Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Analisis Transformasi Karakter Tokoh dalam Kumpulan Cerita Pendek Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru: Sebuah Kajian Psikologi Sastra
Dwi Mutiara, Dewi Anggraeni
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai perubahan karakter pada beberapa tokoh dalam kumpulan cerita pendek Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru melalui pendekatan psikologi sastra, khususnya menggunakan metode telaah karakterisasi fiksi. Penulisan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan karakter yang dialami oleh beberapa tokoh dalam setiap cerita dan menjabarkan berbagai pemicu yang mempengaruhi perubahan tersebut. Upaya mengamati perubahan karakter dapat ditunjukkan melalui dialog antar tokoh, sudut pandang pencerita, tuturan pengarang, tingkah laku, dan penampilan tokoh. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya ada beberapa tokoh dari keenam cerita yang mengalami perubahan karakter setelah adanya suatu pemicu, baik yang berupa bencana maupun keadaan yang tak terduga. Analysis of Transformation of The Character in Short Story Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru: A Study of Psychology Literature
Abstract
The focus of this study is the transformation of character in the short story Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru through approach of psychology literature, especially using fictional characterization method. This study aims to analyze the transformation of some characters in each story and describe the various triggers that influence these transformation. To observe the transformation in the character can be shown through dialogue among characters, the viewpoint of the narrator, the author’s speech, behavior, and appearance of characters. The analysis shows that there are only a few characters of the six stories that are changing the character after the triggers, either in the form of a disaster or unforeseen circumstances. Key words: Transformation of character; triggers; figures; disaster; Murakami Haruki; and methods of characterization study. Pendahuluan
Karya sastra berbentuk cerita pendek merupakan hasil imajinasi dari pengarang. Unsur
pembentuk karya sastra yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Menurut Nyoman (1991: 164),
unsur-unsur yang termasuk unsur intrinsik, antara lain peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema,
latar, sudut pandang cerita, bahasa, dan gaya bahasa. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik
meliputi unsur-unsur yang berada di luar karya sastra tersebut. Adanya perbedaan karakter
pada setiap tokoh dapat membuat alur cerita menjadi lebih hidup, sehingga perilaku tokoh
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
memiliki perbedaan dalam menghadapi peristiwa dan juga pembaca dapat berimajinasi
terhadap tokoh yang berperan dalam cerita tersebut.
Setiap cerita disajikan dengan berbagai peristiwa yang kadang berubah-ubah.
Transformasi atau perubahan tidak hanya terjadi pada peristiwa dalam alur cerita, tetapi juga
dapat terjadi pada karakter tokoh yang digambarkan melalui interaksi antar tokoh maupun
lingkungannya. Tokoh dan penokohan atau karakterisasi dapat mengalami perubahan, karena
adanya pemicu baik dari faktor internal maupun eksternal, seperti pengalaman, peristiwa
(fenomena) atau lingkungan sosial. Satu diantara peristiwa yang mengubah karakter tokoh
dalam cerita, yaitu bencana alam di Jepang. Bencana yang digambarkan dalam kumpulan
cerpen Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru karya Murakami, yaitu gempa Kōbe 1995
dengan kekuatan 7,2 Skala Ritcher dan serangan gas sarin1. Bencana yang digambarkan
dalam kumpulan cerita tersebut, bukan hanya bencana alam dan kemanusiaan saja, tapi juga
bencana yang dianggap sebagai musibah tak terduga yang dapat terjadi pada kehidupan
seseorang. Setiap tokoh yang digambarkan oleh Murakami dalam ceritanya mengalami
perubahan menjadi karakter yang berbeda sebagai akibat adanya pemicu awal berbentuk
bencana dan pemicu-pemicu lainnya.
Tinjauan Teoritis
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan
aktivitas kejiwaan. Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam memahami
sastra. Ada tiga kelebihan untuk meneliti sastra melalui pendekatan psikologi sastra. Pertama,
pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek karakterisasi tokoh. Kedua,
melalui pendekatan ini dapat memberikan umpan-balik kepada peneliti tentang masalah
karakterisasi tokoh yang dikembangkan. Ketiga, penelitian semacam ini sangat membantu
untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis atau ilmu
kejiwaan (Endraswara, 2008: 12). Psikologi sastra bertujuan untuk memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra (Ratna, 2003: 343).
Endraswara (2008: 96-97), sastrawan Indonesia, memaparkan bahwa karya yang
dipandang sebagai fenomena psikologis akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui
tokoh-tokoh jika berbentuk drama maupun prosa. Psikologi dan sastra memiliki hubungan
1 Serangan gas sarin 1995 adalah serangan teroris yang paling serius dalam sejarah modern Jepang dan dilakukan oleh sebuah sekte agama bernama Aum Shinrikyō di jalur kereta api bawah tanah terpadat di Tōkyō pada Maret 1995. http://www.cfr.org/japan/aum-shinrikyo/p9238 diakses pada 11 Oktober 2014 pukul 00.28 WIB dan Tetsushi Kajimoto, Sarin Memories still Haunt Survivors, The Japan Times, 1996: 1.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
fungsional karena sama-sama menyoroti mengenai keadaan jiwa orang lain, hanya saja dalam
bidang psikologi keadaan jiwa manusia yang dikaji bersifat nyata, sedangkan dalam bidang
sastra bersifat imajinatif atau melalui karakter tokoh.
Dalam menelaah sastra menggunakan pendekatan psikologi, peneliti tidak serta merta
menghilangkan ciri khas pendekatan sastra. Namun, sebelum peneliti menelaah sastra melalui
pendekatan psikologi, peneliti harus memahami landasan pada bidang sastra yang mencakup
teori, konsep, dan definisi. Teori sastra yang paling mendekati dan saling mendukung untuk
telaah karya sastra adalah teori karakterisasi (Minderop, 2013: 72).
Metode Telaah Karakterisasi Fiksi
Menurut Albertine Minderop (2005: 95) dalam bukunya Metode Karakterisasi Telaah
Fiksi menyatakan bahwa perkarakteran adalah kualitas nalar dan perasaan para tokoh di
dalam suatu karya fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku dan kebiasaan, tetapi
juga penampilan. Lebih lanjut, Minderop menyatakan bahwa metode karakterisasi dalam
telaah karya sastra adalah metode melukiskan karakter para tokoh yang terdapat dalam karya
fiksi.
Dalam psikologi sastra, pencerminan berbagai konsep psikologis pada tokoh bentukan
pengarang perlu disampaikan melalui metode karakterisasi fiksi yang biasa digunakan dalam
telaah sastra. Metode telaah karakterisasi fiksi antara lain metode langsung dan tidak langsung
(telling dan showing), sudut pandang (point of view), dan gaya bahasa (figurative language).
Metode Langsung dan Tidak Langsung (Telling and Showing)
Pada umumnya, seorang pengarang menggunakan dua metode untuk menggambarkan
karakter tokoh dalam karyanya.
Pertama, metode langsung (telling) merupakan metode yang digunakan oleh
kebanyakan penulis fiksi zaman dulu dengan mengandalkan pemaparan dari pengarang
mengenai karakter tokoh. Albertine Minderop menambahkan bahwa metode langsung
mencakup karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, penampilan tokoh, maupun tuturan
pengarang. Nama tokoh digunakan untuk memperjelas dan mempertajam karakter tokoh serta
melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Dalam suatu
karya sastra, penampilan para tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan telaah
karakterisasi, seperti pakaian yang dikenakan oleh tokoh. Karakterisasi melalui tuturan
pengarang memberikan ruang yang luas dan bebas kepada pengarang dalam menentukan
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
ceritanya (Minderop, 2013: 79). Pengarang yang menggunakan metode ini mencoba
membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya melalui komentar atau
tuturan pengarang.
Kedua, menurut Minderop (2005: 22-23), karakterisasi melalui dialog dalam metode
tidak langsung dapat mencakup apa yang dikatakan penutur, lokasi dan situasi percakapan,
jatidiri penutur, jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara,
penekanan, kosa kata, maupun dialek para tokoh kisahan. Sedangkan karakterisasi melalui
tingkah laku dalam metode tidak langsung dapat mencakup ekspresi wajah dan motivasi yang
melandasi tindakan tokoh.
Pembaca harus memperhatikan substansi dari suatu dialog, apakah melalui dialog,
peristiwa dalam alur cerita dapat berkembang atau sebaliknya. Selain itu, situasi dalam
percakapan dapat mendukung dan memperjelas karakter para tokoh yang dibicarakan. Jatidiri
tokoh yang dituju oleh penutur, penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam
cerita, maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lainnya. Kualitas
mental para tokoh dapat dikenali melalui alunan dan aliran tuturan ketika para tokoh
bercakap-cakap. Nada suara, penekanan, dialek, dan kosa kata juga dapat membantu dan
memperjelas karakter para tokoh. Selain melalui tuturan, karakter tokoh dapat diamati melalui
tingkah laku. Tampilan ekspresi wajah pun dapat memperlihatkan karakter tokoh.
Metode Sudut Pandang (Point of View)
Secara singkatnya, teknik sudut pandang dapat digunakan pengarang dengan
menampilkan pencerita2. Metode karakterisasi melalui sudut pandang adalah metode narasi
yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan.
Pencerita yang menggunakan sudut pandang persona pertama “akuan” merupakan
pencerita yang terlibat langsung dalam mengalami berbagai peristiwa cerita (Bennison, 1996:
40). Sedangkan pencerita yang menggunakan sudut padang persona ketiga3 “diaan” biasanya
2 Pencerita merupakan tokoh ciptaan pengarang yang mengemban tugas untuk menyampaikan cerita. Pencerita tidak selalu berkedudukan sebagai pengarang cerita, walaupun pencerita menggunakan teknik “akuan” yang identik dengan pengarang cerita sebagai tokoh utama dalam cerita. Pencerita tetap menjadi bagian dalam dunia fiktif. 3 Sudut pandang persona ketiga dibagi menjadi dua, yaitu “diaan” mahatahu dan “diaan” terbatas. “Diaan” mahatahu adalah pencerita yang berada di luar cerita menyampaikan, mendramatisasi, atau menginterpretasi berbagai peristiwa yang menyangkut para tokoh dalam kisahan dengan bebas melalui sudut pandang “ia” maupun “dia”. Namun, pencerita tidak selalu ikut campur para tokoh dengan bebas mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun harapan melalui dialog dengan menggunakan kata ganti orang pertama “aku” dan “kau”. Sedangkan pencerita “diaan” terbatas yaitu pencerita yang hanya membatasi diri dalam pemaparan peristiwa yang diamatinya dari luar. Jadi seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
menampilkan tokoh-tokoh ciptaannya dengan menyebut nama atau menggunakan kata ganti
“ia”, “dia”, atau “mereka” (Minderop, 2005: 96).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan psikologi sastra melalui
metode telling dan showing. Penggunaan metode ini memudahkan penulis untuk mencari kata
kunci dalam tuturan langsung pengarang, dialog, tingkah laku, penampilan, penekanan pada
tuturan, situasi percakapan, ataupun kosa kata yang digunakan para tokoh yang merujuk pada
perubahan karakter tokoh setelah adanya suatu pemicu dalam kumpulan cerpen karya
Murakami Haruki. Metode sudut pandang juga digunakan dalam penelitian ini karena metode
ini lebih memfokuskan gaya penyampaian cerita. Posisi pencerita dan gaya penyampaian
cerita, baik “akuan” maupun “diaan” mempengaruhi bagaimana pembaca menginterpretasikan
karakter tokoh. Namun, fokus penggunaan metode terletak pada metode telling dan showing.
Metode gaya bahasa tidak digunakan oleh penulis dalam menganalisis perubahan
karakter pada tokoh. Menurut pengamatan penulis, gaya bahasa yang digunakan tidak terlalu
menggambarkan karakter tokoh dan juga perubahan pada karakter. Murakami lebih
memberikan kekhasan pada gaya penulisannya yang ringan, karena gaya bahasa yang terlalu
tinggi akan menimbulkan kesulitan untuk dipahami oleh penikmat karya sastra.
Metode Penelitian
Penulis akan menggunakan langkah-langkah penelitian sebagai berikut. Pertama,
penulis akan mengamati karakter awal pada tokoh baik tokoh utama maupun tokoh bawahan.
Kedua, penulis menggunakan pendekatan psikologi sastra untuk mengetahui kerakterisasi
tokoh melalui metode langsung dan tidak langsung (telling dan showing), serta sudut pandang.
Dengan teori tersebut, akan dilakukan pengamatan pada dialog, tingkah laku, lokasi, kosa kata,
maupun penampilan tokoh. Ketiga, penulis mengamati tokoh yang sama dengan karakter
yang sudah berbeda setelah adanya pemicu dengan menerapkan metode langsung, tidak
langsung, dan sudut pandang untuk menganalisis perubahan karakter pada tokoh. Sebagai
tahap akhir, akan dibuat kesimpulan mengenai perubahan karakter pada tokoh dalam
kumpulan cerpen Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru dengan hasil analisis psikologi
sastra melalui metode telaah karakterisasi fiksi. Berikut alur metode penelitian untuk
memudahkan pemahaman mengenai perubahan karakter.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Gambar 1. Alur Metode Penelitian
Peneliti dalam memperoleh data melalui studi dokumen. Studi dokumen dengan
membaca literatur dari perpustakaan Universitas Indonesia dan perpustakaan Japan
Foundation, google book, modul perkuliahan, artikel, dan referensi dari internet dengan tema
yang terkait.
Pembahasan
Transformasi merupakan perubahan bentuk yang berupa sifat, fisik, atau keadaan.
Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan untuk mengacu pada transformasi adalah
perubahan. Perubahan pada karakter tokoh digambarkan melalui dialog dan gaya
penyampaian pencerita, agar dapat memahami dengan jelas sebelum masuk ke dalam analisis
cerita.
Perubahan Karakter Komura (小村) pada Cerpen Yūfō ga Kushiro ni Oriru
Pencerita mengisahkan tokoh-tokoh pada cerita pertama melalui sudut pandang “diaan”
yang terlihat dalam kalimat pertama (Murakami: 2000, 13). Dalam cerpen ini, Komura
digambarkan sebagai orang yang tidak banyak bicara melalui metode sudut pandang.
Selanjutnya, berdasarkan penggambaran pengarang, karakter Komura digambarkan memiliki
sifat yang supel, berpenampilan menarik, dan kharismatik. Karakter Komura mengalami
perubahan, untuk membantu memahami perubahan tersebut dibutuhkan metode telaah
karakterisasi fiksi.
Gambar 2. Alur Perubahan Karakter Komura
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 2 menjelaskan bahwa Komura
mengalami tiga kali perubahan. Perubahan tersebut diakibatkan oleh tiga pemicu dan dapat
dianalisis melalui metode telaah karakterisasi fiksi. Dalam cerita, Komura yang awalnya supel
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
dan memiliki banyak teman baik laki-laki maupun perempuan, tapi setelah menikah (pemicu
I), hasratnya untuk berkencan dengan perempuan dan ingin diperhatikan oleh orang-orang
sekitar menjadi hilang. Komura memilih untuk cepat pulang dari tempat kerjanya untuk
bertemu dengan istrinya. Perubahan karakter Komura juga disadari oleh teman-teman
kerjanya. Pada awalnya karakter Komura yang supel, kemudian pencerita menggambarkan
karakter Komura menjadi lebih kalem.
Berdasarkan sudut penceritaan, perubahan karakter yang semula bahagia dan
menikmati kehidupan pernikahan bersama istrinya, kemudian menjadi karakter yang berbeda
karena istrinya yang sudah tidak bersamanya lagi, ia menjadi kehilangan arah hidup. Setelah
istrinya melihat pemberitaan mengenai bencana (pemicu II), ia memilih untuk kembali ke
rumah keluarganya dan meninggalkan Komura. Hal tersebut membuat Komura tidak tahu
harus melakukan apa untuk hidupnya. Kehilangan pasangan hidup membuatnya seperti mayat
hidup, terombang-ambing mengikuti arus kehidupan saja.
Cerita beruang (pemicu III) mampu memberikan tamparan pada Komura bagaimana
seharusnya dulu ia memperlakukan istrinya. Pemicu tersebut mengubah karakter Komura
menjadi karakter yang berbeda yang sadar akan dirinya terombang-ambing tidak tahu arah
hidup. Akhirnya, Komura tersadar bahwa ia telah melakukan perjalanan yang panjang demi
melangkah maju menjalani hidup ke depannya.
Perubahan Karakter Junko (順子) pada Cerpen Airon no Aru Fūkei
Pencerita mengisahkan tokoh-tokohnya melalui sudut pandang “diaan” yang terlihat
dalam kalimat kedua (Murakami: 2000, 47). Berdasarkan gaya penceritaan, Junko
digambarkan sebagai orang yang banyak bicara (Murakami: 2000, 47). Hal tersebut terlihat
dalam gaya penyampaian pencerita yang memberikan kesempatan untuk Junko
mengekspresikan dirinya melalui dialog yang santai dengan Keisuke. Karakter Junko
mengalami perubahan, untuk membantu memahami perubahan tersebut dibutuhkan metode
telaah karakterisasi fiksi.
Gambar 3. Alur Perubahan Karakter Junko
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 3 menjelaskan bahwa Junko mengalami
dua kali perubahan. Perubahan tersebut diakibatkan oleh dua pemicu dan dapat dianalisis
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
melalui metode telaah karakterisasi fiksi. Dalam cerita menurut pengamatan penulis, Junko
mengalami perubahan yang singnifikan saat ia mulai beranjak dewasa dengan ditandai
menstruasi. Berdasarkan penggambaran pengarang, karakter Junko digambarkan memiliki
sifat yang periang, penyayang, dan sederhana pada saat kecilnya. Karakter Junko disampaikan
melalui metode telling─tuturan pengarang seperti dalam kutipan di bawah ini.
小さな子どもの頃、順子は父親と仲が良かった。休日にはよく二人でいろんなとこ
ろに遊びにい行った。父親と手をつないで歩いていると、わけもなく誇らしく、心
強かった。(Murakami, 2000: 58). Ketika masih kecil, Junko dan ayahnya berhubungan baik. Ia dan ayahnya pergi bermain ke berbagai tempat pada hari libur. Ketika ia berjalan dan bergandengan tangan dengan ayahnya, ia yakin dan bangga yang tak beralasan.
Kutipan di atas menggambarkan kedekatan Junko dengan sang ayah. Ia tidak ingin
merepotkan ayahnya, seperti merengek untuk dibelikan makanan atau hadiah yang biasanya
dilakukan oleh anak-anak kecil. Dalam keseluruhan cerita, ibu Junko tidak dimunculkan oleh
pengarang. Artinya, Junko hanya hidup bersama ayahnya sejak kecil. Namun, datang saatnya
secara tak terduga Junko mengalami menstruasi (pemicu I). Bagi anak perempuan, menstruasi
untuk kali pertama (menarche) dianggap bencana karena pada saat itu tubuh akan mengalami
perubahan seperti membesarnya payudara dan timbulnya rasa sakit pada tubuh. Menstruasi
menjadi jembatan dalam perubahan pada fase anak-anak menuju fase remaja.
Peran orang tua masih kental dalam mengarahkan tingkah laku anaknya berdasarkan
gender.Perubahan fase pada seorang anak akan membutuhkan perhatian orang tua terutama
ibu yang lebih paham mengenai fisik dan psikis anak. Ibu menjadi sumber informasi pertama
bagi anak perempuan untuk mengetahui masalah menstruasi dan membantunya melewati
masa transisi menjadi remaja. Saat anak perempuan sudah pubertas (menstruasi), ibu yang
mengajarinya mengenai menstruasi, seperti bagaimana membersihkan atau memasang
pembalut. Namun, saat Junko yang pertama kalinya mengalami menstruasi, ia tidak mengerti
apapun, karena keberadaan ibu tidak diceritakan apakah ibunya masih hidup atau sudah
meninggal. Ia hanya tinggal dengan ayahnya, sehingga membuat psikisnya terguncang.
Perubahan pada tokoh Junko terjadi saat pertama kali menstruasi. Seorang anak
perempuan saat pertama kali mengalami pubertas akan cenderung panik. Demi mengurangi
kepanikan, mereka harus memahami masa pubertas seperti apa. Pengetahuan mengenai
menstruasi maupun pubertas diperlukan untuk mencegah berbagai masalah yang berhubungan
dengan kebersihan organ kewanitaaan, masalah kehamilan yang tidak diinginkan, dan
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
penularan penyakit.4 Dalam cerita, Junko menyadari bahwa dirinya sudah bukan anak-anak, ia
sudah mulai beranjak remaja. Selain itu, hubungan Junko dan ayahnya yang mulai
merenggang semenjak menstruasi juga membuatnya menjadi tidak nyaman. Saat anak
perempuan terlahir di dunia, figur laki-laki yang pertama ditemuinya adalah ayah. Setelah
Junko memasuki masa pubertas, timbul rasa tidak nyaman karena tingkah laku ayahnya yang
melihat Junko dengan tatapan yang aneh dan berbeda. Junko mengartikan tatapan ayahnya
sebagai tatapan seorang laki-laki yang melihat perubahan pada fisik perempuan.
Baginya, menstruasi menjadi pembatas antara ia dan ayahnya. Hal tersebut
mengakibatkan terganggunya psikis Junko, karena ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan
melewati hidupnya tanpa kehadiran ayah di dekatnya. Berbagai masalah mulai timbul dalam
kehidupan Junko, seperti nilai yang buruk.
Perubahan Karakter Ayah Junko pada Cerpen Airon no Aru Fūkei
Pencerita mengisahkan tokoh ayah Junko melalui sudut pandang “diaan” (Murakami:
2000, 58). Berdasarkan gaya penceritaan, ayah Junko digambarkan sebagai tokoh yang tidak
banyak bicara. Hal tersebut terlihat dalam gaya penyampaian pencerita yang menggambarkan
karakter ayah Junko dengan lebih leluasa, sehingga tidak ada kesempatan ayah Junko untuk
berdialog atau menggambarkan karakternya. Sedangkan berdasarkan penggambaran
pengarang, karakter ayah Junko digambarkan memiliki karakter yang periang, penyayang, dan
sederhana. Ayah Junko memiliki karakter sederhana dan penyayang ditunjukkan saat ia
memilih menghabiskan waktu liburnya bersama anak perempuannya, meskipun sekedar
berjalan-jalan keluar. Karakter ayah Junko mengalami perubahan, untuk membantu
memahami perubahan tersebut dibutuhkan metode telaah karakterisasi fiksi.
Gambar 4. Alur Perubahan Karakter Ayah Junko
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 4 menjelaskan bahwa ayah Junko
mengalami satu kali perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena anak perempuannya yang
mengalami menstruasi pertama kali. Dalam cerita, ayah Junko memiliki kedekatan selayaknya
sahabat. Alasan anak perempuan memilih lebih dekat dengan ayahnya, karena dapat menjadi
4 http://www.livestrong.com/article/84087-signs-before-first-period/ diakses pada 28 November 2014 pukul 08.36 WIB.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
dasar pemahaman bagaimana kehidupan masa depan ketika memiliki hubungan dengan lawan
jenis. Namun, jika hubungan ayah dan anak perempun tidak berjalan dengan baik, maka
mungkin saja dapat berimbas pada emosi anak dan bagaimana cara membangun hubungan
dengan laki-laki lain dalam hidupnya. Dalam cerita, karakter ayah sebagai sosok yang
penyayang tergambarkan dengan hubungan ayah dan anak perempuan terjalin dengan baik.
Kesibukan sehari-hari membuat ayahnya sulit bermain dengan anaknya, maka ia
sangat menghargai dan memanfaatkan waktu bersama putrinya. Seorang ayah yang sangat
dekat dengan anak perempuannya akan merasa kehilangan saat anak kesayangannya mulai
memasuki masa pubertas. Ayah Junko merasa sudah tidak dapat menghabiskan waktu
liburnya walaupun hanya untuk pergi berjalan-jalan bersama anaknya. Oleh karena itu, ia
memilih untuk menjauh dari Junko. Karakter ayahnya yang awalnya terlihat baik dan
penyayang, kemudian berubah menjadi tokoh dengan karakter yang dingin yang digambarkan
dengan metode telling─tuturan pengarang pada kutipan di bawah ini.
...父親はそれまでとはちがった奇妙な視線で彼女のことを見るようになった。
中学三年生になって身長が170センチを超えてからは父親はほとんどなにも話し
かけないようになった。(Ibid). ... hingga saat itu, ayahnya mulai melihat Junko dengan tatapan aneh dan berbeda dari biasanya. Tinggi badannya saat menjadi murid SMP kelas tiga mencapai 170 sentimeter, sehingga ayahnya hampir tidak berbicara apapun.
Perubahan fisik yang terjadi pada anaknya membuat ayah Junko menjadi merasa asing
dengan anaknya yang telah menjadi remaja perempuan. Hubungan ayah dan anakpun
mengalami perubahan menjadi hubungan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pengamatan
penulis, karena tidak digambarkan dengan jelas apakah ibunya masih hidup atau tidak dalam
cerita, sehingga muncul pemahaman bahwa adanya sepasang laki-laki (ayah) dan perempuan
(Junko) yang hidup bersama. Sebagai respons alami dari seorang laki-laki, ayah Junko akan
memandang anak perempuan yang sudah remaja dengan tatapan aneh.
Bentuk respons seperti memandang seseorang, dapat mengacu pada sekuhara (セクハ
ラ, pelecehan seksual) dari laki-laki dewasa pada perempuan remaja. Pelecehan seksual
merujuk pada tindakan yang tidak diinginkan yang bersifat seksual, sehingga dapat membuat
seseorang merasa tidak nyaman dan terganggu. Pelecehan seksual tidak serta merta perilaku
mengenai seks, tapi dapat juga berbentuk pelecehan lainnya yang menimbulkan
ketidaknyamanan dan ketakutan pada orang yang dikenainya. Bentuk pelecehan seksual dapat
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
berupa menyentuh tubuh seseorang, melihat tubuh seseorang dengan saksama, atau bahkan
membicarakan mengenai seks.5
Dalam cerita, ayah memandang anaknya dengan tatapan aneh. Selain itu, ayah sudah
tidak lagi berkomunikasi dengan Junko semenjak itu. Sebagai seorang laki-laki, ayahnya
paham mengenai tindakannya yang menatap dengan tatapan aneh pada anaknya merupakan
sekuhara, sehingga ia lebih memilih untuk tidak berbicara lagi dengan Junko. Respons yang
ditunjukkan oleh ayah Junko bertujuan untuk menghindari sekuhara. Hal tersebut
mengakibatkan Junko menjadi tidak nyaman dan takut. Oleh karena itu, Junko memilih untuk
pergi dari rumah dan tinggal sendiri di Ibaraki.
Perubahan Karakter Miyake (三宅) pada Cerpen Airon no Aru Fūkei
Berdasarkan gaya penceritaan, Miyake digambarkan sebagai orang yang tidak banyak
bicara dan tertutup dari siapapun. Tokoh Miyake diceritakan oleh seseorang yang
meminjamkan rumah pada Miyake (Murakami: 2000, 60). Orang tersebut diberi tugas oleh
pencerita untuk menyampaikan karakter tokoh Miyake. Selain itu, pertemuan Junko dan
Miyake menggambarkan bahwa Miyake tertutup dan tidak banyak bicara, karena yang
menyapa terlebih dahulu adalah Junko. Karakter Miyake mengalami perubahan, untuk
membantu memahami perubahan tersebut dibutuhkan metode telaah karakterisasi fiksi.
Gambar 5. Alur Perubahan Karakter Miyake
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 5 menjelaskan bahwa Miyake
mengalami satu kali perubahan. Perubahan tersebut diakibatkan oleh pembicaraan mengenai
gempa (pemicu I) dan dapat dianalisis melalui metode telaah karakterisasi fiksi. Dalam cerita,
Miyake merupakan tokoh yang dingin, tidak banyak bicara, dan terkesan cuek juga
digambarkan melalui penampilannya. Ia digambarkan sosok tidak peduli dengan pandangan
orang mengenai penampilannya yang terkesan tidak mengikuti zaman.
Pencerita tidak menceritakan awal kehidupan keluarga Miyake. Namun, dapat
dipahami dari dingin dan tidak acuhnya karakter yang ditunjukkan oleh Miyake bahwa
terdapat masalah yang disimpannya sendiri. Pola kehidupan keluarga Miyake sudah hancur 5 http://www.ggenyc.org/programs/education/what-is-sexual-harassment/ diakses pada 5 Januari 2015 pukul 23.24 WIB.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
dari sebelum gempa terjadi dan mengakibatkan Miyake menjadi sosok yang menutupi
emosinya. Karakter tidak acuh pada Miyake berubah menjadi emosi saat ia ditanya oleh
Keisuke. Karakter Miyake yang berubah digambarkan melalui metode showing─jatidiri
penutur tokoh bawahan dan jatidiri penutur tokoh protagonis seperti dalam kutipan di bawah
ini. 「三宅さん、出身は神戸のほうだっていつか言ってましたよね」、啓介がふと思い
出したように明るい声で尋ねた。「先月の地震は大丈夫だったんですか?神戸には
家族とかいなかったんですか?」 「さあ、ようわからん。俺な、あっちとはもう関係ないねん。昔のことや。」 「昔のことやと言われても、そのわりに関西弁ぜんぜん抜けないですね」 「そうかな、抜けてへんか?自分ではようわからんけど」(Murakami, 2000: 55, penebalan oleh penulis).
“Apakah gempa bulan lalu tersebut baik-baik saja untukmu?”
“Aku tidak yakin,” kata Miyake. “Aku tidak punya hubungan dengan Kōbe lagi. Itu suatu hal yang lama.” “Lama? Apakah kamu yakin tidak kehilangan dialek Kansaimu?” “Hmm, Aku juga tidak tahu.”
Kehidupan keluarga Miyake saat di Kōbe tidak dijelaskan secara rinci. Istri dan
anaknya masih tinggal di Kōbe saat gempa tersebut terjadi. Namun, Miyake sudah hidup
sendiri sejak lima tahun yang lalu dan pindah ke Ibaraki. Pertanyaan Keisuke mengingatkan
Miyake pada gempa yang menimpa keluarganya. Ia berusaha untuk menghindari pertanyaan
seputar gempa yang dituturkan oleh Keisuke. Berdasarkan dialog Miyake, ia seakan emosi
dan marah ketika mendengar Kōbe. Baginya, Kōbe merupakan masa lalunya yang tidak ingin
diingat olehnya. Ia menggunakan kata mukashi (昔) untuk menunjukkan bahwa sudah sangat
lama peristiwa tersebut terjadi di Kōbe. Ia menyamakan gempa dengan kehancuran pada
kehidupan keluarganya. Dapat dipahami bahwa pembicaraan mengenai gempa menjadi
pemicu adanya perubahan pada tokoh Miyake yang semula terlihat lebih tertutup, kemudian
menjadi lebih sensitif dan perasa saat disinggung tentang gempa Kōbe.
Perubahan Karakter Yoshiya (善也) pada Cerpen Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru
Pencerita menggambarkan tokoh melalui sudut pandang “diaan”. Yoshiya
digambarkan memiliki karakter periang, sederhana, dan mudah percaya (Murakami: 2000, 98).
Posisi pencerita mahatahu mengenai karakter awal Yoshiya. Karakter Yoshiya mengalami
perubahan, untuk membantu memahami perubahan tersebut dibutuhkan metode telaah
karakterisasi fiksi.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Gambar 6. Alur Perubahan Karakter Yoshiya
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 6 menjelaskan bahwa Yoshiya
mengalami satu kali perubahan. Perubahan pada tokoh Yoshiya terlihat jelas ketika ia
memohon pada Ayahnya agar dapat pandai berolahraga (pemicu I). Ketika ia kecil, ia selalu
diberi tahu oleh ibunya dan Tuan Tabata bahwa ia anak tuhan dan ia mempercayainya,
sehingga ia sangat senang ketika diajak pergi untuk membantu ibunya menyebarkan agama.
Mengacu pada serangan gas sarin, pencerita ingin memaparkan bahwa Tuan Tabata
menjadi misionaris dalam menyebarkan agamanya. Menurut pengamatan penulis, dengan
adanya serangan gas sarin, muncul kemungkinan pembaca menginterpretasikan tokoh Tuan
Tabata pada sosok Shōkō Asahara yang juga merupakan seorang misionaris 6 yang
menyebarkan agamanya untuk dapat menyelamatkan umat manusia dari kesulitan. Namun,
Tuan Tabata dan Asahara memiliki perbedaan dalam menyebarkan agama. Tuan Tabata
menyebarkan agamanya melalui jalan damai, sedangkan Asahara menyebarkan agamanya
melalui aksi teror serangan gas sarin agar semua manusia tidak akan melakukan dosa dan
akan mengikuti agamanya.7 Doktrin yang diberikan oleh Tuan Tabata memberikan pengaruh
pada kepercayaan Yoshiya.
Dalam cerita, Yoshiya memiliki kesulitan dalam berolahraga, ia tidak memiliki
keahlian dalam menangkap bola, sehingga ia memutuskan untuk meminta bantuan dari
ayahnya sebagai Tuhan. Ia berharap akan bisa menangkap bola. Sejak awal Yoshiya sangat
mempercayai ayahnya adalah Tuhan, tapi semenjak doanya tidak terkabul. Ia mulai menjadi
sosok yang tidak mudah percaya. Yoshiya mulai mempertanyakan hubungan Tuhan dengan
dirinya. Ia berpikir jika Tuhan adalah ayahnya, mengapa ayahnya berbeda dengan ayah
teman-temannya dan mengapa ayahnya menjadi milik orang lain. Ia mulai menyadarinya saat
doanya tidak terkabulkan. Ia tidak merasakan mendapat bantuan dari ayahnya. Saat ia
beranjak remaja dan masuk SMP, ia mulai tidak mudah percaya pada hal-hal yang
menurutnya tidak logis, seperti anak tuhan. Oleh karena itu, ia memilih untuk meninggalkan
agamanya saat ia sudah beranjak remaja.
Perubahan Karakter Ibu Yoshiya pada Cerpen Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru 6 Misionaris adalah seseorang yang menyebarkan agama yang dapat menyelamatkan umat manusia. 7 Lihat http://www.cfr.org/japan/aum-shinrikyo/p9238 diakses pada 11 Oktober 2014 pukul 00.28 WIB.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Ibu Yoshiya merupakan sosok yang cantik dan lembut. Pada awalnya, ibu Yoshiya
memiliki hidup yang gelap dan kelam. Ia harus merasakan kehidupan malam yang sangat
bebas. Karakternya mengalami perubahan, untuk membantu memahami perubahan tersebut
dibutuhkan metode telaah karakterisasi fiksi.
Gambar 7. Alur Perubahan Karakter Ibu Yoshiya
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 7 menjelaskan bahwa Ibu Yoshiya
mengalami dua kali perubahan. Dalam cerita menurut pengamatan penulis, Ibu Yoshiya
mengalami perubahan yang signifikan pada saat ia menerima penolakan atau tidak diakui oleh
orang yang dicintainya (pemicu I). Pertemuan ibunya dengan seorang dokter ahli kandungan
yang dapat mengaborsi kandungan menjadi awal perubahan karakter. Pertama kali bagi
ibunya, berhubungan intim dengan orang yang dicintainya. Masalah kepercayaan atau
keyakinan juga menjadi pembahasan, dokter tidak mempercayai dan menyangkal akan
kehamilan ibu Yoshiya (Murakami, 2000: 92). Perkataan dokter tersebut membuatnya sangat
sakit hati dan marah. Ia sangat mencintai dokter tersebut. Anak dalam kandungan ibu Yoshiya
tidak dianggap oleh sang dokter. Psikis ibu Yoshiya terguncang karena perkataan seperti itu.
Ibu Yoshiya mengalami depresi, sehingga memutuskan untuk bunuh diri. Kemudian,
pertemuan oleh Tuan Tabata (pemicu II) memberikannya perubahan ke arah yang positif
sehingga ia menjadi tidak depresi setelah mendengar nasihat dari Tuan Tabata. Saat ibu
Yoshiya mengalami masalah yang berat, datangnya uluran tangan dari Tuhan yang dilukiskan
melalui tokoh Tuan Tabata seolah-olah memberikan cahaya terang. Tuhan akan membantu
siapapun yang sedang kesulitan, sehingga mereka akan mengikuti agama yang memberikan
kemudahan. Kehidupan yang dijalani oleh Ibu Yoshiya dalam cerita menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Hal tersebut juga terjadi pada penyintas bencana, saat mereka mengalami
kesulitan, Tuhan datang untuk membantu penyintas agar dapat menjalani hidup lebih baik.
Perubahan Karakter Satsuki (さつき) pada Cerpen Thailand
Pencerita menggambarkan tokoh melalui sudut pandang “diaan”. Dalam cerpen ini,
Satsuki digambarkan melalui metode sudut pandang sebagai orang yang tidak banyak bicara
(Murakami, 2000: 115-118). Karakter tersebut terlihat dalam gaya penyampaian pencerita
yang lebih banyak mengungkapkan tokoh Satsuki. Berdasarkan penggambaran pengarang,
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
tokoh Satsuki merupakan tokoh yang pendiam dan tidak banyak bicara digambarkan setelah
ayahnya meninggal dan adanya perceraian dengan suaminya yang selingkuh. Karakter Satsuki
mengalami perubahan, untuk membantu memahami perubahan tersebut dibutuhkan metode
telaah karakterisasi fiksi.
Gambar 8. Alur Perubahan Karakter Satsuki
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 8 menjelaskan bahwa Satsuki mengalami
dua kali perubahan. Perubahan pada tokoh Satsuki terlihat jelas ketika ia bertemu dengan
Nimit (pemicu II) yang dapat dilihat dari penggambaran sudut pandang pencerita. Awalnya
Satsuki memiliki karakter yang tidak banyak bicara, tertutup, dan sosok yang sedang
menyimpan rasa sedih yang mendalam. Pencerita mulai menghadirkan Satsuki dengan
karakter yang mulai terbuka untuk bercerita dengan Nimit dan lebih ceria.
Satsuki yang memiliki kenangan manis pada musik jazz dibuat bernostalgia, saat
Nimit memutarkan musik jazz di mobil. Ketika seseorang memiliki kesamaan dengan lawan
bicaranya, maka arah berpikir pun akan cenderung sama. Dengan adanya kesamaan, saat
berkomunikasi seseorang akan lebih cepat paham tentang apa yang dibicarakan. Komunikasi
antar sesama orang yang memiliki kesamaan akan menciptakan, suasana yang nyaman. Nimit
membantu Satsuki untuk keluar dari masa lalunya. Satsuki mulai banyak cerita mengenai
ayahnya yang meninggal bahkan cerita mengenai perceraiannya. Pencerita mulai memberikan
kesempatan pada Satsuki untuk mengekspresikan karakternya. Satsuki diberi tugas untuk
menceritakan mengenai dirinya yang mulai terbuka dan ramah pada orang lain (Murakami,
2000: 133-135).
Perubahan Karakter Junpei (順平) pada Cerpen Hachimitsu Pai
Pencerita mengisahkan tokoh Junpei melalui sudut pandang “diaan” (Murakami: 2000,
197). Dalam cerpen ini. Junpei digambarkan sosok yang tertutup saat ia masuk perkuliahan.
Karakter Junpei digambarkan melalui metode telling─tuturan pengarang yang
menggambarkan secara jelas dalam kutipan di bawah ini.
淳平は暇があれば一人で部屋にこもって、いつまでも飽きることなく本を読んだり
音楽を聴いているタイプで、体を動かすのは不得意だった。人見知りをするので、
なかなか友だちが作れない。 (Murakami, 2000 : 199).
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Jika ada waktu luang Junpei akan mengurung diri di kamar, kemudian membaca buku yang tidak bosan-bosan Ia baca dan mendengarkan musik, dan lemah (sulit) untuk menggerakan badan (olahraga). Ia juga canggung terhadap orang asing, sehingga tidak bisa berteman. Kutipan di atas menggambarkan bahwa karakter awal yang dimiliki oleh Junpei adalah
pendiam dan tertutup. Karakter seperti ini terkesan memiliki dunianya sendiri. Junpei merasa
nyaman dan menikmati kebiasaan-kebiasaannya walaupun dipandang aneh oleh orang-orang
sekitar. Karakter Junpei mengalami perubahan, untuk membantu memahami perubahan
tersebut dibutuhkan metode telaah karakterisasi fiksi.
Gambar 9. Alur Perubahan Karakter Junpei
Alur perubahan karakter seperti pada gambar 9 menjelaskan bahwa Junpei mengalami
satu kali perubahan. Perubahan pada tokoh Junpei diakibatkan oleh patah hatinya Junpei.
Diawali saat ia memutuskan untuk menjauh dari orang yang disukainya dan sahabatnya.
Junpei menjadi sosok yang pemurung. Junpei tidak banyak berinteraksi dengan orang lain, itu
adalah salah satu contoh yang menyatakan bahwa Junpei tertutup dengan orang-orang
sekitarnya. Kebiasaannya yang lebih senang membaca buku membuatnya ia menjadi lebih
tertutup. Seperti yang digambarkan pada awal cerita perkuliahan, ia sulit memiliki teman.
Bahkan ia terkejut bahwa ada seseorang yang mengajaknya pergi makan bersama.
Seiring berjalannya waktu, sikap Junpei mulai berubah setelah ia memiliki teman.
Istilah yang tepat untuk digunakan pada kondisi kehidupan Junpei adalah kenzoku. Kenzoku
adalah istilah bahasa Jepang yang berarti ‘keluarga’, ikatan yang dibagi oleh orang-orang
yang memiliki kesamaan dalam bentuk cita-cita, komitmen, bahkan nasib yang sama. Orang-
orang seperti itu bisa berupa anggota keluarga, teman sekolah, rekan kerja yang mungkin
belum dikenal, tapi mereka paham bahwa mereka ada untuk membantu temannya yang
membutuhkan. Kenzoku ini diterapkan dalam persahabatan Junpei, Sayoko, dan Takatsuki.
Hal tersebut terlihat dalam aktivitas mereka bertiga yang dilakukan secara bersama-sama.
Persahabatan antara Junpei dan Sayoko lebih kental, karena mereka memiliki kesamaan pada
hal-hal yang disukai, yaitu membaca buku atau novel. Sehingga meraka dapat saling bertukar
buku atau novel dan membahasnya bersama mengenai bacaan yang telah dibaca oleh mereka.
Persahabatan mereka menjadi renggang karena adanya cinta. Umumnya, cinta dalam
sebuah persahabatan tiga orang akan menimbulkan kecanggungan diantara sepasang kekasih
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
dengan dirinya. Dalam cerita, perasaan ini dirasakan oleh Junpei. Ia menjadi merasa canggung
berada di antara Sayoko dan Takatsuki. Kecanggungan ini ia tunjukkan dengan ia mulai
menjauh dengan mereka berdua. Karakter tertutup yang dimiliki Junpei berubah menjadi
pemurung. Namun, Takatsuki memiliki keberanian untuk mengutarakannya, berbeda dengan
Junpei yang tidak berani untuk mengatakan perasaannya pada Sayoko.
Junpei dan Sayoko sering bertukar buku dan membahasnya bersama. Namun,
kebiasaan yang sering dilakukan anatra Junpei dan Sayoko sudah hilang. Junpei juga tidak
ingin merusak hubungan persahabatan yang telah dibangun. Ia lebih memilih untuk
menghindari Sayoko dan Takatsuki untuk sementara waktu demi mendamaikan perasaannya.
Junpei menghindari Sayoko dan Takatsuki. Ia mencoba untuk berdamai dengan perasaannya
yang sedang hancur. Tokoh Junpei digambarkan seperti mayat hidup yang tidak tahu ingin
melakukan apa (Murakami, 2000 : 202). Ia juga merasakan kekosongan dalam dirinya yang
digambarkan dengan ia meminum sake untuk menghangatkan dirinya. Ia berpikir untuk
berhenti kuliah, sedangkan perkuliahan yang ia jalani sudah sesuai dengan keinginannya yaitu
di fakultas sastra. Hal ini menggambarkan bahwa ia sangat sedih dan terpukul saat ia harus
menjalani hidup sendiri tanpa sahabatnya.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, hampir seluruh cerita
dalam kumpulan cerpen karya Murakami memiliki kesamaan dari segi cerita. Cerita yang
digambarkan berupa peristiwa yang terjadi setelah mengalami suatu keadaan yang tak terduga.
Peristiwa yang mengubah karakter tokoh dapat bersifat positif maupun negatif. Peristiwa yang
bersifat positif seperti nasihat dari seseorang, persahabatan, ataupun pertemuan dengan
seseorang dialami oleh tokoh cerita. Dalam cerita, sebagai contoh tokoh Satsuki yang awalnya
memiliki karakter tertutup. Satsuki menjadi tertutup karena kehilangan ayahnya dan
perceraian suaminya. Kemudian setelah bertemu dengan Nimit dan mendengar musik
kesukaan ayahnya, ia berubah menjadi sosok yang terbuka karena memiliki kesamaan genre
musik. Perubahan seperti itu menunjukkan perubahan ke arah yang positif dan lebih baik.
Namun, ada juga peristiwa yang bersifat negatif seperti menstruasi, kehilangan
seseorang, atau patah hati. Dalam cerita, sebagai contoh tokoh Junpei yang senang karena
memiliki sahabat. Junpei merasa memiliki teman merupakan hal yang mustahil baginya yang
seorang pendiam. Kedekatannya dengan sahabat-sahabatnya yang sudah terjalin tidak
seutuhnya berjalan mulus. Ia berubah menjadi tokoh yang murung setelah seorang sahabatnya
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
bernama Takatsuki menyukai sahabat lainnya yaitu Sayoko. Patah hati membuatnya menjadi
tokoh pemurung. Perubahan seperti itu menunjukkan perubahan ke arah yang negatif dan
cenderung tidak baik, karena dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain.
Kedua, terdapat beberapa tokoh dalam setiap cerita yang mengalami perubahan. Dari
kelima cerita yang dianalisis, terdapat delapan tokoh yang mengalami perubahan dan tokoh-
tokoh tersebut merupakan tokoh protagonis. Selain itu, tokoh-tokoh tersebut ada yang
mengalami satu kali perubahan karakter dan selanjutnya karakter cenderung stabil. Namun,
terdapat juga tokoh yang mengalami dua hingga tiga kali perubahan karakter. Hal tersebut
terjadi berdasarkan pada pemicu yang dialaminya. Selain tokoh protagonis, terdapat juga
tokoh bawahan yang hanya membantu mengungkapkan karakter pada tokoh protagonis
melalui dialog antartokoh atau tingkah lakunya.
Saran
Penelitian ini hanya membahas bagaimana perubahan yang terjadi pada tokoh cerita
setelah mengalami suatu keadaan yang dianggap bencana tak terduga. Korpus penelitian ini
yaitu kumpulan cerita pendek. Apabila ada yang ingin membahas masalah ini lebih lanjut,
disarankan untuk mencoba membahas mengenai perbandingan pada karya sastra baik novel
maupun kumpulan cerita yang memiliki tema serupa seperti berlatar belakang oleh suatu
bencana. Sehingga dapat diharapkan penelitian selanjutnya dapat melengkapi penelitian pada
karya sastra yang bertema bencana seperti kumpulan cerita pendek Kami no Kodomotachi wa
Mina Odoru. Daftar Referensi Sumber Primer
Murakami, Haruki. 2000. Kami no Kodomotachi wa Mina Odoru. Tōkyō: Shinchōsha.
Sumber Pustaka
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Smith, Bardwell. 1988. Buddhism and Abortion in Contemporary Japan: Mizuho Kuyō and
the Confrontation with Death, Japanese Journal of Religious Studies.
Hawari, Dadang. 2004. Love Affair (perselingkuhan): Prevensi dan Solusi. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Juneman. 2010. Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana. Mercu Buana’s Psychology.
Kajimoto, Tetsushi. 1996. Sarin Memories still Haunt Survivors. The Japan Times.
Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarco Press.
Losyk, Bob. 2005. Kendalikan Stres Anda! Cara Mengatasi Stres dan Sukses di Tempat Kerja.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mussen, Paul Henry dan Mark R. Rosenweig. 1973. Psychology: An Introduction.
Gainesville: Heath.
Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Herbig, Paul A. dan Frederick A. Palumbo. 1994. Karoshi: Salaryman Sudden Death
Syndrome, Journal of Managerial Psychology Vol. 9 No. 7, MCB University Press.
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu
Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara.
Sumber Internet
“Arubaito” Mini Encyclopedia. Diakses dari:
<http://www.tjf.or.jp/deai/contents/teacher/mini_en/html/arubaito.html> pada 27
November 2014 pukul 22.10 WIB.
Chris. (2013). “The History of Dungarees”. Diakses dari:
<http://uk.dungarees-online.com/blog/the-history-of-dungarees/> diakses pada 27
November 2014 pukul 20.32 WIB.
Fletcher, Holly. (2012). “Aum Shirinkyo”. Diakses dari: <http://www.cfr.org/japan/aum-
shinrikyo/p9238> pada 11 Oktober 2014 pukul 00.28 WIB.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Gaskell, Karen Hallesvig. (2013). “Sign Before Your First Period”. Diakses dari:
http://www.livestrong.com/article/84087-signs-before-first-period/ diakses pada 28
November 2014 pukul 08.36 WIB.
Goetz, Jennifer L, dkk. (2010). “Compassion: An Evolutionary Analysis and Empirical
Review”. Diakses dari:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2864937/> diakses pada 17 Oktober
2014 pukul 23.50 WIB.
_____________. “Japanese Dialects”. Diakses dari:
<http://www.japanese-language.org/japanese/dialects.asp> pada 24 November 2014
pukul 11.09 WIB.
Khastiti, Yemima Lintang. (2013). “Kisah Cinta: Pasangan Berubah Setelah Menikah”.
Diakses dari: <http://www.fimela.com/lifestyle-relationship/kisah-cinta-pasangan-
berubah-setelah-menikah-130808x.html> diakses pada 27 November 2014 pukul
21.28 WIB.
_____________. “Menstruasi”. Diakses dari: <www.menstruasi.org> pada 27 November
2014 pukul 20.47 WIB.
Rusyanti, Hetty. (2013). “Pengertian Dongeng: Definisi Dongeng Menurut Ahli”. Diakses
dari <http://www.kajianteori.com/2013/03/pengertian-dongeng-definisi-dongeng-
menurut-ahli.html> pada 5 Januari 2015 pukul 20.38 WIB.
Sagita, Natalia. “Anak Perempuan Membutuhkan Ayahnya”. Diakses dari:
<http://keluarga.com/pengasuhan/anak-perempuan-membutuhkan-ayahnya> pada 4
Januari 2015 pukul 23.25 WIB
_____________. “What Is Sexual Harassment”. Diakses dari:
<http://www.ggenyc.org/programs/education/what-is-sexual-harassment/> pada 5
Januari 2015 pukul 23.24 WIB.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014
Yayasan Lembaga Hukum APIK Jakarta. “Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan”.
Diakses dari: <http://www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm> pada 27 November 2014 pukul
22.35 WIB.
Analisis transformasi karakter ..., Dwi Mutiara, FIB UI, 2014