Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
ANALISIS YURIDIS MENGENAI PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA ATAS
MEREK DALAM PRAKTIK PEMBERIAN KREDIT PADA BANK X
Desty Dwi Lestari
Pembimbing: Suharnoko, Abdul Salam
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Abstrak
Skripsi ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat
deskripstif, analitis dan kualitatif. Dalam skripsi ini dibahas mengenai kedudukan merek
dalam hukum kebendaan perdata yaitu sebagai suatu kebendaan tidak berwujud, terdaftar, dan
bergerak. Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU Merek sebagai
sumber hukum utama dalam menentukan kedudukan merek dalam hukum kebendaan belum
memberikan pengaturan yang jelas mengenai bentuk dan sifat kebendaan merek.
Pengklasifikasian merek sebagai benda tidak berwujud, terdaftar, dan bergerak dilakukan
dengan melihat pada sifat dari merek itu sendiri dan dengan melihat pada ketentuan hukum
merek dan hukum kebendaan negara lain. Merek sebagai suatu kebendaan yang memiliki
nilai, dapat dijadikan objek jaminan pada lembaga fidusia, sebagaimana dalam praktik yang
telah dilakukan oleh Bank X. Pembebanan jaminan fidusia atas merek ternyata telah
memberikan perlindungan hukum yang cukup kepada kreditur selaku penerima fidusia
dengan didaftarkannya akta jaminan fidusia tersebut ke kantor pendaftaran fidusia.
Abstract
This mini thesis is a legal research with normative, juridical approach that is descriptive,
analytical, and qualitative. It discusses about the position of marks in Indonesian property law
as intangible property, registered property, and movable property. Basically, the civil code
and the law on marks in Indonesia, as main sources to determine the position of brands in
property law have not provided a clear arrangement about the shape and classification of
marks. The classification of marks as an intangible property, registered property, and movable
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
property has been done by looking at the traits of marks itself and by doing comparison with
the property law and the law on marks of other countries. As a property that is economically
valuable, marks can be used as an object of the fiduciary security as has been conducted by
Bank X. The fiduciary security over marks has apparently provided legal protection to a
creditor, who is also recipient of a fiduciary security, after has been registered.
Pendahuluan
Perkembangan perekonomian Di Indonesia tidak terlepas dari adanya peningkatan
kegiatan perbankan dan perdagangan. Dalam kondisi yang sekarang ini kegiatan perdagangan
di Indonesia dapat dikatakan telah masuk pada kondisi pasar persaingan sempurna. Hal ini
dapat dilihat seiring dengan kian bertambahnya jumlah pengusaha, beragamnya barang atau
jasa yang ditawarkan pada konsumen, dan hal-hal lain sebagainya. Dengan demikian
terjadilah persaingan yang ketat diantara para pengusaha tersebut baik dari segi harga, kualitas
barang atau jasa yang ditawarkan, maupun dari segi modal yang mereka miliki. Namun pada
kenyataannya tidak semua pengusaha memiliki modal yang cukup untuk melakukan usaha
dan untuk bersaing dengan pengusaha lainnya. Untuk menjalankan usahanya, para pelaku
usaha memerlukan modal atau dana dari pihak lain yang umumnya dapat diperoleh melalui
lembaga keuangan melalui pembiayaan ataupun kredit. Pada praktiknya bank lebih populer di
kalangan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali bagi para pengusaha. Hal ini sesuai dengan
fungsi bank sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat (financial Intermediary),
dimana bank menjadi media perantara pihak pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of
found) dengan pihak-pihak yang kekurangan atau membutuhkan dana (lack of found)1.
Selain dalam hal permodalan, persaingan anatara para pengusaha juga terjadi terutama
dari sisi produk barang maupun jasa yang mereka hasilkan. Baik dari segi kualitas produknya,
jumlah produknya, harga produknya, dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaannya, para
pengusaha memberikan label bagi barang maupun jasa hasil produksi mereka guna
memberikan identitas mengenai asal produk itu sendiri. Sementara itu dari sisi konsumen,
label tersebut dapat berfungsi untuk membedakan suatu produk dari satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya, terutama terhadap barang-barang yang sejenis. Label itulah yang dikenal
1 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), hal.67.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
juga dengan istilah merek. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
tentang Merek (UU Merek) disebutkan bahwa:2
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki dayapembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Selanjutnya, Pasal 3 UU Merek juga memberikan suatu hak milik atas merek dengan
penyebutan hak atas merek yang didefinisikan sebagai berikut:3
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilikMerek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu denganmenggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untukmenggunakannya.
Esensi peruntukan merek pada awalnya adalah sebagai suatu identitas produk yang
membedakan satu produk dengan produk lainnya. Namun demikian dalam perkembangannya,
ternyata merek merupakan suatu asset tersendiri bagi perusahaan pemilik mereknya. Merek
dengan brand image yang baik, atau merek yang sudah terkenal, akan memiliki nilai ekonomi
yang lebih tinggi daripada merek yang belum terkenal. Hal ini secara langsung membawa
dampak pada pendapatan perusahaan pemilik merek tersebut. Dalam praktiknya, merek
bahkan telah dijadikan sebagai suatu jaminan atas kredit yang diajukan oleh pengusaha guna
memperoleh tambahan modal bagi usahanya. Hal ini telah terjadi pada praktik pemberian
kredit pada Bank X yang menetapkan merek sebagai jaminan atas kredit tersebut dengan
dibebankan suatu jaminan fidusia terhadapnya. Namun demikian, jika kita melihat pada
pengaturan mengenai kebendaan maupun pengaturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual,
khususnya merek, ternyata belum ditemukan suatu pengaturan yang jelas apakah merek
merupakan suatu kebendaan atau bukan. Berangkat dari sinilah saya akan meneliti bagaimana
pemberlakuan jaminan fidusia atas hak merek dalam praktik pemberian kredit pada Bank X
yang ditinjau dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan serta dalam praktiknya
secara langsung pada skripsi saya yang berjudul “Analisis Yuridis Mengenai Pembebanan
Jaminan Fidusia Atas Merek Dalam Praktik Pemberian Kredit Pada Bank X ” “Analisis
Yuridis Mengenai Pembebanan Jaminan Fidusia Atas Merek Dalam Praktik Pemberian
Kredit Pada Bank X”
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
merumuskan beberapa pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
2 Indonesia, Undang-Undang Merek, UU No. 15 Tahun 2001. LN No. 110 Tahun 2001. TLN. No.4131, Ps.1 angka 1.
3 Ibid., Ps. 3.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
1. Bagaimana kedudukan merek dalam hukum kebendaan perdata di Indonesia?
2. Bagaimana pembebanan jaminan kebendaan atas merek dapat dilakukan?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi Bank X sebagai kreditur dalam perjanjian
pemberian kredit dengan jaminan berupa merek?
Pembahasan
A. Kedudukan Merek Dalam Hukum Benda
Merek merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual atau disebut juga dengan
Intellectual Property Rights. Sementara Intellectual Property Rights itu sendiri merupakan
bagian dari property, yaitu sebagai suatu yang memiliki nilai ekonomis dan merupakan bagian
dari hak kebendaan.Yang menjadi perdebatan selanjutnya adalah bahwa apakah property yang
ada dan dimaksud dalam Hak Kekayaan Intelektual merupakan property dalam artian benda
sebagaimana dimaksud oleh hukum kebendaan. Dalam hal ini, Ross Grantham berpendapat
bahwa:
Property did not refer to a thing but was an abstract notion referring to the ‘bundle’of rights held by the individual.4
Maksudnya adalah pemilikan property tidak semata-mata sebagai suatu kebendaan,
melainkan juga sebagai seperangkat hak. Lebih lanjut Prof. Agus Sardjono berpendapat
bahwa hak atau rights yang dimaksud dalam hal ini meliputi the right to posses dan the right
of security. The right to posses maksudnya adalah seseorang berdasarkan Undang-Undang
diberi hak untuk menguasai atau untuk mengontrol suatu benda. Sementara the right of
security diartikan sebagai adanya kekebalan atau immunity, yaitu hak seseorang dari
kemungkinan pengambilan oleh pihak lain. Pengambilan atau perpindahan hak itu hanya
dimungkinkan berdasarkan kesepakatan pemegang haknya, kecuali dalam hal terjadinya pailit
atau eksekusi atas hutang yang tidak dibayar (debt).5
Jika dikaitkan dengan hak atas merek, penulis berpendapat bahwa hak atas merek
tersebut merupakan suatu hak kebendaan sebagaimana yang dirumuskan dalam definisi di
atas. Dalam hal ini hak atas merek memberikan kekuasaan pada pemiliknya untuk menguasai
atau melakukan kontrol terhadap merek yang bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam
UU Merek (the right to posses). Selain itu, hak atas merek juga memberikan hak kepada
4 Ross Grantham, “Doctrinal Bases for the Recognition of Proprietary Rights”, Oxford Journal of LegalStudies, (Vol. 16, Winter 1996), hal. 567.
5 Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, hal. 209.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
seseorang untuk mempertahankan mereknya tersebut dari kemungkinan pengambil alihan
oleh pihak lain. Pengalihan hak atas merek juga harus berdasarkan kesepakatan dari
pemegang haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU Merek (the right of security).
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa merek merupakan suatu benda atau
property sebagaimana definisi property yang dikemukakan oleh Ross Grantham dan Prof.
Agus Sardjono di atas.
Namun demikian Prof. Agus Sardjono tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan
bahwa Hak Kekayaan Intelektual apapun bentuknya merupakan suatu benda baik berupa
barang maupun hak, tetapi hanya berupa objek kepemilikan. Hal ini dapat dilihat dari
penyebutan Hak Kekayaan Intelektual pada masa lalu dikenal juga dengan hak milik
intelektual. Yang dimiliki oleh penciptanya adalah kepentingan ekonomi dari hasil ciptaannya
bukan wujud dari ciptaan tersebut.6 Lebih lanjut Prof. Agus Sardjono berpendapat bahwa hak
yang dimiliki oleh pencipta atau creator dari suatu Hak Kekayaan Intelektual bukan
merupakan hak kebendaan dan bukan pula merupakan suatu hak perorangan. Jika hak pemilik
atas HKI merupakan suatu hak kebendaan sudah seharusnya hak tersebut melekat pada suatu
benda. Beliau memberikan suatu ilustrasi bahwa dalam hal seseorang memperoleh suatu hak
paten, ternyata hak tersebut melekat pada hasil produksi dari invensi yang bersangkutan.
Suatu Hak Kekayaan Intelektual juga bukan merupakan hak perorangan. Hal ini karena apa
yang dimaksud sebagai hak perorangan adalah hak untuk menuntut orang lain berdasarkan
hubungan personal, sementara sifat ini tidak terdapat pada hak yang dimiliki creator HKI.7
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Merek yang merupakan bagian dari Hak
Kekayaan Intelektual merupakan suatu kebendaan, yaitu berupa hak. Sedangkan hak atas
merek merupakan suatu hak kebendaan. Pendapat penulis ini diperkuat oleh pendapat H.F.A
Vollmar yang mengatakan bahwa benda tidak hanya meliputi segala objek hukum yang dapat
diraba, melainkan juga segala objek hukum yang tidak dapat diraba, yaitu berupa hak. Hak-
hak yang dimaksud dalam hal ini meliputi hak pengarang, hak oktroi, semua hak tagihan atau
piutang, dan lain sebagainya.8 Berdasarkan pendapat tersebut Vollmar secara tidak langsung
mengatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari hak kebendaan. Hal ini
terlihat dari penyebutan hak pengarang atau dalam bahasa HKI saat ini disebut juga sebagai
hak cipta. Selain pendapat Vollmar tersebut, sifat-sifat kebendaan hak merek juga terdapat
pada aspek hak merek yang lainnya, sebagaimana yang akan dijelaskan pada paragraph-
6 Ibid., hal. 207.7 Ibid., hal. 209.8 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, hal. 187.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
paragraf selanjutnya. Merek sebagai suatu benda dan hak atas merek sebagai suatu hak
kebendaan juga dapat dilihat dari melekatnya sifat-sifat hak kebendaan pada hak atas merek.
Telah diketahui bahwa aturan-aturan dalam hukum benda atau hukum harta kekayaan
merupakan aturan yang bersifat memaksa bukan sekedar mengatur. Artinya bahwa aturan
tersebut harus dipatuhi dan tidak dapat dikesampingkan.9 Hal ini juga berlaku pada aturan-
aturan mengenai merek. UU Merek merupakan seperangkat peraturan yang sifatnya
memaksa, sehingga harus diikuti dan tidak dapat dikesampingkan. Ketentuan yang bersifat
memaksa ini mengindikasikan bahwa terdapat suatu kesamaan dalam hukum merek dan
hukum benda.
Selanjutnya, hak atas merek merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu
dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya. Sementara itu, hak kebendaan adalah hak yang melekat pada suatu benda,
memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap
tuntutan oleh setiap orang, atau disebut juga sebagai hak absolut. Berdasarkan dua pengertian
tersebut terdapat suatu benang merah yang menunjukan persamaan diantara keduanya. Hak
ekslusif yang melekat pada hak atas merek identik dengan hak absolut yang ada pada hak
kebendaan. Keduanya sama-sama memberikan kekuasaan penuh bagi pemilik untuk
mempertahankan haknya itu terhadap siapapun. Dengan demikian, sebagaimana benda
lainnya, penggunaan dan penyerahan merek kepada pihak lain haruslah atas izin pemilik dari
merek tersebut. Mengambil dan menggunakan benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya
merupakan suatu tindak pidana pencurian sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Sama halnya dengan pelanggaran hak atas merek yang juga dianggap
sebagai suatu tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda
maksimal Rp 1.000.000.000. Hal ini diatur secara tersendiri dalam Pasal 90 UU Merek, yaitu
UU No. 15 Tahun 2001.10
Pengalihan hak atas merek juga menggunakan cara-cara yang telah lazim dilakukan
untuk melakukan pengalihan kekayaan atau kebendaan, yaitu melalui pewarisan, wasiat,
hibah, perjanjian, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang, sebagaimana
diatur dalam Pasal 40 UU Merek.11
9 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, hal. 36.10 Indonesia, Undang – Undang Merek, Ps. 90.11 Ibid., Ps. 40.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Jika disepadankan dengan hak kebendaan, maka hak atas merek ini merupakan hak
milik atas suatu kebendaan. Pasal 570 KUH Perdata memberikan definisi mengenai hak milik
sebagai hak untuk menikmati kegunaan suatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat bebas
terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-
undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak
menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan itu
dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum
berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.12 Artinya
bahwa hak milik memberikan kekuasaan penuh bagi seseorang untuk menikmati miliknya
tersebut asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan masyarakat. Hal ini juga diberlakukan bagi tiap-tiap penggunaan hak atas merek
sebagaimana ketentuan Pasal 69 UU Merek yang pada intinya mengatur bahwa gugatan atas
pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan bagi merek yang bertentangan dengan
moralitas agama, ketertiban umum dan kesusilaan.
Ciri-ciri hak kebendaan lainnya yang juga melekat pada hak atas merek adalah sifat
droit de suit. Sifat droit de suit maksudnya adalah suatu hak kebendaan melekat erat pada
bendanya dan akan selalu mengikuti benda tersebut di tangan siapapun benda itu berada. Hak
atas merek selalu melekat pada bendanya yaitu merek yang bersangkutan. Bahkan lebih
daripada itu, hak atas merek selalu mengikuti atau melekat pada pemiliknya. Sementara itu
sifat droit de preference, maksudnya adalah hak yang didahulukan. Implementasi sifat ini
dalam hak atas merek terlihat jelas dari sistem pendaftaran merek yang dianut di Indonesia,
dimana orang yang mendaftarkan suatu merek terlebih dahulu dianggap sebagai pemilik
sesungguhnya atas merek dan berhak sepenuhnya atas merek tersebut selama tidak ada pihak
lain yang membuktikan ketidakberhakan orang tersebut. Untuk selanjutnya orang itulah yang
diutamakan untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum atas merek yang bersangkutan.
Selanjutnya, sifat kebendaan hak atas merek juga terdapat dalam adanya penetapan
jangka waktu atau daluwarsa bagi pemilikan atas merek tersebut. Pasal 61 UU Merek
menyatakan bahwa hak atas merek akan hapus apabila merek yang bersangkutan tidak
digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak
tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima
oleh Direktorat Jenderal.13 Dengan demikian merek tersebut dianggap sebagai milik umum
12 Ibid., Ps. 570.13 Indonesia, Undang-Undang Merek, UU No. 15 Tahun 2001. LN No. 110 Tahun 2001. TLN. No.
4131, Ps. 61.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dan dapat diajukan pendaftarannya oleh pihak lain. Hal ini dapat dipersamakan dengan
ketentuan dalam hukum tanah yang mengatur mengenai larangan penelantaran tanah. Disitu
diatur bahwa pemilik atas tanah yang tidak menggunakan tanahnya selama 30 tahun atau lebih
dianggap telah menelantarkan tanahnya, oleh karena itu kehilangan hak milik atas tanah
tersebut dengan lewatnya waktu 30 tahun sebagaimana yang telah ditetapkan. Dengan
demikian tanah tersebut tidak lagi menjadi miliknya, melainkan menjadi milik orang yang
menguasai atau bezitter dari tanah yang dimaksud, atau apabila tanah tersbut dibiarkan
terlantar begitu saja tanpa ada yang menguasainya, maka tanah tersebut menjadi tanah
Negara.
Setiawan dalam tulisannya pada Majalah Varia Peradilan tentang Lisesnsi Merek,
mengatakan bahwa merek merupakan suatu label yang memberikan petunjuk pada konsumen
mengenai asal-usul suatu barang. Pemberian lisensi pada merek awalnya dikhawatirkan akan
mengaburkan konsumen tentang asal usul barang, sehingga merek dipandang sebagai suatu
hal yang tidak dapat terpisahkan dari perusahaannya. Dengan demikian merek bukan
merupakan suatu kebendaan sebagaimana yang dimaksud dalam hukum perdata. Namun
demikian, pada perkembangan selanjutnya, pemberian lisensi atas suatu merek merupakan hal
yang telah lazim dilakukan. Merek dipandang sebagai suatu disposable asset sehingga dapat
dialihkan terlepas dari perusahaannya.14 Artinya bahwa merek dapat dijadikan sebagai satu
kesatuan aset atau benda tidak berwujud yang terpisah dari perusahaannya. Dengan demikian
pendapat ini memperkuat dalil bahwa merek merupakan suatu kebendaan, dan hak atas merek
merupakan hak atas kebendaan, yang dalam hal ini setara dengan hak milik kebendaan.
Pasal 499 KUH Perdata mendefinisikan kebendaan sebagai tiap-tiap barang dan tiap-
tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.15 Barang diartikan sebagai benda berwujud yang
dapat dilihat, diraba, atau dapat diketahui secara nyata wujudnya. Sementara hak yang
dimaksud dalam Pasal tersebut adalah tiap-tiap benda tidak berwujud yang tidak nampak
secara kasat mata, tidak dapat digenggam, dan diraba. Dalam hal ini jelaslah bahwa merek
merupakan suatu kebendaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 499 KUH Perdata, namun
pembedaan merek sebagai benda berwujud ataukah benda tidak berwujud masih terdapat
perdebatan. Van Apeldoorn mengklasifikasikan merek sebagai bagian dari kebendaan
berwujud. Ia menganalogikan bahwa merek pada dasarnya merupakan suatu hasil
intelektualitas manusia, namun demikian setelah benda tidak berwujud tersebut
14 Setiawan, “Lisensi Merek Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 1992”, Majalah Varia PeradilanNo. 96, (Jakarta: 1993), hal. 140-153.
15 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, cet. 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Ps. 499.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
(intelektualitas) keluar dari pikiran manusia dan menjelma kedalam suatu ciptaan
kesusastraan, seni dan lain sebagainya, maka benda tersebut telah berubah menjadi benda
berwujud yang dalam pemanfaatan dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan
uang. 16 Namun demikian kebanyakan ahli hukum berbendapat bahwa merek merupakan hak
atau bagian dari kebendaan tak berwujud. Pendapat ini didasarkan pada hakikat perlindungan
terhadap merek sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, yaitu sebagai hasil cipta dari
ide atau intelektualitas manusia. Perlindungan terhadap merek pada hakikatnya bertujuan
untuk melindungi dan menghargai ide atau intelektualitas manusia itu sendiri yang bersifat
abstrak. Salah satu ahli hukum perdata yang berpendapat bahwa merek merupakan suatu
benda tidak berwujud adalah Vollmar. Sebenarnya beliau tidak secara langsung menyebutkan
bahwa merek merupakan bagian dari kebendaan tidak bertubuh, melainkan Hak Kekayaan
Intelektual-lah yang dikatakan sebagai benda tidak bertubuh, yaitu berupa hak pengarang atau
hak cipta. Namun demikian merek yang juga merupakan bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual, sehingga merek merupakan suatu kebendaan tidak bertubuh atau benda tidak
berwujud. Jika dikaitkan dengan merek, walaupun pada dasarnya merek tersebut dapat dilihat
secara kasat mata, namun hakikat dan peruntukan perlindungan merek itu sendiri bukan pada
susunan kata dan gambarnya melainkan pada intelektualitas manusia yang menciptakan
merek yang bersangkutan, sehingga memberikan hak kepada penciptanya untuk secara
sepenuhnya menggunakan merek tersebut. Intelektualitas manusia itu sendiri merupakan
suatu hal yang abstrak, artinya tidak dapat dilihat secara kasat mata dan tidak dapat diraba
sebagaimana kebendaan berwujud lainnya. Dengan demikian penulis berbendapat bahwa
merek dikatagorikan sebagai hak atau kebendaan tidak berwujud.
Mengenai pembedaan benda terdaftar dan benda tidak terdaftar, merek merupakan
suatu kebendaan terdaftar. Hal ini karena suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-
huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan dapat digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa memang
disebut sebagai merek. Tetapi merek yang demikian itu, belum mendapat perlindungan
sebagaimana yang diberikan oleh UU Merek. Artinya bahwa hak kebendaan atas merek
belum lahir apabila mereknya belum didaftarkan pada Direktorat Jenderal HKI, sehingga
merek yang tidak terdaftar bukan merupakan benda. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa merek merupkan benda terdaftar.
16 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 3, (Jakarta: Noordhoff koff, 1957), hal. 173.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Selanjutnya, sebelum kita mengelompokan merek ke dalam benda bergerak atau benda
tidak bergerak, maka terlebih dahulu harus diketahui mengenai definisi masing-masing.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, benda tidak bergerak
digolongkan menjadi tiga, yaitu benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUH
Perdata), tidak bergerak karena peruntukannya (Pasal 507 KUH Perdata), dan benda tidak
bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 508 KUH Perdata).17 Pada dasarnya ketiga
penggolongan tersebut kecuali yang ditetapkan karena undang-undang, benda tidak bergerak
merupakan tanah atau benda lain yang terkait langsung dengan tanah atau dapat dikatakan
menyatu dengan tanah. Tanah menjadi benda tidak bergerak karena sifatnya yang memang
tidak bergerak. Sementara mesin-mesin pabrik yang besar, yang dilekatkan dengan tanah
peruntukannya memang untuk digunakan di tempat dimana mesin tersebut diletakan bukan
untuk penggunaan yang mobile. Dengan kata lain, mesin pabrik sebagaimana yang dimaksud
itu merupakan benda yang melekat atau menyatu dengan tanah. Sementara itu merek
bukanlah tanah dan benda yang menyatu dengan tanah. Merek merupakan tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-
unsur tersebut.18 Berdasarkan definisi tersebut, merek pada hakikatnya merupakan suatu
benda bergerak karena merek itu melekat dan menjadi label bagi benda-benda perdagangan
sebagaimana fungisnya, yaitu untuk membedakan produk yang satu dengan yang lain. Selain
itu UU Merek juga tidak menetapkan merek sebagai benda tidak bergerak atau benda
bergerak, sehingga pengakatagorian merek ini dilakukan berdasarkan hakikatnya saja. Disisi
lain Vollmar berpendapat bahwa penyebutan benda bergerak secara satu persatu yang didapati
dalam Pasal 511 seharusnya dapat ditambah dengan hak auteur atau hak pengarang.19 Dengan
kata lain, Volmar berpendapat bahwa Hak Kekayaan Intelektual selain dipandang sebagai
suatu kebendaan tidak bertubuh, merupakan pula suatu kebendaan bergerak. Jika kita kembali
menganalogikan merek dengan saham, maka semakin memperkuat posisi merek sebagai
benda bergerak. Hal yang membedakan adalah pengelompokan saham menjadi benda
bergerak merupakan suatu penetapan yang dilakukan oleh ketentuan Pasal 60 ayat (1) Udang-
Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, sementara penetapan merek sebagai
benda bergerak tidak didasarkan Undang-Undang.20 Filosofi penetapan saham sebagai suatu
benda bergerak, didasarkan pada alasan bahwa saham bukan merupakan tanah dan bukan pula
17 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Ps. 506-508.
18 Indonesia, Undang-Undang Merek, Ps. 1 angka 1.19 H.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, hal. 198.20 Indonesia, Undang-Undang Merek, Ps. 60 ayat (1). Saham merupakan benda bergerak dan
memberikan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 kepada pemiliknya.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
merupakan bagian yang menyatu dengan tanah.21 Hal itu senada dengan latar belakang
penulis mengelompokan merek sebagai suatu benda bergerak.
Di sisi lain, J. Satrio berpendapat bahwa segala kebendaan bergerak yang terdaftar
seolah-olah tunduk pada aturan mengenai benda tidak bergerak dan biasa dibebankan dengan
jaminan hipotik.22 Namun demikian Prof. Rosa Agustina dalam perkuliahan Perbandingan
Hukum Perdata pada tanggal 21 November 2012 menjelaskan bahwa benda bergerak yang
terdaftar tidak secara otomatis tunduk pada ketentuan mengenai benda tidak bergerak. Beliau
mengatakan bahwa terhadap benda-benda bergerak yang terdaftar, tidak secara otomatis
tunduk kepada ketentuan mengenai benda tidak bergerak, melainkan biasanya dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu seperti halnya kapal laut dan pesawat
udara. Memang pada umumnya benda yang terdaftar merupakan benda tidak bergerak atau
benda bergerak yang meurut Undang-Undang ditetapkan sebagai suatu kebendaan tidak
bergerak. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat benda bergerak yang terdaftar, tetapi
tidak ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai benda tidak bergerak atau untuk tunduk
terhadap ketentuan mengenai benda tidak bergerak seperti kapal laut yang beratnya di atas 20
M3 menurut KUHD,23 atau yang beratnya di atas 7 gross tonnage menurut Undang-Undang
Pelayaran.24 Salah satu contoh benda bergerak yang terdaftar tetapi tidak ditetapkan oleh
Undang-undang sebagai benda tidak bergerak atau untuk tunduk pada ketentuan mengenai
benda tidak bergerak adalah merek. Sebagai contoh lainnya adalah saham. Saham sebagai
benda bergerak yang terdaftar tidak secara otomatis tunduk pada ketentuan mengenai benda
tidak bergerak, melainkan tetap tunduk pada ketentuan mengenai benda bergerak.25
B. Pembebanan Jaminan Fidusia Atas Merek
Perjanjian pengikatan jaminan merupakan suatu perjanjian accessoir dari perjanjian
pokoknya, yaitu perjanjian pembiayaan atau perjanjian kredit. Dalam hal ini pengikatan
perjanjian kredit dilakukan antara Bank X dengan nasabah debitur pemilik merek, sebut saja
21 Centre For Finance And Securities Law, “Overview Gadai dan Gadai Saham Secara Umum,”http://cfisel.blogspot.com/2007/08/artikel-tentang-gadai-dan-gadai-saham.html, diakses pada tanggal 31 Oktober2012.
22 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, danHipotek, Ed. 1, Cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2007), hal.
23 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Ps. 314.24 Indonesia, Undang-Undang Pelayaran, UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, TLN. No.
4849, Ps. 155 ayat (3). Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Surat Ukuruntuk kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
25 Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007,TLN. No. 4756, Ps. 60 ayat (2). Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidakditentukan lain dalam anggaran dasar.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
PT. Y. Sebelum memberikan kreditnya kepada calon nasabah debitur pemohon kredit,
terlebih dahulu bank akan melakukan analisis terhadap kelayakan calon nasabah debitur untuk
diberikan kredit melalui 5C Principles, yaitu sebagai berikut:
1. Character atau watak dari calon peminjam merupakan salah satu pertimbangan
terpenting dalam memutuskan pemberian kredit. Bank sebagai pemberi kredit harus
yakin bahwa peminjam merupakan orang yang bertingkah laku baik, dalam arti selalu
memegang teguh janjinya, selalu berusaha dan bersedia melunasi hutang-hutangnya
pada waktu yang telah ditetapkan.26
2. Capacity atau kemampuan yaitu suatu penilaian pada calon debitur mengenai
kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya
atau kegiatan usaha yang akan dilakukannya yang dibiayai dengan kredit bank
tersebut. Kemampuan ini sangat penting artinya mengingat bahwa kemampuan inilah
yang menentukan besar kecilnya pendapatan atau penghasilan suau perusahaan dimasa
mendatang.27
3. Capital atau modal yaitu jumlah dana yang akan dimiliki oleh calon debitur. Jumlah
ini penting untuk diketahui oleh bank untuk menilai tingkat debt to equity ratio yang
selanjutnya berkaitan dengan tingkat rehabilitas dan solvabilitas serta jangka waktu
pembayaran kembali yang akan diterima.28
4. Condition of Economy, dalma hal ini bank harus mengetahui keadaan ekonomi pada
saat tersebut yang berpengaruh dan berkaitan langsung dengan usaha calon debitur.29
5. Collateral atau agunan yang dalam hal ini berfungsi sebagai jaminan apabila terjadi
suatu wanprestasi pada pelaksanaan perjanjian kredit tersebut. Dalam hal ini jaminan
tersebut memiliki dua fungsi, yaitu pertama untuk pembayaran utang seandainya
debitur melakukan cidera janji atau wanprestasi terhadap perjanjian kredit, dan yang
kedua adalah sebagai penentu besarnya jumlah kredit yang akan diberikan oleh bank
kepada calon debitur.30 Pada pengaturan selanjutnya, yaitu dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Perbankan dan penjelasannya, dikatakan bahwa agunan yang
dimaksud hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit
26 Rahmat Firdaus dan Maya Arianti, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung: Alfabeta,2004), hal. 83.
27 Ibid.28 Ibid.29 Ibid., hal 84.30 Ibid.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
yang bersangkutan.31 Sementara itu dari segi prosedur kreditnya, bank tunduk pada
SK Direksi BI No. 27/162/KE/DIR.
Sebagai suatu jaminan tambahan, keberadaan agunan sebenarnya tidak diwajibkan
pada tiap-tiap pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur. Tetapi jaminan itu sendiri
harus tetap ada dalam tiap-tiap pemberian kredit oleh bank. Untuk itu munculan produk
perbankan berupa kredit tanpa agunan. Hal ini bukan berarti ketiadaan jaminan sama sekali
melainkan tetap adanya jaminan dengan konsep jaminan umum dalam Pasal 1131 KUH
Perdata, yaitu bahwa tiap-tiap kebendaan milik debitur merupakan jaminan bagi perikatan
yang dibuatnya.32 Namun demikian pada pemberian kredit dengan jumlah yang besar, agunan
menjadi suatu hal yang wajib ada dalam pelaksanaan pemberian kreditnya. Hal ini bertujuan
untuk meminimalisasi resiko yang akan dihadapi bank selaku kreditur apabila debitur
wanprestasi.
Sebelum ditetapkan sebagai agunan, suatu benda harus terlebih dahulu melewati tahap
penilaian baik secara hukum maupun secara ekonomi. Nilai ekonomi dari suatu benda juga
turut menentukan besarnya kredit yang akan diberikan oleh bak kepada nasabah debiturnya.
Pada Bank X sendiri diatur bahwa pemberian kredit pada nasabah debitur maksimal sebesar
80% dari nilai jaminan yang diberikan oleh debitur kepada bank. Dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan berupa merek, maka penghitungan merek dapat dilihat dari laporan
keuangan perusahaan pemilik merek yang bersangkutan. Merek terletak pada kolom aktiva
tidak berwujud pada laporan keuangan perusahaan pemilik merek tersebut. Pengertian dari
aktiva itu sendiri adalah sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan sebagai akibat
peristiwa masa lampau dan bagi perusahaan diharapkan akan menghasilkan manfaat
ekonomis di masa depan.33 Yang dimaksud dengan manfaat ekonomis masa depan dalam hal
ini adalah manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari aktiva tidak berwujud dapat
mencakup pendapatan dari penjualan barang atau jasa, penghematan biaya, atau manfaat lain
yang berasal dari penggunaan aktiva tersebut oleh perusahaan. 34 Dengan demikian merek
sebagai suatu kebendaan tidak berwujud merupakan suatu aktiva perusahaan atau bagian dari
harta kekayaan perusahaan yang dapat menimbulkan manfaat ekonomis di masa mendatang,
yaitu dapat menekan biaya produksi masa depan. Kedudukan merek sebagai suatu aktiva tidak
31 Indonesia, Undang-undang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998, TLN. No.3790, Ps. 8 ayat (1).
32 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Ps.1131.
33 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 19 Tentang Aktiva Tidak Berwujud, Paragraf 08.34 Ibid., paragraf 18.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
berwujud ini dipertegas dengan Paragraf 9 Pernyataan Standar Akuntansi Indonesia (PSAK)
No. 19.35
Sebelum di cantumkan dalam laporan keuangan suatu perusahaan, merek harus
melalui proses pengakuan dan pengukuran agar merek tersebut mempunyai nilai. Disisi lain,
merek hanya mendapatkan pengakuan jika merek tersebut memberikan manfaat ekonomi
masa depan bagi aktiva suatu perusahaan. Hal ini didasarkan pada Paragraf 20 jo Paragraf 48
PSAK No. 19, dimana disebutkan bahwa proses pengakuan awal suatu aktiva tidak berwujud
khususnya merek harus diakui sebesar biaya perolehan, yang terdiri atas pengeluaran untuk
bahan baku dan jasa yang digunakan atau dikonsumsi dalam menghasilkan aktiva tidak
berwujud, gaji serta biaya kepegawaian lainnya, pengeluaran langsung terkait dengan aktiva
tidak berwujud yang bersangkutan, dan overhead yang dibutuhkan untuk menghasilkan aktiva
dan yang dapat dialokasikan atas dasar yang rasional dan konsisten kepada aktiva tersebut.36
Dalam hal aktiva tidak berwujud tersebut adalah merek, maka biaya pendaftaran merek
merupakan biaya perolehan berupa pengeluaran langsung terkait aktiva yang bersangkutan.
Setelah diketahui besarnya biaya perolehan aktiva tak berwujud berupa merek, maka akan
dilakukan alokasi sistematis dari nilai aktiva tersebut yang dapat didepresiasi selama masa
manfaat aktiva tersebut, yaitu selama 10 tahun sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28
UU Merek.37 Hal ini disebut juga dengan proses amortisasi. Dengan demikian dapat diketahui
secara pasti besarnya nilai merek sebagai aktiva suatu perusahaan.
Setelah diketahui besarnya nilai merek yang akan dijadikan jaminan kredit,
selanjutnya baru ditetapkan jaminan apa yang cocok dibebankan pada merek itu sendiri.
Dalam praktik pemberian kredit pada dunia perbankan dikenal 4 lembaga jaminan yang
umum digunakan, yaitu berupa hak tanggungan, hipotik, gadai, dan fidusia. Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
35 Ibid., paragraf 09. Perusahaan sering kali mengeluarkan sumber daya untuk mendapatkan,mengembangkan, memelihara atau memperkuat sumber daya tidak berwujud, seperti ilmu pengetahuan danteknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, Hak Kekayaan Intelektual, pengetahuanmengenai pasar dan merek dagang (termasuk merek produk atau brand names).
36 Ibid., Paragraf 20 jo Paragraf 48.37 Indonesia, Undang-Undang Merek, ps. 28. Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk
jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan tersebut dapat diperpanjang.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.38 Pengertian hak
tanggungan tersebut didasarkan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan pada hal tersebut, maka merek bukan merupakan suatu
benda yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan hak tanggungan karena merek bukan
merupakan tanah maupun benda yang berkaitan dengan tanah.
Pembebanan hipotik atas merek juga tidak dapat dilakukan. Hal ini karena hipotik
merupakan suatu lembaga jaminan kebendaan yang diperuntukan bagi benda-benda tidak
bergerak. Sementara merek itu sendiri belum ditetapkan sebagai suatu benda bergerak
maupun benda tidak bergerak sehingga pembebanan jaminan kebendaan atas merek melalui
lembaga jaminan hipotik tidak dilakukan oleh pihak Bank X karena dipandang beresiko
tinggi. Sementara hal dalam pelaksanaan kegiatan perbankan ada suatu ketentuan yang
mengahruskan bahwa tiap-tiap bank harus melakukan usahanya berdasarkan prinsip kehati-
hatian. Sehingga melakukan sesuatu yang beresiko tinggi dapat dipandang sebagai suatu
penyimpangan dari asas kehati-hatian bank. Untuk itu hipotik tidak digunakan sebagai suatu
lembaga jaminan yang dibebankan atas merek.
Jika kita melihat kembali pada sifat kebendaan dari merek, maka merek sebagai benda
bergerak tidak berwujud sebenarnya dapat dibebankan dengan hak gadai sebagai suatu
jaminan yang diperuntukan bagi benda-benda bergerak. Namun demikian KUH Perdata tidak
mengatur bahwa merek merupakan suatu bentuk kebendaan tidak berwujud. Kebendaan tidak
berwujud yang diatur dalam KUH Perdata hanyalah sebatas piutang-piutang atau saham-
saham perusahaan. Salah satu alasannya adalah karena pada saat dibuatnya KUH Perdata
merek sebagai suatu kebendaan belum berkembang seperti saat ini. Vollmar dalam bukunya
yang berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Becht mengatakan bahwa
benda tidak hanya meliputi segala objek hukum yang dapat diraba, melainkan juga segala
objek hukum yang tidak dapat diraba, yaitu berupa hak. Hak-hak yang dimaksud dalam hal ini
meliputi hak pengarang, hak oktroi, semua hak tagihan atau piutang, dan lain sebagainya.39
Berdasarkan pendapat tersebut Vollmar secara tidak langsung mengatakan bahwa Hak
Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari hak kebendaan. Hal ini terlihat dari penyebutan
hak pengarang atau dalam bahasa HKI saat ini disebut juga sebagai hak cipta. Lebih lanjut,
Vollmar mengatakan pula bahwa penyebutan benda bergerak secara satu persatu yang
38 Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, LN. No. 42 Tahun 1996,TLN. No. 3632, Ps. 1 angka 1.
39 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, hal. 187.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
didapati dalam Pasal 511 seharusnya dapat ditambah dengan hak auteur atau hak pengarang.40
Dengan kata lain, Volmar berpendapat bahwa Hak Kekayaan Intelektual selain dipandang
sebagai suatu kebendaan tidak bertubuh, merupakan pula suatu kebendaan bergerak. Sehingga
merek sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual juga dapat dikatagorikan sebagai benda
tidak berwujud dan bergerak yang dapat dibebankan dengan hak gadai.
Pada praktiknya pembebanan gadai terhadap hak merek belum ada di Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan pihak Bank X selaku Bank yang saya teliti untuk
penulisan ini, dikatakan bahwa tidak digunakannya pembebanan hak merek dengan gadai
karena mengandung banyak resiko dan ketidakpastian hukum. Hingga saat ini, Undang-
Undang merek di Indonesia, maupun KUH Perdata sebagai unifikasi hukum kebendaan
perdata belum mengatur mengenai kdudukan merek sebagai suatu kebendaan. Hal ini karena
Di Indonesia sendiri masih terjadi perdebatan apakah hak merek merupakan suatu kebendaan
ataukah bukan, walaupun pada Negara-negara lain seperti Amerika merek ditetapkan sebagai
suatu kebendaan tidak berwujud yang sifatnya relative mirip dengan shares atau saham.
Bahkan Di Negara tetangga kita yaitu singapura telah diatur bahwa merek merupakan suatu
hak pribadi seseorang yang dapat dialihkan dan dibebankan jaminan. Hal ini didasarkan pada
Singapore Law Chapter 12 Section 5 article 19, yaitu sebagai berikut:41
A registered trade mark is personal property, which may be assigned by the registeredproprietor as such, absolutely or by way of security. Such dealings should beregistered with the Registry of Trade Marks; an unregistered assignment is ineffectiveas against a person acquiring a conflicting interest in the trade mark in ignorance ofit.
Di Indonesia, ketika merek ditetapkan sebagai suatu kebendaan, terjadilah suatu
perdebatan lanjutan mengenai penggolongan sifat atau jenis kebendaan merek itu sendiri,
apakah merek merupakan suatu benda bergerak ataukah merupakan suatu kebendaan tidak
bergerak. Untuk itu pembebanan merek dengan gadai tidak di lakukan karena tidak ada suatu
kepastian mengenai kedudukan merek dalam hukum benda, terutama mengenai sifat
kebendaan merek, sementara gadai itu sendiri hanya bisa dibebankan bagi benda bergerak
Selain perdebatan-perdebatan di atas, pembebanan gadai terhadap merek juga tidak
dilakukan dengan alasan bahwa ketidak jelasan pengaturan mengenai kebendaan merek ini,
membuat Bank selaku kreditur juga tidak dapat menentukan secara pasti prosedur atau cara
melakukan inbezitstelling yang merupakan salah satu syarat utama untuk sahnya gadai.
Apakah dengan mengambil sertifikat merek tersebut dan mengambil “royalty” atas merek
40 Ibid., hal. 198.41 Singapore Academy of Law, Laws of Singapore Chapter 12 Section 5,
http://www.singaporelaw.sg/content/iplaw2.html#section5,diakses pada tanggal 10 Desember 2012.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
yang bersangkutan, ataukah dengan cara lainnya. Alasan selanjutnya yang dikemukakan oleh
Bank X dalam rangka tidak dilakukannya pembebanan gadai terhadap merek juga karena
pada dasarnya syarat inbezitstelling pada gadai melemahkan kemampuan debitur dalam
menjalankan usahanya, karena sebagian asset nya yang dikusai oleh kreditur atau penerima
gadai.
Pada akhirnya, pembebanan jaminan kebendaan atas merek dilakukan dengan lembaga
jaminan fidusia. Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.42
Sementara itu Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia mendefinisikan jaminan fidusia sebagai
hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur
lainnya.43
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa objek jaminan fidusia
adalah benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, serta
bangunan-bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat
dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak begerak yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan atau hipotik.44 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek jaminan
fidusia sifatnya luas, yaitu benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan fidusia maupun
hipotik.
Jika dikaitkan dengan merek, keluasan atau fleksibilitas objek jaminan fidusia sangat
memungkinkan untuk dibebankan terhadap merek. Dengan demikian perdebatan yang ada
mengenai pengelompokan merek ke dalam benda bergerak maupun tidak bergerak bukan
suatu masalah dalam hal benda tersebut dibebankan dengan jaminan fidusia. Hal ini diperkuat
lagi dengan fakta bahwa merek merupakan suatu hak atau kebendaan tidak berwujud.
42 Indonesia, Undang-undang Jaminan Fidusia, UU No. 42 tahun 1999, LN No.168 Tahun 1999, TLN.No. 3889, Ps. 1 angka 1
43 Ibid., Ps. 1 angka 2.44 Ibid., Ps. 1 angka 4.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Dalam konstruksi hukum jaminan fidusia, pembebanan jaminan fidusia baru lahir
apabila perjanjian pembebanan jaminan fidusia tersebut telah memenuhi asas publisitas yaitu
dengan mendaftarkan pembebanan jaminan tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Namun
demikian, mengingat merupakan suatu kebendaan yang terdaftar, apakah pembebanannya
harus pula dicatatkan pada Direktorat Jenderal HKI? Ternyata pada praktiknya hal ini tidak
dilakukan. Alasannya adalah karena UU Merek tidak mengatur bahwa pembebanan jaminan
atas merek wajib untuk didaftarkan atau dicatatkan dalam daftar umum merek pada Dirjen
HKI. UU Merek hanya mengatur bahwa pengalihan hak atas merek-lah yang wajib untuk
didaftarkan atau dicatatkan dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HKI. Sementara itu,
dalam rangka pembebanan fidusia atas merek, diketahui belum terjadi suatu pengalihan secara
sepenuhnya. Pengalihan yang terjadi hanyalah pengalihan secara yuridis saja, tidakberikut
penguasaan bendanya. Hal yang semacam ini bukan merupakan pengalihan sebagaimana yang
dimaksud dalam UU Merek, sehingga pendaftaran pembebanan jaminan fidusia atas merek
tidak dilakukan di Dirjen HKI, tetapi cukup pada Kantor Pendaftaran Fidusia saja.
C. Perlindungan Hukum Bagi Bank X Selaku Kreditur Dalam Perjanjian Pemberian
Kredit Dengan Jaminan Fidusia Atas Merek
Pembebanan fidusia dalam pemberian kredit oleh perbankan pun kerap kali menemui
kendala atau masalah-masalah dalam pelaksanaannya. Masalah yang paling umum terjadi
adalah mengenai cidera janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh debitur pemberi fidusia.
Wanprestasi merupakan kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati. Sehingga untuk menentukan kapan seseorang telah
melalaikan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian itu sendiri. Dalam perjanjian
biasanya disebutkan atau diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti
menyerahkan suatu barang atau melakukan suatu perbuatan.45 Jika dikaitkan dengan
perjanjian kredit yang dilakukan antara Bank X dengan debitur, disitu disebutkan mengenai
kapan seharusnya debitur melunasi kewajiban hutangnya kepada kreditur (Bank X). Jika
debitur tidak melunasi hutangnya pada Bank X pada waktu yang ditentukan maka ia dapat
dikatakan telah melakukan suatu wanprestasi.
Wanprestasi dapat terjadi karena berbagai hal yang bertentangan dengan apa yang
mereka sepakati dalam perjanjian pokok maupun dalam akta pembebanan jaminan fidusianya,
misalnya adalah debitur melakukan larangan yang diatur dalam perjanjian maupun akta,
45Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata,ed. 1, cet. 1, (Jakarta: CV.Gitama Jaya, 2008), hal. 141.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
melalaikan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian maupun akta, terlambat melaksanakan
perjanjian, melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya tetapi tidak sesuai dengan apa yang
diperjanjikan pada awalnya, dan bentuk-bentuk lainnya.
Selain wanprestasi yang disebabkan oleh kelalaian debitur membayar hutangnya pada
bank sesuai waktu yang ditentukan, masalah wanprestasi pelaksanaan jaminan kredit dengan
jaminan fidusia juga sering kali terjadi karena debitur melakukan hal-hal yang dilarang dalam
perjanjian kredit maupun akta perjanjian jaminan fidusia itu sendiri, misalnya adalah dengan
pengalihan benda yang menjadi objek fidusia. Dalam akta jaminan fidusia atas merek antara
Bank X dengan Nasabah Debitur, Pasal 4.3 akta tersebut menyebutkan bahwa:
Debitur tidak akan pada setiap waktu mengalihkan, melepaskan atau dengan cara lainmenjaminkan atau memberikan persetujuan untuk mengalihkan, melepaskan, ataudengan cara lain menjaminkan seluruh atau sebagian dari hak-hak, kepemilikan,kepentingan, dan tuntutan-tuntutan terhadap keseluruhan maupun sebagian dari merek,kecuali berdasarkan perjanjian ini.
Dalam konteks perdata pengalihan yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu peristiwa
hukum yang dilakukan oleh debitur dengan mengalihkan hak milik atas suatu benda yang
merupakan objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam
perjanjian. Pasal 584 KUH Perdata.46 Dalam hal ini, benda yang menjadi objek jaminan
fidusia merupakan merek. Pada BAB sebelumnya telah dilakukan analisis bahwa merek
diklasifikasikan sebagai suatu kebendaan bergerak, tidak bertubuh, dan terdaftar. Selain
tunduk pada ketentuan hukum perdata, pengalihan merek juga didasarkan pada Pasal 40 UU
Merek yang mengatur bahwa pengalihan merek terdaftar dapat dilakukan dengan pewarisan,
wasiat, hibah, perjanjian, dan sebab-sebab lain yang ditentukan Undang-Undang. Mengingat
kedudukan sebagai benda yang terdaftar, dalam pengalihannya UU Merek mewajibkan bahwa
tiap-tiap pengalihan tersebut harus dicatatkan dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HKI.
Apabila dalam praktiknya debitur melakukan pengalihan dan/atau penjaminan atas
merek tersebut kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pihak bank selaku penerima fidusia,
maka debitur dapat dikatakan telah melaksanakan suatu wanprestasi terhadap isi pasal
tersebut, yaitu dengan melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh perjanjian. Lebih dalam
dari pada itu, pengalihan objek fidusia juga dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan
hukum, dengan dilanggarnya ketentuan Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu Pasal 23 ayat
46 KItab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 584
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
(2).47 Suatu perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengatur
bahwa:48
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikerugian tersebut.
Pada saat terjadinya wanprestasi, kreditur akan mnendapatkan perlindungan berupa
hak untuk melakukan ekseskusi. Dalam Pasal 29 dan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang
Jaminan Fidusia, terdapat 4 cara eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur, yaitu sebagai
berikut:
a. Pelaksanaan title eksekutorial
Pada dasarnya pelaksanaan eksekusi suatu benda harus didasarkan pada title eksekutorial
yang berupa putusan pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 224 HIR jo. Pasal
258 Rbg. Namun demikian dalam hal jaminan fidusia yang telah didaftarkan, pelaksanaan
eksekusi tersebut tidak lagi memerlukan suatu putusan pengadilan guna mendapatkan title
eksekutorialnya, melainkan cukup dengan sertifikat fidusia atas benda yang bersangkutan.
Hal tersebut merupakan suatu akibat hukum yang timbul dari adanya irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat dalam sertifikat jaminan
fidusia, sehingga sertifikat tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan putusan
pengadilan.49
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum
c. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
Pelaksanaan penjualan bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia kepada pihak-
pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan.50
d. Parate Eksekusi.
47 Ibid., Ps. 23 ayat (2). Pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakankepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecualidengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.
48 KItab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 1365.49 Ibid., ps. 15 ayat (1) dan (2)50 Ibid., ps. 29 ayat (1) huruf c jo. Ps. 29 ayat (2).
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
yaitu kreditur dapat melaksanakan hak atas kekuasaannya sendiri menjual benda secara
bebas seperti milik sendiri apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.51 Hal ini
merupakan salah satu cirri jaminan fidusia yaitu kemudahan dalam pelaksanaan
eksekusinya apabila pihak pemberi fidusia cidera janji. Oleh karena itu, dalam Undang-
Undang ini perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga
parate eksekusi. Dalam Akta Jaminan Fidusia Atas Merek yang dianalisa oleh penulis,
ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 6.1, yaitu sebagai berikut:
Debitur akan melakukan atau mengijinkan dilakukannya setiap tindakan atau hal uangsewaktu-waktu diperlukan untuk dilakukan oleh kreditur setelah diterbitkannya suatupemebritahuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal inioleh kreditur untukkeperluan pelaksanaan hak-hak kreditur sesuai dengan perjanjian ini.
Pemberitahuan pelaksanaan yang dimaksud dalam ketentuan pasal di atas dijelaskan
dalam Pasal 1.1 Akta Jaminan Fidusia Atas Merek, yaitu sebagai berikut:
Pemberitahuan pelaksanaan adalah pemberitahuan yang dikeluarkan oleh krediturkepada debitur dan/atau pihak lain yang terkait (jika perlu) berkenaan denganpelaksanaan / eksekusi dari merek sebagaimana dimaksud dalam perjanjian inidisebabkan oleh cidera janji oleh debitur di dalam perjanjian pinjaman.
Masalah selanjutnya yang dimungkinkan terjadi dalam rangka pelaksanaan jaminan
fidusia atas merek adalah penurunan nilai jaminan atas merek yang dijadikan objek jaminan
fidusia. Guna meminimalisasi resiko kerugian bagi kreditur akibat penurunan nilai jaminan,
pada awal pemberian kredit dengan jaminan fidusia atas merek, bank telah menetapkan bahwa
pemberian kredit yang disetujui oleh bank tidak melebihi dari nilai jaminan yang diberikan
oleh debitur. Dalam hal ini Bank X telah menetapkan bahwa pemberian kredit terhadap
debiturnya dapat dilakukan maksimal 80% dari nilai jaminan yang diserahkan debitur kepada
bank. Hal ini sebagai pelaksanaan manajemen resiko yang telah umum ada pada tiap-tiap
bank dalam rangka pemberian kredit. Namun demikian apabila penurunan nilai jaminan
ternyata drastis, sehingga pada saat dilakukannya eksekusi jaminan tersebut tetap tidak dapat
melunasi jumlah hutang debitur yang tersisa pada bank, maka bank dapat menetapkan prinsip
jaminan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, dimana tiap-tiap kebendaan milik debitur
merupakan jaminan atas perikatan yang dilakukannya. Hal ini juga mengingat bahwa merek
yang dibebankan dengan jaminan fidusia merupakan suatu agunan atau jaminan tambahan
saja, sehingga apabila hal tersebut tidak cukup melunasi hutang debitur pada bank saat
terjadinya default, maka bank berhak untuk melakukan eksekusi benda-benda lain milik
debitur guna pelunasan hutangnya tersebut sebagai jaminan utama kredit debitur dalam
51 A.A. Andi Prajitno, Hukum Fidusia: Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No. 42tahun 1999, cet. 1, ( Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hal.198.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pemenuhan kewajibannya kepada bank. Hal ini juga diatur dalam Akta Jaminan Fidusia atas
Merek, yaitu Pasal 2.3:
Tanpa mengesampingkan dilakukannya pelaksanaan, pengumpulan atau pembebasanhak-hak atau kepentingan- keentingan atas merek oleh kreditur, debitur akan tetapberkewajiban terhadap sisa dari hutang yang dijamin.
Permasalahan dalam praktik pelaksanaan pembebanan fidusia atas merek yang
selanjutnya yaitu terkait dengan kepailitan nasabah debitur. Kepailitan adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan peristiwa dimana orang yang berhutang (debitur) memiliki dua
atau lebih kreditur yang berada dalam keadaan berhenti membayar sedikitnya hutang secara
penuh pada saat hutang tersebut telah dapat ditagih tepat pada waktunya.52 Mengenai hal ini
sebetulnya bukan merupakan suatu masalah besar bagi pelaksanaan fidusia. Hal ini karena
pada dasarnya UU Jaminan Fidusia telah memberikan perlindungan sedemikian rupa sehingga
hak bank selaku penerima fidusia atas benda yang dijadikan objek jaminan tidak hapus
dengan pailitnya nasabah debitur pemberi fidusia, tetapi bank tetap pada posisi yang
didahulukan diantara kreditur lainnya.53 Mengenai hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada
bagian kepastian hukum bagi kreditur penerima fidusia saat terjadinya wanprestasi.
Penutup
Berdasarkan pada penjelasan dan analisis yang telah dilakukan pada BAB
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Merek belum mendapat pengaturan yang pasti dalam hukum kebendaan perdata Di
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai suatu unifikasi hukum
kebendaan perdata belum mengatur mengenai merek. UU Merek sendiri juga tidak
mengatur mengenai apakah merek merupakan suatu benda dan apakah merek dapat
dibebankan dengan jaminan atau tidak. Namun demikian, berdasarkan analisis yang
telah dilakukan merek merupakan suatu benda bergerak, tidak berwujud, dan terdaftar.
Sementara hak atas merek merupakan suatu hak kebendaan atas merek yang
kedudukannya setara dengan hak milik
52 Mariam Darus Badrulzaman, Peraturan Kepailitan (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998), Makalah pada Pelatihan Perpu Kepailitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi danIlmu Hukum Graha Kirana, Medan, 1998, h.1, ps. 1 UU No. 4 Tahun 1998. Dikutip dari: Tan Kamelo, HukumJaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, hal. 217.
53 Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, ps. 27 ayat (3). Hak yang didahulukan dari penerimafidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2. Dalam praktiknya pembebanan jaminan kebendaan atas merek dilakukan dengan
lembaga jaminan fidusia dengan alasan “fleksibilitas” dari benda yang menjadi objek
fidusia itu sendiri yaitu meliputi benda-benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, yang tidak dapat
dibebankan dengan hak tanggungan dan hipotik. Hal ini mengingat bahwa belum
terdapat suatu ketentuan hukum yang secara pasti menentukan sifat kebendaan dari
merek itu sendiri. Merek dijadikan suatu agunan atau jaminan tambahan dalam praktik
pemberian kredit pada Bank X karena merek memiliki nilai, yaitu sebagai suatu aktiva
tidak berwujud dari suatu perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari laporan keuangan
perusahaan debitur pemberi jaminan fidusia atas merek.
3. Perlindungan hukum menurut UU No. 42 Tahun 1999 bagi penerima fidusia
merupakan suatu konsekuensi logis dari didaftarkannya perjanjian pengikatan jaminan
fidusia (akta jaminan fidusia atas merek) oleh notaris yang merupakan wakil dari Bank
X. Dengan demikian, kreditur penerima fidusia memperoleh suatu kepastian atau
jaminan pelunasan hutang debitur kepadanya, yaitu dengan kedudukan preferen bagi
Bank X selaku kreditur penerima fidusia atas merek, bahkan ketika debiturnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan. Selain itu, kreditur juga memperoleh hak serta
kemudahan untuk melakukan eksekusi, yaitu dengan pelaksanaan title eksekutorial,
parate eksekusi, penjualan melalui lelang umum, maupun dengan penjualan bawah
tangan.
Dari penjelasan dan kesimpulan di atas, saya memiliki beberapa saran, yaitu sebagai berikut:
1. Pembaruan di bidang hukum kebendaan, khusunya adalah hukum jaminan. Hal ini
karena salah satu alas an tidak diaturnya mengenai HKI pada KUH Perdata karena
pada saat pembuatannya HKI belum berkembang. Sementara pada kondisi sekarang
HKI sudah sangat berkembang dan dekat dengan kehidupan masyarakat, untuk itu
perlu pengaturan yang lebih detail mengenai HKI khususnya mengenai kebendaan
HKI itu sendiri.
2. Saat ini pendaftaran jaminan fidusia atas merek hanya dilakukan di Kantor
Pendaftaran Fidusia, tidak pada Direktorat Jenderal HKI. Padahal hak atas merek itu
sendiri lahir di Dirjen HKI, sehingga sudah semestinya pendaftaran jaminan atas
merek juga dilakukan di Dirjen HKI demi suatu kepastian hukum. Bahkan hal ini telah
terjadi pada praktiknya, walaupun belum terdapat suatu ketentuan yang pasti mengenai
hal tersebut.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Buku
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Cet. 1. Jakarta: Program Pasca Sarjana FakultasHukum Universitas Indonesia, 2003.
Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 3. Jakarta: Noordhoff koff, 1957.
Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Cet. 2. Bandung: PT.Alumni, 1997.
-----------------. Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Pada Majalah Hukum Bisnis (Volume11, 2000) :12.
-----------------. “Benda-Benda yang Dapat Diletakan Sebagai Objek Hak Tanggungan.” HasilSeminar Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan.Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
-----------------. Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fidusia. Cet. 5. Bandung: CitraAditya Bakti, 1991.
-----------------. “Peraturan Kepailitan (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 1998).” Makalah pada Pelatihan Perpu Kepailitan Sekolah TinggiIlmu Ekonomi dan Ilmu Hukum Graha Kirana. Medan, 1998.
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Budi Cahyono, Akhmad dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Ed. 1. Cet. 1.Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.
Buku Pedoman Prosedur Kerja. Bab c, IN/0275/HUK tanggal 24 Desember 2003
-----------------. Kredit Whole Sale & Middle Market. Bab 1 Sub Bab J. Sub Sub Bab 03.IN/0082/PAR. Tanggal 07 Juli 2000.
Cornish, W.R. Intelectual Property. Cet. 2. London: Swett & Maxwell, 1989.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti,2000.
Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori, danPraktiknya di Indonesia. Cet. 3. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Firdaus, Rahmat dan Maya Arianti. Manajemen Perkreditan Bank Umum. Bandung:Alfabeta, 2004.
Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Cet. 2. Ed. Revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia. Cet. 2. Bandung: Alumni, 1986.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Grantham, Ross. “Doctrinal Bases for the Recognition of Proprietary Rights”, Oxford Journalof Legal Studies, (Vol. 16, Winter 1996)
Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. Diterjemahkan oleh Tim Lindsey, dkk. Cet. 5.Bandung: PT. Alumni, 2006.
Hartono, Soenarjati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Cet. 1. Bandung: Binacipta,1982.
HS, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Cet.1. Jakarta: PT. RajagrafindoPersada, 2004.
Husni Hasbullah, Frieda. Hukum Kebendaan Perdata Jilid 1: Hak-hak yang MemberikanKenikmatan. Cet. 3. Jakarta: CV. Indhill Co, 2009.
-----------------. Hukum Kebendaan Perdata Jilid 2: Hak-hak yang Memberikan Jaminan.Cet.3. Jakarta: CV. Indhill Co, 2009.
Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan yang Didambakan. Ed. 1. Cet. 1.Bandung: PT. Alumni, 2004.
Lawson, F.H. and Bernard Rudden. The Law of Property. Second Edition. Clarendon LawSeries. (Oxford University Press, 1982.
Mahadi. Hak Miliki Dalam SIstem Hukum Perdata Internasional. Jakarta: BPHN, 1981.
----------------. Hak Milik Imateril. Jakarta: BPHN- Bina Cipta, 1985.
Muhammad, Abdulkadir. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan., Bandung: Citra AdityaBhakti, 2004.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai,dan Hipotek. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: Kencana, 2007.
Pedoman Kebijakan dan Prosedur Kredit Segmen Koorporasi dan Menengah. Bab 1. Sub BabA. Sub Sub Bab 04. IN/0079/MAR. Tanggal 19 Agustus 2005.
Prajitno, A.A. Andi. Hukum Fidusia: Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-UndangNo. 42 tahun 1999. Cet. 1. Malang: Bayumedia Publishing, 2009.
Rahman, Hassanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia.Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Ed. Revisi. Cet. 2. Jakarta: Raja Grafindo,1996.
Saidin, O.K. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Cet. 4.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional., Cet. 1. Bandung:PT. Alumni, 2006.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Satrio, J. Hukum Jaminan. Hak – Hak Jaminan Kebendaan, Hak tanggungan. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991.
Setiawan. “Lisensi Merek Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 1992”. Majalah VariaPeradilan No. 96. (Jakarta: 1993) : 140-153.
Simorangkir,O.P. Seluk Beluk Bank Komersial. Cet. 5. Jakarta: Aksara Persada Indonesia,1988.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2005.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok HukumJaminan dan Jaminan Perorangan. Cet. 3. Jakarta: Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 2003.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda. Cet. 5. Yogyakarta:Liberty, 2000.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata., Cet. XIX. Jakarta: PT. Intermassa, 1984.
Vollmar, H.F.A. Hukum Benda (Menurut KUH Perdata). Diterjemahkan oleh Chidir Ali. Cet.2. Bandung: Taristo, 1990.
Vollmar, H.F.A. Pengantar Studi Hukum Perdata [Inleiding tot de studie van het NederlandsBurgerlijk Becht]. Diterjemahkan oleh I.S Adiwimarta. Jakarta: PT. Intermassa, 1983.
Widjaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Efek Sebagai Benda. Cet.1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: PT. Lestari Perkasa, 2006.
Yunike, Chintia Nandy. “Jaminan Fidusia Terkait dengan Penyalahgunaan Objek JaminanOleh Debitur; Kasus PT. Astra Sedaya Finance.” Tesis Magister Kenotariatan FakultasHukum Universitas Indonesia. Depok, 2010.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Cet. 37. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan [Wetboek Van
Koophandel en Faillissements –Verordening]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan
RTjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 1959.
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960.
TLN. No. 2043.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
----------------. Peraturan Pemerintah Tentang Tata cara Pendaftaran Merek. PP No. 23
Tahun 1993.
----------------. Undang – Undang Hak Tanggungan. UU No. 4 Tahun 1996. LN. No. 42
Tahun 1996. TLN. No. 3632.
----------------. Undang-undang Perbankan. UU No. 10 tahun 1998. LN No.182 Tahun 1998.
TLN. No. 3790.
----------------. Undang-undang Jaminan Fidusia. UU No. 42 tahun 1999. LN No.168 Tahun
1999. TLN. No. 3889.
----------------. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia. PP No. 86
Tahun 2000. LN. No. 170 Tahun 2000. TLN. No. 4005.
----------------. Undang-Undang Merek. UU No. 15 Tahun 2001. LN No. 110 Tahun 2001.
TLN. No. 4131.
----------------. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
UU No.37 Tahun 2004. LN No. 131 Tahun 2004. TLN. No. 4443.
Internet
Centre For Finance And Securities Law, “Overview Gadai dan Gadai Saham Secara Umum,”
http://cfisel.blogspot.com/2007/08/artikel-tentang-gadai-dan-gadai-saham.html,
diakses pada tanggal 31 Oktober 2012.
Civil Code of The Netherlands Book 3, Title 3.1: General Provision, Article 3:3,
http://dutchcivillaw.com/civilcodebook033.htm, diakses pada tanggal 6 Desember
2012.
Direktorat Jenderal HKI, “Prosedur Pendaftaran Merek,”
http://www.dgip.go.id/merek/prosedur-pendaftaran-merek, diakses pada tanggal 12
Oktober 2012.
Singapore Academy of Law, Laws of Singapore Chapter 12 Section 5,
http://www.singaporelaw.sg/content/iplaw2.html#section5,diakses pada tanggal 10
Desember 2012.
Analisis yuridis ..., Desty Dwi Lestari, FH UI, 2013