Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS YURIDIS TERHADAP REGULASI
BANK INDONESIA BERKAITAN DENGAN
MANAJEMEN RISIKO SEBAGAI PENERAPAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN
Tesis
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat
Magister Ilmu Hukum
Kekhususan Hukum Bisnis
Oleh :
Trisetya Wahyu Nugroho
NPM : 322008801
Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2011
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Analisis Yuridis Terhadap Regulasi Bank Indonesia
Berkaitan Dengan Manajemen Risiko Sebagai
Penerapan Prinsip Kehati-hatian Perbankan
Nama Mahasiswa : Trisetya Wahyu Nugroho
NPM : 322008801
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui.
Dr. Tri Budiyono, S.H., M.Hum. Yakub Adi Krisanto, S.H., M.H.
Pembimbing Pembimbing
Mengesahkan,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Dr. Tri Budiyono, S.H., M.Hum.
Dinyatakan Lulus Ujian tanggal : 25 Mei 2011
iii
ABSTRAK
Bank mempunyai peran sebagai lembaga intermediasi antara pihak
yang berkelebihan dana (surplus spending unit) dengan pihak yang
membutuhkan dana (deficit spending unit). Sebagai lembaga intermediasi
maka Bank wajib mencitrakan diri sebagai lembaga yang dapat dipercaya.
Upaya untuk mewujudkan citra lembaga yang dapat dipercaya dilakukan
dengan berbagai macam cara baik melalui ketaatan Bank terhadap setiap
regulasi yang ada maupun sikap perilaku terhormat dari para aparaturnya.
Berkaitan dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, Bank
sarat dengan risiko sehingga sangat rentan dengan kegagalan akan tetapi
secara hakiki Bank tidak boleh gagal karena akan merugikan banyak pihak.
Untuk menghindarkan diri dari kegagalan maka setiap insan perbankan wajib
menerapkan Prinsip kehati-hatian dalam mengelola Bank.
Prinsip kehati-hatian inilah yang menjadi pijakan utama institusi
perbankan dalam mengembangkan usahanya. Karakteristik usaha perbankan
yang sarat dengan risiko perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Potensi
risiko yang melekat pada industri perbankan pada satu sisi memberikan
ancaman akan tetapi pada sisi yang lain mempunyai potensi menghadirkan
peluang mendapatkan keuntungan.
Untuk mengatasi dampak negatif dari risiko dan mengubah risiko
menjadi peluang maka diperlukan manajemen risiko. Pengertian tentang
manajemen risiko bank sendiri adalah serangkaian metodologi dan prosedur
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.
Manajemen risiko merupakan salah satu implementasi dari Prinsip kehati-
hatian Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum telah mengidentifikasikan risiko-risiko
yang melekat pada aktivitas perbankan meliputi, Risiko Kredit, Risiko
Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Kepatuhan, Risiko
Hukum, Risiko Reputasi, dan Risiko Stratejik. Berbagai risiko yang melekat
pada kegiatan perbankan ini perlu dikenali, dimonitor, dan dikontrol secara
kontinue. Selain itu perlu penetapan rencana mitigasi risiko yang
komprehensif agar dalam pembuatan keputusan bisnis bank didasarkan pada
suatu argumentasi yang kuat. Esensi dari penerapan manajemen risiko adalah
kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga kegiatan
usaha Bank tetap dapat terkendali (manageable) pada batas/limit yang dapat
diterima serta menguntungkan Bank.
iv
PRAKATA
Segala puji hormat dan ucapan syukur penulis haturkan kepada
Tuhan Allah yang telah melimpahkan berkat-Nya sehingga penulis telah
diperkenankan menyelesaikan tugas dan tanggung jawab untuk
menyelesaikan karya penulisan tesis dalam rangka memenuhi persyaratan
menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Penulisan tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP
REGULASI BANK INDONESIA BERKAITAN DENGAN
MANAJEMEN RISIKO SEBAGAI PENERAPAN PRINSIP KEHATI-
HATIAN PERBANKAN” ini merupakan suatu pendalaman atas
pengalaman yang penulis dapatkan selama berkarya dalam dunia perbankan
serta dilengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan tambahan yang penulis
peroleh baik melalui media perkuliahan maupun studi kepustakaan serta
diskusi-diskusi yang intensif dengan banyak pihak.
Manajemen Risiko merupakan bidang kajian yang menarik minat
penulis untuk ditelusur lebih jauh melalui kacamata yuridis. Ketertarikan
penulis atas pemilihan topik penulisan ini awalnya muncul dari keprihatinan
akan banyaknya kasus kecurangan serta mismanajemen di lingkup perbankan
yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik bagi institusi
perbankan maupun nasabah. Di pihak yang lain, penanganan permasalahan
perbankan yang tidak proporsional dari aparatur yang berwenang berpotensi
menimbulkan kerugian bagi institusi bank dan pelaku perbankan yang
beretikat baik serta dampak lanjutannya adalah kerugian bagi masyarakat
karena ketidakoptimalan fungsi perbankan.
Oleh karenanya, melalui penulisan tesis ini meskipun wujudnya jauh
dari sempurna akan tetapi merupakan perwujudan harapan yang besar dalam
diri penulis agar dapat menjadi “batu penjuru” bagi penelitian-penelitian lain
v
di kelak kemudian hari. Masih banyak masalah yang terbuka untuk diteliti
pada kajian manajemen risiko perbankan dalam perspektif yuridis maupun
non yuridis. Bahkan dinamika keuangan dan perbankan yang demikian cepat
akan berpotensi menambahkan permasalahan yang kemungkinan akan lahir
di kemudian hari.
Meskipun telah menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini,
penulis masih mempunyai keinginan yang kuat untuk mengkaji terus-
menerus bidang kajian manajemen risiko perbankan pada khususnya serta
hukum perbankan dan keuangan pada umumnya. Sehingga tesis ini bukan
merupakan karya akhir yang hanya berhenti sebagai dokumen yang mati
tetapi menjadi “benih” yang hidup dalam karya-karya selanjutnya. Bahkan
kerinduan penulis adalah ketika banyak pihak yang mempunyai perhatian
yang sama serta bersama-sama memberikan konstribusi yang baik bagi
pengembangan hukum perbankan di Indonesia.
Tesis ini dapat terselesaikan bukan semata-mata karena perjuangan
pribadi penulis akan tetapi dukungan banyak pihaklah yang memungkinkan
karya sederhana ini dapat terselesaikan. Kesempurnaan tesis ini adalah ketika
banyak pihak berkenan mengkritisinya dan memberikan saran serta pendapat
untuk kemajuan penulis maupun demi pengembangan ilmu pengetahuan
terutama studi tentang manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian dalam
bidang perbankan. Dan lebih jauh lagi, kiranya melalui karya tulis ini dan
disempurnakan dengan berbagai studi lainnya yang sejenis dari semua
pemangku kepentingan akan memberikan hasil yang konkret khususnya pada
pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan yang
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman.
Sungguh suatu anugerah yag indah bagi penulis, ketika banyak pihak
berkenan “mengulurkan tangan” serta memberikan dukungan dalam proses
penelitian dan penulisan tesis ini. Oleh karenanya, sepantasnyalah penulis
vi
mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada semua pihak yang
telah membantu penulis, yang sebagian kecil diantaranya dapat penulis
sebutkan di sini :
1. Bapak Dr. Tri Budiyono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya
Wacana yang juga bertindak selaku Pembimbing I ;
2. Bapak Yakub Adi Krisanto, S.H., M.H., selaku Pembimbing II ;
3. Ibu Sri Harini Dwiyatmi, S.H., M.S., selaku Penguji ;
4. Ibu Christiana Tri Budhayati, S.H., M.Hum., selaku Penguji ;
5. Bapak dan ibu Dosen Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana ;
6. Bapak Drs. Amin Sulistyo, M.M., selaku Direktur Utama PT. BPR Artha
Daya, Bapak Drs. Bambang Hermanto, MBA dan Bapak Didik Setiawan,
S.E., selaku Dewan Komisaris PT. BPR Artha Daya yang senantiasa
mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis bahkan menjadi teman
diskusi yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini ;
7. Ibu Pendeta Retno Ratih Suryaning Handayani, M.Th. dan Bapak
Pendeta Fritz Yohanes Day Pane, S.Si., yang selalu mendukung dalam
doa untuk kelancaran studi penulis ;
8. Para Anggota Majelis GKJ Manahan yang kerapkali harus menggantikan
tugas-tugas pelayanan ketika penulis harus menyelesaikan tugas-tugas
studi ;
9. Sahabat-sahabat praktisi perbankan yang menjadi teman diskusi yang
produktif dalam berbagai masalah perbankan pada umumnya dan kajian
manajemen risiko pada khususnya ;
10. Almarhum ayahanda A. Hardiyono, S.H. yang senantiasa mendorong
penulis untuk melanjutkan studi meski pada akhirnya beliau tidak dapat
menyaksikan kelulusan penulis dari program Magister Ilmu Hukum ;
vii
11. Ibunda tercinta M. Soegiyarni yang senantiasa memberikan dukungan
dalam doa dan nasehat yang tiada hentinya ;
12. Kakak-kakak dan adik-adik yang terus menerus memberikan semangat,
nasehat, dan doa untuk kelangsungan studi penulis ;
13. Kedua “jagoanku” Nathan dan Ezra yang mendukung dalam doa dan
yang seringkali terpaksa harus memaklumi dan memahami kesulitan
ayah ketika menghabiskan waktu untuk menulis tesis yang seharusnya
waktu itu adalah hak kalian ;
14. Istriku yang tercinta Dra. Ani Nursanti, Apt., dukungan serta bantuanmu
yang terus-menerus sungguh sangat bermakna bagi penyelesaian studi
suamimu ini ;
15. Teman-teman mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana buat persahabatan dan kerjasama yang
terjalin ketika harus mengerjakan berbagai tugas studi bersama ;
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu tetapi
memberikan bantuan dalam berbagai bentuk sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana.
Akhir kata, semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi banyak
pihak dan setiap orang yang berjasa dalam proses penyelesaian studi penulis
senantiasa mendapatkan berkat dan rahmat dari Tuhan Allah Maha Pencipta.
Dan di atas semua itu, segala kemuliaan hanyalah bagi Tuhan Yesus Kristus.
Terpujilah namaNya selama-lamanya.
Salatiga, Mei 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .............................................................................. i
Lembar Pengesahan ....................................................................... ii
Abstrak ......................................................................................... iii
Prakata ......................................................................................... iv
Daftar Isi ......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ….............................. 1
B. Masalah Penelitian .............................................. 13
C. Keaslian Penelitian .............................................. 13
D. Tujuan Penelitian .............................................. 14
E. Manfaat Penelitian .............................................. 14
BAB II KERANGKA TEORI
A. Hukum dan Norma .............................................. 15
B. Tinjauan Umum Tentang Bank ...................... 39
C. Tugas dan Kedudukan Bank Indonesia sebagai
Pengawas dan Pengatur Bank ....................... 43
D. Prinsip Kehati-hatian
(The Prudential Principles) ................................... 48
E. Pengertian Good Corporate Governance ........... 56
F. Pengertian Risiko dan Manajemen Risiko ........... 59
G. Kerangka Berpikir ............................................... 66
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................. 69
B. Pendekatan Masalah .............................................. 70
C. Bahan Hukum .............................................. 72
D. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum .......... 72
E. Analisis Data .............................................. 73
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hukum Perbankan sebagai Suatu Sistem Hukum ...... 75
B. Aspek Hukum Prinsip Kehati-hatian ........... 79
1. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian pada
ix
Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7Tahun 1992
tentang Perbankan .......................................... 79
2. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian pada
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah ............................................ 85
3. Kewenangan Bank Indonesia untuk
Menetapkan ketentuan tentang Prinsip
Kehati-hatian Bank ........................................... 88
C. Aspek Hukum Manajemen Risiko Perbankan
1. Pengaturan Manajemen Risiko Perbankan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang P
erubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum ............... 91
2. Pengaturan Manajemen Risiko Perbankan
dalam Perspektif Penegakan Prinsip
Kehati-hatian ............................................. 159
3. Keterkaitan Manajemen Risiko dengan Good
Corporate Governance di bidang
Perbankan ......................................................... 168
4. Aspek Pertanggungjawaban Hukum dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum .......... 174
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................... 184
B. Saran ...................................................................... 186
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa institusi
Perbankan merupakan salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem
perekonomian nasional. Layaknya organ “jantung” di dalam tubuh
manusia yang memompa darah sehingga dapat mengalir ke seluruh
bagian tubuh manusia maka bank adalah “jantungnya” perekonomian
suatu negara karena perannya dalam memompa aliran dana (cash flow)
sebagai sumber pembiayaan berbagai aktifitas ekonomi sampai ke
pelosok-pelosok tanah air, bahkan dapat “mengalir” sampai ke luar
negara sebagai pelaksanaan fungsi intermediasi keuangan (financial
intermediary) dan penunjang sistem pembayaran baik domestik, regional
maupun internasional.
Oleh karenanya, bank merupakan organ yang sangat penting,
tidak saja bagi sektor perekonomian tetapi juga menyangkut hampir
seluruh aspek kehidupan. Pengalaman masa lalu telah mengajarkan
kepada bangsa Indonesia manakala institusi perbankan “sakit” maka
hampir seluruh sendi kehidupan juga terkena imbasnya dan
pemulihannya membutuhkan ongkos sosial dan finansial yang
sedemikian besarnya sehingga harus ditanggung oleh semua warga
masyarakat.
Untuk menjaga kesehatan perbankan nasional maka setiap bank
harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian (prudential principles).
Amanat untuk menerapkan prinsip kehati-hatian ini telah secara tegas
diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-undang
2
Nomor 10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa “Perbankan Indonesia
dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.”
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 huruf D Undang-undang Dasar 1945 mempunyai tugas dan
tanggungjawab untuk menetapkan berbagai regulasi yang memberikan
panduan bagi para pelaku bisnis perbankan dan pihak-pihak terafiliasi
dalam mengelola perbankan secara sehat. Tugas dalam hal Pengaturan
dan Pengawasan Bank ini selanjutnya secara eksplisit diatur dalam Pasal
8 huruf c Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 dan yang terakhir diubah dengan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kehati-hatian ini Bank
Indonesia sebagai bank sentral diberikan amanat untuk mengatur dan
mengawasi perbankan nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 34
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Fungsi Bank
Indonesia sebagai pengatur dan pengawas institusi perbankan ini
ditetapkan untuk sementara waktu sebelum terbentuknya lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen.
Instrumen yang dipergunakan Bank Indonesia dalam mengatur
perbankan adalah dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
dan aturan pelaksanaannya dalam bentuk Surat Edaran (S.E.) Bank
Indonesia. Karena begitu banyaknya peraturan yang mengikat institusi
3
perbankan maka sering dikatakan bahwa institusi perbankan adalah
heavily regulations industry.
Krisis ekonomi tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa industri
perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang
kokoh. Infrastruktur perbankan yang tersedia pada saat itu juga sangat
jauh dari harapan sehingga sangat rentan terhadap gejolak ekonomi dan
moneter. Belum kokohnya fundamental perbankan nasional merupakan
tantangan bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga
bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya.
Bertolak dari harapan membangun fondasi perbankan yang kuat
maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 menyusun sebuah
konsep pengembangan perbankan nasional dengan apa yang disebut
dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu
kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh
dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk
rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan
pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan
dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang
sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan
dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk mewujudkan visi API tersebut maka ditetapkan enam pilar
untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API
adalah (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang
efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv)
industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi)
4
perlindungan nasabah. Skema tentang Arsitektur 1Perbankan Indonesia
dapat dilihat pada gambar berikut :1
Khusus pada pilar keempat yakni terciptanya industri perbankan
yang kuat merupakan harapan semua pihak dan untuk mewujudkannya
diperlukan peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan.
Peningkatan kualitas manajemen bank diperlukan untuk meningkatkan
tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dari para
manajemen bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang
tidak sehat (improper behaviour) seperti yang terjadi di masa lalu dapat
diminimalisir atau dihilangkan.
Selanjutnya peningkatan kualitas manajemen bank juga
diperlukan untuk memperkecil terjadinya risiko-risiko bank khususnya
risiko operasional yang pada akhir-akhir ini kerap terjadi kasus-kasus
fraud yang dilakukan karyawan internal di beberapa bank nasional.
1 http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Arsitektur+Perbankan+Indonesia/
5
Risiko operasional sangat mudah terjadi pada sistem, prosedur maupun
sumber daya manusia apabila manajemen bank tidak memiliki kualitas
manajemen yang baik. Untuk itu, API merekomendasikan risk manager
yang ada pada bank-bank untuk disertifikasi sehingga semua risk
manager memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola risiko
bank.
Lingkungan bisnis perbankan yang mengalami perkembangan
juga berpotensi mendatangkan risiko bagi institusi perbankan. Dengan
semakin kompleksnya risiko bagi bisnis perbankan ini maka telah
mendesak dipraktekkannya tata kelola yang sehat (good governance)
bagi semua bank di Indonesia. Oleh karena itu agar mampu beradaptasi
dalam lingkungan bisnis perbankan khususnya dalam mengantisipasi
risiko maka bank dituntut untuk menerapkan manajemen risiko. Sebagai
pedoman dalam pelaksanaannya Bank Indonesia menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Prinsip-prinsip manajemen risiko yang dianut dan diterapkan
pada bank-bank di Indonesia diarahkan sejalan dengan rekomendasi
yang dikeluarkan oleh Bank of International Settlements (BIS) melalui
The Basel Committee on Banking Supervision. Prinsip-prinsip tersebut
pada dasarnya merupakan standar bagi dunia perbankan untuk dapat
beroperasi secara lebih berhati-hati dalam ruang lingkup perkembangan
kegiatan usaha dan operasional perbankan yang sangat pesat dewasa ini.
Di atas disinggung mengenai The Basel Committee yaitu suatu
komite yang didirikan pada tahun 1974 oleh para Gubernur Bank Sentral
dari Negara-negara maju yang tergabung dalam Group of Ten dimana
unsur-unsurnya terdiri atas wakil-wakil senior dari otoritas pengawasan
6
bank dan bank sentral dari Negara-negara Belgia, Kanada, Perancis,
Jerman, Italia, Jepang, Luxemburg, Swedia, Swiss, Inggris, dan Amerika
Serikat.2
Sedangkan tujuan dibentuknya The Basel Committee ini
adalah untuk melakukan kerjasama dan harmonisasi dalam pengawasan
perbankan secara Internasional. Karena disadari bahwa kegagalan sistem
perbankan di suatu negara akan memberikan dampak sistematik baik
langsung maupun tidak langsung bagi institusi perbankan di negara lain.
Pada bulan September 1997, The Basel Committee bekerjasama
dengan perwakilan dari negara-negara di luar Group of Ten termasuk
Indonesia menetapkan “The Core Principles for Effective Bank
Supervision” atau yang lebih terkenal dengan sebutan The Basel Core
Principles. The Basel Core Principles merupakan persyaratan minimum
bagi pengawas bank dan diharapkan untuk di-endors dan diterapkan
oleh semua otoritas pengawasan bank di semua negara secara
internasional. Karena merupakan persyaratan minimum maka Otoritas
Keuangan di semua negara dimungkinkan untuk menambahkannya
dengan kebijaksanaan yang dirancang guna mengatasi kondisi tertentu
dan risiko lain dalam sistem finansial negara yang bersangkutan.
Salah satu perhatian dari The Basel Core Principles ini adalah
berkaitan dengan manajemen risiko yang harus dipatuhi oleh setiap
institusi perbankan. Penerapan manajemen risiko dapat bervariasi antara
satu bank dengan bank lainnya sesuai dengan tujuan, kebijakan usaha,
ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank dalam hal
keuangan, infrastruktur pendukung maupun sumber daya manusia.
Penerapan manajemen risiko pada institusi perbankan pada
hakekatnya merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan prinsip-
2 Permadi Gandapradja, 2004, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Jakarta : P.T.
Gramedia ustaka Utama, hal. 37.
7
prinsip Good Corporate Governance sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (2) huruf c Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Tujuan
dari penerapan Good Corporate Governance pada praktek kegiatan
perbankan di Indonesia adalah dalam rangka meningkatkan kinerja
Bank, melindungi kepentingan stakeholders, dan meningkatkan
kepatuhan (compliance) terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri
perbankan. Peningkatan kualitas pelaksanaan Good Corporate
Governance merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi
internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API).
Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/25/PBI/2004 mengenai Rencana Bisnis Bank Umum yang
antara lain menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan Good
Corporate Governance maka Bank perlu menetapkan sasaran strategis
dan seperangkat nilai perusahaan (Corporate Value) yang mengarahkan
kegiatan operasional bank agar senantiasa beroperasi berlandaskan pada
suatu perencanaan yang matang berdasarkan prinsip kehati-hatian.3Di
dalam menjalankan usahanya Bank tidak terlepas dari risiko. Setiap
produk dan layanan yang diberikan mempunyai potensi risiko karena
produk dan layanan tersebut didesign untuk kebutuhan nasabah.
Perkembangan jaman telah mengakibatkan perubahan yang sangat cepat
dalam diri para nasabah yang semakin meningkat kebutuhannya akan
layanan perbankan.
3 Editorial, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23-No.3 Tahun 2004, Jakarta : Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis, hal : 4.
8
Pasca krisis keuangan 1998, terjadi transformasi dengan skala
besar pada industri perbankan nasional. Restrukturisasi perbankan dan
akuisisi perbankan nasional oleh investor asing membawa perubahan
yang sangat radikal pada lingkungan perbankan termasuk penciptaan
jasa layanan dan produk-produk baru yang sebelumnya belum banyak
dikenal dalam industri perbankan nasional.
Pengertian tentang produk bank mengalami perkembangan.
Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang No. 10 tahun 1998
khususnya pada Pasal 1 angka (2) dijelaskan bahwa Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Rumusan pengertian tentang bank sebagaimana tersebut di atas
mungkin tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Karena bank
saat ini tidak saja menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya tetapi juga mempunyai produk dan
layanan yang lebih beragam. Untuk meningkatkan pendapatan usaha
maka banyak bank yang melakukan perkawinan produk (hybrid product)
dengan produk jasa keuangan lain seperti bancassurance yakni
perkawinan antara produk tabungan dengan produk asuransi, atau
produk hasil kerjasama pemasaran antara bank dengan manajer investasi
dalam bentuk reksadana serta transaksi-transaksi derivatif dengan acuan
suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks.
Selain produk baik simpanan maupun kredit, bank juga
menyelenggarakan jasa kepada masyarakat seperti transfer dana, inkaso,
kliring, safe deposite box, pembayaran-pembayaran rekening lain
9
seperti listrik, air minum, telepon seluler, kartu kredit, dan lain-lain.
Penyediaan jasa oleh bank ini pada satu sisi sangat membantu dan
memberikan kemudahan bagi nasabah akan tetapi pada sisi yang lain
juga mempunyai potensi merugikan nasabah karena adanya kesalahan
transaksi atau kerusakan infrastruktur yang mengakibatkan transaksi
gagal.
Saat ini banyak bank yang tidak lagi mengandalkan laba
usahanya dari pendapatan operasional karena margin antara pendapatan
bunga kredit dan biaya dana (cost of fund) yang semakin tipis.
Pendapatan non operasional dari penyelenggaraan jasa atau penjualan
produk-produk non konvensional bank mempunyai proporsi yang
semakin besar dalam pembukuan keuntungan bank. Semangat korporasi
yang melekat pada institusi bank yang harus menciptakan keuntungan
sebesar-besarnya menjadikan produk non konvensional bank semakin
hari semakin berkembang.
Karakteristik produk non konvensional bank ini tentunya sangat
berbeda dengan karakteristik produk konvensional bank seperti
tabungan, deposito dan giro yang kadangkala belum begitu dipahami
oleh nasabah. Pada sisi ini sebenarnya sudah mulai terjadi pergeseran
paradigma pemanfaatan transaksi perbankan, manakala nasabah
menyimpan dananya pada produk tabungan dan deposito semangat yang
terkandung secara tradisional adalah menabung (saving oriented)
sedangkan pilihan jenis investasi lainnya cenderung diorientasikan untuk
menambahkan keuntungan/pendapatan atau nilai tambah lainnya bahkan
pada tataran tertentu sebagai wujud niatan spekulatif.
Setiap produk bank mempunyai karakteristik risiko yang
berbeda-beda. Ibaratnya pedang bermata dua, setiap produk bank pada
satu sisi memberikan manfaat atau keuntungan bagi nasabah maupun
10
bank tetapi pada sisi yang lain juga terdapat risiko kerugian bagi
nasabah maupun bank.
Karakter nasabah di Indonesia juga sangat beragam. Ada
nasabah yang telah bankable sehingga mampu mengakses dan
menggunakan fasilitas-fasilitas perbankan secara optimal seperti
penggunaan electronic banking atau internet banking tetapi banyak pula
nasabah bank yang ternyata belum familiar dengan bank sehingga hanya
mampu mengakses jasa layanan bank secara terbatas. Meskipun
demikian nasabah yang bankable maupun unbankable mempunyai
peluang yang sama untuk menjadi korban atas pemakaian jasa
perbankan tetapi pada pihak yang lain bank juga berpeluang menderita
kerugian karena kegagalannya dalam mewujudkan tujuan nasabah ketika
menggunakan produk bank.
Sebagai contoh, kasus yang terjadi di penghujung tahun 2008
dan berlanjutnya hingga saat ini adalah cerita duka yang dialami oleh
banyak nasabah Bank Century yang memanfaatkan jasa produk investasi
berupa reksadana yang diterbitkan PT. Antaboga Delta Sekuritas yang
ternyata dibelakang hari mengalami gagal bayar. Peristiwa tersebut
menjadi bahan pelajaran yang sangat bermakna. Terlebih lagi
berdasarkan penjelasan Bapepam ditengarai bahwa produk Reksadana
PT. Antaboga Delta Sekuritas tersebut tidak terdaftar di Bapepam.
Di belakang hari, banyak diantara nasabah Bank Century yang
mengaku bahwa mereka tidak mengetahui dan tidak ada penjelasan yang
memadai dari pihak Bank Century bahwa produk yang mereka beli
adalah reksadana. Padahal produk reksadana mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan produk perbankan pada umumnya.
Nilai suatu reksadana ditentukan oleh nilai aktiva bersih. Ketika
nilai aktiva bersih mengalami penurunan maka nilai investasi yang telah
11
disetorkan nasabah juga mengalami penurunan bahkan bisa sampai habis
nilai investasinya. Hal ini berbeda dengan produk deposito yang tidak
akan pernah berkurang nilai investasinya.
Cerita duka juga mewarnai sebuah bank besar yang mengalami
kerugian baik finansial maupun non finansial karena adanya kegagalan
investasi khususnya pada layanan transaksi derivatif. PT. Bank
Danamon Indonesia, Tbk. pada akhir tahun 2008 mengalami kerugian
akibat transaksi derivatif sehingga harus membentuk pencadangan
kerugian atas transaksi derivatif tersebut. Beberapa nasabah membawa
kasus persengketaan transaksi derivatifnya dengan Bank Danamon ke
pengadilan diantaranya PT. Esa Kertas Nusantara dan PT. Elnusa Tbk.
Dalam kasus tersebut Bank Danamon dianggap lalai memberikan
informasi yang akurat tentang produk derivatif yang ditawarkan,
sehingga mengakibatkan PT. Esa Kertas Nusantara dan PT. Elnusa Tbk.
terjebak membeli produk tersebut dan merugi besar-besaran.
Penetapan Bank IFI sebagai bank beku kegiatan usaha oleh Bank
Indonesia awal tahun 2009 ini menimbulkan keterkejutan banyak pihak
karena tidak nampaknya tanda-tanda yang mengawali akan
dilakukannya pembekuan kegiatan usaha. Kegagalan manajemen dan
pemegang saham Bank IFI untuk memenuhi kekurangan kewajiban
pemenuhan modal minimum menjadi sebab utama penetapan bank beku
kegiatan usaha atas bank tersebut.
Penurunan modal suatu bank dapat diakibatkan oleh berbagai
macam kerugian. Beberapa contoh kerugian yang mengakibatkan
penurunan modal adalah karena meningkatnya kredit bermasalah
sehingga memaksa bank untuk membentuk penyisihan penghapusan
aktiva produktif, kerugian bank akibat kegagalan transaksi derivatif,
kerugian bank karena adanya tindakan penyelewengan (fraud) yang
12
dilakukan pejabat atau karyawan bank, penanaman modal pada
instrument keuangan yang salah dan lain-lain. Kerugian seperti tersebut
diatas akan menggerus modal bank sehingga mengancam rasio
permodalan bank.
Demikian pula, kasus Bank Century (saat ini berganti nama
menjadi Bank Mutiara) menjadi salah satu potret buram pengelolaan
perbankan di Indonesia. Bank Century sebelum diambilalih Lembaga
Penjamin Simpanan mengalami permasalahan relatif kompleks baik
pada permasalahan menyangkut Tingkat Kesehatan Bank maupun yang
terkait dengan produk bermasalah yang pada hakekatnya adalah
pelaksanaan manajemen risiko yang sangat lemah.
Bank Century sempat pula mengalami penarikan simpanan dana
pihak ketiga secara besar-besaran (rush) sehingga mengakibat
penurunan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan kesulitan likuiditas yang
demikian parah. Ketika Pemegang Saham Pengendali PT. Bank Century,
Tbk tidak mampu menambahkan setoran modalnya maka Lembaga
Penjamin Simpanan mengambilalih bank tersebut meskipun kebijakan
pengambilalihan ini menuai kontroversi di kalangan banyak pihak.
Belajar dari kasus kegagalan beberapa bank dalam operasional
usahanya sehingga mengakibatkan kerugian atau bahkan mengalami
beku kegiatan usaha atau diambilalih kepemilikan dan pengelolaannya
oleh Lembaga Penjamin Simpanan maka bagi para praktisi perbankan
perlu kembali menilik prinsip dasar pengelolaan perbankan yaitu prinsip
kehati-hatian (The Prudential Principles). Pada aras ini kemudian perlu
kembali dipertanyakan apakah bank telah menerapkan manajemen risiko
yang memadai dalam melaksanakan operasional usahanya dan apakah
bank telah melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam mengelola
usahanya.
13
B. MASALAH PENELITIAN
Berkaitan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di
atas dan masih adanya potensi terjadinya bank gagal maka perlu adanya
pengkajian yang lebih mendalam mengenai pengaturan manajemen
risiko perbankan sebagai penerapan prinsip kehati-hatian bank. Oleh
karena itu masalah utama yang akan diteliti adalah “Apakah Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum telah memenuhi prinsip kehati-
hatian bank ?”
C. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian yang mengkaji manajemen risiko perbankan
dihubungkan dengan prinsip kehati-hatian dalam perspektif hukum tidak
ditemukan. Sebagian besar penelitian dan karya ilmiah dalam bidang
manajemen risiko perbankan berdasarkan tinjauan disiplin ekonomi dan
perbankan. Tinjauan secara ekonomi lebih banyak membahas mengenai
pengelolaan risiko berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif. Sedangkan
penelitian yang mengkaji Prinsip Kehati-hatian yang telah ada sebagian
besar melakukan analisa penerapan prinsip tersebut pada bidang
perkreditan bank.
Penelitian ini hendak mengkaji berbagai peraturan yang telah
dibuat Bank Indonesia berkaitan dengan manajemen risiko pada
berbagai aktivitas utama perbankan dan mengevaluasinya apakah telah
memenuhi prinsip kehati-hatian bank sebagai rujukan utamanya.
14
D. TUJUAN PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi
tentang substansi pengaturan manajemen risiko perbankan apakah telah
memenuhi prinsip kehati-hatian perbankan dan bagaimana seharusnya
pengaturan tentang manajemen risiko ini dibuat agar dapat mewujudkan
industri perbankan yang sehat dan kuat. Selain itu juga agar dapat
diketahui arahan yang tepat manakala di suatu waktu terdapat suatu
aktivitas perbankan yang baru sementara Bank Indonesia belum
mengatur tentang manajemen risikonya. Apabila hal itu terjadi maka
setiap pihak yang terlibat dalam industri perbankan dapat melakukan
suatu antisipasi terhadap risiko yang akan terjadi.
E. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan konstribusi
evaluatif pada regulasi tentang manajemen risiko perbankan agar
memenuhi prinsip kehati-hatian perbankan. Apabila ditemukan suatu
kesimpulan bahwa regulasi tentang manajemen risiko perbankan yang
ada belum mampu mewujudkan prinsip kehati-hatian bank maka dapat
diperoleh alternatif antisipatif agar visi perbankan yang sehat dan kuat
dapat tercapai.
Lebih jauh dari itu harapan peneliti agar hasil dari penelitian ini
bisa menjadi salah satu bahan studi bagi penelitian-penelitian dan
teorisasi tentang manajemen risiko perbankan dan implementasi prinsip
kehati-hatian dalam aktivitas-aktivitas perbankan yang lebih mendalam
di kemudian hari.
15
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Hukum dan Norma
Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang
bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum dintegrasikan sedemikian
rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya.
Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan
membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang,
dalam suatu lalu-lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi
kepentingan di lain pihak.4
Dalam perkembangannya, hukum tidak hanya dipergunakan untuk
mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan
mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada. Lebih jauh dari itu,
hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai suatu sarana atau
alat.
Apabila kita mulai membicarakan hukum sebagai sarana, maka
sebenarnya kita telah memasuki pembicaraan mengenai hukum sebagai
konsepsi yang modern. Hal ini dikarenakan hukum merupakan suatu
kebutuhan masyarakat sehingga ia bekerja dengan cara memberikan
petunjuk tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Ia
merupakan pencerminan kehendak manusia tentang bagaimana
seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan.5
4 Satjito Raharjo, 2000, Il ,Ilmu Hukum, Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, hal.53
5 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaan Sosiologis, Semarang : P.T.
Suryandaru Utama, hal. 21.
16
1. Pengertian Hukum
Hukum pada umum diartikan sebagai keseluruhan peraturan
atau kaedah dalam kehidupan bersama; keseluruhan tentang tingkah
laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat
dipaksakan 6pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
6 Namun demikian,
sampai sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang
memadai untuk menjawab setiap fenomena hukum.
Pengertian-pengertian hukum ada yang diangkat dari
pengertian sehari-hari dan ada pula yang diciptakan secara khusus
sebagai suatu pengertian teknik. Pentinglah untuk dipahami, bahwa
sekalipun suatu pengertian itu diangkat dari bahasa sehari-hari, tetapi
begitu ia dijadikan pengertian hukum, maka makna yang bisa
diberikan kepadanya hanyalah yang diberikan oleh hukum kepadanya.
Pengertian hukum itu mempunyai isi dan batas-batas yang jelas serta
dirumuskan secara pasti. Pengertian hukum merupakan suatu kategori
tertentu dalam konteks berpikir secara hukum dan oleh karenanya
hanya boleh diartikan dalam konteks itu pula, bukan dalam konteks
pengertian sehari-hari.7
Dalam Kamus Hukum karya Sudarsono, hukum diartikan
sebagai :8
a. peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang
berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat (negara) ;
b. undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat ;
6 Sudikno Mertokusumo, 1986. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta :
Liberty, hal. 37. 7 Satjipto Rahardjo, ibid hal. 43.
8 Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta.
17
c. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan
sebagainya) yang tertentu ;
d. keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam
pengadilan).
Bagaimanapun, tidak selalu mudah untuk menyusun suatu
pengertian hukum yang benar-benar memberikan kepastian kepada
pemakainya. Dalam hal pengertian-pengertian hukum memiliki kadar
kepastian yang relatif kurang itu, pengisiannya untuk menjadi pasti
diserahkan kepada praktek penafsiran, terutama oleh pengadilan.
Sekarang ini praktek itu cenderung kearah kerangka fungsional, yaitu
untuk memberikan arti kepada pengertian hukum dengan dituntun oleh
keinginan menciptakan keadilan terhadap kasus-kasus secara
individual. Ini berbeda dengan pemahaman dalam kerangka logika
yang a priori, yaitu yang menekankan pada “isi yang pasti” dari suatu
pengertian hukum.9
Soetandyo Wignjosoebroto merumuskan pengertian hukum
berdasarkan konsep hukum. Konsep (berasal dari kata Latin conceptus
yang berarti “buah gagasan”) berhubungan dengan benda atau
gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan
gambaran yang diimajinasikan dan didefinisikan saja. Demikian
juga halnya dengan konsep hukum. Dari konsep dasar mengenai apa
yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori hukum dikembangkan,
mungkin sebagai doktrin dan mungkin pula sebagai teori yang
grounded on (empirical) data. Tergantung dari konsep yang
ditegaskan–apakah hukum itu suatu konsep doktrinal/normatif ataukah
9 Satjipto Rahardjo, ibid hal. 43.
18
konsep yang diangkat dari realitas nondoktrinal/empiris – itulah teori-
teori hukum akan dikualifikasikan.10
Lebih jauh, Soetandyo Wignjosoebroto memberikan penjelasan
sebagai berikut :11
”Dalam konsepnya yang paling klasik (dalam pemikiran
maupun dalam praktik), hukum per-definisi adalah seperangkat norma
moral-sosial. Apa yang disebut “hukum” itu adalah realitas yang eksis
di alam Sollen dengan posisinya yang a priori di hadapan segala bentuk
perilaku manusia di alam pengalaman. Hukum adalah realitas kodrati,
bagian dari keniscayaan alami yang tertanamkan dengan kekuatannya
yang universal di dalam setiap idea dan budi nurani manusia, tanpa
dapat dielakkan oleh manusia itu sendiri. Hukum menurut logikanya
yang normatif seperti ini lalu senantiasa harus dipandang (alias
diteorikan) sebagai sesuatu realitas kodrati yang internal, sudah
tertanam di dalam sanubari yang merupakan bagian integral eksistensi
manusia, dan yang karena itu pula niscaya sudah eksis sebelum
perilaku hukum manusia diwujudkan di alam pengalaman yang nyata.
Dalam posisi yang logis-normatif seperti itu hukum adalah pengarah
atau pengontrol atau pula tolok guna menilai benar-salahnya setiap
bentuk perilaku manusia.
Dalam perkembangannya seiring dengan maraknya ideologi
liberalisme dan demokrasi yang memuncak pada akhir abad 18, yang
mendudukkan rakyat dalam kesamaan derajat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dalam penciptaan hukum nasional, hukum lalu
mulai tidak lagi dikonsepkan sebagai norma moral yang hadir di luar
10
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta : ELSAM dan HUMA, hal. 179-180. 11
Ibid, hal. 180-182
19
kuasa manusia. Alih-alih sebagai sesuatu yang internal dan kodrati,
dan yang hanya dapat dikatalisasi lewat renungan kontemplatif para
elite yang filosof, hukum sebagai bagian dari national order lalu mulai
dikonsepkan dan diteorikan sebagai norma yang dibuat atas kuasa
manusia-manusia sendiri, bahkan oleh yang awam sekalipun, lewat
kesepakatan-kesepakatan dalam suatu musyawarah perwakilan.
Inilah teorisasi yang dalam pemikiran kontemplatif-spekulatif Jean J.
Rousseau dinamakan Contract Sosiale. Hanya hukum yang telah
ditegaskan via kesepakatan legislatif (yang merupakan realisasi sosial)
– yang akan diakui sebagai hukum nasional, yang akan mengikat
warga negara tanpa kecualinya, dalam suatu kesatuan yang inklusif.
Namun demikian, positivisasi seperti itu tidak atau belum
mengubah konsep hukum (sekalipun sudah terbilang positif) sebagai
norma. Di sini hukum tetap norms, as it is written in the codes, dan
tidak atau belum sampai ke tatarannya as it is observed in the
empirical world. Dikatakan orang, bahwasanya positivisasi hukum
seperti itu baru mentransformasi konsep hukum dari pengertiannya
yang semula metayuridis-normatif (serta substansif karena
bersubstansi moral) ke pengertiannya yang yuridis-normatif (serta
formal karena berformalitas lugas dan netral).
Lebih lanjut dari sekedar norma-norma, dalam konsep
positivisme yang normatif, norma-norma sebagai unsur diintegrasikan
ke dalam suatu aransemen, konfigurasi, atau tatanan oleh seperangkat
ajaran yang dikembangkan secara khusus. Berbeda dengan hukum
dalam konsepnya sebagai norma-moral, hukum yang dikonsepkan
sebagai hukum positif mensyaratkan adanya suatu legium ahli-ahli
yang profesional untuk merawat dan mengelolanya, dengan
mengembangkan data-data ajaran yang diperlukan agar apa yang
20
disebut “hukum” ini dapat difungsikan sebagai suatu sistem. Sistem
yang dimaksud adalah suatu sistem hukum (legal system, taat hukum)
yang tunduk pada suatu konsistensi yang logis, dengan kepastian yang
tinggi dengan hubungan antar-norma yang sungguh rasional.”
Menurut ajaran Hukum Positif (positieve rechtsleer), peristiwa
hukum dan hubungannya dengan akibat hukum adalah konstruksi
normatif hasil keputusan politik yang dipositifkan dalam bentuk
hukum perundang-undangan. Hukum perundang-undangan berformat
nasional diartikan juga sebagai tata hukum. Tata hukum dimaksud oleh
Soerjono Soekanto disebut hukum positif tertulis. Jadi, yang dimaksud
dengan “hukum” adalah hukum perundang-undangan sebagai hukum
positif tertulis yang dibuat oleh negara dan tersusun dalam bentuk tata
hukum nasional.12
Sedangkan menurut pemikiran Sosiologis, hukum adalah suatu
kompleks preskriptif positif yang sama dan sebangun dengan deskripsi
sosialnya yang empiris. Kalau terjadi kesalahan yang menyebabkan
distorsinya gambaran yang deskriptif, sehingga tidak lagi sama dan
sebangun dengan gambaran yang preskriptif, yang deskriptif itulah
yang harus dikoreksi dengan berbagai kebijakan, bila perlu secara
koersif (paksaan).13
Untuk mengerti hukum yang sebenarnya perlu diketahui makna
hukum. Menurut tanggapan umum makna hukum ialah mewujudkan
keadilan dalam hidup bersama manusia. Makna ini tercapai dengan
dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan-peraturan
bagi kehidupan bersama itu. Maka menurut pandangan orang hukum
12
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : P.T. Citra
Aditya Bakti, hal. 19. 13
Ibid, hal 21.
21
yang sebenarnya adalah hukum positif yang merupakan suatu realisasi
dari prinsip-prinsip keadilan.
Harus diakui bahwa orang yang menggunakan metode empiris
tidak sampai pada pandangan ini. Mereka mendapat pengertian tentang
hukum dari apa yang terjadi dalam pembentukan hukum dalam
undang-undang. Dengan ini mereka memastikan bahwa hukum berasal
dari suatu pemerintah yang sah dalam suatu negara yang berdaulat.
Pemerintah itu meneliti situasi, melihat kebutuhan akan peraturan-
peraturan tertentu, lalu mengesahkan peraturan itu. Dapat dipastikan
juga bahwa pembuatan peraturan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Sudah barang tentu situasi historis dan politik suatu masyarakat
terlebih dahulu menjadi dasar pertimbangan. Kemudian juga ideologi
negara dapat menjadi petunjuk dalam membentuk undang-undang.
Mungkin juga kepentingan pribadi atau nafsu kekuasaan ikut
menentukan isi undang-undang. Tetapi pengertian tentang hukum
sebagai norma suatu hidup bersama yang adil tidak masuk
pertimbangan mereka. 14
Bila mengikuti gagasan-gagasan sistem hukum yang
tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa inti pengertian hukum,
yakni hakikat hukum, ialah menjadi sarana bagi penciptaan suatu
aturan masyarakat yang adil. Pengertian tentang hakikat hukum ini
berazaskan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut : 15
a. Ternyata semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat
yang adil. Inilah pertama-tama ditujui dengan pembentukan
undang-undang, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
14
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kanisius, hal.
274. 15
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius, hal. 75-76.
22
Lagipula dengan tujuan yang sama didirikan pengadilan.
Pengadilan itu tugasnya ialah memecahkan perkara-perkara yang
timbul akibat perbedaan pandangan antara warga-warga negara,
sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Dari gambaran hukum ini sudah jelas bahwa hukum
menurut hakikatnya, yakni sebagai hukum, melebihi negara,
walaupun berasal dari negara. Sama seperti sebuah patung melebihi
pemahat patung. Memang benar bahwa sebuah patung dibuat oleh
seorang seniman, akan tetapi dalam membuat patung seniman itu
terikat akan norma-norma estetis. Maka hakikat patung sebagai
patung ditentukan oleh norma-norma estetis, bukan oleh seniman.
b. Pada umumnya hukum dialami sebagai berwibawa, sedemikian
rupa sehingga hukum secara psikologis berpengaruh terhadap
orang-orang yang tinggal di bawah hukum tersebut. Wibawa
hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang
menciptakannya. Bila demikian halnya, hukum ditakuti, bukan
dihormati. Tetapi sebaliknya wibawa ada pada hukum, oleh sebab
hukum itu mengatur dan membimbing kehidupan bersama manusia
atas dasar prinsip-prinsip keadilan (yang sebagai norma kesusilaan
sebagian diambil dari norma-norma agama).
c. Sejak pertengahan abad ini timbullah kecenderungan untuk
menyamakan hukum dengan suatu upaya (a tool) dalam
membangun masyarakat, khususnya menurut aspek sosio-
ekonominya (social engineering). Perkembangan ini berjalan terus,
sejajar dengan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang
bersangkutan.
Terhadap tendensi ini dapat dikatakan, bahwa memang benar
bahwa hukum memainkan peranan dalam social engineering tersebut.
23
Namun dengan ini hukum tidak menjadi bagian sosiologi atau politik
hukum. Hukum menunjuk suatu aspek hidup yang istimewa yang tidak
terjangkau oleh ilmu-ilmu sosial dan ekonomis. Yakni intisari hukum
ialah “membawa aturan yang adil dalam masyarakat”. Karenanya
pengertian tradisional, yang menggabungkan hukum dengan etika
(yakni keadilan), tetap dapat dipertahankan.
2. Tujuan dan Fungsi Hukum
Pengertian-pengertian hukum sebagaimana diuraikan di atas
memberi petunjuk bahwa sesungguhnya hukum merupakan karya
manusia sebagai cerminan kehendak dan sasaran masyarakat yang
ingin dicapainya. Dalam literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan
hukum sebagaimana diuraikan Esmi Warassih sebagai berikut : 16
“Pertama, Teori Etis yang mengajukan tesis bahwa hukum
itu semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Isi hukum
ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak
adil. Dengan perkatan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan
atau mewujudkan keadilan. Keprihatinan mendasar dari teori etis ini
terfokus pada dua pertanyaan tentang keadilan itu, yakni (1)
menyangkut hakikat keadilan, dan (2) menyangkut isi atau norma
untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.
Menurut para penganut teori etis ini, bahwa hakikat keadilan
itu terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan.
Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang
memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan. Misalnya,
antara orang tua dan anaknya, majikan dan buruh, hakim dan
yustisiabel, pemerintah dan warganya serta kreditur dan debitur.
16
Esmi Warassih, op.cit hal. 24 – 26.
24
Secara ideal, hakikat keadilan itu tidak hanya dilihat dari satu pihak
saja, tetapi harus dilihat dari dua bidang. Namun demikian,
kesulitannya terletak pada pemberian batasan terhadap isi keadilan
itu. Akibatnya, dalam praktek ada kecenderungan untuk memberikan
penilaian terhadap rasa keadilan hanya menurut pihak yang
menerimanya perlakuan saja.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam
keadilan, yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang
mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang
menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya
(keadilan yang menyamakan). Demikian pula, Roscoe Pound melihat
keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang dapat diberikan kepada
masyarakat, berupa pengalokasian sumber-sumber daya kepada
anggota-anggota dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kedua, Teori Utilitas. Penganut teori ini, antara lain Jeremy
Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin
kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada
hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-
besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang
terbanyak.
Ketiga, Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan
pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban
merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di
samping ketertiban, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa
tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara
berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat dan
zamannya.”
25
Para ahli filsafat Enlightenment menyatakan pentingnya substansi
hukum melalui tiga argument berikut :17
“Pertama, bahwa hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu
untuk mencapai rasionalitas. Akan tetapi, hukum itu sendiri harus
rasional. Hukum rasional adalah hukum yang benar-benar mampu
mewujudkan tujuan kehadirannya yakni hadir hanya di kawasan di mana
ia diperlukan, dan bertindak untuk kepentingan mereka yang menjadi
alasan kehadirannya. Cara yang paling sederhana untuk menyatakan
rasionalitas hukum adalah dengan menilainya dari perspektif tujuan
yang mendasari dan membenarkan kelahirannya. Di dalam ungkapan
Beccaria, tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan terbesar bagi
sebanyak mungkin orang : “to provide the greatest happiness divided
among the greatest number”. Di dalam kerangka Undang-undang Dasar
kita, tujuan-tujuan hukum adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat, dan sebagainya.
Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat
mewujudkan tujuannya, ia harus didukung oleh tindakan yang efisien
dari perangkat pelaksanaan hukum. Di sini peranan lembaga kepolisian
menjadi sangat menentukan. Para ahli Filsafat Enlightenment sangat
jelas di dalam menyatakan, bahwa pencegahan kejahatan yang paling
efektif dan dengan demikian bantuan rasionalitas hukum, adalah
kepastian tentang bagaimana kejahatan disidik. Suatu hukuman yang
berat untuk suatu tindak kejahatan yang tidak pernah dilaksanakan
adalah tidak efektif. Sementara, suatu hukuman yang ringan untuk
tindak kejahatan yang cepat diputuskan adalah lebih efektif.
17
Nasikun. 1997. “Hukum Dalam Paradigma Sistem Sosial”. Artidjo Alkostar ed.
Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, hal. 161 - 163.
26
Argumen ketiga tentang pentingnya memasukkan substansi ke
dalam bentuk-bentuk hukum berkaitan dengan pengaruh struktur sosial
masyarakat, dimana hukum seharusnya mewujudkan tujuan-tujuannya.
Suatu negara dapat diselenggarakan seperti mesin hukum yang
sempurna, tanpa favoritisme dan korupsi, namun ia tetap dapat bertindak
tidak adil. Di dalam struktur masyarakat yang secara sosial dan ekonomi
mengidap kesenjangan berat, misalnya, sejumlah besar warga
masyarakat yang berada di dasar hirarki sosial, tidak akan memiliki
kesempatan untuk memahami hukum. Tidak memiliki dana untuk
membela kepentingan mereka terhadap ketidak-adilan, apalagi memiliki
kemampuan untuk ikut menciptakan hukum. Karya-karya Rousseau
tentang politik, penuh dengan argumen yang demikian. Terdapat
beberapa jenis ketimpangan yang membuat reformasi hukum dengan
niat terbaik sekalipun, tidak mungkin efektif. Oleh karena itu, sangatlah
esensial bagi suatu masyarakat untuk memiliki derajad kesenjangan
sosial-ekonomi yang minimal, apabila hukum diharapkan dapat
mewujudkan tujuannya memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah
orang yang terbanyak.
Berbagai tujuan yang hendak diwujudkan dalam masyarakat
melalui hukum yang dibuat itu, sekaligus menyebabkan tugas maupun
fungsi hukum pun semakin beragam. Secara garis besar tujuan-tujuan
tersebut meliputi pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai,
mewujudkan keadilan, serta untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan atau kesejahteraan. Untuk dapat merealisasi tujuan-tujuan
tersebut, maka kita perlu membahas masalah fungsi-fungsi yang dapat
dijalankan oleh hukum.”
27
Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum,
yaitu : 18
a. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa
yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang ;
b. Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang
boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya
dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif ;
c. Menyelesaikan sengketa ;
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara
merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat.
Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi
sebagai kontrol sosial. Demikian pula hukum berfungsi sebagai sarana
untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang
hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum
dan beroperasi secara merata di hampir seluruh sektor kehidupan
masyarakat. Parsons menyatakan bahwa fungsi utama suatu sistem
hukum bersifat integratif, artinya untuk mengurangi unsur-unsur
konflik yang potensial dalam masyarakat, dan untuk melicinkan proses
pergaulan sosial.19
Dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks.
Berfungsinya hukum sekedar sebagai alat kontrol sosial atau dalam
banyak pembahasan disebut sebagai peraturan kewajiban primer
18
Esmi Warassih, op.cit hal. 26 – 27. 19
Esmi Warassih, op.cit, hal. 27.
28
(primary rule of obligation) dianggap tidak lagi memadai. Oleh Hart
dikatakan, bahwa telah terjadi suatu peralihan dari rezim peraturan
primer kepada rezim peraturan kewajiban sekunder (secondary rules of
obligation).20
Rezim peraturan kewajiban sekunder (secondary rules of
obligation) mengadakan peraturan-peraturan sebagai berikut : 21
a. Peraturan yang berisi pengakuan terhadap norma tertentu (rules of
recognition). Dengan adanya peraturan ini maka menjadi jelas
dan pastilah apa yang merupakan kaidah mengenai perbuatan
atau hubungan tertentu.
b. Peraturan yang menggarap pengubahan-pengubahan (rules of
change). Dengan adanya peraturan ini bisa ditentukan secara jelas
dan tegas bagaimana peraturan-peraturan baru yang meniadakan
yang lama diciptakan.
c. Peraturan bagi penyelesaian sengketa (rules of adjudication).
Peraturan ini memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk
membuat keputusan-keputusan yang mempunyai otoritas
mengenai ikhwal apakah suatu peraturan tertentu telah dilanggar.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, fungsi hukum
mengalami perluasan sebagaimana diintroduksi Aubert dengan istilah
prevention to promotion, yang paralel dengan konsepnya Brockman
dan Ewald, yakni Socialization of Law. Konsep inipun sejalan dengan
pandangan Luhman tentang fungsi hukum sebagai social engineering
20
Satipto Rahardjo, op.cit, hal. 122.
21 Ibid, hal. 123.
29
as a political approach to law, dan pandangan Heller yang melihat
hukum setara dengan positive state. 22
3. Pembuatan Hukum
Pembuatan hukum merupakan momentum yang memisahkan
keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Ia
merupakan pemisah antara “dunia sosial” dengan “dunia hukum”, oleh
karena sejak saat itu, kejadian dalam masyarakatpun mulai
ditundukkan pada tatanan hukum. Tunduk pada tatanan hukum berarti
tunduk pada penilaian hukum, ukuran hukum dan akibat-akibat
hukum.23
Menurut Burkhardt Krems, pembentukan hukum meliputi
kegiatan yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan,
metode pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan
peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat
berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun
sosiologis. Oleh karena itu, pembentukan hukum bukanlah merupakan
kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat
interdisipliner. Artinya, setiap aktivitas pembentukan hukum
memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk hukum yang
dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari
masyarakat.24
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan merumuskan asas-asas dalam
22
Esmi Warassih, op.cit, hal. 29. 23
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 176. 24
Esmi Warassih, op.cit, hal. 37.
30
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai
berikut :25
a. Asas “kejelasan tujuan” bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
d. Asas “dapat dilaksanakan” bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Asas “kejelasan rumusan” bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika daan pilihan kata atau
25
Saldi Isra, 2004, “Agenda Pembaruan Hukum : Catatan Fungsi Legislasi DPR”, Jentera
Edisi 3-Tahun II, Jakarta : Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia.
31
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. Asas “keterbukaan” bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Untuk memahami hukum positif perlu dipahami pula tata
urutan (hierarchy) peraturan perundang-undangan. Perlu mendapatkan
perhatian dimanakah letak Peraturan Bank Indonesia dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan kita. Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menetapkan Jenis dan Hierarki
Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut ketentuan tersebut,
jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.
Akan tetapi Ayat (4) dari Pasal 7 Undang-undang itu
menyebutkan bahwa “Jenis Peraturan Peundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud Ayat (1), diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.” Untuk mengetahui apa yang
disebut sebagai “Jenis Peraturan Perundang-undangan” selain yang
32
ditentukan oleh Pasal 7 Ayat (1), perlu dirujuk Penjelasan Pasal 7 Ayat
(4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Penjelasan tersebut ialah :
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini,
antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah perundang-undangan. Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi , Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Apabila dilihat sekilas bunyi penjelasan tersebut di atas dan
dikaitkan dengan Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 maka seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah
Agung dan organ negara lainnya secara hierarkis berada di bawah
Peraturan Daerah. Akan tetapi apabila dicermati bunyi ketentuan Pasal
7 Ayat (4) akan terlihat bahwa peraturan yang dibuat oleh organ
negara tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah. Hal ini
bergantung kepada diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mana; jika diperintahkan oleh Undang-undang, Peraturan Bank
Indonesia, misalnya dapat dikatakan setingkat dengan Peraturan
Pemerintah karena sama-sama diperintahkan oleh Undang-undang
sehingga merupakan regulation; sebaliknya, apabila diperintahkan oleh
Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, misalnya dapat
dikatakan setingkat dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank
Indonesia berada di bawah Peraturan Pemerintah dan dalam hal ini
merupakan delegated regulation. Dengan demikian, bukan lembaga
yang menerbitkan peraturan perundangan itu yang menentukan
33
kedudukannya, melainkan peraturan perundang-undangan yang mana
yang memerintahkan yang menentukan kedudukan peraturan
perundang-undangan dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan yang pernah
dituangkan di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan
Ketetapan MPR-RI No.III Tahun 2000.26
4. Hukum Sebagai Sistem Norma
Setelah memahami pengertian hukum, tujuan dan fungsi
hukum serta bagaimana hukum dibentuk maka perlu pula dipahami
akan hakekat hukum sebagai sistem norma. Pemahaman yang
demikian itu menjadi sangat penting karena dalam menjalankan
fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara
efektif, maka hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari sistem yang
besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.27
Sedangkan pengertian sistem adalah suatu keseluruhan yang
tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several
parts), atau hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau
komponen-komponen secara teratur (an organized, functioning
relationship among units or components). Jadi dengan kata lain
istilah sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen
yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu
keseluruhan.28
26
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, hal. 98. 27
Esmi Warassih, op.cit, hal. 29.
28 Iman Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta : P.T.
Raja Grafindo Persada, hal. 59.
34
Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan bahwa
suatu sistem adalah “suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang
terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain”.
Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri
keterhubungan dari bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan cirinya
yang lain, yaitu, bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara
aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Apabila
suatu sistem itu ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian itu
maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya adalah
sebagai berikut.29
a. Sistem itu berorientasi kepada tujuan.
b. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-
bagiannya (Wholism).
c. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungannya (Keterbukaan sistem).
d. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu
yang berharga (Transformasi).
e. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain
(Keterhubungan).
f. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Mekanisme
kontrol).
Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu sistem maka
untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.
Pengertian hukum sebagai sistem hukum dikemukakan antara lain oleh
Lawrence M Friedman, bahwa hukum itu merupakan gabungan antara
komponen struktur, substansi dan kultur.30
29
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 48. 30
Esmi Warassih, op.cit, hal. 30.
35
a. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh
sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini
dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu
memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum
secara teratur.
b. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum,
berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan
baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
c. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap
yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M.
Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah
yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara
peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga
masyarakat.
Menurut Lon L. Fuller, untuk mengenal hukum sebagai sebagai
sistem maka harus memenuhi delapan azas atau principles of legality
berikut ini :31
a. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia
tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang
bersifat ad hoc.
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
c. Peraturan tidak boleh berlaku surut.
d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
31
Ibid, hal. 31.
36
f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.
g. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah.
h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari.
Adapun pengertian norma adalah sarana yang dipakai oleh
masyarakatnya untuk menertibkan, menuntut dan mengarahkan
tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain.
Untuk bisa menjalankan fungsinya yang demikian itu, barang tentu ia
harus mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa. Paksaan ini tertuju
kepada para anggota masyarakat dengan tujuan untuk mematuhinya.32
Terdapat gagasan yang fundamental yang berasal dari Kant,
yakni tentang perbedaan antara apa yang ada (fakta-das Sein) dan apa
yang seharusnya (norma-das Sollen). Kant menjelaskan bahwa sesuatu
yang ada tidak dapat disamakan dengan apa yang seharusnya, sehingga
apa yang ada tidak dapat dipandang sebagai bersifat normatif. Kalau
umpamanya orang-orang biasanya saling menghormati (suatu fakta),
itu tidak berarti bahwa memang harus begitu. Seandainya saya mau
menerima konsekwensi ini sebagai benar, saya harus menerima juga
bahwa orang harus saling membunuh, bila mereka sudah biasa saling
membunuh. Dan hal ini umumnya tidak diterima. Pendek kata : apa
yang ada lain daripada apa yang seharusnya; fakta adalah fakta, bukan
norma.33
Selanjutnya, apabila kita mulai membahas tentang hukum
sebagai norma maka menurut pendapat Hans Kelsen, suatu norma
dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi
32
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 27. 33
Theo Huijbers, op.cit, hal. 45.
37
inipun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian
seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak
dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu
keberadaannya oleh masyarakat. Norma tertinggi tersebut dinamakan
Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar), dan Grundnorm pada
dasarnya tidak berubah-ubah. Melalui Grundnorm inilah semua
peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hierarchies,
dan dengan demikian ia juga merupakan suatu sistem.34
Arti hukum sebagai norma muncul pada kita, bila kita insyaf
tentang makna hukum dalam hidup kita. Kita menjadi insyaf, bahwa
hukum merupakan bagian kehidupan kita, dan bahwa hukum itu
berfungsi dalam kehidupan kita sebagai pedoman yang harus diikuti,
dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedemikian rupa
sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana
mestinya.35
Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk
mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan
dunia kenyataan dan oleh karenanya ia digolongkan ke dalam norma
kultur. Bagaimanapun juga, ia tetap memperlihatkan ciri-ciri dari
suatu norma yang digolongkan ke dalam norma susila yang
menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang pasti
dilakukan.36
Bahwa hukum bersifat normatif, tampak dalam perumusan
kaidah-kaidah hukum. Kaidah-kaidah itu dirumuskan sebagai
34
Esmi Warassih, op.cit, hal. 32.
35 Theo Huijbers, loc.cit. seharusnya dilakukan, bukan apa yang pasti akan dilakukan.
36 Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 27.
38
penggabungan antara dua kenyataan tertentu menurut prinsip
tanggungan, yakni : bila hal ini terjadi, seharusnya hal itu terjadi pula.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki televisi harus membayar
iuran sesuai dengan peraturan. Dikatakan “harus”/”seharusnya”
(ought) dalam arti tanggungan, sebab “harus” dalam suatu situasi
yuridis berbeda dengan “harus” dalam situasi alamiah. Dalam situasi
alamiah dua kenyataan selalu tergabung satu sama lain(umpamanya :
api dengan panas); karenanya keharusan alamiah selalu efektif. Lain
halnya dengan suatu keharusan yuridis, sebab suatu peraturan dapat
ditaati, dapat tidak. Bila hukum diakui sebagai normatif, diakui bahwa
hukum itu mewajibkan, bahwa hukum harus ditaati. Ketaatan itu tidak
dapat disamakan dengan ketaatan akan suatu perintah. Hukum ditaati,
bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya, melainkan
karena mewajibkan itu termasuk hakikat hukum sendiri. Pada
hakikatnya hukum adalah norma yang mewajibkan. Hal ini jelas, sebab
bila suatu pemerintah tidak berhasil mengefektifkan suatu peraturan,
sehingga peraturan itu kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut
sebagai norma tidak hilang. 37
Agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem tetap dapat
dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan
(efficacies) secara minimum. Efficacy suatu norma ini dapat terwujud
apabila ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang
dipaksakan oleh norma, dan perlu adanya persyaratan berupa sanksi
yang diberikan oleh norma. 38
37
Theo Huijbers, op.cit, hal. 45-46.
38 Esmi Warassih, op.cit, hal. 33.
39
B. Tinjauan Umum Tentang Bank
Lembaga Perbankan merupakan suatu lembaga keuangan yang
paling dikenal oleh masyarakat dari berbagai kalangan dibandingkan
dengan lembaga keuangan lainnya misalnya Asuransi, Dana Pensiun,
Bursa Efek, Leasing, Modal Ventura dan lain-lain. Pengenalan
masyarakat atas lembaga perbankan ini disebabkan faktor historis yang
panjang dalam hal peranan bank di tengah-tengah masyarakat dalam
menjembatani kebutuhan masyarakat yang memiliki kelebihan dana
dengan masyarakat yang membutuhkan dana, inilah yang kemudian
dikenal sebagai fungsi intermediasi (Financial Intermediary).
Di samping fungsi intermediasi, perbankan modern juga dituntut
untuk memenuhi berbagai kebutuhan finansial masyarakat. Peranan bank
di luar fungsi intermediasi di antaranya adalah dalam rangka memberikan
pelayanan pada sistem pembayaran melalui layanan transfer dana baik
domestik maupun antar negara (telegraphic transfer), kliring, inkaso
dalam negeri atau bank draft untuk warkat yang diterbitkan bank asing,
electronic fund transaction baik melalui anjungan tunai mandiri (ATM),
kartu debet, kartu kredit, mobile banking, internet banking dan
sebagainya. Selain itu, bank juga melayani berbagai transaksi yang
bertujuan investasi baik melalui produk reksadana maupun
bankassurance atau juga transaksi untuk kepentingan pengamanan asset
seperti safe deposit box atau lindung nilai melalui transaksi derivatif.
Sedangkan definisi tentang Bank telah dirumuskan secara limitatif
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yakni
“badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
40
rakyat banyak.” Adapun pengertian Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1
angka 5). Sedangkan pengertian kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 11).
Dari rumusan pengertian di atas, terlihat bahwa usaha bank tidak
semata-mata sebagai suatu sarana memutar uang untuk mencari
keuntungan perusahaan, tetapi undang-undang menghendaki agar
kehadiran bank dapat meningkatkan taraf hidup rakyat. Pasal 4 Undang–
undang Perbankan menyebutkan bahwa “perbankan Indonesia bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional
ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.” Artinya bahwa bank
tidak cukup hanya menjalankan kegiatannya saja, yaitu menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat, tetapi juga mempunyai tujuan yang jelas
demi kepentingan pembangunan nasional. Institusi perbankan dapat
menjadi agen pembangunan nasional. Hal ini merupakan salah satu
tanggung jawab bank dalam rangka mewujudkan cita-cita negara untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Menurut kamus istilah hukum Fockema Andrea, yang dimaksud
dengan bank ialah “suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan
perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak
ketiga. Berhubung dengan adanya cek yang hanya dapat diberikan kepada
bankir sebagai tertarik, maka bank dalam arti luas adalah orang atau
41
lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk
pihak ketiga.”39
Menurut Hermansyah pada dasarnya bank adalah : “badan usaha
yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada pihak – pihak yang membutuhkan dalam
bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”40
Kasmir memberikan definisi bahwa bank merupakan lembaga
keuangan yang kegiatannya adalah sebagai berikut :41
1. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
maksudnya adalah dalam hal ini bank sebagai tempat menyimpan
uang atau tempat berinvestasi masyarakat. Tujuan utama masyarakat
menyimpan uang biasanya adalah untuk keamanan uangnya,
sedangkan tujuan selanjutnya adalah untuk melakukan investasi
dengan harapan memperoleh keuntungan yang berupa bunga apabila
disimpan pada bank konvensional dan hasil pembagian keuntungan
apabila disimpan pada bank sya’riah. Tujuan lainnya adalah untuk
memudahkan melakukan transaksi pembayaran. Untuk memenuhi
tujuan mengamankan dan investasi, bank menyediakan sarana yang
disebut simpanan.
2. Menyalurkan dana ke masyarakat (lending), maksudnya adalah bank
memberikan pinjaman (kredit) kepada masyarakat yang mengajukan
permohonan. Dengan istilah lain, bank menyediakan dana bagi
masyarakat yang membutuhkannya. Pinjaman atau kredit yang
diberikan dibagi dalam berbagai jenis sesuai dengan keinginan
nasabah masing-masing. Namun tentu saja bank terlebih dahulu
39
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi revisi, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, hal. 8. 40
Loc.cit. 41
Kasmir, 2002, Dasar-dasar Perbankan, Jakarta : P.T. Radja Grafindo Persada, hal. 4.
42
menilai apakah kredit tersebut layak diberikan atau tidak. Penilaian ini
dilakukan supaya bank dapat terhindar dari kerugian akibat tidak
dapat dikembalikannya pinjaman yang disalurkan bank dengan
berbagai sebab. Jenis kredit tersebut terbagi atas kredit investasi,
kredit modal kerja dan kredit perdagangan. Jenis-jenis kredit yang
diberikan oleh bank dapat dikatakan sama pada semua bank.
3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya, seperti pengiriman uang
(transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam
kota (clearing), penagihan surat-surat berharga dari luar kota atau luar
negeri (inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank garansi,
travelers cheque dan jasa-jasa lainnya. Jasa-jasa ini merupakan jasa
pendukung dari kegiatan pokok bank yakni menghimpun dana dan
menyalurkan dana yang terhimpun tersebut.
Jerry M. Rosenberg mengemukakan bahwa bank merupakan
sebuah organisasi seperti umumnya perseroan yang memiliki hubungan
dengan pemerintah pusat, dan secara prinsip memiliki fungsi untuk
menerima tabungan dan deposito berjangka, memberikan bunga terhadap
nasabah penyimpan dan/atau memberikan penghargaan dalam bentuk
lainnya sesuai dengan undang-undang dan bank dapat memberikan kredit
atau menanamkan modalnya dalam bentuk lainnya. 42
Dalam UU No. 7 Tahun 1992 juncto UU No. 10 Tahun 1998
dikenal adanya 2 (dua) jenis Bank yakni Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat. Bank umum berfungsi sebagai Bank yang dapat
menjalankan segala jenis usaha di bidang jasa perbankan sedangkan Bank
Perkreditan Rakyat berfungsi sebagai Bank yang menjalankan usaha di
bidang jasa perbankan tidak termasuk jasa lalu lintas pembayaran,
42
Gunarto Suhardi, 2003, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta :
Kanisius, hal. 17.
43
terutama untuk melayani usaha kecil dan rakyat pedesaan. Selain
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maka Bank Umum
maupun Bank Perkreditan Rakyat dapat pula menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
C. Tugas dan Kedudukan Bank Indonesia sebagai Pengawas dan
Pengatur Bank.
Pasca krisis multi dimensional yang melanda Indonesia pada tahun
1998 terjadi reformasi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Salah satu buah dari reformasi adalah Amandemen Undang-undang Dasar
1945. Berbagai ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 dilakukan
perubahan dan perbaikan bahkan beberapa diantaranya adalah pengaturan
baru yang dilekatkan dalam Undang-undang Dasar 1945. Salah satu
perubahan pada Amandemen keempat Undang-undang Dasar 1945 adalah
pengaturan tentang Bank Sentral sebagaimana diatur dalam Pasal 23 huruf
D yang berbunyi “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur
dengan undang-undang”. Dari sisi hukum, adanya pasal baru yang
mengatur bank sentral dalam konstitusi merupakan aspek yang patut
dikaji secara mendalam mengingat amanat pasal tersebut dapat membawa
konsekuensi hukum bagi Bank Indonesia selaku the existing central
bank. 43
Rumusan Pasal 23 huruf D Undang-undang Dasar 1945 hasil
amandemen keempat tidak menyebutkan secara khusus tentang
kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Sehingga memunculkan
penafsiran apakah Bank Indonesia merupakan Bank Sentral sebagaimana
43
Agus Santoso, “Status, Tugas, dan Kedudukan Bank Indonesia menurut Pasal 23D UUD
1945”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 1 Nomor 1 Bulan Juli
2003 : 2
44
diatur dalam Pasal tersebut ataukah negara harus membentuk institusi
baru berkedudukan sebagai Bank Sentral. Meskipun terdapat beberapa
penafsiran yuridis tentang eksistensi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
akan tetapi nampaknya dengan berjalannya waktu tidak ada yang
“menggugat” peran Bank Indonesia ini sebagai Bank Sentral Republik
Indonesia.
Hal ini dimungkinkan karena adanya legitimasi yang didasarkan
pada peran Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sebagaimana dinyatakan
dalam Penjelasan Pasal 23 huruf D UUD 1945 yang menyebutkan secara
tegas nama Bank Indonesia yang diamanatkan untuk mengemban tugas:
(1) mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas; dan (2) menjaga
agar nilai uang tetap stabil. Dengan kata lain, bersamaan dengan
kemerdekaan Republik Indonesia, para pendiri negara ini menghendaki
adanya bank sentral nasional yang dijalankan oleh suatu lembaga yang
disebut secara eksplisit sebagai Bank Indonesia.
Untuk memperkuat kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral maka Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik
Indonesia membentuk Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 dan yang
terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009. Pasal 4
ayat (1) Undang-undang ini secara tegas mengatur bahwa Bank Indonesia
adalah Bank Sentral Republik Indonesia.
Pasal 23 huruf D Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009
membawa paradigma baru tentang eksistensi Bank Indonesia. Perubahan
45
paradigma yang sangat fundamental adalah independensi Bank Indonesia.
Hal ini terjadi selain karena adanya perkembangan dan perubahan
kepentingan dalam perekonomian terhadap fungsi dan tugas bank sentral,
perubahan itu juga dalam rangka mengakselerasi international best
practices, dimana terdapat korelasi positif antara independensi bank
sentral dengan kestabilan nilai mata uang dan tingkat inflasi.
Untuk mewujudkan independensinya maka Bank Indonesia hanya
memiliki satu tujuan (single objective) sebagaimana diatur dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor
6 Tahun 2009 yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi bank,
serta mengatur dan memelihara kelancaran sistem pembayaran.
Dalam rangka pelaksanaan tugas mengatur bank, Pasal 25 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
maka Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
Adapun instrumen yang digunakan untuk mengatur bank adalah Peraturan
Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.
Terkait dengan tugas untuk mengawasi bank maka Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 yang terakhir diubah dengan Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia secara implisit menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia untuk
46
mengawasi Bank hanya sementara karena menurut Pasal 34 ayat (1)
Undang-undang tersebut diatur bahwa tugas mengawasi Bank akan
dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dan ayat (2) mengatur
bahwa pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Mengenai pengalihan tugas pengawasan bank kepada Lembaga
Pengawasan Sektor Jasa Keuangan ini menimbulkan banyak pertanyaan
khususnya mengenai inkonsistensi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal
4 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 yang terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, yang mengatur mengenai tugas dan kewenangan
Bank Indonesia antara lain dalam fungsinya selaku otoritas perbankan
yang merupakan salah satu dari 3 pilar untuk mendukung tercapainya
tujuan Bank Indonesia, sementara itu dalam Pasal 34 tugas pengawasan
bank dialihkan kepada Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan.
Pelaksanaan tugas pengawasan bank oleh Bank Indonesia
dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yakni pengawasan berdasarkan
kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan
risiko (risk based supervision/RBS). Pendekatan pengawasan berdasarkan
kepatuhan (compliance based supervision) pada dasarnya menekankan
pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan
yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini
mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan
47
bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut
prinsip-prinsip kehati-hatian. Sedangkan pengawasan berdasarkan risiko
(risk based supervision/RBS) merupakan pendekatan pengawasan yang
berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan
pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan
pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional
bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Melalui
pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank
untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang
potensial timbul di bank.
Adapun pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk
mengoptimalkan fungsi Bank Indonesia sebagai lembaga kepercayaan
masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur
dana, pelaksana kebijakan moneter, dan lembaga yang ikut berperan
dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan agar tercipta
sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh
maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi
perekonomian nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan adalah
dengan menerapkan :44
1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);
2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara
konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory
44
(http://www.bi.go.id/pengawasan/tujuan pengaturan dan pengawasan)
48
banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap
mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka diperoleh
gambaran tentang kedudukan dan peran Bank Indonesia dalam
pengaturan dan pengawasan perbankan di Indonesia yang dilaksanakan
dengan penetapan kebijakan prinsip kehati-hatian bank yang wajib
diterapkan oleh semua bank serta mendorong setiap bank untuk membuat
dan melaksanakan kebijakan internal tentang prinsip kehati-hatian.
Dengan demikian harapan Bank Indonesia untuk dapat mewujudkan
sistem perbankan nasional yang sehat, kuat dan kokoh dapat
diwujudnyatakan.
D. Prinsip Kehatian-hatian (The Prudential Principles).
Dalam menjalankan usahanya, Manajemen Bank wajib mengelola
usahanya dengan mendasarkan pada sikap kehati-hatian atau yang lazim
dikenal dengan istilah The Prudential Principles. The Prudential
Principles ini mulai dikenal dalam praktek pengelolaan bank pada
pertengahan tahun 1980. Secara harafiah pengertian prudent adalah
”bijaksana” hanya saja dalam konteks pengelolaan bank, para praktisi
perbankan lebih memilih menerjemahkannya sebagai “kehati-hatian”
yang kemudian istilah yang sering digunakan adalah asas kehati-hatian.45
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, penerjemahan prudential
principle sebagai prinsip kehati-hatian tidak tepat. Seharusnya prudential
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan arif. Sedangkan
45
Permadi Gandapradja, 2004, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank,
Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama, hal. 21.
49
prudentiality principle seyogianya diterjemahkan dengan prinsip
kearifan.46
Sedangkan menurut Sundari Arie, belum terdapat ketentuan yang
baku mengenai prinsip kehati-hatian namun dalam praktek
pelaksanaannya prinsip kehati-hatian perbankan merupakan prinsip yang
diterapkan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya agar
senantiasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku
guna menghindari penyimpangan praktek perbankan yang tidak sehat dan
untuk meminimalisasi kerugian yang terjadi pada bank. Penafsiran ini
lebih berorientasi pada kepatuhan (compliance) sehingga bersifat positivis
atau legalistik karena semuanya masih digantungkan pada aturan hukum
yang telah ada sebelumnya.47
Terdapat pandangan ahli hukum perbankan yang memahami
prinsip kehati-hatian dalam optik pengelolaan risiko. Gunarto Suhardi
menjelaskan bahwa berhati-hati atau prudent adalah dengan menghitung
risiko yang dihadapi karena bank berhubungan dengan pihak lainnya yang
karakter dan usahanya bergantung pada keadaan orang itu. Di samping
itu, bank juga berhadapan dengan waktu yang berbeda dan dalam kondisi
yang berbeda pula, padahal kondisi misalnya krisis keuangan yang meluas
di dalam suatu negara dari waktu ke waktu mungkin saja terjadi. Sehingga
dapat dikatakan risiko adalah suatu fungsi dari penempatan dana dari
bank itu. Memang risiko itu berbeda-beda bergantung pada lembaga atau
individu dimana bank itu telah menempatkan dananya. Penempatan dana
pada bank sentral misalnya seperti Sertifikat Bank Indonesia maka
46
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir
Indonesia, hal. 174. 47
S. Sundari Arie, 2007, Tindak Pidana di Bidang Perbankan Ditinjau dari Undang-undang
Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan Terkait Serta Permasalahan dalam
Prakteknya, Tindak Pidana di Bidang Perbankan (ed), Jakarta : CFISEL, hal. 13.
50
risikonya dianggap kecil atau bahkan dapat diabaikan. Sebaliknya
penempatan dana pada debitur dengan usaha di bidang industri misalnya
maka risikonya cukup besar karena bergantung pada pemasaran produk
industri itu. Bank yang berhati-hati menghitung benar segala risiko dan
bilamana risiko itu harus dihadapi maka sudah diadakan pencadangan
terhadap kerugian yang mungkin akan timbul.48
Pandangan Gunarto Suhardi tentang prinsip kehati-hatian ini juga
lebih progresif dibandingkan dengan pandangan ahli yang membatasi
keberlakuan prinsip kehati-hatian dalam perspektif legalistik. Bank
sebagai suatu entitas bisnis tentunya sangat dinamis dalam menjalankan
aktivitas usahanya. Oleh karenanya, regulasi akan senantiasa tertinggal
dibandingkan dengan dinamika bisnis termasuk di dalamnya bank. Kalau
prinsip kehati-hatian senantiasa diukur dari tersedianya peraturan yang
telah ada sebelumnya maka akan senantiasa terdapat “lubang” dalam
penegakan prinsip kehati-hatian ini.
Oleh karena itu, batasan mengenai prinsip kehati-hatian perbankan
sebaiknya tidak sepenuhnya digantungkan pada peraturan hukum tetapi
juga mempertimbangkan praktek perbankan yang baik (best practice).
Asosiasi perbankan sebaiknya mempunyai mekanisme peradilan internal
(semacam mahkamah kode etik) yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan penentuan atas suatu tindakan, keputusan dan atau kebijakan
yang dianggap melanggar prinsip kehati-hatian. Keputusan yang diambil
oleh peradilan internal ini bisa dipergunakan sebagai alat bukti dalam
sidang peradilan.
48
Gunarto Suhardi, 2007, 25 Langkah Bijaksana Mengelola Bank (Sesuai Basle
Committee), Yogyakarta : Universitas Gajahmada, hal. 27-28.
51
Dalam konteks Indonesia, penerapan prinsip/asas kehati-hatian
dalam pengelolaan perbankan secara imperatif dirumuskan dalam Pasal 2
Undang- undang No. 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang No. 10 Tahun
1998. Dalam ayat ini dirumuskan bahwa “Perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.” Penjelasan lebih lanjut tentang
prinsip kehati-hatian tidak terdapat dalam undang-undang ini. Hanya
dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) yang mengatur tentang
kewenangan Bank Indonesia untuk mengatur dan membina bank terdapat
pengaturan sebagai berikut “bank wajib memiliki dan menerapkan sistem
pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan
prinsip kehati-hatian”.
Pengertian serta ruang lingkup prinsip kehati-hatian tidak diatur
secara eksplisit di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998. Akan tetapi apabila merunut dari Penjelasan Pasal 25 ayat
(1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dimana dinyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan
perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk
memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha
perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat” maka dapat
diambil suatu penafsiran bahwa semua ketentuan yang terkait dengan
tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat adalah acuan dari
prinsip kehati-hatian.
52
Merunut pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 maka terdapat beberapa pasal yang mengatur
tentang kewajiban bank untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat.
Pasal 8 undang-undang ini mengatur tentang kewajiban bank dalam
rangka kegiatan perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
diantaranya adalah dengan melakukan proses analisis yang mendalam atas
itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya serta kewajiban bank untuk memiliki standar operasional baku
dalam bidang perkreditan. Pengaturan ini semata-mata agar bank
mempunyai portofolio kredit yang sehat dan memberikan keuntungan.
Dalam praktek perkreditan saat ini analisis kredit yang
dipergunakan adalah kaidah 6 C’s yang meliputi Character, Capacity,
Capital, Condition of Economic, Collateral dan Constraint. Kaidah
character untuk mengukur kemauan atau kesanggupan serta etikat baik
dari dari debitur untuk memenuhi kewajiban atas pinjamannya, capacity
yang dipergunakan sebagai tolok ukur adalah kemampuan calon debitur
untuk memenuhi kewajiban pinjamannya yang dananya bersumber dari
cash flow usahanya, capital adalah asset dan modal yang dipunyai oleh
calon debitur, condition of economic adalah kondisi ekonomi makro
maupun mikro yang berpotensi memberikan dampak bagi suatu usaha
yang akan dibiayai bank, collateral adalah jaminan/agunan kredit yang
dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian kredit (second way out)
dengan ukuran apakah barang jaminan tersebut mempunyai nilai jual yang
mengcover pinjamannya, dan yang terakhir adalah constraint yaitu
halangan atau hambatan terkait dengan isu-isu yang biasanya bersifat
lokal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kewajiban pembayaran
kredit debitur.
53
Ketentuan lain yang berdimensi kehati-hatian adalah penetapan
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Dalam rangka pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa bank wajib
mematuhi ketentuan tentang BMPK. Tujuan dari penetapan BMPK adalah
untuk penyebaran risiko (risk spreading) agar tidak terjadi pengumpulan
portofolio pada suatu kelompok tertentu baik yang terkait dengan bank
maupun pihak lain yang tidak terkait dengan bank itu sendiri.
Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur
bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, atau sering disebut dengan CAMEL dan aspek
lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Dalam praktek pengelolaan bank, Pasal 29 ayat (2) ini merupakan
acuan dalam rangka penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Selain CAMEL
dalam pasal 29 ayat (2) tersebut juga disebutkan tentang aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank. Dalam metode penilaian Tingkat
Kesehatan Bank saat ini “aspek lain” yang dimaksudkan disini adalah
tingkat kepatuhan (compliance) bank terhadap semua regulasi yang terkait
dengan pengelolaan usaha bank. Pengaturan tentang Tingkat Kesehatan
Bank lebih lanjut dapat dilihat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang
Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum ini parameter penilaian
selain CAMEL ditambahkan dengan dengan parameter tambahan yakni
sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk). Dengan
54
demikian parameter penilaian tingkat kesehatan bank saat ini menjadi
CAMELS.
Arti pentingnya menciptakan sistem perbankan yang sehat adalah
sebagai berikut :49
1. keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan
masyarakat yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs),
sehingga berpotensi merugikan deposan dan kreditor bank ;
2. penyebaran kerugian di antara bank-bank sangat cepat melalui
contagion effect, sehingga berpotensi menimbulkan system problem ;
3. proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam
jumlah yang tidak sedikit ;
4. hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai
lembaga intermediasi akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam
sektor keuangan (financial distress) ; dan
5. ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi
makroekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya
transmisi kebijakan moneter.
Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur
bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh
cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank. Ketentuan inilah sebetulnya yang
menjadi esensi dari prinsip kehati-hatian bank dalam kedudukannya
49
Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta : Sinar Grafika,
hal. 29.
55
sebagai lembaga intermediasi sehingga eksistensi suatu bank terus
berkelanjutan (going concern).
Kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian juga dapat dilihat
dari ketentuan dalam Pasal 37 B Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
mengatur tentang kewajiban bank untuk menjamin dana masyarakat yang
dititipkan kepadanya. Fungsi penjaminan ini dapat dialihkan kepada
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Di luar peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di
atas maka pengaturan tentang prinsip kehati-hatian perbankan juga dapat
ditemukan pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-
undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar dinyatakan bahwa “dalam rangka penerapan prinsip kehati-
hatian, Bank Indonesia menetapkan ketentuan atas berbagai jenis
transaksi Devisa yang dilakukan oleh bank.” Sedangkan di dalam
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini dinyatakan bahwa “yang
dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu upaya untuk
meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern
bank yang bersangkutan.”
Dari ketentuan tersebut dapat diambil esensi pengaturannya bahwa
prinsip kehati-hatian adalah segala upaya untuk meminimalkan risiko
usaha dalam pengelolaan bank. Sebagaimana telah diketahui bahwa bank
adalah suatu entitas bisnis yang menanggung potensi risiko. Oleh
karenanya semua elemen perbankan harus bekerja dalam rangka
56
pengelolaan dan pengembangan usahanya dengan meminimalkan dan
memitigasi risiko.
Pengaturan tentang prinsip kehati-hatian juga dapat ditemukan
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang berbunyi sebagai berikut “Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi
ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.” Selain itu pada Pasal 35 ayat (1)
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian.” Adapun pengertian prinsip kehati-hatian berdasarkan
undang-undang ini dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 2 Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai berikut
“yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pedoman
pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang
sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
E. Pengertian Good Corporate Governance.
Belajar dari pengalaman selama ini dalam dunia perbankan, maka
para pelaku usaha perbankan haruslah memperbaiki diri, meningkatkan
kecakapan untuk mengelola institusi bank. Pengalaman kegagalan yang
dialami oleh banyak bank pada masa krisis moneter bahkan berlanjut dari
tahun ke tahun maka pada pertengahan tahun 1999 muncul wacana Good
Corporate Governance (GCG) atau Tata Kelola Perusahaan yang baik.
Dimana dalam prinsip GCG’s ini memberikan konsekuensi bahwa setiap
perusahaan harus mampu memperkuat dirinya sendiri terhadap berbagai
risiko yang akan dihadapinya dengan cara memperbaiki daya saingnya
57
serta memastikan dirinya untuk dapat mempertahankan kelangsungan
hidup dan perkembangannya (sustainable growth). 50
Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi
Bank Umum memberikan definisi Good Corporate Governance adalah
“suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge merekomendasikan definisi
Good Corporate Governance sebagaimana diintrodusir oleh 3 pihak yakni
The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),
The Australian Stock Exchange (ASX), dan Pakar manajemen Jill
Solomon dan Aris Solomon. 51
Definisi Corporate Governance menurut
OECD sebagai berikut : “Corporate governance is the system by which
business corporations are directed and controlled, The corporate
governance structure specifies the distribution of rights and
responsibilities among different participants in the corporation, such as
the board, the managers, shareholders and other stakeholders, and
spells out the rules and procedure for making decisions on corporate
affairs. By doing this, it also provides the structure throught which the
company objectives are set, and the means of attaining those objectives
and monitoring performance.” Sedangkan The ASX Corporate
Governance Council mendefinisikan corporate governance sebagai
50
Jimmy E. Elias, 2004, “Peranan Manajemen Risiko Strategik Dalam Mendukung Good
Corporate Governance”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 23-No.3 Tahun 2004, Jakarta :
Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, hal. 51.
51
Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge, 2005, Good Corporate Governance-Tata Kelola
Perusahaan yang Sehat, Jakarta : P.T. Damar Mulia Pustaka, hal. 2-4.
58
berikut : “Corporate governance is the system by which companies are
directed and managed. It influences how the objectives of the company set
and achieved, how risk is monitored and assessed, and how performance
is optimized”. Definisi ketiga diutarakan oleh dua orang pakar manajemen
Jill Solomon dan Aris Solomon sebagaimana dijelaskan dalam buku
mereka berjudul Corporate Governance and Accountability. Kedua pakar
manajemen ini mendefinisikan “Corporate Governance sebagai sistem
yang mengatur hubungan antara perusahaan (diwakili oleh Board of
Directors) dengan pemegang saham. Corporate Governance juga
mengatur hubungan dan pertanggungjawab atau akuntabilitas perusahaan
kepada seluruh anggota the stakeholders non pemegang saham. Termasuk
dalam kategori the stake holder non pemegang saham adalah para
kreditur, pelanggan, karyawan dan masyarakat (terutama yang berada di
sekitar unit sarana produksi perusahaan).”
Untuk dapat mengimplementasikan Konsep GCG’s dalam praktek
pengelolaan lembaga perbankan maka Bank Indonesia meminta kepada
semua bank untuk menunjuk satu Direktur yang khusus menangani
masalah Kepatuhan (Compliance) dimana Direktur ini mempunyai tugas
untuk memastikan bahwa lembaga yang dikelolanya benar-benar telah
mematuhi semua norma dan peraturan yang telah ada.
Agar setiap bank yang beroperasi di Indonesia dapat menerapkan
norma dan peraturan yang ada dengan baik maka selain mewajibkan
setiap bank mempunyai Direktur Kepatuhan maka perlu pula adanya
mekanisme pengawasan eksternal yang saat ini dilaksanakan oleh Bank
Indonesia serambi menunggu dibentuknya Lembaga Pengawas Sektor
Jasa Keuangan yang independen sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
34 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
59
Semua upaya ini dilakukan agar dapat dibangun sistem perbankan
yang kuat dan aman sehingga mampu semakin berperan dalam proses
pemulihan dan pembangunan di negara kita. Untuk itu perlu adanya
fondasi yang kuat bagi institusi perbankan agar tidak cepat roboh
manakala terjadi “badai krisis” yang mengancam kinerja finansial dan
moneter kita.
F. Pengertian Risiko dan Manajemen Risiko.
Dalam satu setengah dekade terakhir ini, para bankir baru
menyadari bahwa sebuah Bank berada pada bisnis berisiko. Para Bankir
menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi menawarkan jasa-jasa
keuangan, Bank harus mengambil atau menerima dan mengelola berbagai
jenis risiko keuangan secara efektif, agar dampak negatifnya tidak terjadi.
Sebelum kesadaran akan perlunya Manajemen Risiko ini muncul, hampir
semua Bank berpendapat bahwa risiko harus dihindari atau dihilangkan.52
Risiko dan Manajemen Risiko sebenarnya adalah istilah universal
yang tidak hanya dipergunakan dalam dunia perbankan. Hampir seluruh
kegiatan bisnis berkepentingan dengan pemahaman atas risiko dan
manajemen risiko. Bahkan kata risiko banyak dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang. Hanya saja pengertian
mengenai risiko ini tidak ada kesatuan pandang, masing-masing orang
memahami pengertian risiko dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Menurut Herman Darmawi, risiko mempunyai beberapa definisi
sebagai berikut :53
52
Robert Tampubolon, 2004, Risk Management-Pendekatan Kualitatif untuk Bank
Komersial, Jakarta : P.T. Elex Media Komputindo, hal. 4. 53
Herman Darmawi, 2004, Manajemen Risiko, Jakarta : P.T. Bumi Aksara, hal. 18.
60
1. Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian).
Chance of loss biasanya dipergunakan untuk menunjukkan suatu
keadaan dimana terdapat suatu keterbukaan (exposure) terhadap
kerugian atau suatu kemungkinan kerugian. Sebaliknya jika
disesuaikan dengan istilah yang dipakai dalam statistik, maka
“chance” sering dipergunakan untuk menunjukkan tingkat
probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Misalnya kalau kita
melemparkan uang logam Rp. 100,- maka probabilitas munculnya
gambar adat di bagian atas setelah uang itu tiba di lantai adalah 0,5.
Penulis yang menolak definisi risiko sebagai “chance of loss”
memberikan alasan, bahwa pembedaan antara risiko dan “chance of
loss” harus dilakukan. Mereka menegaskan bahwa jika risiko dan
“chance of loss” itu sama artinya, maka tingkat risiko dan tingkat
probabilitas juga sama artinya, maka tingkat risiko dan tingkat
probabilitas juga sama artinya. Karena itu bila “chance of loss”
adalah 100% maka kerugian itu adalah pasti dan karena kerugian
pasti terjadi, maka risiko tidak ada. Walaupun demikian banyak
penulis yang menerima definisi bahwa “risk is the chance of loss”,
jika “chance of loss” diartikan sebagai kemungkinan akan terjadinya
kerugian.
2. Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian).
Istilah “possibility” berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa
berada di antara nol dan satu. Definisi ini barangkali sangat
mendekati dengan pengertian risiko yang dipakai sehari-hari. Akan
tetapi definisi ini agak longgar, tidak cocok dipakai dalam analisis
secara kuantitatif.
3. Risk is Uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian).
61
Tampaknya ada kesepakatan bahwa risiko berhubungan dengan
ketidakpastian (uncertainty) yaitu adanya risiko, karena adanya
ketidakpastian. Karena itulah ada penulis yang mengatakan bahwa
risiko itu sama artinya dengan ketidakpastian. Tetapi istilah
uncertainty itu sendiri mempunyai berbagai arti, dan selalu tidak
segera bisa ditangkap arti mana yang dimaksudkan. Untuk ringkasnya
dapat dikatakan, bahwa uncertainty ada yang bersifat subyektif dan
yang bersifat obyektif. Subjective Uncertainty merupakan penilaian
imdividu terhadap situasi risiko. Hal ini didasarkan atas pengetahuan
dan sikap orang yang memandang situasi itu. Ketidakpastian itu
merupakan ilusi yang diciptakan oleh orang karena
ketidaksempurnaan pengetahuannya di bidang itu. Misalnya
dilaporkan oleh dinas pengamat cuaca, bahwa besok “mungkin akan”
hujan. Tidak ada kepastian dalam alam. Semua sudah diatur
berdasarkan hukum alam. Hujan pasti atau tidak pasti akan datang.
Pengetahuan peramal cuacalah yang tidak sempurna untuk dapat
memastikannya. Jadi ketidak pastian seperti ini bersifat subyektif dan
inilah yang menimbulkan risiko dalam pengambilan keputusan.
Menurut Ferdinand Silalahi, pengertian risiko adalah sebagai
berikut :54
1. Risiko adalah kesempatan timbulnya kerugian.
2. Risiko adalah probabilitas timbulnya kerugian.
3. Risiko adalah ketidak pastian.
4. Risiko adalah penyimpangan aktual dari yang diharapkan.
5. Risiko adalah probabilitas suatu hasil akan berbeda dari yang
diharapkan.
54
Husein Umar, 2001, Manajemen Risiko Bisnis Pendekatan Finansial dan Non Finansial,
Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama, hal. 5.
62
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai risiko, Robert
Tampubolon memberikan definisi tentang Risiko Bank sebagai kombinasi
dari tingkat kemungkinan sebuah peristiwa terjadi disertai konsekuensi
(dampak) dari peristiwa tersebut pada Bank. Setiap kegiatan mengandung
potensi sebuah peristiwa terjadi atau tidak terjadi, dengan
konsekuensi/dampak yang memberi peluang untuk untung (upside) atau
mengancam sebuah kesuksesan (downside).55
Di dalam bukunya yang lain, Robert Tampubolon memberikan
definisi Risiko dengan melihat peran Risk Based Internal Auditing
(RBIA) sebagai sebuah konsep untuk menunjukkan tingkat ketidakpastian
yang berdampak secara material terhadap tujuan usaha sebuah organisasi.
Apabila disederhanakan, risiko adalah berbagai peristiwa atau situasi yang
dapat menghambat/menggagalkan sebuah organisasi mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan.56
Bank Indonesia memberikan definisi tentang Risiko secara
limitatif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum sebagai berikut : Risiko adalah “potensi kerugian akibat terjadinya
suatu peristiwa (events) tertentu.”
Secara umum, Bank Indonesia telah mengidentifikasikan jenis-
jenis risiko dalam pengelolaan bank yang meliputi Risiko Kredit,
Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Kepatuhan,
Risiko Hukum, Risiko Reputasi, dan Risiko Stratejik. Adapun
pemahaman tentang risiko-risiko tersebut diuraikan dalam Pasal 1
55
Robert Tampubolon, op.cit, hal. 21. 56
Robert Tampubolon, 2005, Risk And Systems-Based Internal Auditing (Audit Intern
Berbasis Risiko), Jakarta : P.T. Elex Media Komputindo, hal. 4.
63
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum adalah sebagai berikut :
1. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.
2. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga
option.
3. Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus
kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan,
tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
4. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak
berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi
operasional bank.
5. Risiko Kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku.
6. Risiko Hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis.
7. Risiko Reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
8. Risiko Strategik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
64
Berbagai risiko yang melekat pada kegiatan perbankan ini perlu
dikenali, dimonitor, dan dikontrol secara kontinue. Selain itu perlu
penetapan rencana mitigasi risiko yang komprehensif agar dalam
pembuatan keputusan bisnis bank didasarkan pada suatu argumentasi
yang kuat. Lebih dari pada itu diperlukan suatu manajemen risiko yang
terpadu (integrated risk management) untuk mengendalikan eksposure
risiko-risiko tersebut.
Sedangkan definisi tentang Manajemen Risiko sendiri adalah
suatu sistem pengawasan risiko dan perlindungan harta benda, hak milik,
dan keuntungan badan usaha atau perorangan atas kemungkinan
timbulnya kerugian karena adanya suatu risiko.57
Widigdo Sukarman, mendefinisikan Manajemen Risiko sebagai
keseluruhan sistem pengelolaan dan pengendalian risiko yang dihadapi
oleh bank yang terdiri dari seperangkat alat, teknik, proses manajemen
(termasuk kewenangan dan sistem dan prosedur operasional) dan
organisasi yang ditujukan untuk memelihara tingkat profitabilitas dan
tingkat kesehatan bank yang telah ditetapkan dalam Corporate Plan atau
rencana strategis bank lainnya sesuai dengan tingkat kesehatan bank yang
berlaku. Sedangkan William T. Thornhill mendefinisikan Manajemen
Risiko sebagai sebuah disiplin pengelolaan yang tujuannya adalah untuk
memproteksi asset dan laba sebuah organisasi dengan mengurangi potensi
kerugian sebelum hal tersebut terjadi, dan pembiayaan melalui asuransi
atau cara lain atas kemungkinan rugi besar karena bencana alam,
keteledoran manusia, atau karena keputusan pengadilan. Dalam
prakteknya, proses ini mencakup langkah-langkah logis seperti
pengidentifikasian risiko, pengukuran dan penilaian atas ancaman
(exposures) yang telah diidentifikasi, pengendalian ancaman tersebut
57
Husein Umar, Loc.cit.
65
melalui eliminasi atau pengurangan; dan pembiayaan ancaman yang
tersisa agar apabila kerugian tetap terjadi, organisasi dapat terus
menjalankan usahanya tanpa terganggu stabilitas keuangannya.58
Definisi Manajemen Risiko yang diberikan oleh Bank Indonesia
seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum adalah “serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko
yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.”
Untuk menjamin agar semua bank yang beroperasi di Indonesia
dan yang tunduk pada ketentuan hukum Indonesia dapat meningkatkan
performanya maka Bank Indonesia mewajibkan semua bank untuk
membuat Rencana Bisnis Bank Umum (Business Plan) secara realistis
dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal yang
mempengaruhi kelangsungan usaha bank serta memperhatikan prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 5/25/2004 tanggal 22
Oktober 2004 maka semua bank wajib membuat rencana bisnis yang
sekurang-kurangnya memuat : ringkasan eksekutif, kinerja bank,
penerapan manajemen risiko, kebijakan dan strategi manajemen, proyeksi
keuangan, rencana penghimpunan dana, rencana penyaluran dana,
rencana permodalan, proyeksi rasio dan pos-pos tertentu, rencana
pengembangan organisasi dan sumber daya manusia, rencana
pengembangan produk dan aktivitas baru, serta rencana perubahan
jaringan kantor. Dari rencana bisnis yang dibuat oleh bank diharapkan
58
Robert Tampubolon, 2004, op.cit, hal. 33-34
66
adanya arah yang jelas bagi setiap bank dalam menjalankan dan
mengembangkan usahanya.
G. KERANGKA BERPIKIR
Berdasarkan Pasal 23 huruf D Undang-undang Dasar 45,
kedudukan Bank Indonesia adalah sebagai Bank Sentral yang berfungsi
sebagai pengatur dan pengawas bank di Indonesia. Untuk mewujudkan
amanat ini disusunlah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sedangkan sebagai peraturan
sektoral di bidang perbankan disusunlah Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan dimana dalam Pasal 2 diatur bahwa Perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Industri perbankan adalah suatu industri yang khas karena bank
menjalankan usaha dengan mengandalkan sebagian besar modal
kerjanya dari dana masyarakat yang berhasil dihimpun. Oleh karena itu,
institusi perbankan lazim disebut sebegai lembaga kepercayaan. Karena
mengandalkan modal kerja dari dana masyarakat maka bank harus
dikelola dengan prinsip kehati-hatian.
Operasionalisasi prinsip kehati-hatian diwujudkan dalam
berbagai regulasi. Regulasi perbankan di Indonesia sebagian besar
diproduksi oleh Bank Indonesia melalui instrumen yang disebut
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.
67
Bank adalah suatu bisnis yang penuh dengan risiko sehingga
diperlukan penanganan dan pengelolaan yang baik agar terhindar dari
beberapa risiko usaha perbankan. Bank Indonesia memberikan arahan
dalam bidang pengelolaan risiko ini dengan menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum dan berbagai Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur manajemen risiko terkait aktivitas perbankan.
68
Sistematika kerangka berpikir disusun sebagai berikut :
Pasal 23 huruf D
UUD 1945
UU No. 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan UU
No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
PBI No. 11/25/PBI/2009 tentang
Perubahan Atas PBI No. 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum
PBI dan S.E. BI tentang Manajemen
Risiko pada berbagai aktivitas
perbankan
Bank Umum Bank Umum Bank Umum
Prinsip Kehati-hatian
Best Practises
UU No. 6 Tahun 2009 jo. UU No.
3 Tahun 2004 jo UU No. 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia
PBI No.
8/4/PBI/2006
tentang GCG
69
BAB III
METODE PENELITIAN
Suatu penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mendapatkan
dan selanjutnya mengolah data yang kemudian dilanjutkan dengan
penyusunan laporan hasil penelitian. Agar suatu penelitian dapat
memberikan hasil yang sahih diperlukan suatu metode penelitian yang akan
memberikan arah dan pedoman dalam proses penelitian.
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.59
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskrepsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.60
Berdasarkan pendapat tersebut maka penelitian ini akan dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
A. Jenis Penelitian
Di dalam setiap penelitian selalu diawali dengan upaya
menegaskan dulu konsep dan/atau definisi obyek atau obyek-obyek yang
akan diteliti. Penegasan konsep dimaksudkan agar orang tidak sampai
salah memilih cara atau metode penelitian/pencariannya, suatu kesalahan
yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh
59
Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : P.T. Raja
Grafindo Persada, hal. 1. 60
Peter Machmud Marzuki, op.cit, hal. 35.
70
melalui penelitian itu, sekalipun akurat dan berketerandalan, tidak “laku”
lagi (alias tidak sahih atau tidak valid) untuk menjawab masalah yang
tengah diajukan.61
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji kesesuaian peraturan-
peraturan yang terkait dengan manajemen risiko perbankan dengan
norma yang berlaku dalam dunia perbankan yakni prinsip kehati-hatian
bank. Penelitian akan dilakukan dengan mempelajari berbagai
Peraturan Bank Indonesia terkait dengan manajemen risiko dan peraturan
perundang-undangan lainnya melalui studi pustaka. Oleh karena itu jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif.
Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi
acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa
norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan
(undang-undang dasar), kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah
(dan seterusnya), dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan
(judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang
berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan
hukum, dan rancangan undang-undang). Penelitian hukum normatif
disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik karena tidak mengkaji
pelaksanaan atau implementasi hukum.62
B. Pendekatan Masalah
Penelitian ini hendak menganalisa substansi dari Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
61
Soetandyo Wignjosoebroto, op.cit, hal. 145. 62
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : P.T. Citra
Aditya Bakti, hal. 40.
71
Risiko Bagi Bank Umum dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian
bank yang telah diatur sebelumnya di dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Oleh karena itu
pendekatan masalah yang dipergunakan adalah pendekatan normatif
analitis substansi hukum (approach of legal content analysis) dengan
gradasi analisis hukum (legal analysis).
Agar penelitian ini dapat memberikan suatu hasil yang lebih
mendalam maka metode pendekatan masalah juga akan mengikuti alur
berpikir sesuai hirarki peraturan perundang-undangan. Menurut Hans
Kelsen, setiap tata kaidah hukum merupakan susunan kaidah-kaidah
(stufenbau). Di puncak stufenbau tersebut terdapat kaidah dasar atau
kaidah fundamental (grundnorm) yang merupakan hasil pemikiran
yuridis, tetapi bukan kaidah hukum positif. 63
Dalam konteks penelitian ini maka terdapat kerangka hirarkis
dalam struktur peraturan di bidang manajemen risiko perbankan. Secara
yuridis formal terdapat suatu sistimatika peraturan perundang-undangan
di bidang perbankan termasuk tetapi tidak terbatas pada pengaturan
tentang manajemen risiko, yang bertumpu pada konstitusi negara sebagai
batu pijakan.
Tetapi pada aras yang lain terdapat norma dasar yang berlaku
secara universal yang mengatur perilaku perbankan berikut dengan
aparatur di dalamnya yakni prinsip kehati-hatian (The Prudential
Principles). Sementara norma hukum lain dalam penelitian ini yang
keberlakuannya bergantung pada norma dasar tersebut adalah pengaturan
63
Ibid, hal. 75.
72
manajemen risiko perbankan. Pertautan kedua norma ini akan menjadi
fokus dalam penelitian ini.
C. Bahan Hukum
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian normatif sehingga
data-data yang diteliti adalah data-data sekunder. Data-data sekunder
yang diteliti meliputi, Pertama : Bahan Hukum Primer yang terdiri dari
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 jo. Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum serta Peraturan-
peraturan Bank Indonesia lainnya yang terkait dengan penerapan
manajemen risiko. Kedua : Bahan Hukum Sekunder, yang meliputi
jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, hasil penelitian, artikel-artikel, makalah
yang kesemuanya terkait dengan manajemen risiko dan prinsip kehati-
hatian perbankan. Ketiga : Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum
yang mendasari atau memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan
acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.
D. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Sebagai bahan hukum primer dalam penelitian ini yang meliputi
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah
diperbarui melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
73
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum serta
Peraturan-peraturan Bank Indonesia lainnya dan Surat Edaran Bank
Indonesia yang terkait dengan penerapan manajemen risiko perbankan
dapat diperoleh melalui perpustakaan dan website Bank Indonesia.
Sedangkan bahan hukum sekunder dan tersier diperoleh dari
perpustakaan dan pemanfaatan teknologi internet.
E. Analisis Data
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan akan dilakukan
analisis dengan menggunakan approach of legal content analysis.
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan komprehensif sehingga
diperoleh suatu paparan mengenai kelebihan, keunggulan, keuntungan,
manfaat sekaligus kelemahan, kekurangan atau kekurangcermatan yang
terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Teknik analisis
dilakukan secara interpretasi, yaitu data diinterpretasikan dan dijabarkan
dengan mendasarkan pada suatu norma-norma dan teori-teori ilmu
hukum yang telah ada.
Ada dua alasan mengapa dalam penelitian ini menggunakan
content analysis sebagai pisau analisis. Alasan pertama menyangkut
sumber data. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer berupa seperangkat peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan pada umumnya dan pengaturan tentang manajemen
74
risiko pada khususnya yang merupakan dokumen hukum. Oleh karena
sumber data adalah dokumen hukum maka pisau analisis dalam
membaca dokumen hukum sebagai sebuah teks adalah dengan
menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu suatu tehnik analisis
yang mengarahkan pada upaya pemahaman isi sebuah teks atau dokumen
dengan memahami secara utuh isi dokumen tersebut. Sedangkan alasan
kedua digunakannya analisis isi (contents analysis) adalah karena analisis
isi (content analysis) lebih menekankan pada prinsip obyektivitas yang
merupakan pilar penting dalam sebuah penelitian ilmiah.
75
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hukum Perbankan sebagai Suatu Sistem Hukum
Sebagaimana telah diungkapkan dalam bagian pendahuluan,
bahwa bank adalah suatu institusi yang sarat dengan pengaturan (heavily
regulation industry). Begitu banyak peraturan yang mengatur tentang
perbankan baik dari sisi kelembagaan, transaksional/aktivitas usaha,
bahkan mengatur tentang para pelaku usaha perbankan secara rigid.
Dalam perkembangannya dengan semakin banyaknya aspek hukum yang
mengatur perbankan maka muncullah disiplin Hukum Perbankan. Secara
umum, unsur-unsur yang terkandung di dalam hukum perbankan
meliputi :
1. Serangkaian ketentuan hukum positif di bidang perbankan. Peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan terangkai dalam hubungan
yang hirarkis dari puncaknya dalam dasar konstitusi kita yakni Pasal
23D dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 kemudian ditegaskan
dalam berbagai Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Bank
Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, Surat Keputusan Bank
Indonesia bahkan berlanjut sampai pada ketentuan-ketentuan internal
bank. Semua peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
tersebut terangkai sebagai suatu sistem dengan diikat oleh asas
hukum tertentu.
2. Hukum positif di bidang perbankan bersumberkan ketentuan yang
tertulis dan tidak tertulis (best practises). Ketentuan hukum tertulis
merupakan produk legislasi maupun peraturan pelaksanaan yang
dibuat oleh otoritas perbankan dalam hal ini Bank Indonesia.
Peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas perbankan diantaranya
76
adalah Peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, Surat
Keputusan Bank Indonesia dan lain-lain yang dalam beberapa kasus
peraturan perundang-undangan tersebut banyak dipengaruhi oleh
praktek kebiasaan yang telah dituangkan sebagai peraturan di negara
lainnya.
3. Ketentuan hukum perbankan tadi mengatur berbagai aspek perbankan
dalam lingkup kelembagaan termasuk prosedur dan perijinan
pendirian bank, prosedur pembukaan cabang atau perwakilan bank
asing, bentuk badan hukum bank, permodalan dan sebagainya.
4. Selain itu, ketentuan hukum perbankan juga mengatur mengenai
aktivitas usaha termasuk manajemen risiko dan tata kelola
perusahaan, mengatur mengenai sistem informasi dan infrastruktur
teknologi informasi, mengatur pula tentang aspek kepersonaliaan
meliputi kewajiban pemenuhan uji kelayakan dan kepatuhan (fit and
proper test), pemenuhan persyaratan sertifikasi pada jenjang
manajemen dan sebagainya.
5. Ketentuan hukum perbankan tadi juga mengatur aspek-aspek
kegiatan transaksional. Secara umum, fungsi utama bank adalah
sebagai menghimpun dana masyarakat dan selanjutnya
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Akan tetapi
fungsi tersebut mengalami metamorfosis karena dalam
perkembangannya muncul banyak fitur produk yang semakin
beragam tidak lagi sebagaimana fungsi semula. Fitur-fitur baru
tersebut tidak saja dalam rangka penghimpunan dana dan penyaluran
dana tertapi juga pada penyediaan jasa lainnya seperti transfer uang,
inkaso, letter of credit, bank draft, safe deposit box maupun transaksi-
transaksi turunan (derivatif) yang memerlukan pengaturan secara
khusus.
77
Menyadari perkembangan dalam lapangan hukum perbankan ini
maka apabila ditinjau dari sistem hukum nasional, hukum perbankan
telah berkembang menjadi hukum sektoral dan fungsional. Sehingga
kajiannya meniadakan pembedaan antara hukum publik dan hukum
privat, sehingga bentang ruang lingkupnya sangat luas meliputi beberapa
bidang hukum, seperti hukum administrasi, hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, dan hukum internasional.
Suatu perkembangan yang menarik pada lapangan hukum
perbankan adalah ketika hukum perbankan ini mewujud menjadi sebuah
sistem hukum tersendiri. Apabila kita merujuk pada pendapat Lawrence
M Friedman, bahwa hukum itu merupakan gabungan antara komponen
struktur, substansi dan kultur maka sistem hukum perbankan dapat
diuaraikan sebagai berikut :
1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem tersebut. Melalui berbagai peraturan perundang-
undangan yang ada maka bangunan kelembagaan sudah terbentuk
pada lapangan hukum perbankan. Struktur yang mempunyai otoritas
mengatur (termasuk membuat peraturan) dan mengawasi sektor
perbankan telah ada, struktur pelaksana telah tersedia, subsistem
penyelesaian sengketa telah dibentuk bahkan berbagai infrastruktur
hukum telah terbentuk dalam sistem hukum perbankan di Indonesia.
2. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan telah banyak diproduksi
baik pada tingkatan undang-undang sampai dengan peraturan internal
kelembagaan sebagai aturan pelaksanaan.
3. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum. Kultur hukum inilah yang
78
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan
hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakatnya.
Dalam praktek perbankan salah satu wujud kultur hukum adalah
tersedianya kode etik dan best practises yang senantiasa menjadi
pedoman dari para praktisinya.
Selanjutnya, perlu pula ditinjau tentang hukum perbankan sebagai
suatu norma hukum. Menurut pendapat Hans Kelsen, suatu norma dibuat
menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi inipun
dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya
sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh
norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh
masyarakat. Norma tertinggi tersebut dinamakan Grundnorm atau Basic
Norm (Norma Dasar), dan Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-
ubah. Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu disusun
dalam satu kesatuan secara hierarchies, dan dengan demikian ia juga
merupakan suatu sistem.
Berdasarkan pendapat Hans Kelsen ini maka menjadi sangat
menarik untuk mengajukan suatu pertanyaan apakah yang menjadi norma
dasar (Grundnorm) pada sistem hukum perbankan. Pasal 2 Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa Perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Apabila merujuk Pasal 1
ayat (1) Rancangan Undang-undang tentang Demokrasi Ekonomi maka
yang dimaksudkan demokrasi ekonomi adalah sistem perekonomian
berdasarkan kedaulatan rakyat demi terwujudnya kemakmuran dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya sistem
hukum perbankan yang dibangun haruslah diorientasikan demi
79
terwujudnya kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ini adalah prinsip dasar yang mewarnai seluruh peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan.
Selain demokrasi ekonomi, asas lainnya adalah prinsip kehati-
hatian. Terkait dengan prinsip kehati-hatian akan dilakukan pembahasan
secara khusus karena roh hukum perbankan adalah prinsip kehati-hatian.
Oleh karenanya penempatan prinsip kehati-hatian pada rumusan pasal
undang-undang cenderung mengerdilkan muatan prinsip kehati-hatian
tersebut. Prinsip kehati-hatian perbankan merupakan meta yuridis yang
menjadi roh bagi pengaturan dan praktek perbankan yang sehat.
B. Aspek hukum Prinsip Kehati-hatian Perbankan (Prudential
Banking Principle’s)
1. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian pada Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Dalam banyak referensi telah sering dinyatakan bahwa bisnis
perbankan adalah bisnis yang penuh risiko (full risk business).
Aktivitas bisnis dalam penyediaan layanan finansial berikut dengan
berbagai fitur layanannya telah menempatkan bank pada situasi
dilematis antara upaya pencapaian tujuan keuntungan dengan
perangkap risiko yang menimbulkan potensi kerugian. Pada beberapa
kasus yang mengemuka akhir-akhir ini seperti kasus Bank Century
sebagai salah satu contoh kasus yang terjadi di dalam negeri maupun
kasus-kasus lembaga perbankan di negara lain, sebagai misal yang
terjadi di Barings Bank di Inggris pada tahun 1995 dan Lehman
80
Brothers di Amerika Serikat pada tahun 2008, memperlihatkan
bagaimana perilaku bankir yang hendak meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya sebagai layaknya tujuan korporasi menempatkan
institusinya pada “labirin jurang yang berbahaya”.
Upaya penetapan target pencapaian bisnis melalui standar
capaian yang relatif tinggi dan di tengah kompetisi antar lembaga
keuangan yang sedemikian ketat saat ini mendorong bankir dan
karyawan bank untuk mengupayakan segala cara untuk mewujudkan
prestasi kerjanya. Kreatifitas dalam mengupayakan pencapaian target
bisnis terkadang menafikan prinsip kehati-hatian yang selayaknya
dijunjung tinggi. Kesadaran kerapkali terlambat, ketika telah menjadi
masalah maka tindakan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian ini
baru disesali.
Beberapa kasus pengabaian prinsip kehati-hatian telah
menghantarkan bankir atau karyawan bank pada risiko hukum.
Meskipun terdapat kontroversi akan tetapi beberapa kasus dapat
diangkat sebagai bukti adanya risiko sanksi pidana atas pengabaian
prinsip kehati-hatian sebagaimana yang harus ditanggung oleh para
mantan Bankir Bank Mandiri yang terdiri dari E.C.W. Neloe, I
Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan. Dalam hal mana ketiga orang
tersebut telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi
dengan pembuktian sifat melawan hukum perbuatannya karena
melanggar prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Demikian pula kasus yang menimpa Ricky Donals dan
Chairul Azhari, keduanya yang merupakan karyawan Bank Mega
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan sidang
81
peradilan pidana dengan dakwaan melanggar prinsip kehati-hatian.
Keduanya dianggap tidak menjalankan prosedur dengan benar ketika
menyalurkan kredit kepada PT. Gladia Lestari Parahyangan sehingga
mengakibatkan kredit tersebut bermasalah.
Terlepas dari kontroversi yang melingkupi kedua kasus
tersebut akan tetapi menarik untuk menjadi bahan kajian tentang
aspek hukum prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan. Karena
saat ini prinsip ini kerap menjadi sarana penegak hukum untuk
menyelesaikan kasus-kasus di bidang perbankan.
Prinsip kehati-hatian di bidang perbankan diatur secara
khusus pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 yang menyatakan sebagai berikut “Perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Penjelasan lebih lanjut
tentang prinsip kehati-hatian tidak terdapat dalam undang-undang ini.
Hanya dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) yang mengatur
tentang kewenangan Bank Indonesia untuk mengatur dan membina
bank terdapat pengaturan sebagai berikut “bank wajib memiliki dan
menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin
terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank
yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Pengertian serta ruang lingkup prinsip kehati-hatian tidak
diatur secara eksplisit di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998. Akan tetapi apabila merunut dari Penjelasan
Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
82
Nomor 3 Tahun 2004 dimana dinyatakan bahwa “Ketentuan-
ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan
untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan
usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat”
maka dapat diambil suatu penafsiran bahwa semua ketentuan yang
terkait dengan tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat
adalah acuan dari prinsip kehati-hatian.
Merunut pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 maka terdapat beberapa pasal yang
mengatur tentang kewajiban bank untuk mewujudkan sistem
perbankan yang sehat. Pasal 8 undang-undang ini mengatur tentang
kewajiban bank dalam rangka kegiatan perkreditan atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah diantaranya adalah dengan melakukan
proses analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya serta
kewajiban bank untuk memiliki standar operasional baku dalam
bidang perkreditan. Pengaturan ini semata-mata agar bank
mempunyai portofolio kredit yang sehat dan memberikan
keuntungan.
Dalam praktek perkreditan saat ini analisis kredit yang
dipergunakan adalah kaidah 6 C’s yang meliputi Character,
Capacity, Capital, Condition of Economic, Collateral dan Constraint.
Kaidah character untuk mengukur kemauan atau kesanggupan serta
etikat baik dari dari debitur untuk memenuhi kewajiban atas
pinjamannya, capacity yang dipergunakan sebagai tolok ukur adalah
kemampuan calon debitur untuk memenuhi kewajiban pinjamannya
yang dananya bersumber dari cash flow usahanya, capital adalah
83
asset dan modal yang dipunyai oleh calon debitur, condition of
economic adalah kondisi ekonomi makro maupun mikro yang
berpotensi memberikan dampak bagi suatu usaha yang akan dibiayai
bank, collateral adalah jaminan/agunan kredit yang dimaksudkan
sebagai alternatif penyelesaian kredit (second way out) dengan
ukuran apakah barang jaminan tersebut mempunyai nilai jual yang
mengcover pinjamannya, dan yang terakhir adalah constraint yaitu
halangan atau hambatan terkait dengan isu-isu yang biasanya bersifat
lokal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kewajiban pembayaran
kredit debitur.
Ketentuan lain yang berdimensi kehati-hatian adalah
penetapan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Dalam
rangka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga
atau hal lain yang serupa bank wajib mematuhi ketentuan tentang
BMPK. Tujuan dari penetapan BMPK adalah untuk penyebaran
risiko (risk spreading) agar tidak terjadi pengumpulan portofolio
pada suatu kelompok tertentu baik yang terkait dengan bank maupun
pihak lain yang tidak terkait dengan bank itu sendiri.
Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur
bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, atau sering disebut dengan
CAMEL dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan
wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Dalam praktek pengelolaan bank, Pasal 29 ayat (2) ini
merupakan acuan dalam rangka penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
84
Selain CAMEL dalam pasal 29 ayat (2) tersebut juga disebutkan
tentang aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Dalam
metode penilaian Tingkat Kesehatan Bank saat ini “aspek lain” yang
dimaksudkan disini adalah tingkat kepatuhan (compliance) bank
terhadap semua regulasi yang terkait dengan pengelolaan usaha bank.
Pengaturan tentang Tingkat Kesehatan Bank lebih lanjut dapat dilihat
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang
Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan yang saat ini
telah disempurnakan melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004
tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, parameter
penilaian selain CAMEL ditambahkan dengan dengan parameter
tambahan yakni sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to
market risk). Dengan demikian parameter penilaian tingkat kesehatan
bank saat ini menjadi CAMELS.
Sementara itu terdapat keterkaitan yang sangat erat antara
Tingkat Kesehatan Bank dengan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko hal ini seperti yang diatur secara eksplisit di dalam
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011
tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang berbunyi “Bank
wajib memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank
dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
dalam melaksanakan kegiatan usaha”. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko akan mempengaruhi penilaian atas Tingkat Kesehatan Bank.
Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur
85
bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Ketentuan
inilah sebetulnya yang menjadi esensi dari prinsip kehati-hatian bank
dalam kedudukannya sebagai lembaga intermediasi sehingga
eksistensi suatu bank terus berkelanjutan (going concern).
Kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian juga dapat
dilihat dari ketentuan dalam Pasal 37 B Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang mengatur tentang kewajiban bank untuk menjamin
dana masyarakat yang dititipkan kepadanya. Fungsi penjaminan ini
dapat dialihkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
2. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian pada Undang-undang Nomor
24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar serta Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Di luar Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan maka pengaturan tentang prinsip kehati-hatian perbankan
juga diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Di dalam Pasal 4
ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar dinyatakan bahwa “dalam rangka
penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan
86
ketentuan atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh
bank.” Sedangkan di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) undang-
undang ini dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan prinsip kehati-
hatian adalah salah satu upaya untuk meminimalkan risiko usaha
dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang bersangkutan.”
Prinsip kehati-hatian yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1999 lebih cenderung sebagai salah satu mekanisme
menjaga stabilitas moneter serta mencegah adanya krisis finansial
yang bersifat sistemik. Prinsip kehati-hatian dalam perspektif ini
lebih dikenal sebagai macro-prudential. Pemerintah Indonesia sejak
tahun 1970 telah menerapkan sistem devisa bebas sehingga
memungkinkan nilai mata uang rupiah bergerak bebas. Akibat
diterapkannya sistem devisa bebas ini, pada saat krisis moneter global
tahun 1997/1998 terjadi hiperdevaluasi terhadap nilai rupiah. Melalui
Undang-undang tersebut, diharapkan institusi perbankan dapat
menerapkan prinsip kehati-hatian dengan melakukan pengendalian
secara internal terhadap mutasi transaksi devisa agar fluktuasi nilai
rupiah tidak terjadi secara ekstrem. Hal ini berbeda dari pengaturan
prinsip kehati-hatian dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang lebih menekankan pada kelangsungan usaha lembaga
perbankan secara individual untuk mempertahankan tingkat
kesehatannya atau lebih dikenal dengan micro-prudential.
Pengaturan tentang prinsip kehati-hatian juga dapat
ditemukan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang berbunyi sebagai berikut “Perbankan
Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip
87
Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.” Selain itu
pada Pasal 35 ayat (1) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
“Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.” Adapun
pengertian prinsip kehati-hatian berdasarkan undang-undang ini dapat
diketahui dari Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah sebagai berikut “yang dimaksud
dengan prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang
wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan
efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah secara khusus mengatur tentang
kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan usaha
perbankan yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut “Bank
Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian.” Penjelasan pasal ini menyebutkan
bahwa “dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan
keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip
kehati-hatian, Bank memiliki dan menerapkan, antara lain, sistem
pengawasan intern.”
Dari perumusan ketentuan tentang penerapan prinsip kehati-
hatian sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas maka
pemahaman yang dapat diperoleh dari pengaturan prinsip kehati-
hatian sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah juga dalam rangka menjaga
kesehatan dan keberlangsungan institusi perbankan syariah secara
individual agar tidak menjadi bank gagal. Hanya saja pengaturan
tentang kaidah-kaidah prinsip kehati-hatian perbankan syariah masih
88
harus ditelusur melalui peraturan perundang-undangan lainnya
meskipun undang-undang ini juga mengatur beberapa segi
pengelolaan perbankan syariah menuju perbankan syariah yang sehat,
kuat dan efisien.
3. Kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuan
tentang Prinsip Kehati-hatian Bank.
Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2004 tentang tentang Perubahan Atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
mengatur bahwa “Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan
undang-undang ini”. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan
“Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan undang-
undang ini dan dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang Bank
Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Bank Indonesia
sebagai badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dan
mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya”. Untuk
melaksanakan kewenangan menetapkan peraturan ini Bank
Indonesia mempunyai instrumen regulasi yakni Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur dan mengikat publik.
Sedangkan tujuan Bank Indonesia diatur pada Pasal 7
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang
tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yaitu untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini merupakan tujuan
tunggal (single objective) Bank Indonesia. Perumusan tujuan Bank
Indonesia dalam bentuk single objective dimaksudkan untuk
89
memperjelas sasaran yang akan dicapai dan batasan tanggung jawab
yang harus dipikul oleh Bank Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan tujuan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai 3
(tiga) bidang tugas utama sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang tentang
Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yaitu menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Agar tujuan
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut dapat
dicapai secara efektif dan efisien maka ketiga tugas utama tersebut
harus diintegrasikan.
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk
mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai :
a. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai
lembaga penghimpun dan penyalur dana ;
b. Pelaksana kebijakan moneter ;
c. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan
ekonomi serta pemerataan, agar tercipta sistem perbankan yang
sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun
individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi
perekonomian nasional.
Dalam rangka pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi
bank agar dapat mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan
efisien maka Bank Indonesia menurut Pasal 25 ayat (1) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
90
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 diberikan kewenangan
untuk menetapkan berbagai ketentuan perbankan yang memuat
prinsip kehati-hatian. Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi
penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem
perbankan yang sehat. Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan
sistem perbankan yang sehat, maka peraturan-peraturan di bidang
perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia harus didukung
dengan sanksi-sanksi yang adil. Pengaturan Bank berdasarkan prinsip
kehati-hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang berlaku
secara internasional.
Standar internasional tentang prinsip kehati-hatian sendiri
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring perubahan
lingkungan. Belajar dari beberapa kasus kegagalan bank yang
kerapkali membawa risiko sistemik yaitu ancaman terhadap sistem
perbankan dan sistem keuangan secara massif yang pada akhirnya
akan menyebabkan tidak berfungsinya perhitungan International
Clearing pada Bank for International Settlement maka wakil dari
negara-negara yang disebut G-10 yang terdiri dari Belgium, Canada,
France, Germany, Italy, Japan, Luxembourg, Netherlands, Spain,
Sweden, Switzerland, United Kingdom, dan United States
mendirikan The Basle Committee on Banking Supervision sebagai
Committee on Banking Regulation and Supervisory Practices. Dalam
perkembangannya keanggotaan komite ini mendapatkan tambahan
dari 140 negara (termasuk Indonesia) yang berminat untuk
bekerjasama secara regular.
91
C. Aspek hukum Manajemen Risiko Perbankan
1. Pengaturan Manajemen Risiko Perbankan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Pengelolaan atas suatu institusi bank mempunyai karakteristik
yang khas dibandingkan dengan pengelolaan disiplin bisnis lainnya.
Karena di dalamnya menyangkut dana banyak pihak dan yang harus
dikelola secara benar agar dapat memberikan hasil yang memuaskan
semua pihak. Untuk memberikan arahan pengelolaan usaha
perbankan yang sehat maka banyak sekali peraturan yang wajib
dipatuhi para pemegang peran industri perbankan.
Dalam satu setengah dekade terakhir ini, para bankir baru
menyadari bahwa sebuah bank berada pada bisnis risiko. Mereka
menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi menawarkan jasa-jasa
keuangan, bank harus mengambil atau menerima dan mengelola
berbagai jenis risiko keuangan secara efektif, agar dampak negatifnya
tidak terjadi. Sebelum kesadaran akan perlunya manajemen risiko ini
muncul, hampir semua bank berpendapat bahwa risiko harus
dihindari atau dihilangkan.64
Risiko yang akan dihadapi oleh bank mempunyai potensi
memberikan dampak negatif bagi bank yaitu situasi atau sesuatu yang
tidak diinginkan terjadi, karena dapat mengakibatkan kegagalan atau
kerugian bank. Akan tetapi disadari pula bahwa tanpa kegiatan usaha
yang berisiko tersebut, bank tidak akan memperoleh return sebagai
imbal hasilnya.
64
Robert Tampubolon, op.cit, hal. 4.
92
Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian
potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang
tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap
pendapatan dan permodalan Bank. Untuk dapat menerapkan proses
manajemen risiko, maka pada tahap awal Bank harus secara tepat
mengidentifikasi risiko dengan cara mengenal dan memahami seluruh
risiko yang sudah ada (inherent risks) maupun yang mungkin timbul
dari suatu bisnis baru Bank, termasuk risiko yang bersumber dari
perusahaan terkait dan afiliasi lainnya.
Bank merupakan institusi yang paling rentan terhadap
kegagalan, tetapi justru tidak boleh gagal. Bisnis bank berkaitan satu
sama lain, tidak ada satu risiko pun yang berdiri sendiri bahkan
akibatnya bisa menulari bank-bank lainnya. Kegagalan sebuah bank
akan berdampak kepada sistem perbankan dan bahkan sistem
perekonomian (systemic risk) sebagaimana yang telah terjadi pada
masa krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997 yang merontokan
puluhan bank nasional di Indonesia. Inilah salah satu alasan mengapa
bank wajib memiliki sebuah sistem yang terintegrasi untuk mengelola
semua risiko yang timbul dari usahanya.
Saat ini situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan
mengalami perkembangan pesat yang akan diikuti oleh semakin
kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan tersebut. Dengan
semakin kompleksnya risiko tersebut akan meningkatkan kebutuhan
praktek tata kelola yang sehat (good governance) dan fungsi
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank.
Peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan
oleh bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan
93
bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank.
Pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus sedapat mungkin
terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses pengelolaan risiko yang
akurat dan komprehensif. Dalam rangka menciptakan prakondisi dan
infrastruktur pengelolaan risiko maka bank wajib mengambil
langkah-langkah persiapan pelaksanaan pengelolaan risikonya.
Sehubungan dengan itu dipandang perlu adanya peraturan
yang mengatur penerapan manajemen risiko bagi industri perbankan.
Bank Indonesia selaku Otoritas keuangan telah mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tertanggal 19 Mei
2003 yang mengatur tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi
Bank Umum yang selanjutnya diperbarui dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 serta aturan pelaksanaannya
melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/ 21 /DPNP tertanggal
29 September 2003 perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
Adapun sistimatika Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tertanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum sebagaimana telah diperbarui dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 adalah sebagai
berikut :
a. Bab I tentang Ketentuan Umum ;
b. Bab II tentang Ruang lingkup Manajemen Risiko ;
c. Bab III tentang Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi ;
d. Bab IV tentang Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit ;
e. Bab V tentang Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan,
Pengendalian dan Sistem Informasi Manajemen Risiko ;
f. Bab VI tentang Sistem Pengendalian Intern ;
94
g. Bab VII tentang Organisasi dan Fungsi Manajemen Risiko ;
h. Bab VIII tentang Pengelolaan Risiko Produk dan Aktivitas Baru ;
i. Bab IX tentang Pelaporan ;
j. Bab X tentang Lain-lain ;
k. Bab XI tentang Sanksi ;
l. Bab XII tentang Ketentuan Penutup.
Untuk memberikan pembatasan pengertian tentang risiko
maka Bank Indonesia memberikan definisi risiko adalah potensi
kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events) tertentu.
Penempatan risiko dan kerugian bagaikan sisi-sisi sebuah koin
bertujuan untuk memperbarui pemahaman ririko di kalangan
perbankan. Maksud implisit dari dibuatnya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 adalah untuk menyadarkan
kalangan perbankan nasional dalam membuat setiap keputusan harus
memperhatikan risiko.
Kewajiban untuk menerapkan Manajemen Risiko berlaku
bagi Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional dan Bank Umum Syariah. Penjelasan mengenai
Pengertian Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah
diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Bank Umum Konvensional adalah Bank
Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran sedangkan pengertian tentang Bank Konvensional
adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum
Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. Adapun pengertian
95
Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan pengertian
tentang Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Menurut Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi
Bank Umum setiap bank wajib menerapkan Manajemen Risiko
secara efektif, baik untuk bank secara individual maupun untuk bank
secara konsolidasi dengan perusahaan anak yang paling tidak
mencakup 4 (empat) bidang yakni pengawasan aktif dewan komisaris
dan direksi, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit
manajemen risiko, kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian resiko, serta sistem informasi
manajemen risiko, dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank
Indonesia ini dijelaskan mengenai cakupan penerapan manajemen
risiko termasuk pada penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan teroris yang sebelumnya dikenal dengan
prinsip mengenal nasabah (know your customer’s). Program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan teroris dimasukkan
sebagai salah satu mekanisme dalam manajemen risiko didasarkan
pertimbangan bahwa penggunaan sistem perbankan sebagai sarana
distribusi dan sirkulasi uang hasil kejahatan akan memberikan
dampak negatif pada pengelolaan risiko bank. Demikian halnya
dengan pemberantasan terorisme yang saat ini menjadi agenda
bersama untuk menjaga stabilitas keamanan yang pada akhirnya juga
96
berdampak pada stabilitas ekonomi dan keuangan. Potensi kerugian
apabila abai dalam penerapan manajemen risiko pada penerapan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan teroris
dapat berwujud kerugian finansial maupun non finansial.
Sedangkan menurut Pasal 3 peraturan ini, penerapan
manajemen risiko wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha,
ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank. Secara
umum, Bank Indonesia telah mengidentifikasikan jenis-jenis risiko
dalam pengelolaan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko pada
Bank Umum yang meliputi Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko
Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi,
Risiko Stratejik dan Risiko Kepatuhan. Bank Umum Konvensional
wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk seluruh risiko yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia tersebut sedangkan Bank
Umum Syariah hanya wajib menerapkan 4 (empat) jenis risiko yang
meliputi Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas dan Risiko
Operasional. Pembedaan pengaturan penerapan Manajemen Risiko
ini mempertimbangkan pada kompleksitas aktivitas usaha Bank
Umum Konvensional yang lebih tinggi dibandingkan Bank Umum
Syariah.
Adapun pemahaman tentang risiko-risiko tersebut selanjutnya
dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi
Bank Umum adalah sebagai berikut :
a. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau
pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank.
97
b. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga
option.
c. Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan
arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan
bank.
d. Risiko Operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional bank.
e. Risiko Kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi
dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan yang berlaku.
f. Risiko Hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis.
g. Risiko Reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat
kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif
terhadap bank.
h. Risiko Stratejik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Setelah dilakukan identifikasi risiko secara akurat, selanjutnya
secara berturut-turut bank perlu melakukan pengukuran, pemantauan
dan pengendalian risiko. Pengukuran risiko tersebut dimaksudkan
agar bank mampu mengkalkulasi eksposur risiko yang melekat pada
98
kegiatan usahanya sehingga bank dapat memperkirakan dampaknya
terhadap permodalan yang seharusnya dipelihara dalam rangka
mendukung kegiatan usaha dimaksud. Sementara itu, dalam rangka
melaksanakan pemantauan risiko, bank harus melakukan evaluasi
terhadap eksposur risiko, terutama yang bersifat material dan/atau
yang berdampak pada permodalan Bank.
Agar penerapan manajemen risiko lebih efektif maka bank
wajib menetapkan wewenang dan tanggungjawab yang jelas pada
setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan manajemen
risiko. Dewan Komisaris mempunyai kewenangan dan tanggung
jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia
ini, meliputi :
a. Menyetujui dan mengevaluasi kebijakan manajemen risiko ;
b. Mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan
kebijakan manajemen risiko ;
c. Mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang
berkaitan dengan transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan
Komisaris (sepanjang hal ini ditetapkan oleh RUPS atau pada
Anggaran Dasar Bank).
Sedangkan Direksi mempunyai kewenangan dan
tanggungjawab sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Bank
Indonesia ini meliputi :
a. Menyusun kebijakan dan strategi manajemen risiko ;
b. Bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan manajemen risiko
dan eksposur risiko yang diambil ;
c. Mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan
persetujuan Direksi ;
d. Mengembangkan budaya manajemen risiko ;
99
e. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia ;
f. Memastikan fungsi manajemen risiko telah beroperasi secara
independent ;
g. Kaji ulang keakuratan metodologi penilaian risiko, kecukupan
implementasi sistim informasi manajemen, ketepatan kebijakan,
prosedur dan penetapan limit risiko.
Direksi harus menetapkan kualifikasi sumber daya manusia
yang jelas untuk setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan
manajemen risiko. Untuk menjamin pelaksanaan proses manajemen
risiko yang berlandaskan prinsip kehati-hatian, maka direksi dalam
bidang manajemen sumber daya manusia harus memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
a. Meningkatkan tingkat kompetensi dan integritas pejabat terutama
pimpinan satuan kerja operasional dan Satuan Kerja Manajemen
Risiko, dengan memperhatikan faktor-faktor seperti pengetahuan,
pengalaman (track record), kemampuan, serta pendidikan yang
memadai di bidang manajemen risiko.
b. Mengembangkan sistem penerimaan pegawai, pengembangan dan
pelatihan pegawai, serta remunerasi yang memadai untuk
memastikan tersedianya pegawai yang kompeten di bidang
manajemen risiko.
c. Menempatkan pejabat dan staf yang kompeten pada Satuan Kerja
Manajemen Risiko (Risk Management Unit) sesuai dengan sifat,
jumlah, dan kompleksitas usaha bank;
d. Pejabat dan staf yang ditempatkan di Satuan Kerja Manajemen
Risiko tersebut harus memiliki :
1). pemahaman mengenai risiko yang melekat pada setiap
produk/aktivitas fungsional bank ;
100
2). pemahaman mengenai faktor-faktor risiko yang relevan dan
kondisi pasar yang mempengaruhi produk/aktivitas fungsional
Bank, serta mampu mengestimasi dampak dari perubahan
faktor-faktor tersebut terhadap kelangsungan usaha bank ;
3). pengalaman dan kemampuan untuk memahami dan
mengkomunikasikan implikasi eksposur risiko bank kepada
direksi dan komite manajemen risiko secara tepat waktu.
Dalam rangka penerapan manajemen risiko yang efektif,
sesuai Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum ditentukan bahwa bank wajib
menyusun struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan dan
kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas serta kemampuan bank.
Struktur organisasi suatu bank harus dirancang untuk memastikan
bahwa satuan kerja yang berfungsi melakukan suatu transaksi (risk
taking unit) adalah independen terhadap satuan kerja yang melakukan
fungsi pengendalian intern (satuan kerja audit intern), serta
independen pula terhadap Satuan Kerja Manajemen Risiko.
Struktur organisasi Satuan Kerja Manajemen Risiko
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha bank serta risiko
yang melekat pada bank. Hal ini berarti setiap bank dapat
menentukan struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan
kondisinya, termasuk kemampuan keuangan dan sumberdaya
manusianya. Bagi bank yang relatif besar dari sisi total aset dan
memiliki tingkat kompleksitas usaha yang tinggi maka struktur
organisasi Satuan Kerja Manajemen Risiko harus mencerminkan
karakteristik usaha bank dimaksud. Bagi bank yang relatif kecil dari
sisi total aset dan memiliki tingkat kompleksitas usaha yang rendah
maka bank dapat menunjuk sekelompok petugas dalam suatu
101
unit/grup yang melaksanakan fungsi Satuan Kerja Manajemen
Risiko.
Sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha bank maka
posisi pejabat yang memimpin Satuan Kerja Manajemen Risiko dapat
setingkat atau tidak setingkat dengan posisi pimpinan satuan kerja
operasional. Namun yang bersangkutan tetap bertanggungjawab
langsung kepada Direktur Utama atau Direktur yang ditugaskan
khusus.
Satuan Kerja Manajemen Risiko harus independen terhadap
satuan kerja operasional (risk-taking unit) seperti treasuri dan
investasi, kredit, pendanaan, akunting, dan terhadap satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengendalian intern (satuan kerja audit
intern/SKAI). Satuan Kerja Manajemen Risiko bertanggungjawab
langsung kepada Direktur Utama atau kepada Direktur yang
ditugaskan secara khusus seperti Direktur Kepatuhan atau Direktur
Manajemen Risiko.
Wewenang dan tanggung jawab Satuan Kerja Manajemen
Risiko meliputi :
a. pemantauan terhadap implementasi strategi manajemen risiko
yang direkomendasikan oleh Komite Manajemen Risiko dan yang
telah disetujui oleh Direksi ;
b. pemantauan posisi/eksposur risiko secara keseluruhan, per jenis
risiko maupun per aktvitas fungsional ;
c. penerapan stress testing guna mengetahui dampak dari
implementasi kebijakan dan strategi manajemen risiko terhadap
kinerja masing-masing satuan kerja operasional ;
d. pengkajian terhadap usulan aktivitas dan/atau produk baru yang
diajukan atau dikembangkan oleh suatu unit tertentu yang ada
102
pada bank. Pengkajian difokuskan terutama pada aspek
kemampuan bank untuk melakukan aktivitas dan atau produk baru
termasuk sistem dan prosedur yang digunakan serta dampaknya
terhadap eksposur risiko bank secara keseluruhan ;
e. rekomendasi mengenai besaran atau maksimum eksposur risiko
yang wajib dipelihara bank kepada satuan kerja operasional dan
kepada Komite Manajemen Risiko, sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki Satuan Kerja Manajemen Risiko ;
f. evaluasi terhadap akurasi dan validitas data yang digunakan oleh
bank untuk mengukur risiko bagi bank yang menggunakan model
untuk keperluan intern ;
g. penyusunan dan penyampaian laporan profil risiko kepada
Direktur Utama dan Komite Manajemen Risiko secara berkala
atau sekurang-kurangnya secara triwulanan. Apabila kondisi pasar
berubah dengan cepat maka frekuensi laporan harus ditingkatkan.
Sedangkan untuk eksposur risiko yang relatif lambat seperti risiko
kredit, frekuensi laporan disampaikan sekurang-kurangnya secara
triwulanan.
h. Satuan kerja operasional wajib menginformasikan eksposur risiko
yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada Satuan
Kerja Manajemen Risiko secara berkala.
Kebijakan manajemen risiko merupakan arahan tertulis dalam
menerapkan manajemen risiko dan harus sejalan dengan visi, misi,
dan rencana strategik bank serta lebih terfokus pada risiko yang
relevan pada aktivitas fungsional bank. Adapun cakupan Kebijakan
Manajemen Risiko (Pasal 8 PBI Nomor 5/8/PBI/2003) meliputi :
a. Penetapan risiko produk dan transaksi perbankan ;
b. Penetapan metode pengukuran dan sistem informasi manajemen ;
103
c. Penentuan limit dan penetapan toleransi risiko ;
d. Penetapan penilaian peringkat risiko ;
e. Penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi
terburuk (worst case scenario).
f. Penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen
risiko.
Secara umum proses manajemen risiko meliputi : 65
a. Proses Identifikasi risiko yakni analisis terhadap karakter risiko
yang melekat pada bank dan risiko dari produk serta kegiatan
usaha bank.
b. Proses Pengukuran risiko yakni evaluasi berkala terhadap
kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan
serta penyempurnaan sistem pengukuran risiko jika terdapat
perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi dan faktor risiko,
yang bersifat material.
c. Proses Pemantauan risiko yakni evaluasi terhadap eksposur
risiko serta penyempurnaan proses pelaporan jika terdapat
perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor risiko,
teknologi informasi dan sistem informasi managemen risiko yang
bersifat material.
d. Proses Pengendalian risiko yakni strategi pengelolaan atas risiko
yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank serta
penerapan Asset Liabilities Management (ALMA) untuk
pengendalian risiko suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko
likuiditas.
65
Banking Supervision School, 2005, Jakarta : Bank Indonesia, hal. 20.
104
Dalam rangka pengelolaan risiko yang melekat pada produk
dan aktivitas baru, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur
secara tertulis. Kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko produk
dan aktivitas baru sekurang-kurangnya memuat :
a. sistem dan prosedur (standard operating procedure) serta
kewenangan dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru ;
b. identifikasi seluruh risiko yang melekat pada produk dan aktivitas
baru ;
c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko yang
melekat pada produk dan aktivitas baru dalam rangka memastikan
bahwa metode tersebut telah teruji dari aspek kehati-hatian dan
aspek lainnya ;
d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru, yang
sekurang-kurangnya menggambarkan secara akurat tentang profil
risiko, tingkat keuntungan atau kerugian sehubungan dengan
produk dan aktivitas baru dimaksud ;
e. analisa aspek hukum produk dan aktivitas baru, yang mencakup
kemungkinan adanya risiko hukum yang akan ditimbulkan serta
analisa kepatuhan (compliance analysis ) produk dan aktivitas
baru terhadap ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku ;
f. Bank wajib mengungkapkan risiko yang melekat pada produk dan
aktivitas baru kepada nasabah secara transparan, baik secara
tertulis melalui uraian dalam penawaran produk maupun secara
lisan melalui komunikasi yang efektif, dalam rangka
menginformasikan potensi kerugian atas penggunaan produk dan
aktivitas baru dimaksud.
105
Pendekatan pengukuran risiko digunakan untuk mengukur
profil risiko bank guna memperoleh gambaran efektifitas penerapan
manajemen risiko. Pendekatan tersebut harus dapat mengukur :
a. sensitivitas produk/aktivitas terhadap perubahan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, baik dalam kondisi normal maupun tidak
normal ;
b. kecenderungan perubahan faktor-faktor dimaksud berdasarkan
fluktuasi perubahan yang terjadi di masa lalu dan korelasinya ;
c. faktor risiko (risk factors) secara individual ;
d. eksposur risiko secara keseluruhan (aggregate), dengan
mempertimbangkan risk correlation ;
e. seluruh risiko yang melekat pada seluruh transaksi serta produk
perbankan dan dapat diintegrasikan dalam sistem informasi
manajemen bank.
Metode pengukuran risiko dapat dilakukan secara kuantitatif
maupun kualitatif. Secara umum pendekatan yang paling sederhana
dalam pengukuran risiko adalah yang direkomendasikan oleh Bank
for International Settlements atau pendekatan metode standard,
sedangkan pendekatan oleh para praktisi disebut metode alternatif
(alternative model). Penerapan metode alternatif memerlukan
berbagai persyaratan kuantitatif maupun kualitatif untuk menjamin
keakuratan model yang dipergunakan.
Bagi bank yang memiliki ukuran dan kompleksitas usaha
yang tinggi dapat mengembangkan dan menggunakan metode
internal (internal model). Namun penggunaan internal model tersebut
hanya ditujukan untuk keperluan intern yang disesuaikan dengan
kebutuhan bank serta untuk mengantisipasi kebijakan perbankan di
masa yang akan datang.
106
Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko harus
dikaitkan dengan jenis, skala, dan kompleksitas kegiatan usaha,
kemampuan sistem pengumpulan data, serta kemampuan Direksi dan
pejabat eksekutif terkait memahami keterbatasan dari hasil akhir
sistem pengukuran risiko yang digunakan. Metode pengukuran risiko
harus dipahami secara jelas oleh pegawai yang terkait dalam
pengendalian risiko, antara lain treasury manager, chief dealer,
komite manajemen risiko, satuan kerja manajemen risiko, dan
direktur bidang terkait.
Sistem informasi manajemen risiko merupakan bagian dari
sistem informasi manajemen yang harus dimiliki dan dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan bank, dalam rangka penerapan manajemen
risiko yang efektif. Sistem informasi manajemen risiko harus dapat
menerjemahkan risiko yang diukur dengan format teknis kuantitatif
sehingga menjadi format kualitatif yang mudah dipahami oleh direksi
dan pejabat bank.
Sebagai bagian dari proses manajemen risiko, bank harus
memiliki sistem informasi manajemen risiko yang dapat
memastikan :
a. terukurnya eksposur risiko secara akurat, informatif, dan tepat
waktu, baik eksposur risiko secara keseluruhan/komposit maupun
eksposur per jenis risiko yang melekat pada kegiatan usaha bank,
maupun eksposur risiko per jenis aktivitas fungsional bank ;
b. dipatuhinya penerapan manajemen risiko terhadap kebijakan,
prosedur dan penetapan limit Risiko ;
c. tersedianya hasil (realisasi) penerapan manajemen risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan oleh bank sesuai
dengan kebijakan dan strategi penerapan manajemen risiko.
107
Sebagai bagian dari penerapan pemantauan risiko maka limit
risiko sekurang-kurangnya :
a. tersedianya limit secara individual dan keseluruhan/konsolidasi ;
b. memperhatikan kemampuan modal bank untuk dapat menyerap
eksposur risiko atau kerugian yang timbul, dan tinggi rendahnya
eksposur bank ;
c. mempertimbangkan pengalaman kerugian di masa lalu dan
kemampuan sumberdaya manusia ;
d. memastikan bahwa posisi yang melampaui limit yang telah
ditetapkan mendapat perhatian Satuan Kerja Manajemen Risiko,
komite manajemen risiko dan Direksi.
Penetapan jenis limit meliputi :
a. transaksi (transaction/product limit);
b. mata uang (currency limit);
c. volume transaksi (turnover limit);
d. posisi terbuka (open position limit);
e. kerugian (cut loss limit);
f. intra hari (intraday limit);
g. nasabah dan counterparty (individual borrower and counterparty
limit);
h. pihak terkait (connected parties limit);
i. industri/sektor ekonomi dan wilayah (industry/economic sector
and geographic limit).
Penetapan limit dilakukan oleh satuan kerja operasional
terkait, yang selanjutnya direkomendasikan kepada satuan kerja
manajemen risiko untuk mendapat persetujuan direksi melalui komite
manajemen risiko atau direksi sesuai dengan kewenangannya masing-
masing. Penetapan limit dilakukan dengan tetap memperhatikan
108
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, antara lain ketentuan tentang
Kecukupan Pemenuhan Modal Minimum (KPMM), Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa Neto
(PDN). Dalam hal terjadi pelampauan limit, maka bank harus segera
melakukan penyesuaian dan mengantisipasi pelampauan tersebut
sehingga tidak mempengaruhi jumlah alokasi modal atas risiko yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Setiap pelampauan limit harus dapat diidentifikasi dengan
segera dan ditindaklanjuti oleh direksi dan pelampauan limit hanya
dapat dilakukan apabila mendapat otorisasi dari direksi atau pejabat
yang berwenang, sesuai ketentuan dan prosedur intern bank. Bank
harus menyiapkan suatu sistem back-up dan prosedur yang efektif
untuk mencegah terjadinya gangguan (disruptions) dalam proses
pemantauan risiko, dan melakukan pengecekan serta penilaian
kembali secara berkala terhadap sistem back-up tersebut.
Pelaksanaan proses pengendalian risiko harus digunakan bank
untuk mengelola risiko tertentu, terutama yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha bank. Pengendalian risiko dapat dilakukan oleh
bank, antara lain dengan cara hedging, dan metode mitigasi risiko
lainnya seperti penerbitan garansi, sekuritisasi aset dan credit
derivatives, serta penambahan modal bank untuk menyerap potensi
kerugian.
Penjelasan lebih lanjut mengenai penerapan manajemen risiko
dipaparkan dalam Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/
21 /DPNP tertanggal 29 September 2003 perihal Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Untuk lebih memberikan
kejelasan atas proses penerapan manajemen risiko maka berikut ini
109
akan diuraikan mengenai penerapan manajemen risiko pada masing-
masing kegiatan perbankan sebagai berikut :
a. Risiko Kredit
Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas
fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan
investasi, dan pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam
banking book maupun trading book.
Risiko yang timbul dalam kegiatan penyaluran kredit
disebabkan kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja
debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan atau
ketidakmauan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi
perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Dalam hal ini yang menjadi perhatian bagi bank sebagai kreditur
bukan hanya kondisi keuangan dan nilai pasar dari jaminan kredit
termasuk collateral tetapi juga karakter dari debitur.
Proses penerapan manajemen risiko pada risiko kredit
diwujudkan dalam pertama, pengawasan aktif dewan komisaris
dan direksi. Komisaris bertanggung jawab dalam melakukan
persetujuan dan peninjauan berkala atau sekurang-kurangnya
secara tahunan mengenai strategi dan kebijakan risiko kredit pada
bank. Strategi dan kebijakan dimaksud harus :
1). mencerminkan batas toleransi bank (bank’s tolerance) terhadap
risiko dan tingkat probabilitas pendapatan yang diharapkan
akan diperoleh secara terus menerus dengan memperhatikan
siklus dan perubahan kondisi ekonomi.
2). memperhatikan siklus perekonomian domestik dan
internasional dan perubahan-perubahan yang dapat
110
mempengaruhi komposisi dan kualitas seluruh portofolio
kredit.
3). dirancang untuk keperluan jangka panjang dengan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
Direksi bertanggung jawab untuk mengimplementasikan
strategi dan kebijakan risiko kredit serta mengembangkan prosedur
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko
kredit. Kebijakan dan prosedur yang dikembangkan dan
diimplementasikan secara tepat tersebut harus dapat :
1). mendukung standar pemberian kredit yang sehat ;
2). memantau dan mengendalikan risiko kredit ;
3). mengidentifikasi dan menangani kredit bermasalah.
Kedua, penerapan manajemen risiko terhadap risiko kredit
melalui pembuatan kebijakan dan prosedur perkreditan. Bank
wajib memiliki informasi yang cukup guna membantu bank dalam
melakukan penilaian secara komprehensif terhadap profil risiko
debitur. Faktor yang harus dipertimbangkan dan didokumentasikan
dalam persetujuan kredit antara lain meliputi :
1). tujuan kredit dan sumber pembayaran ;
2). profil risiko terkini dari debitur dan agunan serta tingkat
sensitivitas terhadap perkembangan kondisi ekonomi dan
pasar ;
3). analisis kemampuan untuk membayar kembali, baik secara
historis maupun di masa yang akan datang berdasarkan
perkembangan keuangan historis dan proyeksi arus kas dengan
berbagai scenario (ex ante dan ex post analysis) ;
4). kemampuan bisnis debitur dan kondisi sektor ekonomi/usaha
peminjam serta posisi peminjam dalam industri tertentu ;
111
5). persyaratan kredit yang diajukan, termasuk perjanjian yang
dirancang untuk membatasi perubahan eksposur risiko debitur
di waktu yang akan datang.
Dalam kegiatan perkreditan, bank wajib melakukan proses
seleksi atas transaksi risiko kredit. Proses seleksi transaksi risiko
kredit diwujudkan dalam kegiatan sebagai berikut :
1). Seleksi yang dilakukan terhadap transaksi kredit dan komitmen
dalam mengambil eksposur risiko harus mempertimbangkan
tingkat profitabilitas, yang sekurang-kurangnya dilakukan
dengan cara memastikan bahwa analisa perkiraan biaya dan
pendapatan telah dilakukan secara komprehensif dan mencakup
biaya operasional, biaya dana, dan biaya yang berhubungan
dengan estimasi terjadinya default dari debitur sampai
diperolehnya pembayaran penuh, serta perhitungan kebutuhan
modal.
2). Penetapan harga (pricing) fasilitas kredit harus dilakukan
secara konsisten dengan memperhitungkan tingkat risiko dari
transaksi yang bersangkutan, khususnya kondisi debitur secara
keseluruhan serta kualitas dan tingkat kemudahan pencairan
(marketability) agunan yang dijadikan jaminan.
3). Sekurang-kurangnya setiap triwulanan, direksi harus
memperoleh hasil analisis kinerja profitabilitas dari transaksi
kredit yang diberikan. Tarif dari transaksi kredit senantiasa
dievaluasi dan seluruh tindakan perbaikan yang diperlukan
harus dilakukan untuk mencegah memburuknya kondisi
keuangan bank.
Untuk memitigasi risiko kredit maka bank wajib
menetapkan prosedur pemberian persetujuan kredit. Prosedur
112
pengambilan keputusan untuk pinjaman dan atau komitmen,
khususnya apabila melalui pendelegasian wewenang, harus
diformalkan secara jelas sesuai dengan karakteristik bank (ukuran,
organisasi, jenis aktivitas, dan kompleksitas transaksi) serta harus
didukung oleh sistem yang dimiliki oleh bank.
Bank wajib memastikan bahwa kerangka kerja atau
mekanisme kepatuhan prosedur pendelegasian dalam mengambil
keputusan pemberian kredit dan/atau komitmen terdapat
pemisahan fungsi antara yang melakukan persetujuan, analisis dan
administrasi kredit. Bank harus memiliki satuan kerja yang
melakukan review guna menetapkan atau mengkinikan
kolektibilitas atau kualitas transaksi yang mengandung risiko
kredit. Proses review tersebut sekurang-kurangnya dilakukan
secara triwulanan yang meliputi klasifikasi eksposur risiko kredit,
penilaian kualitas (marketability) agunan, penentuan besarnya
provisi. Hasil review tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari arsip perkreditan.
Dalam mengembangkan sistem administrasi kredit, bank
harus memastikan :
1). efisiensi dan efektivitas operasional administrasi kredit,
termasuk pemantauan dokumentasi, persyaratan kontrak,
perjanjian kredit (legal aspect) dan pengikatan agunan ;
2). akurasi dan ketepatan waktu informasi yang diberikan untuk
sistem informasi manajemen ;
3). pemisahan fungsi/tugas (segregation of duties) yang layak ;
4). kelayakan pengendalian seluruh prosedur back office ;
5). kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur intern tertulis serta
ketentuan yang berlaku.
113
Bank harus menatausahakan dan mendokumentasikan
seluruh informasi kuantitatif dan kualitatif serta bukti-bukti
material dalam arsip kredit yang digunakan dalam melakukan
penilaian dan kaji ulang. Bank harus melengkapi catatan pada
arsip perkreditan sekurang-kurangnya setiap triwulan, khususnya
bagi debitur yang memiliki tunggakan atau kredit yang
diklasifikasikan serta juga terhadap debitur yang mengakibatkan
portofolio kredit bank terekspos risiko yang tinggi.
Ketiga, penerapan manajemen risiko terhadap risiko kredit
yang dilakukan melalui penetapan limit. Dalam prosedur
penetapan limit risiko kredit, bank antara lain harus
menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penetapan limit risiko kredit dan proses pengambilan
keputusan/penetapan limit risiko kredit. Bank harus menetapkan
limit untuk seluruh nasabah atau counterparty sebelum melakukan
transaksi dengan nasabah tersebut, dimana limit tersebut dapat
berbeda satu sama lain.
Limit untuk risiko kredit ditujukan untuk mengurangi
risiko yang ditimbulkan karena adanya konsentrasi penyaluran
kredit. Limit yang ditetapkan sekurang-kurangnya mencakup
eksposur kepada nasabah atau counterparty, eksposur kepada
pihak terkait, eksposur terhadap sektor ekonomi tertentu atau area
geografis.
Limit untuk satu nasabah atau counterparty dapat
didasarkan atas hasil analisis data kuantitatif yang diperoleh dari
informasi laporan keuangan maupun hasil analisis informasi
kualitatif yang dapat bersumber dari hasil interview dengan
nasabah. Penetapan limit risiko kredit harus didokumentasikan
114
secara tertulis dan lengkap yang memudahkan penetapan jejak
audit (audit trail) untuk kepentingan auditor intern maupun
ekstern. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko kredit,
selain memenuhi pedoman dan persyaratan tersebut di atas, bank
juga mengacu kepada Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank (PPKPB) sebagaimana diatur dalam ketentuan
yang berlaku.
Keempat, penerapan manajemen risiko atas risiko kredit
melalui proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan sistem
informasi manajemen. Bank harus mengidentifikasi risiko kredit
yang melekat pada seluruh produk dan aktivitasnya. Identifikasi
risiko kredit tersebut merupakan hasil kajian terhadap karakteristik
risiko kredit yang melekat pada aktivitas fungsional tertentu,
seperti perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan investasi, dan
pembiayaan perdagangan.
Untuk kegiatan perkreditan dan jasa pembiayaan
perdagangan, penilaian risiko kredit harus memperhatikan kondisi
keuangan debitur, dan khususnya kemampuan membayar secara
tepat waktu, serta jaminan atau agunan yang diberikan. Untuk
risiko debitur, penilaian harus mencakup analisa terhadap
lingkungan debitur, karateristik mitra usaha, kualitas pemegang
saham dan manajer, kondisi laporan keuangan terakhir, hasil
proyeksi arus kas, kualitas rencana bisnis, dan dokumen lainnya
yang dapat digunakan untuk mendukung analisa yang menyeluruh
terhadap kondisi dan kredibilitas debitur. Untuk kegiatan tresuri
dan investasi, penilaian risiko kredit harus memperhatikan kondisi
keuangan counterparty, rating, karakteristik instrumen, jenis
115
transaksi yang dilakukan dan likuiditas pasar serta faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi risiko kredit.
Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk melakukan
pengukuran risiko yang memungkinkan untuk :
1). sentralisasi eksposur on balance sheet dan off balance sheet
yang mengandung risiko kredit dari setiap debitur atau per
kelompok debitur dan atau counterparty tertentu mengacu
pada konsep single obligor ;
2). penilaian perbedaan kategori tingkat risiko kredit dengan
menggunakan kombinasi aspek kualitatif dan kuantitatif data
dan pemilihan kriteria tertentu ;
3). distribusi informasi hasil pengukuran risiko secara lengkap
untuk tujuan pemantauan oleh satuan kerja terkait.
4). Sistem pengukuran risiko kredit sekurang-kurangnya
mempertimbangkan :
5). karakteristik setiap jenis transaksi risiko kredit, kondisi
keuangan debitur/counterparty serta persyaratan dalam
perjanjian kredit seperti dalam jangka waktu dan tingkat
bunga ;
6). jangka waktu kredit (maturity profile) dikaitkan dengan
perubahan potensial yang terjadi di pasar ;
7). aspek jaminan, agunan dan/atau garansi ;
8). potensi terjadinya kegagalan membayar (default), baik
berdasarkan hasil penilaian pendekatan konvensional maupun
hasil penilaian pendekatan yang menggunakan proses
pemeringkatan yang dilakukan secara intern (internal risk
rating) ;
9). kemampuan bank untuk menyerap potensi kegagalan (default).
116
Parameter yang digunakan dalam pengukuran risiko kredit
antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut :
1). non performing loans (NPLs) ;
2). konsentrasi kredit berdasarkan peminjam dan sektor ekonomi ;
3). kecukupan agunan ;
4). pertumbuhan kredit ;
5). non performing portofolio tresuri dan investasi (non kredit) ;
6). komposisi portofolio tresuri dan investasi (antar bank, surat
berharga dan penyertaan) ;
7). kecukupan cadangan transaksi tresuri dan investasi ;
8). transaksi pembiayaan perdagangan yang default ;
9). konsentrasi pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan.
Bank harus mengembangkan dan menerapkan sistem
informasi dan prosedur untuk memantau kondisi setiap debitur
atau counterparty pada seluruh portofolio kredit bank. Sistem
pemantauan risiko kredit sekurang-kurangnya memuat ukuran-
ukuran dalam rangka :
1). memastikan bahwa bank mengetahui kondisi keuangan terakhir
dari debitur atau counterparty ;
2). memantau kepatuhan terhadap persyaratan dalam perjanjian
kredit atau kontrak transaksi risiko kredit ;
3). menilai kecukupan agunan dibandingkan dengan kewajiban
debitur atau counterparty ;
4). mengidentifikasi ketidaktepatan pembayaran dan
mengklasifikasikan kredit bermasalah secara tepat waktu ;
5). menangani dengan cepat kredit bermasalah.
Bank juga harus melakukan pemantauan eksposur risiko
kredit dibandingkan dengan limit risiko kredit yang telah
117
ditetapkan, antara lain dengan menggunakan kolektibilitas atau
internal risk rating. Pemantauan eksposur risiko kredit tersebut
harus dilakukan secara berkala dan terus menerus oleh satuan kerja
manajemen risiko dengan cara membandingkan risiko kredit
aktual dengan limit risiko kredit yang ditetapkan.
Apabila bank menggunakan internal risk rating maka
wajib mengikuti prinsip pokok dalam penggunaan internal risk
rating sebagai berikut :
1). Prosedur penggunaan sistem internal risk rating harus
diformalkan dan didokumentasikan.
2). Sistem ini harus dapat mengidentifikasi secara dini perubahan
profil risiko yang disebabkan oleh penurunan potensial maupun
actual dari risiko kredit.
3). Sistem internal risik rating harus dievaluasi secara berkala
oleh pihak yang independen terhadap satuan kerja yang
mengaplikasikan internal risk rating tersebut.
4). Apabila bank menerapkan internal risk rating untuk
menentukan kualitas aset dan besarnya provisi, harus terdapat
prosedur formal yang memastikan bahwa penetapan kualitas
aset dan provisi dengan internal rating adalah lebih prudent
atau sama dengan ketentuan terkait yang berlaku.
5). Laporan yang dihasilkan oleh internal risk rating, seperti
laporan kondisi portofolio kredit disampaikan secara berkala
kepada direksi.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas proses pengukuran
risiko kredit, bank harus memiliki sistem informasi manajemen
yang menyediakan laporan dan data secara akurat dan tepat waktu
untuk mendukung pengambilan keputusan oleh direksi dan pejabat
118
lainnya. Sistem informasi manajemen tersebut harus memenuhi
hal-hal sebagai berikut :
1). menghasilkan laporan atau informasi dalam rangka
pemantauan eksposur aktual terhadap limit yang ditetapkan dan
pelampauan eksposur limit risikoyang perlu mendapat
perhatian dari direksi.
2). menyediakan data secara akurat dan tepat waktu mengenai
jumlah seluruh eksposur kredit peminjam individual dan
counterparties, portofolio kredit serta laporan pengecualian
limit risiko kredit.
3). memungkinkan direksi untuk mengidentifikasi adanya
konsentrasi risiko dalam portofolio kreditnya.
Kelima, penerapan manajemen risiko terhadap risiko kredit
melalui pengendalian risiko kredit. Bank harus menetapkan suatu
sistem penilaian (internal credit reviews) yang independen dan
berkelanjutan terhadap efektivitas penerapan proses manajemen
risiko kredit. Kaji ulang tersebut sekurang-kurangnya memuat
evaluasi proses administrasi perkreditan, penilaian terhadap
akurasi penerapan internal risk rating atau penggunaan alat
pemantauan lainnya, dan efektivitas pelaksanaan satuan kerja atau
petugas yang melakukan pemantauan kualitas kredit individual.
Pelaksanaan kaji ulang tersebut harus dilakukan oleh
satuan kerja atau petugas yang independen terhadap satuan kerja
yang melakukan transaksi risiko kredit. Hasil kaji ulang tersebut
selanjutnya harus dilaporkan secara langsung dan lengkap kepada
Satuan Kerja Audit Intern (SKAI), Direktur Kepatuhan, direksi
terkait lainnya, dan komite audit (apabila ada).
119
Bank harus memastikan bahwa satuan kerja perkreditan
dan transaksi risiko kredit lainnya telah dikelola secara memadai
dan eksposur risiko kredit tetap konsisten dengan limit yang
ditetapkan dan memenuhi standar kehati-hatian. Bank harus
menetapkan dan menerapkan pengendalian intern untuk
memastikan bahwa penyimpangan (exceptions) terhadap
kebijakan, prosedur, dan limit telah dilaporkan tepat waktu kepada
direksi atau pejabat terkait untuk keperluan tindakan perbaikan.
Pada saat melaksanakan audit intern, SKAI harus
melakukan pengujian terhadap efektivitas pengendalian intern
untuk memastikan bahwa sistem pengendalian tersebut telah
efektif, aman, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta
kebijakan, pedoman, dan prosedur intern bank. Setiap terjadi
ketidakefektifan, ketidakakuratan atau temuan penting dalam
sistem tersebut harus segera dilaporkan dan menjadi perhatian
direksi dan satuan kerja manajemen risiko sehingga tindakan
perbaikan dapat segera dilaksanakan.
Bank wajib memiliki prosedur pengelolaan penanganan
kredit bermasalah termasuk sistem deteksi kredit bermasalah
secara tertulis dan menerapkannya secara efektif. Apabila bank
memiliki kredit bermasalah yang cukup signifikan, bank harus
memisahkan fungsi penyelesaian kredit bermasalah tersebut
dengan fungsi yang memutuskan penyaluran kredit. Setiap
strategi dan hasil penanganan kredit bermasalah yang efektif
ditatausahakan dalam suatu dokumentasi data yang selanjutnya
digunakan sebagai input untuk kepentingan satuan kerja yang
berfungsi menyalurkan atau merestrukturisasi kredit.
120
Dalam kaitannya dengan manajemen portofolio kredit
maka Ferry N. Idroes dan Sugiarto memberikan pendapat bahwa
mitigasi risiko kredit dapat dilakukan dengan beberapa cara
sebagai berikut : 66
1). Model pemeringkatan untuk pinjaman perorangan (grading
models for individual loans) ;
2). Manajemen portofolio pinjaman (loan portfolio
management) ;
3). Sekuritisasi (securitization) ;
4). Agunan (collateral) ;
5). Pemantauan aliran dana (cash flow monitoring);
6). Manajemen penyelamatan (recovery management).
b. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko Pasar merupakan risiko yang timbul karena adanya
pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank,
yang dapat merugikan bank (adverse movement). Variabel pasar
adalah suku bunga dan nilai tukar, termasuk derivasi dari kedua
jenis risiko pasar tersebut yaitu perubahan harga options.
Risiko Pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional
bank seperti kegiatan tresuri dan investasi dalam bentuk surat
berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga
keuangan lainnya, penyediaan dana (pinjaman dan bentuk sejenis),
dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan
pembiayaan perdagangan. Risiko pasar ini mempunyai banyak
66
Ferry N. Idroes & Sugiarto, 2006, Manajemen Risiko Perbankan Dalam Konteks
Kesepakatan Basel dan Peraturan Bank Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu, hal. 95.
121
bentuk, namun yang sangat mendapat perhatian bank adalah
variasi tingkat suku bunga dan nilai tukar uang.
1). Risiko Suku Bunga (Interest Rate Risk).
Risiko suku bunga adalah potensi kerugian yang timbul
akibat pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan
dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko
suku bunga. Manajemen risiko pada risiko suku bunga ini
dilakukan melalui, pertama pengawasan aktif dewan komisaris
dan direksi. Komisaris harus memiliki pemahaman yang
memadai mengenai jenis dan tingkat eksposur risiko suku
bunga. Dalam proses persetujuan atas kebijakan dan strategi
dimaksud, komisaris harus mengkaitkan dengan tujuan
keseluruhan kegiatan usaha bank.
Komisaris harus melakukan persetujuan atas kebijakan
dan strategi yang berkaitan dengan manajemen risiko suku
bunga dan memastikan bahwa direksi bank mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka memantau dan
mengendalikan risiko tersebut. Direksi harus memberikan
informasi secara berkala kepada komisaris mengenai eksposur
risiko suku bunga dalam rangka pelaksanaan pemantauan dan
pengendalian tersebut. Informasi tersebut selanjutnya direview
oleh komisaris untuk menilai kinerja direksi dan kesesuaian
hasil kinerja dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
Direksi bertanggungjawab untuk memastikan bahwa
bank memiliki kebijakan dan prosedur manajemen risiko suku
bunga yang memadai, terutama prosedur operasional secara
harian. Direksi juga bertanggungjawab untuk memelihara :
a). penetapan limit risiko suku bunga.
122
b). standar dan sistem pengukuran risiko suku bunga.
c). standar untuk penilaian posisi dan pengukuran hasil
eksposur risiko suku bunga.
d). pelaporan risiko suku bunga dan proses review terhadap
manajemen risiko suku bunga.
e). pengendalian intern terhadap penerapan manajemen risiko
suku bunga.
Kedua, penerapan manajemen risiko terhadap risiko
suku bunga dilakukan melalui penetapan kebijakan, prosedur
dan penetapan limit. Bank harus memiliki kebijakan dan
prosedur yang komprehensif dan tertulis untuk mengelola
risiko suku bunga. Kebijakan dan prosedur tersebut harus
menetapkan dan menguraikan garis tanggungjawab dan
akuntabilitas yang melampaui keputusan pengelolaan risiko
suku bunga dan harus secara jelas mencakup instrumen yang
diotorisasi, strategi lindung nilai dan peluang pengambilan
posisi.
Kebijakan risiko suku bunga juga harus memuat
parameter kuantitatif yang diperoleh dari penggunaan metode
pengukuran risiko suku bunga seperti interest rate sensitivity,
earnings at risk dan economic value of equity, guna
menggambarkan tingkat risiko suku bunga yang dapat ditolerir
oleh bank. Seluruh kebijakan dan prosedur risiko suku bunga
harus dikaji secara berkala dan direvisi apabila diperlukan, oleh
satuan kerja manajemen risiko, satuan kerja audit intern, atau
auditor eksternal yang memiliki kompetensi dalam penerapan
manajemen risiko suku bunga.
123
Penetapan selisih (spreads) yang diterapkan antara suku
bunga referensi dengan suku bunga pasar untuk menetapkan
pricing transaksi tertentu dilakukan setelah bank
mempertimbangkan kondisi keuangannya secara keseluruhan.
Dalam kebijakan dan proses tersebut, bank harus memastikan
bahwa suku bunga dimaksud telah mencerminkan prinsip
kehati-hatian.
Ketiga, penerapan manajemen risiko terhadap risiko
suku bunga melalui proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan sistem informasi manajemen risiko suku
bunga. Bank wajib melakukan identifikasi risiko suku bunga
secara tepat yang terdapat pada aset, transaksi derivatif, dan
instrumen keuangan lain baik pada aktivitas fungsional tertentu
maupun aktivitas bank secara keseluruhan. Aset, kewajiban dan
rekening administratif yang akan dilakukan marked to market
dikelompokkan kedalam trading book sedangkan transaksi dan
posisi yang tidak dilakukan marked to market dikelompokkan
kedalam banking book. Umumnya posisi banking book tersebut
tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan jangka pendek,
namun akan dipelihara sampai jatuh tempo (held to maturity),
seperti surat-surat berharga atau obligasi pada portofolio
investasi.
Proses marked to market merupakan salah satu teknik
yang mencerminkan nilai aset, transaksi derivatif, dan
instrumen keuangan lainnya sekaligus merupakan metode yang
tepat untuk mengukur posisi risiko aset dan instrumen
keuangan tersebut. Penilaian marked to market wajib mengacu
pada PBI No.5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 mengenai
124
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) sebagaimana
telah diperbarui dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/13/PBI/2007. Kecukupan dan keakurasian proses marked to
market harus diverifikasi oleh pihak yang independen dari
satuan kerja operasional, dan memiliki kompetensi yang
relevan, seperti satuan kerja manajemen risiko.
Dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan hasil
statistik dan perilaku suku bunga, maka bank dapat
menggunakan sumber data, figur dan kriteria yang dihasilkan
sendiri untuk melakukan pengujian atau tidak didasarkan atas
sumber data yang diperoleh dari pihak lain. Dalam menilai
eksposur risiko suku bunga yang melekat pada beberapa
aktivitas fungsional, bank sekurang-kurangnya dapat mengukur
beberapa parameter, antara lain :
a). potential loss karena fluktuasi suku bunga ;
b). volatilitas suku bunga per jangka waktu.
Apabila diperlukan, bank dapat melakukan koreksi atau
perbaikan kriteria dan proses pricing yang bertujuan untuk
menilai risiko kredit (banking book ) secara tepat dengan
menyesuaikan selisih suku bunga yang diterapkan terhadap
suku bunga referensi (pasar).
Keempat, penerapan manajemen risiko terhadap risiko
suku bunga melalui pemantauan risiko suku bunga. Bank
sekurang-kurangnya mengevaluasi dan mengkalkulasi secara
keseluruhan untuk setiap transaksi agar jumlah keseluruhan
eksposur risiko suku bunga dapat dipantau setiap saat. Bank
harus melakukan pemantauan terhadap kepatuhan limit secara
125
harian dan setiap pelampauan limit serta tindak lanjut
mengatasi pelampauan tersebut dilaporkan kepada direksi atau
pejabat terkait, sesuai kewenangan yang diatur secara intern,
secara harian.
Kelima, sistem informasi manajemen risiko suku bunga
sebagai implementasi manajemen risiko terhadap risiko suku
bunga. Sistem informasi harus dapat memantau perubahan
suku bunga secara harian serta pengaruh dari perubahan
tersebut terhadap pendapatan dan permodalan bank. Bank yang
aktif melakukan kegiatan derivatif dan perdagangan instrumen
keuangan lainnya harus memiliki sistem yang mampu
memantau eksposur risiko suku bunga (trading book) dan
pergerakan suku bunga secara harian, serta mengembangkan
sistem tersebut sehingga pergerakan dimaksud dapat dipantau
secara real time basis.
Keenam, penetapan satuan kerja manajemen risiko.
Satuan kerja manajemen risiko bertanggung jawab menyusun
dan mendistribusikan laporan secara akurat dan tepat waktu,
mengenai :
a). keuntungan dan kerugian dari penilaian marked to market
yang diklasifikasikan berdasarkan produk, transaksi atau
jenis eksposur ;
b). sensitivitas eksposur terhadap kerugian sebagai dampak
dariperubahan suku bunga di pasar ;
c). potensi kerugian yang dapat terjadi karena perubahan suku
bunga di pasar.
Di samping itu, satuan kerja manajemen risiko harus
mengkaji secara berkala kecenderungan perubahan suku bunga
126
atau kemungkinan terjadinya tekanan pasar. Hasil kajian
tersebut selanjutnya disampaikan kepada komite manajemen
risiko dan direksi sebagai bahan evaluasi untuk meninjau
kembali eksposur risiko suku bunga yang ada dan limit yang
ditetapkan.
Ketujuh, penerapan manajemen risiko terhadap risiko
suku bunga dengan cara pengendalian risiko suku bunga.
Pengendalian risiko dan tanggung jawab manajemen
operasional atas posisi yang dikelola hingga jatuh waktu
(banking book) harus ditetapkan dalam organisasi bank.
Untuk surat berharga dan obligasi yang terdaftar atau
diperdagangkan di pasar modal, bank harus menerapkan proses
pengendalian intern yang bertujuan untuk memantau selisih
kredit (credit spread) dari surat berharga dan obligasi tersebut
dengan membandingkan hasil (yield) dari posisi portofolio
tersebut dengan obligasi pemerintah. Dengan mengabaikan
kriteria ketentuan yang mengatur pembentukan provisi apabila
bank menilai bahwa credit spread mengalami pelebaran maka
bank harus melakukan analisis mengenai kondisi dan prospek
penerbit surat berharga dan obligasi. Apabila hasil analisis dan
sentimen pasar menunjukan kesimpulan bahwa kegagalan
penerbit semakin meningkat maka bank harus segera
membentuk provisi dalam perspektif kehati-hatian.
2). Risiko nilai tukar (foreign exchange risk).
Risiko nilai tukar (foreign exchange/FX risk) adalah
risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai
tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka. Manajemen
127
risiko pada risiko nilai tukar ini dilakukan melalui pertama,
pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi. Oleh karena
itu, setiap anggota komisaris dan direksi secara ideal harus
memiliki pemahaman yang memadai mengenai jenis dan
tingkat eksposur risiko nilai tukar.
Kebijakan dan strategi yang berkaitan dengan
manajemen risiko nilai tukar wajib mendapatkan persetujuan
dari dewan komisaris. Selain itu, dewan komisaris wajib
memastikan bahwa direksi mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam rangka memantau dan mengendalikan risiko
tersebut. Sedangkan direksi harus memberikan informasi secara
berkala kepada dewan komisaris mengenai eksposur risiko nilai
tukar dalam rangka pelaksanaan pemantauan dan pengendalian
tersebut. Informasi tersebut selanjutnya direview oleh dewan
komisaris untuk menilai kinerja direksi dan kesesuaian hasil
kinerja dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
Kedua, penerapan manajemen risiko terhadap risiko
nilai tukar melalui penetapan kebijakan, prosedur dan
penetapan limit. Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur
yang komprehensif dan tertulis untuk mengelola risiko nilai
tukar. Kebijakan dan prosedur tersebut harus menetapkan dan
menguraikan garis tanggungjawab dan akuntabilitas yang
melampaui keputusan pengelolaan risiko nilai tukar dan harus
secara jelas mencakup instrumen yang diotorisasi, strategi
lindung nilai dan peluang pengambilan posisi. Kebijakan risiko
nilai tukar juga harus mengidentifikasi parameter kuantitatif
yang menggambarkan tingkat risiko nilai tukar yang dapat
ditolerir bank (risk tolerance).
128
Seluruh kebijakan dan prosedur risiko nilai tukar harus
dikaji secara berkala dan direvisi apabila diperlukan, terhadap
kemungkinan adanya peningkatan kegiatan akibat kondisi
pasar keseluruhan, khususnya apabila terdapat larangan oleh
otoritas pengawasan untuk melakukan transaksi terhadap mata
uang tertentu, baik oleh satuan kerja manajemen risiko maupun
satuan kerja audit intern, serta pihak eksternal yang memiliki
kompetensi dalam penerapan manajemen risiko suku bunga.
Prosedur yang diterapkan oleh bank harus mampu untuk
melakukan konsolidasi terhadap open positions, baik
berdasarkan neto maupun gross, pada setiap posisi yang
dimiliki, dan harus memungkinkan untuk melakukan
perhitungan secara akurat mengenai open position harian.
Bank harus menetapkan limit internal Net Open
Position (NOP) secara konsisten dalam rangka mencegah
terjadinya pelampauan batasan yang ditetapkan oleh ketentuan
yang berlaku terutama dalam hal seluruh limit internal yang
ditetapkan telah digunakan. Limit yang ditetapkan dalam
kegiatan transaksi perdagangan FX currencies dan instrumen
yang berdenominasi FX currency harus konsisten dengan
kebijakan pengambilan risiko secara keseluruhan, dan dapat
dikonsolidasikan serta mencakup seluruh unit usaha bank yang
memiliki posisi risiko pada FX currency.
Bank wajib melakukan identifikasi secara tepat aset,
transaksi derivatif, dan instrumen keuangan lain yang
mengandung risiko nilai tukar baik pada aktivitas fungsional
tertentu maupun aktivitas bank secara keseluruhan. Bank juga
wajib mempunyai metode pengukuran risiko nilai tukar.
129
c. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk).
Risiko likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan
bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu.
Risiko likuiditas dapat dikategorikan sebagai berikut :
1). Risiko likuiditas pasar, yaitu risiko yang timbul karena bank
tidak mampu melakukan offsetting posisi tertentu dengan
harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak
memadai atau terjadi gangguan di pasar (market disruption) ;
2). Risiko likuiditas pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena
bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh
pendanaan dari sumber dana lain.
Risiko likuiditas dapat melekat pada aktivitas fungsional
perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan investasi, kegiatan
pendanaan dan instrumen utang. Pengelolaan likuiditas ini sangat
penting karena kekurangan likuiditas dapat mengganggu bukan
hanya bank tersebut namun sistem perbankan secara keseluruhan.
Contoh risiko likuiditas sebagai akibat dari aktivitas
fungsional antara lain portofolio kredit yang tidak terkelola dengan
baik sehingga mengakibatkan kredit bermasalah (non performing
loan). Kredit pada dasarnya merupakan aktiva produktif yang
diharapkan akan memberikan pendapatan dan hasil dari
pengembalian kredit diharapkan akan menjadi sumber likuiditas
dalam wujud aliran kas masuk pada neraca bank. Karena menjadi
kredit bermasalah maka tidak ada aliran kas masuk bahkan
menghasilkan aliran kas keluar (cash outflow) karena bank harus
membentuk pencadangan penghapusan pinjaman atas kredit
bermasalah tersebut. Sementara dana pihak ketiga sewaktu-waktu
130
bisa ditarik/dicairkan oleh nasabah. Apabila kondisi ini
berlangsung terus-menerus maka akan menimbulkan masalah
likuiditas bagi bank tersebut.
Risiko likuiditas juga bisa terjadi diawali dari adanya risiko
pasar. Fenomena yang terjadi pada saat krisis moneter tahun 1997-
1998 dimana terjadi kondisi negative spread yakni suku bunga
simpanan dana pihak ketiga khususnya deposito lebih tinggi
dibandingkan suku bunga kredit sehingga bank menderita kerugian
karena kewajiban membayar bunga kepada deposan menguras
cadangan kas dan alat likuidnya. Risiko pasar yang mengakibatkan
risiko likuiditas juga dapat bersumebr dari perubahan nilai mata
uang. Karena adanya hiperdevaluasi maka banyak nasabah yang
menarik dana rupiahnya untuk dikonversi menjadi asset valuta
asing baik dalam bentuk banknote atau disimpan di bank asing.
Akibatnya banyak bank nasional mengalami kesulitan likuiditas.
Risiko reputasi juga potensial mengakibatkan risiko
likuiditas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang menurun
dapat mengakibatkan rush yakni penarikan dana pihak ketiga
secara besar-besaran dalam waktu bersamaan. Aliran kas keluar
dalam jumlah yang besar dalam waktu yang bersamaan akan
menguras cadangan kas dan alat likuid bank tersebut. Fenomena
seperti ini pernah terjadi pada saat krisis moneter tahun 1997-1998
sehingga memaksa Bank Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai konsekuensi
peran Bank Indonesia pada saat itu sebagai a lender of the last
resort.
Melihat potensi kerugian yang sedemikian besar apabila
risiko likuiditas diluar kendali maka Bank Indonesia menempatkan
131
risiko likuiditas sebagai risiko yang wajib dikelola dengan baik
oleh setiap bank. Untuk itu bank harus mempunyai struktur
manajemen yang baik dalam menjalankan strategi, kebijakan dan
prosedur likuiditas secara efektif.
Implementasi manajemen risiko terhadap risiko likuiditas
dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pertama, dengan
pengawasan aktif komisaris dan direksi. Komisaris dan direksi
harus memahami risiko likuiditas dan secara aktif melakukan
persetujuan serta mengevaluasi kebijakan dan strategi risiko
likuiditas secara berkala. Kebijakan dan strategi risiko likuiditas
harus mempertimbangkan toleransi risiko dan dampaknya
terhadap permodalan dengan memperhatikan perubahan eksternal
dan internal.
Direksi harus menjabarkan dan mengkomunikasikan
kebijakan dan strategi risiko likuiditas kepada seluruh satuan kerja
terkait serta mengevaluasi penerapan kebijakan dan strategi
dimaksud. Selain itu direksi harus memastikan penempatan dan
peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, khususnya pada
aktivitas fungsional tresuri dan investasi serta harus secara aktif
mengukur posisi likuiditas bank bukan hanya berdasarkan
kecukupan saat ini tetapi juga mengevaluasi penerapan strategi
pendanaan khususnya dalam kondisi pasar yang tidak
menguntungkan.
Kedua, melalui kebijakan, prosedur dan penetapan limit.
Kebijakan pengelolaan risiko likuiditas harus disusun sesuai
dengan misi, strategi bisnis, kecukupan permodalan, kemampuan
sumber daya manusia, serta risk appetite bank. Kebijakan
pengelolaan risiko likuiditas harus dievaluasi dan dikinikan secara
132
periodik dengan perubahan dalam kondisi likuiditas, misi dan
strategi bisnis serta kemampuan permodalan secara keseluruhan.
Bank harus pula memiliki kebijakan yang jelas mengenai
tanggungjawab pendanaan, pelaporan dan pricing likuiditas.
Kebijakan likuiditas dan pendanaan harus menugaskan dan
memberikan kewenangan kepada satuan kerja tertentu untuk
menentukan pasar, instrumen serta transaksi dengan eligible
counterparty. Kebijakan ini juga harus mencakup penanganan
permasalahan risiko konsentrasi likuiditas dan pencegahan
ketergantungan bank terhadap terhadap satu atau beberapa
instrumen, counterparty, atau segmen pasar tertentu. Kebijakan
dan prosedur pengelolaan risiko likuiditas yang telah disetujui oleh
direksi, dikomunikasikan dan diimplementasikan dengan baik oleh
satuan kerja yang menangani aktivitas fungsional yang memiliki
eksposur risiko likuiditas.
Kebijakan dan pengelolaan likuiditas dan pendanaan bank
harus menetapkan limit yang diimplementasikan secara konsisten
guna menghindari kekurangan likuiditas, konsentrasi gap dan
ketergantungan kepada counterparty, instrumen atau market
segment tertentu. Limit yang ditetapkan harus konsisten dan sesuai
dengan contingency funding plan untuk memastikan bahwa
contingency funding plan diterapkan secara efektif. Bank harus
secara khusus menetapkan limit pendanaan jangka pendek,
khususnya pinjaman overnight yang diperoleh dari pasar.
Penetapan limit tersebut sekurang-kurangnya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1). kebutuhan pendanaan berkala atau kelebihan likuiditas ;
2). konsistensi dengan pengambilan posisi risiko suku bunga ;
133
3). keseluruhan likuiditas yang tersedia di pasar uang antar bank
dan potensi kekurangan likuiditas yang terjadi berdasarkan
pengalaman masa lalu ;
4). pergerakan tingkat suku bunga dan likuiditas yang tersedia di
pasar.
Penetapan limit harus direview dan disesuaikan dalam hal
terdapat perubahan kondisi pasar secara keseluruhan yang
signifikan. Kebijakan, prosedur dan proses penetapan limit risiko
likuditas harus didokumentasikan secara tertulis dan lengkap
sehingga memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail).
Ketiga, melalui proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan sistem informasi manajemen risiko likuiditas.
Proses identifikasi risiko likuiditas dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1). Bank harus melakukan identifikasi dan analisis secara cermat
produk dan transaksi perbankan serta aktivitas fungsional yang
mengandung risiko likuiditas.
2). Bank harus melakukan analisis mengenai kemungkinan
dampak penerapan berbagai skenario yang berbeda atas posisi
likuiditas karena kondisi likuiditas Bank tergantung pada pola
cash flow dalam berbagai kondisi.
3). Bank dapat menerapkan berbagai skenario yang digunakan
untuk menilai :
a). arus kas dan posisi likuiditas Bank dalam keadaan normal;
b). skenario Bank individual pada saat krisis, yang antara lain
dicerminkan bahwa sebagian besar kewajiban Bank tidak
dapat diperpanjang; dan
134
c). skenario sistem perbankan pada saat krisis, yang antara lain
dicerminkan bahwa kondisi sebagian besar atau seluruh
sistem perbankan menghadapi masalah likuiditas.
4). Dalam menerapkan skenario tersebut, Bank harus membuat
asumsi mengenai kebutuhan likuiditas di masa mendatang,
baik jangka pendek maupun jangka panjang serta kemampuan
Bank untuk memperoleh likuiditas di pasar uang.
Adapun pengukuran risiko likuiditas meliputi :
1). struktur pendanaan, yaitu penilaian terhadap struktur simpanan
berdasarkan jenis, jangka waktu, mata uang, suku bunga,
pemilik dana, dan konsentrasi kepemilikan dana ;
2). expected cash flow, yaitu penilaian seluruh arus kas masuk dan
arus kas keluar termasuk kebutuhan pendanaan untuk
memenuhi komitmen pada transaksi rekening administratif
guna mengidentifikasi kemungkinan terjadinya shortage
pendanaan di masa datang ;
3). akses pasar, yaitu penilaian terhadap kemampuan Bank untuk
memperoleh likuiditas di pasar, baik dalam kondisi normal
maupun dalam kondisi tidak normal ;
4). asset marketability, yaitu penilaian terhadap aset likuid yang
dapat dikonversi menjadi kas, khususnya dalam kondisi tidak
normal (krisis), yaitu pada saat Bank tidak dapat memenuhi
seluruh kewajiban dengan menggunakan arus kas positif yang
dimiliki dan pinjaman dari pasar uang.
Perhitungan likuiditas dapat dilakukan dengan cara
menyusun maturity profile (maturity ladder) untuk setiap jenis
skenario dengan cara menyusun arus kas berdasarkan jatuh
tempo/maturitas ataupun estimasi dengan menggunakan asumsi
135
yang didasarkan atas pengalaman bank masa lalu. Apabila
perkiraan cash flow dilakukan berdasarkan suatu estimasi data
statistik maka keakuratan dan ketepatan estimasi tersebut harus
dinilai kembali secara berkala. Disamping itu, asumsi dan variabel
yang digunakan dalam perkiraan tersebut harus direview sesuai
dengan perubahan kondisi pasar, faktor persaingan antar bank dan
perubahan perilaku nasabah bank.
Sedangkan pemantauan risiko likuiditas dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut :
1). Bank harus menilai stabilitas dan trend simpanan dana
masyarakat serta menyusun worst case scenario berdasarkan
observasi terhadap trend penarikan terbesar yang pernah
terjadi dalam kurun waktu observasi tersebut, terutama bagi
Bank yang pernah mengalami penarikan dana yang sangat
besar.
2). Bank harus mengumpulkan data dan memantau posisi
likuiditas secara berkala (harian, mingguan, bulanan, dan
periode lainnya) serta potensi kerugian yang disebabkan risiko
likuiditas, antara lain dengan cara mengelola maturitas posisi
likuiditas.
3). Bank harus melakukan review secara berkala terhadap faktor-
faktor penyebab timbulnya risiko likuiditas serta kaitannya
dengan kerugian yang dapat ditimbulkan.
4). Untuk keperluan pemantauan eksposur risiko likuiditas,
Satuan Kerja Manajemen Risiko harus menyusun laporan
mengenai kerugian yang disebabkan faktor risiko likuiditas
dan disampaikan kepada Komite Manajemen Risiko dan
Direksi.
136
Untuk mendukung proses pengukuran dan pemantauan atas
risiko likuiditas diperlukan sistem informasi manajemen risiko
likuiditas. Agar dapat berfungsi dengan baik maka sistem
informasi manajemen risiko likuiditas harus memenuhi kualifikasi
sebagai berikut :
1). Sistem informasi manajemen risiko likuiditas harus dapat
menyediakan informasi dan laporan yang akurat dan tepat
waktu mengenai kondisi likuiditas, maturity profile, dan
projected cash flow. Sistem informasi tersebut harus dirancang
dan dikembangkan sesuai dengan perubahan kondisi internal
dan eksternal yang cukup signifikan.
2). Sistem informasi manajemen risiko harus dapat memenuhi
kewajiban pelaporan kepada Bank Indonesia termasuk
kewajiban bank untuk memenuhi laporan khusus (laporan).
Satuan Kerja Manajemen Risiko harus melakukan analisis
terhadap laporan yang dihasilkan dan selanjutnya menyampaikan
hasil analisis tersebut secara berkala sesuai kebutuhan bank
kepada Direksi, komite manajemen risiko, satuan kerja audit
intern, dan satuan kerja tresuri. Frekuensi penyampaian laporan
dapat ditingkatkan apabila hasil analisis menunjukkan bahwa Bank
memiliki potensi kesulitan likuiditas yang cukup signifikan.
Bank harus segera mengatasi kelemahan pada proses
capturing secara otomasi dengan cara proses komunikasi intern
yang memadai dan tepat waktu dengan satuan kerja tresuri,
terutama untuk mengetahui arus dana dalam jumlah yang besar
yang tidak terduga. Efektivitas dan keandalan laporan yang
dihasilkan sistem informasi harus dilakukan pengujian kembali
137
secara berkala sesuai dengan posisi terakhir liquidity gap, baik
long maupun short.
d. Risiko Operasional (Operational Risk)
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain
disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya
problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Risiko
operasional dapat menimbulkan kerugian keuangan secara
langsung maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas
hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan.
Risiko operasional dapat melekat pada setiap aktivitas
fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan (penyediaan dana),
tresuri dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan
perdagangan, pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem
informasi dan sistem informasi manajemen, dan pengelolaan
sumber daya manusia. Oleh karena itu, Bank Indonesia
memberikan arahan dalam manajemen risiko operasional yang
wajib dilaksanakan bank sebagai berikut :
1). Pengawasan Aktif Komisaris dan Direksi.
Komisaris dan direksi bank harus memahami risiko
operasional dan secara aktif melakukan persetujuan serta
mengevaluasi kebijakan dan strategi risiko operasional secara
periodik. Kebijakan dan strategi risiko operasional harus
mempertimbangkan dampaknya terhadap permodalan dengan
memperhatikan perubahan eksternal dan internal.
Kewajiban-kewajiban direksi bank dalam manajemen
risiko operasional adalah sebagai berikut :
138
a). Direksi harus menjabarkan dan mengkomunikasikan
kebijakan dan strategi risiko operasional kepada seluruh
satuan kerja terkait serta mengevaluasi penerapan
kebijakan dan strategi dimaksud.
b). Direksi harus dapat mengidentifikasi dan mengelola risiko
operasional yang melekat pada produk dan aktivitas baru
serta memastikan bahwa risiko produk dan aktivitas baru
tersebut telah melalui proses pengendalian risiko yang
memadai, sebelum diperkenalkan atau dijalankan.
c). Direksi harus memastikan penempatan dan peningkatan
kompetensi serta integritas sumber daya manusia yang
memadai pada seluruh aktivitas fungsional Bank.
2). Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit.
Dalam pembuatan kebijakan, prosedur serta penetapan
limit maka bank wajib memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a). Bank harus memiliki kebijakan pengelolaan risiko
operasional yang sesuai dengan misi, strategi bisnis,
kecukupan permodalan dan kecukupan sumberdaya
manusia.
b). Bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur untuk
menilai risiko operasional dan memantau eksposur risiko
operasional secara berkala pada beberapa aktivitas
fungsional utama.
c). Bank harus melakukan evaluasi dan pengkinian kebijakan
dan prosedur pengelolaan risiko operasional sesuai dengan
eksposur risiko operasional, profil risiko dan budaya risiko
Bank.
139
d). Bank harus menetapkan limit (cadangan) risiko operasional
dengan mempertimbangkan eksposur risiko dan
pengalaman kerugian masa lalu yang diakibatkan oleh
risiko operasional. Penetapan limit tersebut harus direview
dan disesuaikan dalam hal terdapat perubahan eksposur
risiko operasional secara signifikan.
e). Kebijakan, prosedur dan proses penetapan limit risiko
operasional harus didokumentasikan secara tertulis dan
lengkap sehingga memudahkan untuk dilakukan jejak audit
(audit trail).
Dalam rangka penyelesaian transaksi (Settlement),
bank wajib mempunyai kebijakan, prosedur dan penetapan
limit yang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a). Bank harus memiliki prosedur untuk mengukur eksposur
risiko penyelesaian transaksi, khususnya apabila risiko
tersebut berasal dari transaksi valuta asing dan kegiatan
pembiayaan perdagangan.
b). Bank harus melakukan penilaian terhadap tahapan dalam
proses penyelesaian transaksi, khususnya mengenai batas
akhir perintah pembayaran, batas akhir penerimaan dan
waktu pencatatan pembayaran dana.
c). Bank harus menyusun suatu prosedur pemantauan
penyelesaian transaksi baru atau apabila terdapat transaksi
yang belum diselesaikan pembayarannya.
d). Bank harus menyediakan prosedur penyelesaian transaksi
yang disebabkan oleh adanya kondisi likuiditas Bank yang
memburuk.
140
e). Bank harus melakukan konfirmasi transaksi secara tepat
waktu sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dan
memantau transaksi tersebut secara konsisten.
Dalam hal akuntansi, bank harus memastikan bahwa
penggunaan metode akuntansi adalah sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku serta memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a). melakukan review secara berkala guna memastikan
ketepatan metode yang digunakan untuk menilai transaksi ;
b). melakukan review secara berkala terhadap kesesuaian
metode akuntansi yang digunakan dengan standar
akuntansi keuangan yang berlaku ;
c). melakukan rekonsiliasi data transaksi secara berkala ;
d). mengidentifikasi dan menganalisa setiap ketidakwajaran
transaksi yang terjadi ;
e). memelihara seluruh dokumen dan arsip (file) yang
berkaitan dengan rincian rekening (accounts), sub-ledgers,
buku besar (general ledgers), administrasi klasifikasi aset
dan dokumentasi pembentukan provisi, guna memudahkan
proses jejak audit (audit trail).
3). Inventarisasi Aset dan Kustodian.
Proses inventarisasi dan pengelolaan aset dilakukan
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a). Bank harus memelihara data akuntansi dan rincian aset
pihak ketiga yang dipelihara/dititipkan (kustodian).
b). Bank harus memperoleh informasi yang memadai
mengenai keaslian penyimpanan/penitipan aset dalam
141
rangka memastikan bahwa asset yang dititipkan tidak
memiliki permasalahan hukum.
c). Bank harus melakukan pengecekan secara berkala antara
data asset yang dititipkan dengan perjanjian/kontraknya.
4). Profil Nasabah dan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC).
a). Bank harus menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC)
secara konsisten sesuai dengan eksposur risiko
operasional. KYC harus didukung oleh sistem
pengendalian intern yang efektif, khususnya upaya
pencegahan Bank terhadap kejahatan internal (internal
fraud).
b). Dalam penerapan KYC tersebut, Bank wajib memenuhi
seluruh persyaratan dan pedoman sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan yang berlaku tentang Prinsip Mengenal
Nasabah (KYC).
5). Profil Karyawan (Employee’s Profiles).
Bank harus memiliki dan menerapkan kebijakan
tentang tanggungjawab, kewenangan dan akses
pegawai/karyawan terhadap sistem informasi tertentu.
Kebijakan tersebut didukung oleh prosedur akses terhadap
sistem informasi manajemen, sistem informasi akuntansi,
sistem pengelolaan risiko, pengamanan di dealing room, dan
ruang pemrosesan data.
6). Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Sistem
Informasi Manajemen Risiko Operasional.
a). Identifikasi Risiko Operasional.
Bank harus melakukan identifikasi dan analisa
terhadap faktor penyebab timbulnya risiko operasional
142
yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional, produk,
proses dan sistem informasi, baik yang disebabkan oleh
faktor intern maupun ekstern yang berdampak negatif
terhadap pencapaian sasaran organisasi bank. Selain itu
bank juga harus memiliki prosedur penilaian yang
memadai terhadap risiko operasional yang melekat pada
aktivitas dan produk baru termasuk proses dan sistemnya.
Hasil identifikasi tersebut selanjutnya digunakan
oleh bank untuk mengembangkan suatu database
mengenai jenis kerugian (loss events) yang ditimbulkan
oleh risiko operasional. Metode yang dapat digunakan
bank untuk mengidentifikasi risiko operasional, antara
lain :
- self risk assessment berupa checklists untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pada
lingkungan risiko operasional bank, seperti peranan
komisaris dan direksi, struktur organisasi, sumber daya
manusia, serta arus informasi dan komunikasi pada
bank ;
- risk mapping berupa pemetaan menurut jenis risiko
terhadap aktivitas fungsional, struktur organisasi dan
arus proses transaksi ;
- key risk indicators berupa statistik atau matriks yang
menyediakan data posisi risiko operasional bank,
seperti jumlah pembatalan transaksi, tingkat
perputaran pegawai, dan frekuensi kesalahan (errors) ;
- scorecards yang menyediakan metode untuk
mentranslasikan penilaian/kriteria kualitatif menjadi
143
matriks kuantitatif, yang dapat digunakan untuk
mengalokasikan kebutuhan modal masing-masing
aktivitas fungsional.
b). Pengukuran Risiko Operasional.
Setelah bank melakukan identifikasi risiko
operasional yang melekat pada aktivitas fungsional tertentu,
bank harus menilai parameter yang mempengaruhi eksposur
risiko operasional, antara lain jumlah dan frekuensi :
- kegagalan dan kesalahan sistem ;
- sistem administrasi ;
- kegagalan hubungan dengan nasabah ;
- accounting error ;
- penundaan dan kesalahan penyelesaian pembayaran ;
- fraud ;
- rekayasa akunting ;
- strategic failure.
Sumber utama dalam penerapan manajemen risiko
operasional adalah data historis mengenai kerugian bank
yang disebabkan risiko operasional yang telah divalidasi dan
diverifikasi. Data kerugian risiko operasional terdiri dari
kejadian (events) yang bersifat rutin, berfrekuensi tinggi
namun berdampak rendah maupun yang berfrekuensi rendah
namun berdampak tinggi terhadap rugi laba bank.
Data kerugian risiko operasional tersebut bersifat :
- dapat diprediksi (expected) seperti events yang memiliki
frekuensi yang tinggi namun berdampak rendah ; atau
- sulit diprediksi (unexpected) seperti events yang
memiliki frekuensi rendah namun berdampak tinggi.
144
Bank harus memiliki metodologi pengukuran risiko
operasional yang tepat, sumberdaya manusia yang kompeten
dan infrastruktur sistem yang memadai dalam rangka
mengidentifikasi dan mengumpulkan data risiko
operasional. Di samping itu, bank harus mencatat dan
menatausahakan setiap events termasuk jumlah potensi
kerugian yang diakibatkan events dimaksud dalam suatu
administrasi data. Pencatatan dan penatausahaan data
tersebut disusun dalam suatu data statistik yang dapat
digunakan untuk memproyeksikan potensi kerugian pada
suatu periode dan aktivitas fungsional tertentu.
c). Pemantauan risiko operasional.
Bank harus melakukan pemantauan risiko
operasional secara berkelanjutan terhadap seluruh eksposur
risiko operasional serta kerugian (loss events) yang dapat
ditimbulkan oleh aktivitas fungsional utama (major business
line). Proses pemantauan risiko operasional antara lain
dengan cara menerapkan sistem pengendalian intern dan
menyediakan laporan berkala mengenai kerugian yang
ditimbulkan oleh risiko operasional.
Berdasarkan hasil pemantauan tersebut, Satuan Kerja
Manajemen Risiko harus melakukan review secara berkala
terhadap faktor-faktor penyebab timbulnya risiko
operasional serta dampak kerugiannya. Satuan Kerja
Manajemen Risiko harus menyusun laporan mengenai
kerugian dari risiko operasional dan hasil review kepatuhan
audit intern serta menyampaikan laporan tersebut kepada
Komite Manajemen Risiko dan Direksi.
145
d). Sistem Informasi Manajemen Risiko Operasional.
Bank harus memiliki sistem dan teknologi informasi
yang memadai sesuai dengan sifat dan volume transaksi.
Sistem informasi manajemen harus dapat menghasilkan
laporan yang lengkap dan akurat yang digunakan untuk
pemantauan risiko dalam rangka mendeteksi dan
mengkoreksi penyimpangan secara tepat waktu guna
mengurangi potensi terjadinya loss events. Sistem informasi
manajemen harus dapat menyediakan laporan eksposur
risiko operasional secara lengkap, akurat dan tepat waktu
dalam rangka proses pengambilan keputusan oleh Direksi.
7). Pengendalian Risiko Operasional.
Bank harus memiliki kebijakan, prosedur dan proses
untuk mengendalikan atau memitigasi risiko operasional,
sesuai dengan kompleksitas operasional bank. Dalam
penerapan pengendalian risiko operasional, bank dapat
mengembangkan program untuk memitigasi risiko operasional
antara lain pengamanan proses teknologi informasi, asuransi,
dan outsourcing sebagian kegiatan operasional bank.
8). Tindak Lanjut Hasil Audit Intern dan Ekstern.
a). Bank harus menindaklanjuti hasil temuan audit intern
maupun ekstern dan selanjutnya melakukan serangkaian
tindakan korektif.
b). Temuan audit yang belum ditindaklanjuti atau hanya
sebagian dilakukan perbaikan harus diinformasikan oleh
SKAI kepada Direksi. Apabila temuan tersebut signifikan,
Direksi menetapkan jangka waktu perbaikan dan
146
menugaskan SKAI untuk memantau perkembangan
efektivitas pelaksanaan tindakan korektif yang diambil.
e. Risiko Hukum (Legal Risk).
Risiko hukum adalah risiko yang disebabkan oleh adanya
kelemahan aspek yuridis, yang antara lain disebabkan adanya
tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung, atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya
syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak
sempurna. Pengendelaian atas risiko hukum dilaksanakan dengan
cara-cara sebagai berikut :
1). Pengawasan Aktif Komisaris dan Direksi.
Komisaris dan Direksi harus memahami risiko hukum
yang melekat pada aktivitas fungsional, terutama yang dapat
mempengaruhi kondisi keuangan bank, dan melaksanakan
persetujuan dan evaluasi kebijakan dalam rangka
mengendalikan risiko hukum. Direksi harus mengidentifikasi
dan mengendalikan risiko hukum yang melekat pada produk
dan aktivitas baru serta memastikan bahwa risiko produk dan
aktivitas baru tersebut telah melalui proses manajemen risiko,
sebelum diperkenalkan kepada nasabah.
Direksi harus memastikan bahwa bank memiliki
kebijakan untuk memperhitungkan dampak risiko hukum
terhadap permodalan bank. Di samping itu, Direksi harus
secara kontinyu mengembangkan budaya kepatuhan dan
kepedulian terhadap risiko hukum kepada seluruh pegawai
pada setiap jenjang organisasi. Direksi harus melibatkan para
pejabat dan karyawan Bank untuk mengkomunikasikan
147
permasalahan risiko hukum dengan bagian hukum atau satuan
kerja terkait agar risiko hukum dapat segera dicegah dan
dikendalikan.
2). Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit.
Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk
mengendalikan risiko hukum secara tertulis yang disesuaikan
dengan strategi usaha bank. Prosedur untuk mengendalikan
risiko hukum tersebut harus disetujui oleh Direksi dan
dikomunikasikan kepada seluruh jenjang organisasi sehingga
prosedur tersebut dapat diterapkan secara efektif.
Bank harus memiliki dan melaksanakan prosedur
analisis aspek hukum terhadap produk dan aktivitas baru.
Proses analisis aspek hukum terhadap produk dan aktivitas
baru wajib dilakukan secara berkelanjutan dengan
membanding ketentuan-ketentuan hukum terbaru yang terkait
dengan produk dan aktivitas usaha bank.
Bank harus memiliki satuan kerja atau sekelompok
petugas yang berfungsi sebagai legal watch untuk yang
menyediakan analisis hukum kepada seluruh pegawai pada
setiap jenjang organisasi. Satuan kerja/bagian hukum, Satuan
Kerja Manajemen Risiko dan satuan kerja operasional (risk
taking unit) harus secara bersama-sama menilai dampak
perubahan ketentuan atau peraturan tertentu terhadap eksposur
risiko hukum.
Bank harus memiliki kode etik yang diberlakukan
kepada seluruh pegawai pada setiap jenjang organisasi guna
meningkatkan kepatuhan kepada ketentuan intern maupun
ekstern. Bank harus menerapkan sanksi secara konsisten
148
kepada pejabat dan pegawai yang terbukti melakukan
penyimpangan dan pelanggaran terhadap ketentuan ekstern
dan intern serta kode etik internal bank.
Bank harus melakukan evaluasi dan pengkinian
kebijakan dan prosedur pengendalian risiko hukum secara
berkala. Kebijakan dan prosedur pengendalian risiko hukum
harus senantisa sesuai dengan perkembangan eksternal dan
internal bank, seperti perubahan ketentuan dan perundang-
undangan yang berlaku.
3). Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Sistem
Informasi Manajemen Risiko Hukum.
Bank harus mengidentifikasi risiko hukum yang
melekat pada aktivitas fungsional perkreditan (penyediaan
dana), tresuri dan investasi, operasional dan jasa, jasa
pembiayaan perdagangan, teknologi sistem informasi dan
MIS, dan pengelolaan sumber daya manusia. Bank harus
mencatat dan menatausahakan setiap events yang terkait
dengan risiko hukum termasuk jumlah potensi kerugian yang
diakibatkan events dimaksud dalam suatu administrasi data.
Pencatatan dan penatausahaan data tersebut disusun dalam
suatu data stastistik yang dapat digunakan untuk
memproyeksikan potensi kerugian pada suatu periode dan
aktivitas fungsional tertentu.
Dalam proses pengukuran risiko hukum ini, bank dapat
menggunakan dengan kombinasi pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Bank memantau risiko hukum secara berkala
sesuai dengan pengalaman kerugian di masa lalu yang
disebabkan oleh risiko hukum. Sistem informasi manajemen
149
harus dapat menyediakan laporan eksposur risiko hukum
secara lengkap, akurat dan tepat waktu dalam rangka proses
pengambilan keputusan oleh Direksi.
4). Pengendalian Risiko Hukum.
Satuan kerja bidang hukum (legal department) harus
melakukan review secara berkala terhadap kontrak dan
perjanjian/agreement antara bank dengan pihak lain, antara
lain dengan cara melakukan penilaian kembali terhadap
efektivitas proses enforceability tersebut guna mengecek
validitas hak dalam kontrak dan perjanjian/agreement tersebut.
Dalam hal Bank menerbitkan garansi seperti netting
agreement, collateral pledges, dan margin calls maka hal
tersebut harus didukung oleh efektivitas dan enforceability
dokumen hukum.
Bank harus meningkatkan pengendalian risiko hukum
untuk memastikan hal-hal sebagai berikut :
a). kesesuaian antara operasional, organisasi dan pengendalian
intern dengan ketentuan yang berlaku, kode etik, dan
strategi usaha ;
b). kepatuhan terhadap prosedur internal ;
c). kualitas laporan keuangan ;
d). efektivitas dan efisiensi sistem informasi manajemen
risiko ;
e). efektivitas penerapan komunikasi yang berkaitan dengan
dampak risiko hukum kepada seluruh pegawai pada setiap
jenjang organisasi.
150
f. Risiko Reputasi (Reputation Risk).
Risiko reputasi adalah risiko yang antara lain disebabkan
oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha
bank atau persepsi negatif terhadap bank. Pengendalian terhadap
risiko reputasi diwujudkan dengan :
1). Pengawasan Aktif Komisaris dan Direksi.
Komisaris dan Direksi harus memahami risiko reputasi
yang melekat ada aktivitas tertentu bank, terutama yang secara
signifikan dapat mempengaruhi kondisi keuangan bank, dan
melaksanakan persetujuan dan evaluasi kebijakan dalam
rangka pengendalian risiko reputasi. Direksi harus memastikan
bahwa bank memiliki kebijakan untuk memperhitungkan
dampak risiko reputasi terhadap permodalan bank. Selain itu,
bank juga harus memiliki satuan kerja yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab untuk memberikan informasi
yang komprehensif kepada nasabah dan stakeholders Bank
lainnya dalam rangka mengendalikan risiko reputasi.
2). Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit.
Bank harus mempunyai kebijakan dan prosedur tertulis
yang memenuhi prinsip -prinsip transparansi dan peningkatan
kualitas pelayanan nasabah dan stakeholders lainnya dalam
rangka mengendalikan risiko reputasi. Kebijakan tersebut juga
harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengenai perlindungan kepada konsumen.
Bank harus memiliki dan melaksanakan kebijakan
komunikasi yang tepat dalam rangka menghadapi
berita/publikasi yang bersifat negatif atau pencegahan
informasi yang cenderung kontraproduktif, antara lain dengan
151
cara menerapkan strategi penggunaan media yang efektif
untuk menanggapi berita negatif. Bank harus melaksanakan
prosedur untuk mengendalikan risiko reputasi yang berkaitan
dengan pengalaman risiko reputasi yang secara material
mempengaruhi kondisi keuangan bank. Bank harus
mengkomunikasikan kebijakan dan prosedur untuk
mengendalikan risiko reputasi kepada seluruh pegawai pada
setiap jenjang organisasi.
3). Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Sistem
Informasi Manajemen Risiko Reputasi.
Bank harus mengidentifikasi risiko reputasi yang
melekat pada aktivitas fungsional tertentu seperti perkreditan
(penyediaan dana), tresuri dan investasi, operasional dan jasa,
pembiayaan perdagangan (apabila ada), teknologi sistem
informasi dan MIS, dan sumber daya manusia. Selain itu, bank
harus mencatat dan menatausahakan setiap events yang terkait
dengan risiko reputasi termasuk jumlah potensi kerugian yang
diakibatkan events dimaksud dalam suatu administrasi data.
Pencatatan dan penatausahaan data tersebut disusun dalam
suatu data stastistik yang dapat digunakan untuk
memproyeksikan potensi kerugian pada suatu periode dan
aktivitas fungsional tertentu.
Dalam proses pengukuran risiko reputasi ini, bank
dapat menggunakan dengan kombinasi pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Bank memantau risiko reputasi secara berkala
sesuai dengan pengalaman kerugian di masa lalu yang
disebabkan oleh risiko reputasi. Sistem informasi manajemen
harus dapat menyediakan laporan eksposur risiko reputasi
152
secara lengkap, akurat dan tepat waktu dalam rangka proses
pengambilan keputusan oleh direksi.
4). Pengendalian Risiko Reputasi.
Bank harus meningkatkan kepatuhan terhadap
ketentuan yang berlaku dalam rangka mengendalikan risiko
reputasi. Bank harus segera mengatasi adanya keluhan
nasabah dan gugatan hukum yang dapat meningkatkan
eksposur risiko reputasi antara lain dengan cara melakukan
komunikasi dengan nasabah atau counterparty secara kontinyu
dan melakukan perundingan bilateral dengan nasabah untuk
menghindari litigasi dan tuntutan hukum.
g. Risiko Strategik (Strategic Risk).
Risiko strategik adalah risiko yang antara lain disebabkan
adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat,
pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang
responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal. Pengendalian
risiko strategik diwujudkan dalam aktivitas sebagai berikut :
1). Pengawasan Aktif Komisaris dan Direksi.
Komisaris dan Direksi harus memahami risiko
strategik yang melekat pada aktivitas tertentu Bank, terutama
yang secara signifikan dapat mempengaruhi kondisi keuangan
Bank, dan melaksanakan persetujuan dan evaluasi kebijakan
dalam rangka pengendalian risiko strategik. Komisaris dan
Direksi harus menyusun dan menyetujui rencana strategik
(corporate plan) dan rencana kerja (business plan) yang
mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku.
153
Direksi harus memantau kondisi internal (kelemahan
dan kekuatan Bank) dan perkembangan faktor/kondisi
eksternal yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi strategi usaha Bank yang telah ditetapkan.
Direksi juga harus memastikan bahwa penetapan strategi
untuk pencapaian tujuan usaha Bank telah memperhitungkan
dampak risiko strategik terhadap permodalan Bank. Untuk itu,
Direksi wajib membentuk satuan kerja yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab yang mendukung perumusan
dan pemantauan pelaksanaan strategi termasuk corporate plan
dan business plan.
2). Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit.
Bank harus menetapkan rencana strategik (corporate
plan) dan rencana bisnis (business plan) yang berjangka waktu
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara tertulis dan
melaksanakan kebijakan tersebut. Rencana strategik dan
rencana bisnis tersebut harus ditetapkan oleh Direksi dan
mendapat persetujuan dari Komisaris, dan dikomunikasikan
kepada pejabat dan atau pegawai bank pada setiap jenjang
organisasi.
Rencana strategik dan rencana bisnis tersebut harus
memiliki asumsi alternatif apabila terdapat penyimpangan dari
target yang akan dicapai akibat perubahan eksternal dan
internal yang signifikan. Bank harus memiliki prosedur untuk
mengukur kemajuan yang dicapai dari realisasi anggaran dan
kinerja sesuai jadwal yang ditetapkan.
3). Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan dan Sistem
Informasi Manajemen Risiko Strategik.
154
Bank harus mengidentifikasi risiko strategik yang
melekat pada aktivitas fungsional tertentu seperti perkreditan
(penyediaan dana), tresuri dan investasi serta operasional dan
jasa. Bank harus mencatat dan menatausahakan perubahan
kinerja sebagai akibat tidak terealisasinya atau tidak efektifnya
pelaksanaan strategi usaha maupun rencana bisnis yang telah
ditetapkan terutama yang signifikan terhadap permodalan
Bank.
Dalam proses pengukuran risiko strategik ini, bank
dapat menggunakan dengan kombinasi pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Bank memantau risiko strategik secara berkala
sesuai dengan pengalaman kerugian di masa lalu yang
disebabkan oleh risiko strategik. Sistem informasi manajemen
harus dapat menyediakan laporan eksposur risiko strategik
secara lengkap, akurat dan tepat waktu dalam rangka proses
pengambilan keputusan oleh Direksi.
4). Pengendalian Risiko Strategik.
Bank harus melaksanakan proses pengendalian
keuangan yang bertujuan untuk memantau realisasi
dibandingkan dengan target yang akan dicapai dan
memastikan bahwa risiko yang diambil masih dalam batas
toleransi. Selain itu, bank harus memiliki satuan kerja yang
diberi wewenang dan tanggung jawab untuk menganalisa
laporan actual vs target rencana bisnis dan menyampaikannya
kepada Direksi secara berkala. Bank juga harus melaksanakan
pengujian dan kaji ulang terhadap sistem informasi
manajemen risiko strategik secara berkala.
155
h. Risiko Kepatuhan (Compliance Risk).
Risiko Kepatuhan merupakan risiko yang disebabkan Bank
tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pada prakteknya risiko
kepatuhan melekat pada risiko Bank yang terkait pada peraturan
perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku, seperti
risiko kredit terkait dengan ketentuan Kewajiban Pemenuhan
Modal Minimum (KPMM), Kualitas Aktiva Produktif,
Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP), Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), risiko pasar terkait dengan
ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN), risiko strategik terkait
dengan ketentuan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT)
Bank, dan risiko lain yang terkait dengan ketentuan tertentu.
Dalam rangka pengendalian atas risiko kepatuhan maka bank
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1). Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Kepatuhan.
Bank harus melakukan identifikasi dan analisis
terhadap beberapa factor yang dapat meningkatkan eksposur
risiko kepatuhan dan berpengaruh secara kuantitatif kepada
rugi laba dan permodalan Bank, seperti:
a). aktivitas usaha Bank, yaitu jenis dan kompleksitas usaha
Bank, termasuk produk dan aktivitas baru ;
b). ketidakpatuhan Bank, yaitu jumlah (volume) dan
materialitas ketidakpatuhan Bank terhadap kebijakan dan
prosedur intern, peraturan perundang-undangan dan
ketentuan yang berlaku, praktek dan standar etika bisnis
yang sehat ; dan
156
c). litigasi, yaitu jumlah dan materialitas dari tuntutan litigasi
dan keluhan nasabah.
Bank juga harus memastikan efektivitas penerapan
manajemen risiko kepatuhan, antara lain yang berkaitan
dengan :
a). kebijakan, yang meliputi :
- ketepatan penetapan limit risiko yang telah ditetapkan ;
- konsistensi kebijakan manajemen risiko dengan arah
dan strategi usaha Bank ;
- penerapan kepatuhan, pengaturan tanggung jawab dan
akuntabilitas pada seluruh jenjang organisasi ;
- kebijakan mengecualikan suatu pengambilan keputusan
yang menyimpang (irregularities) ;
- penerapan kebijakan pengecekan kepatuhan melalui
prosedur secara berkala.
b). prosedur, yang meliputi :
- ketepatan waktu mengkomunikasikan kebijakan kepada
seluruh pegawai pada setiap jenjang organisasi ;
- kecukupan pengendalian terhadap pengembangan
produk baru ;
- kecukupan laporan dan sistem data ;
- kecukupan pengawasan komisaris dan direksi bank ;
- kecukupan pengendalian intern bank, termasuk aspek
pemisahan fungsi dan pengendalian berlapis (dual
control) ;
- sistem informasi manajemen yang tepat waktu dan tepat
guna;
157
- efektivitas dari pengendalian terhadap akurasi,
kelengkapan, dan integritas data ;
- kecukupan proses menginterpretasikan (penafsiran)
perundangundangan dan ketentuan yang berlaku ;
- komitmen bank untuk memastikan bahwa sumber daya
bank telah tepat dialokasikan untuk kepentingan
pelatihan karyawan dan peningkatan budaya kepatuhan ;
- identifikasi dan tindakan korektif yang tepat waktu
terhadap pengaruh pelanggaran dan ketidakpatuhan
terhadap perundangundangan dan ketentuan yang
berlaku ;
- kecukupan mengintegrasikan aspek kepatuhan pada
setiap tahap perencanaan bank (corporate planning).
c). sumber daya manusia, yakni berkaitan dengan :
- ketepatan program kompensasi dan pengelolaan kinerja
karyawan dan pejabat bank;
- tingkat turn over karyawan dan pejabat bank yang
menduduki posisi yang strategis pada bank (high risk
taking unit) ;
- kecukupan program pelatihan ;
- kecukupan kompetensi komisaris dan direksi bank ;
- tingkat pemahaman dan kesesuaian arah strategi usaha
dengan risk tolerance.
d). sistem pengendalian, yang meliputi :
- efektivitas dan independensi fungsi audit, quality
assurance unit (apabila ada), dan Satuan Kerja
Manajemen Risiko ;
158
- akurasi, kelengkapan, dan integritas laporan serta sistem
informasi manajemen ;
- keberadaan sistem pemantauan terhadap irregularities
yang mampu mengidentifikasi dan mengukur
peningkatan frekuensi dan jumlah eksposur risiko ;
- tingkat responsif bank terhadap penyimpangan terhadap
kebijakan dan prosedur intern bank ;
- tingkat responsif bank terhadap penyimpangan dalam
sistem pengendalian intern bank.
Setelah dipaparkan mengenai penerapan manajemen risiko
pada masing-masing kegiatan bank maka Bank Indonesia
memberikan arahan agar setiap bank membuat rencana kegiatan
(Action Plan). Rencana kegiatan dalam penerapan manajemen risiko
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1). Penerapan manajemen risiko dilaksanakan oleh bank dengan atau
tanpa tahapan. Bagi bank yang telah menerapkan manajemen
risiko secara utuh dan memenuhi seluruh persyaratan minimum
yang diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tetap wajib
melaporkan rencana kegiatan dengan isi laporan yang disesuaikan
dengan yang dipersyaratkan. Bagi bank yang belum sepenuhnya
atau sama sekali belum menerapkan manajemen risiko wajib
melaporkan tahapan dalam rencana kegiatan dengan isi laporan
yang disesuaikan dengan yang dipersyaratkan.
2). Bank Indonesia dapat meminta bank untuk melakukan
penyesuaian terhadap laporan rencana kegiatan apabila rencana
kegiatan dinilai belum sepenuhnya memenuhi persyaratan
minimum yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan
pedoman ini.
159
3). Melakukan sosialisasi standar minimum penerapan manajemen
risiko kepada seluruh pegawai (terkait) untuk memastikan bahwa
pegawai tersebut memiliki pemahaman yang cukup mengenai
praktek manajemen risiko, dan selanjutnya bank mengembangkan
kultur risiko (risk culture ) kepada seluruh pegawai pada setiap
jenjang organisasi.
4). Memastikan bahwa SKAI (Satuan Kerja Audit Intern) terlibat
dalam proses diagnostik serta penyusunan dan pemantauan
rencana kegiatan dimaksud. Selanjutnya SKAI menyesuaikan
proses perencanaan auditnya (audit planning) sesuai dengan hasil
penilaian terhadap rencana kegiatan dan realisasinya.
2. Pengaturan Manajemen Risiko Perbankan dalam perspektif
penegakan prinsip kehati-hatian.
Bank sebagai lembaga intermediasi yang menghubungkan
antara pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus spending unit)
kepada pihak yang memerlukan dana (deficit spending unit) serta
kedudukannya sebagai korporasi yang berorientasi pada perolehan
keuntungan usaha akan senantiasa diperhadapkan pada berbagai
macam risiko. Pada dasarnya potensi risiko melekat (inherent) pada
seluruh aktivitas usaha suatu bank. Risiko tidak selalu harus dihindari
terutama risiko-risiko yang dibaliknya terdapat peluang meraih
keuntungan. Hanya risiko-risiko yag tidak menghasilkan bahkan
menimbulkan ancaman bagi sustainabilitas usaha yang perlu
dihindari. Pengelolaan risiko-risiko yang mempunyai potensi
menghasilkan keuntungan inilah yang perlu ditangani secara
bijaksana (prudent).
160
Bank sebagai salah satu simpul sirkulasi uang akan
diperhadapkan pada tugas untuk mengelola uang tersebut dengan
bijaksana. Ketika uang berputar sebagai salah satu keberadaannya
sebagai alat tukar yang sah, maka akan terjadi perpindahan
kepemilikan atas nilai uang dimaksud meskipun dalam beberapa
kasus uang secara fisik masih berada di tangan pihak lawan transaksi
(counterparty). Akan tetapi fenomena tersebut tidak senantiasa
berlaku bagi institusi perbankan.
Uang masyarakat yang dititipkan dalam bentuk simpanan
dana pihak ketiga ke bank tidak serta merta menjadi milik bank.
Kedudukan bank hanya sebagai peminjam dari pemilik dana yang
kemudian dikonversi menjadi pinjaman yang disalurkan kepada
pihak yang membutuhkannya. Karena mengelola dana milik orang
lain sebagai modal kerja inti usahanya maka bank dituntut untuk
mengelola dana tersebut dengan penuh tanggungjawab atau dalam
bahasa teknisnya bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal
ini merupakan implementasi dari prinsip kepercayaan (fiduciary
relationship) yang diberikan oleh penyimpan dana pihak ketiga pada
bank yang dimaksud.
Seperti telah dijelaskan di atas, terdapat berbagai risiko yang
melekat pada aktivitas usaha perbankan mulai dari proses
penghimpunan dana pihak ketiga, mendistribusikannya dalam bentuk
kredit bahkan terdapat pula pada aktivitas layanan sistem
pembayaran. Potensi risiko yang memberikan peluang adanya
keuntungan didalam aktivitas usaha bank perlu terus dikembangkan
seraya mengelola dengan baik risikonya.
Dalam penerapan manajemen risiko atas aktivitas usahanya
perlu menekankan penegakan prinsip kehati-hatian. Meskipun
161
demikian penerapan prinsip kehati-hatian perlu terukur dengan baik.
Prinsip kehati-hatian yang dilakukan dengan berlebihan justru akan
merugikan bank tersebut bahkan aktivitas perekonomian secara
makro. Sebagai contoh adalah data distribusi kredit saat ini yang
dirasakan masih terlalu kecil sehingga menghambat laju pertumbuhan
ekonomi. Pasca krisis moneter 1997/1998, banyak bankir yang
mengalami risk-phobia dalam menyalurkan kredit dan lebih merasa
nyaman menempatkan kelebihan likuiditasnya pada instrumen
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) meskipun dengan margin keuntungan
yang kecil tetapi dianggap lebih aman daripada diinvestasikan pada
kualitas aktiva produktif lainnya termasuk penyaluran kredit.
Meskipun pada sisi yang lain akan memberikan dampak pada
membengkaknya anggaran keuangan negara khususnya untuk
membayar kewajiban bunga SBI.
Akibatnya tidak terdapat pertumbuhan ekonomi yang
signifikan secara makro karena kelangkaan pendanaan usaha. Sektor
riil tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan karena tingkat
investasi yang relatif kecil. Padahal pada saat yang sama, arus modal
(capital in flow) pada instrumen finansial baik melalui pasar modal
maupun pasar uang mengalami peningkatan.
Pada saat ini, pasar uang dan pasar modal mengalami
peningkatan yang luar biasa khususnya pasca krisis ekonomi dan
keuangan global 2008 yang dipicu oleh fenomena sub prime
mortgage di Amerika Serikat yang kemudian merembet ke Eropa dan
sebagian negara-negara di Asia. Puncaknya adalah pernyataan
kebangkrutan institusi keuangan raksasa Lehman Brothers pada hari
Senin, tanggal 15 September 2008 setelah institusi tersebut gagal
mendapatkan opsi Chapter 11 Protection. Berita kebangkrutan ini
162
menimbulkan reaksi pasar yang negatif akibatnya pasar uang dan
pasar modal mengalami gejolak. Dampak negatif dari krisis keuangan
global tersebut relatif terasa bagi stabilitas finansial bahkan pada aras
nasional bersamaan munculnya kasus Bank Century yang menurut
para pengambil keputusan pada Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) mempunyai dampak sistemik apabila tidak dilakukan
penyelamatan karena adanya fenomena krisis ekonomi dan keuangan
global tersebut.
Meskipun belakangan diakui oleh Komite Stabilitas Sistem
Keuangan sebagaimana terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat di
Pansus Bank Century DPR RI bahwa sumber permasalahan
kegagalan Bank Century adalah manajemen risiko yang buruk
ditandai dengan banyaknya tindakan fraud baik pada jajaran
manajemen maupun pemegang saham.
Terlepas dari pro-kontra penyelamatan Bank Century maka
patutlah menjadi perhatian khususnya pada kegagalan manajemen
risiko suatu bank dalam contoh kasus ini adalah Bank Century akan
memberikan dampak eksistensial bagi institusinya bahkan berpotensi
pula memberikan dampak pada industri sejenis seperti yang sering
disebut dengan dampak sistemik. Terlebih lagi dengan
perkembangan transaksi keuangan yang sudah semakin terintegrasi di
antara berbagai institusi keuangan serta dengan variasi produk dan
layanan maka kajian terhadap risiko sistemik perlu mendapatkan
perhatian yang terus menerus.
Regulasi di bidang manajemen risiko senantiasa perlu
dilakukan pengkinian (up dating) meskipun kerapkali regulasi
terlambat dari fenomena yang terjadi pada lapangan praktis.
Kelambanan pada sisi legislasi seyogyanya tidak menjadi hambatan
163
dalam penanganan industri perbankan. Prinsip kehati-hatian yang
sejatinya merupakan prinsip utama dalam industri perbankan
merupakan basic norm yang mendasari disusunnya peraturan-
peraturan lain di bidang perbankan termasuk pada pengaturan
penerapan manajemen risiko. Prinsip kehati-hatian tidak disusun
sebagai suatu ketentuan yang detail dan spesifik tetapi penjabarannya
diserahkan pada peraturan lain yang berfungsi sebagai ketentuan
operasional.
Adalah menarik penjelasan mengenai hubungan antara prinsip
kehati-hatian dengan pengaturan penerapan manajemen risiko yang
diintroduksi oleh John F. Laker yang merupakan Ketua (Chairman)
dari Australian Prudential Regulation Authority yang mengatakan
sebagai berikut “Banking is risky business, and substantial losses can
occur if risks are not well-managed or if risk events turn out to be
more severe than anticipated. In a competitive financial system, it is
inevitable that banks will fail from time to time. Should a prudential
regulator attempt to prevent all failures? Is the acceptable level of
risk that associated with a zero failure regime? The answer to both
questions is no. A prudential regulator seeking to eliminate
completely the risk of failure would invariably stand in the way of
sensible risk-taking activity and would harden the arteries of the
financial system. Fear of failure is one of the most effective forms of
market discipline. The challenge for prudential regulators is to strike
a balance between financial safety and other public policy objectives
such as efficiency and competition”. 67
67
John F. Laker, Risk Management in Banking – a Prudential Perspective, 59th International
Banking Summer School, Melbourne (September 6th
, 2006), hal. 2.
164
Dari pendapat di atas kita dapat melihat bahwa tujuan dari
Prinsip Kehati-hatian adalah untuk menjaga keseimbangan antara
stabilitas keuangan dan tujuan kebijakan publik seperti efisiensi dan
kompetisi, bukan untuk meniadakan sama sekali risiko perbankan.
Apabila merujuk pada ketentuan Basel Accord II maka kerangka
peraturan kehati-hatian bagi bank adalah pada regim kecukupan
modal berbasis risiko. Kecukupan modal dalam perspektif kehati-
hatian mempunyai dua tujuan yakni memberikan insentif bagi bank
untuk mengatur dan mengelola risiko internal serta sebagai peredam
kejut (shock absorber) apabila bank mengalami goncangan akibat
peristiwa dan perubahan lingkungan yang tidak terduga.
Pengelolaan risiko dengan berbasis pada prinsip kehati-hatian
adalah menjadi kunci utama keberlangsungan institusi perbankan.
Risiko adalah sebuah keniscayaan yang ada pada industri perbankan,
oleh karenanya kemampuan bank menerapkan manajemen risiko
akan menjadi inspirasi bagi pengembangan industri perbankan.
Bagaimana bank mampu mengkonversi risiko menjadi peluang bisnis
adalah suatu sikap mental dan kecakapan yang harus dipunyai oleh
setiap bankir agar tujuan korporasi dapat tercapai dan pada sisi yang
lain stabilitas keuangan juga dapat terpelihara dengan baik.
Alternatif keputusan yang dapat diambil oleh bank ketika
menghadapi suatu risiko adalah sebagai berikut : 68
a. Hindari (Avoidance) : keputusan yang diambil adalah tidak
melakukan aktivitas yang dimaksud. Misalnya sebuah bank
mendapat tawaran untuk melakukan bisnis pencucian uang (money
68
Ferry N. Idroes & Sugiarto, op.cit, hal. 9-10.
165
laundering) dari kegiatan terorisme yang menjanjikan keuntungan
dari penempatan dalam jumlah besar dengan bunga yang sangat
rendah. Risiko aktivitas tersebut adalah ancaman penutuoan bank
serta ancaman pidana terhadap pelakunya. Maka, bank
memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas tersebut.
b. Alihkan (transfer) : membagi risiko dengan pihak lain.
Konsekuensinya terdapat biaya yang harus dikeluarkan atau
berbagi keuntungan yang diperoleh. Misalnya untuk pembiayaan
proyek yang sangat besar, sebuah bank melakukan skema
pinjaman sindikasi. Sindikasi adalah bentuk berbagi bisnis, risiko,
dan hasil yang lazim dilakukan bank. Pengalihan risiko juga
termasuk penggunaan lembaga asuransi sebagai penanggung
kerugian dengan membayar premi. Selain itu, penggunaan sumber
daya di luar organisasi (outsourcing) juga termasuk ke dalam
pengalihan risiko.
c. Mitigasi Risiko (Mitigate Risk) : menerima risiko pada tingkat
tertentu dengan melakukan tindakan untuk mitigasi risiko melalui
peningkatan kontrol, kualitas proses, serta aturan yang jelas
terhadap pelaksanaan aktivitas dan risikonya. Misalnya,
pengikatan pinjaman dan agunan pada bank. Pengikatan sangat
rentan untuk terjadi masalah. Akibatnya adalah bank tidak dapat
atau berada pada posisi hukum yang lemah dalam penyelesaian
pinjaman atau eksekusi agunan. Bank perlu menerapkan sistem
dan prosedur yang jelas tentang pengikatan serta aspek-aspek
pendukungnya. Selanjutnya ditetapkan secara tegas mengenai
sanksi yang dapat dikenakan kepada individu-individu yang
melakukan penyimpangan prosedur.
166
d. Menahan Risiko Residual (Retention of Residual Risk) :
menerima risiko yang mungkin timbul dari aktivitas yang
dilakukan. Kesediaan menerima risiko dikaitkan dengan
ketersediaan penyangga jika kerugian atas risiko terjadi. Peran
inilah yang ditekankan dalam membahas manajemen risiko
perbankan. Perbankan harus mengambil berbagai macam risiko
dalam menjalankan aktivitasnya. Risiko yang dimaksud tidak
dapat dihindari, dialihkan, dan dimitigasi. Akibatnya, risiko
tersebut harus ditanggung sejalan dengan pelaksanaan aktivitas.
Misalnya bank menerima transaksi pembelian valuta asing dari
nasabah secara forward tiga bulan ke depan. Untuk mitigasi risiko,
bank melakukan forward ulang kepada bank lain dan
mengharuskan nasabah untuk menyerahkan setoran jaminan. Pada
situasi normal, mitigasi risiko cukup untuk mengatasi
kemungkinan risiko yang akan terjadi. Namun, jika situasi
menjadi tak terkendali, yaitu nilai tukar melonjak drastis, nasabah
membatalkan kontrak dengan menjual pada pasar spot dan
membiarkan setoran jaminan diambil bank. Pada situasi itu terjadi
kerugian karena setoran jaminan tidak menutupi kerugian tersebut.
Situasi inilah yang dikatakan sebagai risiko residual yang harus
ditanggung bank. Setiap risiko residual pada bank diperlukan
ketersediaan modal untuk menyangganya.
Pilihan terhadap alternatif-alternatif pengambilan keputusan
ketika menghadapi risiko sangatlah ditentukan oleh kapasitas
kecakapan manajemen bank yang sangat dipengaruhi oleh sense of
businees dan sense of risk serta financial profile bank. Implementasi
prinsip kehati-hatian dalam manajemen risiko tidak serta merta
memberikan arahan manajemen untuk menghindari risiko karena
167
pada perspektif yang lain dibalik risiko tersimpan peluang untuk
mendapatkan keuntungan usaha. Belajar dari pengalaman dampak
krisis perbankan 1997/1998 yang mengakibatkan perilaku
manajemen bank pada awal dekade 2000-an mengimplementasikan
prinsip kehati-hatian secara super ketat sehingga fungsi intermediasi
bank menjadi terhambat hal ini dibuktikan dengan ratio Loan to
Deposit Ratio (LDR) yang sangat kecil dan sebagian besar portofolio
asset bank ditempatkan pada investasi likuid seperti Sertifikat Bank
Indonesia dan obligasi-obligasi pemerintah/negara yang relatif aman
dan memberikan margin keuntungan akan tetapi secara eksistensial
tidak memberikan multiplier effect.
Tentu saja prinsip kehati-hatian yang diterapkan secara
membabi-buta bukanlah yang diharapkan karena fungsi utama bank
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta tujuan
perbankan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak
sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-udang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menjadi tidak dapat dijalankan. Pada akhirnya, pemerintah
dan masyarakat akan dirugikan karena hambatan likuiditas
menjadikan investasi dan modal kerja usaha tidak dapat berjalan
optimal dan tentu saja secara makro akan mempengaruhi devisa
negara.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar terhadap risiko bank
sangatlah penting bagi para pejabat dan pelaksana perbankan karena
nature industri perbankan yang sarat risiko perlu kecakapan dalam
pengelolaannya. Pengelolaan risiko yang benar dan penerapan prinsip
168
kehati-hatian secara terukur akan membangun lingkungan industri
perbankan yang sehat dan memberikan konstribusi yang optimal bagi
masyarakat dan dunia usaha.
3. Keterkaitan Manajemen Risiko dengan Good Corporate
Governance di Bidang Perbankan.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas
bahwasanya karena keberadaan bank sebagai suatu lembaga
intermediasi yang dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagian
besar bergantung pada dana yang dihimpun dari masyarakat maka
bank menghadapi berbagai risiko yang wajib dikelola dengan baik.
Belajar dari pengalaman krisis keuangan pada tahun 1997/1998 di
Indonesia dimana pada saat itu terjadi ketidakpercayaan (distrust)
masyarakat pada dunia perbankan nasional sehingga terjadi penarikan
dana masyarakat secara massive atau yang lazim disebut dengan bank
rush maka disadari oleh otoritas pengawas perbankan tentang
perlunya penerapan Good Corporate Governance di sektor
perbankan.
Oleh karena itu pada tanggal 30 Januari 2006, Bank Indonesia
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006
tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
yang selanjutnya diadakan perubahan melalui Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia ini dibentuk sebagai salah satu upaya untuk
memperkuat industri perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur
Perbankan Indonesia. Penerapan Good Corporate Governance
169
(GCG) mempunyai fungsi yang sangat strategis baik bagi
peningkatan profesionalitas industri perbankan pada satu sisi dan
menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional pada
institusi perbankan nasional pada sisi yang lain.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum, pengertian Good
Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang
menerapkan yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran
(fairness).
Penjabaran dari pengaturan dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan
Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance
bagi Bank Umum ini dijelaskan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor No. 9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 yang mengarahkan
pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan
harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar. Pertama,
informasi yang material dan relevan serta keterbukaan (transparency)
dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas
(accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban organ Bank sehingga pengelolaannya berjalan
secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu
kesesuaian pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Bank yang sehat.
Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan Bank
secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.
170
Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam
memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka
menerapkan kelima prinsip dasar tersebut di atas, Bank harus
berpedoman pada berbagai ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang terkait dengan pelaksanaan Good
Corporate Governance.
Sesuai pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum disebutkan bahwa bank wajib
melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Pelaksanaan prinsip-
prinsip GCG sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling kurang harus
diwujudkan dalam 7 (tujuh) hal sebagai berikut :
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris dan
direksi.
b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan
kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal bank.
c. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor
eksternal.
d. Penerapan manajemen risiko, termasuk system pengendalian
intern.
e. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar.
f. Rencana strategis bank.
g. Transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan bank.
Salah satu aspek penting dalam Good Corporate Governance
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana
171
tersebut di atas adalah perlu diterapkannya manajemen risiko. Bank
sebagai lembaga keuangan mempunyai peranan yang krusial dalam
mendukung perekonomian nasional sehingga perlu suatu pengaturan
yang sistematis dan menyeluruh dalam menyikapi berbagai risiko
perbankan yang muncul dan yang akan muncul setiap saat. Untuk
menentukan berhasil atau tidaknya penerapan manajemen risiko
dalam suatu bank, mutlak diperlukan peranan secara aktif oleh
Dewan Komisaris dan Direksi sebagai pengawas dan penyelenggara
pelaksanaan pengelolaan Bank tersebut.
Untuk memberikan kepastian pelaksanaan Good Corporate
Governance maka Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum
memberikan arahan pembentukan Komisaris Independen. Komposisi
Komisaris Independen adalah 50% dari jumlah keseluruhan anggota
Dewan Komisaris perseroan bank. selain daripada itu Peraturan Bank
Indonesia tersebut juga memerintahkan Direksi bank umum untuk
membentuk Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite Manajemen
Risiko (Pasal 28). Inilah yang secara tidak langsung memberikan
benang merah keterkaitan antara pengaturan Manajemen Risiko
dengan Good Corporate Governance di bank umum.
Keterhubungan pengaturan tentang manajemen risiko dengan
pengaturan tentang pelaksanaan Good Corporate Governance juga
dapat dilihat dari keberadaan Bab VI Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance
bagi Bank Umum yang mengatur secara khusus bab tentang
Penerapan Manajemen Risiko. Pasal 53 Peraturan Bank Indonesia
tersebut mengamanatkan agar bank wajib menerapkan manajemen
172
risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank dengan
berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana ditetapkan
dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum.
Dari pasal tersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwa
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum tersebut mengatur tentang penerapan manajemen risiko
yang bersifat umum sedangkan pengaturan secara khusus terkait
dengan penerapan manajemen risiko diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
yang saat ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum.
Meskipun demikian terdapat pengaturan tentang penerapan
manajemen risiko yang cukup stratejik dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
yakni terdapat dalam Pasal 54 yang mengatur bahwa “dalam rangka
menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi
penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus bank
terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, bank wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan
menerapkan penyebaran/diversifikasi portofolio penyediaan dana
173
yang diberikan” yang mempunyai dimensi penerapan manajemen
risiko khususnya pada pengelolaan risiko likuiditas dan risiko kredit.
Penjelasan logis mengenai hal tersebut adalah apabila terjadi
konsentrasi penyediaan dana dalam jumlah yang besar pada satu
debitur atau kelompok debitur akan berpotensi munculnya risiko
likuiditas dan risiko kredit apabila terjadi kredit bermasalah. Akan
tetapi sebenarnya potensi risiko juga terdapat pada konsentrasi
penghimpunan dana yakni terancamnya independensi pengurus bank
karena kekawatiran yang berlebihan apabila terjadi penarikan dana
pihak ketiga dalam jumlah besar dan seketika. Kebergantungan
pengurus bank kepada nasabah penyimpan dana yang besar
berpotensi menimbulkan conflict of interest dan human error sebagai
akibat overservice sehingga mengakibatkan risiko operasional.
Pengaturan lain yang mempunyai keterkaitan erat dengan
manajemen risiko terdapat pada Pasal 55 Peraturan Bank Indonesia
tersebut yang mengatur bahwa “pelaksanaan penyediaan dana kepada
pihak terkait dan/atau penyediaan dana besar (large exposures) wajib
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum”. Ketentuan dalam pasal
ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan risiko kredit dan risiko
likuiditas. Penjelasan logis atas substansi pengaturan pasal ini adalah
apabila terjadi konsentrasi/penumpukan portofolio kredit dalam
jumlah signifikan pada satu debitur atau kelompok debitur (one
obligor) maka apabila kredit yang telah diterima tersebut mengalami
penurunan kualitas sehingga menjadi kredit bermasalah maka akan
mempengaruhi kualitas aktiva produktif yang disalurkan bank dan
secara berkelanjutan akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan
174
pembayaran kewajiban kepada pihak deposan atau yang lazim
disebut dengan ratio likuiditas.
Dari uraian di atas terlihat adanya koneksitas yang sangat erat
antara penerapan Good Corporate Governance dengan manajemen
risiko di bidang perbankan. Salah satu unsur penting dalam
penerapan Good Corporate Governance adalah implementasi
manajemen risiko dalam pengelolaan perbankan sehingga dapat
mengarahkan pada institusi perbankan yang sehat (sound) sehingga
mampu memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional.
4. Aspek Pertanggungjawaban Hukum Dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Sebagai suatu produk hukum, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum juga memuat sanksi sebagai konsekuensi
pertanggungjawaban atas kewajiban penerapan Peraturan Bank
Indonesia ini. Pengaturan tentang sanksi ini terdapat pada Bab IX
meliputi Pasal 33 dan Pasal 34.
Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran atas Peraturan Bank
Indonesia sebagaimana tersebut di atas berdimensi administratif dan
keperdataan yang akan dikenakan kepada korporasi dan/atau Anggota
Direksi, Anggota Dewan Komisaris, Pemegang Saham serta pegawai
bank. Sanksi-sanksi tersebut meliputi denda, teguran tertulis,
penurunan tingkat kesehatan bank, pembekuan kegiatan usaha
tertentu, pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, dan/atau
175
pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat
tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam
catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, serta sanksi pemberhentian
pengurus bank.
Dari jenis-jenis pengenaan sanksi tersebut di atas, Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum tidak memberikan penjelasan
yang memadai tentang tindaklanjut dari sanksi. Salah satu contoh
jenis sanksi yang seharusnya mendapatkan pengaturan lebih lanjut
adalah tentang pembekuan kegiatan tertentu dan pemberhentian
pengurus bank. Pembekuan kegiatan usaha tertentu dari suatu bank
selain merupakan sanksi administratif tentunya juga memberikan
dampak keperdataan bagi suatu bank baik kaitannya dengan
eksistensi perusahaan sebagaimana diatur dalam Akta Pendirian atau
Anggaran Dasar Perseroan yang memuat tentang maksud dan tujuan
Perseroan maupun juga implikasi hukumnya bagi pihak ketiga
seandainya kegiatan usaha yang dibekukan tersebut merupakan
hubungan kontraktual bank dengan nasabahnya. Demikian pula pada
pengenaan sanksi pemberhentian pengurus bank tentunya juga
mempunyai implikasi keperdataan atas perseroan karena Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur
bahwa mengangkat dan memberhentikan Anggota Direksi dan/atau
Anggota Dewan Komisaris merupakan kewenangan Rapat Umum
Pemegang Saham.
Di dalam pengaturan tentang sanksi tersebut juga terdapat
suatu kerancuan istilah yang mengarah pada subyek hukum yaitu
176
pengurus bank. Menurut Pasal 1 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/19/PBI/2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
Pengurus dan Pejabat Bank Umum maka yang disebut dengan
Pengurus adalah Komisaris dan Direksi Bank. Pengkategorian
Komisaris (Dewan Komisaris) sebagai Pengurus Perseroan tentunya
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang memberikan amanat tugas pengurusan
Perseroan kepada Direksi (Pasal 92) dan tugas pengawasan atas
kebijakan pengurusan dan jalannya pengurusan pada umumnya
kepada Dewan Komisaris (Pasal 108). Pembagian tugas dan fungsi
antara Direksi dan Dewan Komisaris ini berimplikasi pada ruang
lingkup tanggungjawab yang diemban. Apabila tugas dan fungsi
pengurusan dilaksanakan oleh Direksi dan Dewan Komisaris secara
bersama-sama maka akan meniadakan mekanisme check and balance
atau fungsi kontrol dalam suatu Perseroan. Perbedaan pengaturan ini
menunjukkan adanya ketidaksinkronan antar peraturan perundang-
undangan.
Di luar sanksi yang bersifat administratif maupun
keperdataan, secara doktrinal Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum memuat sanksi pidana. Meskipun tidak secara eksplisit
dinyatakan dalam substansi pengaturan Peraturan Bank Indonesia ini
tetapi berdasarkan konsep Umbrella Rule sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat (2b) dan Pasal 50 serta Pasal 50A Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka pelanggaran terhadap
semua peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
177
bank diancam dengan pidana. Dalam praktek penegakan hukum
penafsiran terhadap bunyi ketentuan “peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank” ini juga meliputi Peraturan Bank
Indonesia yang berlaku dan mengikat bank berikut dengan
direksi/anggota direksi, dewan komisaris/anggota dewan komisaris,
pemegang saham, pegawai bank serta pihak terafiliasi.
Sebagai contoh kasus yang menarik untuk menjadi bahan
kajian secara doktrinal dalam penegakan hukum perbankan di
Indonesia adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1114K/Pid/2006
yang memutuskan 3 (tiga) orang Anggota Direksi PT. Bank Mandiri
yang terdiri dari E.C.W. Neloe (mantan Direktur Utama), I Wayan
Pugeg (mantan Direktur Risk Management) dan M. Sholeh Tasripan
(mantan Direktur Corporate Banking) telah terbukti melakukan
Tindak Pidana Korupsi. Sifat melawan hukum dari ketiga mantan
anggota direksi PT. Bank Mandiri tersebut adalah karena
memutuskan persetujuan pemberian kredit kepada P.T. Cipta Graha
Nusantara (P.T. CGN) dengan melanggar peraturan internal di bidang
perkreditan di Bank Mandiri atau yang disebut dengan Kebijakan
Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) dan Pedoman Pelaksanaan Kredit
(PPK) PT. Bank Mandiri.
Kasus lain yang juga dapat diambil sebagai bahan kajian atas
penegakan hukum perbankan adalah perkara yang melibatkan Hj. R.
Arga Tirta Kirana di Bank Century dalam kaitannya dengan
pemberian kredit kepada P.T. WWR, P.T. CMP, P.T. AII dan P.T.
SCI yang ditengarai melanggar prinsip kehatian-hatian. Salah satu
pasal yang didakwakan adalah pasal 49 ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pertimbangan hukum
178
dakwaan disebutkan bahwa Hj. R. Arga Tirta Kirana telah melanggar
prosedur internal sebagaimana di atur dalam peraturan internal di
bidang perkreditan.
Peraturan internal di bidang perkreditan tersebut pada
hakekatnya merupakan amanat dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum, agar setiap bank memiliki peraturan internal
pengelolaan risiko khususnya di bidang perkreditan sebagai
pedoman kerja. Oleh karena itu legal rationya, pelanggaran terhadap
peraturan internalpun pada hakekatnya adalah perbuatan melawan
hukum.
Meskipun nampak jejak rasionalnya, penerapan pidana dalam
implementasi manajemen risiko perbankan haruslah diterapkan
secara proposional. Apabila mengamati proses persidangan atas
terdakwa Hj. R. Arga Tirta Kirana mestinya ada argumentasi alasan
adequate sehingga menjadikannya terdakwa. Dari sisi jabatan yang
disandang Hj. R. Arga Tirta Kirana yaitu sebagai Kepala Divisi
Corporate Legal mestinya bukan salah satu bagian dari struktur
pemutus pemberian kredit. Oleh karenanya berdasarkan prinsip
segregation of duty seharusnya Kepala Divisi Corporate Legal tidak
bertanggungjawab atas keputusan pemberian kredit karena
kedudukannya adalah sebagai eksekutor atas disposisi kredit yang
telah dibuat oleh Komite Kredit P.T. Bank Century. Kalaupun
terdapat pelanggaran eksekusi lebih cenderung pada kesalahan
administratif. Oleh karenanya penggunaan tuntutan
pertanggungjawaban secara pidana dalam kasus tersebut di atas
179
terkesan excessive dan tidak sesuai dengan fungsi hukum pidana
sebagai Ultimum Remedium.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu adanya evaluasi
penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus perbankan secara umum
dan pelanggaran manajemen risiko perbankan secara khusus. Selain
itu juga perlu penegasan posisi Peraturan Bank Indonesia dalam
hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam substasi undang-undang
tersebut tidak disebutkan sama sekali tentang Peraturan Bank
Indonesia padahal dalam praktek penegakan Peraturan Bank
Indonesia kerapkali berlaku mengikat bagi masyarakat sebagai
konsekuensi pengundangan Peraturan Bank Indonesia dalam
Lembaran Negara.
Penerapan sanksi pidana dalam perkara-perkara perbankan
tanpa melalui kajian yang mendalam akan menimbulkan ketakutan
para pelaku dan pemilik bank untuk mengembangkan usaha di bidang
perbankan. Apabila merujuk pada doktrin-doktrin Perseroan di
antaranya Business Judgement Rule dan Fiduciary Duty maka
sebenarnya sebagai suatu entitas bisnis, para pelaku bank khususnya
Direksi memerlukan kewenangan bertindak yang memadai agar dapat
mencapai tujuan Perseroan.
Prinsip fiduciary duty sangat berkaitan erat dengan adanya
tanggungjawab Direksi sebagai pengurus suatu perseroan, yaitu
dalam melaksanakan wewenang dan tugas tanggungjawabnya sebagai
pihak yang diberikan kepercayaan dan amanat oleh pemegang saham
akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya, Direksi tidak boleh
melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya sesuai akta
180
pendirian dan keputusan-keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
(ultra vires). Oleh karenanya, Direksi harus mengutamakan
kepentingan perseroan dan mengupayakan yang terbaik demi
tercapainya tujuan perseroan.
Prinsip fiduciary duty berlaku bagi Direksi dalam
menjalankan tugasnya, baik fiduciary duty dalam menjalankan
fungsinya sebagai manajemen (tugas memimpin perusahaan) maupun
sebagai representasi dari perseroan ( mewakili perusahaan di dalam
dan di luar pengadilan). Seseorang mempunyai tugas fiduciary duty
manakala ia mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary capacity).
Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis yang
ditransaksikannya atau uang /properti yang di handle bukan miliknya
atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain
tersebut, dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang
besar (great trust) kepadanya. Sementara itu, di lain pihak dia wajib
mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) dalam
menjalankan tugasnya.69
Doktrin lain yang penting adalah doctrine business judgement
rule, guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseroan
kepada Direksi, berdasarkan prinsip ficudiary duty, maka sebagai
organ perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dan tujuan perseroan, Direksi tentu dihadapkan kepada
risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar kemampuan
maksimal Direksi. Oleh karena itu, guna melindungi
ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia,
maka Direksi dilindungi oleh doctrine business judgement rule.
69
Munir Fuady, 2002, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya
dalam Hukum Indonesia, Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, hal. 32-33.
181
Seorang Direksi bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam
menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah kelengkapan
manusia. Jadi, sudah sepantasnya jika seorang Direksi perseroan
tidak di generalisasi untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam
mengambil keputusan (more errors of judgement) tanpa
mempertimbangkan unsur manusianya, juga karena kesalahan yang
jujur (honest mistake) doctrine business judgement rule memberikan
perlindungan kepada Direksi Perseroan atas kemungkinan adanya
kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan
manusiawi.70
Dalam hal pelanggaran fiduciary duty oleh Direksi ada
sekurangnya tiga kepentingan yang harus diperhatikan, yakni : 71
a. Kepentingan perseroan ;
b. Kepentingan pemegang saham perseroan khususnya pemegang
saham minoritas ; dan
c. Kepentingan pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan
perseroan, khususnya kepentingan dari para kreditor perseroan.
Apabila merujuk pada doktrin-doktrin tersebut di atas maka
sebenarnya Direksi Bank dapat lebih leluasa dalam melaksanakan
tugas dan wewenang yang dipunyainya dalam mengelola perseroan
tanpa dihinggapi rasa takut karena ancaman gugatan pihak ketiga
ataupun ancaman hukuman lainnya. Sekalipun perseroan yang
diurusnya mengalami kerugian, Direksi Bank berdasarkan doktrin-
doktrin tersebut tidak serta merta dapat dituntut secara hukum.
70
Try Widiyono, 2005, Direksi Perseroan Terbatas (Keberadaan, Tugas, wewenang &
Tanggung Jawab, Bogor : Ghalia Indonesia, hal. 46-47. 71
Gunawan Widjaja, 2008, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT,
Jakarta : ForumSahabat, 2008, hal. 64 – 65.
182
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan Direksi
tersebut sekaligus pemberian reward and punisment atas pencapaian
kinerja Direksi adalah pada Rapat Umum Pemegang Saham.
Sehingga apabila pertanggungjawaban kinerja Direksi telah
mendapatkan persetujuan dan pengesahan dari Rapat Umum
Pemegang Saham yang kemudian dinyatakan dengan pemberian
pembebasan dari segala tanggungjawab atas pengurusan (equate et de
charge) maka sebenarnya segala kerugian serta risiko yang muncul
sesudahnya merupakan tanggungjawab perseroan.
Sebagai upaya mewujudkan tujuan perseroan maka dalam
pengelolaan bank sangat lekat dengan risiko. Terlebih lagi dalam era
teknologi informasi saat ini, dimana kesempatan bisnis yang
menjanjikan keuntungan sering lewat berkelebat dengan cepat dan
sering tidak kembali lagi. Dalam bisnis perbankan modern dimana
transaksi sering terjadi dengan instant dan dalam hitungan menit saja
memang tidak mungkin untuk memenuhi semua prosedur yang
diharuskan. Praktisi perbankan hanya mempunyai pilihan apakah
melakukan transaksi atau tidak, kalau tidak juga menderita kerugian
akan tetapi kalau melakukan transaksi dengan cepat kemungkinan
besar tidak dapat memenuhi semua prosedur legal dan menghadapi
risiko kriminalisasi. 72
Apabila di balik risiko tadi senantiasa diperhadapkan
pertanggungjawaban pidana maka akan menimbulkan keraguan bagi
para praktisi perbankan untuk bertindak sesuai amanat yang diberikan
kepadanya. Oleh karena itu, sangat penting untuk membuat rumusan
peraturan yang tegas sebagai rambu-rambu yang dapat menjadi
72
Gunarto Suhardi, 2006, Risiko Kriminalisasi Kredit Perbankan, Yogyakarta : Universitas
Atma jaya, hal. 38.
183
arahan bagi para pelaku bank untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya yang pada akhirnya tujuan
dari perbankan nasional yakni menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak sebagai amanat Pasal 4 Undang-undang Nomor 19
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan dapat tercapai dan pada sisi yang lain visi
Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yakni mencapai suatu sistem perbankan yang sehat,
kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam
rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dapat
terwujud seperti yang diharapkan.
184
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan seperti yang
telah diuraikan dan dibahas dalam bab sebelumnya maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Risiko adalah suatu keniscayaan yang harus dihadapi oleh bank
maupun bankir dan melalui risiko yang menghadang di depan
usahanya itulah potensi penghasilan bank tersedia. Risiko yang
dihadapi bank merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat
diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan
(unanticipated) sebelumnya yang berpotensi menimbulkan kerugian
bagi bank maupun pihak lain.
2. Untuk mengantisipasi kegagalan suatu bank sebagai dampak negatif
risiko maka perlu diterapkannya prinsip kehati-hatian baik pada level
pengaturan kebijakan macro prudential maupun pada level
pelaksanaan yang disebut dengan micro prudential. Dari sisi
ketentuan perundang-undangan maupun dalam praktek pengelolaan
bank terdapat keterkaitan yang kuat antara prinsip kehati-hatian
dengan manajemen risiko dalam dunia perbankan.
3. Pengaturan tentang prinsip kehati-hatian dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dirasakan tidak memadai
lagi karena tidak memberikan suatu pengertian yang jelas tentang
prinsip kehati-hatian sehingga menimbulkan multi tafsir. Pelanggaran
terhadap prinsip kehati-hatian dalam prakteknya sering didasarkan
pada pendapat ahli maupun best practise yang potensial
menimbulkan pemaknaan secara bias atau konotatif.
185
4. Manajemen risiko perbankan mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam industri perbankan yaitu dalam rangka pengamanan
posisi bank dalam menghadapi berbagai risiko potensial. Bank
Indonesia telah mengidentifikasikan jenis-jenis risiko dalam
pengelolaan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum yang meliputi risiko
kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum,
risiko reputasi, risiko stratejik dan risiko kepatuhan. Setiap bank yang
beroperasi di Indonesia wajib menerapkan manajemen risiko
sebagaimana arahan Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal
2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum bahwa
setiap bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, baik
untuk bank secara individual maupun untuk bank secara konsolidasi
dengan perusahaan anak.
5. Pengaturan di bidang manajemen risiko perbankan memberikan
arahan bagi implementasi prinsip kehati-hatian perbankan karena
memberikan pengaturan pengelolaan bank yang relatif komprehensif
dan menyasar pada aktivitas utama bank. Secara umum Peraturan-
peraturan Bank Indonesia di bidang manajemen risiko telah
memadai.
6. Terdapat hubungan yang adequat antara manajemen risiko dengan
good corporate governance. Salah satu unsur dalam pelaksanaan
good corporate governance adalah melalui pengaturan dan penerapan
manajemen risiko di sektor perbankan. Peraturan Bank Indonesia
186
Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum tersebut
mengatur tentang penerapan manajemen risiko yang bersifat umum
sedangkan pengaturan secara khusus terkait dengan penerapan
manajemen risiko diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum yang saat ini diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
7. Sistem pertanggungjawaban terhadap pelanggaran atas ketentuan
penerapan manajemen risiko belum sempurna karena terdapat
ketidaksinkronan dengan peraturan hukum lainnya. Seperti halnya
dalam pengaturan ancaman sanksi pembekuan usaha bank atau
penghentian Direksi dan/atau Dewan Komisaris seharusnya
diselaraskan dengan ketentuan yang terdapat pada Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Demikian pula
penggunaan umbrella rule tentang prinsip kehati-hatian yang
memberikan ancaman pidana kepada Direksi, Dewan Komisaris,
Pemegang Saham dan Pegawai Bank sebaiknya perlu ada kejelasan
limitasinya agar tidak terjadi over criminalization dalam perkara
perbankan.
B. SARAN
1. Oleh karena pengelolaan suatu bank merupakan suatu tindakan
integratif yang melibatkan banyak komponen dalam suatu organisasi
bank baik pada garda terdepan satuan kerja sampai komponen hilir
sehingga perlu dikembangkannya program “risk awareness”
187
(kesadaran terhadap risiko) yang diharapkan akan
menumbuhkembangkan “risk culture” (budaya risiko) pada diri setiap
individu yang terlibat dalam pengelolaan bank.
2. Perlu adanya penyempurnaan pengaturan manajemen risiko yang
memperhatikan stratifikasi bank sehingga terjadi kompetisi yang
sehat pada bank-bank sesuai level playing field masing-masing.
Peraturan tentang manajemen risiko yang ada saat ini
menyamaratakan penerapannya tanpa memperhatikan stratifikasi
bank. Sehingga bagi bank dengan tingkat permodalan yang relatif
lebih kecil akan kesulitan untuk segera memenuhi standar manajemen
risiko yang telah ditetapkan.
3. Perlu dilakukan pengembangan early warning system di bidang
perbankan sebagai salah satu instrumen manajemen risiko. Di dalam
banyak peristiwa kegagalan bank terjadi karena keterlambatan
penanganan atas permasalahan yang terjadi di bank gagal. Otoritas
pengawasan bank baru bertindak ketika permasalahan telah
membesar sehingga tidak mempunyai cukup alternatif penyelesaian
masalah. Pengembangan early warning system dapat dilakukan
dengan perancangan piranti-piranti pemantauan dan pelaporan risiko
dengan memanfaatkan data dan informasi historis suatu bank.
4. Perlu pembentukan regulasi tentang exit strategy manakala suatu
institusi bank mengalami permasalahan yang terkait dengan
penerapan manajemen risiko sehingga dapat memberikan arahan bagi
para pengelola bank dalam rangka menanggulangi risiko yang
menghadang bank ketika menjalankan usahanya.
5. Perlunya pengaturan lebih komprehensif mengenai prinsip kehati-
hatian di bidang perbankan baik pada level definisi maupun
mekanisme operasional penerapan prinsip kehati-hatian sehingga bisa
188
menjadi referensi dalam mengambil keputusan baik bagi para pelaku
perbankan maupun para pihak yang berkepentingan lainnya.
189
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
___________________. & Rilda Murniati. 2000. Segi Hukum Lembaga
Keuangan dan Pembiayaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Banking Supervision School. 2005. Jakarta : Bank Inonesia.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 1 Nomor 1 Bulan
Juli 2003. Jakarta : Bank Indonesia.
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia. 2004.
Sosialisasi Arsitektur Perbankan Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia.
Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman. 2010. Hukum Perbankan. Jakarta :
Sinar Grafika.
Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis.
Semarang : PT. Suryandaru Utama.
Ferry N. Idroes dan Sugiarto. 2006. Manajemen Risiko Perbankan Dalam
Konteks Kesepakatan Basel Dan Peraturan Bank Indonesia. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Gunarto Suhardi. 2003. Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum.
Yogyakarta : Kanisius.
_____________. 2006. Risiko Kriminalisasi Kredit Perbankan.
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
_____________. 2007. 25 Langkah Bijaksana Mengelola Bank (Sesuai
Basle Committee), Yogyakarta : Universitas Gajahmada
Gunawan Widjaja. 2008. Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris &
Pemilik PT. Jakarta : ForumSahabat, 2008.
Herman Darmawi. 2004. Manajemen Risiko. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
190
Hermansyah. 2008. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi
revisi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Husein Umar. 2001. Manajemen Risiko Bisnis Pendekatan Finansial
dan Nonfinansial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. 2004. Dasar – dasar Politik Hukum.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Johannes Ibrahim. 2004. Cross Default & Cross Collateral Sebagai
Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah. Bandung : Refika Aditama.
John F. Laker. 2006. Risk Management in Banking – a Prudential
Perspective, 59th
International Banking Summer School, Melbourne.
Jurnal Hukum Bisnis Volume 23 - No.3 Tahun 2004. Jakarta : Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis.
Kasmir. 2002. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta : PT. Radja Grafindo
Persada.
Lukman Dendawijaya. 2005. Manajemen Perbankan. Bogor : Ghalia
Indonesia.
Munir Fuady. 1994. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek (Buku
Kesatu). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
___________. 2002. Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan
Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti.
Nasikun. 1997. “Hukum Dalam Paradigma Sistem Sosial”. Artidjo
Alkostar ed. Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta : Fakultas Hukum UII.
O.P. Simorangkir, 1992. Kamus Perbankan. Jakarta : Rineka Cipta.
Permadi Gandapradja. 2004. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank.
Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Prenada Media.
Richard Burton Simatupang. 2003. Aspek Hukum dalam Bisnis.
Jakarta : Rineka Cipta.
191
Robert Tampubolon. 2004. Risk Management – Pendekatan Kualitatif untuk
Bank Komersial. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
________________. 2005. Risk And Systems-Based Internal Auditing (Audit
Intern Berbasis Risiko). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Saldi Isra. 2004. “Agenda Pembaruan Hukum : Catatan Fungsi
Legislasi DPR”. Jentera Edisi 3 - Tahun II. Jakarta : Pusat Studi
Hukum & Kebijakan Indonesia.
Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Siswanto Sutojo & Aldridge, E. John. 2005. Good Corporate
Governance – Tata Kelola Perusahaan yang sehat. Jakarta : PT. Damar
Mulia Pustaka.
Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya. Jakarta : Elsam & Huma.
Soerjono Soekanto & Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif.
Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar.
Yogyakarta : Liberty
S. Sundari Arie. 2007. Tindak Pidana di Bidang Perbankan Ditinjau
dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan
Terkait Serta Permasalahan dalam Prakteknya, Tindak Pidana di Bidang
Perbankan (ed), Jakarta : CFISEL
Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank di Indonesia. Jakarta : Institut Bankir Indonesia.
Theo Huijbers, 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.
Yogyakarta : Kanisius.
_____________. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius
192
Thomas Suyatno, et al. 2001. Kelembagaan Perbankan. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Try Widiyono. 2005. Direksi Perseroan Terbatas (Keberadaan, Tugas,
wewenang & Tanggung Jawab. Bogor : Ghalia Indonesia.