17
ANALISIS YURIDIS LEGAL STANDING ANGGOTA PARLEMEN DALAM YUDISIAL REVIEW UNDANG-UNDANG Oleh : I KETUT SURYA BAWANA, SH., MH Mataram, 25 Februari 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Perubahan sistem politik dan kekuasaan negara pasca terjadinya amandemen UUD 1945 telah membawa angin segar bagi perkembangan cita demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia yang salah satunya menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan supremasi parlemen (parliament supremacy) menuju supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Kedaulatan rakyat (people’s sovereignty) yang dahulu berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini pun telah berubah menjadi terletak di tangan rakyat. Penguatan mekanisme kontrol saling jaga dan menyimbangkan (checks and balances mechanism) antarcabang kekuasaan negara juga menjadi agenda utama dalam proses amandemen UUD 1945. Salah satu lembaga negara utama (main state organ) yang dibentuk berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 untuk menjalankan mekanisme checks and balances tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.

Analisis Yuridis Legal Standing Anggota Parlemen Dalam Yudisial Review Undang-undang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sebuah kajian mengenai kedudukan anggota parlemen dalam yudisial review Undang-Undang

Citation preview

ANALISIS YURIDIS LEGAL STANDING ANGGOTA PARLEMEN

DALAM YUDISIAL REVIEW UNDANG-UNDANGOleh :

I KETUT SURYA BAWANA, SH., MH

Mataram, 25 Februari 2015BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang.Perubahan sistem politik dan kekuasaan negara pasca terjadinya amandemen UUD 1945 telah membawa angin segar bagi perkembangan cita demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia yang salah satunya menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan supremasi parlemen (parliament supremacy) menuju supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Kedaulatan rakyat (peoples sovereignty) yang dahulu berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini pun telah berubah menjadi terletak di tangan rakyat. Penguatan mekanisme kontrol saling jaga dan menyimbangkan (checks and balances mechanism) antarcabang kekuasaan negara juga menjadi agenda utama dalam proses amandemen UUD 1945. Salah satu lembaga negara utama (main state organ) yang dibentuk berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 untuk menjalankan mekanisme checks and balances tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mengatasi dan mengelola perkara-perkara yang erat kaitannya dengan konstitusionalitas penyelenggaraan dan praktik ketatanegaraan serta politik di Indonesia. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman ini diberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban, yaitu:

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;3. Memutus pembubaran partai politik; dan4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; serta5. Kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Dengan kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mengawal nilai-nilai konstitusi dan demokrasi, sehingga fungsi dan tugasnya seringkali diposisikan sebagai: (1) pengawal konstitusi (the guardian of constitution); (2) penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution); (3) pengawal demokrasi (the guardian of democracy); (4) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizens constitutional rights); dan (5) pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).

Sejak pembentukannya pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi setidak-tidaknya telah mengadili 384 perkara dengan perincian 228 perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (revewing laws against the constitution), 11 perkara sengketa kewenangan lembaga negara (dispute over the authorities of state institutions), dan perselisihan hasil pemilihan umum (disputes of the general election results) sejumlah 45 perkara Pemilu 2004 yang terdiri dari 274 kasus dan 71 perkara Pemilu 2009 yang terdiri dari 657 kasus, serta 27 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (disputes of the head regional election results). Mahkamah Konstitusi juga menerima permohonan sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004 dan 2009 masing-masing satu perkara.

Lebih lanjut, khususnya terkait pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang lebih akrab kita dengarkan adalah Yudisial Review, namun akan menjadi menarik apabila kita dapat menganalisa terkait kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan yudisial review di Peradilan Mahkamah Konstitusi, dimana dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, menentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya, telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;c. badan hukum publik atau privat; ataud. lembaga negara. Sebagai pihak yang hak atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan adalah wajar apabila perseorangan mengalami kondisi atas disahkannya suatu produk hukum (Undang-Undang), mengingat perseorangan warga negara telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan kepada Presiden dan wakil rakyat (DPR) pada saat Pemilihan Umum terlaksana. Namun terkait dengan ketentuan Pasal Pasal 51 ayat (1) huruf d, bahwa sebagai lembaga negara diberikan ruang dalam Undang-Undang tersebut sebagai pemohon.

Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian guna menyusun makalah dengan judul Analisis Yuridis Anggota Parlemen Dalam Yudisial Review Undang-Undang.B. Rumusan Masalah.Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dirumuskan pokok permasalahan yakni, bagaimanakah kedudukan hukum anggota parlemen (DPR dan DPD) dalam melakukan yudisial review Undang-Undang?

BAB II

PEMBAHASANA. Tugas dan wewenang Anggota DPR dan DPD.

Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, telah diatur tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Yang mana kedua lembaga tersebut termasuk dalam kelompok pengertian Parlemen dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang mempunyai tugas dan wewenang dalam mengajukan, membahas dan memutuskan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

Kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki kewenangan dalam proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Karena DPR sebagai representasi dari masyarakat indonesia yang diwakili oleh anggota DPR terpilih, sedang DPD merupakan perwakilan dan juga penghubung antara masyarakat di daerah dan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Dalam Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa DPR mempunyai fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi, yang dilaksanakan sebagai perwujudan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Dalam Pasal 71 UU Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan juga tugas dan wewenang DPR yang terkait dengan pembentukan undang-undang, yaitu :

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;f. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN;i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;Selain itu, DPR juga memiliki alat kelengkapan yang bersifat tetap yang bertugas secara khusus dalam proses pembentukan suatu produk hukum perundang-undangan, yaitu Badan Legislatif. Seperti yang tercantum dalam Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009, yaitu :

a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dani. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

Dewan Perwakilan Daerah juga mempunyai tugas dan fungsi dalam pembentukan undang-undang yang terkait hubungannya antara daerah dan pusat. Dalam Pasal 223 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan fungsi DPD, yaitu :

a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; danDPD juga mempunyai tugas dan wewenang yang terkait dengan pembentukan suatu undang-undang, seperti tercantum dalam Pasal 224 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009, yaitu :

a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

Dari tugas dan wewenang tersebut, dapat dikatakan bahwa DPR dan DPD mempunyai fungsi, tugas dan wewenang yang sama dalam melakukan proses pembentukan undang-undang. Namun DPD hanya sebatas mengajukan dan melakukan pembahasan saja, tidak untuk memutuskan suatu undang-undang. Sedangkan DPR mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu undang-undang itu diterima, disetujui, ditolak atau disahkan.

B. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi.Untuk menjamin bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi harus ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingrecht). Kehadiran hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi suatu negara, yang posisinya diletakkan dalam kedudukan yang tertinggi (supreme). Artinya, eksistensi dari hak menguji tersebut adalah sebagai penjamin (guarantees of constitutions) agar materi dari konstitusi dapat diimplementasikan secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Sebagai Pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga satu-satunya yang memiliki kewenangan melakukan penafsiran terhadap UUD.Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dalam melakukan pengujian suatu undang-undang atau sengketa kewenangan lembaga negara terhadap Undang-Undang Dasar Rapublik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;c. memutus pembubaran partai politik; dand. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kemudian dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengatur tentang pihak-pihak yang dapat digolongkan sebagai pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi, seperti tercantum sebagai berikut :

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;c. badan hukum publik atau privat; ataud. lembaga negara.

Sebagaimana dimaksud huruf a diatas, perorangan yang dapat mengajukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi adalah masyarakat umum secara pribadi maupun kelompok. Begitu pula dengan kesatuan masyarakat hukum adat dan badan hukum, yang telah jelas secara pengertian tentang siapa saja subjek yang dapat menjadi pemohon pengujian.

Namun yang menjadi pertanyaan, lembaga negara manakah yang dikatakan sebagai pemohon? Apakah semua lembaga negara dapat menjadi pemohon? Tidak semua lembaga negara dapat menjadi pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara yang ikut dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari pengajuan, pembahasan, sampai dengan pengesahan tidak dapat menjadi pemohon.

C. Kedudukan Hukum anggota DPR dalam melakukan yudisial review terhadap Undang-Undang.Bahwa dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima kedudukan hukum (legal standing)-nya selaku Pemohon di hadapan Mahkamah, maka berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, menentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya, telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;c. badan hukum publik atau privat; ataud. lembaga negara. Bahwa sejak Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 hingga saat ini, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI 1945;b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Bahwa sebagai Anggota Parlemen yang dalam menjalankan fungsinya telah menerima berbagai pengaduan dan aspirasi dari konstituen, menurut Mahkamah, oleh karena kedudukannya sebagai Anggota Parlemen, yang secara kelembagaan maupun keanggotaan dalam perspektif konstitusi, antara lain, ikut membahas persoalan Undang-Undang aquo maka Undang-Undang a quo adalah produk yang di dalamnya Anggota Parlemen ikut membahasnya. Dengan demikian, Anggota Parlemen tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;BAB III

PENUTUP

Kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa anggota parlemen, dalam hal ini anggota DPR dan DPD, tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi. Karena anggota parlemen tersebut merupakan tempat keluarnya produk hukum perundang-undangan. Parlemen (DPR dan DPD) adalah tempat proses pengajuan, pembahasan sampai dengan pengesahan undang-undang. Jadi, dari perspektif ketatanegaraan kedua lembaga tersebut tidak dimungkinkan untuk mengajukan pengujian terhadap produk buatannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.