Upload
vuongngoc
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH SYARIAH NOMOR:
0001/JN/2015/MS. Snb. TENTANG KHALWAT DALAM PANDANGAN
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ISMAIL MARZUKI
NIM: 1112043100011
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017M/1438H
iii
ABSTRAK
Ismail Marzuki, NIM 1112043100011, Analisis Yuridis Putusan
Mahkamah Syariah Nomor: 0001/JN/2015/MS.Snb Tentang Khalwat Dalam
Pandangan Hukum Positif Dan Hukum Islam), Strata Satu (S-1), Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/2017 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa bentuk hukuman bagi pelaku
khalwat di Aceh serta mengetahui bagaimana pandangan hukum positif dan
hukum Islam terhadap hukuman khalwat dan mengetahui komparasi hukum
positif dan hukum Islam pada kasus tersebut. Hal ini penulis kaji dari sudut
pandang kebijakan yang ada di Aceh dengan hukum yanng diterapkan di
Indonesia yang memakai KUHP sebagai landasan hukum nya.
Adapun penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis, yang mengungkapkan
peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang
menjadi objek penelitian. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan
pendekatan analisis kualitatif dengan mencari data baik dalam buku, jurnal, dan
artikel yang berkaitan penelitian penulis. Adapun sumber data yang penulis pakai
adalah bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini mengunakan metode
yuridis- normatif.
Dari penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa penerapan hukuman
khalwat yang telah diputus oleh pengadilan Sinabang Provinsi Aceh berbeda
dengan hukum positif yang mana didalam KUHP menilai kasus ini telah
melanggar Pasal 284 tentang asusila yakni diancam pidana penjara paling lama 9
bulan, Karena pelaku melakukan perzinaan di atas pernikahan yang sah.
Sedangkan di putusan ini telah melanggar pasal 4 dan 5 jo pasal 22 qanun provinsi
Aceh Nomor 14 tahun 2003 tentang pelanggaran jarimah khalwat dengan dijatuhi
hukuman 9 kali uqubat cambuk.
Sedangkan dalam pandangan hukum Islam menilai putusan hukuman
tentang khalwat di Snb. Provinsi Aceh, bahwasanya terdakwa di hukum dengan
hukuman rajam sampai mati dengan cara dilempari batu yang sedang, karena
telah melakukan perbuatan zina di atas pernikahan yang sah dengan disebut zina
muhsan. Sedangan dalam putusan ini dijatuhi hukuman 9 kali uqubat cambuk.
Adapun persamaan hukuman yang berada di Aceh dengan hukum Islam
tentang jarimah khalwat adalah dihukum di muka umum, dalam rangka Syari’at
Islam. Adapun perbedaannya adalah dirajam sampai mati diputusan ini dikenai 9
kali uqubat cambuk, dalam Islam hukumannya termasuk jarimah hudud
sedangkan di putusan ini termasuk ta’zir. Sedangkan dengan Hukum Positif sama-
sama diputus dipengadilan, memberi efek jera, perbedaannya adalah dipenjara 9
bulan kurungan, diputusan ini dihukum 9 kali uqubat cambuk didepan umum.
Kata Kunci : Khalwat, Aceh, hukum positif, Islam.
Pembimbing : 1. Dr. Kamarusdiana, MH
2. Mustolih, S.HI, MH
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر حمه الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ ANALISIS YURIDIS
PUTUSAN MAHKAMAH SYARIAH NOMOR: 0001/JN/2015/MS.Snb
TENTANG KHALWAT DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM)” Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu
pengetahuan.
Penulis sangat bahagia dapat menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang
pendidikan Strata satu (S1) yang penulis tempuh sudah selesai. Serta penulis tidak
lupa meminta maaf apabila didalam penulisan skripsi ini ada yang kurang
berkenan di hati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis masih
jauh dari kesempurnaan.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai
tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa
hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri Syarf
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, P,hd. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Kepala Prodi Perbandingan Mazhab
dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Pembimbing Akademik dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dosen pembimbing Skripsi Dr. Kamarusdiana, MH dan Mustolih, SHI,
MH yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya
dengan penuh ke ikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Terkhusus kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.
Ayahanda tercinta Syarifuddin dan Ibunda tercinta Pu’a yang selalu
mendo’akan dan memberikan semangat kepada ananda untuk
menyelesaikan skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya
untuk membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak
akan pernah dan mustahil penulis mampu membayar apa yang telah
diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber inspirasi
penulis dalam menjalankan kehidupan dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada saudara penulis kaka Ahmad Muzami kaka perempuan Mitra
Turrahmah dan kaka ipar Arizal serta adik-adik Firman Ilahi dan
Muhammad Nafis yang selalu memberi semangat dari segala arah dan
mendoakan penulis.
vi
8. Kepada sahabat-sahabat Rendi, Badrus, Arif onira, Gusti dan Eko telah
mendukung dan membantu menyelesaikan skripsi baik itu berupa moril
dan materil.
9. Kepada teman-teman penulis yang kelompok KKN Pusako Rantau Ari,
Arif, Septian, Ridwan, Roni, Rozi, Yudi, Apis, Haris, Fitri wati, fitri yani,
lusi dan delima, mereka teman-teman selalu menjadi kekuatan hidup di
Ciputat.
10. Kepada sanak saudara mahasiswa Minang yang berada di Ciputat mereka
sudah penulis anggap adalah keluarga penulis yang berada di Ciputat.
Mereka telah mendorong dan memberi semangat dan selalu mengingatkan
untuk mengerjakan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka semua dibalas oleh Allah SWT.
Sunggguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan berlipat ganda.
Jakarta, 4 April 2017
Ismail Marzuki
vii
Pedoman Transliterasi
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
Th ṭ ط A A ا
Zh ẓ ظ B B ب
‘ ‘ ع T T ت
Gh Gh غ ts Th ث
F F ف j J ج
Q Q ق ḥ ḥ ح
K K ك kh Kh خ
L L ل D D د
M M م dz Dh ذ
N N ن R R ر
W W و Z Z ز
H H ه S S س
, , ء Sy Sh ش
Y Y ي Sh ص
Dl ض
Arab Indonesia Inggris
Ā ā آ
Ī ī إى
Ū ū أو
viii
DAFTAR ISI
Lembaran Pengesahan ...................................................................................... i
Lembar Pernyataan.......................................................................................... ii
Abstrak ............................................................................................................iii
Kata Pengantar ................................................................................................ v
Pedoman Transliterasi......................................................................................vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6
C. Batasan Masalah ....................................................................... 7
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
1. Tujuan Penulisan ............................................................... 8
2. Manfaat Penelitian ............................................................. 8
F. Studi Terdahulu ......................................................................... 8
G. Metode Penelitian .................................................................... 10
1. Jenis Penelitian .................................................................. 10
2. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 11
3. Teknik Analisis Data ......................................................... 12
H. Sistematika Penulisan .............................................................. 12
BAB II : KHALWAT DALAM KAJIAN TEORITIS
A. Sejarah Hukuman Khalwat di Aceh ..................................... 13
ix
B. Pengertian Khalwat .............................................................. 14
C. Dasar Hukum Khalwat ........................................................ 16
D. Khalwat Menurut Ulama Fiqh ............................................. 19
E. Khalwat Dalam Hukum Positif ............................................ 23
F. Hukuman Khalwat di MS Malaysia .................................... 27
BAB III : DESKRIPSI UMUM TENTANG MAHKAMAH SYAR ’IYAH
DAN QANUN JINAYAT
A. Mahkamah Syar’iyah.............................................................34
1. Sejarah Mahkamah Syar’iyah..........................................34
2. Pengertian Mahkamah Syar’iyah .................................... 38
3. Pondasi Hukum Mahkamah Syar’iyah .......................... 38
4. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah ............................... 39
B. Mahkamah Syar’iyah Sinabang secara umum ..................... 40
C. Qanun ................................................................................... 42
1. Teori dan Dasar hukum Qanun Jarimah ........................ 42
2. Pembentukan Qanun Jarimah ........................................ 46
3. Pelaksanaan Hukum Qanun Jarimah ............................. 47
4. Wilayat Al Hisbah ......................................................... 48
D. Kedudukan Qanun di Indonesia .......................................... 49
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH
NOMOR 0001/JN/2015 Snb.TENTANG JARIMAH KHALWAT
A. Putusan Nomor 0001/JN/2015Ms.Snb ................................. 53
x
B. Bentuk Hukuman Jarimah Khalwat dalam Qanun di Aceh .. 60
C. Pandangan Hukum Islam Hukum Positif Terhadap putusan
nomor 0001/JN/2015 MS.Snb tentang Jarimah Khalwat .... 61
D. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Hukum Positif dan
Hukum Islam Terhadap Putusan No 0001/ JN/2015.
MS.Snb. tentang Jarimah Khalwat ....................................... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 74
B. Saran-saran .......................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh individu
dengan individu dapat juga oleh individu dengan kelompok. Pergaulan juga
merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup khususnya manusia sebagai makluk
sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, sehingga pergaulan akan terjadi
setiap harinya antar sesama makhluk hidup. Karena secara alamiah manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri tanpa makhluk lain,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia selalau hidup
bermasyarakat.1
Manusia diciptakan sebagai makhluk Tuhan yang sempurna di muka bumi
ini dengan diberikan akal pikiran, jika dibandingkan dengan makhluk yang lain
yang tidak dikaruniai pikiran, dan dengan akal fikiran inilah manusia menjalani
kehidupan sesama dengan manusia lainnya untuk berkehidupan bermasyarakat
dan di dalam berkehidupan bermasyarakat itu manusia saling mebutuhkan, saling
menolong dan saling berbuat baik, manusia mempunyai naluri untuk hidup secara
damai dan baik, saling melindungi dan saling menjaga dengan manusia lainnya
dan yang pokok adalah agar manusia bisa bersyukur kepada Tuhan yang telah
menjadikan semuanya dengan sempurna. Untuk itu semua diperlukan suatu
aturan-aturan agar hidup berdampingan selalu damai dan diridhoi Tuhan,
1 Christiani Widowati, “Hukum Sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan”.
dalam Adil Jurnal Hukum (Jakarta. Vol.4NO.1 Juli 2013), Hal.151.
2
penanaman suatu petunjuk hidup bermasyarakat agar tidak terjadi perselisihan dan
selalu tentram damai perlu adanya aturan-aturan dan sanksi bagi melanggarnya
yang dinamakan hukum dan cara menjalaninya dengan baik.
Hukum dalam kehidupan bermasyarakat merupakan suatu pilar utama,
dimanapun kita berada, selalu memakai hukum dan undang-undang untuk
mengatur hubungan sesama kita. Hukum juga menyediakan sanksi kepada orang
yang melanggar dari aturan yang ada, maupun aturan tersebut berasal dari Tuhan
maupun hukum yang disepakati manusia, karena hati dan nurani dan belajar saja
tidaklah lengkap untuk mengatur kehidupan manusia. menjaga keselamatan
sesama, menjaga kehidupan baik moral maupun yang besifat materi dan juga
menegakkan keadilan ditengah-tengah masyarakat.
Perkembangan zaman sekarang ini didukung oleh teknologi yang semakin
canggih sehingga membuat pola pikir dan pola pergaulan manusia semakin maju
dan tidak terbatas. Namun di sisi lain, masyarakat sering dihadapkan dengan
berbagai masalah sosial yang selalu berkembang, salah satunya masalah pergaulan
antara laki-laki dan perempuan. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan
sekarang ini menimbulkan kesan pergaulan yang tidak mempunyai batasan.
Akibat dari pergaulan semacam itu, maka timbul berbagai masalah negatif yang
lain, salah satunya khalwat. Perbuatan khalwat dinilai sebagai perbuatan yang
dapat menimbulkan permasalahan sosial seperti perzinaan, mengandung anak di
luar nikah, dan pembunuhan bayi.2
2 Muhammad Tholhah Hasan, “Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman”,
Cet. Ke-V, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), 1-3
3
Sebagai umat beragama, kita harus saling menjaga dari segala macam dosa
yang telah di atur oleh agama salah satunya zina, karena zina sangat mudah terjadi
dikehidupan masyarakat, zina merupakan perbuatan keji dan diharamkan. Zina
termasuk golongan dosa besar. Para agamawan dari agama manapun bersepakat
bahwa zina hukumnya haram dan tidak satupun agama memperbolehkannya, oleh
sebab itu, hukuman had zina adalah hukuman yang paling berat sebab zina
merupakan tindakkan kriminal terhadap kehormatan dan keturunan.3
Syariat Islam telah mengatur batasan-batasan dan tata cara bergaul, baik
antar individu maupun antar kelompok, baik sesama jenis maupun dengan lawan
jenis. Ada batasan-batasan yang kuat dalam pergaulan syari’at Islam. Salah
satunya yaitu Islam melarang untuk menyepi dengan lawan jenis atau bukan
muhrim untuk berkhalwat (mesum). 4
Syari’at Islam melarang wanita muslimah menerima tamu laki-laki yang
bukan muhrim di rumahnya saat suaminya sedang pergi atau tidak berada di
rumah. Tidak diperbolehkan pula bagi seorang muslim atau muslimah berkumpul
di tempat yang sepi karena sesungguhnya menyendiri dengan yang bukan muhrim
itu dilarang.5
Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas muslim, di negara ini
tidak memakai hukum Islam melainkan kalau masalah pernikahan, waris dan
wasiat hanya itu saja yang dipakai untuk hukum berdasarkan syari’at Islam
selainnya memakai hukum positif yang mengadopsi hukum Belanda, ada
3Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam wa Adillatuhu” (Depok: Gema Insani, 2011). H.300.
4 Abdullah Aziz Dahlan, “Ensiklopedia Hukum Islam” (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), Hal. 898. 5Musthafa As-Shiba’i, “Wanita dalam Pergaulan Syari‟at & Hukum Konvensional,
(Jakarta: Insan Cemerlang dan PT. Intimedia Ciptanusantara), hal. 201.
4
beberapa daerah di Indonesia yang menegakkan hukum Islam seperti di Provinsi
Aceh namun di wilayah ini tidak semua memberlakukan hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan syari’at di atas, maka pemerintah Aceh pun
mengatur larangan pergaulan yang dilarang dalam syari’at Islam yaitu Qanun.
Aceh termasuk salah satu daerah yang diistimewakan di dalam sistem tata hukum
seperti yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012.
Konteks pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, Qanun merupakan
Peraturan Perundang-undangan sejenis peraturan Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
masyarakat di Aceh. Pembentukan qanun sebagai instrumen yuridis untuk
pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta pelaksanaan
otonomi daerah, akan terlaksana dengan baik apabila di dukung oleh tata cara
pembentukan, metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga
yang memiliki wewenang membentuk qanun.6
Qanun yang telah di buat oleh pemerintah Provinsi Aceh sebagaimana
yang dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, misalnya pada
tahun 2002, telah disahkan beberapa qanun. Pada periode akhir konflik Aceh,
diberlakukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menitik beratkan
kepada syari’at Islam, diantaranya ialah Undang-undang Nomor 44 tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Aceh, Qanun Nomor 10 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.
6 Sirajuddin, Pemberlakuan Syariat Islam di Naggroe Aceh Darussalam Pasca Reformasi
(Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 74.
5
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Maisir, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Udang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh Dan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul
Mal.7
Mengenai praktek penegakkan qanun khalwat terhadap pelaku
pelanggaran jarimah khalwat di Aceh, ada tiga qanun yang berhubungan dengan
jinayah (hukum pidana) yang telah disahkan oleh pemerintah Aceh pada tahun
2003 yaitu qanun khamar dan sejenisnya, maisir (judi), khalwat (mesum). Dari
tahun 2004 hingga tahun 2008, Mahkamah Syari’ah di Aceh menetapkan
hukuman cambuk atau denda bagi para pelaku Khalwat. Sedangkan dari tahun
2009 sampai masa ini, penegakkan aturan qanun khalwat/sering diselesaikan
dengan pengadilan adat setempat.8
Qanun No 14 Tahun 2003, menjelaskan pada pasal 3 bertujuan untuk
dilarangnya khalawat yaitu:
a. Menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat di Provinsi Aceh;
b. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
yang merusak kehormatan;
c. Mencegah anggota masyarakat sendiri mungkin dari melakukan perbuatan
yang mengarah kepada zina;
7 Khamami, “Pemberlakuan Hukun Jinayah di Aceh Dan Kelantan”, (Jakarta: LSIP,
2014), hlm. 5-6.
8Fauzul Mustaqim.com.2015. “Impementasi Qanun Aceh Tentang Khamar, Maiser dan
Khalwat di Aceh”, artikel ini diakses pada 23 september 2016 dari www.fauzulmustaqim.com.
6
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas
terjadinya perbuatan khalwat/mesum;
e. Menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
Penegakan hukum di Aceh sangat menarik untuk diketahui terutama dalam
masalah tindak pidana jarimah khalwat (Mesum) yang telah diundangkan oleh
Qanun Aceh yang juga ada di bahas dalam perundang undangan yang berlaku di
Indonesia dan hukum Islam yang dianut masyarakat Islam pada umumnya.
Pengadilan Mahkamah Syar’iyah No. 0001/JN/2015/MS.Snb telah
memutuskan kepada terdakwa I dan terdakwa II secara sah meyakinkan
melakukan jarimah ta‟zir berupa melakukan khalwat (mesum), dengan
menghukum para terdakwa dengan hukuman masing-masing sembilan (9) kali
„uqubat cambuk.
Berdasarkan hal di atas, penulis akan membahas putusan pengadilan
Mahkamah Syar’iyah Aceh mengenai hukuman jarimah Khalwat yang terlampir
dalam putusan pengadilan mahkamah syariah tersebut, dan menguraikan serta
membandingkan putusan tersebut dengan hukum positif dan hukum Islam yang
selanjutnya penulis beri judul: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN
MAHKAMAH SYARIAH NOMOR: 0001/JN/2015/MS.Snb TENTANG
KHALWAT DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM.
B. Identifikasi Masalah
Maka dari itu sesuai dengan latar belakang penulis memberikan
identifikasi masalah awal sebagai berikut:
7
1. Apa yang dimaksud dengan khalwat?
2. Bagaimana pandangan hukum positif tentang khalwat?
3. Bagaimana hukum Islam tentang khalwat?
4. Apa yang dimaksud dengan qanun?
5. Bagaimana kedudukan qanun aceh di dalam Islam?
6. Bagaimana kedudukan qanun di Indonesia?
C. Batasan Masalah
Pembahasan penelitian ini agar terarah dan tersusun secara sistematis pada
tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang
pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan, dalam penelitian ini
penulis hanya akan membatasi mengenai kajian pidana khalwat menurut Qanun
Pemerintah Aceh No. 14 tahun 2003 terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh
pengadilan Mahkamah Syariah No. 0001/JN/2015/MS.Snb
D. Rumusan Masalah
Penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa bentuk hukum Jarimah Khalwat di Aceh?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap
putusan pengadilan Mahkamah Syar’iah No. 0001/JN/2015/MS.Snb
tentang khalwat?
3. Apa persamaan dan perbedaan pandangan hukum Islam dan hukum
Positif tentang Jarimah Khalwat di Aceh?
8
E. Tujuan dan Manfaat penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini ialah:
1. Mengetahui bentuk hukuman Jarimah Khalwat di Aceh
2. Mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif
terhadap putusan pengadilan Mahkamah Syar’iah No.
0001/JN/2015/MS.Snb tentang khalwat.
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan hukum Islam dan positif
tentang Jarimah Khalwat di Aceh.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini yang ingin dicapai yaitu:
1. Menambah khazanah keilmuan tentang hukum yang berkembang di
Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memahami
penarapan hukum atas putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana
jinayat di Aceh.
F. Studi Terdahulu
Sejauh pengetahuan penyusun yang melakukan tinjauan terhadap
kepustakaan sudah ada beberapa karangan ataupun penelitian yang meninjau
tentang khalwat, berikut ini kami sebutkan beberapa karya yang telah dijadikan
skripsi yang membahas mengenai khalwat antara lain;
1. Kajian Yuridis Penanganan Kasus Khalwat Anak di bawah Umur (Studi Kasus di
Banda Aceh). Karya ilmiah yang ditulis Azhari, skripsi ini diterbitkan Fakultas
Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2010 ini membahas tentang
9
ketentuan hukum bagi anak-anak pelaku khalwat menurut hukum Islam dan
hukum positif serta prosedur penanganan kasus khalwat anak yang diatur dalam
Qanun Nomor 14 tahun 2003.
2. Penelitian yang dilaksanakan oleh Shofa Husra dengan inti dari penelitiannya
adalah hukuman bagi pelaku khalwat menurut ketentuan Qanun nomor 14 Tahun
2003 adalah hukuman cambuk dan/atau denda. Tetapi masih ada hukuman lain
yang diberikan kepada pelaku khalwat yaitu melangsungkan perkawinan.
Penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku khalwat/mesum didasari dari
penyelesaian secara adat yaitu dalam bentuk mediasi. Orang yang terkait dalam
penyelesaian ini adalah pelaku, kerabat dekat pelaku, pemuka kampung dan WH.
Penjatuhan sanksi pernikahan diambil dengan tujuan demi kemslahatan, karena
pelaku telah melakukan perbuatan zina. Status pernikahan yang dilakukan sebagai
sanksi khalwat tidak sah karena karena pihak dari mempelai wanita kurang setuju
melakukan pernikahan, sikap kurang setuju ini telah disampaikan dalam forum
mediasi tersebut, sehingga pernikahan dilaksanakan dengan keadaan terpaksa,
dimana syarat sah pernikahan telah disetujui kedua mempelai, efek yang terjadi
akibat pernikahan yang dilaksakan dalam keadan terpaksa adalah tidak terciptanya
kasih sayang, dikhawatirkan terjadi KDRT, memberi perubahan pada anak serta
menyulut perceraian. Undang-undang memberi arahan untuk melakukan
pembatalan pernikahan bagi pernikahan yang dilaksanakan dengan terpaksa.
3. Skripsi Hady Warman yang berjudul “Implementasi Qanun Aceh Tentang
Khamar, Maisir dan Khalwat di Kabupaten Aceh Tenggara)’’, Tahun 2013.
Skripsi Tersebut membahas mengenai bagaimana implementasi Qanun Aceh
10
tentang Khamar, Maisir dan khalwat di Kabupaten Aceh Tenggara. Yakni bahwa
implementasi Qanun Aceh tentang Khamar, Maisir dan Khalwat di Kabupaten
aceh Tenggara tidak dapat berjalan dengan efektif sejak diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus tentang otonomi khusus
dikarenakan pelaksanaan qanun berlaku kurang tegas sehingga penyelesaian kasus
kurang efektif bahkan sering kali tidak dikenakan hukuman bagi yang melanggar,
kurangsa sosialisasi dari dinas syariat islam khususnya kepada masyarakat Aceh
Tenggara, dan sosialisasi dilaksanakan tidak merata, adanya kepentingan politik
yang menimbulkan dampak negatif terhadap efektifitas berlakunya Qanun aceh di
Kabupaten Aceh Tenggara, adanya oknum masyarakat kurang setuju untuk di
terapkan Qanun Qanun Aceh di Kabupaten Aceh tenggara, pembinaan masyarakat
tidak berlanjut dalam memberikan pemahaman masyarakat mengenai syariat
Islam dan lain lain.
Penulis disini menulis analisis putusan yuridis No 001/JN/2015.Snb.
tentang khalwat dalam pandangan hukum positif dan hukum Islam, tentu disini
sangat berbeda dengan apa yang telah dibahas didalam studi terdahulu.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum dibagi menjadi dua, yaitu penelitian kualitatif
dan kuantitatif.9 Penelitian kualititatif berarti tidak membutuhkan populasi dan
sampel, penelitian kuantitatif berarti menggunakan populasi dan sampel dalam
9 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta,
1999) Cet. 1, h. 56.
11
mengumpulkan data.10
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang
mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori
hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam
pelaksanaannya di dalam masyarakat, yang berkaitan dengan objek penelitian.11
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengmpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang digunakan
dalam penelitian hukum normatif.12
Studi kepustakaan merupakan upaya
pengidentifikasikan secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-
dokumen yang memuat informasi. Berkaitan dengan tema, objek, dan masalah
dalam suatu penelitian.
Berdasarkan jenis penelitian ini, data yang digunakan adalah studi
dokumentasi yang selanjutnya disebut data primer dalam penelitian ini dan bahan
yang membantu atau bahasan yang terkait dalam penelitian ini, yang disebut data
sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah putusan pengadilan
Mahkamah Syariah Aceh No. 0001/JN/2015/MS.Snb. KUHP dan Kitab Fiqih,
sedangkan bahan sekundernya yaitu berupa tulisan–tulisan ilmiah seperti artikel,
jurnal dan buku-buku lain yang berhubungan dengan judul ini.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan teknik analisis data
secara kualitatif, Dengan cara-cara data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka
10
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). H. 98. 11
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). H. 105. 12
Hukum normatif adalah hukum berdasarkan teori yang telah ada, dan dikembangkan
sesuai pemasasalahan yang menjadi fokus utama pembahasan dalam peelitian yang dilakukan.
12
dan dokumentasi, dianalisis dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu analisis kualitatif. Tujuan disini adalah untuk mencari persesuaian objek
penelitian yang kemudian dianalisis dengan hukum Islam dan hukum positif.
H. Sistematika Penulisan
Menggambarkan keseluruhan uraian dan untuk literatur atas isi penelitian,
skripsi ini dibagi atas bab-bab yang terdiri dari lima bab, yaitu:
Pada BAB I, Pendahuluan, membahas latar belakang, Identifikasi,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Kajian Pustaka, serta sistematika penulisan.
Pada BAB II, Khalwat, dasar hukum khalwat, membahas tentang khalwat
dalam hukum Islam dan hukum positif
Pada BAB III, Tinjauan umum tentang mahkamah syar’iyah, apa yang
dimaksud dengan qanun, dan qanun terhadap jarimah khalwat
Pada BAB IV Bentuk hukuman khalwat di Aceh, Analisis Putusan Nomor
0001/JN/2015/MS.Snb, yang mana dalam pembahasan ini penulis membahas
tentang Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
0001/JN/2015/MS.Snb, kemudian membahas tentang Pandangan Hukum Islam
Terhadap Putusan Nomor 0001/JN/2015/MS.Snb dan Komparasi Pandangan
Hukum Positif Dan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor
0001/JN/2015/MS.Snb.
. Pada BAB V Penutup, yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
13
BAB II
KHALWAT DALAM KAJIAN TEORITIS
A. Sejarah Hukuman JarimahKhalwat di Aceh
Bumi Nusantara kita sendiri sejak agama Islam masuk hukuman syari‟ah
mulai diberlakukan berbagai wilayah, untuk menjaga keamanan masyarakat dan
keberlansungan masyarakat serta menjalani aturan yang telah disyariatkan oleh
Allah Swt dan dijalani oleh hambanya agar selalu mendapat rahmat-Nya. Dan ini
juga sudah berlansung sejak lama hingga ada pada saat ini beberapa wilayah yang
masih memakai Hukum Islam dan disahkan oleh Konstitusi.
Sejarahnya perzinaan di Kesultanan Aceh adalah pada masa Sultan
pertama, yaitu Ali Muqhyat Syah (1516-1530). Kejadian ini bukan di Aceh, tetapi
di Tiku berdasarkan kesaksian dua pelancong Perancis; Jean dan Raoul
Parmentier de Dieppe. Mereka tiba di Tiku, dekat Padang, pada 2 Oktober 1529.
Tiku sendiri pada saat itu belum termasuk bagian wilayah Kesultanaan Aceh
kecuali setelah tahun 1560. Jean dan Raoul mengatakan bahwa, orang-orang Tiku
pada saat itu telah beragama Islam. mengenai hukuman pidana yang dipraktekkan
oleh masyarakat Tiku, Jean dan Roual menjelaskan, ada dua hukuman perzinaan
yaitu hukuman mati bagi lelaki dan hukuman menjadi budak bagi perempuan.1
Masa Sultan ke-3 Aludin Riayat Syah al-Kahhar (1537-1571), hukuman
zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas yaitu dihukum dengan hukum rajam.
Berdasarkan sumber dari India, Rawadla al-Thahirin, menyebutkan bahwa hukum
1 Ayang Utriza Yakin, “Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M”,
(Jakarta:Kencana, 2016), h.46-47
14
rajam telah dipraktikkan di Kesultanan Aceh. Keterangan ini berdasarkan seorang
pelancong India, Tahahir Muhammad Sabzwari yang berkunjung ke Aceh. Dia
menceritakan bahwa dua orang dijumpai telah berzina, pada tahun 1550, dengan
status masing-masing dihadapkan ke Sultan yang kemudian menghukum mereka
dengan hukuman mati. Kedua orang dibawa ke alun-alun, lalu dirajam hingga
mati.2
Masyarakat banyak juga memahami berbagai dari arti khalwat dan juga
berpendapat lain tentang hukuman khalwat karena masyarakat kebanyakan
didasari oleh budaya dan adat yang biasa dipakai di lingkungan dimanapun
berada, pada zaman sekarang khalwat sudah menjadi hal yang biasa bagi
masyarakat kita, ini merupakan penyimpangan kehidupan tipisnya moral pada
sebagian pemuda pemudi hal ini juga didorong oleh adanya telekomunikasi,
media sosial dan internet dan hiburan-hiburan lainnya yang menjurus kepada
perbuatan khalwat/mesum.
Zaman sekarang ini pergaulan tidak ada batasnya antara laki-laki dan
perempuan baik dilingkungan pendidikan, pasar, wisata dan juga dibuatkan
lokalisasi untuk berbuat khalwat tersebut yang telah terjadi pada masyarakat kita
hal ini menjadi perhatian khusus untuk kita karena tidak sesuai dengan ajaran
agama yang kita anut yakni agama Islam.
B. Pengertian Khalwat
Kata khalwat berasal dari kata arab خلوة -يخول -خال yang berarti sunyi atau
sepi. Secara bahasa خلوة dengan difathah kha’ nya memiliki beberapa makna di
2 Ayang Yutriza Yakin,”Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M” Jakarta:
Kencana,2016).H.47.
15
antaranya yaitu: pertama, sendiri atau menyendiri, kedua, satir atau penghalang,
dan ketigabermakna uzlah. Sedangkan secara istilah khalwat adalah berdua-duaan
antara pria dan wanita yang tidak ada hubungan mahram tanpa adaya orang
ketiga, dan tidak pula ada hubungan suami istri.3
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian khalwat secara
bahasa sebagai perbuatan mengasingkan diri yakni untuk menenangkan pikiran
serta mencari ketenangan batin, dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi
ada dua makna berkhalwat, pertama, mengasingkan diri di tempat yang sunyi
untuk bertafakur, beribadah, dan sebagainya yang biasanya dilakukan selama
bulan Ramadhan oleh orang muslim. Kedua, berdua-duaan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim di tempat sunyi atau bersembunyi.4
Qanun Provinsi Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Hukum Jinayat Bab I
Pasal I angka 20 menjelaskan bahwa khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi
antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim
atau tanpa ikatan perkawinan.
Khalwat merupakan istilah yang digunakan untuk keadaan tempat
seseorang yang tersendiri dan jauh dari pandangan orang lain. Istilah khalwat
dapat mengacu kepada hal-hal negatif, yaitu seorang pria dan seorang wanita
berada di tempat sunyi dan sepi dan terhindar dari pandangan orang lain, sehingga
sangat memungkinkan mereka berbuat maksiat.5
3Masrap Suhaimi dkk, “Terjemah Bulughul Maram” (surabaya: Al-Iklas, 1993), hlm 461-
462.
4 Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: PT GramediaPustaka Utama,
2008), Ed. 4, h. 692.
5 Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum Islam” (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), h. 898.
16
Menurut terminologi hukum Islam, khalwat didefinisikan dengan
“keberadaan seorang pria dan wanita ajnabi6 di tempat yang sepi tanpa
didampingi oleh mahram baik dari pihak laki-laki ataupun perempuan”. Khalwat
juga dapat diartikan dengan bersendirian dengan perempuan lain atau perbuatan
menyendiri dengan perempuan yang bukan mahramnya.7 Di dalam Al-Qur‟an,
surat an-Nisa ayat 23 mengatakan bahwa yang termasuk ke dalam kategori
mahram ialah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara bapak yang
perempuan, saudara ibu yang perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki,
anak perempuan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara perempuan
sepersusuan, mertua, anak perempuan tiri yang ibunya telah digauli, menantu
(istri dari anak kandung), dan saudara kandung istri.
C. Dasar Hukum Khalwat
Qanun Aceh UU No 14 Tahun 2003 tentang hukum jinayat, yaitu
perbuatan khalwat tersebut di atas dapat diancam Uqubat Ta’zir cambuk yang
diatur pada pasal 22 ayat 1 dan 2. Pada pasal tersebut setiap orang yang
melanggar jarimah khalwat diancam dengan uqubat tazir paling banyak 9
(sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kalidan/atau denda paling banyak Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima
ratus ribu rupiah). Dan sedangkan pada pasal 22 ayat 2, setiap orang yang
melanggar ketentuan khalwat diancam dengan uqubat ta’zir berupa kurungan
paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan atau denda paling
6 Wanita ajnabi adalah wanita yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan laki-laki itu
sehingga halal jika untuk dinikahi.
7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, hal, 898.
17
banya Rp. 15. 000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,-
(lima juta rupiah).
Khalwat/mesum adalah salah satu perbuatan yang dilarang oleh agama
Islam, dan juga bertentangan dengan adat istiadat yang ditegakkan
padamasyarakat Aceh karena prilaku tersebut dapat mengarahkan atau
menjerumuskan kepada perbuatan zina yakni berhubungan intim diluar
perkawinan yang sah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dibentuk
peraturan daerah atau qanun tentang larangan khalwat/mesum dalam pelaksanaan
syari‟at Islam secara kaffah atau keseluruhan.
Larangan khalwat untuk pencegahan dari awal bagi perbuatan zina,
larangan ini berbeda dengan jarimah lain yang lansung kepada perbuatan itu
sendiri, seperti mencuri, minum khamar dan maisir. Larangan zina justru dimulai
dari tindakan-tindakan yang mengarah kepada zina, hal ini mengindikasikan
bahwa perbuatan zina terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi
penyebab terjadinya zina.8
Ayat yang menyebutkan larangan untuk mendekati zina salah satunya
terdapat dalam Al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 32, yaitu sebagai berikut:
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
Menjelaskan bahwa larangan untuk mendekati zina, karena zina
merupakan perbuatan yang keji. Maka hal-hal yang menyebabkan atau mendekati
8Faisal, “Efektifitas Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di
Kabupaten Aceh Besar” Jurnal Ilmiah Islam Futura NO 1 Agustus 2013, H.7.
18
terhadap hal tersebut juga dilarang. Yang dimaksud dengan mendekati perbuatan
zina ialah, bahwa dekat bermakna pendek, hampir, rapat, dan tidak jauh jaraknya
antara satu dengan yang lain. Mendekati berarti menghampiri atau hampir sampai.
Yakni berkhalwat merupakan perbuatan yang hampir sampai pada perbuatan zina
karena bermakna mendekati dan dekat dengan zina. Maka berkhalwat atau
menyendiri dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan disepakati hukum
keharamannya.9
Berkaitan dengan hal ini kaidah fikih mengatakan bahwa “Pada dasarnya
hukum dalam masalah sex ialah haram”. Dapat dipahami dengan jelas bahwa
segala yang berkaitan dengan perbuatan sex hukum asalnya yaitu haram, sampai
ada sebab-sebab yang menghalalkannya yaitu seperti melalui jalan pernikahan
atau dengan milkulyamin (yaitu budak miliknya).10
Kaidah di atas dapat juga
diartikan bahwa pada dasarnya farji itu haram, yang maksudnya ialah bahwa
hukum asal bersenang-senang dengan wanita itu adalah haram kecuali yang
dihalalkan oleh Syari‟at Islam.11
Hukuman bagi para pezina adalah tertulis dalam firman Allah swt dalam
surat An-Nur (24)2
9 Muhammad Abduh Malik, “Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP”
(Jakarta:Bulan Bintang, 2003), hal, 9. 10
Abdul Mujib, “Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa‟ idul Fiqhiyyah)” (Jakarta: Kalam
Mulia, 2001), hal, 57. 11
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah: Kaedah-kaedah
Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2009), hal, 54.
19
2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
D. Khalwat Menurut Ulama Fiqh
Al Yasa‟ Abu Bakar berpandangan bahwa khalwat menurut fiqh ialah
perbuatan tersebut berada pada suatu tempat yang tertutup dan sepi antara dua
orang mukallaf yakni laki-laki dan perempuan yang bukan merupakan
mahromnya maka hal tersebut pun sudah dianggap sebagai tindak pidana.
Sehingga karena khalwat termasuk sebagai tindak pidana, maka perbuatan pidana
akan menimbulkan sanksi kepada pelakunya.12
Pada pembahasan fiqh klasik, unsur utama perbuatan khalwat ialah berada
pada tempat tertutup seperti di dalam rumah atau lebih spesifiknya ialah kamar.
Namun, dalam perkembangannya perbuatan seperti bermesraan, berciuman dan
atau berpelukan yang dilakukan di tempat umum, di tempat ramai atau di depan
orang lain juga merupakan perbuatan khalwat karena merupakan perbuatan
maksiat (perbuatan yang oleh syari‟at Islam dilarang dilakukan, karena dapat
membawa kepada zina).13
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak, dalam wujud
segala perintah dan larangan Allah SWT dan Rasul-Nya; dan dimensi konkret,
dalam wujud perilaku mempola yang bersifat ajeq dikalangan orang Islam sebagai
12
Al-Yasa‟ Abubakar, “Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan” (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam Provinsi Nanggore Aceh
Darussalam, 2005), hal, 277. 13
Al-Yasa‟ Abubakar, “Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan” hal, 277.
20
upaya untuk melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya dan lebih konkret lagi,
dalam wujud perilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif.14
Kata dasar Hudud adalah had menurut bahasa artinya mencegah, menurut
syara‟ adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau
hukuman yang telah dibentuk ukurannya di dalam syariat, baik hukuman
melanggar hak Allah atau merugikan hak manusia lainnya. Fungsi hadd adalah
untuk melindungi berbagai kepentingan publik yang memuat perlindungan
keberagaman, jiwa akal keturunan dan harta benda, kepentingan tertentu setiap
individu.15
Hadd zina wajib dijatuhkan jika pelakunya sudah baligh, berakal suka
sama-suka, serta mengetahui larangan berzina, baik dia seorang muslim, kafir
dzimmi, atu murtad. Sehinggah hadd zina tidak bisa dijatuhkan kepada pelaku
yang masih anak-anak, orang gila, orang yang dipaksa melakukan berzina dan
orang yang tidak mengetahui larangan berzina misal seorang mualaf. Adapun
tujuan hadd zina adalah untuk melindungi nasab, menghindari pelanggaran nama
baik seseorang, mencegah pelaku dari kerusakkan badan atau kejiwaan orang lain
bahkan perzinaan terkadang mengakibatkan subjek atau objek pelaku divonis
hukuman mati.16
Adapun pelaku zina gairu muhsan adalah pelaku zina laki-laki perjaka dan
perempuan perawan yang belum pernah menikah namun dia sudah melakukan
14
Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT
RajaGrfindo Persada, 2004), h. 38 15
Wahbah Zuhaili,”Fiqh Imam Syafi’i, Mengupas masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Quran dan Hadits” (Cet.1 Jakarta: almahirah 2010)h.260 16
Wahbah Zuhaili,”Fiqh Imam Syafi’i, Mengupas masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Quran dan Hadits” (Cet.1 Jakarta: almahirah 2010)h.260
21
hubungan seksual layaknya suami isteri, dan mereka yang melakukan zina yang
belum pernah menikah dijatuhakan hukuman di dera seratus kali dari keduanya
dan diasingkan selama satu tahun dari tanah kelahirannya yang telah dijelaskan
dalam hadist nabi SAW,” perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki perjaka dengan
perempuan perawan hukumannya seratus kali deraan dan dibuang selama satu
tahun” sebagaimana dengan syarat pengasingan tersebut mencapai jarak yang
telah perkenankan mengqashar shalat, menurut pendapat yang shahih.17
Zina muhsan adalah orang yang pernah menyetubuhi isterinya dalam
ikatan pernikahan yang sah dan dia orang yang merdeka, baligh dan berakal.
Namun setelah itu mereka melakukan hubungan dengan perempuan lain yang
tidak sah atau yang selain isterinya, tingkatan zina ini adalah tingkatan yang
paling keji dan dapat diakui kekejiannya oleh setiap orang yang berakal bahkan
oleh sebagian banyak binatang, sebagaimana disebutkan oleh al-Bukhari dalam
Shahih-nya dari Amar bin Maimun al-Audi, dia berkata, “pada masa jahiliyah,
aku pernah melihat seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina.
Lalu datanglah kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan melempari
keduanya sampai mati”.18
Zina sendiri adalah memasukkan kepala zakar (penis) atau seukurannya ke
dalam farjih (vagina) orang hidup dalam keadaan mengetahui keharaman
tersebut.19
Maksudnya keharaman mereka menyadari bahwa tidak ada hubungan
17
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Taman Para Pecinta” Jakarata; Khatulistiwa Prees 2009.
H.366 18
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Taman Para Pecinta” Jakarata; Khatulistiwa Prees 2009.
H.366 19
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fat-Hul Mu’in, (Surabaya: Al-
Hidayah 1993) hlm 325.
22
yang sah sama sekali baik itu muhsan atau ghairu muhsan lalu mereka berbuat
perbuatan terlarang yaitu berzina dengan menyadari akan hal itu, dan inilah yang
dijatuhkan hukuman had zina.
Para Imam Mazhab sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang
besar, yang mewajibkan had atas pelakunya. Hukuman had itu berbeda menurut
macam perzinaan itu sendiri. yakni zina muhsan yaitu yang sudah menikah dan
ghairu muhsan yaitu yang belum menikah.
Adapun para Imam Mazhab sepakat bahwa syarat-syarat muhsan itu
sebagai berikut merdeka, dewasa, berakal, sudah menikah dengan suatu
pernikahan yang sah dan sudah melakukan persetubuhan dengan isterinya. Dan
para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang menjatuhkan hukuman had bagi
pezina Muhsan apakah ke Islaman menjadi syarat di kenai had, Hanafi dan Maliki
menjadi syarat. Sedangkan menurut Syafi‟i dan Hambali: orang dzimmi tidak
dikenai had. Dalam hal ini para Imam Mazhab bahwa orang yang telah memenuhi
syarat di atas, lalu ia berzina dengan seorang perempuan, maka sudah terpenuhilah
syarat-syarat zina muhsan, jika perempuan itu merdeka, dewasa, berakal, sudah
disetubuhi oleh suaminya dalam suatu pernikahan yang sah dan ia seorang
muslimah maka telah Wajib dirajam dilempari dengan batu hingga mati. Apakah
mereka juga di jilid hukuman cambuk sebelum dirajam,Pendapat Imama Syafi‟i,
Hanafi, Maliki mereka hanya dikenai rajam, Imam Hambali keduanya dikenai
jilid dan rajam.20
20
Syaikh al –„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, “Fiqih Empat
Mazhab” penerjemah; Abdul Zaki Alkaf, Bandung. H.455.
23
Para Imam sudah menjelaskan semuanya sejak dahulu tentang pelaku
perbuatan zina dan hukuman bagi pelaku zina baik itu ghairu muhsan maupun
muhsan, hal ini sangat penting bagi keberlansungan hidup manusia khususnya
bagi yang beragama Islam agar selalu menjaga nasab kesuciannya dan
hubungannya sebelum ada ikatan pernikahan yang sah.
E. Khalwat dalam Hukum Positif
Usaha untuk penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang
(hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian utuh dari usaha
perlindungan masyarakat dan sekaligus mencangkup perlindungan masyarakat.21
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Objek dari ilmu ini adalah aturan hukum pidana yang berlaku disuatu negara
seperti hukum pidana Indonesia. Tujuan dari ilmu pengetahuan ini adalah
menyelidiki pengertian objek dari hukum pidana positif.22
Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakatdiliputi oleh norma-
norma, dimana guna norma itu bagi manusia menjadi petunjuk bagi manusia
bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan
mana yang harus dijalankan dan perbuatan perbuatan mana yang harus
dihindari.23
21
Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 28 22
Mokhammad Najih dan Soimin “Pengantar Hukum Indonesia”sejarah,konsep tata
hukum,dan politik hukum Indonesia, cet pertama, Setara Pres Malang, Jatim 2014. H.160. 23
Kansil, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia” balai pustaka, Jakarta,
1980,h.81
24
Pergaulan hidup dibedakan 4 (empat) macam norma yakni24
1. Norma Agama
Norma agama adalah peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-
perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari tuhan YME.
Norma agama itu bersifat umumserta berlaku bagi golongan umat manusia seperti
contoh, laranga berbuat riba dalam perdagangan sebagaiman tersurat pada Al
Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 275
Jenis pengaturan dalam norma agama baik yang bersifat perintah, larangan
maupun anjuran, sesungguhnya tercantum dalam ajaran agama sebagai
kepercayaan umat manusia. seperti Islam percaya kepada Al-Qur‟an, Kristen
Khatolik dan Protestan terhadap Injil, dan Hindu atau Budha terhadap kitab
sucinya Darma.
2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan ialah hal yang menjadi peraturan hidup yang dianggap
sebagai suara hati sanubari manusia dalam sikap perbuatannya. Kesusilaan
memberikan peraturan-peraturan terhadap manusia agar supaya menjadi manusia
yang bermartabat dalam pandangan manusia lainnya. Hasil daripada perintah dan
larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu pada manusia tergantung atas
pemahaman dan pandangan dari tiap-tiap pribadi manusia yang bersifat
perseorang atas sesuatu tindakan manusia.
Contoh dari yang melanggar norma kesusilaan ialah misalnya: sepasang
muda-mudi yang berciuman di tempat umum, adapun sanksi atas pelanggaran
24
Mokhammad Najih dan Soimin “Pengantar Hukum Indonesia”sejarah,konsep tata
hukum,dan politik hukum Indonesia, cet pertama, Setara Pres Malang, Jatim 2014.H.4dan5
25
norma kesusilaan ini hanya berupa “ penyesalan diri”, karena tidak ada
kekuasaan dari luar yang memaksa perintah kesusilaan itu. Sifat peintah susila itu
ialah bahwa perintah itu harus dipenuhi secara sukarela, satu-satunya yang berdiri
dibelakang kesusilaan adalah kekuasaan hati nurani manusia.
3. Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah hal yang menjadi peraturan hidup di mana
ditimbulkan dari pergaulan masyarakat dalam hubungan sosial. Peraturan itu
diikuti sebagai pedoman tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada di
sekitar lingkungan manusia lainnya. Contoh pergaulan hidup masyarakat jawa
misalnya : berjalannya orang muda ketika melewati orang yang lebih tua maka
orang muda harus mengucapakan terlebih dahulu uluk salam kepada orang yang
lebih tua sembari mengungkapkan permisi atau monggo.
Norma kesopanan ini bentuknya tidak tertulis namun keberadaannya
sangat di akui oleh masing-masing manusia atas keberadaannya. Namun sangsi
bagi pelanggar kesopanan pengucilan dari lingkungan sosial masyarakat dimana
ia hidup, atau dicibir/diejek diberi predikat manusia tidak sopan.
4. Norma hukum
Norma hukum adalah suatu peraturan yang timbul dari norma hukum atau
kaedah hukum yang mana norma hukum dibuat oleh penguasa negara. Peraturan
ini sifatnya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan
dengan segala paksaan oleh alat-alat negara. Yang dimaksud alat negara adalah
kepolisian, atau aparat kejaksaan dan pengadilan. Norma hukum dapat
digolongkan menjadi beberapa macam praturan hukum contoh : hukum pidana,
26
hukum perdata, hukum dagang, hukum admistrasi negara dan lain sebagainya.
Misalnya dalam hukum pidana : barang siapa yang sengaja mengambil jiwa
orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setinggi-tingginya 15
(lima belas) tahun. Dalam norma hukum sifat yang khas dari peraturan hukum,
ialah sifat memaksa, menghendaki tinjauan yang lebih mendalam. Paksaan
lansung seperti penjemputan terduga pelanggar hukum, paksaan tidak lansung
seperti pemanggilan melalui surat bagi pelanggar hukum oleh kepolisian atau
kejaksaan. Jadi peraturan hukum bukanlah meperingatkan, menganjurkan atau
meyakinkan tetapi memerintah atau memaksa.
Istilah khalwat di dalam qanun dapat diartikan perbuatan asusila di dalam
hukum pidana Indonesia (KUHP).
Pria yang sudah menikah hanya bisa diancam pidana apabila delik aduan
yang dilakukan oleh pasangannya terhadap perbuatan asusila tersebut,
dilaporkan kepihak yang berwenang. Hal ini sesuai di dalam pasal 284 (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dapat diancam pidana selama 9
(sembilan) bulan.
Sedangkan dalam pasal 287 pencabulan yang dilakukan kepada terhadap
wanita yang belum cukup umur, yaitu yang belum berumur 15 (lima belas) tahun
maka diancam pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun.
27
Lebih jelasnya tindak pidana pencabulan tersebut dirumuskan dalam pasal;
289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296, yang semuanya merupakan kejahatan.
Masing-masing adalah25
1. Pasal 289, mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan;
2. Pasal 290, mengenai kejahatan perbuatan cabul pada orang pingsan atau
tidak berdaya, umurnya belum 15 tahun dan lain-lain;
3. Pasal 292, mengenai perbuatan cabul sesama kelamin (homo seksual);
4. Pasal 293, mengenai orang menggerakkan belum dewasa untuk melakukan
atau dilakukan perbuatan cabul;
5. Pasal 294, mengenai perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
dibawah pengawasannya yang belm dewasa, dan lain-lain;
6. Pasal 295, mengenai memudahkan perbuatan cabulan oleh anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lain-lain;
7. Pasal 296, mengenai memudahkan perbuatan cabulan oleh orang lain
dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan;
F. Hukuman Khalwat di MS Malaysia
Malaysia merupakan sebuah negara yang berasaskan negara Islam.
Undang-undangnya pun bersumber atau memakai hukum Islam, walaupun ada
sebagian sumber hukumnya yang mengambil dan bersumber dari hukum Inggris,
sebagaimana kita ketahui, Malaysia adalah bekas jajahan Inggris,
Pengertian khalwat di Malaysia mendefinisikan khalwat sebagai perihal
perbuatan mengasingkan atau memencilkan diri (menenangkan pikiran dengan
25
Adami Chazawi “Tindak Pidana Mengenai Kesoponan” Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada 2005.H.77
28
bertafakur dan lain-lain) atau pengasingan diri dengan berdua-duaan di tempat-
tempat terpencil atau tersembunyi oleh laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim dan bukan pula suami isteri yang boleh dianggap sebagai suatu perbuatan
sumbang. Definisi ini selaras dengan syariah yang mempunyai takrifan positif dan
negatif. enakmen26
jenayah syariah yang berkuat kuasa di negeri-negeri seluruh
Malaysia pula mentakrifkannya sebagai keadaan apabila seorang lelaki atau
perempuan bersama-sama dengan seorang atau lebih daripada seorang perempuan
atau lelaki yang bukan isteri atau suami; atau muhrimnya di tempat terselindung
atau di dalam rumah atau di dalam bilik dalam keadaan yang boleh menimbulkan
keraguan bahwa mereka sedang melakukan perbuatan yang tidak bermoral.27
Konstitusi Malaysia yaitu prinsip-prinsip musyawarah, keadilan,
persamaan, dan kebebasan. Tentang prinsip musyawarah dalam kontitusi tidak
dijumpai secara tegas pengaturan mengenai prinsipini, sedangkan prinsip–prinsip
keadilan dan persamaan Malaysia antara lain “Bahwa tiada seorangpun yang akan
dihukum karena suatu perbuatan atau kelalaian yang tidak dapat dihukum oleh
undang-undang ketika perbuatan dan kelalaian yang dilakukan. hukum Islam
keluarga, salah satu hukum status personal yang paling maju dan tercerahkan
dalam dunia Muslim, diamendir untuk lebih memudahkan perceraian dan
poligami bagi laki-laki dan untuk mengurangi tanggung jawab finansial mereka
terhadap perempuan. Perempuan kehilangan haknya untuk mendapatkan biaya
hidup jika dia tidak tunduk kepada suaminya, mereka bertanggung jawab atas
biaya hidup anaknya yang tidak sah, perempuan kehilangan haknya untuk
26
Enakmen adalah Berlakunya 27
NurAmaniPauzai“Khalwat dalam Kalangan Remaja di Malaysia Dan Aceh: Kajian
Terhadap Pematuhan Syariah”Universitas Sultan Zainal Abidin, Malaysia. Tahun 2015. H.8.
29
mendapatkan tanggungan keuangan jika ia melakukan ( tindakan keji, seperti
zina)28
Undang-undang jenayah29
Islam dalam konteks Malaysia bermula
Perlembagaan diletak di bawah bidang kuasa persekutuan. Perlembagaan tidak
mentakrifkan30
“criminal law”. Biar apa pun, undang-undang jenayah yang wujud
pada masa Perlembagaan digubal31
seperti Penal Code32
, semestinyalah undang-
undang jenayah.
Kata-kata “undang jenayah Islam” (Islamic criminal law) tidak langsung
digunakan. Apa yang diperuntukkan ialah
“……pewujudan dan penghukuman kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
menganut agama Islam terhadap perintah agama itu, kecuali berkenaan dengan
perkara yang termasuk dalam Senarai Persekutuan;
Perhatikan syarat-syarat yang disebut, yaitu:33
1. kesalahan yang dilakukan oleh orang yang menganut agama Islam,
2. terhadap perintah agama itu,
3. kecuali berkenaan dengan perkara yang termasuk dalam Senarai
Persekutuan.
Jangan salah faham dan mengatakan bahawa “undang-undang jenayah”
terletak di bawah bidangkuasa persekutuan, manakala “undang-undang jenayah
Islam” terletak di bawah bidangkuasa negeri. Perlembagaan hanya membenarkan
28
Nurin, Hukum Islam di Negara Malaysia, mei 2009, jurnalCatatanAfandi. 29
Jenayah adalah kejahatan 30
Mentakrifkan adalah mendefinisikan 31
Digubal adalah diformulasikan 32
Penal code adalah hukum pidana 33
Tun Abdul Hamid Mohamad,” PelaksanaanUndang-UndangJenayah Islam Di
Malaysia” 2015
30
Badan Perundangan Negeri membuat undang-udang bagi mengadakan kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang menganut agama Islam terhadap
perintah agama Islam, itu pun jika ia bukan berkenaan dengan perkara yang
termasuk dalam senarai persekutuan yakni “undang-undang jenayah”. Selain
daripada itu, ada pula sekatannya, seperti peruntukan akta34
mahkamah syari‟ah
(bidangkuasa jenayah)1965.35
Undang-undang Islam hanya terpakai dalam pentadbiran36
hal ehwal
perkawinan, penceraian, harta pusaka dan pewarisan, dan hal ehwal amalan
agama yang lain, dan perjalanan hukuman bagi pengadilan adalah sebagimana
yang telah ditentukan yaitu hanya berkait sekitar hukuman dalam bentuk ta’zir
sama ada denda atau penjara, termasuk juga pada kesalahan yang sepatutnya
dikenakan hukuman had menurut hukum syara‟ contohnya berzina jika di sabit37
kesalahan, tetapi hanya dikenakan sanksi denda atau penjara atau kedua-duanya.38
Perlembagaan Malaysia memperuntukkan bahwa Dewan Undangan
Negeri hanya boleh menggubal kesalahan jinayah syariah yang hukumannya tidak
melebihi 3 tahun penjara, denda lima ribu ringgit (RM 5000 bersamaan Rp
13500000), dan enam kali cambukan. Berdasakan akta itu, kadar hukuman bagi
pelaku penzina yang sudah ditetapkan adalah enam kali cambukan saja. Hukuman
ini termasuk juga dalam tindak pidana yang seharusnya dikenakan hukuman had.
34
Akta adalah Undang-undang 35
Tun Abdul Hamid Mohamad,” Pelaksanaan Undang-Undang Jenayah Islam di
Malaysia” 2015 36
Pentadbiran adalah admistrasi 37
Disabit adalah didakwa 38
Mahyudin Haji Yahya. “Islam dan Pembangunan Negara”. (Penerbit Univesity
Kebangsaan Malaysia 1986), cet. Pertama 1986,h.12
31
Cambukkan atau sebatan kombinasi hukuman tersebut jelas mahkamah syariah
telah menentukan wewenangnya tanpa diberi kebebasan sendiri.
Mahkamah Syariah lazimnya akan menjatuhkan hukuman denda terhadap
pesalah ta’zir termasuk kes khalwat (sebagaimana yang diperuntukkan di bawah
enakmen kesalahan jenayah negeri) walaupun hukuman ta’zir yang dianjurkan
oleh syariah ialah penjara dan sebatan. Enakmen negeri meletakkan khalwat
sebagai kesalahan takzir. Seksyen 27 akta kesalahan jenayah syariah (wilayah-
wilayah persekutuan) 1997 umpamanya memperuntukkan bahawa “mana-mana
lelaki yang didapati berada bersama dengan seorang atau lebih daripada seorang
perempuan yang bukan isteri atau mahramnya atau mana-mana perempuan yang
didapati berada bersama dengan seorang lelaki atau lebih daripada seorang lelaki
yang bukan suami atau mahramnya dimana-mana tempat yang terselindung atau
di dalam rumah atau bilik dalam keadaan yang boleh menimbulkan syak39
bahwa
mereka sedang melakukan perbuatan yang tidak bermoral adalah melakukan
kesalahan dan jika disabitkan, boleh didenda tidak melebihi RM3000 atau penjara
tidak melebihi dua tahun atau kedua-duanya”.40
Negara Malaysia, hukuman zina yang dikenakan sebagai suatu hukuman
bagi kesalahan jinayah dalam tiga kategori seperti yang berikut.41
1. Hukuman zina bagi kesalahan jinayah yang dijatuhkan oleh mahkamah sivil
seperti kesalahan merogol di bawah seksyen 376 kanun keseksaan [akta 574],
39
Syak adalah keraguan 40
NurAmaniPauzai“Khalwat Dalam Kalangan Remaja Di Malaysia Dan Aceh: Kajian
Terhadap Pematuhan Syariah”Universitas Sultan Zainal abiding, Malaysia. Tahun 2015. H.10. 41
Mahamad Naser Bin Disa ”Pelaksanaan Hukuman Sebat dalam kes Jenayah Syariah:
Maslah dan penyelesaiannya”, dibentangkan dalam Seminar Hukuman Sebat Jenayah Syariah
anjuran Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) pada 23 April 2009
32
kesalahan mengedar dadah di bawah seksyen 39A akta dadah berbahaya 1952
[akta 234] dan kesalahan memiliki senjata api secara haram di bawah seksyen
8 akta Senjata Api (penalti lebih berat) 1971 [akta 37].
2. Hukuman zina yang diawardkan oleh pegawai yang menjaga di bawah
Peraturan-peraturan penjara 2000 [P.U. (A) 325/2000] (Peraturan penjara)
karena kesalahan yang dilakukan oleh seorang banduan di dalam penjara
seperti melarikan diri atau cuba melarikan diri di bawah sub peraturan 123(b)
peraturan penjara; dan
3. Hukuman zina bagi kesalahan jinayah yang dijatuhkan oleh mahkamah
syariah yaitu di bawah enakmen/ordinan/akta kesalahan jinayah syariah
negeri-negeri/wilayah-wilayah persekutuan seperti kesalahan muncikari di
bawah seksyen 19, kesalahan persetubuhan luar nikah di bawah seksyen 20,
kesalahan persetubuhan bertentangan dengan hukum tabii di bawah seksyen
22 dan beberapa kesalahan lain yang terkandung dalam ordinan42
jinayah
syariah (negeri Sarawak) 2001 [Ordinan 46 Tahun 2001]. 43
Pelaksanaan setiap hukuman zina yang dijatuhkan bagi setiap kategori
tersebut hanya diberi kuasa kepada pihak penjara. Selain iu terdapat prosedur
khusus yang telah diperuntukkan oleh undang-undang dalam melaksanakan
hukuman zina yang telah dijatuhkan bagi kategori tersebut, prosedur-prosedur
tersebut terkandung dalam undang-undang berikut:44
1. Kanun acara jenayah [Akta 593] (KAJ)
42
Ordinan adalah peraturan 43
Ordinan Jenayah Syariah (Negeri Sarawak) 44
Ordinan Tatacara Jenayah Syariah (Negeri Sarawak) 2001 [Ordinan 46/2001] (Ordinan
Tatacara Jenayah Syariah Sarawak
33
2. Peraturan penjara
3. Enakmen/ordinan/akta tata cara jenayah syariah di bawah model undang-
undang seragam yang telah diluluskan oleh majlis Raja-raja dan telah dikuat
kuasakan dikebanyakan negeri dan wilayah persekutuan.
Berdasarkan yang dinyatakan di atas pelaksanaan hukuman zina oleh
pihak penjara hendaklah mematuhi peraturan yang telah di tetapkan mengikuti
mahkamah yang menjatuhkan hukuman zina tersebut, dengan kata lain sekiranya
sesuatu hukuman zina itu dijatuhkan oleh mahkamah civil bagi kesalahan jinayah
yang berada di bawah bidang kekuasaan mahkamah civil, maka KAJ45
dirujuk
sebagai dasar pelaksanaanhukuman bagi zina.
45
KanunAcaraJinayah.
34
BAB III
DESKRIPSI UMUM TENTANG MAHKAMAH SYARIAH DAN QANUN
JARIMAH
A. Mahkamah Syar’iyah
1. Sejarah Mahkamah Syar’iyah
Sejarah peradilan di Indonesia, istilah peradilan khusus dipahami sebagai
antonim dari pengertian peradilan pada umumnya yang berjenjang mulai dari
pengadilan tingkat pertama di pengadilan Negeri, peradilan tingkat banding di
Pengadilan Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.1
Pembentukkan Departemen Agama. Berlakunya UU No. 22 tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah,
Talak, dan Rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama
sendiri, Masa ini Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada
tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan. Setelah tiga bulan berdirinya
Departemen Agama yang dibentuk melalui keputusan pemerintah Nomor 1/sd,
Pemerintah mengeluarkan penetapan No. 5/sd tanggal 25 Maret 1946 yang
memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen
Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat itulah peradilan agama
menjadi bagian penting dari Departemen Agama.2
1 Ahmad Babiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”
Artikel Sosio-Religia No. 4 (Agustus 2005) h.1 2 Achmad Gunaryo, “Pergumulan Politik dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan Agama
dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya”, ( Semarang: Pustka
Pelajar 2006) h. 130.
35
Pengadilan agama dan Mahkamah Islam sangatlah penting di negara ini
karena mayoritas penduduk pribumi adalah muslim dengan di bentuknya
depertemen agama untuk menunjang keadilan dalam ranah muslim,
menyelesaikan masalah dalam lingkungan yang mengenai perkara keluarga, talak,
cerai, rujuk dan waris di seluruh Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 31 Oktober 1946 disahkan UU No. 19 tahun 1964
tentang ketentuan pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU ini,
Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum
fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun
tidak lama kemudian, UU ini diganti dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok-pokok Kehakiman karena tidak sesuai lagi dengan
keadaan.3
Mulai Negara Republik Indonesia Merdeka kemajuan dan perubahan
mengenai dan hadirnya Peradilan Agama dan/atau Mahkamah Syar’iyah terjadi
dalam beberapa fase perubahan di Indonesia. Mahkamah Syar’iyah di daerah
Aceh sudah ada sejak tahun 1957 yakni sejak diundangkan Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 1957. Mahkamah Syar’iyah (Pengadilan Agama) tersebut baru
diadakan untuk daerah Aceh saja, dan kewenangan terbatas hanya pada hukum
keluarga saja (Ahwal asy-Syakhsiyah) belum selesai pada peraturan Pemerintah di
atas. Setelah itu, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 dirubah dengan
peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang pengadilan agama/Mahkama
3 Achmad Gunaryo, “Pergumulan Politik dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan Agama
dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya”, ( Semarang: Pustka
Pelajar 2006) h. 131.
36
Syar’iyah. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut berlaku untuk
seluruh Indonesia. Akan tetapi nama peradilan agama/Perdilan Syariat Islam pada
seluruh wilayah Indonesia tersebut masih berbeda-beda namanya. Pulau Jawa dan
Madura mempunyai Pengadilan Agama dengan sebutan Pengadilan Agama dan
Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagian wilayah Kalimantan Selatan dan Timur
memiliki Pengadilan Agama dengan sebutan Kerapatan Qadhi dan Kerapatan
Qadhi Besar.4
Tahun 1987, terjadilah perubahan kembali dengan berlakunya Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama di seluruh Indonesia.
Lembaga peradilan agama diseragamkan menjadi Pengadilan Agama dan
pengadilan tinggi agama. Kewenangan masih terbatas pada hukum keluarga
(Ahwal asy-Syaksiyah) yang mencakup perkawinan, perceraian, harta perkawinan,
pengasuh anak, kewarisan, serta sengketa dibidang wakaf, infaq dan sadaqah.
Tahun 2001 terjadi lagi perubahan dalam pelaksanaan Peradilan Syariat Islam di
Aceh Darussalam. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh ditetetapkan bahwa
peradilan Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam dilaksanakan oleh
Mahkamah Syar’iyah dengan kompetensi absolut meliputi seluruh aspek syariat
Islam yang diatur dengan Qanun.5
Aceh mulai diakui sebagai daerah istimewa di Republik Indonesia pada saat
diundangkan UU No 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan
4 Penjelasan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Perdilan Syari’at Islam
5 Al-Yasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma
Kebijakkan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam,2005),hal,315.
37
provinsi daerah istimewa Aceh, yang mana keistimewaan yang selalu disebut-
sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi sebuah identitas Aceh sejak tahun 1959
dan undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi
daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
diharapkan menjadi sebuah kenyataan dan benar-benar diimplmentasikan di
tengah masyrakat Aceh. Dan ditegaskan kembali atas Kepres No. 11 Tahun 2003
tantang Mahkamah Syariah di Provinsi Aceh.
Maka dari itu pada tahun 2004, UU otonomi daerah diundangkan yang
termaktub di UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yang merupakan
pengganti atas undang-undang otonomi daerah sebelumnya. Dalam undang-
undang ini pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diizinkan mencantumkan
sanksi lain asalkan diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada.6
Era reformasi, semangat dan keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam
kembali menggema dikalangan rakyat Aceh, di samping tuntutan referendum
yang juga disuarakan oleh sebahagian generasi muda pada waktu itu.
Para Ulama dan Cendikiawan muslim semakin intensif menuntut kepada
Pemerintah Pusat, agar dalam rangka mengisi keistimewaan Aceh dan
mengangkat kembali martabat rakyat Aceh supaya diizinkan dapat menjalankan
Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan tersebut akhirnya
membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-undang yang sangat penting dan
6Al-Yasa’ Abubakar, “Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan”, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005),
h.47
38
fundamental, yaitu: Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.7
2. Pengertian Mahkamah Syar’iyah
Indonesia setelah merdeka dan tepatnya pada tahun 2006, lembaga
Pengadilan yang ada di Indonesia di dalam aturan perundang-undangan Nomor 3
Tahun 2006 atas perubahan undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama menjelaskan dan memberikan sebuah wewenang keistimewaan
di dalam melaksanakan sebuah syariat Islam yang sangat kental membudaya di
daerah provinsi paling barat wilayah negara yaitu Aceh. Hal ini tergambar dan
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh dalam BAB I KETENTUAN UMUM pasal 1 Nomor 15 yaitu “Mahkamah
Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten atu kota adalah pengadilan
selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang
merupakan bagian dari sistim peradilan nasional”.
Semua masalah di wilayah Aceh dapat diberikan dan diselesaikan oleh
makamah syar’iyah karena Aceh sudah diberikan keistimewaan hukum untuk
menyusun dan mengatur peraturan yang berlaku di daerah Aceh dan telah diakui
oleh Undang-Undang Nasional.
3. Pondasi Hukum Mahkamah Syar’iyah
Salah satu kekhususan yang diberikan Negara Indonesia kepada Provinsi
Aceh adalah hak dan peluang untuk membentuk mahkamah syari’ah sebagai
peradilan syariat Islam. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11
7http://www.ms-aceh.go.id/tentang-pengadilan/profil-pengadilan/sejarah-pengadilan.html.
di Akses 2 februari 2017.
39
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya dalam Pasal 128 ayat (2)
yang menyebutkan “Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap
orang yang beragama Islam dan bemerupakan pengadilan bagi setiap orang yang
beragama Islam dan berada di Aceh.” Adapun wewenang mahkamah syar’iyah
terdapat juga dalam pasal 128 ayat (3) yang berbunyi “ Mahkamah syar’iyah
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang
meliputi bidang Ahwal al-Asyakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam”.
Peradilan syari’at Islam di Aceh yang dilakukan oleh mahkamah syariah
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
menyangkut wewenang peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan umum sepanjang menyangkut wewenang peradilan
umum. Maka dari itu, sudah barang tentu mahkamah syariah dan hukum qonun di
Aceh adalah salah satu dari sebuah kekhususan yang diberikan Pemerintah Pusat
kepada pemerintah daerah yaitu Aceh dalam hal ini. sebagai bukti bahwa Aceh
menjunjung tinggi atas keIslaman dalam tatanan hukum yang termaktub dalam
qanunya sebagai peraturan pemerintahan daerahnya.8
4. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar’iyah di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya telah
diatur di dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tepatnya pada pasal 128 ayat
(3) yaitu “ Mahkamah Syari’ah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
8 Efa Laela Fakhiriah dan Yusrijal, “Kewenangan Mahkamah Syrari’yah di Aceh
Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum No.2, h.114
40
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam.”
Selanjutnya di dalam qanun No. 6 Tahun 2014 pada pasal 1 mahkamah
terbagi atas 3 (tiga) jenis, yaitu:
a. Mahkamah Syari’ah Kabupaten/Kota yaitu lembaga peradilan tingkat
pertama.
b. Mahkamah Syariah Aceh yaitu lembaga peradilan tingkat banding.
c. Mahkamah Agung atau Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu
lembaga peradilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK).
B. Mahkamah Syar’iyah Sinabang Secara Umum
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 11/2003, Mahkamah
Syar’iyah di Aceh diresmikan. Peresmian dilakukan oleh Menteri Agama. Dengan
demikian, keberadaan Pengadilan Agama ditiadakan. Peresmian dilakukan di
kantor DPRD NAD (Nangroe Aceh Darussalam), Banda Aceh, Selasa (4/3).
Menag meresmikan Mahkamah Syariah ini dengan membacakan Keppres 11/2003
tentang Pembentukan Mahkamah Syariah tingkat propinsi, kabupaten dan
kotamadaya se-NAD. Keppres tertanggal 3 Maret 2003 itu menyebutkan,
Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh berubah nama menjadi Mahkamah
Syariah Provinsi yang akan dijadikan sebagai pengadilan tingkat banding.
Sedangkan Pengadilan Agama di kabupaten dan kotamadya berubah menjadi
Mahkamah Syariah Kabupaten atau Kotamadya sebagai pengadilan tingkat
pertama.
41
Proses perubahan dan operasional mahkamah syariah ini, dananya akan
dibebankan kepada Departemen Agama. Jumlah Mahkamah Syariah yang
diresmikan berjumlah 20 buah. Ini sesuai dengan Keputusan Menag no
B2/2/449/2003 yang juga dibacakan dalam peresmian ini. Ke-20 Mahkamah
Syar’iyah yang diresmikan itu adalah Mahkamah Syariah Provinsi, Mahkamah
Syariah Banda Aceh, Janto, Sigli, Lhoksukon, Lhokseumawe, Calang, Meulaboh,
Kutacane, Tapak Tuan, Bireun, Pidie, Kuala Simpang, Sinabang, Singkil,
Meuredu, Langsa, Takengon, Sabang, dan Blangkejeren.9
Sinabang adalah nama kota dari kabupaten Simeulue yang berada di
Provinsi Aceh, keberadaan wilayah ini terletak kurang lebih 150 km dari lepas
pantai Aceh, kabupaten ini merupakan pemekaran dari kabupaten Aceh Barat
sejak tahun 1999, dengan harapan pembangunan ditingkatkan di wilayah ini.
Adapun dasar hukum pemekaran ini UU RI No. 48 Tahun 1999 dengan lahirnya
kabupaten baru sebagai kabupaten Otonom dalam khazanah Pemerintahan
Indonesia, adapun luas wilayah ini 2.125,02 km2 dengan total 80.673 jiwa pada
tahun 2010 mempunyai 8 kecamatan dan 138 desa. Karena posisi geografisnya
terisolasi dari daratan Aceh maka tidak pernah merasakan hiruk pikuk konflik di
Aceh dan tidak ada pergerakkan GAM di kawasan kepulauan ini.10
Mahkamah Syar’iyah Sinabang terletak wilayah yurisdiksi: Kabupaten
Simeulue. Kantor: Teuku Dijung, Desa Suak Buluh, Kecamatan Sinabang,
Kabupaten Siemulue,Aceh. Disini tempat mengadili dan menjalankan qanun aceh
di wilayah Kabupaten Sumelue.
9 Http://www.Yahoo/Peresmian Mahkamah Syar’iyah Aceh. html. di Akses tgl 19
februari 2017. 10
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Simeulue di Akses pada 17 februari 2017.
42
C. Qanun
1. Teori dan Dasar Hukum Qanun Jarimah
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma
pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum
pidana adat.11
Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal,
dala arti hanya diberlakukan di wilayah tertentu.
Awalnya Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam
antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat).12
Pemisahan yang tegas
antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik
bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang
dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakat. Sebagai
contoh, hukum syariat Islam yang ada di Aceh, hukum pidana adat palembang,
dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islam. Begitu
juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Hindu.13
Sebuah aliran hukum, terdapat sebuah aliran yang disebut Comon Law
System yaitu aliran sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum
kebiasaan dan hukum adat masyarakat. Aliran Camoon Law System ada tiga aspek
yang menjadi kaidah dalam aliran ini yaitu:14
11
Ahmad Babiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”
Artikel Sosio-Religia No. 4 (Agustus 2005) h.1 12
Kanter dan Sianturi, “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), h.43. 13
Ahmad Babiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”
Artikel Sosio-Religia No. 4 (Agustus 2005) h.2 14
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah – Kaidah Hukum Yurisprudensi. Cet ke-III.
(Jakarta:Kencana Prenada Media Group 2008).h.23-25.
43
a. Hukum adalah bagian dari kultur masyarakat
Aliran ini, hukum tidak terpisah dalam kehidupan masyarakat manusia
yaitu hukum dipandang sebagai sub sistem dari kebudayan masyarakat (Law is a
cultural institution). Yaitu hukum lahir dan berkembang seiring dengan tingkat
tahap perkembangan kecerdasan, kemajuan, dan kebudayaan masyarakat tertentu
yang dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai tatanan kehidup
an yang mengatur ketertiban di dalam kehidupan bermansyarakat.
b. Hukum adalah ciptaan masyarakat.
Aliran ini hukum lahir dan dicipta oleh masyarakat (Law is an invention of
people). Yaitu perubahan hukum mengikuti perubahan dan perkembangan tempat
dan waktu. Tempat dan waktu sangat berperan dalam menciptakan norma hukum
yang berlaku. Elastisitas atau kelenturan dan ke aktualannya ditentukan oleh
perkembangan zaman.
c. Hukum tidak memerlukan proses kodifikasi.
Aliran ini hukum selalu diidentikkan dengan hukum tidak tertulis. memang
demikian historis keberadaan dan kelahirannya. Hukum hidup dan berkembang
dalam kesadaran kehidupan masyarakat, seolah olah dalam bentuk abstrak karena
tidak dikodifikasi dalam bentuk rumusan secara tertulis.
Sesuai aliran common law system ini dapat disimpulkan bahwan hukum
bisa terlaksana sesuai ajaran pengetahuan dan kebiasaan yang telah menjadi
budaya dalam lingkungan kelompok sekitar, dan ini bisa menjadi ketentraman
dalam menjalani pembentukan aturan dengan baik menurut kebiasaan dan hukum
44
yang berkembang di lingkungan masyarakat tersebut sehingga hukum tidak kaku
untuk melaksanakan hukuman.
Aceh sejak lama telah memberlakukan aturan aturan yang bersifat menjadi
kebiasaan di suatu masyarakat yang pada dasarnya aturan itu didasari oleh aturan-
aturan syariat Islam yang telah melekat pada masyarakat banda aceh sejak dulu,
sesuai dengan perkembangan zaman aturan yang menjadi kebiasaan yang didasari
oleh agama telah dilegalkan oleh pemerintahan setempat sesuai kesepakatan yang
telah disepakati. Dan aturan ini menjadi titik balik dalam berkehidupan
bermasyarakat di Aceh.
Sejak zaman kesultanan abad ke-17, Nanggroe Aceh telah menjadikan
syari’at Islam sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk
masyarakatnya. Undang-undang itu disusun oleh ulama atas perintah atau kerja
sama dengan umara, yakni penguasa atau sultan. Lahirlah karya-karya besar
berupa kitab-kitab yang menjadi rujukan para hakim dan semua aparat penegak
hukum di Aceh pada waktu itu.15
Hal ini dapat diartikan adalah sebuah dasar
untuk menjelaskan bahwa dalam perjalanan ke Islaman di dalam masyarakat Aceh
sangat tergambar dalam sebuah syari’at Islamnya pada saat itu dan masih kental
hingga sekarang.
Adanya sinkronisasi hukum adat dan hukum Islam yang berada di tanah
serambi mekkah di buat oleh para ulama, umara, yakni penguasa daerah atau
sultan. Yang menjadikan karya-karya mereka menjadi pedoman untuk mengakkan
ke adilan di Aceh hingga saat ini dan banyak pula terjadi perubahan-perubahan
15
Rusjdi Ali Muhammad, “Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”, Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003).h.136.
45
sesuai perkembangan zaman dan waktu, dan yang memutuskan atau yang
menegakkan hukum ini adalah mahkamah syar’iyah dan diatur dalam qanun.
Pengertian qanun , dalam pasal 1 angka 8 dinyatakan “Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darusalam adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan
Undang-Undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus”
Dasarnya Qanun itu meliputi hukum adat (Syari’at) yang menjadikan
patokan sebuah hukum yang ada di masyarakat Aceh hingga saat ini. Maka dari
itu setelah pemerintahan Republik Indonesia yang telah memberikan pengakuan
daerah khusus kepada Aceh dengan melegalkan hukum adatnya (Syariat) itu
sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, qanun jinayat di masyarakat Aceh telah diatur
sebagai tata aturan hukum daerah sebagai aturan yang melekat bagi masyrakat
Aceh yang beragama Islam untuk dipatuhi dan dijalankan dengan semestinya.
Menjalankan aturan qanun khalwat, Pemerintah Daerah Aceh membuat
sebuah aturan, yaitu Qanun No. 14 Tahun 2003 untuk menjalankan roda aturan
hukum bagi masyarakatnya dalam bidang pradilan khusus yaitu Mahkamah
Syariah. Sedangkan untuk melaksanakan proses hukum jinayat di masyarakat
Aceh, Makamah Syari’ah mempunyai kewenangan dalam memproses jarimah
khalwat yang sesuai dalam aturan Qanun No. 14 Th 2003 pada pasal 3 yaitu:
a. Menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
46
b. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
yang merusak kehormatan;
c. Mencegah anggota masyarakat sendiri mungkin dari melakukan perbuatan
yang mengarah kepada zina;
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas
terjadinya perbuatan khalwat/mesum;
e. Menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
Pasal ini qanun jinayat (Pidana Islam) sebagai tolak ukur dalam
menjalankan sebuah syari’at Islam di wilayah pemerintahan daerah Aceh, utnuk
mengatur dan menghukum siapa saja yang beragama Islam yang melanggarnya.
2. Pembentukkan Qanun Jarimah
Tugas dan wewenang sebuah lembaga pemerintahan daerah. Aceh di
dalam hal ini, untuk membuat suatu rancangan peraturan daerah (qanun) diatur di
dalam peraturan perundang-undangan yaitu undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 tepatnya pada pasal 42 ayat (1) dijelaskan bahwa, rancangan qanun diajukan
oleh Gubernur/DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) atau setingkat di bawah
Bupati/Walikota dan DPRK (dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten) dan
juga menetapkan qanun yang sebelumnya telah mendapat persetujuan bersama
antara Gubernur dan DPRA atau Bupati/Walikota dan DPRK.
Ini sesuai dengan aturan perundang-undangan yang diatur di dalam
undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 pada pasal 75 ayat (1) yaitu “Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama
Gubernur.” Sedangkan tingkat di bawahnya diatur pada pasal 80.
47
3. Pelaksanaan Hukum Qanun Jarimah
Qanun jarimah yang telah diatur di dalam qanun No. 14 Tahun 2003, yakni
pada pasal 26 (1) di dalam melaksanakan uqubat cambuk dilaksanakan petugas
yang ditunjuk oleh jaksa penuntut. Sedangkan pada pasal 27 ayat (1) dijelaskan
bahwa pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim dan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan di dalam penundaan hukuman
uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari kepala kejaksaan
apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat
keterangan dokter yang berwenang. Ini sesuai dgan pasal 27 ayat (2).
Proses pelaksanaan hukuman, diatur pada pasal 28, yakni ayat (1) uqubat
cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan
dihadiri jaksa penuntut umum (JPU) dan dokter yang ditunjuk. Ayat (2)
pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0,7 cm dan 1,00
cm, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau tidak dibelah.
Ayat (3) pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka,leher,
dada dan kemaluan. Pada pasal (5) terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi
berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup
aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. Dan
pada ayat (6) pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60
(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Adanya landasan qanun untuk membuat aturan hukum bertujuan untuk
menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt, dan menciptakan Aceh
48
damai tentram dan aman, memberikan pembelajaran kepada seluruh rakyat Aceh
dan memberikan perlindungan hak azazi manusia dalam konsep Islam.
Adapun fungsi qanun antara lain sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas yang oleh undang-
undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk
mengaturnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturann
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang.16
4. Wilayat al-Hisbah
Pelaksanaaan qanun di dalam masyarakat dibentuklah persiapan badan
yang berwenang mengontrol dan mengawasi (Wilayat al-Hisbah) tugas lembaga
ini adalah menegakkan amar makruf apabila jelas ditinggalkan dan mencegah dari
kemungkaran apabila jelas jelas dilakukan, kewenangan lembaga ini meliputi
dengan ketertiban umum, kesasusilaan, dan sebagian tindak pidana ringan yang
menghendaki penyelesaian segera. Tujuan lembaga ini adalah untuk menjaga
ketertiban umum serta memelihara keutamaan moral yang ada dalam masyarakat
Aceh.17
Lembaga ini sangat eklusif pembentukan wilayat al-hisbah dasarnya
16
Abubakar,”Strategi dan Hambatan Penerapan Qanun Khalwat dalam Pencegahan
Prilaku Khalwat Remaja Kota Banda Aceh”(.Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Volume 9 Nomor 2
maret 2011).hal 3. 17
Rusdi Ali Muhammad “Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh, Problem Solusi dan
Inplementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”(Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003).h.136.
49
yakni pada ayat 1 pasal 20 perda ini, dimana dinyatakan bahwa pemda wajib
membentuk badan yang berwenang mengontrol dan mengawasi.
D. Kedudukan Qanun di Indonesia
Legislasi Syariat Islam di Aceh pasca pemberlakuan UUPA. Dalam
lingkup kecil, persoalan syariat Islam di Aceh barangkali hanyalah perumusan
hukum syariat Islam dalam qanun serta penyesuaiannya dengan peraturan
perundang-undangan nasional. Namun dalam spektrum yang lebih luas, realitas
Indonesia sebagai sebuah negarabangsa dengan sistem demokrasi dan hukum
sekuler yang diadopasinya menjadi sebuah pertaruhan: dapatkah hukum Islam
yang memiliki nilai dan norma tersendiri itu (khususnya di bidang jinayat/pidana)
diinkorporasikan ke dalam peraturan qanun serta menyesuaikannya dengan aturan
hukum nasional dengan lain kata, kewenangan dan otonomi lebih luas bagi Aceh
untuk menyusun qanun jinayat berlandaskan syariat Islam akan memberi jawaban
tersendiri terhadap persoalan klasik tentang pergumulan hukum sekuler dan
hukum Islam dalam undang-undang sebagai bagian dari realitas pluralisme hukum
yang ada di Indonesia.18
Pasal 241 UUPA menyebutkan bahwa "qanun mengenai jinayat
dikecualikan dari aturan umum qanun yang dapat memuat ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) serta dapat memuat ancaman pidana atau
denda (selain kurungan dan denda uang) asalkan sesuai dengan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain". Penegasan kesesuaian materi qanun dengan
18
Husni Mubarrak A. Latief,”Disonasi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi
Hukum Indonesia: Aceh Sebagai Studi Kasus” hal,2 dan 3.
50
peraturan perundang-undang lain di atasnya menekankan bahwa sekalipun diberi
otonomi luas dibidang hukum dengan menghormati asas realitas pluralisme
hukum di Indonesia, namun sejatinya bangunan hukum syariat Islam di Aceh
mestilah dalam koridor jurisdiksi terkawal: harus "sesuai" dan "konsisten" dengan
aturan hukum Nasional.19
Kaitannya dengan pemberian otonomi daerah khusus kepada NAD,
pemerintah pusat telah membuat berbagai paket ragulasi antara lain UU No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Pemberlakuan UU tersebut disambut dengan gembira oleh masyarakat
Aceh sehingga lahirlah berbagai Peraturan Daerah (Perda) seperti Perda No. 3
Tahun 2000 tentang Mejelis Permusyawaratan Ulama, Perda No. 5 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari'at Islam dan Perda No. 7 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Untuk mempertegas posisi Provinsi Aceh
sebagai daerah istimewa dengan corak khas Islam, Pemerintah Pusat kemudian
mengeluarkan UU No. 18 tahun 2001 Tentang Provinsi Nangroe Aceh Darusalam
yang mengatur lebih detail persoalan Mahkamah Syar'iyah, Qanun, lambang
daerah, zakat sebagai pemasukan daerah dan masalah kepemimpinan adat.20
Sesuai dengan pasal 7 UU NO. 12 tahun 2011 tentang Hierarki perundang
undangan yakni :
(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
19
Husni Mubarrak A. Latief,”Disonasi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi
Hukum Indonesia: Aceh sebagai Studi Kasusu” hal,2 dan 3. 20
Ridwan “Positivisasi Hukum Pidana Islam (Analisis atas Qanun No:14/2003 Tentang
Khalwat/Mesum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) Purwokerto.h.3
51
b. Ketetapan majelis permusyarawatan rakyat;
c. Undang-undang peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
d. Peraturan pemerintah;
e. Peraturan presiden;
f. Peraturan daerah provinsi; dan
g. Peraturan daerah kabupaten/kota.
Secara legalitas Qanun di Aceh tidak bertentangan dengan peraturan
perundang undanga yang ada di Indonesia maka dari itu qanun (peraturan daerah)
bisa dan dapat ditegakkan bagi masyarakat yang tinggal dan berdomisili di
provinsi Aceh.
Secara yuridis formal, Negara Kesatuan Republik Indonesia membenarkan
suatu komunitas menjalankan hukum agamanya. Ini dapat dicermati dari
kandungan maka Pasal 29 UUD 1945 ayat (2) yang menyatakan bahwa negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayannnya itu. Menjamin
dalam pasal tersebut jelas bermakna pokok, artinya negara berkewajiban
melakukan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Ini merupakan pengakuan konstitusi
UUD 1945 terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
517 istimewa 9 Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan: “Pemerintahan Daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
52
Pengaturan Syariat Islam di Aceh didasarkan pada Undang-undang Nomor
44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UUPA). Dalam UU No. 44/1999 disebutkan, ada empat keistimewaan yang
diberikan kepada Aceh yaitu kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan,
dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Keistimewaan di bidang
kehidupan beragama, menurut undang-undang ini, diwujudkan dalam bentuk
pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat (Pasal 4 ayat 1).
Syariat Islam dimaksud adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan (Pasal 1 angka 10).21
21
Ali “Kedudukan Syariat Islam Dalam Tata Negara Indonesia” (Fakultas Syariah dan
Hukum Uin Ar-Raniry Banda Aceh),H.4.
53
BAB IV
Analisis Putusan Nomor 0001/JN/2015/MS.Snb Tentang Khalwat dalam
Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif
A. Putusan Nomor 0001/JN/2015MS.Snb
1. Duduk Perkara
Bermula pada hari sabtu tanggal 21 juni 2014 sekira pukul 05.04 wib, para
terdakwa saling SMSan berdua kemudian pada akhirnya Ubek menelpon lantaran
tidak dibalas smsnya karena Monita tertidur dan mereka saling bicara lewat telpon
soal kegiatan dan kenapa hp ngak aktif karena ketiduran pada hari itu sudah
jelaslah masalahnya.
Hari minggunya 22 juni 2014 sekira pukul 02.00 wib, Ubek pergi ke
rumah Monita di Desa Air Dingin Kec. Simeulue Timur Kab. Simeulue,
kemudian 50 meter mendekati rumah Monita, Ubek meletakkan sepeda motornya
di pinggir jalan, selanjutnya Ubek menelpon Monita dan mengatakan “matikan
terus lampunya, abang sudah disini” kemudian lampu rumah bagian dapur
dimatikan oleh Monita dan lansung mengirimkan SMS supaya kasih tau hp nya
digetarkan saja, kemudian Ubek mulai masuk ke rumah Monita melalui pintu
belakang/dapur, kemudian mereka keduanya melakukan perbuatan bersunyi-
sunyian serta melakukan persetubuhan layaknya suami istri di kamar tidur rumah
Monita di Desa Air Dingin, mereka tidak ada dalam hubungan perkawinan yang
sah.
54
Perbuatan yang sama dilakukan juga pada pertengahan bulan april 2014
sekira pukul 18.00 dengan cara awalnya Ubek menghubungi saksi untuk
mengantarkanya ke rumah Monita di Desa Air Dingin dengan berboncengan
sepeda motor kira-kira 50 meter sebelum rumah Ubek langsung menelpon Monita
dan langsung menanyakan kenapa lampu masih nyala? berselang kemudian,
lampu rumah bagian dapur mati, di saat itulah saksi melihat Ubek diam-diam
masuk ke dalam rumah Monita melalui pintu belakang/dapur sebelum saksi itu
pulang, ke mudian Ubek dan Monita melakukan perbuatan bersunyi-sunyi serta
melakukan persetubuhan layaknya suami istri, setelah melakukan perbuatannya,
sekira pukul 22.00 wib, Ubek menelpon SAKSI dengan mengatakan “dimana?
Jemput saya? Kemudian saksi menjawab “oke” beberapa menit kemudian saksi
datang menjemput Ubek.
Perkara ini Jaksa Penuntut Umum memohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini agar menjatuhkan putusan terhadap diri
terdakwa I dan terdakwa II yang amarnya sebagai berikut :
Menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II bersalah melakukan tindak pidana
khalwat (mesum) sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan terdakwa II masing-masing 9
kali „uqubat cambuk;
Menetapkan barang bukti berupa :
1 (satu) buah handpone merk Nokia tipe RM0863 warna putih orange nomor
Imei: 353700/591061/4 dan 1 (satu) buah kartu sim GSM merek Telkomsel
simpati nomor 081377267681 ;
55
1 (satu) buah handpone merk Tom 14G Eztreem nomor Imei: 1: 353700/591061/4
: 358064693566592 warna putih, dirampas, untuk dimusnahkan ;
Membebankan kepada para tedakwa untuk membayar biaya perkara masing-
masing sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
2. Mengadili
a. Menyatakan terdakwa I alias ubek bin alm. Munir dan terdakwa II Monita
binti alm. Abdul Rrahman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana khalwat (mesum);
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwah I dan terdakwa II masing-masing
9 kali „uqubat cambuk;
c. Menetapkan barang bukti berupa:
1 (satu) buah handpone merk Nokia tipe RM0863 warna putih
orange nomor Imei: 353700/591061/4 dan 1 (satu) buah kartu sim
GSM merek Telkomsel simpati nomor 081377267681;
1 (satu) buah handpone merk Tom 14G Eztreem nomor Imei:
1:353700/591061/4 : 358064693566592 warna putih, dirampas
untuk dimusnahkan;
d. Membebankan kepada oara terdakwa untuk membayar biaya perkara
masing-masing sejumlah Rp. 2000,- (dua ribu rupiah);
3. Dasar Hukum Pemidanaan yang Digunakan Hakim dalam
Menetapkan Khalwat/Mesum
Perkara ini para terdakwa di persidangan telah datang menghadap sendiri
tanpa didampingi oleh Advokad/Penasehat hukumnya, dan mereka telah didakwa
56
oleh Penuntut Umum dengan dakwaan nomor register perkara: PDM-
06/EPP/SNB/03/2015 tertanggal 12 Maret 2015, yang pada pokoknya adalah
sebagai berikut :
Bahwa mereka terdakwa I dan terdakwa II pada hari minggu tanggal 22 juni
2014 sekira pukul 02.00 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan
juni tahun 2014 bertempat di rumah terdakwa II di Desa Air Dingin Kec.
Simeulue Timur Kab.Simeulue atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang
masih termasuk dalam daerah hukum Mahkamah Syar‟iyah Sinabang yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah melakukan khalwat atau
mesum, perbuatan tersebut dilakukan mereke dengan cara yang telah disebutkan
dalam duduk perkara di atas:
Adapun perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana pasal 4 Jo pasal 22
ayat (1) Qanun Pemerintah Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat/mesum
atau pasal 5 Jo pasal 22 ayat (2) Qanun Pemerintah Aceh Nomor 14 Tahun 2003
tentang khalwat/mesum
Perkara ini dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa para terdakwa telah
mengerti dan tidak mengajukan Exceptie;
Untuk memperkuat dalil-dalil dakwaan Jaksa Penuntut Umum di
persidangan mengajukan 1 (satu) orang saksi dan menambah 3 (tiga) orang saksi
yang dibacakan di depan persidangan, dan juga para terdakwa membenarkan
keterangan 4 (empat) saksi tersebut.
Persidangan terdakwa I dan II memberikan keterangan bahwa mereka
mengakui telah melakukan perbuatan khalwat/mesum apa yang mereka lakukan
57
sudah sampai ketahap persetubuhan/perzinaan dan mereka sangat menyesal atas
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan
memohon keringanan hukuman.
Sudah diperlihatkan juga kepada para terdakwa barang bukti berupa 2
(dua) buah handpone dan terdakwa membenarkan barang bukti yang diajukan
Jaksa Penuntut Umum;
Sesuai dari keterangan saksi dan para terdakwa didapati fakta sebagai
berikut: Bahwa para terdakwa mengakui telah melakukan perbuatan
kalwat/mesum, Masing-masing terdakwa sudah memiliki pasangan yang sah, Dan
para terdakwa adalah sama-sama beragama Islam dan telah mukallaf serta
perbuatan tersebut adalah dilarang (haram), Dalam wilayah Profinsi Aceh telah
diberlakukan Syariat Islam dan khalwat (mesum) tersebut dilarang menurut
hukum.
Keterangan para saksi-saksi dan pengakuan para terdakwa tersebut
didapati fakta-fakta yuridis yakni: Bahwa para terdakwa telah melanggar Qanun
nomor 14 Tahun 2003 pasal 4 dan 5 jo pasal 22 ayat (1 dan 2) tentang khalwat
(mesum).
Pasal tersebut Khalwat/mesum hukumnya haram; haram adalah suatu
pekerjaan yang dilarang untuk mengerjakannya. Tindakan ini diberi
hukuman/sanksi yang meniggalkannya diberi pahala/ganjaran.
Kasus ini para terdakwa beragama Islam serta telah mukallaf maka
keduanya telah dianggap telah mempelajari dan mengetahui hukum taklifi dan
ditambah lagi mereka keduanya sudah mempunyai perkawinan yang sah masing-
58
masing dan mengakui telah melakukan khalwat/mesum. Demikian unsur telah
terbukti secara sah menurut hukum.
Unsur-unsur setiap orang Islam yang berada di Provinsi Aceh merupakan
subjek hukum yang telah melakukan perbuatan terlarang. Khalwat (mesum)
adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.
Untuk menentukan takaran hukuman yang diberikan Majlis Hakim kepada
para terdakwa, Hakim tentu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan terdakwa yaitu sebagai berikut :
Hal-hal yang memberatkan, bahwa perbuatan para terdakwa tidak
mendukung berlakunya Syariat Islam Aceh, Para terdakwa masing-masing sudah
menikah.
Hal-hal yang meringankan, bahwa para terdakwa mengakui perbuatannya
bahwa para terdakwa sangat menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya tersebut dalam persidangan para terdakwa korperatif dan
berkelakuan baik para terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
Jaksa Penuntut Umum menuntutut para terdakwa dengan hukuman berupa
uqubat cambuk sebanyak 9 (sembilan) kali di depan umum, ini merupakan yang
menentukan keputusan Hakim dalam menentukan hukuman seperti tersebut dalam
amar putusan.
Persidangan berlansung tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar
pada diri terdakwa sehingga para terdakwa harus mempertanggungkan
59
perbuatannya dan barang bukti ditentukan dalam amar putusan ini; mengingat
firman Allah dalam QS. Al-Isra‟ ayat 32 tentang larangan khalwat/mesum, yaitu ;
artinya:” Janganlah kamu dekati zina. Karena sesungguhnya perbuatan
zina itu adlah perbuatan keji dan jalan yang sangat buruk”,
Kasus ini juga ada Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
bukhari dari Ibnu Abbas, yang berbunyi:
Artinya:”jangan sekali-sekali seorang laki-laki bersunyi-sunyi dengan
seorang wanita, kecuali bersamanya serang laki-laki mahram”,
Para terdakwa telah dinyatakan terbukti bersalah dan harus dihukum, maka
sesuai dengan ketentuan pasal 222 ayat (1) KUHAP kepada para terdakwa
dibebankan membayar biaya perkara.
Berdasarkan semua pertimbangan di atas, kiranya sudah memenuhi rasa
keadilan masyarakat dan undang-undang apabila kepada para terdakwa dijatuhi
hukuman cambuk sebagai upaya pre-emtif, preventif dan edukatif yang amarnya
sebagai berikut ini.
Memperhatikan pasal 49 huruf (c) Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun
2002 tentang Peradilan Syariat Islam serta segala peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku dan berhubungan dengan perkara ini khususnya pasal 4
dan 5 jo Pasal 22 ayat (1 dan 2) Qanun Provinsi Aceh Nomor 14 tahun 2003
tentang khalwat (mesum).
60
B. Bentuk Hukuman Jarimah Khalwat dalam Qanun di Aceh.
Qanun jarimah khalwat di Aceh diatur di dalam Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Di dalam
qanun tersebut diatur beberapa pasal yang mengenai hukum material untuk
mengatur masyrakat di provinsi Aceh. Di antaranya, yaitu: pada pasal 1 (20)
dituliskan khalwat/mesum ialah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang
mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan
perkawinan, selanjutnya di dalam pasal 4 dan 5 dijelaskan bahwa tindakan atau
perbuatan khalwat hukumnya haram dan dilarang untuk melakukannya. Dan
apabila mukallaf yang berada di domisili Aceh melakukan perbuatan khalwat akan
diancam dengan ugubat ta‟zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali,
paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau paling banyak Rp. 10.000,000,- (sepuluh juta
rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,00- yang terdapat pada pasal 22. Selanjutnya
di dalam proses melaksanakan hukuman uqubat khalwat itu sendiri, dilakukan
oleh petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum (pasal 26 ayat 1), yang
dilakukakn di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri
Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk (pasal 28 ayat 1), pencambukan
dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0,7 cm dan 1,00 cm dengan
panjang 1 meter dan tidak mempunyai ujung ganda/tidak dibelah (pasal ayat 2).
Pelaksanaan cambuk terhadap terpidana dilakukan pada bagian tubuh kecuali
kepala, muka, leher, dada dan kemaluan (pasal 28 ayat 3) dan pada terpidana laki-
laki dilakukan pada posisi berdiri dan sedangkan bagi perempuan posisi duduk
(pasal 28 ayat 5). Sedangkan apabila terdakwa perempuan yang bersangkutan
61
keadaan hamil dilakukan hukuman cambuk setelah 60 hari setelah yang
bersangkutan melairkan (pasal 28 ayat 6).
C. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
0001/JN/2015 MS.Snb tentang Jarimah Khalwat.
1. Ditinjau dari Hukum Islam Putusan Nomor 0001/JN/2015 MS.SNB
tentang Jarimah Khalwat
Islam merupakan agama yang besar di dunia, agama Islam mempunyai
pengaruh terhadap keberlangsungan hidup pada masyarakat yang menganutnya
mengajarkan kebaikan mengajarkan tentang hidup yang lebih baik, baik itu
hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan manusia lainnya dan hubungan
manusia dengan alam sekitar, itu sudah diatur dalam kitab Al-Qur‟an dan hadits.
Islam, nilai-nilai agama terwujud dalam bentuk ketakwaan kepada Allah
SWT, yang dibarengi dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Pengertian takwa terkadang pula pengandalian manusia akan
dorongan dan emosinya dan penguasaan atas kecendrungan dan hawa nafsunya
yang melampaui batas yang diperkenankan agama Islam. Selain dalam pengertian
takwa juga terkandung perintah kepada manusia agar dalam tindakannya,
manusia berlaku benar, adil, memegang amanat, dapat dipercaya, bergaul baik
dengan orang lain dan menghindari permusuhan dan kedzaliman. Serta hendaknya
62
melaksanakan segala pekerjaan yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-
baiknya dengan selalu menghadap Allah SWT, memohon ridho dan karunia-Nya.1
Q.s. An-nur 30-31
Artinya; “katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih
suci bagi mereka. Sungguh. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
(30): dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan
hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya dan janganlah
menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba
sehaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.dan bertobatlah
kamu kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu
beruntung.”.(31). (Q.s. An-Nur 30-31)
Para ulama telah sepakat bahwa pelaku zina dikenai hukuman had tapi
sebagian ulama berbeda pendapat atas pelaksanaan hukumannya adapun
perbedaan pendapat yaitu dimana dia melakukan perbuatan keji tersebut disanalah
1 Nur Rohim Yunus, “Retorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia” Jurrisprudence
Press 2012, H.128.
63
dihukum seorang laki-laki yang berbuat zina maka dihukum oleh laki-laki lain
yang bukan pembantunya, dan tidak boleh keluargannya.
Ulama berbeda pendapat tentang apakah orang yang dikenakan hukuman
rajam perlu dijilid terlebih dahulu atau tidak, jumhur ulama berpendapat tidak ada
hukuman jilid bagi orang yang dikenakan hukum rajam, pendapat yang kedua
oleh Hasan Basri, Ishak, Ahmad dan Daud bahwa pezina muhsan dijilid terlebih
dahulu dan kemudian dirajam. Ulama sepakat bahwa zina muhsan harus dirajam
tetapi mereka berbeda pendapat syarat-syarat yang menjadi keharusan
diputuskannya rajam, Imam Malik berpendapat syarat diputuskannya rajam
haruslah baligh, Islam, merdeka, pernah melakukan hubungan dalam ikatan nikah
yang sah dan watho‟ itu dilakukan dalam keadaan boleh untuk mencampuri atau
melakukan hubungan dalam artian bukan pada waktu haid. Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik juga berpendapat seperti demikian kemerdekaan juga menjadi
syarat dalam hal ini berbeda dengan Imam Syafii yang tidak meharuskan
kemerdekaan,2 sebagai penentu dilaksanakan hukum rajam dengan dalil hadits
Nabi SAW:
Artinya; “Bahwa Nabi pernah merajam perempuan yahudi dan laki-laki yahudi
yang kedua-duanya berzina sewaktu dihadapkan kepadanya perkara keduanya”.
Firman Allah SWT:
Artinya; “Jika enggkau memutuskan hukum maka putuskanlah secara adil”.3
2 Ibnu rusdi, “Bidayatul Mujtahid” juz pertama, penerbit karyata putra , Semarang.
H324,325, dan 326. 3 Ibnu rusdi, “Bidayatul Mujtahid” juz pertama, penerbit karyata putra , Semarang.
H324,325, dan 326.
64
Kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Syar‟iyah Sinabang tentang
Jarimah Khalwat sudah termasuk kepada zina adapun kategori zinanya adalah
zina muhsan karena yang telah melakukan perbuatan keji di atas pernikahan yang
sah yang telah diatur dalam hukum Islam perbuatan ini termasuk dosa besar.
Kemudian dalam putusan pengadilan ini dalam pandangan Islam sudah
masuk kedalam kategori zina muhsan yaitu zina yang dilakukan dia atas
pernikahan yang sah, adapun syarat-syaratnya telah melengkapi akan hal tersebut
yaitu balig, berakal, dan merdeka, maka dalam pandangan agama Islam adalah
hukuman yang diberikan kepada para terdakwa adalah dirajam (dilempari) dengan
batu berukuran sedang sampai mati.
Hadist Nabi membenarkan adanya hukuman rajam bagi sipenzina muhsan
yaitu;
Artinya; “ Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khatab
berada di atas mimbar Rasulullah SAW (dan berpidato),” sesungguhnya Allah
mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran dan menurunkan Al-
Quran. Di antara ayat yang diturunkan itu ada ayat tentang rajam. Kami
membacanya, mempelajarinya dan memahaminya; lalu beliau melaksanakan
hukuman rajam dan kami juga melaksanakannya. Aku takut jika telah berlalu
masa yang panjang, ada orang berkata, „kami tidak menemukan rajam di dalam
Kitabullah, „lalu mereka meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah.
Sesungguhnya hukuman rajam itu benar di dalam Kitabullah dan diberlakukan
kepada pelaku yang telah beristri atau bersuami dari setiap laki-laki dan
65
perempuan; apabila ada bukti yang kuat, terjadi kehamilan atau pelaku
mengaku” (HR. Muslim)4
Artinya; “dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya. Ia mengatakan
bahwa sesungguhnya Ma‟iz bin Malik Al-Aslami mendatangi Rasulullah SAW
seraya berkata‟Ya Rasulullah, sesunggunya aku telah kembali mendatangi beliau
dan berkata berbuat zalim atas diriku sendiri. Aku telah berzina dan aku ingin
agar engkau membersihkanku. „Rasulullah menolaknya. Akantetapi, keesokan
harinya. Ma‟iz kembali mendatangi beliau dan berkata, “wahai Rasulullah,
sungguh aku telah berzina.” Untuk kedua kalinya beliau menolak
permohonannya. Rasulullah kemudian mengutus seseorang kepada orang-orang
yang mengenal Ma‟iz. Utusan itu bertanya, “apakah kalian ketahui akal Ma‟iz
bermasalah yang kalian sendiri tidak dapat menerimanya?” mereka menjawab,
“kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi akal senormal dan sewaras kami,
tentu yang menurut kami ketahui.” Semetara itu, Ma‟iz mendatangi Nabi untuk
yang ketiga kalinya dan Nabi pun mengutus utusan lagi untuk menanyakan
kondisi dan kesehatan psikisnya. Ternyata mereka memberitahu bahwa akalnya
tidak bermasalah. Selanjutnya ketika Ma‟iz mendatangi Nabi untuk keempat
kalinya, dibuatkan lubang untuk mengubur Ma‟iz kemudian diperintahkan untuk
merajamnya. (HR. Muslim).5
Islam memberikan hukuman terhadap segala tindakan kejahatan memiliki
maksud dan tujuan yang sangat jelas. Seperti halnya dalam masalah zina, salah
satu tujuan Islam dalam memberikan hukuman rajam kepada orang yang
melakukan zinah muhsan dan hukuman cambuk sebanyak 100 kali serta
diasingkan dari masyarakat setempat bagi pelaku zinah ghairu muhsan adalah
untuk menjaga keturunan (Hifdzu Nasb) sebagaimana yang dimaksud dalam
4 Imam Al-Mundziri “Shahih Muslim Ringkasan” , (cetakan kedua penerbit Jabal,
Bandung 2013) h.402 5 Nurul Irfan dan Masyrofah “Fiqih Jinayah“ (AMZAH Jakarta 2010)H.28
66
maqosid al-Syariah serta menjaga ajaran-ajaran agama yang bersumber dari al-
Qur‟an melalui utusannya Muhammad SAW yaitu (Hifdzu Diin).
Putusan Mahkamah Syar‟iyah Sinabang tentang jarimah khalwat, yang
memutuskan hukuman bagi pelaku zinah muhsan masing-masing Sembilan kali
„uqubat cambuk merupakan suatu upaya dalam melaksanakan ajaran syariah
tersebut di atas. Namun dalam kaitannya dengan hukum Islam mengenai hukuman
bagi pelaku zina muhsan seharusnya masing-masing mendapat hukuman rajam
(dilempari) dengan batu berukuran sedang sampai mati.6
Upaya pemerintah Provinsi Aceh dalam menegakan syariat Islam
merupakan sesuatu yang seharusnya mendapat apresiasi tinggi oleh seluruh
masyarakat terkhusus yang beragama Islam. Dalam upaya tersebut pihak
pemerintah melalui mahkamah syar‟iyah berupaya untuk memberikan efek jerah
kepada pelaku zina dengan memberikan hukuman masing-masing sembilan kali
„uqubah cambuk dihadapan khalayak ramai. Maksud yang hendak dicapai adalah
memberikan rasa malu terhadap pelaku atas perbuatan yang telah dilakukannya
serta memberi peringatan bagi individu lainnya akan hukuman yang akan didapati
bila melakukan perbuatan serupa.
Hukuman yang dilakukan di depan publik merupakan hukuman yang
sangat berat yang didapati oleh setiap pelaku kejahatan. Karena, masyarakat dapat
mengetahui dengan jelas segala perbuatan pelaku dan dapat menjadi perbincangan
publik. Kadar yang diberikan oleh Mahkamah Syar‟iyah Sinabang dengan
memberikan hukuman masing-masing sembilan kali „uqubah cambuk sangatlah
6 Muhammad bin Qosim Al-Ghazy “Fat-hul Qorib” jilid 2 Al Hidayah Surabaya. H.148
dan149
67
jauh dari yang telah ditetapkan oleh Islam yaitu dirajam (dilempari) dengan batu
yang berukuran sedang sampai mati.
Hukuman yang dijatuhkan Hakim kepada para terdakwa ini termasuk
kedalam kategori Ta‟zir yakni sanksi-sanksi hukum yang tidak disebutkan oleh
Syari‟ (Allah dan Rasulullah) tentang dan jenis ukurannya. Syari‟ menyerahkan
penentuan ukuran kepada ulil amri atau hakim yang mampu menggali hukum,
Ta‟azir dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran7
2. Ditinjau dari Hukum Positif Putusan Nomor 0001/JN/2015. MS.Snb.
tentang Jarimah Khalwat.
Usaha untuk penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang
(hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian utuh dari usaha
perlindungan masyarakat dan sekaligus mencangkup perlindungan masyarakat.8
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Objek dari ilmu ini adalah aturan hukum pidana yang berlaku disuatu negara
seperti hukum pidana Indonesia. Tujuan dari ilmu pengetahuan ini adalah
menyelidiki pengertian objek dari hukum pidana positif.9
Putusan Mahkamah Syar‟iyah Sinabang tentang khalwat kalau ditinjau dari
hukum pidana Indonesia telah melanggar pasal 284 yakni:
(1) Diancam deng an pidana penjara paling lama sembilan bulan:
7 Nurul Irfan dan Masyrofah “Fiqih Jinayah“ (AMZAH Jakarta 2010)H.139 8 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 28 9 Mokhammad Najih dan Soimin “Pengantar Hukum Indonesia”sejarah,konsep tata
hukum,dan politik hukum Indonesia, cet pertama, Setara Pres Malang, Jatim 2014. H.160.
68
1a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak10
(over
spel),padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berelaku baginya.
2a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
Pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar, dan bila mana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan
ranjang karena alasan curiga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak belaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengajuan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal b27 BW, pengaduan tidak diindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan
yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.11
KUHP pasal 284 dijelaskan bahwasanya setiap pelaku khalwat dituntut
dengan hukuman penjara atau kurungan paling lama 9 sembilan, ini berlaku bagi
10
Kamus besar KBBI gendak adalah perempuan yg disukai (diajak berzina); perempuan
simpanan 11
KUHP dan KUHAP, H.94
69
orang yang melakukan perkawinan yang sah tetapi dia melakukan khalwat dengan
orang lain tanpa perkawinan yang sah. Hal ini berlaku jika salah satu dari
sepasang suami istri ini mengadukan kepada wilayah hisbah atau Polisi Syariah.12
Tetapi hal ini tidak berlaku jika tidak ada yang mengadukan karena hal ini atau
tindak pidana ini merupakan delik pengaduan yang dijelaskan dalam pasal 72, 73,
dan 75,13
Sebagai berikut :
Pasal 72
1. Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas
pengaduan, dan orang itu umumnya belum cukup enam belas tahun dan lagi
belum dewasa, atau selam ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan
oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara
perdata yang berhak mengadu.
2. Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka
penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu
pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu
pengawas; juga mungkin atas pengaduan isterinya atau seorang keluarga
sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang
sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
Pasal 73
Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang
ditentukan dalam pasal berikut maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntut
12
Rusdi Ali Muhammad “Revitalisasi Syari‟at Islam Di Aceh, Problem Solusi dan
Inplementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”(Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2003).h.136. 13
KUHP dan KUHAP, H. 37 dan 38.
70
dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (isterinya) yang
masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki
penentutan.
Pasal 75
Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu
tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Pasal tersebut dijelaskan bahwasanya tidak berlaku suatu tindak pidana
khalwat jika tidak ada yang mengadukan kepada pihak yang berwajib,
dikarenakan hal ini termasuk tindak pidana pengaduan. Dalam BW sangat jelas
bahwasanya tidak bisa ditindak lanjuti suatu perbuatan jika tidak ada yang
mengadukan suatu perbuatan tersebut, jika perbuatan khalwat dilakukan oleh
orang dibawa umur 16, maka pengaduan dapat dilakukan oleh walinya, karena
disebabkan belum cakap hukum. Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang harus memenuhi unsur-unsur yang dijelaskan oleh hukum positif,
berdasarkan KUHP ataupun Undang-undang yang mengatur hukum itu sendiri.
Khalwat yang dilakukan oleh terdakwa sudah terrmasuk atau tergolong kepada
mesum, dikarenakan kedua tersengka telah melakukan persetubuhan.
Hukum positif menegaskan bahwasanya setiap perbuatan mesum yang
dilakukan oleh dua orang yang telah menikah, hal ini tergolong kepada perbuatan
tindak pidana yang harus dihukum. Dalam KUHP dijelaskan bahwasanya setiap
tindak pidana yang dilakukannya diancam dengan hukum kurungan selama 9
bulan kurungan penjara.
71
Hukum positif juga dijelaskan bahwasanya, suatu perbuatan yang
digolongkan ke perbuatan mesum jika, perbuatan itu dilakukan oleh sepasang
suami istri yang telah melakukan ikatan pernikahan, jika perbuatan itu dilakukan
oleh orang yang belum nikah hal ini belum tergolong kepada zina atau mesum dan
mereka tidak terkena hukum karena tidak ada hukum yang mengatur.
Suatu perbuatan bisa dihukum dikarenakan ada suatu legalitas hukum yang
kuat untuk memberi sanksi kepada terdakwa. Berdasarkan Putusan Mahkamah
Syariah Sinabang memutuskan suatu perbuatan khalwat disanksi dengan hukuman
cambuk dengan 9 (sembilan) kali cambuk. Hal ini merupakan hukum Syariah
yang ada di Aceh. Aceh merupakan daerah yang menerapkan hukuman Islam atau
Syariah walaupun hukumannya tidak sesuai dengan jumlah yang ditetapkan oleh
Islam, dikarenakan hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah Aceh merupakan
peraturan daerah Aceh.
Pemerintah aceh dalam menerapakan saknsi hukuman bagi pelaku khalwat
tetap merujuk kepada Islam atau landasan Syariah, tetapi jumlah atau kadarnya
tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan Islam. Aceh hanya melihat bentuk
hukuman bukan mengambil secara utuh sanksi tersebut.
Khalwat dalam KUHP tergolong kepada zina atau mesum yang harus
diancam dengan hukuman yang telah ditentukan oleh KUHP yaitu hukuman
penjara atau kurungan.
72
D. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam Terhadap Putusan No 0001/ JN/2015. MS.Snb. tentang Jarimah
Khalwat.
Menganalisa dalam Putusan No 0001/JN/2015. Ms.Snb tentang jarimah
khalwat bagi pelaku zina muhsan tentu memiliki beberapa persaman dan
perbedaan. Untuk jelasnya penulis menguraikannya sebagi berikut:
Putusan No 0001/JN/2015. Ms.Snb
Jarimah Khalwat dalam Hukum Positif
Putusan No 0001/JN/2015. Ms.Snb
Jarimah Khalwat dalam Hukum Islam
Persamaan Perbedaan Persamaan Perbedaan
- Telah
melanggar
pasal pasal
yang telah
diatur.
- Diproses dan
diputuskan
melalui
Pengadilan
- Memberi efek
jerah kepada
pelaku zina.
- Dalam Hukum
Positif pelaku
zina bagi orang
yang telah
menikah
dikenai
hukuman
kurungan,
sedangan dalam
putusan tersebut
masing-masing
pelaku zina
mendapat
hukuman 9 kali
„uqubat cambuk
- Dalam hukum
positif pelaku
- Hukuman yang
diberikan
kepada pelaku
zina
dilaksanakan di
muka umum.
- Dalam rangka
melaksanakan
syariat Islam.
- Hukuman
yang diberikan
kepada pelaku
zina muhsan
adalah
dirajam
(dilempari)
dengan batu
sedang sampai
mati,
sedangkan
dalam putusan
hanya
mendapat
hukuman 9
kali „uqubat
cambuk bagi
73
zina ghairu
muhsan bisa
dikenai
hukuman
apabila ada
pihak yang
merasa
dirugikan
melapor.
sedangkan
dalam putusan
tersebut diatur
secara jelas.
masing-
masing pelaku
zina
- Dalam hukum
Islam
perbuatan zina
termasuk
dalam jarimah
hudud,
sedanagkan
dalam putusan
tersebut
tergolong
dalam jarimah
ta‟zir.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian yang telah penulis paparkan mengenai Analisis Putusan MS. Snb
tentang Jarimah Khalwat Dalam Pandangan Hukum Islâm dan Hukum Positif,
penulis menyimpulkan beberapa point penting yang menjadi inti dari pembahasan
skripsi ini.
1. Bentuk hukuman khalwat dalam qanun di Aceh adalah diancam dengan
ugubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah
3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000,000,- (sepuluh juta
rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,00- yang terdapat pada pasal 22.
2. Hukum positif memandang putusan pengadilan Nomor 0001/JN/2015 Snb.
Yang sesuai dengan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat, dalam
putusan pengadilan tersebut hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah
Khalwat (mesum) sesuai pasal 22 yaitu adalah sembilan (9) kali uquba’
cambuk terhadap masing-masing pelaku jarimah khalwat. Sedang dalam
ketentuan hukum positif perbuatan termasuk ke dalam tindak pidana asusila
yang mana dapat dihukum paling lama Sembilan (9) bulan kurungan
penjara. Ketentuan Sembilan kali uquba’ cambuk yang diberikan kepada
pelaku jarimah khalwat dalam putusan Pengadilan Syar’iyah Sinabang
diatur dalam qanun pasal 5 Jo pasal 22 ayat (2) Qanun pemerintahan Aceh
Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat/mesum, sedangkan yang terdapat
75
dalam hukum positif maka dikenai hukuman tindak pidana asusila yang
dihukum paling lama Sembilan bulan kurungan penjara, ketentuan ini telah
diatur dalam pasal 284 KUHP.
Sedangkan dalam Hukum Islam memandang putusan Pengadilan
Mahkamah Syar’iyah Nomor 0001/JN/2015. MS. Sinabang. Yang sesuai
dengan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat, dalam Putusan
pengadilan tersebut hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah
Khalwat (mesum) adalah sembilan (9) kali uquba’ cambuk terhadap
masing-masing pelaku jarimah khalwat. Sedangkan dalam hukum Islam
untuk menilai kasus dalam putusan tersebut dikategorikan kedalam zina
muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan masing-
masingnya telah mempunyai ikatan nikah yang sah dan dapat dihukum
rajam (dilempari) dengan batu yang sedang hingga mati.
3. Persamaan hukum positif dan putusan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah
Nomor 0001/JN/2015. MS. Sinabang tentang khalwat ialah telah melanggar
pasal-pasal yang telah diatur, diproses dan diputuskan melalui pengadilan
dan memberi efek jera kepada pelaku zina, adapun perbedaannya adalah
dalam hukum positif pelaku zina dikenai hukuman kurungan, kalau dalam
putusan tersebut masing-masing pelaku zina mendapat hukuman 9 kali
uqubat cambuk, dan dalam hukum pelaku zina ghairu muhsan harus adanya
laporan atau aduan dari pihak yang merasa dirugikan, sedangkan dalam
putusan tersebut diatur secara jelas.
76
Persamaan hukum Islam dan putusan Pengadilan Mahkamah Sya’iyah
Nomor 0001/JN/2015. MS. Sinabang tentang khalwat adalah Hukuman
yang diberikan kepada pelaku zina dilaksanakan di muka umum.
Perbedaanya adalah Hukuman yang diberikan kepada pelaku zina muhsan
adalah dirajam (dilempari) dengan batu berukuran sedang sampai mati,
dalam putusan tersebut hanya mendapatkan 9 kali uqubat cambuk bagi
masing masing pelaku zina, hal ini dalam Islam perbuatan zina termasuk
kedalam jarimah hudud, sedangkan dalam putusan tergolong jarimah ta’zir.
B. Saran-saran
Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu:
1. Mengenai permasalahan yang acap kali timbul dan menjadi perhatian umat
Islâm di seluruh Nusantara maupun dunia, kita sebagai umat Islâm harus
berhati-hati dalam pergaulan terutama kepada lawan jenis kita yang bukan
mahram kita, setiap tindakan baik dari segi perbuatan maupun dalam segi
perkataan. Apalagi dalam masalah etika atau perbuatan itu sangat berhati-
hati. Karena etika baik merupakan akhlak ketundukan kita kepada Tuhan
dan kepercayaan kita kepada Allah SWT. Jika kita tidak menjaga
pergaulan terutama ke lawan jenis yang bukan mahram dan melanggar
hukuman yang telah diatur maupun yang diturunkan oleh Allah maka kita
termasuk orang-orang yang merugi baik itu pada lingkungan maupun diri
sendiri karena hal ini termasuk kedalam dosa besar yang harus dibayarkan
atau dijalani.
77
2. Penelitian ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian,
diharapkan penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai Jarimah Khalwat dalam hukum positif dan hukum Islam dari
segi yang berbeda dan analisis yang berbeda. Permasalahan khalwat
seharusnya mendapat perhatian yang seharunya menjadi perhatian yang
serius dari aparat penegak hukum yang diatur dalam perundang-undangan
terkhusus jarimah khalwat ghoiru muhsan, sejauh ini permasalahan
tersebut belum mendapatkan perhatian yang serius.
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
\Abubakar,”Strategi dan Hambatan Penerapan Qanun Khalwat dalam
Pencegahan Prilaku Khalwat Remaja Kota Banda Aceh”(.Jurnal
Pendidikan Serambi Ilmu, Volume 9 Nomor 2 maret 2011.
Abubakar, Al-Yasa‟, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam
Provinsi Nanggore Aceh Darussalam, 2005.
Ad-Dimasyqi, Syaikh al –„Allamah Muhammad bin Abdurrahman, “Fiqih Empat
Mazhab” penerjemah; Abdul Zaki Alkaf, Bandung.
Al-Ghazy, Muhammad bin Qosim, “Fat-hul Qorib” jilid 2 Al Hidayah Surabaya.
Ali “Kedudukan Syariat Islam Dalam Tata Negara Indonesia” (Fakultas Syariah
dan Hukum Uin Ar-Raniry Banda Aceh
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, “Taman Para Pecinta” Jakarata; Khatulistiwa Prees
2009.
Al-Malibari, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fat-Hul Mu’in, Surabaya: Al-
Hidayah 1993.
Al-Mundziri, Imam, “Shahih Muslim Ringkasan” , (cetakan kedua penerbit
Jabal, Bandung 2013.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
As-Shiba‟i, Musthafa, Wanita dalam Pergaulan Syari;at & Hukum Konvensional,
Jakarta: Insan Cemerlang dan PT. Intimedia Ciptanusantara.
Ayang Utriza Yakin, “Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M”,
Jakarta:Kencana, 2016
Az-Zuhaili, Wahbah, “fiqih islam wa adillatuhu” Depok: Gema Insani, 2011.
Az-Zuhaili,Wahbah,”Fiqh Imam Syafi’i, Mengupas masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits” Cet.1 Jakarta: almahirah 2010.
79
Babiej, Ahmad, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di
Indonesia” Artikel Sosio-Religia No. 4 Agustus 2005.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial,
(Jakarta: PT RajaGrfindo Persada, 2004.
Chazawi, Adami, “Tindak Pidana Mengenai Kesoponan” Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2005.
Dahlan, Abdullah Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Disa, Mahamad Naser Bin, ”Pelaksanaan Hukuman Sebat dalam kes Jenayah
Syariah: Maslah dan penyelesaiannya”, dibentangkan dalam Seminar
Hukuman Sebat Jenayah Syariah anjuran Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia (JAKIM) pada 23 April 2009.
Faisal, “Efektifitas Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di
Kabupaten Aceh Besar” Jurnal Ilmiah Islam Futura NO 1 Agustus 2013.
Fakhiriah, Efa Laela dan Yusrijal, “Kewenangan Mahkamah Syrari’yah di Aceh
dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum
No.2.
Gunaryo, Achmad, “Pergumulan Politik dan Hukum Islam; Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” menuju Peradilan yang
sesungguhnya”, Semarang: Pustka Pelajar 2006.
Hasan, Muhammad Tholhah, “Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan
Zaman”, Cet. Ke-V, Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Irfan, Nurul dan Masyrofah “Fiqih Jinayah“ (AMZAH Jakarta 2010.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah – Kaidah Hukum Yurisprudensi. Cet ke-
III. Jakarta:Kencana Prenada Media Group 2008.
Kamus besar KBBI gendak adalah perempuan yg disukai (diajak berzina);
perempuan simpanan
Kansil, pengantar ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, balai pustaka, Jakarta,
1980.
Kanter dan Sianturi, “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
80
Khamami, Pemberlakuan Hukun Jinayah di Aceh Dan Kelantan, Jakarta: LSIP,
2014.
KUHP dan KUHAP
Latief, Husni Mubarrak A. ”Disonasi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai
Konstitusi Hukum Indonesia: Aceh sebagai Studi Kasusu”
Malik, Muhammad Abduh, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP,
Jakarta:Bulan Bintang, 2003.
Mohamad, Tun Abdul Hamid,” Pelaksanaan Undang-Undang Jenayah Islam Di
Malaysia” 2015.
Muhammad, Rusjdi Ali “Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh Problem, Solusi Dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam DI Nanggroe Aceh
Darussalam”, Banda Aceh.
Mujib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa‟idul Fiqhiyyah), Jakarta:
Kalam Mulia, 2001.
Najih, Mokhammad, dan Soimin “Pengantar Hukum Indonesia”sejarah,konsep
tata hukum,dan politik hukum Indonesia, cet pertama, Setara Pres Malang,
Jatim 2014.
Nurin, Hukum Islam di negara Malaysia, mei 2009, jurnal Catatan Afandi.
Ordinan Tatacara Jenayah Syariah (Negeri Sarawak) 2001 [Ordinan 46/2001]
(Ordinan Tatacara Jenayah Syariah Sarawak.
Pauzai, Nur Amani, “Khalwat Dalam Kalangan Remaja Di Malaysia Dan Aceh:
Kajian Terhadap Pematuhan Syariah” Universitas Sultan Zainal abiding,
Malaysia. Tahun 2015.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), Ed. 4.
Ridwan “Positivisasi Hukum Pidana Islam (Analisis atas Qanun No:14/2003
Tentang Khalwat/Mesum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Purwokerto.
Rusdi, Ibnu, “Bidayatul Mujtahid” juz pertama, penerbit karyata putra ,
Semarang.
Sirajuddin, Pemberlakuan Syariat Islam di Naggroe Aceh Darussalam Pasca
Reformasi Yogyakarta: Teras, 2010
81
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Rineka
Cipta, 1999) Cet. 1
Suhaimi, Masrap, dkk, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya: Al-Iklas, 1993
Widowati, Christiani, “Hukum Sebagai Norma Sosisal Memiiki sifat
Mewajibkan”. Dalam Adil Jurnal Hukum, Jakarta. Vol.4NO.1 Juli 2013.
Yahya, Mahyudin Haji, “Islam dan Pembangunan Negara”. (Penerbit Univesity
Kebangsaan Malaysia 1986), cet. Pertama 1986.,
Yunus, Nur Rohim, “Retorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia”
Jurrisprudence Press 2012.
Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah: Kaedah-
kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2009.
Website:
http://www.ms-aceh.go.id/ tentang- pengadilan/ profil- pengadilan/ sejarah
pengadilan.html. Di akses 2 februari 2017.
http://www.yahoo.com/PeresmianMahkamahSyar‟iyahAceh.html Di akses tgl 19
februari 2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Simeulue diakses pada 17 februari 2017.