Upload
truongthuan
View
223
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ICASERD WORKING PAPER No.59
ANALISIS USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG RAKYAT Bambang Rahmanto Agustus 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 59
ANALISIS USAHA PETERNAKAN
SAPI POTONG RAKYAT Bambang Rahmanto Agustus 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496 E-mail : [email protected]
No. Dok.062.59.8.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
1
ANALISIS USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG RAKYAT
Bambang Rahmanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Konsumsi daging masyarakat Indonesia sampai saat ini masih belum memenuhi konsumsi pangan harapan dan konsumsi daging sapi berada di bawah konsumsi produk perikanan dan unggas. Meskipun demikian, permintaan daging sapi belum bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri, sehingga harus diimpor. Diproyeksikan bahwa kesenjangan antara permintaan dan penawaran daging sapi domestik akan semakin besar karena di satu sisi terjadi peningkatan konsumsi sedangkan di sisi lain ada indikasi terjadinya penurunan populasi ternak. Kebijakan dan program pengembangan usaha peternakan sapi potong rakyat belum menunjukkan hasil yang menggembirakan karena berbagai permasalahan, yang di antaranya adalah tidak adanya insentif harga yang dapat merangsang tumbuhnya peternak pembibitan dan penggemukan yang berorientasi komersial sebagai akibat kondisi struktur pasar yang kurang kondusif dalam mendukung iklim usaha peternakan sapi potong rakyat. Kebijakan impor sapi hidup dan produk turunannya cenderung menunjukkan dampak negatif terhadap harga sapi di tingkat lokal dan volume pengiriman ternak Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan beberapa permasalahan dalam pengembangan pengusahaan dan perdagangan sapi potong tersebut, diperlukan upaya-upaya sebagai berikut: (1) Kebijakan yang mampu mengkonsolidasikan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten dalam mengimplementasikan program terpadu; (2) Perlu menekan kebijakan-kebijakan yang bersifat mendistorsi pasar, (3) Dalam menghadapi globalisasi diperlukan perlindungan dan perlakuan khusus untuk peternak skala kecil, dan (4) reformasi sistem kelembagaan agribisnis sapi potong.
Kata Kunci : usaha peternakan; sapi potong.
PENDAHULUAN
Konsumsi daging masyarakat Indonesia sampai saat ini masih berada di bawah
konsumsi Pola Pangan Harapan, yaitu rata-rata baru mencapai sekitar 7,66 kg/kapita/
tahun pada periode tahun 1992-1996 dan turun menjadi 5,33 kg/kapita/tahun pada
periode tahun 1998-2001 sebagai akibat krisis ekonomi (Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan, 2001). Sementara itu, berdasarkan Pola Pangan Harapan adalah
sebesar 10,1 kg/kapita/tahun (Soedjana, 1997). Di antara produk daging yang bersumber
dari usaha peternakan dan perikanan, konsumsi daging sapi menduduki urutan ketiga
setelah ikan dan produk poultry, yaitu mencapai sekitar 1,99 kg setara karkas/kapita/
tahun atau sekitar 10,3 persen dari total konsumsi daging pada tahun 2001 (GMI
database dalam Hadi et al, 2002).
Pertambahan populasi penduduk dan peningkatan pendapatan akan
menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan terus meningkat. Menurut Ilham
et al., (2001) permintaan daging sapi selama tahun 2000-2010 diproyeksikan akan
2
mengalami laju peningkatan sebesar 5,00 persen per tahun, yaitu dari sebesar 225.156
ton pada tahun 2000 meningkat menjadi 366.739 ton pada tahun 2010, sedangkan
penawaran daging sapi domestik diperkirakan mengalami penurunan dengan laju
sebesar – 0,13 persen per tahun, yaitu dari sebesar 203.164 ton pada tahun 2000
menurun menjadi 200.576 ton pada tahun 2010. Kondisi yang demikian jika tidak
diantisipasi dengan upaya terobosan dalam peningkatan produksi di dalam negeri akan
menyebabkan Indonesia selalu bergan-tung pada pasokan impor dan menjadi target
potensial pemasaran ternak sapi hidup dan produk-produk turunannya bagi negara-
negara produsen utama. Volume impor daging sapi Indonesia selama periode 1990-
1998 secara rata-rata mengalami tingkat pertum-buhan sebesar 38,55 persen per tahun
(FAO dalam Ilham et al.,2001).
Untuk mendorong peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri diperlukan
kondisi lingkungan usaha peternakan sapi potong yang kondusif. Dalam kaitan itu, artikel
ini mencoba melakukan analisis terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong rakyat
guna mengidentifikasi kelayakan usaha dan faktor-faktor pendukung maupun pengham-
bat pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat.
METODE PENELITIAN
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yang dilaksanakan dalam
dua tahap, pertama pada bulan Juli–Agustus 2003 untuk menggali data sekunder dan
informasi kualitatif di lapang yang dilakukan melalui wawancara dengan stakeholder
pembangunan daerah di tingkat provinsi dan beberapa kabupaten di Jawa Timur, yang
terdiri dari para pejabat dinas-dinas terkait, seperti Dinas Peternakan, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, serta dinas-dinas di lingkup Pemerintah Daerah lainnya.
Kedua dilaksanakan pada bulan September 2003 di Kabupaten Magetan sebagai lokasi
contoh untuk penggalian data primer. Kabupaten Magetan termasuk daerah
pengembangan dan sentra pemasaran ternak sapi potong di Jawa Timur bagian selatan
yang memperdagangkan ternak yang berasal dari daerah sekitarnya dengan tujuan
Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Responden terdiri dari peternak pembibitan dan
penggemukan, pedagang ternak bakalan dan sapi siap potong pada berbagai tingkatan,
pengusaha pemotongan ternak sapi (merangkap pedagang daging) dan pengusaha
3
angkutan masing-masing dipilih secara acak sebanyak 5 orang untuk tiap jenis
responden.
Metode Analisis
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan fakta dan temuan hasil survei.
Analisis finansial digunakan untuk mengidentifikasi profitabilitas dan kelayakan usaha-
tani sapi potong.
Untuk melihat dampak impor terhadap kinerja pengusahaan dan perdagangan
sapi potong di Jawa Timur digunakan analisis regresi linier sederhana dengan
pendekatan persamaan sebagai berikut:
Y = a + b X1 + c X2 + E
Dimana, Y = Volume pengeluaran ternak sapi potong Jawa Timur (ekor)
X1 = Volume impor sapi hidup Indonesia (kg)
X2 = Volume impor daging sapi Indonesia (kg)
a, b, dan c = Koefisien regresi
E = galat baku
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Pengusahaan Ternak Sapi Potong
Dalam rangka memenuhi permintaan konsumsi daging sapi yang terus
mengalami peningkatan, maka sejak awal periode 1990-an pemerintah telah melakukan
kebijakan pengembangan ternak sapi potong melalui dua pola pengusahaan, yaitu: (1)
pola pengu-sahaan yang dilakukan oleh peternakan rakyat, dan (2) pola pengusahaan
yang melibat-kan perusahaan-perusahaan besar swasta (feedlot).
Kebijakan pemerintah pada tahun 1990 yang mengizinkan perusahaan-
perusahaan besar swasta melakukan kegiatan usaha penggemukan sapi asal impor dari
Australia antara lain bertujuan (Hadi et al, 2002): (1) mendorong usaha kemitraan antara
perusahaan besar swasta dengan petani/peternak melalui PIR untuk meningkatkan
pendapatan petani/ peternak; (2) menjaga tingkat pertumbuhan populasi ternak sapi
domestik; dan (3) pe-manfaatan lahan-lahan tidur yang tidak subur. Menurut Soehadji
(1993), perkembangan perusahaan skala besar ini tumbuh cukup pesat, dimana pada
tahun 1992 telah berdiri 10 perusahaan feedlot dengan investasi sebesar 10 milyar, yang
4
tersebar di lima provinsi, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogyakarta, dan
Jawa Timur. Kegiatan usaha kemitraan antara petani/peternak dengan perusahaan
feedlot berfungsi dengan baik sela-ma tahun 1991–1996, tetapi sejak terjadinya krisis
moneter pada pertengahan tahun 1997 dimana usaha impor sapi hidup mengalami
collapse, maka kegiatan usaha kemitra-an ikut mengalami kontraksi tajam, dan pada
tahun 2001 kegiatan kemitraan ini sudah ti-dak berlanjut lagi (Hadi et al, 2002).
Pengusahaan ternak sapi potong rakyat dilihat dari sistem pemeliharaannya
terba-gi kedalam dua pola, yaitu yang berbasis lahan (landbase) dan yang tidak berbasis
lahan (non landbase). Pola pemeliharaan yang bersifat landbase memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) pemeliharaan ternak dilakukan di padang-padang penggembalaan yang luas
yang tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian, sehingga pakan ternak hanya
mengandalkan rumput yang tersedia di padang penggembalaan tersebut; (2) Pola ini
umumnya terdapat di wilayah yang tidak subur, sulit air, bertemperatur tinggi, dan jarang
penduduk seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan
dan sebagian Sulawesi; (3) teknik pemeliharaan dilakukan secara tradisional, kurang
mendapat sentuhan teknologi, dan (4) pengusahaan tidak bersifat komersial, tetapi
cenderung bersifat sebagai simbol status sosial. Dilain pihak, pola pemeliharaan yang
bersifat non landbase memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) pemeliharaan ternak lebih
banyak dikandangkan dengan pemberian pakan di dalam kandang; (2) terkait dengan
usahatani sawah atau ladang sebagai sumber hijauan pakan ternak; (3) pola ini
umumnya dilakukan di wilayah padat penduduk seperti di Jawa, Sumatera, dan ada pula
sebagian di NTB, Kalimantan, dan Sulawesi; dan (4) pengusahaan pada pola non
landbase relatif lebih intensif dibandingkan dengan pola landbase dengan tujuan
umumnya untuk tabung-an dan sebagian lagi untuk tujuan komersial. Skala pemilikan
ternak pada pola landbase pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan pola non
landbase. Studi yang dilakukan Ilham et al., (2001) menunjukkan bahwa peternak di
Sumbawa–NTB yang melaksanakan pola landbase umumnya mengusahakan ternak
dengan skala pemilikan di atas 5 ekor (51,6%), sedangkan peternak yang
mengusahakan ternak di bawah 3 ekor hanya mencapai 12,0 persen. Sebaliknya,
peternak di Lombok–NTB dan di Jawa Timur yang menerapkan pola non landbase
umumnya mengusahakan ternak dengan skala pemi-likan di bawah 5 ekor, bahkan lebih
dari 50 persen peternak hanya memiliki skala usaha di bawah 3 ekor.
5
Usaha peternakan sapi potong rakyat memiliki posisi yang lemah dan sangat
peka terhadap perubahan (Yusdja et al., 2001). Hal ini disebabkan oleh sifat usahanya,
dimana menurut Azis (1993), karakteristik usaha peternakan rakyat dicirikan oleh kondisi
sebagai berikut: (1) skala usaha relatif kecil; (2) merupakan usaha rumahtangga; (3)
merupakan usaha sampingan; (4) menggunakan teknologi sederhana; dan (5) bersifat
padat karya dengan basis organisasi kekeluargaan. Untuk mengembangkan usaha
peternakan rakyat ini menjadi usaha yang maju diperlukan reformasi, baik yang
menyangkut masalah permodalan, sistem kelembagaan, penerapan teknologi, dan
penciptaan pasar yang efisien.
Kebijakan dan Program Pengembangan Ternak Sapi Potong Rakyat
Perhatian pemerintah terhadap usaha peternakan sapi potong cenderung
semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap daging
sapi. Berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan pengembangan usaha ternak
sapi potong telah diluncurkan dan diimplementasikan, baik secara nasional maupun di
tingkat daerah. Kebijakan dan program yang terkait dengan peningkatan produksi,
pengamanan populasi ternak domestik dan pengembangan usaha peternakan sapi
potong secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut (Yusdja et al., 2001; Ilham et
al.,2001; Hadi et al, 2002):
(1) Peningkatan kelahiran. Dilakukan melalui upaya: (a) intensifikasi kawin suntik maupun (b) peningkatan kawin alam dengan pejantan bermutu,
(2) Peningkatan mutu produksi dan bobot ternak: Untuk peningkatan mutu daging dilakukan melalui upaya: (a) Inseminasi Buatan dengan metoda cross breeding antara jenis sapi yang reproduksinya tinggi (sapi Bali, Ongole, dan Madura) dengan jenis sapi yang memiliki bobot besar (Brahman, Simental, limosin, dan Angus); (b) pengembangan jenis ternak sapi tertentu, seperti program “branguni-sasi” di NTB; dan (c) pelestarian plasma nuftah sapi Bali dan Madura dengan menetapkan daerah pemurnian pada kawasan-kawasan tertentu. Upaya pening-katan bobot ternak dilakukan dengan memperpanjang waktu potong ternak. Implementasi dari program ini adalah dengan menumbuhkan peternak-petenak dalam kegiatan usaha penggemukan/sapi kereman melalui sistem kemitraan dengan perusahaan swasta atau dengan sistem revolving/gaduhan dari pemerintah.
(3) Pengendalian pemotongan ternak betina produktif melalui upaya: (a) pening-katkan pengawasan dan lalu-lintas ternak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) program pembelian sapi betina produktif yang akan
6
dijual peternak dengan dana pemerintah, yang selanjutnya dikembangkan sebagai sumber bibit.
(4) Pemberantasan dan pengendalian penyakit ternak.
(5) Pembinaan pakan ternak melalui: (a) pengembangan hijauan pakan ternak yang bermutu dengan tanaman lokal atau bibit unggul dari luar negeri; (b) pemanfaatan lahan dan hasil industri pertanian; dan (c) meningkatkan aplikasi teknologi pakan di lingkungan peternak dalam menyediakan dan memanfaatkan hijauan pakan ternak mulai dari penanaman, pemilihan bibit unggul, serta pengawetan dan penyimpanan.
(6) Sistem Pengembangan bibit terbuka: yaitu kebijakan yang memperkenankan seluruh provinsi mengembangkan bibit sesuai kebutuhan dengan mempertim-bangkan prospek pasar dan tetap mempertahankan kemurnian bibit-bibit tertentu. Kebijakan desentralisasi produksi semen ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan kemampuan pusat dalam memenuhi permintaan daerah, baik dalam kapa-sitas produksi maupun jenis semen yang dihasilkan.
Dalam implementasinya, program dan kebijakan tersebut masih belum mampu
mengatasi kesenjangan antara permintaan dan penawaran. Menurut Iham et al., (2001),
hal itu disebabkan oleh: (1) belum semua program yang dilakukan pemerintah sampai
kepada peternak. Seandainyapun sampai, peternak tidak mengaplikasikannya.
Keberhasilan penerapan teknologi peternakan belum merata; (2) pengembangan usaha
peternakan masih belum menjadi prioritas utama pemerintah, sehingga dana program
untuk sub sektor peternakan relatif kecil dibandingkan dengan sub sektor lainnya; (3)
Kebijakan intensifikasi pada lahan sawah mengurangi penggunaan tenaga kerja ternak,
sehingga banyak petani tidak lagi mengusahakan ternak sapi; (4) masih banyak ternak
sapi yang dipelihara secara ekstensif, sehingga menyulitkan dalam pengendalian
penyakit dan terjadinya penurunan genetik akibat inbreeding; dan (5) menyempitnya
lahan padang penggembalaan akibat alih fungsi lahan. Permasalahan pada butir (3), (4),
dan (5) berdampak pada terjadinya penurunan populasi.
Deskripsi Pengusahaan dan Perdagangan Sapi Potong di Lokasi Studi
Untuk meningkatkan populasi sapi potong dan sekaligus menjaga kelestarian
populasi ternak betina dari pengurasan, diperlukan pola pengembangan yang
sustainable. yaitu melalui penumbuhan peternak-peternak pembibitan (bakalan) dan
penggemukan (kereman). Keterkaitan antara pola pengusahaan dan perdagangan sapi
potong di lokasi contoh Kabupaten Magetan disajikan pada Gambar 1.
7
Jantan
Betina
Pembibitan [Peternak]
Bakalan
Penggemukan [peternak]
Pedagang pengumpul sapi potong
Pedagang pengumpul
sapi bakalan
Sapi siap potong
Pedagang sapi potong antar daerah
Blantik dadung[makelar]
Sapi potong
Sapi bakalan
Alur pengembangan
Alur perdagangan
Alur penghubung
Pedagang daging TPH
Luar daerah
Pedagang dagingTPH Lokal
Daging &hasil ikutan
Konsumen
Gambar 1. Keterkaitan antara pola pengembangan dan perdagangan sapi potong, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, 2003
8
Gambar 1 menunjukkan bahwa para peternak dalam memasarkan ternaknya
sangat tergantung pada jasa pedagang, mulai dari pedagang pengumpul ke blantik
dadung dan kemudian kepada pedagang antar daerah. Kondisi yang demikian
mengakibatkan lemahnya posisi peternak, baik dalam hal memperoleh keuntungan
maupun posisi tawar, karena peternak harus membayar balas jasa pedagang maupun
memperoleh harga yang relatif rendah akibat ketidaktahuannya terhadap informasi
harga.Seandainya antara peternak pembibitan dan peternak penggemukan dapat
berhubungan langsung, maka peternak pembibitan akan memperoleh keuntungan yang
lebih besar, sedangkan peternak pengge-mukan akan memperoleh harga yang lebih
murah dan kepuasan maksimum, karena dapat menentukan preferensinya, baik dari segi
harga, bobot, mutu, dan jenis genetik ternak yang diinginkan. Demikian pula apabila
peternak penggemukan dapat berhubungan langsung dengan pedagang daging/penjagal
di tempat tujuan, konsumen akan memperoleh harga daging yang lebih murah dan
peternak memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pada intinya, diperlukan integrasi
vertikal yang kondusif untuk mendukung usaha peternakan sapi potong rakyat. Untuk
mencapai kondisi yang demikian diperlukan dorongan dan fasilitasi pemerintah untuk
terwujudnya sistem kelembagaan agribisnis sapi potong melalui penumbuhan asosiasi-
asosiasi peternak dan industri pakan skala kecil dan menengah di pedesaan yang benar-
benar berorientasi komersial dan mampu bersinergi satu dengan lainnya.
Keragaan Usaha Pembibitan Pembibitan dilakukan oleh peternak-peternak kecil yang umumnya diusahakan
untuk tabungan. Teknik pembibitan dilakukan dengan sistem kawin suntik (Inseminasi
Buatan- IB). Keberhasilan kehamilan sapi induk biasanya dicapai dengan frekuensi
penyuntikan sebanyak 2-3 kali, bahkan bisa mencapai 4 kali. Jasa pelayanan kawin
suntik sebesar Rp 30.000 setiap kali suntik. Sapi jantan bakalan biasanya dipelihara
hingga umur 1,5 – 2 tahun untuk siap dijual sebagai bakalan penggemukan.
Sedangkan waktu penjualan sapi betina bakalan sebagai bibit tidak tentu, disesuaikan
dengan kebutuhan peternak, bisa 4 – 8 bulan sudah dijual, atau menunggu hingga umur
2 tahun. Tidak jarang sapi betina bakalan tidak dijual, tetapi dipelihara sendiri untuk
digunakan sebagai induk. Sapi bakalan dijual kepada pedagang pengumpul sapi
bakalan. Penjualan bebas tergantung harga tertinggi. Penyerahan barang di tempat
peternak. Pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau dibayar kemudian 2 - 3
minggu. Harga yang dibayarkan secara tunai umumnya lebih rendah dibandingkan
dengan pembayaran kemudian.
9
Sumbangan pendapatan dari usaha pembibitan sapi potong rata-rata hanya men-
capai sekitar 10 persen, selebihnya berasal dari usaha pertanian 25 persen dan usaha
non pertanian 65 persen. Pendapatan total responden rata-rata sekitar Rp 5,25 juta per
tahun.
Analisis Finansial Usaha Pembibitan Berdasarkan hasil analisis finansial usaha ternak sapi bakalan petani contoh (Tabel 1)
menunjukkan bahwa pembudidayaan ternak sapi bakalan untuk saat ini (saat penelitian
dilakukan) secara ekonomi kurang menguntungkan. Jika semua input diperhitungkan
sebagai korbanan biaya atas pembelian faktor produksi dan peternak menerima revenue
atas penjualan semua output, maka keuntungan bersih yang diterima petani adalah
negatif, atau merugi sebesar Rp 2,6 juta selama 1 tahun pemeliharaan bakalan. Jika
korbanan biaya dan revenue peternak hanya didasarkan pada pengeluaran dan pene-
rimaan tunai, keuntungan perternak bisa mencapai sekitar Rp 1,0 juta. Hasil
perhitungan
Tabel 1. Analisis usaha ternak sapi bakalan menurut versi petani contoh, Magetan, 2003 1)
Uraian Volume Satuan Harga Nilai I. Penerimaan a. Penjualan ternak bakalan b. Hasil pupuk kandang
1
167,5
ekor kg
1.850.000
200
1.883.5001.850.000
33.500II. Biaya a. Jasa pelayanan kawin suntik b. Hijauan makanan ternak 2)
c. Konsentrat 3) d. Obat-obatan dan jamu e. Tenaga kerja f. Kartu ternak
1-2
kali
30.000
4.517.75045.000
2.231.250726.50055.000
1.460.000-
III. Keuntungan a. Keuntungan bersih 4) b. Keuntungan tunai 5)
- 2.634.250
1.057.500Sumber = Data primer Keterangan: 1) Diasumsikan ternak bakalan dijual umur 1 tahun, penyediaan pakan induk
selama 2 tahun dan anak 9 bulan 2) Jerami padi, jerami jagung, dan rumput; 3) Katul, ubikayu, dan garam 4) Keuntungan bersih = total penerimaan – total biaya 5) Keuntungan tunai = nilai penjualan ternak bakalan – biaya tunai
Biaya tunai = jasa kawin suntik + konsentrat + obat dan jamu.
dari Dinas Peternakan Kabupaten Magetan (Tabel 2) juga menunjukkan hasil yang relatif
tidak berbeda, dimana petani mengalami kerugian sebesar Rp 1,3 juta untuk rata-rata
10
pemeliharaan 1 ekor ternak bakalan selama periode 1 tahun. Menurut petani, kerugian ini
disebabkan oleh harga ternak sapi potong yang akhir-akhir ini (tahun 2003) mengalami
kecenderungan menurun.
Tabel 2. Analisis usaha ternak sapi bakalan menurut versi Dinas Peternakan Kabupaten Magetan, Jawa Timur, 2003 1)
Uraian Volume Satuan Harga Nilai I. Penerimaan a. Penjualan induk b. Penjualan bakalan umur 1 tahun c. Penjualan bakalan umur 3 bulan
5 5 5
ekor ekor ekor
4.000.000 2.000.000 1.000.000
35.000.00020.000.00010.000.000
5.000.000
II. Biaya a. Pembelian sapi induk b. Jasa pelayanan kawin suntik c. Konsentrat untuk induk
d. HMT untuk induk e. Pakan untuk sapi bakalan f. Obat dan vaksin untuk induk g. Obat dan vaksin untuk bakalan h. Tenaga kerja
5 20
10.80090.0001.800
3.600
ekor kali kg kg kg
JOK
4.000.000
35.000 920 115
1.500
1.150
48.726.00020.000.000
700.0009.936.000
10.350.0002.700.000
600.000300.000
4.140.000 III. Keuntungan a. Keuntungan bersih b. Keuntungan bersih per 1 ekor bakalan
-13.726.000-1.372.600
Sumber = Dinas Peternakan Kabupaten Magetan Keterangan: 1) Lama pemeliharaan 720 hari
Keragaan Usaha Penggemukan
Sistem penggemukan sapi potong umumnya dilakukan dengan memelihara 1-2
ekor sapi bakalan. Pemeliharaan 2 ekor sapi terdiri dari satu ekor sapi PO dan satu ekor
sapi Limousine. Umur bakalan sapi yang dipelihara bervariasi, untuk sapi PO sekitar 2,0
tahun dan untuk sapi Limousine sekitar 1,5 tahun. Periode pemeliharaan sapi PO adalah
sekitar 0,5 tahun dan sapi Limousine sekitar 1 tahun. Usaha penggemukan sapi potong
bersifat komersial. Sapi siap potong hasil penggemukan dijual kepada pedagang
pengumpul atau pedagang antar daerah. Penjualan bebas tergantung harga tertinggi.
Penyerahan barang ditempat peternak. Pembayaran dilakukan secara tunai.
Kontribusi pendapatan dari usaha penggemukan sapi potong untuk saat ini hanya
mencapai sekitar 10 – 15 persen. Menurut responden, sebelum adanya kebijakan impor
daging atau sapi siap potong, kontribusi usaha ini bisa mencapai 30 persen. Pendapatan
responden secara rata-rata sekitar Rp 10 juta per tahun. Sumbangan terbesar berasal
dari usaha non pertanian, yaitu mencapai kisaran 60 – 80 persen.
11
Analisis Finansial Usaha Penggemukan
Hasil analisis finansial usaha penggemukan sapi potong dari peternak contoh (Tabel 3
dan Tabel 4) menunjukkan bahwa secara ekonomi usaha ini dapat memberikan
keuntungan sebesar Rp 668.850 untuk penggemukan sapi bakalan PO selama 6 bulan
dan Rp 911.080 untuk penggemukan sapi bakalan Limousine selama 12 bulan.
Keuntungan tunai yang di-peroleh untuk masing-masing jenis sapi tersebut adalah
sebesar Rp 1,54 juta dan Rp 3,49 juta. Keuntungan tersebut dapat diperoleh apabila
kondisi harga sapi potong cukup tinggi. Hasil analisis Dinas Peternakan Kabupaten
Magetan menunjukkan bahwa penurunan tingkat harga sapi potong akhir-akhir ini
mengakibatkan keuntungan bersih yang diperoleh peternak hanya mencapai sekitar Rp
166.400 per ekor selama pemeliharaan 4 bulan (Tabel 5). Pada kondisi seperti itu,
banyak peternak di lokasi contoh beralih mengusa-hakan ternak ayam atau babi.
Tabel 3. Analisis usaha penggemukan sapi potong jenis PO, Magetan, Jawa Timur, 2003 1)
Uraian Volume Satuan Harga Nilai
I. Penerimaan a. Penjualan ternak b. Pupuk kandang
1 40
ekor kg
5.000.000
200
5.008.000 5.000.000
8.000
II. Biaya a. Pengadaan ternak b. Hijauan makanan ternak c. Katul d. Singkong e. Garam f. Kayu bakar g. Obat h. Tenaga kerja i. Kartu ternak
1
146 347 402
6 54
292
ekor ikat kg kg kg ikat
JOK
3.200.000
3.000 500 200 500
1.000
1.250
4.319.150 3.200.000
438.000 173.500 80.400
2.750 54.000
2.500 365.000
3.000
III. Keuntungan a. Keuntungan bersih 2) b. Keuntungan tunai 3)
668.850
1.545.850
Sumber = Data primer Keterangan: 1) Periode pemeliharaan selama 6 bulan 2) Keuntungan bersih = total penerimaan – total biaya 3) Keuntungan tunai = nilai penjualan ternak – biaya tunai (pengadaan ternak + konsentrat + obat + kartu ternak)
12
Tabel 4. Analisis usaha penggemukan sapi potong Limousine, Magetan, Jawa Timur, 2003 1)
Uraian Volume Satuan Harga Nilai
I. Penerimaan a. Penjualan ternak b. Pupuk kandang
1 40
ekor kg
7.500.000
200
7.568.000 7.500.000
8.000 II. Biaya a. Pengadaan ternak b. Hijauan makanan ternak c. Katul d. Singkong e. Garam f. Kayu baker g. Obat h. Tenaga kerja i. Kartu ternak
1
440 1.040 1.200
16 168
876
ekor ikat kg kg kg ikat
JOK
3.300.000
3.000 500 200 500
1.000
1.250
6.656.920 3.300.000 1.320.000
520.200 240.000
8.220 168.000
2.500 1.095.000
3.000 III. Keuntungan a. Keuntungan bersih 2) b. Keuntungan tunai 3)
911.080
3.494.080 Sumber = Data primer Keterangan: 1) Periode pemeliharaan selama 12 bulan 2) Keuntungan bersih = total penerimaan – total biaya 3) Keuntungan tunai = nilai penjualan ternak – biaya tunai (pengadaan ternak + konsentrat + obat + kartu ternak) Tabel 5. Analisis usaha penggemukan sapi potong menurut versi Dinas Peternakan Kabupaten
Magetan, Jawa Timur, 2003 1)
Uraian Volume Satuan Harga Nilai
I. Penerimaan a. Penjualan ternak
20
ekor 5.496.000 109.920.000
II. Biaya a. Pengadaan ternak b. Hijauan makanan ternak c. Konsentrat d. Obat e. Tenaga kerja
20
60.000 9.600
2.400
ekor kg kg
JOK
4.375.000115920
1.150
87.500.0006.900.0008.832.000
600.0002.760.000
III. Keuntungan a. Keuntungan bersih 2) b. Keuntungan bersih per ekor 3)
3.328.000
166.400Sumber = Dinas Peternakan Kabupaten Magetan Keterangan: 1) Periode pemeliharaan selama 120 hari
Hasil penelitian Yusdja et al., (2001) di NTB, Jawa Timur, dan Sumatera Utara
menunjukkan bahwa usaha sapi kereman merugi jika seluruh biaya usahatani
diperhitungkan dalam analisis, kecuali di Jawa Timur untuk skala usaha 6 ekor. B/C rasio
di NTB hanya mencapai sebesar 0,76 dan 0,91 masing-masing untuk pemeliharaan 2
13
dan 4 ekor. B/C rasio di Jawa Timur mencapai 0,95 dan 1,06 masing-masing untuk
pemeli-haraan 3 dan 6 ekor, dan B/C rasio di Sumatera Utara adalah yang terendah yaitu
sebesar 0,68 dan 0,86 masing-masing untuk pemeliharaan 1 dan 2 ekor. Keuntungan
usahatani dicapai jika hanya didasarkan pada biaya tunai saja.
Keragaan Perdagangan Ternak Sapi Potong Pelaku pemasaran sapi potong secara garis besar terdiri dari 3 golongan
pedagang, yaitu: (1) Pedagang antar daerah, (2) Pedagang pengumpul/pengepul (untuk
sapi siap potong dan sapi bakalan) dan (3) Blantik dadung/makelar.
Pengadaan ternak untuk pedagang antar daerah selain bersumber dari peternak
dan pasar hewan setempat, juga melakukan pembelian ke luar daerah. Di kabupaten
contoh-Magetan, jangkauan pembelian para pedagang ini ke luar daerah mencakup
Kabupaten Ngawi (34 km), Madiun (34 km), Ponorogo (53 km), Pacitan (131 km), dan
Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah. Bagi pedagang pengumpul, pengadaan ternak
umumnya di lakukan di daerah setempat, meskipun ada juga yang melakukan pembelian
ke luar daerah. Posisi blantik dadung hanya sebagai makelar yang melakukan transaksi
di pasar setempat. Ia sebagai perantara yang menjualkan ternak siap potong dari
pedagang pengumpul kepada pedagang antar daerah atau kepada petani untuk ternak
bakalan.
Wilayah pemasaran bagi pedagang antar daerah umumnya adalah di Provinsi
DKI Jakarta dan Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, dan Bogor). Ada sebagian yang
mema-sarkan ke wilayah Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan pedagang pengumpul
umumnya hanya memasarkan di pasar lokal atau kepada pedagang daging/tempat
pemotongan hewan setempat.
Di kabupaten contoh - Magetan terdapat 3 pasar hewan khusus untuk transaksi
sapi potong (sapi siap potong dan sapi bakalan), yaitu: (1) Pasar Plaosan (yang
terbesar), (2) Pasar Gorang-Gareng, dan (3) Pasar Panekan. Kegiatan transaksi
dilakukan hanya pada hari pasaran, yaitu untuk masing-masing pasar tersebut adalah
Wage, Kliwon, dan Pon. Menurut petugas pasar setempat, rata-rata ternak yang masuk
pada tiap hari pasaran masing-masing pada saat ini adalah sebesar 400, 300, dan 200
ekor, sedangkan ternak yang terjual masing-masing adalah sebesar 100–150, 75, dan 50
ekor. Artinya, proporsi ternak yang laku masing-masing adalah sebesar 31, 25, dan 25
persen. Pada saat sebelum krisis moneter, volume ternak yang terjual di Pasar Plaosan
14
bisa mencapai 600 ekor, sedangkan di Pasar Gorang-Gareng dan Pasar Panekan
mencapai 100–125 ekor. Berdasarkan data volume transaksi ternak sapi potong di pasar
hewan Jawa Timur tahun 1998, menunjukkan proporsi ternak yang laku di Kabupaten
Magetan mencapai 53,8 persen, total Jawa Timur 59,8 persen, sedangkan kabupaten-
kabupaten lain bervariasi antara 45,0–75,9 persen (Tabel 6). Selain ketiga pasar tersebut
terdapat lagi satu pasar khusus untuk transaksi sapi bakalan, yaitu pasar Parang.
Untuk pedagang sapi bakalan, pembelian selain diperoleh dari peternak lokal,
juga diperoleh dari luar daerah hingga Kabupaten Ponorogo. Pembelian di luar daerah
dilakukan di pasar ternak. Penjualan sapi bakalan dilakukan di pasar ternak lokal dengan
pembeli umumnya adalah para peternak yang melakukan usaha penggemukan sapi.
Tabel 6. Volume transaksi ternak sapi potong di pasar hewan Provinsi Jawa Timur, 1998
No. Kabupaten Datang (000 ekor)
Terjual (000 ekor)
Proporsi terjual (%)
1. Malang 82,2 38,6 47,0 2. Bangkalan 70,5 32,9 46,7 3. Jember 61,5 35,2 57,3 4. Situbondo 60,8 38,2 62,8 5. Magetan 57,4 33,4 58,3 6. Pamekasan 54,7 29,4 53,8 7. Kediri 46,2 24,2 52,4 8. Bondowoso 46,0 23,3 50,5 9. Ngawi 42,3 29,9 70,6 10. Pasuruan 41,2 27,3 66,4 11. Lainnya (19 kabupaten): 425,4 276,5 45 – 75,9
Jawa Timur 1) 1.025,6 613,7 59,8 Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Keterangan: 1) Termasuk kotamadya.
Volume pembelian untuk pedagang pengumpul berkisar 1–4 ekor per hari,
sedangkan volume penjualan rata-rata sekitar 60 ekor per bulan. Pembelian dan
penjualan dilakukan secara bebas tidak ada ikatan kontrak. Cara pembayaraan saat
pembelian dapat dilakukan secara tunai atau dibayar kemudian sekitar 7–15 hari
tergantung pada kesepakatan saat transaksi. Harga pembelian tunai umumnya lebih
rendah sekitar Rp 30–40 ribu per ekor dibandingkan dengan harga yang dibayar
kemudian. Pada saat pembelian, pedagang pengumpul yang mengambil barang,
sedangkan penjualannya dilakukan di pasar. Penentuan harga dilakukan secara tawar
15
menawar. Kisaran harga pembelian antara Rp 3,2 – Rp 7,25 juta, sedangkan harga
penjualan berkisar antara Rp 4,0 – Rp 8,0 juta per ekor tergantung bobot ternak.
Volume pembelian untuk pedagang antar daerah berkisar 2 – 8 ekor per hari,
sedangkan volume penjualan antara 48 – 240 ekor (3 – 15 rit) per bulan. Pembelian dan
penjualan dilakukan secara bebas tidak ada ikatan kontrak. Cara pembayaraan saat
pem-belian dapat dilakukan secara tunai kepada pedagang pengumpul, sedangkan
kepada peternak dapat dilakukan pembayaran tunai atau dibayar kemudian tergantung
pada kesepakatan saat transaksi. Transaksi dan penyerahan barang saat pembelian
dengan pedagang pengumpul dilakukan di pasar, sedangkan dengan peternak dilakukan
ditempat peternak. Transaksi pada saat penjualan dilakukan melalui telepon untuk
memperoleh kesepakatan harga. Harga penjualan didasarkan pada volume bobot karkas
setelah pemo-tongan, bukan volume berat hidup. Penyerahan barang dilakukan ditempat
pembeli (RPH/TPHS: Tempat Pemotongan Hewan). Dalam melakukan penyerahan
barang kepada pembeli digunakan jasa seorang pengawal yang berfungsi sebagai
pengantar barang yang bertanggungjawab dalam pengawalan ternak, pembayaran
biaya-biaya perjalanan, penye-rahan barang kepada pembeli, dan pengawasan
penimbangan karkas. Pembayaran dila-kukan dimuka sebesar 67 persen saat
pemotongan melalui transfer Bank. Selebihnya dibayar setelah 5–30 hari. Harga
pembelian berkisar Rp 3,7–Rp 8,2 juta tergantung bobot ternak atau rata-rata sekitar Rp
11.200/kg berat hidup atau Rp 24.000/kg berat karkas. Harga penjualan di Bandung rata-
rata Rp 25.000/kg berat karkas.
Volume pembelian untuk pedagang sapi bakalan berkisar antara 1-2 ekor per
hari, sedangkan volume penjualan mencapai rata-rata 20 ekor per bulan. Harga
pembelian berkisar antara Rp 2,25 – Rp 2,50 juta per ekor, sedangkan harga penjualan
rata-rata adalah sebesar Rp 2,65 juta. Sistem transaksi tidak berbeda halnya dengan
pedagang pengumpul.
Didasarkan pada kondisi pembelian dan penjualan yang dilakukan pedagang
pengumpul di sekitar Kabupaten Magetan (dengan jarak tempuh antara 4 – 5 km)
diperlukan biaya pemasaran dengan komposisi sebagai berikut: (1) Ongkos angkut dari
tempat pembelian ke pasar ternak; (2) akomodasi yang terdiri dari biaya konsumsi; (3)
pakan ternak selama di perjalanan; (4) Komisi blantik dadung; (5) pembelian air di pasar
untuk sapi agar kelihatan gemuk dan (6) retribusi pasar. Marjin pemasaran untuk seluruh
komponen biaya tersebut mencapai sebesar Rp 42.800 per ekor. Dari selisih harga
16
penjualan dan pembelian sebesar Rp 125.000 per ekor dikurangi marjin pemasaran
diperoleh marjin keuntungan pedagang pengumpul sebesar Rp 82.200 per ekor.
Biaya pemasaran untuk pedagang antar daerah yang melakukan pembelian di
sekitar kabupaten Magetan (dengan jarak tempuh antara 4 – 5 km) dan penjualan di
Bandung - Jawa Barat (dengan jarak tempuh sekitar 500 km) mencakup biaya pembelian
yang terdiri dari: (1) ongkos angkut dari tempat pembelian; (2) pakan ternak selama di
perjalanan; dan (3) akomodasi yang terdiri dari biaya konsumsi; dan biaya penjualan
terdiri dari: (1) ongkos angkutan ; (2) ongkos pengawalan; (3) Izin pengeluaran ternak,
dan (4) retribusi pasar. Marjin pemasaran untuk seluruh komponen biaya tersebut
mencapai sebesar Rp 133.850 per ekor, sedangkan marjin keuntungan yang diperoleh
pedagang antar daerah adalah sebesar Rp 78.650 per ekor. Jumlah ternak untuk setiap
kali pengiriman sebanyak 16-17 ekor (1 rit). Pangsa terbesar dari biaya pemasaran
tersebut adalah ongkos angkutan, yaitu mencapai sebesar 51,4 persen, kemudian jasa
pengawal 16,3 persen, dan pakan ternak 10,9 persen. Biaya untuk pembayaran
pungutan-pungutan di jalan mencapai 4,9 persen, yang terdiri dari: (1) pungutan di Pos
Kesehatan Hewan 0,4 persen, (b) retribusi masuk wilayah Jawa Barat 3,7 persen, (3)
jembatan timbang 0,4 persen, dan (4) pungutan polisi 0,3 persen. Pungutan polisi ini
sangat bervariasi untuk setiap pengiriman, yaitu antara Rp 2.000 – Rp 30.000 per rit.
Biaya untuk ongkos angkutan yang cukup tinggi tersebut cukup wajar mengingat
biaya operasional (tidak termasuk biaya investasi) yang dikeluarkan pengusaha angkutan
cukup besar, yaitu mencapai Rp 606.400 per rit untuk tujuan Bandung–Jawa Barat.
Pangsa terbesar pengeluaran untuk biaya angkutan adalah bahan bakar 54,4 persen dan
jasa awak kendaraan 36,3 persen. Pungutan yang menjadi beban pengusaha angkutan
adalah pungutan retribusi jalan raya yang dipungut di TPR-TPR dan pungutan jembatan
timbang apabila muatan melebihi dari 14 ton. Setiap kelebihan 1 ton diwajibkan
membayar sebesar Rp 15.000,- Penerimaan pengusaha angkutan dari sewa kendaraan
untuk setiap pengangkutan 1 rit ternak sapi potong ke Bandung–Jawa Barat adalah
sebesar Rp 1.100.000. Pendapatan pengusaha angkutan setelah dikurangi biaya
operasional mencapai Rp 493.600 per rit.
Keragaan Usaha Pemotongan dan Perdagangan Daging di Tingkat Lokal Pengusahaan sapi potong pada akhirnya adalah dipungut hasil utamanya, yaitu
berupa daging, dan hasil ikutannya berupa jerohan, kulit maupun tulangnya. Proses
pemotongan ternak dilakukan di TPH (Tempat Pemotongan Hewan) milik individu dari
17
pengusaha/pedagang daging atau di RPH (Rumah Pemotongan Hewan) milik
Pemerintah Daerah. Omzet pemotongan ternak bagi pengusaha daging di lokasi
contoh Kabupaten
Tabel 7. Analisis biaya dan keuntungan pengusaha daging, Magetan, Jawa Timur, 2003
Satuanvolume Volume Harga
(Rp/unit) Nilai (Rp)
I. Penerimaan 4.020.000 a. Daging Kualitas I kg 40 32.000 1.280.000 Kualitas II kg 50 30.000 1.500.000 Kualitas III kg 10 20.000 200.000 b. Tulang dan tetelan kg 40 12.000 480.000 c. Jerohan kg 15 5.000 75.000 d. Kepala buah 1 75.000 75.000 e. Kikil kaki buah 4 10.000 40.000 f. Hati kg 3 25.000 75.000 g. Jantung/kebuk/limpa kg 3 15.000 45.000 h. Kulit kg 25 10.000 250.000II. Biaya 3.618.067 a. Pembelian ternak ekor 1 3.400.000 3.400.000 b. tenaga kerja Pemotongan orang 3 50.000 Penjualan orang 2 20.000 40.000 Penggilingan orang 2 25.000 50.000 c. Angkutan 30.000 d. Es 12.000 e. Retribusi pemotongan 15.000 f. Retribusi kios buah 2 2.500 5.000 g. Listrik 5.000 h. Solar lt 4 1.600 6.400 i. Oli 1.333 j. Pemeliharaan mesin 3,333III. Keuntungan 401.933
Sumber: Data primer Magetan umumnya hanya mencapai 1 ekor per hari, bahkan apabila pasaran lagi sepi
jumlah pemotongan hanya mencapai separohnya, dimana dari hasil pemotongan 1 ekor
sapi, pemasarannya dilakukan oleh dua pengusaha daging. Jumlah TPH di lokasi contoh
ada sebanyak 8 buah dan RPH 1 buah. Analisis biaya dan keuntungan dari pengusaha
daging untuk pemotongan 1 ekor sapi disajikan pada Tabel 7, sedangkan kebutuhan
investasi untuk mendirikan usaha tempat pemotongan hewan disajikan pada Tabel 8.
Pangsa penerimaan terbesar yang diperoleh dari pengusaha daging adalah dari
penjualan hasil utama yaitu daging kualitas I dan II, yang masing-masing mencapai 31,8
dan 37,3 persen, kemudian diikuti oleh penerimaan dari penjualan tulang dan tetelan
18
11,9 persen, dan penjualan kulit 6,2 persen. Pangsa penerimaan dari penjualan daging
kualitas III hanya mencapai 5,0 persen karena volumenya relatif kecil. Biaya produksi
terbesar berasal dari pembelian ternak yaitu mencapai 94,0 persen. Sisanya untuk
pembayaran tenaga kerja 3,9 persen, retribusi 0,5 persen, dan lainnya 1,6 persen.
Keuntungan yang diperoleh pengusaha daging ini hanya mencapai sekitar 11 persen dari
total biaya produksi dan pemasarannya.
Tabel 8. Biaya investasi untuk mengusahakan Tempat Pemotongan Hewan (TPH), Magetan, Jawa Timur, 2003 1)
Satuan volume
Volume Harga (Rp/unit)
Nilai (Rp)
1. Peralatan a. Pisau buah 6 40.000 240.000 b. Kampak buah 2 60.000 120.0002. Mesin giling buah 2 8.000.000 16.0000003. Frizer buah 1 6.000.000 6.000.0004. Kios tempat penjualan buah 2 4.000.000 8.000.000
Total 30.360.000Sumber: data primer Keterangan: 1) tidak termasuk bangunan tempat pemotongan hewan.
Dampak Impor Ternak Hidup dan Daging Sapi
Dari wawancara dengan peternak dan pedagang dikeluhkan terjadinya
penurunan permintaan sapi potong di Jakarta maupun Jawa Barat sebagai akibat impor
sapi hidup dan produk turunannya. Kondisi yang demikian mengakibatkan harga di
tingkat peternak menjadi tertekan dan total keuntungan pedagang per bulannya menjadi
berkurang, karena volume pengiriman ternaknya menurun. Pendapat peternak dan
pedagang sapi tersebut didukung oleh data pengeluaran ternak sapi potong Jawa Timur
yang menunjukkan laju penurunan sebesar –4,78 persen/tahun selama periode 1995–
2002. Sementara itu laju penurunan pengeluaran ternak sapi potong Kabupaten Magetan
mencapai –5,29 persen/ tahun selama periode 1999–2002 (Mayrowani et al., 2003).
Hasil analisis regresi antara volume impor daging dan volume impor sapi hidup
(nasional) sebagai peubah bebas terhadap volume pengeluaran ternak sapi Jawa Timur
ke luar daerah sebagai peubah tak bebas menunjukkan adanya keterkaitan, dimana nilai
koefisien korelasinya mencapai sebesar 0,7689 dan nilai koefisien determinan terko-
reksinya (adjusted R2) mencapai sebesar 0,3868. Koefisien determinan tersebut menun-
jukkan bahwa keragaman data dari peubah tak bebas yang dapat diterangkan oleh
kedua peubah bebas tersebut adalah sebesar 38,68 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
19
masih ada faktor-faktor lain di luar impor daging dan impor sapi hidup yang
mempengaruhi keragaman data volume pengeluaran ternak Jawa Timur, dimana
pengaruhnya mencapai lebih dari 60 persen.
Impor sapi hidup berpengaruh positif dan nyata secara statistik terhadap volume
pengeluaran ternak Jawa Timur keluar daerah pada taraf α = 0,10. Hal ini logis karena
sebagian besar impor sapi hidup terdiri dari sapi bibit dan sapi bakalan yang
menyumbang terhadap pertambahan populasi ternak. Dari koefisien regresinya
menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 ton berat hidup impor sapi (setara dengan 3-4
ekor sapi hidup) akan menyumbang peningkatan pengeluaran ternak ke luar Jawa Timur
sebesar 0,976 ekor. Sebaliknya impor daging berpengaruh negatif terhadap pengeluaran
ternak jawa timur, nyata pada taraf α = 0,20, dimana setiap impor daging sapi sebesar 1
ton akan menyumbang penurunan pengeluaran ternak sebesar 3,7 ekor. (Tabel 9).
Tabel 9. Analisis regresi antara volume impor daging dan sapi hidup terhadap volume pengeluaran ternak sapi potong Provinsi Jawa Timur ke luar daerah, 1995-2002
Peubah bebas Koeffisien regresi Probabilita
Intercept 153,191 0,004792
Volume impor sapi hidup (kg b.h) 0,000976 0,075756
Volume impor daging (kg) - 0,003710 0,190143
R = 0,7689 R2= 0,5912 Adjusted R2 = 0,3868
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi potong rakyat
secara langsung maupun tidak langsung berkompetisi dengan perusahaan besar yang
melakukan kegiatan impor, baik itu perusahaan di wilayah Jawa Timur maupun di luar
provinsi. Provinsi DKI. Jakarta dan Jawa Barat merupakan daerah pemasaran utama
ternak sapi potong dari Jawa Timur maupun daerah produsen lainnya. Pangsa
pemasukan sapi potong di kedua provinsi tersebut adalah yang terbesar di Indonesia,
yaitu masing-masing mencapai sebesar 31,04 dan 42,13 persen (Ilham et al., 2001).
Menurut laporan Yusdja et al., (2001) proporsi pengadaan daging sapi di Jakarta dan
Jawa Barat yang bersumber dari impor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging
beku mencapai 43 persen, sisanya 57 persen berasal dari peternakan domestik.
Provinsi Lampung termasuk salah satu provinsi pesaing potensial bagi Jawa Timur
sebagai pemasok ternak sapi ke Jakarta dan Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari laju
20
perkembangan pengeluaran sapi asal Lampung yang mencapai 59 persen/tahun selama
periode 1991-1995. Tetapi, sebagian besar sapi yang dikirim tersebut adalah sapi impor,
yang mengalami laju peningkatan sebesar 109 persen/tahun, sedangkan pengiriman sapi
lokal justru mengalami penurunan dengan laju sebesar –14,0 persen/tahun. Jika pola
tersebut terus berlanjut pada masa pasca krisis ekonomi, maka dapat diduga bahwa
penurunan permintaan sapi di Jakarta dan Jawa Barat terhadap sapi lokal Jawa Timur
disebabkan oleh masuknya pasokan sapi impor dari Lampung dan pasokan sapi impor
dari perusahaan besar di Jawa Timur sendiri.
Fakta bahwa usaha impor sapi hidup dan produk turunannya memberikan
dampak yang kurang menggembirakan bagi peternak dan pedagang ternak lokal, baik
dari segi harga maupun volume pengiriman, perlu mendapat perhatian dari pemerintah
dengan melakukan valuasi terhadap kebijakan impor serta memberikan perlindungan
dan insentif ekonomi kepada peternak skala kecil untuk merangsang pengembangan
usahanya.
KESIMPULAN
Bentuk pengusahaan ternak sapi potong rakyat berdasarkan teknik pemelihara-
annya terdiri dari dua pola, yaitu yang berbasis lahan (landbase) dan yang tidak berbasis
lahan (non landbase). Untuk pengembangannya diperlukan pendekatan yang berbeda,
karena keduanya memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda.
Untuk meningkatkan populasi sapi potong dan sekaligus menjaga kelestarian
populasi ternak betina dari pengurasan, diperlukan pola pengembangan yang
sustainable. Yaitu melalui penumbuhan peternak-petenak pembibitan (bakalan) dan
penggemukan (kereman) pada daerah yang memiliki pola non landbase. Bahkan jika
memungkinkan kedua bentuk usaha ini diintegrasikan agar nilai tambahnya dapat
dinikmati peternak.
Sifat usaha yang dilakukan peternak pembibitan untuk tujuan sebagai tabungan
menyebabkan peternak kurang memperhatikan faktor efisiensi usaha, sehingga dari hasil
analisis finansial tidak menunjukkan profitabilitas yang layak secara ekonomi.
Keuntungan diperoleh berdasarkan biaya tunai. Artinya, penggunaan tenaga kerja
keluarga dan input lainnya yang tidak dibeli secara tunai tidak diperhitungkan dalam
analisis.
21
Usaha sapi kereman yang sudah bersifat komersial mampu memberikan keun-
tungan bersih sebesar Rp 760.850/ekor untuk penggemukan sapi bakalan PO selama 6
bulan dan Rp 1.003.080/ekor untuk penggemukan sapi bakalan Limousine selama 12
bulan. Keuntungan atas biaya tunai yang diperoleh untuk masing-masing jenis sapi
tersebut adalah sebesar Rp 1,54 juta dan Rp 3,43 juta. Keuntungan tersebut dapat
diperoleh apabila kondisi harga sapi potong cukup tinggi. Penurunan tingkat harga sapi
potong yang terjadi pada saat survei mengakibatkan keuntungan bersih yang diperoleh
peternak hanya mencapai sekitar Rp 166.400 per ekor selama pemeliharaan 4 bulan.
Pada kondisi seperti itu, banyak peternak beralih mengusahakan ternak ayam atau babi.
Ketergantungan peternak terhadap jasa pedagang pengumpul dalam
memasarkan ternaknya cukup tinggi, meskipun tersedia fasilitas pasar ternak yang cukup
memadai. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) tingkat skala usaha
peternak relatif kecil, sehingga pengeluaran biaya angkutan ke pasar tidak efisien; (2)
Peternak tidak menguasai cukup pengetahuan mengenai kondisi pasar; (3) Transaksi
didasarkan pada taksiran pembeli. Tidak ada patokan tertentu yang jelas dalam
penentuan harga, seperti bobot ternak dan indikator-indikator yang terukur lainnya.
Kondisi yang demikian sangat melemahkan posisi tawar peternak; dan (4) adanya blantik
dadung sebagai makelar di pasar berpotensi mengurangi pendapatan peternak.
Biaya pemasaran ternak sapi potong sejak pengumpulan hingga pengiriman
cukup tinggi. Untuk tujuan Bandung mencapai sebesar Rp 212.500/ekor atau sekitar Rp
3.400.000/rit, yang terdiri dari marjin pemasaran sebesar Rp 133.850/ekor dan marjin
keuntungan pedagang Rp 78.650/ekor. Perhitungan biaya tersebut dilakukan pada
kondisi pedagang antar daerah melakukan pengumpulan langsung ke peternak. Jika
pedagang antar daerah membeli ternak dari pasar, biaya pemasaran ternak tadi
ditambah dengan marjin keuntungan pedagang pengumpul sebesar Rp 82.200/ekor dan
komisi blantik dadung Rp 20.000/ekor. Dengan mengikuti alur pemasaran secara
lengkap, total biaya pemasaran ternak mencapai sekitar Rp 314.700/ekor atau Rp
5.035.200/rit. Jika peternak dapat membentuk suatu wadah kelembagaan usaha
bersama agribisnis ternak sapi po-tong, maka biaya pemasaran dapat diefisienkan dan
peternak berpeluang untuk mempe-roleh nilai tambah dari jasa-jasa perdagangan dan
biaya lain-lain yang dapat ditekan.
Kebijakan impor sapi hidup dan produk turunannya cenderung menunjukkan
dampak negatif terhadap harga sapi di tingkat lokal dan volume pengiriman ternak
provinsi Jawa Timur.
22
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Berdasarkan beberapa permasalahan dalam pengembangan pengusahaan dan perdagangan sapi potong, diperlukan upaya-upaya sebagai berikut:
(1) Kebijakan yang mampu mengkonsolidasikan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten dalam mengimplementasikan program terpadu. Hal ini penting mengi-ngat selama proses implementasi otonomi daerah yang terjadi saat ini menun-jukkan indikasi kurang harmonisnya hubungan kerjasama antara ketiga pemerin-tahaan tersebut sebagai akibat tidak adanya aturan yang jelas antara kewenangan pusat dan daerah, khususnya yang menyangkut batas-batas tanggungjawab dalam melaksanakan pengawasan, pembinaan, dan pelaporan.
(2) Perlu menekan kebijakan-kebijakan yang bersifat mendistorsi pasar. Kebutuhan terhadap peningkatan PAD (pendapatan asli daerah) dalam pelaksanaan otonomi daerah sering diimplentasikan oleh Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang tidak menciptakan kondisi iklim usaha yang kon-dusif. Hal ini tampak dari munculnya berbagai pungutan/retribusi yang tidak rele-van yang cenderung menciptakan ekonomi biaya tinggi..
(3) Dalam menghadapi globalisasi diperlukan perlindungan dan perlakuan khusus untuk peternak skala kecil. Adanya subsidi ekspor dan bantuan domestik dari negara-negara maju kepada petani/peternaknya menyebabkan harga produk perta-nian mereka di pasar dunia relatif rendah, sehingga menyebabkan daya saing pro-duk pertanian petani/peternak kita lemah, baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Ketidakseimbangan antara harga input yang tinggi dan harga output yang rendah mengakibatkan lesunya usaha ternak sapi potong rakyat.
(4) Reformasi sistem kelembagaan agribisnis sapi potong. Perubahan yang perlu dilakukan dalam reformasi sistem kelembagaan agribisnis sapi potong terkait dengan hal-hal sebagai berikut: (1) Memperpendek rantai pemasaran dan mening-katkan posisi tawar peternak melalui penguatan organisisi kelompok usaha bersama yang terintegrasi.; (2) Meningkatkan akses peternak terhadap fasilitasi permodalan, informasi pasar; dan sumber teknologi; dan (3) Kebijakan yang kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A.M. 1993. Strategi Operasional Pengembangan Agroindustri Sapi Potong. Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2001. Buku Statistik Peternakan 2001.
Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) Monograph No. 35, vi + 128 p.
Ilham, N., B. Wiryono, I.K. Kariyasa, M.N.A. Kirom, dan Sri Hastuti. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. . Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Mayrowani, H., Supriyati, B. Rahmanto, dan Erwidodo. 2003. Kajian Perdagangan Komoditas Pertanian Antar Wilayah Dalam Era Otonomi Daerah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
23
Soehadji. 1993. Strategi Menuju Industri Peternakan Sapi Potong. Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES. Jakarta
Soedjana, T.D. 1997. Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Produk Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.
Yusdja, Y., H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, dan A. S. Bagyo. 2001. Analisis Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.