Upload
arghya-narendra-dianastya
View
624
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
rancangan skripsi yang berbentuk proposal. sebagian teori berbentuk hipotesis dari para ahli.
Citation preview
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Gambaran umum
Tanaman kakao (Theobroma cacao L. ) merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia
karena merupakan sumber pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja,
mendorong pengembangan wilayah dan sebagai sumber devisa Negara (Jahuddin
et. al., 2009). Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan
kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluara petani yang
sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan
sumbangan devisa terbesar ke tiap sub sektor pekebunan setelah karet dan minyak
sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta (Universitas Jember, 2011). Luas lahan
yang digunakan untuk menanam kakao di Indonesia berkisar antara 900 ribu
hektar (Jember Terbina, 2010). Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara
produsen biji kakao ketiga di dunia. Menurut data International Cocoa
Organization(ICCO)2009. Posisi pertama Pantai Gading 1,22 juta ton per tahun
atau memegang pangsa pasar38,7%. Posisi kedua Ghana dengan produksi 680.000
ton atau 21,6%, dan Indonesia 540.000 ton atau 16,2%.
(http://bappeda.jemberkab.go.id, download 23 Mei 2011). Tidak kurang dari 90%
hasil produksi kakao Indonesia berasal dari perkebunan rakyat yang tersebar di
seluruh wilayah nusantara (Jember Terbina, 2010). Produksi kakao dari
perusahaan perkebunan hanya berkisar 5.000 ton, dan sisanya berasal dari kakao
perkebunan rakyat dengan jumlah total produksi nasional per tahun sekitar 600
ribu ton (http://ekonomi.kompasiana.com, download 23Mei 2011).
1
1.1.2 Kakao di daerah Jember
Untuk wilayah Jember, dari total luas areal 4.641 hektar, semua
perkebunan kakao diusahakan oleh perusahaan perkebunan seperti PTPN XII
yang mengelola 4 kebun dengan luas 3.914 hektar, 3 kebun seluas 216 hektar
dikelola oleh PDP dan sebanyak 5 kebun dikelola oleh swasta dengan luas areal
511 hektar. (http://bappeda.jemberkab.go.id, download 23 Mei 2011). Mengacu
pada statistik perkebunan Indonesia tahun 2006-2008, dari total perkebunan
kakao yang dimiliki daerah Jember, pada tahun 2006 telah dihasilkan sebanyak
5.977 ton dengan lahan yang sudah digunakan seluas 5.013 hektar
(http://ekonomi.kompasiana.com, download 23Mei 2011).
1.1.3 Masalah yang Dihadapi
Mengacu pada dua paragraf diatas, diketahui bahwa Indonesia pada
umumnya dan Jember pada khususnya memiliki potensi yang besar untuk
pengembangan budidaya kakao. Namun demikian, budidaya tanaman kakao
banyak menghadapi masalah baru. Perkembangan tanaman budidaya satu jenis
seperti kakao yang terus meningkat, akan berdampak pada lahan hutan yang
semakin menipis, mengancam keseimbangan ekologi dan keanekaragaman hayati
lokal. Data lain menyebutkan, berdasarkan identifikasi lapangan pada tahun
2008
dari Departemen Pertanian pada tahun 2008, menunjakkan sekitar 70.000 hektar
perkebunan kakao mengalami kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif dan
terkena serangan hama dan penyakit, sehingga perlu dilakukan peremajaan, dan
sekitar 235.000 hektar perkebunan mengalami ketidak produktifan dan terkena
serangan hama dan penyakit (Wulan et. al., 2010). Beberapa hama yang
mengganggu proses pertumbuhan tanaman kakao diantaranya adalah Helopeltis
spp dan Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella (Departemen
Pertanian, 2002).
2
Untuk mengendalikan hama penyakit pada tanaman kakao, pada umumnya
para petani masih mengandalkan pestisida kimia sintetik. Namun, seiring dengan
keberhasilan penggunaan pestisida kimia sintetik tersebut, terdapat pula sejumlah
dampak negatif seperti ketidakstabilan agroekosistem yang menguntungkan bagi
perkembangan hama penyakit tanaman akibat matinya musuh alami (Jahuddin et.
al., 2009).
1.1.4 Kemungkinan Penanganan Masalah
Untuk mengatasi isu deforestasi yang sedang berkembang, pemanfaatan
lahan tanam kakao sebagai penjaga keanekaragaman hayati lokal dapat menjadi
alternatif, bahkan tanaman kakao dimungkinkan memiliki peran yang besar dalam
menjaga keanekaragaman hayati global (Greenberg, 2008). Hal ini dimungkinkan,
karena tanaman kakao merupakan tanaman tropis yang tumbuh dibawah tanaman
naungan. (Tscharntke et. al., 2011).
Dengan sistem agroforestri, tanaman naungan memiliki peran yang besar
untuk menjaga keanekaragaman hayati lokal, penyerapan CO2, penyuburan tanah,
dan pengendalian hama secara hayati (Greenberg, 2008). Salah satu tanaman
naungan alami yang dijadikan tempat bermutualisme, berkebang biak dan hidup
beberapa jenis serangga kecil seperti semut hitam (Dolichoderus thoracicus)
adalah pohon kelapa (Cocos nucifera) (Hosang et. al., 2010). Semut hitam
(Dolichoderus thoracicus), mampu menjadi pengontrol sekaligus pengusir hama
Helopeltis spp. dan Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella
(Departemen Pertanian, 2002).
Mengingat sedikitnya perhatian dan penelitian yang mengkaji tentang
pengaruh penerapan sistem agroforestri pada lahan tanam kakao, maka diperlukan
penelitian yang lebih mendalam tentang manfaat dari penerapan sistem 3
agroforestri sederhana pada lahan tanam kakao (Tscharntke, 2011) (Greenberg,
2008). Dalam pengkajian ini, akan di khususkan mengenai pengaruh pohon kelapa
sebagai tanaman naungan sekaligus sarang bagi jenis serangga semut hitam
(Dolichoderus thoracicus) bagi ekosistem dan keanekaragaman hayati
menggunakan sistem agroforestri sederhana.
Riset ini dilaksanakan atas dasar data yang telah tertera pada paragraf awal
yang menyebutkan bahwa sebagian lahan tanam kakao masih merupakan lahan
perkebunan yang dikelola oleh rakyat, sehingga sistem agroforestri sederhana
dengan menjadikan tanaman komoditas seperti pohon kelapa sebagai tanaman
naungan masih mungkin dilakukan dikarenakan kelapa masih memiliki nilai
ekonomi bagi para petani tradisional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengurangi perubahan ekosistem akibat deforestasi
lahan pertanian ?
2. Bagaimana cara menanggulangi hama penyakit pada kakao secara
alami?
3. Bagaimana dampak pemberian naungan alami pohon kelapa pada
lahan tanam tanaman kakao terhadap perkembang biakan semut
hitam?
4. Bagaimana cara yang digunakan untuk melakukan riset ini?
5. Bagaimana kesimpulan yang didapat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengurangi dampak dari semakin
besarnya deforestasi pada lahan pertanian kakao yang dikelola masyarakat
sekaligus mengetahui dampak pemberian sarang bagi semut hitam sebagai
4
pengontrol hama alami menggunakan tanaman naungan berbasis agroforestri pada
tanaman kakao.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Petani
Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini nantinya akan membantu
petani untuk mengembangkan menejemen tanam yang lebih mengacu pada sistem
agroforestri sederhana. Petani juga mendapatkan manfaat dari tanaman naungan
pohon kelapa yang dapat menghasilkan nilai ekonomi dan juga sekaligus sebagai
sarang alami bagi pengontrol hama penyakit alami, yaitu semut hitam
(Dolichoderus thoracicus).
1.4.2 Manfaat Bagi Lingkungan
Manfaat yang didapat dengan menggunakan naungan alami pada tanaman
kakao yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup hayati lokal yang semakin
bekurang dikarenakan intensifikasi pertanian dan deforestasi. Lebih lanjut, dengan
menerapkan sistem aroforestri, dapat menjamin kelangsungan hidup dan simbiosis
mutualisme antar makhluk hidup yang dibutuhkan untuk keselaasan ekosistem.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao (Theobroma cacao)
Tanaman Kakao merupakan satu satunya diantara 22 jenis marga
Theobroma,suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Tanaman kakao
merupakan salah satu tanaman yang hidup di bawah tanaman naungan alami .
(Tscharntke et. al., 2011). Sistematia tanaman ini sebagai berikut.
Divisi : spermatophyte
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
Daun tanaman kakao bersifat dimorfisisme. Pada tunas ortotrop, tangkai
daunnya panjang, yaitu sekitar 2,5 cm. tangkai daun berbentuk silinderdan
bersisik halus, bergantung pada tipenya. Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan
dangkal yang letaknya berselang seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur buah
kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tapi lunak dan permukaannya kasar.
Sebaliknya, pada tipe forastero permukaan kulit buah pada umumnya halus,
kulitnya tipis tetapi keras dan liat (Universitas Jember, 2011).
Biji tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah, jumlahnya
beragam, yaitu 20-50 butir per buah. Biji dibungkus oleh daging buah (pulp) yang
berwarna putih, rasanya asam manis dan diduga mengandung zat penghambat
perkecambahan. Di dalam daging buah terdapat kulit biji (testa) yang
membungkus dua kotiledon dan poros embrio (Universitas Jember, 2011).
6
2.2 Semut Hitam (Dolichoderus thoracicus)
Semut hitam atau Dolichoderus bituberculatus adalah salah satu jenis
semut yang berguna untuk mengusir hama dari pohon kakau, yaitu hama
Helopeltis spp dan hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella)
( http://sumbar.litbang.deptan.go.id, 26 Mei 2011).
Semut Hitam termasuk dalam famili Formicidae, dan Ordo Hymenoptera.
Panjang tubuh semut hitam berkisar antara 3-5 milimeter (Departemen Pertanian,
2002). Makanan pokok semut hitam adalah kotoran dari kutu-kutu, ini
dikarenakan kotoran dari kutu mengandung banyak gula.Kelompok semut hitam
biasa berkembang biak pada pohon kakao atau hidup pada sarang buatan dari
daun kelapa (dan gula merah) dalam sepotong bambu (Departemen Pertanian,
2002). Namun juga dimungkinkan untuk hidup pada naungan alami, namun perlu
dilakukan studi lebih lanjut mengenai hal ini (Greenberg, 2008).
2.3 Pohon kelapa (Cocos nucifera)
Kelapa (Cocos nucifera) adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan
atau Arecaceae dan adalah anggota tunggal dalam marga Cocos. Tumbuhan ini
dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai
tumbuhan serba guna. Sistematika tumbuhan kelapa sebagai berikut.
Kerajaan : Plantae
Ordo : Araceles
Famili : Arecaceae
Bangsa : Cocoeae
Genus : Cocos
Spesies : C. Nucifera
Pohon berbatang tunggal atau bercabang. Memiliki akar serabut, tebal
berkayu, dan berkerumun membentuk bonggol. Batang beruas-ruas namun bila
sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe monokotil dengan pembuluh menyebar 7
(tidak konsentrik), berkayu. Daun tersusun secara majemuk, menyirip sejajar
tunggal, pelepah pada ibu tangkai daun pendek, duduk pada batang, warna daun
hijau kekuningan. Bunga tersusun majemuk pada rangkaian yang dilindungi oleh
bractea; terdapat bunga jantan dan betina, berumah satu, bunga betina terletak di
pangkal karangan, sedangkan bunga jantan di bagian yang jauh dari pangkal
(http://id.wikipedia.org, download 24 Mei 2011).
Kelapa secara alami tumbuh di pantai dan pohonnya mencapai ketinggian
30 m. Kelapa berasal dari pesisir Samudera Hindia, namun kini telah tersebar di
seluruh daerah tropika. Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m
dari permukaan laut. Kelapa tumbuh maksimal pada suhu berkisar 25-28 C, curah
hujan 1000-2250 mm per tahun, dan kelembapan berkisar antara 70%-80% (s,
download 24 Mei 2011). Atas dasar pertimbangan di atas, maka pohon kelapa
dimungkinkan untuk dijadikan tanaman naungan untuk tanaman budidaya tropis.
Disamping itu, tanaman kelapa juga digunakan sebagai naungan alami
bagi tanaman kakao dan menjadi sarang bagi serangga seperti semut hitam
(Dolichoderus bituberculatus) dan homopteran jenis Cataenococcus hispidus.
Dolichoderus bituberculatus hidup pada daun dan buah pohon kelapa dan
menghasilkan Honeydew yang berguna sebagai salah satu sumber makanan dari
semut hitam (Hosang et. al., 2010).
2.4 Helopaltis spp
Helopeltis spp. termasuk hama penting yang menyerang buah kakao pada
bagian pucuk dan ranting muda. Helopeltis spp. termasuk dalam Famili Miridae,
dan Ordo Hemiptera. (Departemen Pertanian, 2002).
Bentuk Helopeltis spp. dewasa mirip dengan walang sangit. Panjang tubuh
sekitar 10 mm. Bagian tengah tubuh berwarna jingga dan bagian belakang
berwarna hitam atau kehijauan dengan garis-garis putih. Pada bagian tengah tubuh
terdapat embelan tegak lurus berbentuk jarum pentul. Sayap 2 pasang, berwarna
putih berbentuk lonjong dan diletakkan di dalam jaringan kulit buah atau tunas. 8
Lama periode telur 6-7 hari. Nimfa Helopeltis spp. bentuknya mirip dengan
Helopeltis spp. dewasa tetapi tidak bersayap. Lama periode nimfa 10-11 hari.
Serangga betina dewasa selama hidupnya dapat meletakkan telurnya hingga 200
butir. Perkembangan dari telur hingga menjadi serangga dewasa memerlukan
waktu antara 21-24 hari. Serangga dewasa dicirikan dengan adanya tanduk diatas
thorax, hamper lurus dengan pentul yang jelas serta sayap yang terang, berwarna
agak gelap/hitam. Apabila terbang berwarna agak hijau dan merah jambu. Dewasa
bisa hidup sampai 2 minggu. Serangga betina dewasa dapat hidup lebih dari 50
hari (Dwinanto, 2011).
Serangan pada buah tua tidak terlalu merugikan, tetapi mrugikan pada
buah muda. Buah muda yang terserang mengering lalu rontok, tetapi jika tumbuh
terus, permukaan kulit buah retak dan terjadi perubahan bentuk. Serangan pada
buah tua, tampak penuh bercak-bercak cekung berwarnacoklat kehitaman,
kulitnya mengeras dan retak. Serangan pada pucuk atau ranting menyebabkan
pucuk layu dan mati, ranting mengering dan meranggas (Departemen Pertanian,
2002). Hama ini dapat dikendalikan dengan cara hayati. Dikawansan Asia
tenggara. salah satu cara untuk menanggulangi hama ini adalah mengunakan
pestisida alami seperti semut hitam (Dolichoderus thoracicus) (Greenberg, 2008).
Waktu makan dan berkatifitasnya antara pagi dan sore hari. Kehidupan dari
Helopeltis spp. dipengaruhi oleh cahaya, sehingga bila terlalu panas, nimfa muda
akan mencari tempat bernaung dan pada masa dewasa jika terkena matahari akan
berlindung disela-sela daun bagain dalam.
2.5 Conopomorpha cramerella
Conopomorpha cramerella atau biasa disebut hama penggerek buah kakao
(PBK) adalah salah satu hama nokturnal (hewan yang tidur pada siang hari)
penyerang buah kakao. Termasuk dalam Famili Gracillariidae, dan Ordo
Lepidoptera.
9
Daur hidup Conopomorpha cramerella diawali dari telur yang berwarna
jingga, yang diletakkan satu persatu pada permukaan kulit buah oleh induknya
dengan panjang dan lebar telur adalah 0,8 dan 0,5. Seekor ngengat dewasa mampu
bertelur 50-100 butir. Waktu yang diperlukan telur untuk menetas anatara 3-7
hari. Fase berikutnya berbentuk larva yang berwarna putih kekuningan atau hijau
muda dengan panjang sekitar 11 mm. Larva tersebut akan bergerak dan mulai
membuat lubang ke dalam kulit selanjutnya masuk ke dalam buah kakao.
Perilaku ini dimaksudkan agar terhindar dari predator . Lubang gerekan berada
tepat di bawah tempat meletakkan telur. Selanjutnya, larva akan menggerek
daging buah, diantara biji dan plasenta. Lama hidup seekor larva dalam buah
kakao berkisar antara 14 – 18 hari (http://coretanroodeetea.wordpress.com,
download 24 Mei 2011). Larva keluar dari dalam buah, dengan benang-benang
sutra yang keluar dari mulutnya. Melalui benang sutra yang dihasilkan, ia turun ke
tanah dan menggulung menjadi kepompong berwarna putih. Setelah enam hari
menjadi kepompong, akan keluar pupa berwarna abu-abu gelap dengan panjang 8
mm. Ketika setengah badan pupa keluar dari kepompong, ia melepaskan kulitnya
dan kemudian muncul sebagai imago atau biasa disebut sebagai fase dewasa
(http://coretanroodeetea.wordpress.com, download 24 Mei 2011).
Fase dewasa ditandai dengan terbentuknya ngengat dengan panjang sekitar
7 mm dan memiliki sayap depan berwarna hitam bergaris putih, pada setiap ujung
sayap terdapat bintik kuning, serta memiliki antena yang panjang serta runcing.
Masa hidup imago hanya berkisar antara 5-7 hari. (Departemen Pertanian, 2002);
(http://coretanroodeetea.wordpress.com, download 24 Mei 2011).
Gejala serangan pada buah kakao diatandai dengan adanya warna kuning
yang tidak merata pada buah kakao. Penggerek Buah Kakao (PBK) dapat
menyerang buah sekecil 3 cm, tetapi umumnya lebih menyukai yang berukuran
sekitar 8 cm (Departemen Pertanian, 2002). Namun demikian, hama ini
sebenarnya memiliki musuh alami, salah satunya adalah semut hitam
(Dolichoderus thoracicus)( http://sumbar.litbang.deptan.go.id, 26 Mei 2011).10
2.6 Agroforestri Sederhana
Ilmu agroforestri adalah disiplin ilmu baru yang lahir ketika konversi
hutan alam menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti
penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan
dan bahkan perubahan lingkungan global. (Hairiah et. al., Tanpa Tahun).
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan
pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik
secara ekonomis maupun lingkungan(http://www.worldagroforestrycentre.org,
download 24 Mei 2011). Agroforestri juga bisa disebut sebagai suatu manajemen
penggunaan lahan yang mengatasi masalah degradasi lahan dan hutan yang
mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati di daerah tropis (Oke et. al.,
2007).
Agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem
agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks.
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana
pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman
semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan
tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya
berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang
ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa,
karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau
yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman
semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung,
kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-sayuran dan rerumputan atau jenis-
jenis tanaman lainnya (http://www.irwantoshut.net, download 24 Mei 2011).
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah
tumpangsari. Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga
merupakan campuran daribeberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman
11
semusim. Sebagai contohadalah kebun kopi yang disisipi dengan tanaman dadap
(Erythrina) atau kelorwono (Hairiah et. al., Tanpa Tahun).
Bentuk agroforestri sederhana bisa dijumpai pada sistem pertanian
tradisional di daerah yang kurang padat penduduknya. bentuk ini timbul sebagai
salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya
kendala alam semisal keterbatasan lahan (Hairiah et. al., Tanpa Tahun).
12
II. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian akan dilakukan di kebun kakao PTPN XII Banjarsari, desa
Petung, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember. Topografi lahan datar
dikelilingi oleh perkebunan dan desa rakyat dengan ketinggian kurang lebih 90
meter diatas permukaan laut. Kecamatan Bangsalsari terletak di 113o BT – 113o
BT dan 8o LS – 8o LS. (http://122.200.145.136:8000/perpustakaan/petaview,
download 26 Mei 2011).
Rencana waktu penelitian berjudul Analisis Penggunaan Naungan Alami
Pohon Kelapa pada Tanaman Kakao tehadap Pekembangan Semut Hitam
Berbasis Agroforestri Sederhana akan dilaksanakan pada bulan Januari 2015.
3.2 ALAT DAN BAHAN
Pada penelitian ini, akan digunakan pohon kelapa (Cocos nucifera) dan
lahan tanam kakao sebagai tempat pohon kelapa menjalankan perannya sebagai
variabel bebas. Beberapa Koloni semut hitam juga akan digunakan sebagai
variabel terikat. Alat terakhir yang digunakan sekaligus sebagai variabel kontrol
adalah lahan tanam kakao PTPN XII Banjarsari yang bertopografi datar. Rincian
variabel sebagai berikut :
1. Variabel Bebas : Pohon kelapa (Cocos nucifera)
2. Variabel Ikat : Semut hitam (Dolichoderus thoracicus)
3. Variabel Kontrol : Lahan tanam kakao PTPN XII Banjarsari
3.3 PERLAKUAN VARIABEL PENELITIAN
Penelitian akan dilaksanakan dengan 4 model penanaman pohon kelapa,
masing masing memiliki perbedaan pada jumlah pohon kelapa yang ditanam. Plot
atau lingkup lahan tanam kakao yang digunakan memiliki luas 40 x 40 m dengan
jarak tanaman setiap kakao yaitu 3 x 3 m. Pohon kelapa akan ditanam di antara 13
tanaman kakao dengan jumlah yang berbeda pada setiap model plot atau lingkup
lahan, namun jarak antar pohon kelapa dibuat sama sesuai jumlah variabel bebas
yang diterapakan. Kemudian semut hitam akan dilepas pada setiap model lahan
dengan pengumpulan koloni menggunakan cara penyimpanan dalam sarang
sementara dari pelepah daun pisang dan daun kelapa kering yang di tempatkan
pada sepotong bambu dengan ukuran panjang 20 cm. Tanaman kakao yang
dijadikan obyek penelitian sengaja tidak diberi pestisida kimia untuk mendukung
kelancaran penelitian.
Dari hasil penelitian 4 model plot yang telah di rancang, nantinya akan
diadakan analisis dan identifikasi setiap 1 bulan sekali selama kurang lebih 1
tahun terhadap banyak koloni semut hitam yang bersarang dan dampaknya pada
buah kakao yang terserang hama penyakit helopaltis spp dan Conopomorpha
cramerella. Analisis lanjutan akan diidentifikasi pengaruh naungan alami pohon
kelapa pada perubahan ekosistem lokal lahan tanam kakao.
Dengan rincian tertera pada tabel :
MODEL LAHAN BANYAK VARIABEL
BEBAS
JARAK TANAM
VARIABEL BEBAS
TERHADAP KAKAO
JUMLAH TANAMAN
KAKAO
MODEL 1 5 1.5 meter 170
MODEL 2 10 1.5 meter 170
MODEL 3 20 1.5 meter 170
MODEL 4 40 1.5 meter 170
14
3.4 ANALISIS DAN STATISTIK VARIABEL
Setelah melakukan penerapan sesuai dengan model yang telah
direncanakan dan selang jangka waktu satu bulan pertama, kemudian, dilakukan
analisis pertama yang meliputi :
3.4.1 SURVEI KEBERADAAN KOLONI SEMUT HITAM
Survei dilakukan setiap bulan dengan menggunakan pelengket pada batang
buah kakao dan dahan pohon kelapa. Dahan pohon kelapa adalah salah satu
tempat bagi semut hitam untuk mencari makan. (Hosang et. al., 2010). Setelah
koloni semut terekat pada lem yang telah dipasang, koloni semut dihitung pada
setiap pohon kelapa.
3.4.2 ANALISIS BUAH KAKAO
Identifikasi fisik juga dilakukan setiap satu bulan sekali pada buah kakao
terhadap serangan hama penyakit helopaltis spp dan Conopomorpha cramerella..
3.4.2 ANALISIS & SURVEI HAMA PENYAKIT
Survei pada hama penyakit juga dilakukan setiap satu bulan sekali dengan
mengidentifikasi sarang, larva dan imago secara fisik dan laboratorium.
3.4.3 ANALISIS PENGARUH NAUNGAN ALAMI PADA LAHAN TANAM
Analisis lanjutan mengenai pengaruh naungan alami pada lahan tanam
kakao dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dengan alasan perubahan ekosistem
terjadi secara bertahap dan baru bisa diidentifikasi setelah jangka waktu yang
lama. Analisis perihal pengaruh naungan alami terhadap lahan tanam meliputi
identifikasi kekayaan unsur hara tanah, perkembangan tanaman kakao secara fisik
dan non fisik serta mengidentifikasi perubahan ekosistem yang mencangkup
banyaknya keanekaragaman hayati pada lahan budidaya.
15
IV. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pendapatan Daerah jember. (Tanpa Tahun). (Tanpa Judul). http://bappeda.jemberkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=73:kopi-dan-kakao&catid=48:agro&Itemid=92. [23 Mei 2011].
Departemen Pertanian. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kakao. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian.
D.O. Oke, & K.A. Odebiyi. 2007. Traditional Cocoa-Based Agroforestry and Forest Species Conservation in Ondo State, Nigeria. Akure: Department of Forestry and Wood Technology, Federal University of Technology.
Dwinanto, R. 2011. Uji Virulensi Spora Beauveria bassiana (Bals) Vuill. Terhadap Hama Helopeltis sp. (Diptera: Culicidae). Tidak dipublikasikan. Seminar hasil. Jember: Program Strata 1 Universitas Jember.
Google.com. (Tanpa Tahun). (Tanpa Judul). http://www.irwantoshut.net/agroforestry_system.html [24 Mei 2011].
Google.com. (Tanpa Tahun). (Tanpa Judul). http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/leaflet/LE0022-04.pdf [ 24 Mei 2011].
Greenberg, Russell. 2008. Biodiversity in The Cacao Agroecosystem: Shade Management and Landscape Considerations. Washington DC: National Zoology Park.
Hosang, Schulze, Tscharntke,dan Buchori. 2010. The Potential Artificial Nesting Sites For Increasing The Population Density of The Black Cacao Ants. (Tanpa Kota): Indonesian Jurnal of Agricuture.
Jahuddin, Ali, Baharuddin, dan La Daha. 2009. Analis Keberlanjutan Implementasi Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kakao Di Sulawesi Selatan. Makassar: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin MakassarJ. Sains & Teknologi.
Kabupaten Jember. 2010. (Tanpa Judul). Jember: Tabloid Jember Terbina. [Edisi 23 Desember].
16
Kementrian Pertanian. 2010. Semut Hitam, Musuh Alami Hama Penggerek Buah Kakao. http://sumbar.litbang.deptan.go.id. [26 Mei 2011].
Perpusatakaan Digital. 2011. Rambipuji, Peta Rupabumi Digital Indonesia. http://122.200.145.136:8000/perpustakaan/petaview.php?No_Peta=M06-05064. [26 Mei 2011].
Tscharntke, Clough, Bhagwat, Buchori, Faust, Hertel, lscher, Juhrbandt, Kessler, Perfecto, Scherber, Schroth, Edzo Veldkamp, dan Wanger. 2011. Multifunctional Shade-Tree Management in Tropical Agroforestry Landscapes. British: Bitish Ecological Society.
Universitas Jember. (Tanpa Tahun). Identifikasi Tanin pada Tanaman Kakao. Tidak Dipublikasikan. Jember: Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatra Utara. (Tanpa Tahun). (Tanpa Judul). http://repository.usu.ac.id. [24 Mei 2011].
Wikipedia. (Tanpa Tahun). (Tanpa Judul). http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa. [24 Mei 2011].
Wordpress.com. (Tanpa Tahun). (Tanpa Judul). http://coretanroodeetea.wordpress.com/2010/03/03/hama-penggerek-buah-kakao-pbk/ [24 Mei 2011].
Wulan, Atmadilaga, Turmudi, dan Murdaningsih. 2010. Revitalization of Cocoa Plantations in Indonesia Becoming The World Expoter. (Tanpa Kota): National Coordinating Agency for Surveys and Mapping Indonesia.
17