Upload
others
View
11
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISISPENDAPATAN DAN PEMASARAN USAHA PENGGEMUKAN
SAPI POTONG SISTEM SWADANA MANDIRI DI KELOMPOK
TERNAK CEMPAKA KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
(Skripsi)
WERDHI ANGGRAENI
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
ABSTRACT
The Income and Marketing Analysis of Beef Fatten Cattle Business
with Self Funding System in Cempaka Livestock Group Punggur Subdistrict
Central Lampung Regency
By
Werdhi Anggraeni
This study was aims to analyze the income and marketing channel analysis of beef
fatten cattle business with self funding system in Cempaka Livestock Group
Punggur Subdistrict Central Lampung Regency. This study used a case study
method determined purposively as the consideration that the Cempaka Livestock
Group is a group which partnership program with the non government sector in
the beef fatten cattle business. The data are analyzed by qualitative and
quantitative descriptive analysis. The study results show that the income of the
beef fatten cattle business with self funding system for 6 tails is Rp 68.172.602,19
and for a tail is Rp11.362.100,36. The beef fatten cattle business with self funding
system is profitable as the value of R/C ratio>1(R/C ratio = 1.76). The marketing
of beef fatten cattle business with self funding systems only through one marketing
channel, that is breeder PT GGL wholesalers small traders consumer.
Key words : beef cattle, beef fatten cattle, income, marketing.
ABSTRAK
ANALISIS PENDAPATAN DAN PEMASARAN USAHA PENGGEMUKAN
SAPI POTONG SISTEM SWADANA MANDIRI DI KELOMPOK
TERNAK CEMPAKA KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
Oleh
Werdhi Anggraeni
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan dan saluran
pemasaran usaha penggemukan sapi potong sistem swadana mandiri di
Kelompok Ternak Cempaka Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus ditentukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa Kelompok Ternak Cempaka merupakan
kelompok ternak yang menjalankan program kemitraan dengan pihak swasta
dalam usaha penggemukan sapi potong. Data dianalisis menggunakan analisis
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendapatan usaha penggemukan sapi potong sistem swadana mandiri per 6 ekor
adalah Rp 68.172.602,19, dan per 1 ekor adalah Rp 11.362.100,36. Usaha
penggemukan sapi sistem swadana mandiri menguntungkan untuk diusahakan
karena nilai R/C rasio > 1 (R/C rasio = 1,76). Pemasaran sapi potong sistem
swadana mandiri hanya melalui satu saluran pemasaran, yaitu peternak PT
GGL pedagang besar pedagang kecil konsumen.
Kata kunci : penggemukan sapi potong, pendapatan , pemasaran, sapi potong
ANALISISPENDAPATAN DAN PEMASARAN USAHA PENGGEMUKAN
SAPI POTONG SISTEM SWADANA MANDIRI DI KELOMPOK
TERNAK CEMPAKA KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
Oleh
WERDHI ANGGRAENI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gedung Tataan tanggal 02 Desember 1992, dari pasangan
Bapak Juwoto dan Ibu Ngadiah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Penulis menyelesaikan studi tingkat Taman Kanak – Kanak (TK) di
TK Negara Jaya pada tahun 1999, tingkat Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1
Negara Jaya pada tahun 2005, tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
1 Negara Jaya pada tahun 2008, dan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 1 Gading Rejo tahun 2011. Pada tahun yang sama (2011), penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Diploma tiga (D3) Jurusan Ekonomi dan Bisnis
Pertanian Politeknik Negeri Lampung (POLINELA), dan pada tahun 2014,
penulis melanjutkan studi S1di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian di
Universitas Lampung melalui jalur alih Program Agribisnis.
Penulis melaksanakan Homestay di Desa Wonoharjo, Kecamatan Sumberejo,
Kabupaten Tanggamus pada tahun 2015, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Hanaubrak, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran selama 60 hari
pada bulan Januari hingga Maret 2016.
SANWACANA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu
menyertai dan mencurahkan Roh Kudus-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pendapatan dan Pemasaran
Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kelompok Ternak Cempaka Kecamatan
Punggur Kabupaten Lampung Tengah”. Penulis menyadari bahwa dalam
penyelesaian skripsi ini banyak juga pihak yang telah memberikan sumbangsih,
bantuan, nasehat, serta saran-saran yang membangun untuk penulis. Oleh karena
itu, dengan rendah hati penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga
nilainya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2. Dr. Teguh Endaryanto, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Agribisnis, yang
telah memberikan arahan, saran, dan nasihat.
3. Ir. Suriaty Situmorang, M.Si., selaku Pembimbing Pertama, atas ketulusan hati
dan kesabaran, bimbingan, motivasi, arahan, nasihat, ilmu yang bermanfaat,
dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
4. Dr.Ir. Ktut Murniati M.T.A., selaku Pembimbing Kedua, atas ketulusan hati
dan kesabaran, bimbingan, motivasi, arahan, nasihat, ilmu yang bermanfaat,
dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Dr. Ir. Fembriati Erry Prasmatiwi, M.S., selaku Dosen Pembahas dan
Pembimbing Akademik, atas masukan, arahan, nasihat, motivasi, semangat
dan kesabaran yang telah diberikan tanpa henti dalam penyelesaian skripsi ini
6. Orang tuaku tersayang, Ibu Ngadiah, Bapak Juwoto, Adek Bernadus Peqih
Brahmantio, dan adek Katharina Juwita, yang telah memberikan kasih sayang,
perhatian, semangat, motivasi, nasihat, saran, dan doa yang tak pernah
terputus.
7. Seluruh karyawan di Agribisnis: Mbak Iin, Mbak Ayi, Mbak Tunjung, Mas
Buchori, dan Mas Boim, atas segala bantuan yang telah diberikan kepada
penulis.
8. Ibu Surati, Bapak Petrus, serta seluruh anggota peternak di Kelompok Ternak
Cempaka Kecamatan Punggur, atas segala informasi, bantuan dan ilmu yang
telah diberikan kepada penulis.
9. Sahabat – sahabat terbaik penulis semasa kuliah: Yohana, Endah, Sinta, Septi,
Wayan Elpa, Yunita, Shendita, Rahmad Rizki, Yudi, Maria, Evi, atas
masukan, saran, semangat dan kebersamaan yang telah diberikan.
10. Sahabat – sahabat terbaikku: Dian Fatmasari, Binti Khabibarun Naimah, Dwi
Rahmawati, Inda Rustanti, Tri Kurniawati, Sherly Putria Sari, Margareta
Handayani, atas segala masukan, saran, semangat, dan kebersamaan yang
telah diberikan.
11. Teman-teman seperjuangan Agribisnis 2011, Melani Florensia H, Wigeta,
Pram, Radot, Rafika, May Sari, Febi, Mona, Yeni, Evi, Bram, Antonio,
Yakup, Veni, Namira, Mona, Putri Maida, Frisca, Lilik, Moriska dan teman-
teman lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas nasihat,
kebersamaan, dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini.
12. Almamater tercinta dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu, yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan
segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan selama proses
penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberikan balasan terbaik
atas segala bantuan yang telah diberikan. Amin.
Bandar Lampung, Februari 2019
Penulis,
Werdhi Anggraeni
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iii
I. PENDAHULAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
D. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .......... 10
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 10
1. Penggemukan Sapi Potong ...................................................... 10
2. Proses Penggemukan Sapi Potong ........................................... 14
3. Konsep Kemitraan ................................................................... 24
4. Teori Pendapatan ..................................................................... 34
5. Teori Pemasaran ....................................................................... 36
6. Pemasaran Sapi Potong ............................................................ 40
B. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 42
C. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 47
III. METODE PENELITIAN ................................................................ 50
A. Metode Penelitian ........................................................................ 50
B. Konsep Dasar dan Landasan Operasional ................................... 50
C. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian ................. 55
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ................................. 56
E. Analisis Data ................................................................................ 56
1. Analisis Pendapatan ............................................................... 57
2. Pemasaran .............................................................................. 58
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ......................... 59
A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Cempaka .......................... 59
1. Sejarah dan Perkembangan Kelompok Ternak Cempaka ..... 59
2. Sistem Kemitraan di Kelompok Terak Cempaka .................. 60
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 65
A. Karakteristik Responden .............................................................. 65
B. Usaha Penggemukan Sapi Potong Sistem Swadana mandiri di
Kelompok Ternak Cempaka ........................................................ 67
1. Input Sistem Swadana Mandiri ........................................... 67
2. Proses Penggemukan Sapi Potong Sistem swadana
Mandiri ................................................................................ 73
3. Output Usaha Penggemukan Sapi Potong sistem
Swadana Mandiri ................................................................. 75
C. Analisis Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Potong sistem
Swadana Mandiri di Kelompok Ternak Cempaka....................... 75
1. Biaya Produksi Sistem Swadana Mandiri ............................. 76
2. Penerimaan dan Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Potong
Sistem Swadana Mandiri di Kelompok Ternak Cempaka, .... 85
3. Pendapatan usaha penggemukan sapi potong sistem swadana
mandiri di kelompok ternak cempaka ................................... 86
D. Pemasaran Sapi Potong Hasil Penggemukan Sistem Swadana
Mandiri ........................................................................................ 89
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 90
A. Kesimpulan .................................................................................. 90
B. Saran ............................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 90
LAMPIRAN ............................................................................................... 95
Tabel 16 - 24 ...................................................................................... 96-111
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Produksi daging ternak besar nasional tahun 2011 – 2015 (000 ton) .. 3
2. Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun
2000 – 2014 .......................................................................................... 4
3. Sebaran Populasi sapi potong menurut provinsi di Pulau Sumatera
tahun 2011-2015 .................................................................................. 5
4. Sebaran Populasi ternak besar menurut kabupaten di Provinsi Lampung
tahun 2015 (ekor) ................................................................................. 6
5. Perbedaan dari sistem weaner gaduh, swadanan mandiri, dan
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka ............................................... 63
6. Karakteristik responden usaha penggemukan sapi potong sistem
swadana mandiri di Kelompok Ternak Cempaka, 2018 ...................... 65
7. Data daftar input produksi penggemukan sapi potong di Kelompok
Ternak Cempaka, 2018 ........................................................................ 73
8. Biaya bakalan sapi sistem swadana mandiri di Kelompok Ternak
Cempaka, 2018 .................................................................................... 77
9. Rata-rata penggunaan tenaga kerja sistem swadana mandiri di
Kelompok Ternak Cempaka,2018 ....................................................... 78
10. Rata-rata biaya penggunaan tenaga kerja sistem swadana
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka,2018 ...................................... 79
11. Rata-rata biaya pakan usaha penggemukan sapi potong sistem swadana
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka, 2018 .................................... 80
12. Rata-rata biaya obat dan vitamin penggemukan sapi potong sistem
swadana mandiri di Kelompok Ternak Cempaka, 2018 ...................... 83
13. Rata-rata biaya penyusutan yang diperhitungkan pada usaha
pengemukan sapi potong sistem swadana mandiri di Kelompok Ternak
Cempaka, 2018 .................................................................................... 84
14. Total biaya produksi usaha penggemukan sapi potong sistem swadana
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka, 2018 ..................................... 85
15. Analisis pendapatan dan R/C rasio usaha penggemukan sapi potong
sistem swadana mandiri di kelompok ternak cempaka ....................... 87
16. Identitas peternak sapi potong dengan sistem swadana mandiri ......... 96
17. Biaya bakalan sistem swadana mandiri ............................................... 97
18. Rata-rata jumlah biaya pakan sapi potong sistem swadana mandiri .... 98
19. Biaya obat dan vitamin sistem swadana mandiri ................................. 98
20. Biaya penggunaan tenaga kerja peternak sapi potong dengan
sistem swadana mandiri ....................................................................... 100
21. Biaya rata-rata pengunaan alat dan penyusutan sistem swadana
mandiri ................................................................................................. 105
22. Penerimaan sapi potong sistem swadana mandiri ................................ 108
23. Pendapatan peternak sistem swadana mandiri pada kelompok
ternak cempak ...................................................................................... 109
24. R/C Rasio peternak dengan sistem swadana mandiri .......................... 111
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Pola kemitraan inti plasma ................................................................ 30
2. Pola kemitraan subkontrak ............................................................... 30
3. Pola kemitraan dagang umum ........................................................... 31
4. Pola kemitraan keagenan .................................................................. 32
5. Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis .............................. 32
6. Bagian alir analisis sistem keragaan usaha penggemukan sapi
potong di kelompok ternak cempaka di kelompok ternak
cempaka Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah ................ 49
7. Campuran pakan ternak kulit nanas dan singkong.................................... 69
8. Penstrep ..................................................................................................... 70
9. B-plex ........................................................................................................ 70
10. Gunasex ..................................................................................................... 70
11. Injektamin ................................................................................................. 70
12. Bangunan kandang penggemukan sapi di Kelompok Ternak
Cempaka, 2018 ......................................................................................... 72
13. Rantai Pemasaran usaha penggemukan sapi potong sistem Swadana
Mandiri di Kelompok Ternak Cempaka, 2018 ......................................... 90
1
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor pembentuk PDB (Product
Domestic Bruto) yang jumlahnya cenderung meningkat tiap tahunnya. Sektor
pertanian memberikan kontribusi PDB sebesar 985,5 triliun pada tahun 2010,
kemudian sebesar 1.094,4 triliun pada tahun 2011, dan sebesar 1.190,4
tahun 2012 (BPS, 2013). Salah satu subsektor pertanian pemberi kontribusi
terhadap PDB adalah peternakan.
Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2009), pembangunan peternakan
diarahkan untuk meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja, serta
memberikan kesempatan usaha bagi masyarakat di pedesaan. Tujuan utama
dalam pengembangan usaha perternakan adalah untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat khususnya peternak, mendorong diversifikasi pangan,
pengembangan penerimaan devisa negara, dan menciptakan lapangan kerja.
Salah satu usaha bidang peternakan yang banyak dikembangkan adalah
penggemukan sapi potong. Penggemukan sapi potong adalah suatu sistem
pemeliharaan terhadap sapi yang khusus untuk diambil dagingnya. Sapi
tersebut tidak dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan di sawah atau
menarik pedati dan lain-lain. Sapi hanya dikandangkan secara terus menerus
2
untuk jangka waktu yang ditentukan dengan tujuan utama memperoleh bobot
badan yang cepat meningkat, sehingga diperoleh bobot atau berat yang lebih
sebelum dipotong.
Usaha peternakan sapi potong di Indonesia sebagian besar masih tergolong
usaha peternakan rakyat yang masih bersifat sederhana dengan ciri skala
usaha kecil, teknik berternak secara tradisional, menggunakan bibit lokal,
kandang di dalam dan atau menempel di luar rumah, pengelolaan limbah
kandang dan pengendalian penyakit belum baik serta pengawinan ternak
masih secara alami, teknologi sederhana, produktivitas rendah, mutu produk
kurang terjamin, belum sepenuhnya berorientasi pasar dan kurang peka
terhadap perubahan – perubahan (Cyrilla dan Ismail, 1998). Hal tersebut,
akan mempengaruhi pendapatan peternak dan perkembangan populasi sapi
potong.
Daging merupakan salah satu sumber protein hewani yang bersumber dari
hewan ternak. Daging dapat dihasilkan dari berbagai komoditas peternakan,
seperti ternak besar, ternak kecil dan ternak unggas. Ternak besar, seperti
sapi, merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki peranan penting
sebagai penghasil daging dengan kualitas dan kuantitas cukup baik. Hal
tersebut terbukti bahwa populasi daging ternak sapi potong menunjukkan data
tertinggi dibandingkan populasi ternak besar lainnya. Data produksi daging
ternak besar nasional tahun 2011 hingga tahun 2015 dapat dilihat pada
Tabel 1.
3
Tabel 1. Produksi daging ternak besar nasional tahun 2011 – 2015
(000 ton)
Tahun Sapi potong Kerbau Kuda
2011 485,3 35,3 66,3
2012 508,9 37,0 44,4
2013 504,8 37,8 41,5
2014 497,7 35,2 43,6
2015 506,7 31,7 41,0
Sumber : Ditjennak Keswan Kementerian Pertanian, 2016b
Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi daging ternak besar nasional sapi dari
tahun 2011 sampai tahun 2015 lebih tinggi dibandingkan produksi daging
kerbau dan kuda. Hal ini, menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi
potong lebih menjanjikan dibandingkan dengan penggemukan ternak besar
kerbau dan kuda.
Suplai protein asal ternak, terutama daging sapi, yang dihasilkan secara
domestik belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat,
sehingga kebijakan impor daging dan sapi hidup masih diberlakukan.
Kebutuhan konsumsi daging masyarakat Indonesia baru mencapai 6,5
kg/kapita/tahun, sedangkan yang berasal dari daging sapi hanya sebesar 1,7
kg/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan, 2009). Perkembangan
konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2000 hingga tahun 2014 dapat
dilihat pada Tabel 2.
4
Tabel 2. Perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2000 – 2014
Tahun Konsumsi daging sapi
(kg/kapita/tahun)
Pertumbuhan konsumsi
daging sapi (%)
2000 1,53 5,47
2001 1,61 5,47
2002 1,27 -21,01
2003 1,87 47,24
2004 2,12 13,37
2005 1,87 -11,79
2006 1,91 2,14
2007 2,24 17,28
2008 2,30 2,68
2009 2,36 2,61
2010 2,48 5,08
2011 2,60 4,84
2012 2,29 -11,92
2013 2,28 -0,44
2014 2,36 3,51
Rata-rata 2,08 10,28
Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian
Pertanian, 2015
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi daging sapi pada tahun 2000
hingga tahun 2014 adalah 2,08 kg/kapita/tahun, sehingga perternakan,
khususnya pengembangan sapi potong, menjadi salah satu sektor usaha di
Indonesia yang berpotensi dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat.
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang ada di Pulau
Sumatera. Lampung memiliki potensi dalam pengembangan usaha
peternakan, khususnya pengembangan sapi potong. Sebaran populasi sapi
potong menurut provinsi di Pulau Sumatera tahun 2011-2015 dapat dilihat
pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Sebaran populasi sapi potong menurut provinsi di Pulau Sumatera
tahun 2011-2015
Provinsi 2011 2012 2013 2014 2015
Aceh 462.840 505.171 404.221 511.362 580.287
Sumatera Utara 541.698 609.951 532.277 646.749 662.234
Sumatera Barat 327.013 359.233 326.674 390.493 397.548
Riau 159.855 189.060 175.431 217.652 229.634
Jambi 119.888 139.534 118.985 136.638 145.760
Sumatera
Selatan 246.295 260.124 215.953 245.175 261.852
Bengkulu 98.948 105.550 106.015 109.174 115.739
Lampung 742.775 778.050 573.483 567.827 653.537
Bangka
Belitung 7.733 8.405 8.201 10.136 10.577
Sumber : Ditjennak Keswan Kementerian Pertanian, 2016c
Tabel 3 menunjukkan bahwa tahun 2010-2015 Lampung merupakan provinsi
dengan jumlah populasi sapi terbanyak di Pulau Sumatera. Populasi sapi
potong Provinsi Lampung tahun 2015 adalah 653.357 ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa Provinsi Lampung merupakan wilayah yang potensial
dalam pengembangan subsektor peternakan. Salah satu kabupaten dengan
jumlah produksi sapi potong terbesar di provinsi Lampung adalah Kabupaten
Lampung Tengah. Lampung Tengah merupakan kabupaten yang ada di
Provinsi Lampung dengan jumlah populasi sapi potong terbesar di Lampung.
Jumlah populasi sapi potong menurut kabupaten di Provinsi Lampung dapat
dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa Kabupaten Lampung Tengah
merupakan kabupaten dengan jumlah populasi sapi potong paling tinggi
dibandingkan kabupaten lainnya di Provinsi Lampung. Jumlah populasi sapi
potong Lampung Tengah adalah 2.432.987 ekor. Jumlah tersebut
6
menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Tengah merupakan sentra sapi
potong terbesar di Lampung dan memiliki potensi yang baik dalam
pengembangan penggemukan sapi potong.
Tabel 4. Sebaran populasi ternak besar menurut kabupaten di Provinsi
Lampung, tahun 2015 (ekor)
Kabupaten Sapi potong Domba Kambing Kerbau
Lampung Barat 313.653 5.303 73.128 316
Tanggamus 441.476 7.325 174.265 1.686
Lampung Selatan 890.121 7.249 357.048 2.321
Lampung Timur 1.156.951 10.529 138.646 2.521
Lampung Tengah 2.432.987 7.667 183.300 5.928
Lampung Utara 926.405 4.947 60.100 1.405
Way Kanan 1.128.897 1.159 51.952 951
Tulang Bawang 676.874 237 30.942 4.311
Pesawaran 485.561 7.735 30.928 1.542
Pringsewu 658.523 8.314 35.478 1.999
Mesuji 85.638 682 30.852 140
Tulang Bawang Barat 413.845 860 61.526 649
Pesisir Barat 86.903 6.275 8.325 1.803
Bandar Lampung 1.996.819 167 4.361 228
Metro 642.093 2.487 9.972 413
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2016
Potensi peternakan sapi di Kabupaten Lampung Tengah khususnya diProvinsi
Lampung umumnya masih sangat baik untuk dikembangkan, sehubungan
dengan visi dan misi Dinas Peternakan Provinsi Lampung untuk menjadikan
Lampung sebagai sentra sapi, dan program unggulan peternakan, yaitu
pengembangan kemitraan peternakan, dengan fokus 3 (tiga) komoditas, yaitu
sapi potong, kambing dan ayam ras, dalam bentuk; (1) pengembangan
kawasan peternakan yang terintegrasi dengan areal pertanian dan perkebunan,
(2) perusahaan swasta, BUMN atau lembaga lainnya, dan (3) dukungan
7
teknologi tepat guna di bidang kesehatan ternak, pakan ternak, genetika
reproduksi ternak dan manajemen budidaya ternak (Listiana, 2010).
Kelompok Ternak Cempaka merupakan salah satu Kelompok Wanita Tani
(KWT) di Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah, dengan salah
satu unit usahanya adalah mengembangkan usaha penggemukan sapi potong.
Kelompok Ternak Cempaka menjalin hubungan kerjasama kemitraan dengan
PT GGL. Hubungan kerjasama kemitraan adalah pola kemitraan dengan
memanfaatkan dana KKP (Kredit Ketahanan Pangan) tahun 1998, yang
dilakukan antara perbankan, perusahaan sarana produksi atau sarana
peternakan, lembaga penjamin, lembaga penampungan hasil atau pasar,
perusahaan swasta lainnya yang bergerak di bidang pertanian dan pemerintah
daerah setempat. Program KKP Peternakan di Kabupaten Lampung Tengah
melibatkan kelembagaan Bank Niaga Cabang Tanjung Karang, Dinas
Peternakan Kabupaten Lampng Tengah, PT GGL (Great Giant Livestock)
dan kelompok ternak (Kalompok Tenak Cempaka, 2015). Program
kemitraan Kelompok Ternak Cempaka dengan PT GGL merupakan program
kemitraan penggemukan sapi potong dan merupakan salah satu kelompok
ternak pertama yang mengikuti program kemitraan pihak swasta.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulis tertarik melakukan penelitian
yang berjudul “ Analisis Pendapatan Dan Pemasaran Usaha Penggemukan
Sapi Potong Sistem Swadana Mandiri di Kelompok Ternak Cempak
Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah”.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan penelitian, yaitu:
1. Bagaimanakah pendapatan usaha penggemukan sapi potong sistem
swadana mandiri di Kelompok Ternak Cempaka?
2. Bagaimanakah pemasaran sapi potong hasil penggemukan dengan sistem
swadana mandiri di Kelompok Ternak Cempaka?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pendapatan usaha penggemukan sapi potong sistem swadana
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka.
2. Mengetahui pemasaran sapi potong hasil penggemukan sistem swadana
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1. Instansi pemerintah, sebagai informasi dalam menetapkan kebijakan
pengembangan dan sistem pemasaran sapi potong hasil penggemukan di
Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah.
2. Peternak, sebagai informasi dan masukan untuk pengembangan usaha sapi
potong hasil penggemukan dan pemasarannya.
9
3. Peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan referensi penelitian yang
sejenis.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjaun Pustaka
1. Penggemukan Sapi Potong
Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai
penghasil daging. Sapi potong bisa disebut sebagai sapi tipe pedaging dengan
ciri-ciri tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya
maksimal, laju pertumbuhannya cepat, cepat mencapai dewasa, efisiensi
pakan tinggi, dan mudah dibesarkan (Santoso, 2001). Menurut Abidin (2006)
sapi potong adalah jenis sapi khusus yang dipelihara untuk digemukkan
karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas
daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan,
dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh
pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong. Menurut Siregar (2008)
sapi-sapi yang termasuk dalam tipe sapi potong adalah:
a. Sapi Brahman
Sapi Brahman merupakan sapi yang berasal dari India, termasuk dalam
Bos indicus, yang kemudian diekspor ke seluruh dunia. Jenis yang utama
adalah kankrej (Guzerat), Nelore, Gir dan Ongole. Sapi Brahman
digunakan sebagai penghasil daging dengan ciri-ciri memiliki punuk besar,
11
tanduk, telinga besar dan gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari
kepala ke dada.
Sapi Brahman dapat beradaptasi dengan baik terhadap suhu panas dari
suhu 8 – 105ºF, tanpa gangguan selera makan dan produksi susu. Sapi
Brahman banyak dikawinsilangkan dengan sapi Eropa dan dikenal dengan
Brahman Cross (BX). Karakteristik Sapi Brahman adalah:berukuran
sedang dengan berat jantan dewasa antara 800 – 1.100 kg, sedangkan
betina 500 – 700 kg. Sapi Brahman warnanya bervariasi dari abu-abu
muda, merah, hingga hitam. Sapi jantan warnanya lebih tua dari betina
dan memiliki warna gelap di daerah leher, bahu dan paha bawah.
b. Sapi Limousin
Sapi Limousin merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di
Prancis. Tingkat pertambahan badan cepat, per harinya dapat mencapai
1,1 kg. Ukuran tubuhnya besar dan berdaging tebal dengan umumnya
berwarna merah mulus. Sapi jantan beratnya 1.000-1.400 kg, sedangkan
berat sapi betina adalah 600-850 kg, dengan masa produktif sapi betina
antara 10-12 tahun.
c. Sapi Ongole
Sapi ongole berasal dari India, tepatnya di Kabupaten Guntur, Provinsi
Andra Pradesh. Sapi Ongole merupakan jenis ternak berukuran sedang,
gelambir yang lebar, badan panjang, sedangkan leher pendek, bentuk mata
elip dengan bola mata dan sekitar mata berwarna hitam, panjang telinga
20-25 cm. Warna yang populer adalah putih dengan sapi jantan di kepala
12
berwarna abu tua, leher dan kaki berwarna hitam, warna ekor putih,
kelopak mata putih, kuku berwarna cerah, dan badan berwarna abu tua.
Bobot sapi jantan mencapai 600 kg dan sapi betina 300-400 kg.
d. Sapi Brahman Cross
Sapi Brahman Cross di Australia secara komersial jarang dikembangkan
secara murni dantetapi disilangkan dengan Hereford Shorthorn (HS). Hasil
persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX).
Sapi Brahman Cross memiliki keistimewaan karena tahan terhadap suhu
panas dan gigitan caplak, serta memiliki kecepatan pertumbuhan yang
tinggi.
Sapi Brahman Cross (BX) memiliki sifat-sifat, seperti: (1) persentasi
kelahiran 81,2%, (2) rata-rata bobot lahir 28,4 kg, bobot saat umur 13
bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan dapat mencapai 295 kg, (3)
daya tahan terhadap panas cukup tinggi, karena produksi panas basal
rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (4) ketahanan terhadap
parasit dan penyakit sangat baik.
e. Sapi Hereford
Sapi Hereford merupakan turunan dari sapi Eropa yang dikembangkan di
Inggris. Rata-rata berat sapi jantan adalah 900 kg dan betina adalah 725
kg. Sapi Hereford berwarna merah, kecuali bagian muka, dada, perut
bawah dan ekor, berwarna putih.
13
Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008), peternak yang maju pasti akan
selalu mengikuti perkembangan dunia peternakan, khususnya perkembangan
bangsa sapi potong. Peternak yang ingin meningkatkan mutu sapi perlu
mengetahui bangsa-bangsa sapi, baik di luar maupun di dalam Indonesia.
Peternak yang telah berpengalaman cukup banyak di lapangan mampu
menilai dan membandingkan sapi yang satu dengan yang lainnya. Beberapa
jenis sapi potong yang dapat diusahakan oleh peternak Indonesia adala:
a. Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi hasil keturunan dari sapi liar yang memiliki
rambut halus, pendek, dan mengkilat. Warna rambut sapi Bali ketika
muda adalah coklat dan kemudian akan menghitam. Sapi Bali dapat
mencapai bobot badan jantan dewasa antara 350-400 kg dan betina dewasa
antara 250-300 kg.
b. Sapi Madura
Sapi Madura merupakan sapi hasil persilangan Bos Indicus (Zebu) dan Bos
Sondaicus (banteng). Daerah penyebaran Sapi Mandura adalah Madura
dan Jawa Timur. Sapi Madura termasuk sapi jenis pedaging dan pekerja
yang memiliki rambut berwarna merah bata dengan tanduk yang pendek,
beragam, dan melengkung. Sapi Madura memiliki berat badan 350 kg dan
tinggi rata-rata 118 cm.
c. Sapi PO (Peranakan Ongole)
Sapi PO memiliki ciri tubuh lebih kecil, warna rambut yang bervariasi,
tetapi umumnya berwarna putih keabu-abuan. Sapi PO terkenal sebagai
14
sapi pedaging dan sapi pekerja. Tinggi Sapi PO jantan berkisar 150 cm
dengan berat badan mencapai 600 kg, sedangkan tinggi sapi PO betina
sekitar 135 cm dengan berat badan mencapai 450 kg.
d. Sapi Simmental
Sapi Simmental adalah sapi yang berasal dari jenis sapi Bos taurus. Sapi
Simmental merupakan tipe sapi perah dan sapi pedaging. Sapi Simmental
memiliki warna rambut coklat kemerahan pada bagian wajah, dan lutut ke
bawah sampai ujung ekor berwarna putih. Sapi Simmental jantan dewasa
mencapai berat badan 1.000 kg, sedangkan Sapi Simmental betina dewasa
mampu mencapai berat badan sekitar 800 kg.
2. Proses Penggemukan Sapi Potong
Penggemukan sapi potong modern sangat berbeda dengan penggemukan sapi
potong di waktu lampau, yang menggunakan sapi bakalan umur 2-3 tahun.
Saat ini, peternak menggunakan sapi bakalan usia muda, yang diberi pakan
penguat dengan aktifitas sapi dibatasi.
Sugeng (2005) menyatakan bahwa penggemukan sapi sebaiknya pada ternak
sapi usia 12-18 bulan atau paling tua umur 2.5 tahun. Pembatasan ini
dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase
pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging,
sehingga bila pakan yang diberikan memiliki kandungan protein dan mineral
yang mencukupi, maka sapi dapat cepat menjadi gemuk.
15
Tujuan dari penggemukan sapi adalah untuk meningkatkan produksi daging
per satuan ekor, meningkatkan jumlah penawaran daging secara efisien tanpa
memotong sapi lebih banyak, menanggulangi populasi ternak sapi yang
menurun akibat pemotongan sapi betina umur produktif. Usaha
penggemukan sapi potong, selain dapat memperbaiki kualitas daging dan
menaikkan harga jual ternak, juga dapat meningkatkan nilai tambah dari
pupuk kandang yang dihasilkannya. Artinya, pupuk kandang yang
diproduksi pada waktu penggemukan itu dapat lebih ditingkatkan nilai
ekonomisnya (Santoso, 2001).
Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008), pemilihan sapi sebagai calon bibit
pengganti ataupun calon penggemukan sering dirasa sulit. Peternak
memerlukan pengetahuan, pengalaman, dan kecakapan yang cukup, serta
kriteria dasar. Kriteria dasar tersebut meliputi jenis dan sifat genetis, bentuk
luar, dan kesehatan sapi.
a. Jenis dan Sifat Genetis Sapi
Peternak sapi potong pasti memilih jenis sapi potong unggul, seperti
hereford, aberdeen anggus, beefmaster, charolais dan sebagainya, karena
persentase hasil karkas sapi-sapi tersebut lebih dari 60%, sedangkan jenis
lokal kurang dari 60%. Akan tetap seringkali iklim setempat terkadang
dirasa tidak menunjang untuk penggemukan jenis sapi potong tersebut,
sehingga peternak akan memilih sapi potong jenis lokal, seperti Sapi
Bali, Sapi Madura dan Sapi Ongole, walaupun hasil karkasnya kurang
dari 60%.
16
b. Bentuk Fisik Sapi
Peternak yang telah menentukan jenis sapi bakalan yang akan
digemukkan perlu memperhatikan bentuk luar sapi tersebut. Sapi yang
bentuk luarnya bagus, pada umumnya menghasilkan persentase hasil
karkas yang baik. Ciri-ciri atau bentuk luar sapi potong yang baik
adalah:
(1) Ukuran badan besar, yang memungkinkan sapi mampu
menampung jumlah makanan yang banyak.
(2) Bentuk tubuh segi empat, serta pertumbuhan tubuh bagian depan,
tengah, dan belakang serasi, garis badan atas dan bawah sejajar.
(3) Paha sampai pergelangan penuh berisi daging.
(4) Dada lebar dan dalam serta menonjol ke depan.
(5) Kaki besar, pendek dan kokoh.
c. Kesehatan Sapi
Sapi yang bentuk luarnya memenuhi persyaratan tidak berarti sehat.
Guna mengetahui kesehatan sapi, maka diuraikan keadaan tubuh, sikap
dan tingkah laku, pernapasan, denyut jantung, pencernaan, dan
pandangan sapi yang sehat.
(1) Keadaan Tubuh Sapi
Sapi yang sehat keadaan tubuhnya tampak bulat berisi dengan kulit
lemas, dan mudah dilipat. Apabila dilepas lipatannya cepat merata
kembali dengan rambut yang licin dan mengkilat. Selaput lendir
mulut dan gusi berwarna merah muda, lidah mudah bergerak secara
17
bebas, ujung hidung bersih, basah dan dingin. Suhu seluruh
permukaan tubuh sapi dewasa adalah 38ºC – 39,5ºC.
(2) Sikap dan Tingkah Laku Sapi
Sapi yang sehat terlihat tegap dengan keempat kaki memperoleh
titik berat sama. Sapi yang terus menerus tiduran memberikan
kesan bahwa sapi sakit atau mengalami kelelahan.
(3) Pernapasan
Sapi sehat bernapas dengan tenang dan teratur, sedangkan sapi
yang ketakutan, lelah akibat kerja berat, atau kondisi terlalu panas
pernapasannya menjadi lebih cepat. Begitu pula sapi yang sedang
tiduran, pernapasannya lebih cepat dari pada sapi yang sedang
berdiri. Jumlah pernapasan sapi untuk anak sapi adalah 30
kali/menit dan dewasa 10-30 kali/menit.
(4) Pencernaan Sapi
Sapi yang sehat akan memamahbiak dengan tenang sambil istirahat
atau tiduran. Setiap gumpalan pakan dikunyah 60-70 kali dan
dalam waktu 24 jam akan diulangi 6-7 kali. Sapi yang sehat nafsu
makan dan minumnya cukup besar. Pembuangan kotoran dan urin
berjalan lancar dan teratur. Apabila terjadi gangguan pencernaan,
gerakan pada perut besar dan proses untuk memamahbiak terhenti.
Cara pemeliharaan sapi potong dilakukan dengan sistem kereman, yaitu suatu
cara pemeliharaan di kandang secara terus menerus dalam kurun waktu 4-12
18
bulan. Tujuan pemeliharaan sapi dengan cara ini adalah untuk meningkatkan
atau menghasilkan daging yang relatif lebih cepat. Pemeliharaan sapi potong
meliputi beberapa kegiatan, yaitu (Herlambang, 2014) :
(1) Penyediaan Pakan
Berdasarkan kondisi fisiologis dan sistem pencernaannya, sapi tergolong
hewan ruminansia, karena pencernaannya melalui tiga proses, yaitu
secara mekanis di dalam mulut dengan bantuan air ludah, fermentatif di
dalam rumen dengan bantuan mikroba rumen, dan enzimatis setelah
melewati rumen. Penggemukan yang hanya mengandalkan pakan berupa
hijauan saja kurang memberikan hasil yang optimal dan membutuhkan
waktu yang lama. Salah satu cara mempercepat penggemukan adalah
dengan kombinasi pakan berupa hijauan dan konsentrat. Kebutuhan
pakan (dalam berat kering) tiap ekor adalah 2,5% dari berat badannya.
Konsentrat yang digunakan adalah ampas tahu, ampas tebu, bekatul, kulit
biji kedelai, kulit nanas.
Konsentrat diberikan terlebih dahulu untuk memberi pakan mikroba
rumen, sehingga ketika pakan hijauan masuk rumen, mikroba telah siap
dan aktif mencerna hijauan. Hijauan yang digunakan adalah jerami padi,
daun tebu, daun jagung, alang-alang, rumput gajah, dan rumput-
rumputan liar. Penentuan kualitas pakan tersebut berdasarkan tinggi
rendahnya kandungan nutrisis (zat pakan) dan kadar serat kasar. Pakan
hijauan yang berkualitas rendah mengandung serat kasar tinggi yang
sifatnya sukar dicerna karena terdapat lignin yang sukar larut oleh enzim
pencernaan.
19
(2) Konsentrat sebagai Pakan Sapi Potong
Konsentrat merupakan salah satu bahan pakan yang kadar nutrisi protein
dan kabohidratnya tinggi serta kadar serat kasar yang rendah (di bawah
18%). Bahan-bahan komposisi konsentrat yang umum digunakan dan
mudah didapat di antaranya adalah:
(a) Dedak
Dedak dengan komposisi 70% atau 75% dapat diganti dengan
alternatif berupa batang rumbia yang di dalamnya terdapat sagu
rumbia. Secara kandungan nutrisi, batang rumbia memiliki
karbohidrat yang cukup tinggi.
(b) Jagung giling
Jagung giling dengan komposisi 8 – 10% sebagai penambahan
nutrisi, terutama kebutuhan serat dan lemak kasar yang tidak ada
pada dedak.
(c) Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa merupakan sisa pembuatan dan pemerasan minyak
yang diperoleh dari daging kelapa yang telah dikeringkan terlebih
dahulu dan berperan sebagai sumber protein.
(d) Tepung tulang
Tepung tulang atau kalsium dengan komposisi 2 – 5% sebagai
pelengkap kebutuhan akan mineral, terutama kalsium, dan sebagai
penambahan protein.
20
(e) Vitamin
Vitamin bisa diberikan sebagai tambahan dan pelengkap kebutuhan
mikro, tetapi tetap berpatokan pada dosis yang ditentukan dan
jangan sampai berlebihan.
(3) Dosis dan Waktu yang Tepat Pemberian Konsentrat
Konsentrat diberikan sebagai makanan penguat atau ekstra pada ternak
sapi potong, di samping makanan pokok yang utama berupa rumput segar
dan hijau. Perbandingan pemberian pakan pokok dan konsentrat untuk
pakan penggemukan sapi adalah antara 30% : 70% atau maksimal 20% :
80%. Waktu pemberian konsentrat lebih baik dilakukan sekali sehari,
yaitu pada pagi hari sebelum diberi makanan utama, berupa hijauan, agar
lebih efektif untuk meningkatkan berat badan.
(4) Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong
Usaha pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara:
(a) Pemanfaatan kandang karantina, yaitu kandang terpisah, yang dibuat
dengan tujuan sebagai tempat memonitor gejala penyakit tertentu
yang tidak diketahui pada saat proses penggemukan.
(b) Menjaga kebersihan kandang, merupakan salah satu cara untuk
mencegah datangnya penyakit, bakteri dan virus penyebab penyakit
bagi sapi.
(c) Pemberian vaksin pada bakalan baru. Pemberian vaksin cukup
dilakukan pada sapi yang berada di kandang karantina. Biasanya
21
penyakit yang sering menyerang sapi potong adalah cacingan,
penyakit mulut, kuku, kembung dan lain-lain.
Umumnya sapi yang digemukkan adalah sapi jantan. Laju pertumbuhan dan
penimbunan daging sapi jantan lebih baik dari pada sapi betina, terlebih jika
sapi jantan tersebut dikebiri. Sapi yang dikebiri proses penimbunan
dagingnya cepat, mutu dagingnya lebih baik, empuk, dan lezat. Oleh karena
itu, para pengusaha penggemukan sapi memiliki sapi dengan jenis kelamin
jantan yang dikebiri, sebagai sapi bakalan untuk digemukkan (Sugeng, 2005).
Menurut Siregar dan Tobing (1995) terdapat beberapa sistem penggemukan
sapi, yaitu:
(1) Sistem dry lot fattening
Sistem dry lot fattening adalah penggemukan sapi dengan memperbanyak
pemberian pakan konsentrat. Jumalah pemberian hijauan hanya relatif
sedikit, sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih tinggi. Perbandingan
hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai 20:80. Perbandingan
ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK). Penggemukan sisitem ini
dilakukan di dalam kandang. Jadi, pakan harus disediakan sesuai porsi
waktu yang tepat.
Sistem penggemukan ini sebaiknya selalu tersedia hijauan. Bila sapi
masih terlihat lapar, hijauan diberikan lagi, sehingga akan berimplikasi
pada peningkatan laju pertumbuhan bobot tubuh. Sistem penggemukan
dengan sistem ini ada yang dimulai dari anak sapi yang masih menyusu
22
(pedet susu), atau anakan sapi jantan yang sejak lahir telah diberikan
ransum pakan berkualitas tinggi dan ditempatkan pada kandang khusus.
(2) Sistem pasture fattening
Sistem penggemukan pasture fattening, adalah sapi yang digembalakan di
padang penggembalaan sepanjang hari. Terdapat ternak yang tidak
dikandangkan dan ada yang dikandangkan setelah malam hari atau pada
saat matahari bersinar terik. Padang penggembalaan yang baik adalah
padang yang ditumbuhi hijauan berupa rumput dan leguminosa,
sedangkan padang penggembalaan yang hanya ditumbuhi rumput saja
berdampak kurang baik bagi laju pertumbuhan sapi. Bila memungkinkan,
padang pengembalaan, yang hanya ditumbuhi rumput sebaiknya ditanami
leguminasa, agar kualitas pakan di padang menjadi lebih baik.
Leguminosa mempunyai kemampuan untuk menangkap nitrogen,
sehingga tanah di bawahnya menjadi lebih subur dan baik untuk
pertumbuhan rumput. Selain itu, leguminosa juga memiliki kandungan
protein yang tinggi.
Hal yang harus diperhatikan pada sistem pasture fattening adalah cara
penggembalaan dalam memanfaatkan hijauan, yaitu pemanfaatan hijauan
jangan hanya di satu tempat saja. Bisa jadi hijauan pada suatu tempat
sudah habis, sedangkan di tempat lain masih belum termanfaatkan, maka
perlu dilakukan rotasi pemanfaatan untuk mengatur pertumbuhan hijauan
yang ada.
23
(3) Sistem kereman
Sistem kereman hampir sama dengan sistem dry lot fattening, yaitu sapi
diberi pakan hijauan dan konsentrat serta dikandangkan selama
pemeliharaan. Bedanya, sistem keraman lebih banyak dilakukan oleh
peternak tradisional dan pemberian pakannya masih tergatung dengan
kondisi. Bila musim hujan sapi lebih banyak diberi konsentrat.
Menurut Siregar (2008), cara penggemukan sistem kereman dilakukan
dengan teknologi pemeliharaan tertentu, yaitu:
(a) Sapi dipelihara dalam kandang terus menerus dan tidak
digembalakan. Ternak sapi hanya sewaktu-waktu dikeluarkan, yaitu
pada saat membersihkan kandang dan memandikan ternak sapi.
(b) Semua kebutuhan ternak, baik berupa kandang air minum disediakan
oleh peternak secara tak terbatas.
(c) Cara penggemukan sistem ini mengutamakan pemberian pakan
berupa campuran rumput, leguminosa dan makanan penguat.
(d) Sapi penggemukan tidak untuk dijadikan tenaga kerja.
Hal ini, bertujuan agar makanan yang dikonsumsi sepenuhnya
diubah menjadi daging dan lemak, sehingga pertumbuhan bobot
badan meningkat secara cepat.
(e) Diawal masa penggemukan, ternak sapi lebih dahulu diberikan obat
cacing.
(f) Untuk meningkatkan palatabilitas atau nafsu makan, perlu diberikan
perangsang nafsu makan dan vitamin.
24
(g) Lama penggemukan berkisar 4 – 10 bulan, tergantung pada kondisi
awal dan bobot sapi yang digemukan.
(4) Sistem kombinasi dry lot dan pasture fattening
Sistem ini merupakan perpaduan dry lot dan pasture fattening. Pada
sistem ini, bila musim hujan hijauan berlimpah, maka sapi digembalakan
di padang gembalaan dan tidak harus dikandangkan. Sementara pada
musim kemarau, sapi dikandangkan dan diberi pakan penuh. Saat siang
hari digembalakan di padang penggembalaan, sedangkan saat malam hari
sapi dikandangkan dan diberi konsentrat. Sistem penggemukan ini
membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sistem dry lot fattening,
tetapi lebih singkat daripada sistem pasture fattening. Sapi yang awalnya
dipelihara di padang penggembalaan, kemudian beberapa bulan sebelum
dijual diberi pakan konsentrat penuh, hasilnya lebih baik dibandingkan
sapi yang dari awal pemeliharaannya diberi pakan hijauan dan konsentrat
secara seimbang.
3. Konsep Kemitraan
Kemitraan antara pengusaha kecil dibangun dalam rangka mengangkat usaha
kecil yang tertinggal dan dipinggirkan oleh bisnis atau usaha besar. Definisi
dan kebijaksanaan kemitraan usaha resmi telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yang kemudian dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 tahun 1997 tentang kemitraan. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997, kemitraan adalah kerjasama
usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar
25
disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar
dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan
saling menguntungkan.
Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan usaha yang dilandasi
kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, dan pada dasarnya
merupakan kerja sama vertikal (vertical partnership). Kerja sama tersebut
mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh
keuntungan dan manfaat. Menurut Saptana (2006) kemitraan adalah suatu
jalinan kerja sama berbagai pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan
praproduksi, produksi hingga pemasaran. Kemitraan dilandasi oleh azas
kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta
adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya,
risiko, dan manfaat.
Secara ekonomi, kemitraan dapat dijelaskan sebagai (Haeruman, 2001):
a. esensi kemitraan terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga
(labour) maupun benda (property) atau keduanya untuk tujuan kegiatan
ekonomi. Pengendalian kegiatan dilakukan bersama dan pembagian
keuntungan dan kerugian didistribusikan di antara mitra.
b. ”partnership” / ”alliance” adalah suatu asosiasi yang terdiri dari dua
orang/usaha atau yang sama-sama memiliki sebuah peran dengan tujuan
untuk mencari laba.
c. kemitraan adalah suatu persekutuan dari dua orang atau lebih sebagai
pemilik bersama yang menjalankan suatu bisnis mencari keuntungan.
26
d. suatu kemitraan adalah suatu perusahaan dengan sejumlah pemilik yang
menikmati bersama keuntungan-keuntungan dari perusahaan dan masing-
masing menanggung liabilitas yang tidak terbatas atas hutang-hutang
perusahaan.
Menurut Hafsah (2006) tujuan ideal kemitraan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan kemitraan secara lebih konkret adalah:
a . meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat,
b . meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan,
c . meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat serta usaha
kecil, meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan
nasional, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan ketahanan
ekonomi nasional.
Sasaran kemitraan agribisnis adalah terlaksananya kemitraan usaha dengan
baik dan benar bagi pelaku-pelaku agribisnis terkait di lapangan sesuai
dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Manfaat yang dapat
dicapai dari usaha kemitraan (Hafsah, 2006) antara lain adalah:
a . produktivitas
Bagi perusahaan yang lebih besar, dengan model kemitraan, perusahaan
besar dapat mengoperasionalkan kapasitas pabriknya secara full capacity
tanpa perlu memiliki lahan dan pekerja lapangan sendiri, karena biaya
untuk keperluan tersebut ditanggung oleh petani. Melalui model
kemitraan petani dapat memperoleh tambahan input, kredit dan
penyuluhan yang disediakan oleh perusahaan inti.
27
b . efisiensi
Erat kaitannya dengan sistem kemitraan, perusahaan dapat mencapai
efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu,
dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh petani.
Sebaliknya, bagi petani, yang umumnya relatif lemah dalam hal
kemampuan teknologi dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat
menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang
disediakan oleh perusahaan.
c. jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas
Kualitas, kuantitas dan kontinuitas sangat erat kaitannya dengan efisiensi
dan produktivitas di pihak petani yang menentukan terjaminnya pasokan
pasar dan pada gilirannya menjamin keuntungan perusahaan yang
menjadi pendorong kemitraan. Apabila berhasil dapat menjaga
kelangsungan kemitraan ke arah penyempurnaan.
d. risiko
Suatu hubungan kemitraan idealnya dilakukan untuk mengurangi risiko
yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Kontrak akan mengurangi risiko
yang dihadapi oleh pihak inti jika pengadaan bahan baku sepenuhnya
dari pasar terbuka. Perusahaan inti akan memperoleh keuntungan lain
karena tidak harus menanamkan investasi atas tanah dan mengelola
pertanian yang sangat luas.
e. sosial
Kemitraan dapat memberikan dampak sosial (social benefit) yang cukup
tinggi, yang berarti negara terhindar dari kecemburuan sosial. Kemitraan
28
dapat pula menghasilkan persaudaraan antarpelaku ekonomi yang
berbeda status.
f. ketahanan ekonomi nasional
Peningkatan pendapatan yang diikuti dengan tingkat kesejahteraan dan
sekaligus terciptanya pemerataan yang lebih baik, otomatis akan
mengurangi timbulnya kesenjangan ekonomi antar pelaku yang terlibat
dalam kemitraan yang mampu meningkatkan ketahanan ekonomi secara
nasional.
Prinsip-prinsip kemitraan yang ideal adalah kemitraan yang saling
menguntungkan dan berlandaskan ekonomi, bukan berdasarkan belas
kasihan. Kemitraan antara usaha skala kecil dan usaha skala besar harus
dilakukan dalam kaitan bisnis yang saling menguntungkan. Menurut Hafsah
(2006) prinsip–prinsip kemitraan yang harus ada agar menjamin suksesnya
kemitraan antara lain adalah prinsip saling ketergantungan dan saling
membutuhkan, saling menguntungkan, memiliki transparansi, memiliki azas
formal dan legal, melakukan alih pengetahuan dan pengalaman, melakukan
pertukaran informasi, penyelesaian masalah dan pembagian keuntungan yang
adil. Dalam pelaksanaannya kemitraan dihadapkan pada kendala-kendala,
seperti:
a. berdasarkan rasa belas kasihan dan mengandung unsur sloganisme,
b. adanya ”jurang” kemampuan dalam penguasaan teknis, konsistensi
dalam pemenuhan janji, dan rendahnya kemampuan dengan pengusaha
besar,
29
c. pihak pengusaha tidak menyadari hakekat kemitraan justru untuk
memajukan usaha sendiri.
Bentuk-bentuk pola kemitraan yang banyak dilaksanakan adalah
(Departemen Pertanian, 2002):
a. Inti-plasma
inti-plasma merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan
kelompok mitra sebagai plasma. Syarat-syarat untuk kelompok mitra
adalah: (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha
budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada
perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahan sesuai dengan
persyaratan yang telah disepakati. Syarat- syarat perusahaan
mitraadalah: (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil
produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan
pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5) memberi pelayanan
kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, saprodi, dan
teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi
kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan. Pola kemitraan inti
plasma dapat dilihat pada Gambar 1.
30
Plasma
Plasma Perusahaan Inti Plasma
Plasma
Gambar 1. Pola kemitraan inti plasma
Sumber : Departemenn Pertanian, 2002
b. Subkontrak
Subkontrak merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra memproduksi komponen
yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
Syarat-syarat kelompok mitra adalah: (1) memproduksi kebutuhan yang
diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari komponen produksinya,
(2) menyediakan tenaga kerja, dan (3) membuat kontrak dengan
mencantumkan volume, harga, dan waktu. Syarat-syarat perusahaan
mitra adalah: (1) menampung dan membeli komponen produksi
perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra, (2) menyediakan
bahan baku/modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi.
Pola kemitraan subkontrak dapat dilihat pada Gambar 2.
Kelompok Mitra Kelompok Mitra
PERUSAHAAN MITRA
Kelompok Mitra Kelompok Mitra
Gambar 2. Pola kemitraan subkontrak
Sumber : Departemen Pertanian, 2002
31
c. Dagang umum
Dagang umum merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra. Perusahaan mitra memasarkan hasil produksi
kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang
diperlukan perusahaan mitra. Syarat kelompok mitra adalah memasok
kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra, dan syarat perusahaan
mitra adalah memasarkan hasil produksi kelompok mitra. Pola
kemitraan dagang umum dapat dilihat pada Gambar 3.
Kelompok Mitra Perusahaan Mitra
Memasarkan Produk
Kelompok Mitra
Konsumen/
Industri
Gambar 3. Pola kemitraan dagang umum
Sumber : Departemen Pertanian, 2002
d. Keagenan
Keagenan merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra diberi hak khusus untuk
memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Syarat kelompok
mitra adalah mendapatkan hak khusus untuk memasarkan barang dan
jasa usaha perusahaan mitra, sedangkan perusahaan mitra tidak memiliki
syarat. Pola kemitraan keagenan dapat dilihat pada Gambar 4.
32
Kelompok Mitra Perusahaan Mitra
Memasok
Memasarkan
Konsumen
Gambar 4. Pola kemitraan keagenan
Sumber : Departemen Pertanian, 2002
e. Kerjasama Operasional Agribisnis
Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) merupakan hubungan
kemitraan antara kelompok mitra sebagai penyedia lahan, sarana dan
tenaga. Perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan atau sarana
seperti teknologi untuk mengusahakan/membudidayakan pertanian.
Pola kemitraan kerjasama operasional dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis
Sumber : Departemen Pertanian, 2002
f. Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham
Pola lainnya adalah pola kemitraan (penyertaan) saham merupakan
kemitraan usaha agribisnis yang dilakukan dengan penandatanganan
perjanjian yang mencakup jangka waktu, hak, dan kewajiban dalam
Perusahaan Mitra
- Modal - Tenaga - Manajemen
-Lahan -Sarana - Tenaga
Kelompok Mitra
33
melaporkan risiko pelaksanaan kemitraan kepada Instansi Pembina
Teknis di daerah, pembagian risiko, penyelesaian jika terjadi
perselisihan. Hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan menengah
dan usaha besar dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan
pengembangan salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan,
pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi.
Menurut Purnaningsih (2007) faktor-faktor keberhasilan dalam kemitraan
agribisnis diantaranya adalah:
a. masing-masing perusahaan mitra dapat berlaku sebagai mitra yang baik
sesuai dengan prinsip kemitraan, yaitu saling menguntungkan, saling
memerlukan dan saling memperkuat, dengan cara: (a) mengadakan
bimbingan teknis mengenai komoditi yang dimitrakan, (b) mengadakan
bimbingan manajerial kepada petani dan kelompok tani sebagai
kelompok mitra, (c) mengusahakan pendanaan dari lembaga pembiayaan
bagi kelompok mitra, (d) memenuhi komitmen sesuai dengan perjanjian
kerjasama, seperti pembelian produksi dari kelompok mitra, sekaligus
memasarkan hasil produksi.
b. kelompok mitra melaksanakan poin-poin perjanjian secara disiplin serta
memenuhi kriteria kualitas dan kuantitas produk.
c. mentaati asas kemitraan dan tidak menyalahi isi perjanjian walaupun ada
pihak lain yang berusaha menawarkan harga yang lebih baik.
Selanjutnya Purnaningsih (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor kegagalan
dalam kemitraan agribisnis di antaranya adalah:
34
a. adanya kesenjangan komunikasi antara kelompok mitra dengan
perusahaan mitra, seperti masalah harga komoditi (produk) yang sedang
berlaku, informasi pasar.
b. kelompok mitra tidak dapat memenuhi poin perjanjian, seperti kualitas
dan kuantitas produksi.
c. kelompok mitra tergoda oleh penawaran dari pihak lain untuk membeli
komoditi yang diusahakan petani, karena harga yang lebih baik.
d. salah satu pihak tidak dapat memenuhi perjanjian kemitraan usaha karena
beberapa sebab, antara lain: (a) kelompok mitra tidak dapat menjual hasil
produksi sesuai dengan ketentuan, karena kualitas tidak sesuai dengan
kualifikasi yang ditetapkan, hasil panen dijual kepada pihak lain, atau
kontinuitas tidak terpenuhi, (b) perubahan manajemen perusahaan mitra,
(c) suatu kejadian di luar kemampuan manusia (force majeure) seperti
kebakaran, banjir, gempa bumi, dan lain-lain.
4. Teori Pendapatan
Menurut Soedarsono (1994), pendapatan usahatani diartikan sebagai
pendapatan yang diperoleh petani dalam usahanya selama satu kali produksi,
atau satu tahun, yang diperhitungkan dari hasil penjualan atau perolehan
produksi dalam usahataninya. Pendapatan bersih adalah hasil pendapatan
keseluruhan atau pendapatan kotor yang dikurangi dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan selama proses produksi. Besarnya pendapatan yang akan
diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tergantung dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya, seperti luas lahan, tingkat produksi, identitas pengusaha,
pertanaman, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja.
35
Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed
cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap umumnya
diartikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan
walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit, seperti: pajak,
penyusutan alat, gaji karyawan, sewa lahan, dan sebagainya, sehingga
biaya ini dikatakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi
komoditas pertanian.
Biaya tidak tetap (variabel cost) merupakan biaya yang besar kecilnya
dipengaruhi oleh hasil produksi komoditas pertanian, seperti: biaya untuk
saprodi (sarana produksi komuditas pertanian), sehingga biaya ini
diartikan pula sebagai biaya yang sifatnya berubah-ubah sesuai dengan
besarnya produksi komuditas pertanian yang diperoleh. Jika
menginginkan produksi tinggi, maka faktor-faktor produksi, seperti
tenaga kerja, perlu ditambah, pupuk juga ditambah, dan sebagainya.
Total biaya atau total cost (TC) adalah jumlah dari biaya tetap dan biaya
tidak tetap. Rumus total biaya dan total cost (TC) menurut Rahim dan
Hastuti (2008) adalah:
TC = FC + VC................................................................................................ (1)
Keterangan :
TC = total biaya (total cost)
FC = biaya tetap (fixed cost)
VC = biaya tidak tetap (variabel cost)
36
Pendapatan usahatani dirumuskan sebagai berikut (Rahim dan
Hastuti, 2008):
Pd = TR-TC .................................................................................................. (2)
TR = Y. Py .................................................................................................... (3)
TC = FC + VC............................................................................................... (4)
Pd = Y.Py – ( FC + VC ) .............................................................................. (5)
Keterangan :
Pd = pendapatan usahatani
TR = total penerimaan (total revenue)
TC = total biaya (total cost)
Y = produksi yang diperoleh
Py = harga y
FC = biaya tetap (fixed cost)
VC = biaya tidak tetap (variabel cost)
5. Teori Pemasaran
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya
individu dan kelompok mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan,
dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang
bernilai dengan pihak lain (Kotler, 1997). Difinisi pemasaran tersebut
didasarkan pada konsep kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan
permintaan (demands) akan produk (barang, jasa dan gagasan), nilai, biaya,
dan kepuasan, pertukaran dan transaksi, hubungan dan jaringan, pasar serta
pemasaran dan prospek.
a. Saluran pemasaran
Sebagian besar produsen tidak langsung menjual produk kepada
konsumen akhir. Antara produsen dan konsumen terdapat, sekumpulan
perantara pemasaran yang melakukan berbagai fungsi dan menyandang
37
berbagai nama. Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang
saling tergantung, yang terlibat dalam proses untuk menjadikan produk
atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi (Kotler, 2002).
Penggunaan perantara dalam saluran pemasaran memiliki keunggulan
efisien, karena perantara membuat barang-barang tersedia secara luas
dan mudah diperoleh pasar sasaran. Menurut Stern dan El-Ansary
dalam Kotler (1997), perantara melancarkan arus barang dan jasa.
Prosedur ini diperlukan untuk menjembatani ketidaksesuaian antara
berbagai barang dan jasa yang dihasilkan produsen dan bermacam barang
yang diminta oleh konsumen. Ketidaksesuaian itu timbul dari kenyataan
bahwa produsen biasanya menghasilkan sejumlah besar barang dengan
keragaman terbatas, sedangkan konsumen biasanya hanya menginginkan
jumlah terbatas dari banyak ragam barang.
Saluran pemasaran memiliki berbagai macam tingkat. Tiap perantara
yang melakukan tugas membawa produk dan kepemilikannya lebih dekat
ke pembeli akhir merupakan satu tingkat saluran. Tingkat-tingkat
saluran pemasaran adalah (Kotler, 2005):
(1) Saluran nol-tingkat (saluran pemasaran lagsung). Saluran ini terdiri
dari suatu perusahaan yang menjual langsung ke pelanggan akhir.
(2) Saluran satu-tingkat, yaitu saluran yang berisi satu perantara
penjualan, seperti pengecer.
(3) Saluran dua-tingkat, yaitu saluran yang berisi dua perantara,
biasanya pedagang besar dan pengecer.
38
(4) Saluran tiga-tingkat yaitu saluran berisi tiga perantara, misalya
pedagang besar menjual ke pemborong, yang akan menjual
ke pedagang kecil.
Panjang pedeknya saluran pemasaran dapat mempengaruhi efisiensi
pemasaran yang dilalui oleh suatu hasil pertanian tergantung dari
beberapa faktor, antara lain (Hanafiah dan Saefuddin, 1986 dalam
Setiorini, 2008):
(a) jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara
produsen dan konsumen, biasanya makin panjang saluran yang
ditempuh oleh produk.
(b) Cepat tidaknya produk rusak (perishable goods). Produk yang cepat
atau mudah rusak harus segera diterima konsumen dan dengan
demikian menghendaki saluran yang pendek dan cepat.
(c) Skala produksi (bulky product/voluminous). Bila produksi
berlangsung dalam dalam sekala usaha yang jumlah produk yang
dihasilkan berukuran kecil pula, hal ini tidak menguntungkan bagi
produsen yang langsung menjual ke pasar. Kehadiran pedagang
perantara, dalam hal ini sangat diharapkan, namun saluran yang akan
dilalui produk cenderung akan panjang.
(d) Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat
cenderung untuk memperpendek saluran pemasaran. Pedagang yang
posisi keuangannya kuat akan dapat melakukan fungsi pemasaran
lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya
lemah.
39
b. Lembaga pemasaran
Lembaga pemasaran dapat berbentuk perorangan atau perserikatan serta
melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Penyaluran barang dan jasa
melibatkan beberapa lembaga, mulai dari produsen sampai ke
konsumen akhir. Lembaga pemasaran ini diharapkan dapat
memperlancar penyaluran barang dari produsen ke konsumen
melalui berbagai aktivitas atau kegiatan yang dikenal sebagai
perantara (Limbong dan Sitorus, 1987).
Menurut Hanafiah dan Saeffudin (1986) mengatakan bahwa, lembaga
pemasaran adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau
fungsi pemasaran, dimana barang bergerak dari produsen sampai pihak
konsumen. Lembaga menurut istilah pemasaran tersebut termasuk
golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa.
Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran
dapat diidentifikasi sebagai:
(1) Tengkulak, yaitu lembaga pemasaran yang secara langsung
berhubungan dengan petani.
(2) Pedang pengumpul, yaitu lembaga yang membeli komoditi dari
tengkulak.
(3) Pedagang besar, yaitu lembaga yang melakukan proses konsentrasi
(pengumpulan) komoditi dari pedagang-pedagang pengumpul, dan
melakukan distribusi ke agen penjualan atau pengecer.
40
(4) Agen penjualan, yaitu lembaga yang membeli komoditi yang
dimiliki pedagang dalam jumlah banyak dengan harga yang ralatif
murah dibanding pengecer.
(5) Pengecer, yaitu lembaga yang berhadapan langsung dengan
konsumen.
Analisis saluran dan lembaga pemasaran dilakukan untuk
mengidentifikasi saluran pemasaran yang ada. Mengetahui hal tersebut
proses penyampaian produk dari tangan produsen ke konsumen,
dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Peranan
lembaga pemasaran dalam manajemen mutu produk sebelum sampai ke
tangan konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987 dalam Setiorini,2008).
6. Pemasaran Sapi Potong
Pasar ternak atau hewan merupakan ajang pertemuan antara peternak,
pedagang, pengumpul, maupun pedagang antar wilayah untuk melakukan
transaksi jual beli ternak. Transaksi jual beli di pasar tradisional masih
transparan, dimana margin tataniaga belum terdistribusi secara proporsional.
Dipastikan margin tataniaga yang paling redah dan dirugikan adalah
peternak. Berbagai alur pemasaran ternak sapi menurut (Herlambang, 2014)
adalah:
(1) Peternak Konsumen
Penjualan ini dilakukan dengan cara konsumen yang mendatangi
peternak. Kondisi ini sering terjadi karena peternak kurang
mendapatkan informasi konsumen.
41
(2) Peternak Blantik Pedagang Pemotong/Penjagal Konsumen.
(3) Peternak Blantik Pedagang Besar
Karena perternak tidak ingin mengeluarkan biaya, maka Blantik
menguasai proses pemasaran, baik di tempat peternakan mapun pasar
hewan. Peternak tidak perlu lagi mengeluarkan biaya. Skala usaha
pedagang besar berkisar antara 12-18/ekor/hari.
Pemasaran sapi potong dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemasaran
sapi hidup dan pemasaran sapi berupa karkas daging sapi yang layak di
konsumsi. Kedua cara tersebut dijelaskan sebagai (Herlambang, 2014) :
(1) Pemasaran sapi hidup
Pemasaran sapi hidup harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan,
khususnya kesehatan sapi itu sendiri. Supaya sapi hidup terus terjaga,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
(a) Hari terakhir sebelum dijual, sapi harus diberi pakan yang cukup
dan berkualitas, serta tidak digunakan sebagai tenaga kerja. Hal
tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyusutan berat badan.
(b) Sapi harus mendapat perawatan atau pengobatan.
(c) Apabila sapi diangkut dengan menggunakan truk, bagian alas
sebaiknya diberi jerami padi setebal 10 cm dan diberi sekat atau
pemisah untuk menghindari ternak terluka atau terpeleset. Selain
itu, kapasitas pemuatan sapi harus disesuaikan dengan luas bak
truk.
(d) Pemberian cap bakar. Cap bakar ini diberikan pada bagian badan
ternak yang sekiranya tidak menurunkan kualitas kulit sapi.
42
Pemasaran sapi hidup dapat dilakukan melalui pasar ternak atau pasar
lelang, perusahaan yang telah berkerjasama dengan peternak, atau
melalui koperasi. Khusus sapi potong yang akan diekspor harus
dilengkapi dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang melalui penelitian dan rekomendasi (Herlambang, 2014).
(2) Pemasaran berupa karkas daging sapi yang layak konsumsi dibagi
menjadi dua, yaitu karkas dan karkas daging.
Karkas daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang,
sedangkan karkas adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang atau
kerangkanya. Karkas juga diartikan sebagai hewan setelah mengalami
pemotongan, pengkulitan, dibersihkan dari jerohan, dan kaki-kaki bagian
bawah juga telah mengalami pemotongan. Karkas biasanya juga sudah
dipisahkan dari kepala. Menurut FAO/WHO pengertian karkas lebih
diperjelas lagi yaitu bagian tubuh hewan yang telah disembelih, utuh,
atau dibelah sepanjang tulang belakang, yang juga diartikan sebagai
hewan setelah mengalami pemotongan, pengulitan, dibersihkan dari
jerohan, dan kaki-kaki bagian bawah juga telah mengalami pemotongan.
Terdapat lima tahap yang harus dilalui untuk memperoleh karkas. Tahap-
tahap itu meliputi inspeksi ante mortem, penyembelihan, penuntasan
darah, dressing, dan inspeksi pasca amortem (Dwiari, 2008).
B. Penelitian Terdahulu
Arviansyah (2015), melakukan penelitian tentang “Analisis Pendapatan
Usaha dan Sistem Pemasaran Susu Kambing di Desa Sungai Langka
43
Kecamatan Gedung Tataan Kabupaten Pesawaran”. Tujuan penelitian
tersebut adalah; (1) mengetahui produksi susu kambing dan pendapatan
peternak dalam satu tahun terakhir, (2) menganalisis efisiensi sistem
pemasaran susu kambing, (3) menganalisis strategi pemasaran susu kambing.
Metode analisis yang digunakan untuk menghitung produksi susu kambing
dan pendapatan usaha susu kambing adalah analisis keuntungan, R/C rasio,
efisiensi sistem pemasaran (struktur pasar, perilaku pasar, keragaman pasar,
dan strategi pemasaran). Hasil penelitian adalah rata-rata produksi susu
kambing PE di lokasi penelitian masih di bawah potensinya, tetapi usaha
ternaknya sudah menguntungkan. Sistem pemasaran susu kambing PE di
lokasi penelitian belum efisien, dan strategi pemasaran susu kambing PE oleh
peternak di lokasi penelitian masih sederhana, belum dilakukan diversifikasi
produk, belum ada merek dagang pada produk, tidak terdapat diversifikasi
harga, dan belum terdapat kegiatan promosi.
Duunga, Suparta, Putri (2014) meneliti tentang “Efisiensi Pemasaran Sapi Bali
di Kabupaten Bangli”. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi saluran
pemasaran, menghitung margin pemasaran dan tingkat farmer’s share, serta
menganalisis efisiensi pemasaran sapi potong. Lokasi penelitian dipilih
secara purposive sampling. Responden penelitian diambil secara
classified random sampling, yaitu sebanyak 40 orang peternak sapi, dan
sampel pedagang dipilih secara snowball ball sampling, sebanyak 15 orang
belantik, 3 orang jagal, serta masing-masing 1 orang pedagang besar dan
pedagang antarpulau. Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 saluran yang terbentuk dari
44
lembaga pemasaran, yaitu saluran pemasaran I (peternak - belantik -
penjagal), saluran pemasaran II (peternak - belantik - pedagang besar -
penjagal), dan saluran pemasaran III (peternak - belantik - pedagang
antarpulau). Margin pemasaran tertinggi terdapat pada saluran II, yaitu
sebesar Rp. 757.142/ekor, dan yang paling rendah terdapat pada saluran
pemasaran I, yaitu sebesar Rp. 500.834. Farmer’s share tertinggi
terjadi pada saluran pemasaran III, sebesar 96,03% dan yang paling
rendah terjadi pada saluran pemasaran II, sebesar 93,16%. Saluran
pemasaran III merupakan saluran paling efisien dilihat dari hasil
penghitungan indeks efisiensi sebesar 0,75%.
Nurdiansyah (2015) menganalisis “ Analisis Pendapatan dan Pemasaran
Kakao di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur”. Tujuan
penelitian adalah untuk: menganalisis pendapatan usahatani kakao dan
menganalisis pemasaran kakao. Berdasarkan analisi pendapatan dan
efisiensi pemasaran diketahui bahwa: (1) usahatani kakao di Kecamatan
Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur menguntungkan bagi petani,
dengan rasio penerimaan dengan total biaya sebesar 2,02. (2) sistem
pemasaran kakao di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung
Timur berlangsung tidak efisien, yang ditunjukkan oleh rantai tataniaga yang
panjang, Ratio Profit Margin (RPM) antara lembaga perantara pemasaran
yang terlibat tidak merata, dan nilai elastisitas transmisi harga sebesar 1,05,
yang artinya pasar yang terjadi adalah pasar tidak bersaing sempurna.
45
Kusuma, Septa, Amiruddin (2013) meneliti tentang “Strategi Pemasaran Sapi
Potong di CV Septia Anugrah Jakarta”. Penelitan dilakukan untuk
(a) menganalisis kegiatan usaha sapi potong. (b) mengetahui strategi
pemasaran sapi potong CV Septia Anugerah dengan memanfaatkan matriks
strengths, weaknesses, opportunities dan threats (SWOT), (c) menyusun
prioritas strategi pemasaran sapi potong menggunaka analisis SWOT QSPM
atau matrik perencanaan kuantitatif. Analisis SWOT menghasilkan alternatif
yang dapat diterapkan, yaitu: (a) strategi kekuatan peluang, memperluas
jaringan pemasaran sapi potong dengan melakukan penetrasi pasar. (b)
strategi kekuatan ancaman, meningkatkan loyalitas pelanggan.
(c) strategi kelamahan peluang, memanfaatkan para investor untuk
meningkatkan modal. (d) strategi kelemahan ancaman, meningkatakan
kerjasama dengan para stakeholder.
Karokaro,Tarigan,Lubis (2011) melakukan penelitian dengan judul
“ Analisis Efisiensi Pemasaran Kakao, Studi Kasus : Desa Lau Sireme, Desa
Lau Bagot, dan Desa Sukandebi, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi”.
Tujuan penelitian adalah (a) menganalisis hubungan saluran pemasaran
komoditi kakao dengan efisiensi saluran pemasaran di Desa Lau Sireme, Desa
Lau Bagot, Desa Sukandebi, Kabupaten Dairi dan (b) menganalisis perbedaan
efisiensi pemasaran, bila petani menjual kepada pedagang pengumpul desa
atau pedagang besar (kecamatan) yang membeli langsung ke lahan usahatani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat hubungan antara saluran
pemasaran dengan efisiensi pemasaran tinggi. Ada perbedaan nyata antara
saluran pemasaran 1 (petani pedagang pengumpul desa) dengan pemasaran
46
saluran II (petani pedagang besar). Saluran pemasaran II lebih efisien dari
saluran pemasaran I.
Anggraini, dkk (2013) melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Efisiensi
Pemasaran Ubi Kayu di Provinsi Lampung”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sistem pemasaran ubi kayu di Provinsi Lampung sudah efisien dilihat
dari pangsa produsen (PS) yang lebih dari 80%, walaupun: (1) struktur pasar
yang terbentuk adalah pasar yang hampir mendekati pasar bersaing sempurna,
yaitu pasar persaingan oligopsonistik. (2) perilaku pasar: petani produsen ubi
kayu tidak menghadapi kesulitan dalam memasarkan hasil panennya, sistem
pembayaran dominan dilakukan secara tunai, dan harga dominan ditentukan
oleh pihak pabrik/pembeli. (3) keragaman pasar meliputi: (a) saluran
pemasaran ubi kayu yang terdapat dilokasi penelitian terdiri dari 2, yaitu: (1)
petani Pabrik Tapioka (2) petani pengempul pabrik tapioka. (b)
margin pemasaran dan RPM relatif kecil sebesar 13,32% terhadap harga
konsumen akhir dan RPM sebesar 0,39, yang mengindikasikan sistem
pemasaran ubi kayu relatif efisien, (c) koefisien korelasi harga ubi kayu
adalah 0,995, yang berarti ada hubungan yang sangat erat antara harga di
tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen akhir, (d) elastisitas
transmisi harga yang diperoleh adalah 0,911, yang menunjukkan bahwa pasar
yang terjadi adalah pasar persaingan oligopsonistik dan sisten pemasaran
yang terjadi tidak efisien.
Ali (2017) melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Efisiensi Pemasaran
Kubis di Kecamatan Gisting”. Metode analisis data yang digunakan adalah
47
metode S-C-P. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemasaran kubis
di Kecamatan Gisting tidak efisien, dimana : (a) struktur pasar yang dihadapi
oleh petani adalah struktur pasar oligopsoni, (b) perilaku pasar menunjukkan
bahwa petani masih dirugikan dan bertindak sebagai price taker, (c) terdapat
dua belas saluran pemasaran dengan pangsa produsen (PS) masih di bawah
55%, marjin pemasaran tinggi, rasio marjin keuntungan (RPM) tidak
menyebar merata, serta elastisitas transmisi harga lebih dari satu.
Topik penelitian yang dilakukan saat ini, yaitu “Analisis Pendapatan dan
Pemasaran Usaha Penggemukan Sapi Potong Sistem Swadana Mandiri di
Kelompok Ternak Cempaka Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung
Tengah”, mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu.
Perbedaannya yaitu belum pernah diteliti penelitian tentang usaha
penggemukan sapi potong. Kesamaan dalam penggunaan metode penelitian
ini dengan penelitian terdahulu, yaitu sama-sama menggunakan analisis
pendapatan, dan analisis pemasaran.
C. Kerangka Pemikiran
Kelompok Ternak Cempaka merupakan kelompok wanita tani yang berada di
Desa Astomulyo Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah.
Kelompok Ternak Cempaka didirikan dengan latar belakang kegiatan ibu-ibu
rumah tangga, yang bergabung dalam kegiatan PKK (Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga). Salah satu unit usaha dari Kelompok Ternak
Cempaka adalah penggemukan sapi potong.
48
Usaha penggemukan sapi potong di Kelompok Ternak Cempaka terdiri dari 3
sistem penggemukan yaitu sistem weaner gaduh, swadanan mandiri, dan
mandiri. Sistem weaner gaduh merupakan sistem pembudidayaan yang
bekerjasama dengan PT GGL, dalam penyediaan bakalan dan pakan. Sistem
swadana mandiri adalah sistem penggemukan yang juga bekerjasama dengan
PT GGL dalam penyediaan pakan, namun bakalan sapi berasal dari peternak
sendiri, sedangkan sistem mandiri adalah sistem yang dilakukan secara
mandiri oleh peternak dalam penyediaan pakan, dan bakalan sapi tanpa ada
hubungan kerjasama dengan pihak manapun.
Dalam usaha penggemukan sapi potong, Kelompok Ternak Cempaka
membutuhkan sarana produksi sebagai pelancar untuk mencapai tujuan.
Sarana produksi (input) di Kelompok Ternak Cempaka adalah, sapi bakalan,
pakan, tenaga kerja, obat, vitamin, alat, dan kandang. Selain input, hal yang
terpenting adalah proses produksi pengemukan sapi potong, hingga
menghasilkan Output (berupa sapi siap jual). Untuk memperoleh
pendapatan, peternak harus melalukan penjualan dengan melibatkan beberapa
lembaga sehingga membentuk saluran pemasaran.
Pada penelitian ini, penulis hanya menganalisis pendapatan dan pemasaran
sistem swadana mandiri, dengan pertimbangan bahwa pada bulan Agustus
sampai Oktober 2018 proses penggemukan yang berlangsung hanya sistem
swadana mandiri saja. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 6.
49
Keterangan:
= tidak dianalisis
= dianalisis
Gambar 6. Kerangka pemikiran analisis pendapatan dan pemasaran usaha
penggemukan sapi potong sistem swadana mandiri di
kelompok ternak Cempaka Kecamatan Punggur Kabupaten
Lampung Tengah
Usaha Pengemukan Sapi
Input Proses Output
Kelompok
Ternak Cempaka
Sistem Mandiri Swadana Mandiri
(pakan bermitra
dengan PT GGL)
Weaner Gaduh
(Sapi bakalan
dan pakan
berasal dari PT
GGL)
Pemasaran
Pendapatan
50
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi
kasus di Kelompok Ternak Cempaka. Metode studi kasus merupakan salah
satu metode penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan
mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertantu
dengan daerah atau subjek yang sempit selama kurun waktu tertentu
(Arikunto, 2004). Metode studi kasus digunakan untuk memperoleh data
secara lengkap dan rinci di Kelompok Ternak Cempaka mengenai
pendapatan dan pemasaran usaha penggemukan sapi potong sistem swadana
mandiri.
B. Konsep Dasar dan Landasan Operasional
Konsep dasar dan landasan operasional mencangkup pengertian yang
digunakan untuk memperoleh data dan melakukan analisis sehubungan
dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.
Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk
mendapatkan produksi daging berdasarkan peningkatan bobot badan tinggi
51
melalui pemberian makanan yang berkualitas dengan waktu yang relatif
singkat, yaitu 3 bulan.
Peternak sapi potong adalah pihak yang melakukan usaha pemeliharaan sapi
potong, baik sebagai usaha pokok maupun usaha sampingan.
Sapi bakalan adalah bibit sapi potong berumur 2 – 3 tahun, baik lokal maupun
impor yang memiliki berat tubuh sekitar 300 kg.
Periode penggemukan sapi adalah lama pemeliharaan dan penggemukan sapi
selama 3 bulan. Periode penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga
Oktober 2018.
Lama pemeliharaan adalah waktu yang dibutuhkan untuk memelihara sapi
potong mulai dari awal pemeliharaan hingga siap jual, data penelitian ini
adalah 3 bulan.
PT GGL merupakan perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang usaha
penggemukan sapi potong, yang menjalin kemitraan dengan Kelompok
Ternak Cempaka.
Sistem Swadana Mandiri adalah sistem kemitraan dimana pakan bakalan
dimitrakan dengan PT GGL dan pemasaran harus dilakukan oleh PT GGL.
Faktor produksi adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya
bobot badan akhir sapi potong, antara lain: sapi bakalan, pakan ternak, tenaga
kerja, pestisida dan vitamin, alat dan kandang.
52
Bobot badan awal adalah jumlah berat badan tertimbang sapi-sapi bakalan
saat awal penggemukan, diukur dalam satuan kilogram (kg).
Bobot akhir adalah berat badan tertimbang sapi-sapi saat akhir penggemukan,
diukur dalam satuan kilogram (kg).
Pengadaan sarana produksi adalah suatu kesatuan kegiatan yang dilakukan
untuk menyediakan faktor produksi pada usaha penggemukan sapi potong.
Hijauan adalah jenis bahan pakan yang berasal dari hijauan daun segar,
seperti rumput-rumputan, rumpu gajahan, dan lainnya diukur dalam satuan
kilogram per periode, yaitu selama 3 bulan (kg/periode).
Pakan ternak adalah makan bagi hewan ternak yang berguna untuk
meningkatkan bobot badan akhir sapi potong dalam satu kali periode
penggemukan, yaitu tiga bulan, diukur dalam satu kali periode yang
dinyatakan dalam kilogram per periode (kg/periode).
Biaya pakan adalah nilai yang dikeluarkan untuk pakan yaitu kulit nanas +
kulit singkong, konsentrat dan rumput hijauan, pada satu periode
penggemukan, dinyatakan dengan satuan rupiah per periode (kg/periode).
Obat adalah nilai yang dikeluarkan untuk pembelian obat bagi hewan ternak
sapi dalam satu periode, dinyatakan dengan satuan rupiah per periode
(Rp/kg).
53
Vitamin adalah nilai dikeluarkan untuk pembelian vitamin bagi hewan ternak
sapi dalam satu periode, dinyatakan dengan satuan rupiah per periode
(Rp/kg).
Tenaga kerja dalam keluarga adalah sumberdaya manusia yang terlibat dalam
kegiatan usaha budidaya penggemukan sapi potong yang berasal dari dalam
anggota keluarga peternak, dihitung dalam sekali periode, yaitu tiga bulan,
dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK).
Tenaga kerja luar keluarga adalah sumberdaya manusia yang terlibat dalam
kegiatan usaha budidaya penggemukan sapi potong yang berasal dari luar
anggota keluarga peternak, dihitung dalam sekali periode yaitu tiga bulan
dalam satuan Hari Kerja Orang (HOK).
Harga faktor produksi merupakan harga atau nilai dari faktor produksi yang
digunakan dalam kegiatan usaha penggemukan sapi potong, diukur dalam
satu periode, dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp)
Biaya produksi adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan Kelompok Ternak
Cempaka untuk melakukan kegiatan penggemukan sapi potong. Biaya
produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan olek Kelompok Ternak Cempaka
yang besarnya tidak dipengaruhi jumlah output yang diproduksi, terdiri dari
penyustan alat, tenaga kerja dalam keluarga, dan biaya rumput hijauan. Biaya
tetap diukur dalam satuan rupiah (Rp).
54
Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan oleh Kelompok Ternak
Cempaka yang besarnya dipengaruhi jumlah output yang diproduksi, terdiri
dari bakalan, pakan ternak, obat dan vitamin, serta pajak. Biaya variabel
diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Kandang adalah tempat untuk kegiatan budidaya penggemukan sapi potong,
yang ukurannya disesuaikan berdasarkan jumlah hewan ternak sapi potong,
dan dinyatakan dalam rupiah per periode (Rp/ periode).
Alat adalah serangkaian peralatan yang digunakan dalam kegiatan usaha
penggemukan sapi potong berupa, cangkul, sekop, sorok, bak, alat suntik dan
sepatu boots. Penyusutan alat dihitung berdasarkan penyusutan umur
ekonomis yang dikonversikan menjadi penyusutan per periode, dinyatakan
dalam rupiah per periode (Rp/periode).
Harga output adalah harga jual sapi potong per kilogram, dihitung per periode
penggemukan, dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
Penerimaan adalah hasil perkalian antara jumlah sapi potong yang dijual
dengan harga jual sapi per kilogram, yaitu diukur dengan satuan rupiah (Rp).
Pendapatan merupakan jumlah penerimaan total dikurangi dengan biaya total
dalam kegiatan produksi, sehingga menghasilkan sejumlah uang atau
keuntungan, yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Pemasaran merupakan proses pertukaran serangkaian kegiatan untuk
memindahkan produk sapi potong hidup dari produsen ke konsumen dengan
55
tujuan, untuk menciptakan permintaan, memperoleh pendapatan dan
kepuasan disemua pihak yang terlibat.
Saluran atau rantai pemasaran adalah pihak-pihak yang bekerja dalam
memasarkan suatu produk yang dihasilkan dari produsen sampai pada
konsumen akhir, sehingga membentuk sebuah pola atau rantai.
Rumah potong hewan (RPH) adalah suatu komplek bangunan dengan desain
dan syarat tertentu, yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi
konsumsi masyarakat luas.
Belantik adalah pelaku pasar yang kadang bisa memainkan harga sapi di
pasar hewan.
Pedagang besar adalah salah satu lembaga dalam pemasaran yang membeli
sapi potong dari petani dan menjualnya ke luar daerah.
Pedagang pengecer adalah pedagang yang membeli ternak sapi potong dari
pedagang pemotong dalam bentuk potongan hasil ternak dan menjualnya
kepada konsumen di pasar.
C. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Kelompok Ternak Cempaka yang terletak di
Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah. Penentuan lokasi
penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa
56
Kelompok Ternak Cempaka merupakan kelompok ternak dengan unit usaha
penggemukan sapi potong.
Responden dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Kelompok Ternak
Cempaka Sistem Swadana Mandiri, dengan jumlah responden adalah 20
orang. Waktu pengumpulan data penelitian adalah bulan Juli sampai dengan
bulan Oktober 2018 , dengan periode pengamatan adalah 3 bulan, yaitu bulan
Agustus sampai Oktober 2018
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diambil secara langsung dari
responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner serta
pengamatan langsung tentang keadaan di lapangan. Data sekunder diperoleh
dari mempelajari dan mengamati dokumen/catatan tertulis atau arsip yang
relevan yang berhubungan dengan topik penelitian bersumber dari Badan
Pusat Statistik, data di Kelompok Ternak Cempaka dan lembaga-lembaga
penelitian atau publikasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
E. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
dan kuantitatif. Analisis kualitatif adalah suatu prosedur analisis yang
menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-
orang yang diamati. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menjawab
57
tujuan pertama dan ketiga, sedangkan analisis kuantitatif adalah analisis yang
dilakukan secara matematis. Analisis kuantitatif digunakan untuk menjawab
tujuan ketiga, yaitu untuk menghitung pendapatan usaha penggemukan di
kelompok ternak Cempaka.
1. Analisis Pendapatan
Pendapatan yang akan dihitung adalah pendapatan usaha penggemukan
sapi potong pada sistem swadana mandiri. Menurut Soekartawi (1995)
secara matematis besarnya pendapatan dapat dirumuskan sebagai:
Π = TR – TC ..................................................................................... (6)
Π = Y.Py – ( ∑ ......................................................... (7)
keterangan:
Π = Pendapatan (Rp)
TR = total revenue atau penerimaan total (Rp)
TC = total cost atau biaya total (Rp)
Xi = Faktor produksi variabel ke i (i = 1, 2, 3,...,n)
Pxi = Harga faktor produksi variabel ke i (Rp)
Y = sapi potong (Kg)
Py = Harga sapi potong (Rp/kg)
BTT = Biaya tetap total
Guna mengetahui kelayakan usaha, maka dilakukan analisis R/C rasio
dengan melakukan perbandingan antara penerimaan total dengan biaya
total, yang dirumuskan sebagai:
R/C=
................................................................................................(8)
58
Keterangan :
R/C = nisbah penerimaan dan biaya
TR = total revenue atau penerimaan total (Rp)
TC = total cost atau biaya total (Rp)
Jika R/C > 1, maka suatu usaha mengalami keuntungan,
karena penerimaan lebih besar dari biaya. Jika R/C < 1, maka suatu
usaha mengalami kerugian atau tidak menguntungkan karena penerimaan
lebih kecil dari biaya, dan jika R/C = 1, maka suatu usaha mengalami
impas, karena penerimaan sama dengan biaya.
2. Pemasaran
Pemasaran sapi potong hasil penggemukan sistem swadana mandiri di
Kelompok Ternak Cempak dianalisis secara deskriptif kualitatif, dan
terbatas hanya pada saluran pemasaran sapi potong.
59
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kelompok Ternak Cempaka
1. Sejarah dan Perkembangan Kelompok Ternak Cempaka
Kelompok Ternak Cempaka, (2018), Kelompok Ternak Cempaka
merupakan Kelompok Wanita Tani yang memiliki usaha penggemukan sapi
potong yang berlokasi di Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah.
Kelompok Ternak Cempaka didirikan dengan latar belakang kegiatan ibu-
ibu rumah tangga, yang bergabung dalam kegiatan PKK. Menyadari
semakin berkembangnya kegiatan PKK, maka dilakukan upaya peningkatan
pendapatan dengan membentuk UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera), yang dibentuk pada tanggal 9 Januari 1996, dan
diresmikan pada tanggal 9 Januari 1998. Kelompok Ternak Cempaka pada
tahun 2002 mendapat pinjaman dari Bank Niaga sebesar Rp. 1.830.000.000.
Dana ini yang kemudian digunakan sebagai dana pembuatan kandang dan
pembelian bakalan bagi Kelompok Ternak Cempaka. Sistem budidaya
ternak Kelompok Ternak Cempaka adalah penggemukan dan
pengembangan sapi melalui hubungan kemitraan dengan PT GGL.
Kelompok Ternak Cempaka tahun 1996 hanya beranggotakan 27 peternak.
Sejak era kemitraan yang pertama tahun 1991, Kelompok Ternak Cempaka
60
tahun 2005 adalah 44 orang, dan pada tahun 2018 jumlah anggota kelompok
ternak bertambah menjadi 69 orang.
2. Sistem Kemitraan di Kelompok Ternak Cempaka
Hubungan kemitraan Kelompok Ternak Cempaka dengan PT GGL dimulai
pada tahun 1991. Awal kemitraan PT GGL hanya memasok pakan yang
berasal dari hasil produk pabrik pengolahan tapioka dan kulit nanas, lalu
memasarkan sapi yang dihasilkan oleh peternak Cempaka. Kemudian pada
tahun 2013, selain memasok pakan, PT GGL juga membantu pengadaan
sapi bakalan bagi peternak mitra yang belum mandiri, yang disebar ke
kelompok percontohan di Lampung Tengah. Salah satu kelompok
percontohan adalah peternak mitra di Desa Astomulyo yaitu Kelompok
Ternak Cempaka (Kelompok Ternak Cempaka, 2018).
Hubungan kemitraan yang dilakukan oleh PT GGL adalah penyediaan bibit
sapi, pakan serta obat-obatan, sedangkan vaksin diperoleh melalui subsidi
dari Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Lampung Tengah. PT GGL
selain mengusahakan peternakan sapi potong di kandang sendiri, PT GGL
juga melakukan kerjasama kemitraan dengan peternak mitra melalui
program kemitraan Plasma Inti Rakyat (PIR). Program kemitraan PIR
terdiri dari dua macam, yaitu PIR Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dan PIR
Swadana Gaduhan. PIR KKP adalah program kemitraan dimana semua
modal usaha, mulai dari pengadaan bakalan hingga pakan difasilitasi oleh
perusahaan, sedangkan pada PIR Swadana Gaduhan hanya sapi bakalan
yang disediakan oleh plasma (fatma, 2018).
61
Dalam program PIR Swadana Gaduhan, PT GGL menerapkan 2 sistem,
yaitu sistem weaner gaduh dan swadana mandiri. PT GGL menyediakan
dan menyalurkan paket sapi bakalan Brahman Cross sebanyak 10 ekor per
peternak yang menggunakan sistem weaner gaduh, sedangkan peternak
dengan sistem swadana mandiri diharuskan memiliki 4 ekor sapi bakalan
per peternak. Peternak dengan sistem swadana mandiri dapat membeli
bakalan sapi dari PT GGL atau dari pasar melalui broker. Selain sistem
weaner gaduh dan swadanan mandiri, Kelompok Ternak Cempaka juga
mengusahakan penggemukan secara mandiri, yaitu bakalan sapi, pakan dan
vitamin dibeli secara mandiri oleh peternak (Fatma, 2018).
a. Sistem Weaner Gaduh
Sistem weaner gaduh merupakan sistem kemitraan dimana sapi bakalan
dan pakan berasal dari PT GGL. Sistem kemitraan ini merupakan salah
satu sistem kemitraan yang melibatkan peran pemerintah, perusahaan
swasta dan peternak dalam pengembangan usaha penggemukan sapi
potong untuk memenuhi permintaan akan daging. Dukungan
pemerintah salah satunya adalah pengawasan terhadap pelaksanaan
kemitraan dan kebijakan jumlah sapi bakalan jenis Brahman Cross atau
sapi BX yang berasal dari Australia, serta keterlibatan Dinas Peternakan
Lampung Tengah dalam menyediakan obat dan vitamin bagi peternak
di Lampung Tengah.
Sistem weaner gaduh di Kelompok Ternak Cempaka mulai
dikembangkan pada tahun 2013. Syarat untuk menjalin kemitraan ini
adalah para peternak harus tergabung dalam satu kelompok tani yang
62
telah berbadan hukum dan telah tergabung pada sistem swadana
mandiri terlebih dahulu. Selain itu, peternak juga berkewajiban
menyediakan kandang sesuai dengan ketentuan dari PT GGL, yaitu
menggunakan sistem postal, dengan kontruksi kandang menggunakan
bahan kayu, berlantai semen, dan beratap genteng. Rata-rata luas
kandang adalah 3 m² per ekor, jarak kandang dari rumah minimal 9 m,
dengan posisi kandang menghadap ketimur, karena sinar matahari pagi
mengandung sinar Ultra Violet. Pada tahun 2016 sistem weaner gaduh
di Kelompok Ternak Cempaka berhenti karena PT GGL tidak lagi
menyediakan bakalan sapi untuk peternak sebagai akibat dari kebijakan
pemerintah yang mengurangi impor bakalan sapi BX (Kelompok
Ternak Cempaka, 2018).
b. Sistem Swadana Mandiri
Sistem swadana mandiri merupakan sistem yang terbentuk karena
adanya kemitraan dengan PT GGL. Kemitraan dengan sistem swadana
mandiri berupa penyediaan pakan yang berasal dari PT GGL,
sedangkan sapi bakalan merupakan bakalan sapi yang dibeli sendiri
oleh peternak. Syarat peternak mengikuti sistem swadana mandiri
adalah peternak harus memiliki minimal 4 ekor sapi yang dimitrakan
dengan PT GGL, sapi yang dimitrakan ini yang kemudian akan
diberikan pakan oleh PT GGL selama satu kali periode, yaitu selama 3
bulan masa penggemukan sapi, dan sapi hasil penggemukan harus
dijual ke PT GGL.
63
c. Sistem Mandiri
Sistem mandiri merupakan sistem usaha penggemukan sapi secara
mandiri, yang dilakukan oleh peternak anggota Kelompok Ternak
Cempaka tanpa menjalin kemitraan dengan pihak swasta. Peternak
mengusahakan sistem mandiri disesuai dengan kemampuan membeli
bakalan sapi, dan pakan.
Perbedaan dari sistem weaner gaduh, swadana mandiri, dan mandiri secara
lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan dari sistem weaner gaduh, swadanan mandiri, dan
mandiri di Kelompok Ternak Cempaka
Sistem Keterangan
Weaner Gaduh
1. Jenis sapi yang digunakan adalah jenis sapi
Australia yang berasal dari PT GGL
2. Pakan berasal dari PT GGL
3. Hasil produksi sapi potong seluruhnya wajib
dijual ke PT GGL
4. Kemitraan berhenti pada tahun 2016
Swadana Mandiri
1. Jenis sapi yang digunakan adalah jenis sapi
lokal milik peternak
2. Pakan berasal dari PT GGL
3. Hasil produksi sapi lokal wajib dijual ke PT
GGL
4. Kemitraan masih berjalan sampai sekarang
Mandiri
1. Jenis sapi yang digunakan adalah jenis sapi
lokal milik peternak, yang berasal dari Belantik
2. Pakan dibeli secara mandiri oleh peternak
3. Hasil produksi dijual ke pasar bebas (belantik,
pedagang besar, dll)
4. Mulai diusahakan tahun 2016
Sistem usaha penggemukan sapi potong sistem weaner gaduh dan mandiri
tidak diteliti pada penelitian ini, karena sistem weaner gaduh sudah tidak
dilakukan pada tahun 2016, sedangkan sistem mandiri pengusahaannya
64
tidak dilakukan antara bulan Agustus sampai Okteber 2018, sehingga
penelitian ini hanya membahas tentang sistem swadana mandiri.
90
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendapatan usaha penggemukan sapi potong sistem swadana mandiri di
Kelompok Ternak Cempaka per 6 ekor adalah Rp 68.172.602,19, dan per
1 ekor adalah Rp 11.362.100,36, dan menguntungkan untuk diusahakan
dengan R/C rasio >1.
2. Pemasaran hasil produksi sapi potong sistem swadana mandiri hanya
melalui satu saluran pemasaran, yaitu Peternak PT GGL Pedagang
Besar Pedagang Kecil Konsumen.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
1. Bagi pemerintah agar lebih tegas dalam menetapkan kebijakan mengenai
bantuan tentang usaha penggemukan karena sangat membantu peternak
dengan skala usaha kecil.
91
2. Bagi Peternak agar lebih jujur lagi mengenai bagian penggunaan pakan
untuk sistem weaner gaduh dan mandiri, agar pencapaian bobot/berat
sapi potong maksimal.
3. Bagi peneliti lain sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan tentang
pengetahuan efesiensi pemasaran terhadap ketiga sistem kemitraan
dengan melibatkan beberapa responden pembeli.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka. Jakarta
Ali, Muhammad Fajar. 2017. Skripsi. Analisis Efisiensi Sistem Pemasaran Kubis
di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus. Universitas Lampung.
Bandar Lampung.
Anggraini, Nuni, Hasyim, Ali I., Situmorang, Suriaty. 2013. Analisis Efisiensi
Pemasaran Ubi Kayu di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Ilmu Agribisnis
Vol 1 No. 1 80-86. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Azzaino, Z. 2003. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian. Skipsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2013. Analisis PDB Sektor Pertanian. Badan Pusat Statistik
Indonesia. Indonesia.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2016. Populasi
Ternak Menurut Kabupaten di Provinsi Lampung Tahun 2015
http://disnakkeswan.lampungprov.go.id/ [2 September2016]
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016a. Populasi Daging Sapi Potong
Nasional Tahun 2011 – 2015 http://disnakkeswan.go.id/ [1 Oktober 2016]
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016b. Produksi Daging Sapi Potong
Nasional Tahun 2011 – 2015 http://disnakkeswan.go.id [1 Oktober 2016]
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016c. Populasi sapi potong menurut
provinsi di Pulau Sumatera tahun 2012-2015 http://disnakkeswan.go.id/ [2
September2016]
Duunga, Suparto, putri. 2014. Analisis Efisiensi Pemasaran Sapi Bali di
Kabupaten Bangli. Universitas Udayana. Denpasar
Herlambang, Bayu. 2014. Jadi Jutawan dari Berternak Sapi Potong dan Sapi
Perah. Flashbooks. Jogjakarta. Jakarta
Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman ternak dalam perspektif
reorientasi kebijakan subsidi pu puk dan peningkatan pendapatan petani.
93
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian,3 (1).
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi/analisis-
kebijakan- pertanian/346-joomla-promo11/2253-sistem-integrasi-
tanaman-ternak- dalam-perspektif-reorientasi-kebijakan-subsidi-pupuk-
dan-peningkatan- pendapatan-petani [2 Juli 2018]
Karokaro, Nike S., Tarigan, Kelin, dan Lubis, Satia N. 2011. Analisis Efisiensi
Pemasaran Kakao (Studi Kasus : Desa Lau Sireme, Desa Lau Bagot, Desa
Sukandebi, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Daeri. Jurnal Ilmiah.
Universitas Sumatera. Medan.
Kementrian Pertanian. 2013. Analisis PDB Sektor Pertanian. Pusat Data dan
Informasi Pertanian Sekertaris Jendral- Kementrian Pertanian.
Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis Perencanaan dan Pengendalian.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kotler, philip. 2002. Manajemen Pemasaran Edisi Millenium. PT. Ikrar Mandiri
Abadi. Jakarta.
Kotler, philip. 2005. Manajemen Pemasaran edisi kesebelas jilid 2. PT. Tema
Baru. Jakarta.
Kusuma, septa, amirudin. 2013. Strategi Pemasaran Sapi Potong di CV Septia
Anugrah Jakarta. Journal Institusi Pertanian Bogor. Bogor. [
htpp://Journal.ipb.id/index.php/jurnalmdi/ diunduh 24 September 2017]
Kuswaryan, S., S. Rahayu, C. Firmansyah, dan A. Firman. 2004. Manfaat
Ekonomi dan Penghematan Devisa Impor dari Pengembangan
Peternakan Sapi Potong Lokal. Jurnal Ilmu Ternak, 4(1) : 41-46
https://scholar.google.co.id/citations?user=oCfDFYAAAAAJ&hl=id [28
Agustus 2018]
Limbong, W. H dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mosher, A.T. 1987. Menggerakan Dan Membangun Pertaian. Yasaguna. Jakarta
Murtidjo, B. A. 2000. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta
Nurdiansyah. 2015. Analisis Pedapatan dan Pemasaran Kakao di Kecamatan
Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Lampung.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2016.
Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Di Indonesia Tahun 2000 – 2014
http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/ [1 September 2018]
Santosa, U. 2001. Tata laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya.
94
Satiti, R. 2017. Analisis sistm agribisnis dan kemitraan usaha pengemukan
sapi potong di koperasi gunung madu. Skripsi. Universitas Lampung.
Bandar Lampung.
Setiorini, Fajarwulan. 2008. Analisis Efisiensi Pemasaran Ika Mas, di Kabupaten
Tanggamus, Kecamatan Pagelaran, Provinsi Lampung. (Skripsi) Institut
Pertanian Bogor. Bogor. hhtp://repository.ipb.ac.id/bitstream/c08fse.pdf,
[8 Juli 2018]
Sinaga, Roma K, Maryunianta, Yusak, dan Jufri, Muhammad. 2011. Analisis
Tataniaga Sayuran Kubis Ekspor Di Desa Saribudolok Kecamatan
Silimakuta Kabupaten Simalungu. Jurnal Penelitian. Universitas Sumatera.
Medan
Siregar, B. 2008. Penggemukan Sapi Edisi revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, B. dan S. N. Tabing. 1995. Analisis Penggemukan Sapi Potong di
Desa Gebang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/index.php/jitv-ijavs [29 Agustus
2018]
Soedarsono. 1994. Pengantar Ekonomi Mikro. LP3ES. Jakarta Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi.1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Sudarmono, A. S dan Sugeng, Y. B. 2008. Sapi Potong. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Sugeng, Y. B. 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Bandung.
Tim Karya Tani Mandir. 2009. Pedoman Budidaya Ikan Garumi. Nuansa Aulia.
Bandung
95
LAMPIRAN