Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
145
Analisis Usahatani Kopi Di Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Kabupaten Simalungun
Ayunita Fitra , Retno Astuti Kuswardani , Abdul Rahman Universitas Medan Area, Indonesia
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana tingkat pendapatan usahatani kopi di Kelurahan Saribu Dolok yang merupakan distrikkawasan agropolitan Kabupaten Simalungun, Untuk mengetahui apakah faktor-faktor produksi usaha tani yang terdiri dari biaya bibit (X1), biaya pupuk (X2), biaya pestisida (X3), dan biaya tenaga kerja (X4) yangberpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu Dolok yang merupakan distrikkawasan agropolitan Kabupaten Simalungun.Metode penelitian yang digunakan adalah Analisis Regresi Linear Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta secara signifikan dipengaruhi oleh variabel biaya bibit, biaya pestisida, biaya pupuk, dan biaya tenaga kerja. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.809 yang berarti bahwa variabel biaya bibit, biaya pestisida, biaya pupuk, dan biaya tenaga kerja mampu menjelaskan variasi pendapatan petani kopi di Kecamatan Silimakuta sebesar 80.90%, Secara parsial hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta adalah biaya pupuk dan biaya tenaga kerja sedangkan variabel biaya bibit berpengaruh positif tapi tidak signifikan sementara variabel biaya pestisida berpengaruh negatif dan tidak signifikan, Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa koefisien (elastistitas) biaya pupuk mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan variabel lainnya, sehingga variabel biaya pupuk merupakan faktor yang memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu Dolok, Hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model regresi linier pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta telah memenuhi semua asumsi klasik yang diperlukan.
Kata Kunci : Agropilitan; Dataran Tinggi; Usahatani Kopi.
PENDAHULUAN
Kawasan Agropolitan terdiri
dari kota pertanian dan desa sentra
produksi pertanian dan didukung
dengan berbagai infrastruktur yang
mendukung kegiatan pertanian dan
industri pengolahnya.Pengembangan
kawasan agropolitan dirancang untuk
mendorong berkembangnya sistem dan
usaha agribisnis yang berdaya saing,
berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan
terdesentralisasi yang digunakan dan
difasilitasi oleh Pemerintah. Kawasan
pembangunan agropolitan muncul
karena adanya ketimpangan
pembangunan wilayah antar kota
sebagai pusat kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi dengan wilayah
pedesaan sebagai pusat kegiatan
pertanian dan perkebunan.
Pengembangan kawasan agropolitan
merupakan alternatif solusi untuk
pengembangan wilayah perdesaan.
Kawasan agropolitan diartikan sebagai
sistim fungsional desa-desa yang
ditunjukkan dari adanya hiraki pusat
agribisnis dan desa-desa di sekitarnya
untuk membentuk Kawasan
Agropolitan.
Dalam mempercepat
pembangunan pedesaan yang berbasis
agribisnis serta meningkatkan daya
saing produk-produk yang dihasilkan,
Pemerintah Daerah Sumatera Utara
dengan dukungan Pemerintah Pusat,
khususnya Departemen Pertanian,
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
146
Kimpraswil beserta Departemen terkait
lainnya sepakat untuk mempromosikan
pengembangan kawasan agropolitan di
Sumatera Utara. Pengembangan
kawasan mencakup Kabupaten Karo,
Dairi, Pakpak Bharat, Simalungun,
Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan,
Samosir, Toba Samosir dan Kota
Pematang Siantar.
Dari kesembilan Wilayah
Kabupaten tersebut, penelitian ini fokus
Kabupaten Simalungun. Di pilihnya
Kabupaten Simalungun karena,
Kabupaten ini jika dilihat dari sisi
pendapatan perkapita merupakan
nomor ketiga paling kecil diantara
kesembilan Kabupaten wilayah
agribisnis. Namun demikian kesembilan
wilayah tersebut, merupakan daerah -
daerah yang memiliki tingkat
pendapatan perkapita yang rendah
dibandingkan dengan wilayah
perkotaan di Provinsi Sumatera Utara
yaitu Medan. Data Pendapatanperkapita
penduduk pada kesembilan kabupaten
tersebut dibandingkan dengan
pendapatan perkapita penduduk di
Medan seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Disparitas Pendapatan Penduduk Wilayah Agribisnis Dengan Kota MedanTahun 2006 - 2010
Sumber : BPS Sumatera Utara Dalam Angka, 2011
Tabel 1. menunjukkan disparitas
(perbedaan) pendapatan perkapita
penduduk kabupaten yang
mendapatkan program pengembangan
Agrobisnis di Sumatera Utara dengan
pendapatan perkapita penduduk di Kota
Medan. Disparitas yang terjadi
mencapai 50% lebih dari tiap daerah
dibandingkan dengan Kota Medan
sebagai wilayah perkotaan di Sumatera
Utara. Jika dibandingkan dengan
Kabupaten lain, maka Kabupaten
Simalungun merupakan Kabupaten
dengan Tingkat Pendapatan perkapita
paling kecil ketiga.
Jika dibandingkan dengan Kota
Medan pada tahun 2010 terdapat
perbedaan hingga sebesar 150.66%.
Disparitas pendapatan yang sangat
mencolok.
Data tersebut dapat dijadikan
dasar, bahwa tingkat pendapatan
penduduk di Kabupaten Simalungun
cukup rendah. Oleh sebab itu sangat di
perlu upaya - upaya untuk
meningkatkan penghasilan penduduk
tersebut. Pemerintah Daerah Sumatera
Utara dengan dukungan Pemerintah
Pusat, khususnya Departemen
Pertanian, Kimpraswil beserta
Departemen terkait lainnya sepakat
untuk mempromosikan pengembangan
wilayah tersebut menjadi wilayah
agribisnis.
Selanjutnya sangat perlu untuk
mengetahui potensi yang ada di setiap
Kabupaten yang menjadi wilayah
pengembangan agrobisnis dimaksud.
Hal ini dinilai penting agar nantinya
dapat diketahui dan dapat ditentukan
fokus pada produk apa, sehingga dapat
Kabupaten/Kota
Tahun Karo Dairi Pakpak Brt. Simalungun Taput Humbang H. Samosir T. Samosir P. Siantar Medan
2006 7.968.385 6.367.513 3.735.792 5.444.628 5.066.911 5.285.913 6.647.601 8.414.648 6.989.419 13.174.001
2007 8.167.326 6.658.987 3.553.778 5.699.142 5.223.677 5.566.235 6.923.956 8.890.383 7.308.632 14.090.603
2008 8.899.765 6.916.328 3.744.014 6.149.590 5.321.241 5.406.789 7.864.478 9.211.316 7.838.665 15.129.470
2009 9.195.334 7.235.739 3.883.026 6.466.547 5.528.232 5.623.882 8.323.170 9.670.950 8.231.412 16.023.415
2010 9.594.214 7.593.589 4.070.571 6.812.974 5.780.955 5.864.032 8.846.290 10.198.909 8.687.439 17.077.638
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
147
disusun program pengembangan
agribisnis produk yang menjadi
komoditas unggulan daerah tersebut.
Data menunjukkan bahwa potensi yang
bisa dikembangkan dari setiap wilayah
kabupaten adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan di Provinsi Sumatera Utara
No Kabupaten Komoditas Unggulan
1 Karo Kentang, Cabai, Tomat, Jeruk dan Kopi
2 Dairi Jagung, Ubi Jalar, Alpukat dan Kopi
3 Pakpak Barat
Jagung, Ubi Jalar, dan Kopi
4 Tapanuli Utara Jagung, Jeruk, dan Kopi
5 Humbang Hasundutan Wortel, Jagung dan Kopi
6 Toba Samosir
Jagung, Bawang Merah, Nanas, Kacang Tanah, dan Kopi
7 Samosir Kentang, Kubis, Cabai, dan Kopi
8 Simalungun Kentang, Jagung, Nanas, dan Kopi
9 Pematang Siantar Ubi Kayu
Sumber : Bappeda Provinsi Sumatera Utara,2012
Tabel 2. menunjukkan setiap
daerah memiliki komoditas kopi, kecuali
Pematang Siantar.Kabupaten
Simalungun menunjukkan bahwa
komoditas unggulannya adalah Kentang,
Jagung, Nanas dan Kopi. Perlu untuk
diketahui bahwa jenis kopi
yangdiproduksi adalah jenis kopi
Arabika. Data - data tersebut
menunjukkan bahwa 95% kawasan
Agropolitan Dataran Tinggi Bukit
Barisan adalah penghasil kopi.
Berdasarkan pada data tersebut,
maka salah satu upaya untuk
meningkatkan pendapatan penduduk
Kabupaten Simalungun adalah dengan
melakukan eksploitasi terhadap
komoditas kopi. Hal ini karena data
menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera
Utara berada pada posisi keempat
dalam produksi total kopi. Dan
Kabupaten Simalungun merupakan
salah satu Kabupaten utama penghasil
kopi di Sumatera Utara. Namun
produktivitasnya masih relatif rendah
dibandingkan dengan ketujuh wilayah
penghasilan komoditas yang sama.
Data sehubungan dengan
tingkat produktivitas produksi kopi
setiap Kabupaten dibandingkan dengan
luas areal produksi kopi adalah sebagai
berikut :
Tabel 3. Luas Lahan dan Produktivitas Komoditi Kopi Sumatera Utara
No Kabupaten Luas
Lahan (ha)
Produktivitas
(ton/ha)
1 Karo 4.771,00 1,51
2 Dairi 6.904,00 1,36
3 Pakpak Barat 578,00
1,16
4 Tapanuli Utara 8.554,25
1,05
5 Humbang Hasundutan 5.542,00
0,88
6 Toba Samosir 1.607,26
1,19
7 Samosir 2.058,32 0,37
8 Simalungun 3.889,07 1,01
Sumber : Data Statistik Perkebunan Sumatera Utara, 2012 (Diolah)
Tabel 3. menunjukkan bahwa
produktivitas produksi komoditi kopi
dibandingkan dengan luasnya lahan
masih rendah dibandingkan dengan
Kabupaten Toba Samosir dan Pakpak
Barat.
Diketahui bahwa Kabupaten
Simalungan dengan luas lahan sebesar
3.889,07 hektar hanya menghasilkan
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
148
1.01 ton/hektar sangat rendah
dibandingkan Toba Samosir dengan luas
lahan sebesar 1.607,26 hektar dengan
hasil produksi kopi sebesar 1.19
ton/hektar, atau dengan Pakpak Barat
yang memiliki luas lahan sebesar 578
dengan hasil produksi kopi sebesar 1.16
ton/hektar.
Walaupun tingkat produktivitas
produksi kopi Kabupaten Simalungun
rendah dibandingkan dengan
Kabupaten lain, data menunjukkan
bahwa produktivitas produksi kopi di
Kabupaten Simalungan menunjukkan
tingkat pertumbuhan. Data
menunjukkan sebagai berikut :
Tabel 4. Pertumbuhan Tingkat Produktivitas Kopi Kabupaten Simalungun 2007 – 2011
Tahun Total Areal (ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas
(Kg/ha)
Pertumbuhan
(%) 2007 5.759,41 5.817,82 1.010,14
2008 6.235,74 6.460,52 1.036,05 2,56
2009 6.677,27 7.245,39 1.085,08 4,73
2010 6.769,23 7.077,11 1.045,48 -3,65
2011 6.991,99 8.439,98 1.207,09 15,46
Sumber : Sumber Data Simalungun Dalam Angka Tahun 2012, (Diolah)
Tabel 4. menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan produktivitas kopi
di Kabupaten Simalungun secara
signifikan, dari tahun 2010 ke tahun
2011 terjadi peningkatan sebesar
15.46% produktivitas kopi. Namun
demikian pada tahun 2010 terjadi
penurunan tingkat pertumbuhan
produksi kopi. Hal ini menunjukan
tingkat produktivitas petani yang
rendah.
Penyebab rendahnya
produktivitas petani kopi di Kabupaten
Simalungun antara lain karena
keterbatasan modal. Petani kopi belum
terlalu menjaga kualitas tanamannya.
Jika harga turun, petani tidak peduli
dengan kualitas dan hasil panenannya,
sementara harga naik, produksinya
justru turun. Kegiatan pertanian kopi di
Kabupaten ini masih terbatas dengan
pengetahuan dan pengalaman sendiri
oleh petani. Petani kurang berorientasi
pada pasca panen dan pengolahan,
sehingga tidak mampu memberi nilai
tambah pertanian, tidak memperhatikan
pasar.
Adapun bentuk pengolahan hasil
pertanian yang telah dilaksanakan oleh
sebagian masyarakat adalah industri
kopi dan dilakukan dalam skala usaha
kecil. Persoalan lainnya adalah harga
kopi yang murah dan biaya produksi
yang tinggi juga merupakan
permasalahan utama yang dihadapi
para petani, sehingga sulit bagi petani
untuk mengembangkan kegiatan
usahataninya.
Data - data yang telah disajikan
menunjukkan hal - hal atau fenomena
tersendiri. Simalungun sebagai salah
satu Kabupaten yang menjadi daerah
agropolitan yang memproduksi produk
agrobisnis kopi, memiliki tingkat luas
lahan yang tidak kecil, namun memiliki
tingkat produktivitas yang rendah
dibandingkan dengan wilayah yang lain
yang memiliki luas lahan yang lebih
rendah darinya. Namun yang menarik,
diketahui bahwa Simalungun
merupakan salah satu Kabupaten yang
memberikan sumbangan produk kopi
utama di Provinsi Sumatera Utara.
Pada Master Plan Kawasan
Agropolitan Dataran Tinggi Bukit
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
149
Barisan Kecamatan Silimakuta
merupakan wilayah distrik agropolitan
di Kabupaten Simalungun dengan pusat
distrik Kelurahan Saribu Dolok.Wilayah
ini merupakan daerah potensial produk
pertanian unggulan berupa tanaman
pangan dan perkebunan yang sangat
mendukung untuk pengembangan
kegiatan agribisnis.
Jika melihat tingkat
produktivitas produksi kopi di
Kecamatan Silimakuta yang merupakan
daerah potensial penghasil kopi arabika,
data menunjukkan bahwa produktivitas
kopi di wilayah tersebut terus
mengalami pertumbuhan.Data
menunjukkan sebagai berikut :
Tabel 5. Pertumbuhan Tingkat Produktivitas Kopi Kecamatan Silimakuta2007 – 2011
Tahun Total Areal (ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Kg/ha)
Pertumbuhan (%)
2007 446,47 385,16 862,67
2008 446,47 455,99 1.021,32 18,39
2009 493,97 591,12 1.196,67 17,17
2010 510,97 631,74 1.236,35 3,32
2011 520,97 697,78 1.339,38 8,33
Sumber : Sumber Data Simalungun Dalam Angka Tahun 2012, (Diolah)
Tabel 5. menunjukkan bahwa
Kecamatan Silimakuta dimana
berdasarkan data Statistik Tahun 2008 -
2011 baik luas areal, produksi dan
produktivitas tanaman kopi terus
mengalami peningkatan. Produktivitas
pada tahun 2007 yaitu sebesar 862,67
kg/hektar terus mengalami peningkatan
sampai tahun 2010dimana pada saat itu
Kecamatan Silimakuta telah ditetapkan
sebagai distrik agropolitan di
Kabupaten Simalungun.
Sebagai Wilayah atau
Kabupaten yang memberikan
sumbangan komoditi kopi, maka sangat
perlu untuk dilakukan upaya-upaya
pengembangan produk agribisnis kopi
ini. Diharapkan kedepan agribisnis kopi
ini dapat menjadi produk yang bukan
hanya unggulan tetapi juga menjadi
produk yang primadona di Kabupaten
Simalungun.Dengan demikian, akhirnya
pendapatan penduduk di Kabupaten
Simalungun akan meningkat, sehingga
secara ekonomi akan dapat
meningkatkan perekonomian keluarga
dari penduduk di Kabupaten
Simalungun.
Dalam upaya pengembangan
produk agribisnis kopi tersebut, maka
bagi petani juga perlu
mempertimbangkan faktor - faktor
teknis ketika melakukan produksi kopi
dimaksud. Hal ini akan berkaitan
dengan pendapatan petani nantinya
secara keseluruhan. Dengan
pengembangan produk kopi diharapkan
akan dapat meningkatkan pendapatan
petani, namun demikian perlu untuk
melihat faktor - faktor yang
mempengaruhi usaha tani dari sector
produksi kopinya.
Kajian penelitian terdahulu
Penelitan yang dilakukan oleh
Tarsudi (2011) dengan judul Dampak
Pembangunan Kawasan Agropolitan
Terhadap Pengembangan Wilayah Dan
Pemberdayaan Masyarakat Pada
Lokalita Saribu Dolok Kecamatan
Silimakuta Kabupaten Simalungun.Hasil
penelitian yang diperoleh antara lain :
Pembangunan kawasan Agropolitan
memberikan dampak terhadap
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
150
pengembangan wilayah pada Lokalita
Saribu Dolok ditunjukkan dengan
indikator (1) Terdapat pertambahan
luas penggunaan lahan penanaman
kentang dari rata-rata 0,45 Ha pada
tahun 2008 (sebelum penetapan Saribu
Dolok sebagai lokalita percontohan
Agropolitan) menjadi rata-rata 0,56 Ha
pada tahun 2010 (sesudah penetapan
Saribu Dolok sebagai lokalita
percontohan Agropolitan) atau
meningkat sebesar 8,2%. (2) Terdapat
peningkatan pendapatan rata-rata
petani kentang dari Rp.
2.937.624/bulan/Ha pada tahun 2008
(sebelum penetapan Saribu Dolok
sebagai lokalita percontohan
Agropolitan) menjadi Rp.
4.586.146/bulan/Ha pada tahun 2010
(sesudah penetapan Saribu Dolok
sebagai lokalita percontohan
Agropolitan) atau terjadi penambahan
sebesar 5,6%. (3) Dampak terhadap
peningkatan produktifitas tanaman
kentang menunjukkan tidak terdapat
perbedaan nyata sebelum dan sesudah
penetapan Saribu Dolok sebagai lokalita
percontohan Agropolitan. (4) Dampak
terhadap faktor kelembagaan (koperasi,
lembaga perkreditan rakyat) dan
dukungan dunia usaha belum
menunjukkan adanya perbaikan yang
berarti selama pembangunan kawasan
Agropolitan, sementara faktor lembaga
usaha tani (Poktan dan Gapoktan,
lembaga penyuluhan, partisipasi
masyarakat sudah mulai menunjukkan
adanya perbaikan.
Tujuan Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana
tingkat pendapatan usahatani kopi
di Kelurahan Saribu Dolok yang
merupakan distrikkawasan
agropolitan Kabupaten Simalungun.
2. Untuk mengetahui apakah faktor-
faktor produksi usaha tani yang
terdiri dari biaya bibit (X1), biaya
pupuk (X2), biaya pestisida (X3), dan
biaya tenaga kerja (X4)
yangberpengaruh signifikan
terhadap pendapatan petani kopi di
Kelurahan Saribu Dolok yang
merupakan distrikkawasan
agropolitan Kabupaten Simalungun.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian.
Penelitian dilakukan di
Kelurahan Saribu Dolok Kecamatan
Silimakuta yang merupakan distrik
Agropolitan Dataran Tinggi Bukit
BarisanKabupaten Simalungundan
dilaksanakan pada bulan Oktober-
Desember 2013.
Metode Penentuan Sampel.
Luas lahan pengusahaan petani
kopi bervariasi, maka sampel
ditentukan dengan sistem Stratified
random sampling berdasarkan luas
lahan, sehinga jumlah sampel belum
dapat ditentukan dan akan tergantung
hasil observasi di lapangan. Untuk itu
digunakan dasar penentuan sampel
yang menurut Arikunto (2002) apabila
populasi kurang dari 100 orang, maka
sebaiknya semua anggota terpilih,
sehingga merupakan penelitiansensus.
Jika jumlah populasi lebih dari 100
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
151
orang dapat diambil sampel 10, 15, 20,
25% atau lebih dari populasi.
Tabel 6 .Jumlah Sampel berdasarkan Luas lahan petani kopi
No Jumlah Lahan Jumlah Sampel
1 < 1 ha 20%
2 1- < 3 ha 20%
3 2 - < 5 ha 20%
4 > 5 ha 20% Sumber : Peneliti, 2014
Teknik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah :
1. Observasi dengan metode
interview/wawancara
Pengambilan data dilakukan dengan
peninjauan dan pengamatan secara
langsung ke lokasi serta objek-objek
yang diteliti dengan berpedoman
pada kuisioner. Disamping itu
dilakukan interview/wawancara
dengan cara mengajukan daftar
pertanyaan langsung atau secara
lisan tentang pelaksanaan usahatani
kepada petani pemilik kopi.
2. Studi Dokumentasi
Mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat,agenda dan
sebagainya.
3. Kuesioner
Yaitu dengan menyebarkan daftar
pertanyaan pada responden yang
dijadikan sampel. Dimana
responden memilih dan mengisi
sesuai dengan petunjuk pengisian
kuesioner.
Teknik Analisa Data.
1. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi variabel
independen dan dependen memiliki
distribusi normal atau tidak. Nilai
residual mengikuti distribusi normal.
Untuk melihat distribusi data norml
atau tidak yaitu analisa statistik. Uji
normalitas dengan grafik dapat
menyesatkan kalau tidak hati-hati
secara visual kelihatan normal. Uji
normalitas statistik ini meggunakan Uji
Kolmogorov-Smirnov. (Wahid Sulaiman,
2004).
b. Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2005) uji
multikolineritas bertujuan untuk
menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar
variabel bebas (independen). Sebuah
persamaan regresi dikatakan baik bila
persamaan tersebut memiliki variabel
independen yang saling tidak
berkorelasi.
Menurut Ghozali (2005), untuk
mendeteksi ada atau tidaknya
multikolineritas didalam model regresi
adalah sebagai berikut :
1) Nilai R yang dihasilkan oleh suatu
estimasi model regresi empiris
sangat tinggi, tetapi secara
individual variabel-variabel
independen banyak yang tidak
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
152
signifikanmempengaruhi variabel
dependen.
2) Menganalisis matrik korelasi
variabel-variabel independen. Jika
antar variabel independen ada
korelasi yang cukup tinggi
(umumnya diatas 0,90), maka hal
ini merupakan indikasi adanya
multikolineritas. Tidak adanya
kombinasi yang tinggi antar
variabel independen tidak berarti
bebas dari multikolinieritas.
Multikolineritas dapat disebabkan
karena adanya efek kombinasi dua
atau lebih variabel independen.
3) Multikolineritas dapat juga dari
nilai tolerance dan lawannya
variance inflation faktor (VIF)
apabila nilai tolerance lebih besar
dari 0,1 dan VIF kurang dari 10
maka dapat disimpulkan tidak
terjadi gejala multikolineritas.
c. Uji Gejala Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk
menguji apakah model regresi linier ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode dengan kesalahan pengganggu pada
periode sebelumnya.
Autokorelasi dapat muncul
karena observasi yang berurutan
sepanjang waktu yang saling berkaitan
satu sama lain. Masalah ini timbul
karena residual (kesalahan pengganggu)
tidak bebas dari satu observasi lainnya.
Hal ini sering ditemukan pada runtun
waktu (time series) karena gangguan
pada seorang individu atau kelompok
cenderung mempengaruhi gangguan
pada individu atau kelompok yang sama
periode berikutnya.Untuk mendeteksi
adanya autokorelasi dapat digunakan uji
Durbin Watson (D - Z1W). Namun
demikian secara umum bisa diambil
patokan berikut ini :
Tabel 7. Tabel Autokorelasi Watson
Kesimpulan Kesimpulan
Kurang dari 1,52 Ada Autokorelasi
1,52 sampai 1,80 Tanpa Kesimpulan
1,80 sampai 2,20 Tidak Ada
Autokorelasi
2,20 sampai 2,48 Tanpa Kesimpulan
Lebih dari 2,48 Ada Autokorelasi
Sumber : Algifari (2000:89)
d. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan
untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan varian
dan residual pada suatu pengamatan
kepengamatan yang lain. Model regresi
yang baik adalah yang homoskesdatisitas
atau tidak menjadi
heteroskedastisitas.Dasar analisis untuk
mencari gejala heteroskedastisitas.
1) Jika ada pola tertentu, seperti titik -
titik yang ada membentuk pola
tertentu yang teratur (bergelombang,
melebar kemudian menyempit),
maka mengindikasikan telah terjadi
hereroskedastisitas.
2) Jika tidak pola yang jelas, serta titik -
titik menyebar diatas dan dibawah
angka 0 pada sumbu Y, maka tidak
terjadi gejala.
2. Regresi Linear Berganda
Model pada penelitian ini
menggunaan Analisis Regresi Linear
Berganda, dengan rumus umum adalah
sebagai berikut:
Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3+b4x4 + e
Dimana:
Y : Pendapatan Usaha Tani
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
153
a : Konstanta Regresi
b1,2,3,4 : Koefisien Regresi
Variabel
X1 : Variabel Biaya Bibit
X2 : Variabel Biaya Pupuk
X3 : Variabel Biaya Pestisida
X4 : Variabel Biaya Tenaga
Kerja
e : error
- Uji t
Untuk membuktikan nilai koefisien
regresi dari variabel dependen apakah
signifikan atau tidak, diperlukan uji t-
statistik.Kaedah dalam pengambilan
keputusan adalah:
1. Apabila nilai probabilitas (p) < 0.05, maka
hipotesis yang diajukan (Ha) diterima.
2. Apabila nilai probabilitas (p) > 0.05, maka
hipotesis yang diajukan (H0) diterima.
- Uji F
Uji F dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar variabel
independen berpengaruh terhadap
variabel dependen.Kriteria Pengambilan
Keputusan adalah:
a. Apabila nilai probabilitas (p) < 0.05,
maka hipotesis yang diajukan (Ha)
diterima.
b. Apabila nilai probabilitas (p) > 0.05,
maka hipotesis yang diajukan (H0)
diterima.
- Koefisien Determinasi
Dalam uji regresi linier berganda
dianalisis pula besarnya koefisien regresi
pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model regresi dalam
menerangkan variasi variabel
dependen/variabel terikat (Ghozali, 2001).
R2 digunakan untuk mengukur ketepatan
yang paling baik dari analisis regresi
berganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Pendapatan Petani Kopi
Hasil analisis menunjukkan bahwa
rata-rata produksi kopi di kelurahan Saribu
Dolok adalah sebesar 677,50 kg kopi kering
per tahun dengan harga jual rata-rata Rp
14.762,50 per kg kopi kering. Harga yang
baik adalah Rp. 19.000 per kg kopi kering.
Pada Tabel 15. disajikan komposisi
tingkat pendapatan kopi serta variabel -
variabel biaya yang mempengaruhi
pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu
Dolok. Rata-rata produksi tanaman kopi
dalam bentuk kering yang dihasilkan petani
di Kelurahan Saribu Dolok adalah 677,50
kg per tahun. Tingkat produksi yang paling
sedikit adalah sebesar 300 kg dan tertinggi
sebesar 1.300 kg. Tingkat produksi petani
sangat tergantung dari luas lahan yang
digunakan untuk budidaya kopi dan juga
variabel-variabel pendukung usahatani
lainnya. Sementara itu, rata-rata harga jual
di tingkat petani adalah sebesar Rp
14.762,50 per kg dimana harga yang paling
rendah adalah Rp 14.000 per kg dan yang
paling tinggi adalahRp 16.000 per kg.
Tabel 8. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi dan Variabel-Variabel yang Mempengaruhinya di Kelurahan Saribu Dolok
Uraian Minimum Maksimum Rata - Rata
Std Deviasi
Produksi (kg)
300 1.300 677,5 277,41
Harga (Rp) 14.000 16.000 14.762,50 589,87
Biaya Bibit (Rp)
160.000 2.400.000 1.381.000 6,10E5
Biaya Pupuk (Rp)
225.000 2.200.000 879.750 5,63E5
Biaya Pestisida (Rp)
45.000 1.500.000 424.750 4,87E5
Biaya Tenaga
120.000 800.000 481.500 2,00E5
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
154
Kerja (Rp)
Pendapatan (Rp)
4.200.000 19.200.000 4.939.350 4,42E6
Pendapatan Bersih (Rp)
2.235.000 13.460.000 3.488.770 3,12E6
Rata-rata biaya yang dikeluarkan
petani untuk pembelian bibit adalah
sebesar Rp: 1.381.000 dan
biaya terendah sebesar Rp: 160,000 dan
tertinggi sebesar Rp: 2.400.000. Rata-rata
biaya yang dikeluarkan petani untuk
pembelian pupuk adalah sebesar Rp:
879.750 dan biaya terendah sebesar Rp:
225.000 dan tertinggi sebesar Rp:
2.200.000. Rata-rata biaya yang
dikeluarkan petani untuk pembelian
pestisida adalah sebesar Rp: 424.750 dan
biaya terendah sebesar Rp: 45.000 dan
tertinggi sebesar Rp: 1.500.000. Rata-rata
biaya yang dikeluarkan petani untuk tenaga
kerja adalah sebesar Rp: 481.500 dan biaya
terendah sebesar Rp: 120.000 dan tertinggi
sebesar Rp: 800.000. Rata – rata
pendapatan bersih petani kopi adalah
sebesar Rp: 3.488.770 dan biaya terendah
sebesar Rp: 2.235.000 dan tertinggi sebesar
Rp: 13.460.000.
Pada Tabel 16. disajikan hasil analisis
pengaruh variabel biaya bibit, pupuk,
pestisida dan tenaga kerja yang dikeluarkan
oleh petani kopi terhadap pendapatan.
Berdasarkan hasil analisis
menunjukkan bahwa hasil analisis
keragaman pendapatan petani kopi secara
simultan pada taraf kepercayaan 95% nilai
p level = (0.000) lebih kecil dari pada nilai α
= (0.05).
Ini berarti bahwa secara simultan variabel-
variabel biaya bibit, biaya pupuk, biaya
pestisida dan biaya tenaga
kerja.berpengaruh terhadap pendapatan
petani kopi di Kecamatan Silimakuta.
Tabel 9. Hasil Analisis Keragaman Regresi Berganda Pendapatan Petani Kopi di Kelurahan Saribu Dolok
Sumber Keragam
an Df
Sum of
Square
Mean Squar
e Fhit P
Regression
4 6.22E1
4 1.56E
14 79.3
7 .00
0
Residual 75 1.47E1
4 1.96E
12
Total 79 7.69E
14
R = 0.899 R2 = 0.809
Nilai koefisien determinasi (R2) dari
hasil analisis pendapatan dan variabel-
variabelnya menunjukkan bahwa 80.90 %
keragaman pendapatan petani kopi dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel biaya bibit,
biaya pupuk, biaya pestisida dan biaya
tenaga kerja. Secara simultan, sedangkan
sisanya 19.10 % keragaman pendapatan
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di
luar variabel biaya bibit, biaya pupuk, biaya
pestisida dan biaya tenaga kerja yang tidak
dimasukkan dalam model. Sedangkan nilai
koefisien korelasi (R) adalah sebesar 0.899
yang berarti hubungan antara pendapatan
petani kopi dengan biaya bibit, biaya pupuk,
biaya pestisida dan biaya tenaga kerja
cukup tinggi.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh
fungsi pendapatan petani kopi dengan
variabel-variabel biaya bibit, biaya pupuk,
biaya pestisida dan biaya tenaga kerja
sebagai berikut :
Y = 5.357.625,89 + 0,016 X1 + 3.280X2+
1.311X3 – 3.944X4 Keterangan:
Y = Pendapatan.
X1 = Biaya Bibit.
X2 = Biaya Pupuk
X3 = Biaya Pestisida.
X4 = Biaya Tenaga Kerja.
Berdasarkan model persamaan di atas
menunjukkan bahwa penambahan satu-
satuan variabel biaya bibit akan menambah
pendapatan petani kopi sebesar Rp: 0,016
dan untuk variabel biaya pupuk bila terjadi
penambahan satu-satuan akan
menyebabkan naiknya pendapatan petani
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
155
kopi sebesar Rp: 3.280, sedangkan
penambahan variabel biaya pestisida satu-
satuan akan menyebabkan naiknya
pendapatan petani kopi sebesar Rp: 1.311.
Untuk variabel biaya tenaga kerja,
penambahan satu-satuan biaya tenaga kerja
akan menyebabkan turunnya pendapatan
petani kopi sebesar Rp: 3.944.
Pengaruh dari masing-masing
variabel biaya bibit, biaya pestisida, biaya
pupuk dan biaya tenaga kerja terhadap
pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu
Dolok dan hasil pengujiannya disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pengujian Variabel Biaya Bibit, Biaya Pupuk, Biaya Pestisida dan Biaya Tenaga Kerja Terhadap Pendapatan Pada UsahaTani Kopi
Prediktor Koefisien StDev t-ratio p
Kontanta 5357625,89 727854,56 7.361 0,000
Biaya Bibit
0,016 0,531 0,030 0,976
Biaya Pupuk
3.280 0,742 4.422 0,000
Biaya Pestisida
1.311 1,214 1.079 0,284
Biaya Tenaga Kerja
-3.944 0,923 -4.275 0,000
Berdasarkan Tabel 10.
menunjukkan bahwa nilai konstanta,
koefisien regresi biaya pupuk dan biaya
tenaga kerja secara parsial/terpisah
berpengaruh nyata pada nilai kepercayaan
95% yang ditunjukkan nilai α =0.05 lebih
kecil dari pada p level masing-masing
koefisien.
Dengan demikian, biaya pupuk dan
biaya tenaga kerja merupakan variabel yang
berpengaruh terhadap tingkat pendapatan
petani kopi di Kelurahan Saribu Dolok.
Sedangkan variabel biaya bibit dan biaya
pestisida secara parsial/terpisah tidak
berpengaruh nyata pada nilai kepercayaan
95% yang ditunjukkan nilai α =0.05 lebih
besar dari pada p level masing-masing
koefisien.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat dijelaskan bahwa variabel yang
mempengaruhi pendapatan petani secara
signifikan dalam penelitian ini adalah biaya
pupuk dan biaya tenaga kerja sedangkan
variabel bibit dan pestisida mempengaruhi
pendapatan petani tetapi tidak signifikan.
2. Uji Asumsi Klasik Terhadap Model Pendapatan Petani Kopi
Model regresi linier berganda dapat
dikatakan sebagai model yang baik jika
model tersebut memenuhi kriteria BLUE
(Best Linear Unbiased Estimator). Kriteria
BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi
klasik.
Uji asumsi kalsik yang dilakukan
terhadap model pendapatan petani kopi di
Kelurahan Saribu Dolok yang
diperolehadalah: Uji Normalitas, Uji
Autokorelasi, Uji Multikolinieritas dan Uji
Heteroskedastisitas.
- Uji Normalitas Untuk mengetahui apakah suatu
model berdistribusi normal atau tidak
digunakan rasio skewness dan rasio
kurtosis. Rasio skewnes dan rasio kurtosis
dapat dijadikan petunjuk apakah suatu data
berdistribusi normal atau tidak. Rasio
skewnes adalah nilai skewnes dibagi
dengan standard error skewness,
sedangkan rasio kurtosis adalah nilai
kurtosis dibagi dengan standard error
kurtosis.
Sebagai pedoman, bila rasio kurtosis
dan skewness berada diantara -2 sampai +2
maka distribusi data adalah normal
(Santoso, 2000). Hasil analisis nilai rasio
skewness yang diperoleh adalah 0.892 dan
nilai rasio kurtosis diperoleh sebesar -
0.254. Dengan demikian nilai rasio
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
156
skewness dan rasio kurtosis pada model
pendapatan petani kopi di kelurahan Saribu
Dolok diperoleh berada diantara nilai -2
dan +2, maka distribusi data yang
digunakan berdistribusinormal.
- Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi digunakan untuk
menguji apakah dalam sebuah model
regresi linier terdapat korelasi antara
kesalahan pengganggu pada periode t
dengan kesalahan pada periode t-1
(sebelumnya). Untuk menguji Autokorelasi
dapat dilihat dari nilai Durbin Waston
(DW), yaitu jika nilai DW terletak antara du
dan (4 – dU) atau du ≤ DW ≤ (4 – dU),
berarti bebas dari Autokorelasi. Jika nilai
DW lebih kecil dari dL atau DW lebih besar
dari (4 – dL) berarti terdapat Autokorelasi.
Nilai dL dan dU dapat dilihat pada tabel
Durbin Waston, yaitu nilai dL ; dU = α ; n ; (k
– 1).
Keterangan:
n adalah jumlah sampel.
k adalah jumlah variabel.
α adalah taraf signifikan.
Nilai tabel Durbin Watson pada α =
5%. n = 100. k – 1 = 3 adalah dL = 0,89 dan
dU = 1,20. Hasil pengolahan data
menunjukkan nilai Durbin Watson sebesar
0,920 dan nilai tersebut berada di antara dU
dan (3 – dU) atau 0,920 lebih besar dari
0,89 dan 0.920 lebih kecil dari 2,28 maka
dapat disimpulkan bahwa dalam model
regresi linier pendapatan petani kopi di
kelurahan Saribu Dolok tidak terdapat
autokorelasi atau tidak terjadi korelasi di
antara kesalahan penggangu.
- Uji Multikolinieritas Pada analisis ini digunakan
digunakan dengan melihat nilai Variance
Inflation Factor(VIF) pada hasil analisis
regresi. Bila nilai VIF yang diperoleh dari
masing - masing variabel lebih besar dari 10
maka diindikasikan model petani kopi
memiliki gejala multikolinieritas dan bila
nilai VIF masing-masing variabel lebih kecil
dari 10 maka tidak terdapat
multikolinieritas. Hasil analisis nilai
VIFyang diperoleh pada variabel biaya bibit
(4.24), variabel biaya pupuk (7.03), variabel
biaya pestisida (14.08) dan variabel biaya
tenaga kerja (1.38).
Dengan demikian nilai VIF yang
diperoleh kecil dari 10, kecuali variabel
biaya pestisida. Dengan demikian, ada satu
variabel ditemukan adanya
multikolinieritas, yaitu variabel biaya
pestisida sedangkan pada variabel lainnya
tidak ditemukan adanya multikolinieritas.
Hal ini berarti bahwa ada multikolinieritas
yang cukup rendah pada model regresi
linier pendapatan petani kopi di Kelurahan
Saribu Dolok.
- Uji Heteroskedastisitas
Hasil analisis dengan metode
Glejser Test semua variabel, baik itu
variabel biaya bibit, biaya pupuk, biaya
pestisida dan biaya tenaga kerja
mempunyai nilai t-statistik yang tidak
signifikan. Dengan demikian pada
model regresi linier pendapatan petani
kopi di Kelurahan Saribu Dolok tidak
terdapat keadaan heteroskedastisitas.
Hal ini dapat disimpulkan karena semua
variabel bebas memiliki pengaruh yang
tidak signifikan.
3. Evaluasi Hasil Penelitian
Luas lahan pertanian akan
mempengaruhi skala usaha, dan skala usaha
ini pada akhirnya akan mempengaruhi
efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian.
Seringkali dijumpai makin luas lahan
yang dipakai sebagai usaha pertanian akan
semakin tidak efisienlah lahan tersebut.
Sebaliknya pada luasan lahan yang sempit,
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
157
upaya pengusahaan terhadap penggunaan
faktor produksi semakin baik, penggunaan
tenaga kerja tercukupi dan tersedianya
modal juga tidak terlalu besar, sehingga
usaha pertanian seperti ini sering lebih
efisien. Meskipun demikian, luasan yang
terlalu kecil cenderung menghasilkan usaha
yang tidak efisien pula.
Jika dilihat dari karateristik
responden, petani mengusahakan luas
lahannya sebesar 0,5 - 1,0 hektar untuk
bertanam kopi atau dikatagorikan sebagai
luasan lahan yang kecil (≤ 1 hektar)
sehingga sering kali penggunaan faktor
produksi menjadi tidak efisien terutama
penggunaan tenaga kerja. Hasil analisis
fungsi produksi menyatakan bahwa biaya
tenaga kerja berpengaruh negatif secara
signifikan terhadap pendapatan petani kopi
di Kelurahan Saribu Dolok.
Penelitian ini dilaksanakan pada
tanaman kopi dengan umur tanaman diatas
3 (tiga) tahun atau disebut juga tanaman
menghasilkan (TM) sehingga kebutuhan
tenaga kerja cukup banyak terutama untuk
pemeliharaan dan panen. Pada saat panen
kopi dimana petani selain mengandalkan
tenaga kerja dari dalam keluarga petani
juga menggunakan tenaga kerja upahan
(haroan) dengan upah
Rp: 55.000,- per hari.Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan Hosanna Sri
Arta (2010) dimana pada umur tanaman 5 -
15 tahun, maka tenaga kerja berpengaruh
nyata terhadap produksi kopi. Untuk itu
perlu kajian lebih lanjut mengenai
penggunaan tenaga kerja yang optimal pada
usahatani kopi di Kelurahan Saribu Dolok.
Untuk variabelbiaya pupuk, hasil
analisis fungsi produksi menyatakan bahwa
biaya pupuk berpengaruh positif secara
signifikan terhadap pendapatan petani kopi
Kelurahan Dolok Saribu dengan
elastisitas yang cukup tinggi menjadi distrik
Agropolitan (tahun 2008) dan sesudah
Kelurahan Kondisi ini memperlihatkan
bahwa petani belum melaksanakan
pemeliharaan tanaman kopi dengan baik.
Hal ini dapat terjadi karena pada
umumnya petani selain menanam kopi juga
mengusahakan tanaman hortikultura
lainnya seperti cabe, kentang dan lain-lain
sehingga penggunaan pupuk terbagi dengan
tanaman lainnya.
Sementara untuk variabel biaya bibit
dan pestisida secara parsial tidak
berpengaruh nyata terhadap pendapatan
petani.
Dari hasil wawancara dan
pengamatan dilapangan bahwa untuk
memperoleh bibit kopi petani dengan
mudah mendapatkannya di penangkar -
penangkar resmi yang ada di tingkat
Kecamatan maupun Kabupaten. Sedangkan
untuk biaya pestisida, pada umumnya
petani hanya menggunakan pestisida kimia
untuk kondisi tertentu yaitu apabila
serangan hama dan penyakit sudah pada
kondisi yang eksplosif.
Pengendalian hama secara terpadu
(PHT) dimana konsep preventif
(pencegahan) lebih diutamakan ketimbang
kuratif (penyembuhan).
Produksi kopi yang tinggi akan
meningkatkan pendapatan petani kopi, dan
sebaliknya jika produksi rendah maka
tingkat pendapatan juga akan rendah. Oleh
karena itu diperlukan suatu kajian
mengenai karakteristik sosial ekonomi
petani kopi yang mempengaruhi cara
mereka berusahatani kopi, dimulai dari
penanaman kopi hingga pengolahan kopi
yang sudah dipanen. Selain itu perlu juga
dipertimbangkan mengenai input-input
yang digunakan petani kopi dalam
mengusahakan tanaman kopinya. Input-
input yang digunakan oleh petani kopi
harus digunakan secara efektif dan efisien,
karena input ini merupakan biaya, yang
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
158
nantinya akan mempengaruhi pendapatan
petani kopi. Dalam menggunakan input
petani biasanya dipengaruhi oleh keadaan
sosial ekonominya.
Apabila dilihat dari dampak
pembangunan kawasan agropolitan
terhadap pengembangan wilayah di
distrik Saribu Dolok dapat dilakukan
dengan membandingkan keadaaan
sebelum Kelurahan Saribu Dolok
ditetapkan Saribu Dolok ditetapkan
menjadi distrik Agropolitan (tahun
2010) melalui beberapa indikator
antara lain adanya penambahan luas
pertanaman kopi dari tahun 2008 seluas
446,47 hektar menjadi 510,97 hektar
atau naik sebesar 7,22 % demikian juga
dengan peningkatan produktivitas
mengalami kenaikan sebesar 10,78 %
dari 1,02 ton/hektar pada tahun 2008
menjadi 1,24 ton/hektar pada tahun
2010. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Tarsudi (2011).
Pendapatan petani kopi sangat
dipengaruhi oleh harga kopi itu
sendiri.Sebagai komoditas ekspor, tingkat
fluktuasi harga kopi sangat tinggi karena
dipengaruhi kondisi pasar dunia.Pesatnya
perkembangan produksi kopi dunia telah
menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan
kopidunia sehingga mengakibatkan
persaingan antar negara produsen menjadi
semakin ketat dan pada akhirnyaharga
cenderung tertekan.
Dalam dunia perdagangan kopi
Internasional, Indonesia dikenal sebagai
negara produsen kopi yang terbesar
keempat setelah Brazil, Kolombia, dan
Vietnam. Bahkan untuk kopi jenis robusta,
Indonesia berada di peringkat pertama
sebagai produsen. Kopi yang banyak dijual
di pasar Indonesia adalah jenis Arabika.
Persaingan komoditas kopi Arabika
Indonesia untuk memasuki pasar
internasional sangat ketat. Konsumen
domestik maupun luar negeri menuntut
kualitas biji kopi yang baik. Adanya pesaing-
pesaing terbesar Indonesia seperti Brazil,
Colombia, Guatemala, Costa rika, Meksiko
mendorong industri perkopian Indonesia
untuk meningkatkan kualitas kopinya serta
kemampuannya untuk bersaing di pasar
Internaional.
Upaya-upaya peningkatan daya
saing yang perlu dilakukan antara
lainfasilitasi Pemerintah untuk
mengembangkan danmenerapkan SNI kopi
biji yang berorientasi internasional dan
meningkatkanteknologi peralatan
pengolahan di tingkat petani untuk proses
basah dan kering.
Selain itu pengembangan kopi organik yang
dimulai dengan sosialisasiberbagai hal yang
terkait dengan standar dan implementasi
budi daya, pengolahandan perdagangan.
Selain sosialisasi, pemerintah perlu
memfasilitasi produsen danpengekspor
kopi organik dengan penyediaan informasi
pasar dan berbagai kemudahan ekspor.
KESIMPULAN
Pendapatan petani kopi di Kelurahan Saribu
Dolok Kecamatan Silimakuta secara
signifikan dipengaruhi oleh variabel biaya
bibit, biaya pestisida, biaya pupuk, dan
biaya tenaga kerja. Nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.809 yang berarti
bahwa variabel biaya bibit, biaya pestisida,
biaya pupuk, dan biaya tenaga kerja mampu
menjelaskan variasi pendapatan petani kopi
di Kecamatan Silimakuta sebesar 80.90%.
Secara parsial hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel yang berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pendapatan petani
kopi di Kelurahan Saribu Dolok Kecamatan
Silimakuta adalah biaya pupuk dan biaya
tenaga kerja sedangkan variabel biaya bibit
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
159
berpengaruh positif tapi tidak signifikan
sementara variabel biaya pestisida
berpengaruh negatif dan tidak signifikan.
Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh
bahwa koefisien (elastistitas) biaya pupuk
mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan variabel lainnya,
sehingga variabel biaya pupuk merupakan
faktor yang memberikan kontribusi yang
lebih besar dalam pendapatan petani kopi
di Kelurahan Saribu Dolok. Hasil uji asumsi
klasik menunjukkan bahwa model regresi
linier pendapatan petani kopi di Kelurahan
Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta telah
memenuhi semua asumsi klasik yang
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
AEKI, 2012.Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi
Indonesia.http://www.aekiaice.org/index.php/en.
BPS Provinsi Sumatera Utara, 2011. Data Luas
Areal dan Produksi Tanaman Kopi di Kabupaten Sumatera Utara Tahun 2010. Sumatera Utara Dalam Angka 2011.
BPS Kabupaten Simalungun, 2012. Data Luas
Areal dan Produksi Tanaman Kopi Arabika di Kabupaten Simalungun Tahun 2011. Simalungun Dalam Angka 2012.
Balittri, 2012.Bunga Rampai Inovasi Teknologi
Tanaman Kopi untuk Perkebunan Rakyat.Unit Penerbitas dan Publikasi Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.
Bunasor, S. 1997. Integrasi Perekonomian
Pedesaan dan Perkotaan. Makalah bahasan: Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Pedesaan dan Perkotaan. Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB.
Daidullah, Samsudin T. 2006. Strategi
Pengembangan Agropolitan DinasTanaman Pangan Hortikula,
Perkebunan dan PeternakanKabupaten Bantul. Yogyakarta. Thesis: Program Studi MagisterManajemen Agribisnis Sekolah Pascasrjana UniversitasGajahmada.2006.
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2011.
Pedoman Teknis Intensifikasi Tanaman Kopi Arabika. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara.
Djakapermana, R D. 2007. Pengembangan
Kawasan Agropolitan DalamRangka Pengembangan Wilayah Yang Berbasis Rencana TataRuang Wilayah Nasional.Jakarta. Direktorat Jendral PenataanRuang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah R.I.
Feddy G B Siahaan, 2012.Pengaruh Faktor-faktor
Produksi Terhadap Pendapatan Petani Kopi di Desa Tampahan, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara, Skripsi: Program Studi Managemen, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan.
Gujarati, D. 1995. Basic Econometrics. 3rd Ed.
Mc-Graw Hill, Inc. New York. Hadisapoetra, .1983. Biaya dan Pendapatan di
Dalam Usahatani. Departemen Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hosanna Sri Arta Br Karo, 2010. Analisis
Usahatani Kopi di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, Sripsi: Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hernanto, F. 1996. Ilmu Usaha Tani.Penebar Swadaya. Jakarta.
Ipard, 2006. Pengolahan Kopi secara Konvensional. http://www.ipard.com.
Najiyati dan Danarti, 1997. Budidaya Kopi dan Pengolahan Pasca Panen. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mubyarto, 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian.
LP3ES, Jakarta. Rustiadi. E dan S.Hadi, 2004. Pengembangan
Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Pedesaan dan Pembangunan Berimbang. P4W-IPB dan P3PT. Bogor.
Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global
04-05 April 2018 DOI: https://doi.org/10.31289/snpapmpg.v1i1.85 http://proceeding.uma.ac.id/index.php/semnasagribisnis
160
Soekartawi, Soeharjo. A, John L. Dillon, dan
Hardaker, 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia.
Soekartawi, 2002.Prinsip Dasar Eonomi
Pertanian, Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sutawi, 2002. Manajemen Agribisnis. Manajemen
Agribisnis. Bayu Medu, UMM Press. Tarsudi, 2011.Dampak Pembangunan Kawasan
Agropolitan Terhadap Pengembangan Wilayah Dan Pemberdayaan Masyarakat Pada Lokalita Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun. Tesis : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tohir, KA. 1991. Seutas Pengetahuan Usahatani
Indonesia. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.