga
kerja terdidik dapat tertampung di dalam lapangan kerja sehingga pengangguran terdidik
dapat berkurang, atau ditekan pertumbuhannya.
Salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan kerja bagi tenaga kerja terdidik perlu
diperluas kesempatan berkembangnya sektor informal. Daya serap sektor ini cukup besar
dan memiliki kemampuan yang tak terbatas. Pelita IV 56 persen tenaga kerja terserap di
sektor ini sementara sektor formal terutama bidang jasa memiliki kemampuan serap yang
sangat terbatas. Berbagai kebijaksanaan untuk memberi peluang berkembang sektor
informal harus terus diupayakan dengan tidak mengurangi usaha penanganan dampak
negatif dari berkembangnya sektor ini. (Anton A Setyawan, 2006)
Pengangguran terdidik akan dipengaruhi oleh penganngguran terdidin satu periode
sebelumnya, artinya peningkatan pengangguran terdidik diakibatkan pengangguran
terdidik pada periode sebelumnya belum dapat ditampung pada pekerjaan baru.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan ini adalah bahwa kenaikan
tenaga terdidik akan tidak mempengaruhi kenaikan angka pengangguran terdidik. Angka
pengangguran terdidik tidak dipengaruhi oleh UMK dan Kesempatan Kerja, artinya
pendidikan tinggi tidak berperanan dalam menurunkan angka pengangguran terdidik di
Kabupaten Semarang. Tingkat perubahan UMK tidak mempengaruhi perubahan angka
pengangguarn terdidik meski konsisten dengan teori oleh karena itu angka pengangguran
terdidik di Kabupaten Semarang tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya UMK.
Kesempatan kerja tidak mengalami peranan penting dalam mempengaruhi
peningkatan atau penurunan angka pengangguran terdidik karena menunjukkan bahwa
apabila kesempatan kerja yang turun akan menaikkan pengangguran terdidik di
kabupaten Semarang, sesuai dengan teori bahwa untuk menurunkan angka pengangguran
harus meningkatkan lapangan kerja atau kesempatan kerja.
Kesimpulan yang lebih berarti bahwa jumlah pengangguran terdidik di Kabupaten
Semarang tidak dipengaruhi oleh variabel UMK dan kesempatan kerja.
5.2 Saran
Peningkatan peran pendidikan dalam mengatasi pengangguran akan berhasil apabila
memiliki kualitas yang memadai dan mampu ditempatkan dalam kebutuhan lapangan
kerja yang ada, sehingga tidak menambah jumlah pengangguran terdidik. Maka kualitas
pendidikan perlu terus ditingkatkan disamping secara kuantitas juga kualitas.
Peranan pendidikan dalam menyumbang penurunan jumlah pengangguran terdidik di
kabupaten Semarang perlu adanya perhatian dalam pengelolaan serta peran pemerintah
dan swasta cukup tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Jumlah pengangguran terdidik sangat dipengaruhi oleh UMK dan Kesempatan Kerja,
bukan kemampuan kita untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan, artinya
pendidikan kita untuk penurunan jumlah pengangguran terdidik kita adalah perlu
ditingkatkan dengan peningkatan kuantitas, kualitas, dan infrastuktur pendukung yang
memadahi.
DAFTAR PUSTAKA
Anton A Setyawan, 2001. ”Pengangguran Terdidik Vs Kualitas Perguruan Tinggi” Jakarta, Kompas.
Ananta, Aris., 1973, “Ciri Demografi, Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi”, Lembaga Demografi, FEUI, Jakarta.
Aydiment, Miki., 1999, “Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia Terhadap Jumlah Pengangguran Terdidik di Kota Padang “, Skripsi Pada Fakultas Ekonomi Bung Hatta, Padang,(tidak dipublikasikan)
Damodar Gijarati., 1999, “Ekonometrika Dasar”, Erlangga, Jakarta.
Elwin Tobing, 2007, “Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik”. Jakarta; Jurnal Kajian Strategis Gema Nuusa.
Haris, Abdul., 1998, “Pengangguran Pemuda Terdidik di Sumatera Barat”. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.
Johnston, J., 1960, “Economic Methods”, Kasaldo Printing Co. Ltd. Tokyo, Japan.
Samoelson, Paul A, dan Nordhaus, William D., 1994, “Mikro Ekonomi”, Terjemahan oleh Tim Erlangga Edisi Ke- XIV, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Simanjuntak, Payaman J., 1985 “Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia”, FEUI, Jakarta.
Soekirno, Sadono., 1993, “Pengantar Teori Ekonomi Mikro”, FEUI, Jakarta.
Standing, Guy., 1983, The Nation Of Structural Unemployment”, “International Labor Review”, March-April Vol. 122 (2)
Suharno., 1990, “Angkatan Kerja di Indonesia dan Problemnya, Bulletin Legnas, LIPI. Vol. 11/No.1
Supranto, J., 1997, “Metode Peramalan Kuantitatif Untuk Perencanaan”, Gramedia, Jakarta.
Suroto., 1992, “Strategi Pengembangan dan Perencanaan Kesempatan Kerja”, BPFE UGM, Yogyakarta.
Susanti, Benlia., 1997, “Analisis Upah dan Jumlah Tenaga Kerja Terdidik Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja”. Lembaga Demografi, FEUI. Jakarta.
Susanti, Hera, Moh. Ikhsan, Widyanti., 1997, “Indikator-indikator Makro Ekonomi”, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, FEUI, Jakarta.
Syahruddin., 1984, “Perkembangan Upah Di Indonesia”, Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.
Todaro, Michael P., 2000, “Economic Development In The Third World”, Terjemahan oleh Aminuddin dan Muarsid, Ghalia, Indonesia, Jakarta.
—————., 1993, “Kerangka Acuan Komisi Peningkatan Mutu SDM”,Makalah Dalam Silaturrahmi Kerja Nasional III ICMI, Jakarta.
—————., 1997, “Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia”. Badan Pusat Statistik, Padang.