Upload
phungque
View
300
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Antologi puisi tadarus dan pahlawan dan tikus
karya A. Mustofa bisri
(tinjauan kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
Abdul Jalil
S.840209101
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puisi adalah keindahan dan kehikmahan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau
hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka
membentuk pandangan hidupnya. Sebagaimana yang disampaikan Marjorie Boulton (1979:5)
bahwa pengalaman berharga pertama dari puisi yang sangat pribadi adalah menyimpannya hanya
untuk diri sendiri, sebagai awal mencintai diri sendiri atau pengalaman diri tentang agama.
Selanjutnya Aminuddin (1987: 197) menyebutkan bahwa pada awal pertumbuhannya, puisi sangat
erat hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan dalam konteks religi dan kontemplasi (Islam),
tentunya telah disepakati bahwa kitab suci Alquran teruntai dalam rangkaian puisi yang indah.
Begitu pula dengan renungan para pujangga Jawa, seperti Ki Ranggawarsita yang
mengungkapkan bait-bait syairnya tersusun dalam bentuk tembang. Di dalamnya tentu banyak
unsur hikmah dan manfaat dalam mengembangkan filsafat hidup dengan berbagai masalah yang
sangat kompleks. Kompleksitas itu terjadi karena sebagai kreasi seni puisi dapat mengangkat bahan
penciptaannya dari kompleksitas masalah kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin
ada.
Perkembangan puisi Indonesia tidak bisa lepas dengan peran serta penyair dari pesantren atau
yang kebetulan berstatus kiai. Dari tahun ke tahun, puisi-puisi yang dilahirkan para ’penyair santri’
ini turut mewarnai dan bahkan memperkaya blantika sastra di tanah air. Sebutan untuk ’penyair
sastri’ yang mungkin belum tepat. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak akan dibahas istilah penyair
maupun sastra pesantren, sastra sufi, sastra Islam ataupun sastra dakwah. Meskipun dapat pula
disayangkan bahwa kuantitas mereka masih dapat dihitung dengan jari, sebut saja A. Mustofa Bisri,
D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W. M., Abdul Wachid B. S., Hamid Jabbar, generasi yang lebih
muda seperti, Emha Ainun Nadjib, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, dan Afrisal Malna.
Senada dengan hal itu, dikatakan oleh Aning Ayu Kusumawati (2009: 17-18) bahwa karya-
karya penyair santri tersebut telah banyak mengisi kepustakaan sastra dan Islam pada khususnya.
Selain tema-tema kerohanian, keagamaan dan kesufian yang sangat dalam dan intelektual sifatnya,
juga menyumbangkan banyak karya di bidang kemasyarakatan, politik, pemerintahan, dan juga
seni. Karya-karya mereka berupa prosa (cerita pendek, novel, esai) dan puisi yang kaya akan
renungan dan imajinasi.
Hal ini tidak meninggalkan salah satu fungsi dari pesantren, selain sebagai tempat untuk
ngangsu kaweruh dinul Islam, juga sebagai agen perubahan dan kontrol sosial. Seperti yang pernah
disuarakan oleh Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahwa pesantren itu merupakan subkultur
tersendiri dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari sistem pesantren tersebut bisa lebih bebas
menyuarakan ketimpangan-ketimpangan sosial yang disebabkan oleh pemerintah, institusi, dan
unsur lainnya.
Pada dasarnya, puisi juga juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat
universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, hakikat manusia, kematian, dan religius
(ketuhanan). Dengan kata lain, masalah-masalah tersebut juga memiliki nilai pendidikan yang
bermanfaat dan membawa hikmah. Penyair Indonesia yang menuangkan gagasan keindahan dan
kehikmahan di antaranya adalah A. Mustofa Bisri.
A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama dan seorang penyair. Maka dia memandang dunia
dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan dunianya adalah
pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Jamal D. Rahman (2004: 11) dalam
esainya “Kesadaran Sosial-Keagamaan Ulama-Penyair” mengatakan bahwa seorang ulama
memandang dunia dari sudut pandang agama; pandangan- dunianya merefleksikan kesadaran
religiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia dari intuisi kepenyairannya; pandangan-
dunianya merefleksikan bangunan intuitifnya.
Kedua sudut pandang tersebut akan bertemu dalam satu titik, baik ulama maupun penyair
berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya
dengan apa pun selain dirinya sendiri; pada saat yang bersamaan keduanaya berbicara masalah
sosial. Pada tingkat praktis, secara teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual,
dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair
menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis puisi sosial yang hiruk-pikuk.
Selanjutnya dikatakan oleh Jamal D. Rahman (2004: 12) dalam kajian yang sama, bahwa A.
Mustofa Bisri adalah seorang ulama sekaligus seorang penyair. Keduanya, ulama dan penyair,
dipilih semata-mata sebagai kategori dan strategi untuk membantu kita mendekati puisi-puisi A.
Mustofa Bisri. Sudah tentu, kita bisa mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang
penyair, tanpa mempedulikan sosok penulisnya sebagi seorang ulama. Namun, pendekatan seperti
ini akan membuat puisinya tercerabut dari tanah kelahirannya, tanah yang bisa menjelaskan banyak
hal tentang puisi-puisinya. Namun sebaliknya, mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya
seorang ulama, akan membuat kita meragukan kesungguhannya dalam mengeksplorasi bahasa.
A. Mustofa Bisri yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus adalah representasi dari
seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan, sastrawan, perupa yang
aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya, tak terkecuali lewat puisi-puisinya.
Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan kental dengan kritik-kritik sosial.
Ida Nurul Chasanah (2005: 4-5) mengatakan bahwa ciri khas dari puisi Gus Mus, antara lain
terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari,
dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik
kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive
simplicity (kesederhanaan yang menipu).
Hal ini juga diungkapkan oleh Umar Kayam dalam pengantarnya pada kumpulan puisi
Tadarus (1983: v-viii) bahwa A. Mustofa Bisri bukan hanya ”penjaga dan pendamba kearifan” dan
”penjaga taman kata-kata”, melainkan ia sudah menggenggam kearifan dan keindahan kata-kata.
Ciri khas yang lain dari sajak-sajak A. Mustofa Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk
mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak
bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.
Kehadiran A. Mustofa Bsiri (Gus Mus) menurut Jamal D. Rahman (2009: 30-31) dalam
blantika sastra Indonesia memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia, tetapi juga bagi
masyarakat Indonesia secara umum. Puisi-puisinya adalah suara kritis dari pedalaman pesantren,
terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Pada 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial
bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. A. Mustofa Bisri
muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras, namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya
membuat kita geram, namun juga tersenyum. Meskipun berupa senyuman pahit.
Di tahun 1980-an, rezim orde baru berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah
menyampaikan suara kritis apalagi ditujukan kepada pemerintah waktu itu. Suara kritis pasti
ditindas bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan orang untuk melakukan
kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan kritik keras dan lugas dengan risiko dilarang
aparat keamanan untuk tampil dimana-mana. Kedua, melakukan kritik secara jenaka, terutama
dengan cara menertawakan diri sendiri. Puisi-puisi A. Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan cara
kedua.
Dapat pula dikatakan, bahwa puisi-puisi A. Mustofa Bisri bagaimanapun pertama-tama adalah
karya seorang ulama. Dalam perspektif ini, hal-hal yang bersifat individual dan sosial merupakan
satu-kesatuan, bukan saja karena individu merupakan anggota sosial, melainkan terutama karena
individu harus mengekspresikan dan merefleksikan dirinya secara sosial. Maka ibadah yang paling
personal pun harus memberikan dampak sosial secara konkret. Secara teknis keagamaan sering
dikatakan, iman hendaklah diikuti oleh amal saleh, dan shalat sejatinya mencegah seseorang dari
maksiat apa pun.
Kerja keulamaan seorang A. Mustofa Bisri memberikan dasar pada isi puisi; kerja
kepenyairannya memberikan bentuk dengan mengelaborasi isi puisi itu sendiri dalam bahasa.
Adanya muatan pesan yang sarat dengan kehikmahan sekaligus keunikan dalam pengungkapan
bahasa dalam puisi-puisi A. Mustofa Bisri menjadi alasan khusus dalam penelitian ini. Utamanya
tinjauan pada dimensi kritik sosial, nilai religius dan nilai pendidikan.
Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian terhadap antologi puisi karya A.
Mustofa Bisri yang berjudul Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dengan tinjauan pada dimensi kritik
sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul penelitian
”Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Karya A. Mustofa Bisri (Tinjauan Kritik Sosial,
Nilai Religius, dan Nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri?
2. Bagaimanakah nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri?
3. Bagaimanakah nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan secara umum dan khusus, antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus karya A. Mustofa Bisri.
2. Tujuan Khusus
Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan:
a. Kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
b. Nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
c. Nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat secara teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah dan nilai
tambah dalam prespektif kajian sosiologi sastra, utamanya terhadap puisi. Lebih utamanya,
tinjauan kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema, nilai religius, dan nilai
pendidikan terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawn dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
2. Manfaat Praktis
Manfaat secara praktis dari penelitian ini antara lain:
a. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia agar dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat
memilih materi sastra (puisi) yang sarat dengan nilai-nilai, baik nilai keindahan dari segi
bahasa maupun nilai kehikmahan dan kemanfaatan dari segi maknanya.
b. Bagi para siswa agar dalam pembelajaran apresiasi sastra (puisi) dapat menggunakan
berbagai pendekatan sastra dalam memahami puisi, baik dari bentuk bahasa maupun makna
yang terkandung di dalamnya.
c. Bagi penulis dapat digunakan sebagai bahan penelitian perbandingan dalam memberikan
pandangan pemikiran dan kajian sastra (puisi), utamanya terhadap antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus A. Mustofa Bisri.
d. Bagi para peneliti dan penelaah sastra pada umumnya, dapat digunakan sebagai kajian awal
untuk tindak lanjut penelitian lain terhadap karya antologi puisi. Bahwa penelitian ini tidak
hanya merupakan wilayah pendekatan sosiologi sastra berupa tinjauan kritik sosial dalam
hubungannya dengan sikap penyair dan tema, nilai religius, dan nilai pendidikan semata.
Akan tetapi, masih banyak pendekatan karya sastra untuk menelaah struktur lahir dan struktur
batin atau hubungan keduanya terhadap antologi puisi, baik terhadap antologi puisi karya A.
Mustofa Bisri maupun terhadap karya penyair lainnya.
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Pengertian Puisi
Hidup keseharian manusia, sejak dulu hingga kini sebenarnya dilingkupi puisi. Pada zaman
dulu puisi sudah menjadi bagian kehidupan manusia secara tradisional baik dalam bentuk mantra
maupun pantun. Namun, bagaimana dengan kondisi masa sekarang bisa dilihat di berbagai
media cetak maupun elektronik, puisi merupakan salah satu media yang tepat untuk
mengungkapkan perasaan penyair kepada pembaca/penikmat puisi.
Mendengar kata puisi, sering kali menjumpai kesulitan untuk menjelaskan pengertian
puisi. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya ragam puisi, sehingga rumusan pengertian tentang
puisi, untuk salah satu bentuk puisi sesuai, bila diterapkan pada puisi yang lain tidak. Pada
dasarnya perumusan pengertian puisi itu sendiri tidaklah penting karena yang penting adalah
mampu memahami dan menikmati puisi yang ada.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis
‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem dan poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan
‘pembuatan’ karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri,
yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Menurut M. H. Abrams (1979: 48) dikatakan bahwa puisi adalah ekspresi tidak langsung
dalam kata-kata atau lebih tepatnya kata-kata berirama dari beberapa emosi yang menguasai
atau rasa yang berkuasa atau perasaan yang langsung muncul dalam diri peyair.
Selanjutnya M. H. Abrams (1971: 131) menyatakan bahwa puisi dari hampir segala usia
ditulis dalam bahasa khusus, "sebuah diksi puitis", yang meliputi kata, frase, pola sintaksis yang
bergaya, dan lebih dari sekadar percakapan biasa.
Mengutip pendapat Mc. Caulay, Hudson dalam Aminuddin (1987: 134) diungkapkan
bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media
penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan
garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan pengertian puisi di atas,
sementara ini dapatlah kita terima karena kita sering kali diajuk oleh suatu ilusi tentang
keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi,
penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisi.
Puisi adalah karya sastra. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat
konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambing (majas). Dibandingkan
dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih memiliki
kemungkinan banyak makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan
segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat.
Keduanya bersenyawa secara padu bagaikan telur dan adonan roti (Reeves, 1978: 26).
Selanjutnya Thomas Caelyle menyatakan bahwa puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat
musikan (Kennedy, 1971: 331).
Clive Sansom (1960: 6) memberikan batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa
yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan
emosional. Sementar itu, T. S. Elliot menambahkan bahwa yang diungkapkan dalam puisi adalah
kebenaran (Kennedy, 1971: 331).
Dari fisiknya James Reeves (1978: 26) memberi batasan bahwa puisi adalah ekspresi
bahasa yang kaya dan penuh daya pikat. Menurut Coleridge (1960) dalam Herman J. Waluyo
(2008: 26) bahwa bahasa puisi adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi
penentuannya secara ketat oleh penyair. Karena bahasanya harus bahasa pilihan, maka gagasan
yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang terbagus pula.
Beberapa pengertian yang diuraikan di atas adalah berkenaan dengan bentuk fisik puisi
dan bentuk batin puisi. Bentuk fisik dan bentuk batin lazim disebut pula dengan bahasa dan isi
atau tema dan struktur atau bentuk dan isi. Marjorie Boulton (1979: 17 dan 129) menyebut
kedua unsur pembentuk puisi itu dengan bentuk fisik (physical form) dan bentuk mental (mental
form).
Tentang puisi, Perrine (1979) dalam Herman J. Waluyo (2008: 27-28) menambahkan
bahwa puisi adalah bahasa universal dan hampir sama kuno. Orang yang paling primitif telah
menggunakannya, dan yang paling beradab telah dibudidayakan dalam segala zaman dan di
semua negara, puisi yang telah ditulis dan dibaca atau litened dengan penuh semangat oleh
semua jenis atau kondisi orang, oleh tentara, negarawan, pengacara, petani, dokter, ilmuwan,
rohaniwan, filsuf, raja-raja, dan ratu. Dalam segala usia ini terutama keprihatinan berpendidikan,
cerdas, dan sensitif, dan mengimbau, dalam bentuk sederhana, untuk yang tidak berpendidikan
atau bagi anak-anak. Mengapa? Ada dua alasan (1) Karena kenikmatan yang diberikan dan (2)
Suatu jenis bahasa yang mengatakan lebih dan lebih kuat daripada bahasa biasa.
Antara puisi dan bentuk sastra imajinatif tidak ada perbedaan yang tajam. Puisi dapat
diakui oleh susunan garis-garis pada halaman atau oleh penggunaan bahasa. Puisi adalah
semacam bahasa multidimensi. Bahasa biasa seperti yang kita gunakan untuk berkomunikasi
informasi pada dimensi. Itu ditujukan hanya sebagian dari pendengar, pemahamannya. Salah satu
dimensi adalah intelektual. Puisi, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pengalaman
setidaknya empat dimensi, (1) dimensi intelektual; (2) dimensi sensual; (3) dimensi emosional;
dan (4) dimensi imajinatif.
Puisi mencapai dimensi yang ekstra dengan menggambar lebih lengkap dan lebih
konsisten daripada bahasa yang biasa sejumlah sumber daya bahasa lebih dari yang khas puisi.
Di antara berbagai sumber daya adalah: konotasi, perumpamaan, metafora, simbol, paradoks,
ironi, kiasan, repetisi, ritme, dan pola.
Sementara itu menurut Herman J. Waluyo (2008: 28) bahwa puisi adalah bentuk karya
sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan
struktur batinnya.
Sutardji Calzoum Bachri ( 1981: 4) mendefinisi kata-kata dalam puisi adalah bahwa kata-
kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata
adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Sementara itu, menurut Suminto A. Suyuti (2002: 2-3) secara sederhana puisi dapat
dirumuskan sebagai bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-
bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual
penyair yang didasari oleh kehidupan individual dan sosialnya yang diungkapkan dengan teknik
pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri
pembaca atau pendengar-pendengarnya. Terkait dengan fungsi puisi menurut Hussain dalam
Nani Tuloli (2000: 27) bahwa puisi adalah media kata-kata yang merupakan pengalaman batin
pengarangnya.
Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur yaitu struktur fisik dan struktur batin.
Struktur fisik puisi berkaitan dengan bentuk, sedangkan struktur batin berkaitan dengan isi dan
makna. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 76), bahwa struktur fisik yang disebut juga dengan
metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi atau
majas, (5) versifikasi, dan (6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut
juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Adapun struktur
batin adalah struktur yang berhubungan dengan tema, perasaan, nada dan suasana, amanat atau
pesan.
Puisi terdiri dari dua unsur pokok yaitu struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu
terdiri dari unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur itu membentuk
totalitas makna yang utuh.
Dalam penafsiran puisi tidak dapat lepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik puisi
dapat memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik
itu adalah penyair dan kenyataan sejarah.
Berpijak dari uraian tentang beberapa pengertian puisi di atas, maka puisi dapat
didefinisikan sebagai salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa,
yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
2. Macam-macam Puisi
Ditinjau dari bentuk maupun isinya, ragam atau jenis puisi itu bermacam-macam.
Menurut Herman J. Waluyo (2008: 158-166) jenis puisi itu dibedakan dalam beberapa kelompok,
antara lain :
a. Puisi Naratif
Puisi naratif, uakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku,
perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita.
Termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah apa yang biasa disebut dengan balada yang
dibedakan antara folk ballad, dengan literary ballad, sebagai suatu ragam puisi yang berkisah
tentang kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan,
kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam
puisi naratif adalah poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat.
Puisi naratif juga dapat mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi
naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif,
misalnya : epik, romansa, balada dan syair (berisi cerita). Puisi epik yakni puisi yang di
dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan engan
legenda, kepercayaan, maupun sejarah. Puisi epik dibedakan antara folk epic, yakni bila nilai
akhir puisi itu untuk dinyanyikan dan literary epic yang berarti nilai akhir puisi itu untuk
dibaca, dipahami, dan diresapi
maknanya.
b. Puisi lirik
Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala
macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Menurut
Aminuddin (1987: 135) jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah
sastra modern di Indonesia seperti tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi
Djokodamono, dan Goenawan Mohammad.
Dalam puisi lirik penyair mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak
bercerita. Jenis puisi lirik misalnya: elegi, ode, dan serenade. Elegi, yakni puisi ratapan yang
mengungkapkan rasa pedih seseorang. Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang
yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan
c. Puisi deskriptif
Dalam puisi deskriptif, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap
keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi
yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya : puisi satir, kritik sosial, dan
puisi-puisi impresionistik. Satire juga merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan tidak
puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan
sebaliknya.
Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau
ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat. Kritik sosial adalah
puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau terhadap diri
seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan keadaan/orang
tersebut. Kesan penyair juga dapat kita hayati dalam puisi-puisi impresionistik yang
mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhaap suatu hal.
d. Puisi Fisikal
Puisi Fiskal bersifat realitis artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang
dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang dilihat, didengar, atau
dirasakan adalah merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, ballada, puisi yang bersifat
impresionistis, dan juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal. Puisi dramatik,
yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik
lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu.
Dalam puisi dramatik dapat saja penyair berkisah tentang dirinya atau orang lain yang
diwakilinya lewat monolog.
e. Puisi Platonik
Puisi Platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau
kejiwaan. Dapat dibandingkan dengan istilah “cinta platonis” yang berarti cinta tanpa nafsu
jasmaniah. Puisi-puisi ide atau cita-cita dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik.
Puisi-puisi religius dan didaktik juga dapat dikategorikan puisi platonik, yang mengungkap
nilai spiritual dan pendidikan secara eksplisit. Demikian juga puisi romantic yang
mengungkapkan cinta yang luhur seorang kekasih atau orang tua kepada anaknya kiranya
dapat dinyatakan sebagai puisi platonik.
f. Puisi Metafiskal
Puisi metafiskal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca
merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius di satu pihak dapat
dinyatakan sebagai puisi platonic (menggambarkan ide atau gagasan panyair) di lain pihak
dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan,
dan Tuhan). Puisi himne juga bagian dari puisi metafiskal. Himne, yaitu puisi yang berisi
pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa ataupun tanah air.
g. Puisi Subjektif
Puisi Subjektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan,
pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang ditulis kaum
ekpresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subjektif karena mengungkapkan keadaan
jiwa penyair sendiri. Demikian juga lirik di mana aku lirik bicara kepada pembaca.
h. Puisi Objektif
Puisi Objektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri.
Puisi objektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan adalah
puisi objektif, meskipun juga ada beberapa yang subjektif.
i. Puisi Konkret
Puisi Konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1970. X.J.
Kennedy dalam Herman J. Waluyo (2008:159) memberikan nama jenis puisi tertentu dengan
nama puisi konkret, yakni puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk
dari sudut penglihatan (poems for the eve).
j. Puisi Diafan
Puisi Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret dan bahasa figuratif, sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-
hari. Puisi yang demikian akan sangat mudah dihayati maknanya.
k. Puisi Prismatis
Dalam Puisi Prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas,
versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah
menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap.
l. Puisi Parnasian
Puisi Parnasian adalah sekelompok penyair Perancis pada pertengahan akhir abad 19
yang menunjukkan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan. Puisi parnasian
diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari oleh inspirasi
karena adanya mood dalam jiwa penyair.
m. Puisi inspiratif
Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk
ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke
dalam puisi itu. Dengan “mood”, puisi yang diciptakan akan mempunyai tenaga gaib,
mempunyai kekuatan untuk memikat perhatian pembaca.
n. Puisi Demonstrasi
Puisi demonstrasi menyarankan pada puisi-puisi Taufiq Ismail dan mereka yang oleh
Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini melukiskan dan meruapakan hasil refleksi demonstrasi
para mahasiswa dan pelajar – KAMI-KAPPI- sekitar tahun 1966. Menurut Subagio
Sastrowardojo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan
kelompok bukan perasaan individu.
o. Puisi Pamflet
Puisi pamfet juga menggunakan protes sosial. Disebut puisi pamfet karena bahasanya
adalah bahasa pamfet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan.
Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa protes pemikiran atau
perenungan yang mendalam.
p. Puisi Alegori
Puisi alegori adalah puisi yang sering-sering mengungkapkan cerita yang isinya
dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang
terkenal ialah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan. Dalam Kitab suci banyak
dijumpai dongeng-dongeng perumpamaan yang maknyanya dapat dicari di balik yang
tersurat.
Beberapa ragam atau jenis puisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam atau
jenis puisi merupakan maksud dan tujuan yang ingin dikemukakan penyair dalam
mengekspresikan perasaannya dalam wujud bahasa puisi. Oleh karena itu, ada juga penyair yang
menggunakan jenis puisi menjadi judul puisinya. Jenis puisi akan membantu pembaca
menafsirkan maksud yang ingin dikemukakan oleh penyair. Dalam penelitian ini , jenis puisi
yang erat dengan maksud dan tujuan yang ingin dikemukakan oleh penyair (A. Mustofa Bisri)
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah ragam atau jenis puisi deskriptif
dan metafisikal.
3. Struktur Lahir Puisi
Menurut Herman J. Waluyo (2008: 83-103) struktur lahir puisi yang disebut juga dengan
metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi atau
majas, (5) versifikasi, dan (6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut
juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Berikut dipaparkan
struktur lahir (metode puisi), penyimpangan bahasa, dan sistaksis dalam puisi.
a. Metode Puisi
1) Diksi
Diksi adalah pilihan kata atau rase dalam karya sastra (M. H. Abrams, 1979: 48).
Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin
diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga menjadi ciri khas
seorang penyair atau zaman tertentu.
2) Bahasa Figurasi atau Majas
Bahasa figurasi atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian
bahasa yang biasa, yang maka katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan
untuk mencapai efek tertentu (M. H. Abrams, 1979:4). Bahasa figurasi atau majas sering
juga disebut bahasa kias, memiliki beberapa jenis, yaitu personifikasi, metafora,
perumpamaan (simile), metonimia, sinekdoki, dan alegori (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:
93). Adapun pengertian paparan bahasa figurasi atau majas adalah sebagi berikut.
(a) Personifikasi
Personifikasi adalah kiasan yang menyamakan benda dengan manusia, benda-
benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperi manusia.
Personifikasi mempunyai efek untuk memperjelas imaji (gambaran angan) pembaca
karena dengan menyamakan hal-hal nonmanusia dengan manusia, empati pembaca
mudah ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan hal-hal yang digambarkan
atau disampaikan dalam puisi tersebut.
(b) Metafora
Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding
dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd & Lewis, 1970: 22).
Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yaitu pembanding (vehicle) dan yang
dibandingkan (tenor). Dalam hubungannya dengan kedua unsur tersebut, maka
terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora implisit. Disebut
metafora eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandingkan disebutkan,
misalnya cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Cinta sebagai hal yang
dibandingkan dan bahaya yang lekas jadi pudar sebagai pembandingnya. Disebut
metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja, misalnya sambal
tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai hal yang
dibandingkan.
(c) Metonimia
Metonimia (pengganti nama) diartikan sebagai pengertian yang satu dipergunakan
sebagai pengertian yang lain yang berdekatan (Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan
Willem G. Weststeijn, 1984:187). Metonimia berfungsi untuk memperjelas imaji
karena melalui metonimia dikatakan keadaan konkret dari hal-hal yang ingin
disampaikan, seperti tampak pada puisi ”benih” gambaran tentang Rahwana semakin
jelas karena dinyatakan sebagai si raksasa.
(d) Sinekdoke
Sinekdoke merupakan bentuk kiasan yang mirip dengan metonimia, yaitu
pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang lain. Sinekdoki dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu totem pro parte dan pars pro toto. Disebut totum pro parte
apabila keseluruhan dipergunakan untuk menyebut atau mewakili sebagian.
(e) Simile
Simile (perumpamaan) merupakan kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal
lain yang menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, seperti, laksana, semisal,
seumpama, sepantuni, atau kata-kata pembanding lainnya.
(f) Alegori
Alegori adalah cerita kiasan atau lukisan yang mengiaskan hal lain atau kejadian
lain (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:93). Alegori pada dasarnya merupakan bentuk
metafora yang diperpanjang.
(g) Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan.
Contoh : dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak
jatuh ....Kata seribu dalam pernyataan tersebut merupakan bentuk hiperbola.
(h) Ironi
Ironi merupakan pernyataan yang mengandung makna yang bertentangan dengan
apa yang dinyatakannya. Contoh ironi adalah : sebenarnya aku benci rumah/yang
memberiku kerinduan untuk pulang/ ... (Emha Ainun Nadjib, “Sajak Petualang”). Di
sini ada hal yang bertolak belakang, antara benci dan rindu terhadap rumah.
(i) Ambiguitas
Ambiguitas adalah pernyataan yang mengandung makna ganda (ambigu). Contoh
ambiguitas antara lain: Tuan, Tuhan bukan? Tunggu sebentar/saya sedang keluar
(Sapardi Djoko Damono, “Tuan”). Dalam pernyataan tersebut terdapat ambiguitas
karena dalam logika biasa, tidak akan terjadi si aku yang sedang ke luar, dapat
menyapa Tuhan. Ambiguitas tersebut antara lain akan menyatakan seseorang yang
tidak (belum) siap untuk menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan
dirinya.
(j) Paradoks
Paradoks merupakan pernyataan yang memiliki makna yang bertentangan dengan
apa yang dinyatakan. Contohnya antara lain: tidak setiap derita/jadi luka/tidak setiap
sepi/jadi duri ... (“Jadi,” Sutardji Calzoum Bachri). Pada pernyataan tersebut terdapat
paradoks, karena menyangkal kenyataan yang umum terjadi (setiap derita pada
umumnya melukai, setiap sepi pada umumnya menyakitkan).
(k) Litotes
Litotes adalah pernyataan yang menganggap sesuatu lebih kecil dari realitas yang
ada. Litotes merupakan kebalikan dari hiperbola. Contohnya antara lain: inilah lagu
yang sederhana/untuk-Mu/Denting-denting rawan/jiwa yang melayang-layang ...
“Lagu yang Sederhana” oleh Acep Zamzam Noor. Pernyataan tersebut mengandung
litotes karena merendahkan (menganggap kecil) lagu (pujian) yang disampaikan
kepada Tuhan.
(l) Elipsis
Elipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan, tetapi ditandai dengan ... (titik-
titik). Contohnya: biarkan waktu berlalu, karena aku hanyalah ... Pernyataan tersebut
tidak dilanjutkan. Elipsis banyak dipakai pada beebrapa puisi lama. Wahai angin ...
sampaikan salamku padanya.
3) Pengimajian
Pengimajian (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang
ditimbulkan melalui kata-kata (Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 79). Ada bermacam-macam
jenis citraan, sesuai dengan indra yang menghasilkannya, yaitu (1) citraan penglihatan
(visual imagery), (2) citraan pendengaran (auditory imagery), (3) citraan rabaan (thermal
imagery), (4) citraan pengecapan (tactile imagery), (5) citraan penciuman (olfactory
imagey), (6) citraan gerak (kinesthetic imagery).
4) Kata Konkret
Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata konkret dalam puisi dapat dibedakan antara (1)
lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna
leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain
(makna denotatif), (2) utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna
sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, dan (3) symbol, yakni bila kata-kata itu
mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang
harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata
tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berusaha menemukan
fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi, mengembalikan kata ataupun bentuk larik (kalimat)
ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis.
Lambang dalam puisi mungkin dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata
bentukan. Sedangkan simbol dapat dibedakan antara (1) blank symbol, yakni bila simbol itu,
meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena
acuan maknanya sudah bersifat umum, misalnya “tangan panjang”, “lembah duka”, “mata
keranjang”, (2) natural symbol, yakni bila symbol itu menggunakan realitas alam, misalnya
“cemara pun gugur daun”, “ganggang menari”, “hutan kelabu dalam hujan”, dan (3) private
symbol, yakni bila symbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya, misalnya
“aku ini binatang jalang”, “mengabut nyanyian”, “lembar bumi yang fana”. Batas antara
private symbol dengan natural symbol dalam hal ini sering kali kabur,
Sejalan dengan telaah kata di atas, S. Effendi (1973: 141) mengemukakan adanya
istilah pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi
konkret dan cermat. Adanya kekongkretan dan kecermatan makna kata-kata dalam puisi
membuat pembaca lebih mampu mengembangkan daya imajinasinya sekaligus
mengembangkan daya kritisnya dalam upaya memahami totalitas makna suatu puisi.
5) Versifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum)
Bila berbicara tentang versivikasi berarti membicarakan pula masalah bunyi dalam
puisi, yang meliputi konsep tentang :
(a) Rima, yang didalamnya masih mengandung berbagai aspek, meliputi: asonansi atau runtun vocal, aliterasi atau purwakanti, rima akhir, rima dalam, rima rupa, rima identik, dan rima sempurna. Baris dalam puisi, pada dasarnya merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali lewat karya. Akan tetapi, sesuai dengan keberadaan baris itu dalam puisi, maka penataan baris juga harus memperhitungkan masalah rima serta penataan pola persajakan. Dalam hal ini dikenal adanya istilah enjambemen, yakni pemenggalan larik suatu puisi yang dilanjutkan pada larik berikutnya. Sebagai salah satu elemen puisi, keberadaan larik di dalamnya tidak dapat kita lepaskan antara yang satu dengan lainnya. Dengan kata lain, larik-larik dalam puisi, meskipun pada umumnya merupakan satuan yang lebih besar daripada kata, pertalian makna antara larik yang satu dengan lainnya juga ditunjukkan oleh adanya mekanisme bunyi dalam hubungannya dengan rima.
(b) Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan
keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya
mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu.
Timbulnya irama itu, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan
intonasi maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral, dan
(c) Metrum atau ragam bunyi meliputi bunyi euphony, bunyi cacophony, dan onomatope.
Peranan bunyi dalam puisi untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas
atau kemerduan, menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap
penyairnya, dan menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan
sikap penyairnya.
6) Tata Wajah atau Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama.
Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf. Namun membentuk
bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau
tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak
berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi
sebuah puisi.
Peranan tipografi dalam puisi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga
untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Selain itu, tipografi juga berperanan
dalam menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan
makna tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.
b. Penyimpangan Bahasa
Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi cirri dari suatu angkatan atau periode
sastra. Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususnya dan bahasa sastra
umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil
memakai dan menentangnya (Teeuw, 1983:4). Geoffrey Leech dalam Herman J. Waluyo (2008:
78-80) menyebutkan adanya sembilan jenis penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu
atau beberapa aspek penyimpangan yang dominant pada jaman tertentu. Kesembilan
penyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai puisi dalam berbagai kurun
waktu sebagai berikut.
1) Penyimpangan Leksikal
Kata-kata yang digunakandalam puisi menyimpangn dari kata-kata yang kita
pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan
pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan tuntutan etis. Misalnya: mentari,
pepintu, keder, ngoyor, leluka, sakal, ngiau, barwah, marwah, dan sebagainya.
2) Penyimpangan Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjukkan pada satu makna, namun menunjuk pada
ganda. Makna kata-kata tidak selalu dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada
kesatuan makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata “sungai” bagi
penyair yang berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para
penangkap ikan dan penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata
“bulan” dalam puisi sitor berbeda dengan kata “bulan” dalam puisi Toto Sodarto Bachtiar.
3) Penyimpangan Fonologis
Untuk kepentingan rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam
puisi Chairil Anwar “Aku”, kata “Perih” diganti dengan “peri”. Dalam puisi lamanya, kata
“menggigil” diganti “menggigir”, kata “melayang” diganti dengan “melayah” , dan
sebagainya.
4) Penyimpangan Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah morfologi secara sengaja. Dalam puisi-puisi
Rendra kita temui istilah: lelawa, mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan
sebagainya, sebagai contoh penyimpangan morfologis.
5) Penyimpangan Sintaksis
Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat,
namun membangun larik-larik. Dapat kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan
huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering
pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat dalam puisi.
Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin
jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6) Penggunaan Dialek
Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan
bahasa Indonesia dirasa belum mewaiki ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan
kata-kata menyimpang dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Misalnya, Darmanto
Jt. Menggunakan istilah: adih laelae, tobil, nyemar, madep manteb, gemari, nastiti, dan
sebagainya. Linus Suryadi Ag. Menggunakan dialek Jawa: banget, kepradah, andhapasor,
biyung, wok kethekur dan sebagainya.
7) Penggunaan Register
Register adalah bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam
masyarakat. Register juga disebut dialek profesi. Sering kali dialek profesi ini tidak
diketahui secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah.
Misalnya dikalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap disebut
lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang, simbok, den mas,
ekaristi, sungkem bihten, dan sebagainya. Semua itu merupakan contoh register.
8) Penyimpangan Historis
Penyimpangan histories berupa penggunaan kata-kata kuni yang sudah tidak
digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk
mempertinggi nilai estetis. Misalnya, kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk,
lilih, bahana dan sebagainya. Penggunaan kata-kata yang “dakik-dakik” seperti dalam larik-
larik lagu Guruh Sukarno, dalam puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi tersebut.
9) Penyimpangan Grafologis
Dalam menulis kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakukan
penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku. Huruf besar dan tanda-tanda baca
tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh
efek estetik. Penyimpangan system tulisan tersebut disebut penyimpangan grafologis.
c. Sintaksis dalam Puisi
Meskipun kaidah sintaksis sering diabaikan dalam puisi, namun untuk menafsirkan
makna puisi kita hendaknya menafsirkan larik-larik puisi itu sebagai suatu kesatuan sintaksis.
Penafsiran makna itu mungkin hanya dalam konsep pikiran saja karena kita terbiasa
menghadapi wacana yang dibangun dalam kesatuan sintaksis. Pola sintaksis puisi juga
mempunyai fungsi semantik seperti dalam bahasa sehari-hari.
Pola sintaksis puisi dapat runtut seperti dalam prosa, namun sering kali penyair membuat
pola yang aneh, dibuat lain dari pada yang lain untuk menunjukkan kreativitas dan identitasnya.
Penyair dapat mengabaikan kaidah sintaksis yang harus dipatuhi, namun dapat juga
mengulang-ngulang pola-pola tertentu sehinga beraturan. Pertama disebut infrastrukturisasi
sedangkan yang kedua disebut suprastrukturisasi.
Karena pembicaraan tentang sintaksis sulit dilaksanakan dengan saksama, maka kesatuan
sintaksis dapat dibicarakan juga dalam larik dan bait. Sebuah larik mewakil kesatuan gagasan
penyair dan jika dibangun bersama larik-larik lain membangun kesatuan gagasan yang lebih
besar. Bait-bait puisi pada hakekatnya mirip dengan sebuah paragraf prosa. Di dalam bait itu
terdapat satu larik yang merupakan kunci gagasan. Pada seluruh puisi itu terdapat satu atau
beberapa bait yang merupakan klimaks gagasan penyair. Bait yang merupakan klimaks itulah
yang dapat menjadi kunci tema dan amanat yang hendak disampaikan oleh penyair. Namun
karena kebebasan penyair, belum tentu gagasan pokoknya terdapat dalam suatu bait tertentu,
yang di dalamnya ada beberapa baris atau larik puisi.
Istilah baris atau larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam
karya prosa. Hanya saja, sesuai dengan hak kepengarangan yang diistilahkan dengan licentia
poetica, maka wujud , ciri-ciri, dan peranan larik dalam puisi tidak begitu saja disamakan
secara menyeluruh dengan kalimat dalam karya prosa. Hal itu dapat dimaklumi karena bila
kalimat dalam karya prosa secara jelas diawali dengan huruf capital dan diakhiri dengan titik,
hal yang demikian tidak selamanya dijumpai dalam puisi. Selain itu, baris dalam puisi juga
sering kali mengalami pelesapan, yakni penghilangan salah satu atau beberapa bentuk dalam
suatu larik untuk mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa. Selain itu, struktur kalimat dalam
puisi sebagai suatu baris, tidak selamanya sama dengan struktur kalimat dalam karya prosa.
Kesamaan larik dengan kalimat hanya dapat kita tautkan dalam hubungannya dengan
satuan makna yang dikandungnya. Seperti halnya kalimat, larik pada umumnya merupakan
satuan yang lebih besar daripada kata sebagai suatu kelompok kata yang telah mendukung
satuan makna terentu. Apabila suatu larik hanya terdiri atas satu kata, maka satu kata itu telah
dianggap memiliki satu satuan makna tersendiri.
Dari uraian tentang struktur fisik puisi yang meliputi: metode puisi, penyimpangan
bahasa puisi, dan struktur sintaksis dalam puisi dapat disimpulkan, sebagai brikut.
Pertama, metode puisi berbeda dari metode prosa. Dalam menghayati puisi, telah yang
lebih mendalam ke struktur yang lebih kecil, meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret majas,
versifikasi, dan tipografi puisi. Enam unsur ini saling berkaitan dan membentuk kesatuan.
Keenam unsur metode puisi ini berkaitan dengan struktur batin puisi.
Kedua, pada hakikatnya kodrat bahasa puisi memang menyimpang dari bahasa sehari-
hari ataupun bahasa sastra lainnya. Penyimpangan itu dalam hal: leksikon, semantik, fonologis,
morfologis, sintaksis, dialek, register, historis, dan grafologis.
Ketiga, bentuk sintaksis puisi berbeda dari prosa. Penafsiran larik-larik puisi tidak dapat
disamakan dengan penafsiran larik-larik prosa, yang membentuk satu kesatuan sintaksis. Satu
larik puisi mungkin mengandung makna yang dapat dijabarkan lebih dari satu kesatuan
sintaksis, walaupun larik itu merupakan potongan kalimat atau hanya berupa satu patah kata
saja. Selanjutnya, uraian tentang struktur batin puisi akan dijelaskan pada paparan berikut.
4. Struktur Batin Puisi
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak
disampaikan penyair. Sedangkan untuk struktur batin I. A. Richards (1976: 180-181) menyebut
makna atau dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sence),
perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat
(intention). Keempat unsur itu menyatu dalam ujud penyampaian bahasa penyair.
Sebagai sebuah totalitas yang dibentuk oleh elemen atau unsur intrinsik tertentu, puisi menurut Rene Wellek & Austin Werren (1990:217) dapat dibagi dalam beberapa unsur, meliputi (1) bunyi
atau sound stratum, (2) arti atau units of meaning, (3) dunia atau realitas yang digambarkan penyair, (4) dunia atau realitas yang dilihat dari titik pandang tertentu, dan (5) dunia yang bersifat metafisis. Bila Wellek membagi makna dalam (1) arti, (2) realitas yang digambarkan penyair, (3) realitas yang dipandang dari sudut pandang tertentu, dan (4) dunia yang bersifat metafisis, maka I.A. Richards dalam Aminuddin (1987: 147) mengungkapkan bahwa makna itu meliputi: (1) sense (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) theme, serta intention.
Selain dua ragam pembagian makna di atas, dalam hal puisi atau karya sastra pada umumnya, Ingarden dalam Aminuddin (1987: 148) membedakan antara (1) makna, (2) dunia rekaan yang diciptakan penagrang, (3) point of view, yang berkaitan dengan masalah penyikapan dan (4) methaphysical qualities atau makna yang memiliki kualitas metafisis. Keseluruhan aspek makna yang terkandung dalam makna itu terpapar lewat media bunyi yang berkaitan dengan tata bahasa, yakni morfologi dan sintaksis yang dalam penalaahannya tidak dapat dilepaskan dari telaah makna yang berhubungan dengan berbagai model pemakaknaan yang ada.
Dalam pembahasan ini, acuan berpikir yang digunakan berorientasi pada pembagian makna dari Richards dalam Aminuddin (1987:149) dengan pertimbangan bahwa pembagian makna menurut Richards itu pengidentifikasian serta pembagiannya lebih mudah. Selain itu, bila pembaca sudah memahami unsur-unsur makna seperti diungkapkan I. A. Richards itu, untuk membawa ke pembagian makna seperti yang di ungkapkan Rene Wellek & Austin Warren maupun Ingarden sangat mudah. Paparan lebih lanjut tentang pembagian makna menurut I. A. Richards dalam Aminuddin (1987: 150) sebagai berikut.a. Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-master yang dikemukakan oleh penyair.
Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga
menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara
penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan, jika desakan yang kuat berupa rasa
belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah
dorongan untuk memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik
sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema
kedukaan hati karena cinta.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan
memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas,
obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-
konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi
obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).
Sementara itu menurut Aminuddin (1987: 150) tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi. Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun message meskipun tema itu dapat berupa sesuatu yang memiliki nilai rohaniah. Disebut tidak sama dengan pandangan moral maupun massage karena tema hanya dapat diambil dengan jalan menyimpulkan inti dasar yang terdapat di dalam totalitas makna puisi, sedangkan pandangan moral atau message dapat saja berada di dalam butir-butir pokok pikiran yang ditampilkannya. Dengan kata lain, bidang cakupan tema lebih luas daripada pandangan moral maupun message.
Bila dalam menganalisis totalitas makna puisi, menurut Aminuddin (1987: 151) pembaca dapat menampilkan pertanyaan, “Bagaimana makna keseluruhan puisi yang dibaca berdasarkan subject matter, feeling, dan tone yang telah ditemukan?” Maka dalam analisis tema pertanyaan yang tampil adalah, “Apakah ide dasar atau inti dari totalitas makna itu?” Masalahnya sekarang, bagaimanakah cara memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas.
b. Perasaan
Perasaan disebut juga feeling dan tone. Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal itu mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok pikiran teretntu, manusia pada umumnya juga dilatarbelakangi oleh sikap tertentu pula.
Tone adalah sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal yang demikian mungkin saja terjadi karena sewaktu berbicara masalah cinta maupun tentang cinta itu sendiri kepada kekasih atau suami/istri akan berbeda dengan sewaktu berbicara kepada teman. Dalam rangka menganalisis feeling dan tone dalam suatu puisi, pembaca (peniliti) akan berhubungan dengan upaya pencarian jawaban dari pertanyaan, “Bagaimana sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya?” serta “Bagaimana sikap penyair terhadap pembaca?” Jawaban yang diperoleh mungkin akan berupa sikap keterharuan, kesedihan, keriangan, semangat, masa bodoh, menggurui, atau berbagai macam sikap lainnya sejalan dengan keanekaragaman sikap manusia dalam menyikapi realitas yang dihadapinya.
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat
dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan
perasaan yang berbeda dari penyair yang lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan
berbeda pula. Dalam menghadapi tema keadilan social atau kemanusiaan, penyair banyak
menampilkan kehidupan pengemis atau orang gelandangan.
Menurut Herman J. Waluyo (2008: 140) perasaan Chairil Anwar berbeda dengan
perasaan Toto Sudarto Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C. Noer dalam
menghadapi pengemis. Toto Sudarto Bachtiar menghadapi gadis kecil berkaleng kecil dengan
perasaan iba hati karena rasa belas kasihnya. Penyair bahkan ingin “ikut gadis kecil berkaleng
kecil” itu. Rendra berperasaan banci dan bersikap memandang rendah para pengemis karena
Rendra memandang bahwa pengemis tidak berusaha keras untuk menopang kehidupannya.
Sikap Chairil Anwar sama dengan sikap Rendra. Mereka tidak memiliki rasa belas kasih
kepada para pengemis.
c. Nada dan Suasana
Nada atau sense adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkannya. Terdapatnya sense dalam suatu puisi, pada dasarnya akan berhubungan dengan gambaran dunia atau makna puisi secara umum yang ingin diungkapkan penyairnya. Dalam analisis puisi, keberadaan sense tersebut akan membuahkan pertanyaan, “Apa yang ingin dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakan?”
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia
ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya
menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi.
Sering kali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat
kita jumpai dalam puisi-puisi mbeling.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan
jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu
terhadap pembaca. Jika berbicara tentang sikap penyair, maka berbicara pula tentang nada.
Jika berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka
berbicara pula tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi
menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair dapat
menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan
suasana khusyuk. Begitu seterusnya.
Demikianlah nada puisi yang dapat dihayati melalui puisi. Dalam nada ini dapat
dihayati sikap penyair yang secara tersirat dapat ditangkap oleh pembaca. Jadi tidak secara
harfiah. Pembaca menghayati suasana yang ditimbulkan oleh nada puisi. Sebab itu, nada puisi
berhubungan erat dengan suasana.
d. Amanat (Pesan)
Amanat atau subject matter adalah pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakannya. Bila sense baru berhubungan dengan gambaran makna dalam puisi secara umum, maka subject matter berhubungan dengan satuan-satuan pokok pikiran tertentu yang secara khusus membangun sesuatu yang diungkapkan penyair. Oleh sebab itu, dalam analisis makna puisi dalam rangka mengidentifikasi subject matter, peneliti akan menampilkan pertanyaan, “Pokok-pokok pikiran apa yang diungkapkan penyair, sejalan dengan sesuatu yang secara umum dikemukakan penyairnya?” Untuk itu, terlebih dahulu perlu dibahas masalah langkah-langkah dalam menganalisis lapis makna puisi.
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami
tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan/amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk
menciptakan puisinya. Amanta tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di
balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair secara sadar
berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang
diberikan.
Menurut John Johnson (2000: 100-101) dikatakan bahwa banyak penyair yang tidak
menyadari apa amanat puisi yang ditulisnya. Mereka yang berada dalam situasi demikian
biasanya merasa bahwa menulis puisi merupakan kebutuhan untuk berekspresi atau
kebutuhan untuk berkomunikasi atau kebutuhan untuk aktualisasi diri. Bagaimanapun juga,
karena penyair adalah manusia yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa
dalam hal menghayati kehidupan ini, maka karyanya pasti mengandung amanat yang berguna
bagi manusia dan kemanusiaan.
Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan
amanat berhubungan dengan makna karya sastra (meaning and significance). Arti karya sastra
berarti lugas, obyektif, dan khusus, sedangkan makna karya sastra bersifat kias, subyektif dan
umum. Makna berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi dimana
penyair mengimajinasikan karyanya (hal ini erat dengan perasaan dan nada yang diungkapkan
penyair). Rumusan tema harus obyektif dan sama untuk semua pembaca puisi, namun amanat
sebuah puisi dapat bersifat interpretative, artinya setiap orang mempunyai penafsiran makna
yang berbeda dengan yang lain.
Walaupun tafsiran tentang amanat puisi dapat bermacam-macam, namun dengan
memahami dasar pandangan, filosofi, dan aliran yang dianut oleh pengarangnya, kita dapat
memperkecil perbedaan itu. Inilah gunanya teori sastra yang menyangkut pribadi pengarang.
Bahkan sejarah sastra, angkatan atau jaman terciptanya karya sastra akan menolong kita
mendekati amanat penyair secar lebih tepat. Tidak mungkin dapat dibenarkan jika puisi
seorang penyair yang benar-benar religius ditafsirkan sebagai puisi ateis karena penafsirannya
tidak memahami latar belakang keagamaan penyair.
Dari uraian tentang hakikat atau struktur batin puisi di atas dapat disimpulkan, bahwa
setiap puisi mempunyai struktur batin atau hakekat yang terdiri atas tema, perasaan, nada dan
amanat. Keempatnya merupakan jiwa puisi yang apdu. Uraian satu persatu hanya dimaksud
untuk memahami pengertiannya.
Tema puisi merupakan gagasan pokok atau “subject matter” yang dikemukakan penayir.
Dalam telaah ini dibahas tema yang sesuai dengan Pancasila, yakni: tema Ketuhanan,
kemanusiaan, patriotisme, demokrasi (kedaulatan rakyat), dan tema keadilan sosial. Tema-
tema tersebut secara keseluruhan mungkin ada dalam satu puisi; hal ini dimungkinkan karena
puisi memang sangat kaya akan makna.
Perasaan dalam puisi dalah perasaan yang disampaikan penyair melalui puisinya. Puisi
mengungkapkan perasaan yang beraneka ragam. Mungkin perasaan sedih, kecewa, terharu,
benci, rindu, cinta, kagum, bahagia, ataupun perasaan setia kawan. Tema puisi yang sama
yang dilukiskan dengan perasaan yang berbeda akan menghasilkan puisi yang berbeda pula.
Nada puisi ialah sikap batin penyair yang hendak diekspresikan penayir kepada
pembaca. Ada nada menasehati, mencemooh, sinis, berontak, iri hati, gemas, penasaran,
berontak, dans ebagainya. Nada puisi ikut mewarnai corak puisi itu. Suasana ialah suasana
abtin pembaca akibat membaca puisi.
Amanat dalam puisi adalah maksud hendak disampaikan atau himbauan atau pesan atau
tujuan yang hendak disampaikan penyair. Tiap penyair bermaksud ikut meningkatkan
martabat manusia dan kemanusiaan. Penghayatan terhadap amanat sebuah puisi tidak secara
obyektif, namun subyektif berdasarkan interpretasi pembaca. Peranan pengajaran Apresiasi
puisi sangat penting dalam meningkatkan daya apresiasi pembaca sehingga tafsiran akan
makna yang diberikan pembaca tidak jauh berbeda dengan maksud penyair. Sebab itu telaah
tentang sejarah, tentang penyair beserta aliran, filsafat, dan jamannya merupakan sumbangan
terhadap penafsiran amanat puisi, sehingga penafsirannya lebih mendekati kehendak penyair.
Hubungan antara struktur lahir dan struktur batin dalam puisi oleh Marjorie Boulton
(1979:7) dikatakan bahwa, bentuk fisik puisi adalah penampilan di atas kertas, dan jauh lebih
penting, dia adalah suara puisi. Ini bisa berupa suara ketika puisi dibacakan, atau suara hati
yang didengar ketika puisi itu dibacakan untuk diri sendiri. Termasuk di dalamnya meliputi:
irama, rima (pola persajakan), intonasi, dan berbagai jenis gema dan pengulangan. Sedangkan
bentuk batin (mental) puisi adalah formulir yang digambarkan sebagai konten dalam arti kata
biasa bila diterapkan untuk sastra. Hal itu meliputi: struktur gramatikal, urutan logis, pola
asosiasi, penggunaan imajinasi dominan, pola imajinasi, dan emosi. Semua itu (baik bentuk
fisik maupun bentuk batin) saling berhubungan untuk menjadikan puisi yang baik dari segi
kekuatan bahasa maupun segi imajinasinya.
Dari uraian tentang bentuk fisik dan bentuk batin puisi, dapat disimpulkan bahwa
keduanya dapat membentuk satu kesatuan bentuk puisi yang utuh dari segi kekuatan bahasa
maupun maknanya. Meskipun dalam bentuk fisik puisi akan ditemukan penyimpangan bahasa
dan pola sintaksis, hal itu hanyalah sebagai sumber kekuatan makna puisi.
5. Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi
Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika
mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan
ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya.
Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah
pendekatan di bawah ini:
a. Pendekatan Parafrastis
Pendekatan parafrastis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta
sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan
menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang
digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan
pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami
kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
b. Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang
melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni
yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan
hiburan dan kesenangan.
c. Pendekatan Analitis
Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan,
sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga
mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk
maupun totalitas maknanya.
d. Pendekatan Sosio-Psikologis
Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya,
masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada
saat cipta sastra diwujudkan.
e. Pendekatan Historis
Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar
belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra
yang dibaca serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan
sastra itu sendiri dari zaman ke zaman.
f. Pendekatan Didaktis
Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif,
maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya
intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari penelaahnya.
g. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan yang berusaha mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra,
serta peranan karya sastra dengan realitas sosial. Pendekatan juga dapat mengungkap realitas
sosial dan budaya pada sesuatu waktu tertentu, termasuk di dalamnya kehidupan, pandangan,
serta sikap dan pengetahuan pengarang terhadap realitas sosial.
Dalam pelaksanaannya, keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik
(saling berkaitan) tujuannya agar penelaah dapat menangkap kompleksitas aspek maupun
keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak
menutup kemungkinan untuk menggunakan keenam pendekatan di atas dalam rangka untuk
mendeskripsikan, menganalisis, dan menafsirkan serta menjelaskan tentang (1) kritik sosial, (2)
nilai religius, dan (3) nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
karya A. Mustofa Bisri.
6. Langkah-langkah dalam Pemahaman Puisi
Sudah dinyatakan di depan bahwa karya sastra tidak bersifat otonom. Dalam memahami
makna karya sastra, kita dapat mengacu ke berbagai hal yang erat berhubungan dengan puisi itu.
Dalam pemahaman puisi ini, hal yang dipandang erat berhubungan dengan puisi itu adalah
penyair dan kenyataan sejarah. Puisi-puisi yang relatif sulit ditafsirkan maknanya, biasanya dapat
ditafsirkan melalui pengenalan kita terhadap penyair dan kenyataan sejarah.
Langkah-langkah menelaah puisi menurut Herman J. Waluyo (2008: 167-170) dapat
melalui tahap-tahap sebagai berikut.
a. Struktur Karya Sastra
Pada tahap pertama kita berusaha memahami struktur karya sastra secara umum.
Apakah puisi ini berstruktur sebagai puisi lama, baru Angkatan 45, ataukah puisi
kontemporer. Apakah bentuk puisi itu konvensional ataukah nonkonvensional. Penelaah
berusaha memahami bait-bait dan lirik-lirik, serta memahami secara global tema apakah yang
dikemukakan oleh penyair.
b. Penyair dan Kenyataan Sejarah
Untuk melengkapi pemahaman secara global karya sastra yang kita telaah, maka kita
bahas siapakah penyairnya, bagaimana aliran filsafat, corak khas yang menjadi ciri dari jaman
penyair itu berkarya, kata-kata dan ungkapan khusus yang berhubungan dengan penyair,
aliran, filsafat, dan jaman saat puisi itu diciptakan. Dengan dilengkapi data tentang penyair
dan kenyataan sejarah ini, totalitas puisi akan mudah diinterpretasikan.
c. Telaah Unsur-unsur
Struktur fisik dan strukturbatin puisi ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus
mempunyai kepaduan dalam mendukung totalitas puisi. Telaah ini menyangkut telaah
unsur-unsur yang sekecil-kecilnya. Ditelaah bagaimana struktur fisik digunakan untuk
mengungkapkan struktur batin dan bagaimana struktur batin dikemukakan. Telaah yang
demikian menghasilkan pembahasan puisi secara lebih mendalam.
(1) Struktur fisik
Dalam telaah struktur fisik dibahas bagaimana kecapakan/kreatifitas penyair dalam
menciptakan puisi. Maka struktur fisik disebut pula metode puisi. Ditelaah bagaimana
penyair memilih, mengurutkan dan memberikan sugesti kata (diksi); bagaimana penyair
menciptakan pengimajian; bagaimana kata-kata diperkonkret; bagaimana penyair
menciptakan lambang dan kiasan (majas); bagaimana versifikasi dalam puisi itu; dan
bagaimana penyair menyusun tata wajah puisi. Telaah struktur fisik tidak dapat
dilepaskan dengan telaah struktur batin. Dapat juga ditelaah hubungan antara struktur
fisik dengan tuntutan pengucapan batin penyair.
(2) Struktur batin
Semua unsur struktur fisik digunakan penyair untuk mengungkapkan tema dan
amanat yang hendak disampaikannya. Dengan kata lain, struktur fisik dan struktur batin
atau struktur tematik dan struktur sintatik tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kemampuan memahami struktur fisik secara mendalam dan canggih memungkinkan
pembaca memiliki kemampuan menghayati makna yang hendak disampaikan oleh
penyair karena tema, perasaan, nada, dan amanat disampaikan melalui struktur fisik puisi.
Adanya jalinan antara struktur fisik dan struktur batin yang begitu kuat,
menyebabkan perlunya pembaca memahami kedua struktur ini secara bersama-sama.
Tingkat pemikiran, luapan rasa hati penyair, dan tingkat imajinasi (pengalaman) penyair,
diungkapkan dengan metode atau teknik pengucapan khas milik penyair. Nilai artistik
sebuah karya sastra terletak dari tepat tidaknya penyair mengungkapkan struktur batinnya
ke dalam struktur fisik (teknik). Jika takarannya tepat, akan terasa ada keharmonisan
antara kedua struktur itu. Keharmonisan antara kedua struktur itu tidak bersifat statis.
Pembaca menghendaki sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, faktor kreativitas peyair juga
ikut berperan dalam menentukan nilai artistik sebuah puisi. Jadi, struktur batin dan gaya
pengucapan disampaikan lewat bahasa penyair merupakan dua hal yang saling
berhubungan dan saling menentukan.
d. Sintesis dan Interpretasi
Setelah menelaah secara mendalam struktur puisi hingga ke unsur-unsurnya, kemudian
kita dapat mensintesiskan telaah kita itu. Sintesis itu dapat berwujud jawaban atas pertanyaan
sebagai berikut: (1) Apakah amanat (pesan) yang hendak disampaikan penyair? (2) Mengapa
penyair menggunakan bahasa yang demikian (hubungannya dengan perasaan dan nada)? (3)
Apakah arti karya tersebut bagi penelaah? (4) Bagaimana sikap penelaah terhadap apa yang
dikemukakan penyair? (5) Bagaimana penyair menciptakan puisi itu, apakah cukup mahir?
7. Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Sastra
Semua fakta sastra menyiratkan adanya penulis, buku, dan pembaca, atau secara umum
dapat dikatakan: pencipta, karya sastra, dan masyarakat. Fakta sastra merupakan bagian suatu
fakta hubungan pencipta dan masyarakatnya. Selanjutnya, Robert Escarpit (2008: 3) mengatakan
bahwa:
... Setiap fakta sastra merupakan bagian dari sirkuit, yang mana setiap titik sirkuit itu, kehadiran pencipta menimbulkan masalah interpretasi psikologi, moral, filsafat. Media karya sastra menimbulkan masalah estetika, gaya, bahasa, teknik. Adanya kolektifitas-publik menimbulkan masalah dari segi historis, politik sosial, bahkan ekonomi.
Mengingat fakta sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara berpikir
individual, bentuk-bentuk abstrak sekaligus struktur kolektif, antara sejarah (lingkungan sosial),
karya sastra, dan penciptanya. Oleh karena itu, pembahasannya cukup menyulitkan. Kekhasan
fakta sastra memunculkan adanya perhatian khusus, sehingga memunculkan sosiologi sastra.
Dikatakan oleh Robert Escarpit (2008: 14) bahwa adanya sosiologi sastra membantu pembaca
dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional-sejarah atau kritik saatra dalam mengamati
hubungan antara karya sastra, pencipta, dan sejarah (lingkungan sosial).
Perkembangan berikutnya sebagaimana yang dikemukakan Laurenson dan Swingewood
dalam Zainuddin Fananie (2000: 134) bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan
namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra. Dengan kata
lain, sebagaimana konsep Rene Wellek & Austin Warren (1990:111-112) bahwa sosiologi sastra
dianggap sebagai unsur ekstrinsik dan unsur ekstrinsik sebenarnya tidak hanya meliputi
sosiologi, melainkan juga unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, politik, psikologi,
dan sebagainya.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia.
Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, antara
karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya
saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial
budayanya, tetapi juga dengan alam.
Menurut Laurenson dan Swingeood dalam Zainuddin Fananie (2000: 134) terdapat tiga
perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra.
a. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial, yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
b. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan
c. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Ditinjau dari karya itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Michael Zerafta dalam
Elizabeth (1973: 212) bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak
diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karenanya,
karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu fungsi pewahyuan dalam pengertian
mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, ataupun budaya. Itulah sebabnya, karya
sastra dapat merupakan pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya.
Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra. Ia mengkhususkan diri dalam
menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk telaahan itu
dengan sendirinya dapat digolongkan ke dalam produk kritik sastra.
Sosiologi adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat
dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu
tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah
perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannnya, mekanisme kemasyarakatannya, serta
proses pembudayaannya.
Sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia bahkan sastra
diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial
tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu
merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu,
sesungguhnya sosiologi dan sastra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya
berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, politik.
Perbedaan antara keduanya, menurut Sapardi Djoko Damono (2005:124) adalah bahwa
sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus
permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan persaannnya. Adanya analisis ilmiah yang obyektif ini menyebabkan bahwa seandainya
ada dua orang ahli sosiologi mengadakan penelitian atas suatu masyarakat yang sama, hasil
penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan seandainya ada dua
orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut
pandangan tiap orang. Sedangkan menurut Awang H. Saleh (1980: 88) sosiologi bersifat
kognitif sedangkan sastra bersifat afektif.
Karena persamaan objek yang digarap, wajarlah kalau ada ahli yang meramalkan bahwa
pada akhirnya nanti sosiologi dapat menggantikan kedudukan sastra. Mungkin pendapat itu
muncul didorong oleh pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sosiologi dewasa ini di samping
adanya anggapan bahwa sastra akan atau telah mati. Tetapi suatu hal yang jelas adalah bahwa
sastra mempunyai kekhasan sendiri yang tidak dimiliki oleh sosiologi, oleh karena tampaknya
kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama untuk terus berkembang, dan tidak mustahil
pula kedudukan dapat saling bekerja sama, saling melengkapi.
Sosiologi sastra, adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah
sosiologi ini mempunyai tiga klasifikasi menurut Rene Wellek & Austin Warren (1990:111-112 )
yaitu:
a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang;
b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c. Sosiologi pembaca: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut hampir sama dengan klasifikasi yang dibuat oleh Ian Watt dalam
Sapardi Djoko Damono (2005:124) dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawam,
sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan mencakup tiga
hal:
a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa
mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya
sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang di telaah adalah sampai sejauh mana sastra
dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini di telaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan
sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
Dari klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra, yang merupakan
pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai
bagian yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta
pembacanya.
Berdasarkan pandangan para ilmuan tentang sosiologi sastra di atas, menurut Umar Junus
(1986: 3-24) ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan dalam kajian sosiologi sastra,
sebagai berikut.
a. Karya Sastra Dilihat sebagai Dokumentasi Sosio-Budaya
Teknik ini bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah refleksi dan realita. Kajiannya
tidak mengutamakan kesatuan struktur, tetapi setiap unsur dilihat sebagai satu kesatuan yang
lepas.
b. Penyelidikan Mengenai Penghasilan dan Pemasaran Karya Sastra
Teknik kajian ini menyentuh aspek antara lain: (1) penulis dan latar belakang sosio-
budaya, yang meliputi faktor-faktor: asal sosial, status sosial, seks (jenis kelamin), umur,
pendidikan, dan pekerjaan dan (2) hubungan antara penulis dan pembaca, yang menyangkut
masalah penulis mungkin digaji oleh seseorang atau kelompok untuk menulis (biografi raja
atau seseorang) atau penulis mendapat honor atau gaji dari tulisannya yang ditentukan oleh
pemasarannya pada pembaca.
c. Penelitian tentang Penerimaan Masyarakat terhadap Karya Sastra Seorang Penulis
Tertentu (Public Opinion)
Penerimaan karya sastra tertentu pada waktu (masa) dan daerah tertentu berkaitan
dengan iklim sosio-budayanya. Hal-hal yang perlu dikaji, antara lain: (1) bagaimana
penerimaan terhadap karya seorang penulis (pengarang) tertentu, baik secara aktif maupun
secara pasif dan (2) bagaimana model penerimaan secara aktif itu, apakah positif atau
negatif.
d. Pengaruh Sosio-Budaya terhadap Penciptaan karya Sastra
Teknik kajian ini menyentuh aspek antara lain: (1) masalah pranata sosial dan budaya
yang mempengaruhi penciptaan karya sastra dan (2) bagaimana sistem sosial di suatu
wilayah tertentu dapat mempengaruhi kepengarangan karya sastra. Pada masyarakat desa,
kota, perburuhan, pertanian, dan kalangan profesi tertentu bisa mempengaruhi jenis dan isi
karya sastra.
Dalam penelitian ini, keempat kajian dalam sosiologi sastra memungkinkan untuk
dilaksanakan secara keseluruhan. Akan tetapi, guna membatasi agar penelitian tidak merambah
pada wilayah kajian sastra yang lebih luas, maka kajian sosiologi sastra yang dilakukan dalam
penelitian ini, meliputi: (1) karya sastra dilihat sebagai dokumentasi sosio-budaya dan (2)
pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra.
8. Pemanfaatan Pendekatan Sosiologi dalam Sastra
Penggunaan pendekatan sosiologi dalam melakukan kritik sastra mendapat serangan
pedas dari para kritikus sastra. Salah satu serangan itu dilancarkan oleh Rene Wellek & Austin
Warren (1990:110) yang mengatakan bahwa pendekatan sosilogis atau pendekatan ekstrinsik
biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan
eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu,
sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Pendekatan sosiologis semacam itu terutama
di anut dan dilakukan oleh kritikus yang meyakini suatu filsafat sosial tertentu, misalnya para
kritikus Marxis, yang telah memiliki sikap tertentu terhadap hubungan sastra dan masyarakat,
sehingga sering yang mereka lakukan bukanlah kritik sastra, melainkan pengahakiman yang
didasarkan atas kriteria sosial politik yang sifatnya non sastra.
Ada anggapan, bahwa sastra sebagai karya seni yang menggambarkan masyarakat
cenderung untuk mengalihkan fungsi sastra menjadi “propaganda”. Hal itu dapat berakibat
segi-segi teknik dan seni diabaikan. Ada pula yang beranggapan, kalau sastra tidak
memperhatikan apa yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat dapat menyebabkan sastra
kehilangan fungsi sosialnya, kehilangan nilai didaktiknya.
Apakah suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat di mana dia dilahirkan?
Pada umumnya memang begitu, tetapi hal itu tidak harus. Ignas Kleden (1981:78)
menyebutkan bahwa sastra adalah karya individual yang didasarkan pada kebebasan mencipta
dan dikembangkan lewat imajinasi. Sastra pertama-tama merupakan cermin diri sang
pengarang itu sendiri dan persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila sastrawan kebetulan
mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran persoalan umum itu kini
terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua, karena kemampuannya nenembus suatu
kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin
belum terasa aktual sementara ini. Tentu saja dengan itu tidak dikatakan, bahwa sastra
seharusnya suatu yang serba asing dari kehidupan masyarakat. Sastra dapat juga
menyampaikan beberapa keluhan masyarakat masanya, tetapi itu tanpa pretensi mau menjadi
juru bicara jamannya dalam arti kata yang lengkap.
Menurut M. H. Abrams (1971:198) bahwa sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak
lepas dari tata masyarakat dan kebudayaannya. Semuanya itu sangat berpengaruh dalam karya
sastranya ataupun tercermin dalam karya sastranya. Karya sastra itu mencerminkan
masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat
dan kekuatan-kekuatan pada zamannya
Jalan pikiran yang dikemukakan Ignas Kleden di atas dapat dipahami. Kita dapat
membenarkan pendapat itu, bahwa karya sastra tidak harus merupakan cetak-ulang dari
kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat berupa suatu imajinasi yang
menggunakan lingkungan kemasyarakatan sebagai titik tolak. Dalam arti, sastra boleh jadi
berupa interpretasi kehidupan, serta boleh jadi pula suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan.
Keterkaitan sastra dengan masyarakat dan keterkaitan masyarakat dengan sastra dapat
menjadi diskusi yang panjang dan tak akan ada habis-habisnya. Kenyataan menunjukkan
bahwa ada sementara kritikus sastra yang memandang bahwa segi-segi kemasyaratan yang
terungkap dalam suatu karya sastra merupakan ukuran penting untuk digunakan, khususnya
dalam pemanfaatan kritik sastra di sekolah-sekolah. Memang terdapat beberapa pengarang
yang menggunakan karya sastra sebagai salah satu tempat memperjuangkan ide
kemasyarakatannya, antara lain dapat kita sebutkan Sutan Takdir Alisyahbana, yang dengan
gigih memperjuangkan ide pengembangan tata kemasyarakatan Indonesia baru. Lahirnya karya
seperti Les Misarables oleh pengarang Perancis, Victor Hugo, Si Midah Bergigi Emas oleh
Pramudya Ananta Toer, atau Atheis karya Achdiat Kartamihardja adalah rekaman-rekaman
kehidupan kemasyarakatan yang pernah dilihat atau dialami pengarangnya (Atar Semi, 1989:
60).
Di samping adanya pendapat yang menentang pendekatan sosiologis, namun tidak kurang
pula jumlah kritikus yang melihat manfaat kritik sastra yang menggunakan pendekatan
sosiologis ini. Dengan pendekatan sosiologis orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab
dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan
fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui
sebelum penelaah dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif, yakni berupa deskripsi
kemasyarakatan yang melingkupi suatu karya sastra. Hal ini sering memberi bantuan yang
besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan.
Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita dengan
memberikan keterangan tentang beberapa hal yang menjadi ciri khas karya sastra dalam suatu
periode tertentu atau pada suatu kurun waktu tertentu karya sastra memperlihatkan adanya
suatu tatanan masyarakat tertentu. Sebagai contoh, penelaah dapat mengungkap mengapa
beberapa kumpulan puisi A. Mustofa Bisri memperlihatkan suatu keadaan dan corak sosial
masyarakat Indonesia umumnya? Atau mengapa A. Mustofa Bisri cenderung untuk mengkritik
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya? Dengan bantuan sosiologi sastra hal
itu dapat diketahui dan dipahami secara lebih mendalam.
Dapat dipahami bahwa bilamana penelaah ingin mengetahui keadaan sosiologis dari
suatu masa karya tertentu ditulis, memang belum tentu dapat dikenal tata kemasyarakatan yang
ada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya dapat dikenal tema-tema mana yang kira-kira dominan
pada kurun waktu itu. Bisa terjadi seorang pengarang dengan motif tertentu mengemukakan
sesuatu yang mungkin keluar dari pola berpikir umum pada waktu itu.
Menurut Sapardi Djoko Damono (2005:124-126) pengarang-pengarang (sastrawan) tidak
sekadar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Mereka mengemban tugas yang
mendesak, memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari
nasib mereka sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. Sastra
karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu,
barangkali sastra merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk
mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial.
Sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan
bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakat
sebab masyarakat semakin menjadi rumit. Dalam bebrapa karya sastra yang ditulis pada abad
kedelapan belas di Inggris mungkin masih dapat ditemukan gambaran masyarakat secara utuh,
tetapi sementara masyarakat semakin berkembang dan struktur masyarakat semakin kompleks;
dalam novel modern, gambaran semacam itu sulit ditemukan.
Kalaupun karya sastra dikatakan mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditilik dari sudut lingkungan
tertentu yang terbatas, yang berperan sebagai mikro kosmos sosial: lingkungan bangsawan,
borjuis, seniman, intelektual, dan lain-lain.
Suatu bahaya yang mungkin timbul dalam menggunakan pendekatan ini adalah bila
kritikus yang menganut suatu paham politik tertentu mengadakan suatu telaah terhadap suatu
karya sastra yang tidak sejalan dengan aliran politik yang dianut kritikus. Hasil yang akan
dicapai dapat keluar dari hakekat kritik sastra yang sesungguhnya, untuk kemudian menjurus
kepada pertentangan paham politik.
Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologis ini adalah, bahwa
walaupun pengarang atau penyair melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya,
namun belum tentu menyuarakan kemauan masyarakatnya. Dalam arti, karya yang dihasilkan
tidaklah mewakili atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu. Akan
tetapi, hanya menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri. Bila pengarang atau penyair
kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergolak dalam masyarakatnya, hal itu merupakan suatu
kebetulan belaka atau kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat itu.
Oleh sebab itu, seorang penelaah yang menggunakan pendekatan sosiologis ini harus
berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang berhubungan dengan pertauatan antara masa
lahir suatu karya sastra dengan tata kemasyarakatan yang ada pada waktu itu. Sebab semua
kemungkinan bisa terjadi dengan daya kreativitas dan imajinasinya, pengarang justru
mengungkapkan tentang suatu masyarakat yang diinginkannya.
Para penelaah sastra yang menilai hasil-hasil sastra dengan menggunakan pendekatan ini
tentu akan mempertimbangkan, apakah pengarang dalam mengungkapkan segi-segi
kemasyarakatan itu dilakukan dengan cara yang menarik. Dalam arti, apakah karyanya mampu
menarik hati pembacanya untuk merasakan apa yang dipersoalkannya atau dapat membuat
pembaca merenung dan memikirkannya. Sebagai sebuah hasil seni, kritikus tentunya akan
melihat sejauh mana pengarang dapat menjalin dokumentasi sosialnya sehingga menjadi suatu
karya yang mempunyai nilai seni dan kemasyarakatan yang besar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi-segi
yang bermanfaat dan berdaya guna yang tinggi bila para penelaah sendiri tidak melupakan atau
memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan
faktor-faktor sosiologis, serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu
kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.
9. Pemahaman Unsur Sosiologi dalam Puisi
Salah satu unsur yang terkandung dalam puisi adalah unsur kehidupan sosial-budaya serta ragam sikap penyair terhadapnya. Dalam hal ini, pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami unsur-unsur itu adalah pendekatan sosiologis. Bila dalam kajian ini objek kajian lewat pendekatan sosiologis tersebut adalah puisi, hal itu bukan berarti bahwa prosa fiksi dan naskah drama tidak dapat dijadikan objek pembahasan. Hanya karena pertimbangan tujuan penelitian dalam pembahasan ini diangkat puisi sebagai objek pengkajian.
a. Unsur Gagasan tentang Kehidupan Sosial dalam Puisi
Kehidupan sosial masyarakat, baik secara individual meupun kelompok, dapat menajdi bahan penciptaan suatu puisi. Corak kehidupan sosial yang diangkat menjadi bahan penciptaan itu dapat beranekaragaman. Mungkin berupa adat kebiasaan, pandangan hidup, maupun perilaku suatu masyarakat yang ada hubungannya dengan masalah-masalah kehidupan sosial.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam usaha menemukan unsur kehidupan sosial serta sikap penyair terhadapnya lewat suatu puisi, menurut Aminudin (1987: 189) kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (a) membaca puisi yang diapresiasi secara berulang-ulang untuk menemukan gambaran totalitas maknanya; (b) menafsirkan dan menyimpulkan judul puisi, kata-kata, baris atau kalimat di dalamnya; (c) menafsirkan hubungan makna antara baris yang satu dengan baris yang lain untuk memahami satuan makna yang terdapat dalam sekelompok baris atau bait dalam puisi; (d) mengidentifikasi unsur sosial kehidupan yang dikemukakan penyair; (e) mengidentifikasi sikap penyair terhadapnya.
Apresiasi tentang unsur kehidupan sosial dalam suatu puisi juga dapat berorientasi pada
kehidupan seseorang sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Hal itu tampak bila penelaah mengapresiasi suatu puisi lewat pendekatan sosiologis yang sasarannya pada puisi-puisi yang mengandung pokok pikiran tentang kehidupan seseorang sejalan dengan pandangan hidupnya, profesinya, jenis kelamin, perilaku kehidupannya, dan lain-lain. Salah satu puisi yang dapat dijadikan objek apresiasi lewat pendekatan sosiologis yang tujuan akhirnya untuk memahami karakteristik seseorang sebagai bagian dari kelompok masyarakat.
b. Sikap Penyair terhadap Corak Kehidupan Sosial
Pada paparan di muka, telah diberikan juga sedikit uraian tentang sikap seorang penyair terhadap corak kehidupan sosial tempat ia berada. Sikap tersebut mungkin berupa sikap keikhlasan, masa bodoh, tidak setuju serta berbagai macam sikap lainnya sesuai dengan kompleksitas pikiran penyair itu sendiri.
Cara menentukan sikap penyair pada dasarnya tidak berbeda dengan cara memehami dan menemukan gagasan penyair sehubungan dengan corak kehidupan sosial masyarakat. Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa dengan memahami sikap penyair sekaligus dapat memahami dua masalah. Pertama, dapat memahami masalah yang berhubungan dengan karakteristik atau corak kehidupan suatu masyarakat. Kedua, dapat memahami bagaimana karakteristik penyair sebagai bagian dari masyarakatnya.
Bila dikaitkan dengan sejumlah ragam cara pemaknaan seperi yang telah dijelaskan di depan, pemaknaan lewat pendekatan sosiologis pada dasarnya adalah pemaknaan yang telah ditautkan dengan unsur eksternal puisi, tetapi secara kongruen memiliki mata rantai dengan puisi itu sendiri. Pemaknaan puisi lewat analisis unsur sosiologis, pada akhirnya juga dapat membuktikan bahwa pemaknaan secara ekstrinsik memang akan memperkaya perolehan makna secara struktural. Hal itu dapat digambarkan lewat gambar bagan berikut ini.
Bagan 1. Hubungan Kehidupan Sosial, Penyair, dan Puisi
Lewat puisi yang hadir tersebut, memang sangat mungkin penelaah hanya
melaksanakan pemaknaan lewat analisis struktural. Akan tetapi, bila keping struktural itu
dikaitkan dengan latar sosial budaya maupun pengarang, keping tersebut menjadi semakin
luas dan kaya sehingga diperoleh gambar bagan sebagai berikut.
Bagan 2. Hubungan Struktur Batin, Unsur Sosial Budaya, dan Sikap Penyair
Bertolak dari keseluruhan uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa (1)
terdapat hubungan yang sangat erat antara kehidupan sosial masyarakat dengan gagasan
yang dituangkan penyair dalam puisi yang diciptakannya, (2) masalah kehidupan sosial yang
dituangkan penyair dalam puisinya dapat beraneka ragam, mungkin masalah yang
berhubungan dengan kelompok, manusia pada umumnya, maupun manusia sebagai
individu, dan (3) sehubungan dengan corak kehidupan sosial masyarakat itu, penyair akan
menunjukkan adanya sikap-sikap tertentu, mungkin rasa ikhlas, rasa bersalah, rasa bimbang,
masa bodoh, dan berbagai macam sikap lainnya.
c. Hubungan antara Sikap Penyair dengan Gagasan tentang Corak Kehidupan Sosial dalam Suatu Puisi
Seperti halnya dalam hubungan antara gagasan dalam puisi dengan peristiwa kesejarahan, dengan kehidupan sosial masyarakat, puisi juga memiliki hubungan timbal balik. Yang dimaksud dengan hubungan timbal balik itu adalah penyair dapat mengangkat kehidupan sosial masyarakat sebagai bahan penciptaan, dan puisi yang diciptakan mampu menggambarkan kembali kehidupan sosial masyarakat itu kepada masyarakat pembaca, serta memberikan sikap atau penilaian terhadapnya. Paparan di atas sesuai dengan pengertian pendekatan sosiologis dalam mengapresiasi puisi. Hal ini terjadi karena pendekatan sosiologis adalah suatu pendekatan yang (1) berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial masyarakat, baik secara individual maupun kelompok yang mempengaruhi terwujudnya suatu gagasan dalam puisi, (2) terwujudnya gagasan tentang kehidupan sosial masyarakat, baik secara individual maupun kelompok dalam suatu puisi, dan (3) memahami sikap pengarang terhadap kehidupan sosial masyarakat yang dipaparkannya.
Menurut Susan Harrow (2002:824) dikatakan bahwa adanya saling pengaruh antara kehidupan sosial masyarakat dengan terwujudnya gagasan dalam suatu puisi itu sesuai dengan realitas keberadaan penyair itu sendiri. Sebagai manusia, penyair adalah anggota suatu kelompok kehidupan sosial masyarakat. Ia ditempa, dipengaruhi oleh kehidupan sosial masyarakat yang menjadi lingkungan kehidupannya. Akan tetapi, sebagai individu, penyair
juga mampu menampilkan sikap, penilaian terhadap suatu corak kehidupan sosial masyarakatnya.
d. Pemahaman Nilai Kehidupan dalam Puisi
Puisi adalah keindahan dan kehikmatan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau
hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam
rangka membentuk pandangan hidupnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena pada awal
pertumbuhannya, puisi sangat erar hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan bagi
yang beragama Islam, tentunya telah memaklumi bahwa Kitab Suci Al-Quran teruntai dalam
rangkaian puisi yang indah. Begitu juga renungan para pujangga Jawa, umumnya juga
disusun dalam bentuk tembang.
Unsur kehikmatan yang bermanfaat dalam mengembangkan filsafat hidup pembaca
dapat meliputi berbagai masalah yang sangat kompleks. Sejalan dengan hal itu diungkapkan
oleh Aminuddin (1987:197) bahwa kompleksitas itu terjadi karena, sebagai suatu kreasi
seni, puisi dapat mengangkat bahan penciptaanya dari kompleksitas masalah dalam
kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin ada. Oleh sebab itu, puisi pada
dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni
tentang masalah hakikat kehidupan, manusia, kematian, dan ketuhanan.
Dari uraian di atas dapat dipahami puisi akan mengandung masalah yang
berhubungan dengan masalah (1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, dan (4)
ketuhanan. Pemahaman pada keempat masalah itu pastilah akan memperkaya wawasan
hidup seseorang dengan kata lain, keempat masalah tersebut juga merupakan butir-butir
yang memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Oleh sebab itu, pendekatan dalam mengapresiasi puisi yang berusaha memahami
nilai-nilai kehidupan di dalamnya juga diistilahkan dengan pendekatan didaktis, yaitu
pendekatan yang bersandar pada nilai-nilai pendidikan yang meliputi hubungan manusia
dengan masalah(1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, dan (4) ketuhanan. Yang
perlu diperhatikan sekarang adalah, dalam menerapkan pendekatan didaktis puisi diperlukan
tahap kegiatan tertentu, yang berbeda dengan tahap kegiatan saat menerapkan pendekatan
didaktis dalam mengapresiasi karya fiksi meskipun secara umum memiliki strategi yang
sama.
Tahapan kegiatan yang ditempuh pembaca dalam menerapkan pendekatan didaktis
itu adalah (1) pembaca berusaha memahami pokok pikiran yang diungkapkan oleh
penyairnya serta berusaha mengidentifikasinya, apakah pokok pikiran itu berhubungan
dengan masalah hakikat manusia dan kemanusiaan, kehidupan, kematian, ataukah
ketuhanan, (2) berusaha memahami sikap penyairnya, dan (3) berusaha menafsirkan dan
merenungkan nilai-nilai didaktis yang terdapat di dalamnya.
Dengan menggunakan pendekatan semantik lewat analisis komponen atau lewat
projection rules ‘aturan proyeksi’ model Katz & Fodor (dalam Aminuddin, 1987: 200)
menggabungkannya dengan pendekatan parafrastis, pada dasarnya dapat juga ditemukan (1)
gambaran makna kata-kata kunci, (2) gambaran hubungan makna kata yang satu dengan
lainnya, (3) gambaran makna baris, (4) kemungkinan satuan-satuan makna, dan (5) pokok-
pokok pikiran yang terkandung dalam puisi.
Upaya penggalian nilai-nilai pendidikan lewat pokok pikiran di atas akan
berhubungan dengan berbagai macam kemungkinan pengembangan yang sangat luas. Agar
tidak terlalu luas, peneliti, seperti halnya saat menentukan gagasan atau tema puisi,
sebaiknya juga mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan yang disimpulkan itu, yaitu adanya
keterkaitan nilai-nilai pendidikan yang berhubungan dengan (1) manusia dengan dirinya
sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan
kematian, maupun (5) manusia dengan ketuhanan.
Sejalan dengan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, guru sebaiknya
menghubungkan nilai-nilai pendidikan yang digalinya dengan butir nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Misalnya, dari pokok pikiran nomor satu dapat disarikan butir nilai
kehidupan yang berhubungan dengan sila Kemanusiaan yanga dil dan beradab yang
berbunyi, “Setiap manusia pada akhirnya akan mati tanpa ada kecuali. Karena manusia
memiliki kodrat akhir yang sama, dalam hidupnya pun mereka juga harus menikmati hak
hidup yang sama. Mereka harus bersikap adil dan saling menolong antar sesama.”
Bahwa manusia hanya semacam budak dari Tuhan, pokok pikiran itu dapat
dihubungkan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bila pokok pikiran itu dihubungkan
dengan sifat tersebut dapat diangkat butir nilai yang berbunyi, “Manusia itu hanyalah
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Hidup dan matinya semata-mata di bawah kekuasan
Tuhan. Oleh sebab itu, dalam hidupnya manusia juga harus mengabdikan dirinya kehadirat
Tuhan”.
Beberapa rumusan yang mengandung nilai kependidikan di atas sebenarnya masih
dapat dikembangkan ke dalam berbagai rumusan lain yang lebih beragam. Hal itu tentu saja
akhirnya sangat ditentukan oleh daya tafsir pembaca dalam menyimpulkan berbagai
kemungkinan nilai didaktis yang terkandung dalam setiap satuan pokok pikiran yang ada.
Sementara keberadaan serta kekayaan nilai pendidikan dalam puisi, pada sisi lain juga
sangat ditentukan oleh ragam atau jenis puisi itu sendiri.
Sejalan dengan penelitian ini, antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya
A. Mustofa Bisri berjenis puisi deskriptif dan metafisikal. Larik-larik dan bait-bait puisi di
dalamnya merefleksikan nada atau sikap penyair tentang nilai-nilai kehidupan, khususnya
nilai religius dan nilai pendidikan.
10. Hakikat Nilai
Pada hakikatnya yang dimaksud dengan nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan
berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu
benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain (Atar Semi, 1988: 54). Lebih
lanjut Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk
menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki dan apa
yang ditolak.
Sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler (2001: 115) bahwa nilai itu tidak berubah, nilai
itu mutlak. Nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan. Tanpa memperhatikan hakikatnya, nilai itu
bersifat historis, sosial, biologis atau murni individual.
Nilai merupakan suatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri mampu
membedakan antara yang satu dengan lainnya. Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka
nilai-nilai tersebut akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara
bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 1991: 69).
Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan
keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalau dikejar oleh
manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai, manusia dapat merasakan
kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah.
Nilai mencakup beberapa komponen seperti yang dikemukakan oleh Kaswardi (1993:4),
yaitu memilih (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik),
sedangkan Bertens (1997:141) mengungkapkan pendapatnya tentang nilai yang sekurang-
kurangnya mempunyai tiga ciri yaitu: (a) nilai berkaitan dengan subjek, artinya kalau tidak ada
subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai; (b) nilai tampil dalam konteks praktis, dimana
subjek ingin membuat sesuatu. Artinya dalam yang semata-mata teoritis tidak akan ada nilai;
(c) nilai menyangkut sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Artinya objek yang sama bagi
berbagai subjek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda.
Masih berbicara tentang nilai, Kattsoff dalam Soejono Soemargono (1986: 332)
menyatakan nilai mempunyai empat arti yaitu: (a) mengandung nilai artinya berguna; (b)
merupakan nilai artinya, ‘baik’ atau ‘benar’ atau ‘indah’; (c) mempunyai nilai artinya
merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan orang mengambil ‘sikap
menyetujui’ atau mempunyai sifat nilai tertentu; (d) dmmberi nilai artinya menanggapi sesuatu
sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Suatu nilai jika dihayati seseorang akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara
bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini sesaui dengan
pendapat Bloom dalam Soelaeman (1988:44) yang mengatakan bahwa masalah nilai-nilai
kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotor dan kognitif, akan tetapi juga untuk
perwujudannya dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang
afektif.
Sementara itu menurut S. Wisni Septiarti (2006: 59) dikatakan bahwa nilai secara garis
besar ada dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi
(values of giving). Nilai nurani lebih banyak mengarah pada perilaku sert tata cara
memperlakukan orang lain. Sedangkan nilai memberi adalah nilai yang diemplementasikan
atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan.
Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan lagi menjadi : (1) nilai materi yang mencakup
kebutuhan pangan, sandang, dan papan; (2) nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama
antarsesama yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan, kemesraan dan sebagainya;
(3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung jawab atas kehidupan pribadi; (4) nilai
estetika menyangkut keindahan dan rasa seni; (5) nilai spiritual yang menyangkut kebutuhan
manusia akan kesempurnaan dan kelengkapan dirinya.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan segala sesuatu tentang baik
buruk yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan
nilai, manusia dapat merasakan kepuasaan, baik kepuasaan lahiriah maupun batiniah.
a. Nilai Religius dalam Sastra
Dikatakan oleh Y. B. Mangunwijaya (1982: 11), bahwa religius lebih banyak
memandang pada aspek yang ada di dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap
personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa.
Religius mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman diri pribadi
manusia.
Sementara itu oleh Rabendranath Tagore (2002:163) dikatakan bahwa religius lebih
banyak bergerak dalam tata cara yang cirinya lebih intim, seperti ekspresi seseorang dalam
baktinya pada Tuhan, mengatupkan mata selalku konsentrasi diri pasrah dan siap
mendengarkan sabda Ilahi dalam hati.
Religius tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman,
penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Religius adalah
hasrat untuk hidup dalam karunia Tuhan, hasrat untuk hidup dalam duni yang nyata dan
berdaya, dan tidak di dalam suatu dunia khayalan yang cuma terkurung di dalam kejadian-
kejadian subjektif suatu kenisbian yang tiada henti (Y. B. Mangunwijaya, 1982: 16).
Dikatakan oleh Y. B. Mangunwijaya (1982: 11) pada awal mula sastra adalah
religius. Artinya, akar utama sebuah cipta sastra adalah sebuah pengalaman religius
pengarang akan kekaguman dirinya terhadap sang Khaliq dan ciptaan-Nya.
Dalam banyak karya sastra (puisi, prosa, dan drama) yang mengutarakan rasa
kekaguman manusia (pengarang atau penyair) terhadap diri sendiri, lingkungan, bahkan
kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Disengaja maupun tidak, pengarang atau
penyair dalam karyanya yang paling ekstrem sekalipun akan dapat ditarik benang merah
keberadan nilai religious di dalamnya, misalnya novel Atheis karya Akhdiat K. Mihardja.
Apalagi dalam karya puisi-puisi sunyinya Emha Ainun Nadjib, A. Mustofa Bisri, Hamid
Jabbar, D. Zawawi Imron, Afrisal Malna, dan lain-lain. Jelas, akan menampak aspek atau
nilai religius di dalamnya.
Menurut William James (1958:261) dikatakan bahwa manusia awam dan pemikir
bersepakat bahwa hakikat manusia – lebih-lebih makrifat manusia – tetaplah makhluk
ruhaniah kendati senantiasa mengada bersama badan. Pada saat bersamaan, badan menjadi
menifestasi ruhani sekaligus ruhani menjadi spiritualisasi badan. Badan tanpa ruhani
bukanlah manusia pada satu sisi dan pada sisi lain ruhani tanpa badan juga bukan manusia.
Karena itu, manusia adalah makhluk ruhaniah yang membadan atau meraga. Sebagai
makhluk ruhaniah, dengan berbagai sudut pandang dan cara pandang, dia senantiasa
memiliki kecenderungan untuk selalu pulang kembali kepada hakikat-makrifatnya;
berjumpa dan atau bersatu dengan hakikat terdalamnya sebagai makhluk ruhaniah.
Untuk itu, manusia memiliki tabiat untuk selalu melakukan olah keruhanian, baik
secara melembaga maupun secara pribadi. Keruhanian telah menjadi salah satu ciri
keberadaan manusia di dunia; dalam arti setiap manusia hidup di dunia selalu melakukan
olah keruhanian dengan takaran masing-masing manusia berbeda; dengan jalan masing-
masing yang bisa berbeda atau mirip. Tak ada manusia yang tak melakukan olah keruhanian.
Tanpa olah keruhanian, manusia bakal kehilangan eksistensinya sebagai makhluk ruhaniah.
Maka, olah keruhanian menjadi menifestasi keberadaan manusia.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, spiritualitas dan religiositas merupakan dua
nama atau sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun
sudah sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia susuna Pusat Bahasa memang belum
menjelaskan secara gamblang perbedaan istilah spiritualitas dan religiositas; hanya
menjelaskan istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral sedang
istilah religius sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna spiritualitas
lebih luas daripada makna religiositas kendati sama-sama merujuk olah keruhanian dan atau
jalan keruhanian.
Pada umumnya spiritualitas dipahami sebagai olah keruhanian dan jalan keruhanian
yang terikat atau bertumpu-bersandar pada agama dan kepercayaan-kebatinan tertentu,
sedangkan religiositas dipahami sebagai olah keruhanian dan jalan keruhanian yang terikat-
bersandarkan agama tertentu. Namun, terlepas dari persoalan semantis ini, yang jelas, baik
spiritualitas maupun religiositas selalu berkenaan dengan kebertautan-keterikatan atau
kebertemuan-keberjumpaan manusia dengan Sesuatu nan Agung.
Kendati bukanlah ajaran baku-resmi spiritualitas atau religiositas, teks-teks literer-
naratif-kreatif Indonesia – baik berupa puisi, cerpen maupun novel – terbukti kerap menjadi
arena atau gelanggang menggelar ajaran dan membabar pengalaman spiritual (sufisme) atau
religius yang memesona tiada termaknai. Sastrawan-sastrawan Indonesia acapkali
mengeksposisikan berbagai persoalan sufisme dan atau religius dalam teks-teks naratif-
kreatif yang mereka gubah. Tak ayal, teks-teks puisi maupun naratif-kreatif karya mereka
menggemakan suara-suara spiritual, sufistis, dan atau religius.
Simpulan yang dapat diuraikan terkait dengan penelitian ini, bahwa nilai religius dapat dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Sealanjutnya akan terurai dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial. Dalam karya sastra (khusunya puisi), hal tersebut akan disampiakan penyair dalam lahiriah bahasa puisi.
b. Nilai Pendidikan dalam Sastra
Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang
terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu
terwujud dalam suatu pandangan artistik, filofis, maupun agamis sehingga akan
mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembaca.
Nilai pendidikan pada dasarnya juga merupakan suatu nilai yang telah beranjak jauh
dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra (Aminuddin, 1987: 47-49). Sebab
itulah penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya
kemampuan intelektual, kepekaan rasa maupun sikap yang mapan dari pembacanya.
Bagi pembaca pada umumnya, pemahaman terhadap nilai pendidikan dalam tingkatan
dalam pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya
akan terasa lebih banyak mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca pada umumnya
berusaha mencari petunjuk bahwa keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi, pada sisi
lain sikap itu juga berkontras dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan,
petuah atau nasihat dari orang lain yang bernada menggurui. Oleh sebab itulah, dengan
menemukan nilai-nilai pendidikan lewat daya pikir kritisnya sendiri, nilai yang didapat akan
lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih menikmatkan batinnya.
Dalam pelaksanaannya, pemahaman terhadap nilai pendidikan ini diawali dengan
upaya pemahaman gagasan atau tema yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Gagasan atau
tema itu pada dasarnya disarikan dari paparan sikap atau pandangan pengarang, baik berupa
tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau
penyairnya (Aminuddin, 1987: 47-49).
Selanjutnya, terkait dengan hal itu, diungkapkan pula oleh Aminuddin (1987:197)
bahwa sebagai suatu kreasi seni penyair, puisi dapat mengangkat bahan penciptaanya dari
kompleksitas masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin ada.
Oleh sebab itu, puisi pada dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang
bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, manusia, kematian, dan
ketuhanan.
Jadi, pemahaman nilai pendidikan, jika dirangkaikan dengan pemahaman terhadap
nilai-nilai lain (misalnya: nilai religius) menjadi satu-kesatuan pemahaman yang saling
melengkapai satu dengan yang lain, sehingga jika digunakan dalam apresiasi sastra (puisi)
akan mendapat hasil pemahaman yang seimbang. Akan tetapi, pemahaman terhadap kedua
nilai tersebut, membutuhkan kepekaan yang maksimal bagi pembaca sastra (puisi) untuk
mengetahui pesan yang ingin disampaikan penyair dalam puisi-puisinya.
Simpulan yang dapat diuraikan terkait dengan penelitian ini, bahwa nilai-nilai
pendidikan dalam puisi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yang berpengaruh
di dalamnya, yakni berusaha memahami nilai-nilai kehidupan di dalamnya juga diistilahkan
dengan pendekatan didaktis, yaitu pendekatan yang bersandar pada nilai-nilai pendidikan
yang meliputi hubungan manusia dengan masalah(1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3)
kematian, dan (4) ketuhanan.
B. Penelitian yang Relevan
Sebagai bahan tinjauan terhadap hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan, maka penulis
mengambil dua hasil penelitian yang relevan. Adapun hasil-hasil serta aspek-aspek khusus terhadap
penelitian yang pernah dilakukan dan sekaligus persamaan dan perbedaannya dengan penelitian ini,
sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama, penelitian yang telah dilakukan oleh Panji Kuncoro Hadi (2009) berjudul ”Kritik
Sosial dalam Antologi Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Sebuah Tinjauan Sosiologi
Sastra)”. Penelitian tersebut dapat diungkap keberadaan prespektif sosiologis kritik sosial Wiji
Thukul yang berdasarkan dua aspek, yaitu aspek (1) protes sosial dan (2) realisme sosial. Menurut
hasil penelitian, kritik sosial Wiji Thukul didasarkan dua aspek tersebut. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa penyair menjadikan puisi sebagai media kritik sosial, sehingga dengan
penuh kesadaran penyair melakukan kritik terhadap kondisi sosial yang terjadi. Sedangkan realisme
sosial lebih merupakan catatan harian penyair tentang kehidupan sehari-harinya secara apa adanya.
Persamaannya dengan penelitian ini dapat dilihat dari tujuan penelitiannya, yakni mengkaji dimensi
kritik sosial terhadap antologi puisi dengan pendekatan sosiologi sastra. Perbedaannya terletak pada
data penelitian. Data penelitian tersebut di atas, berupa antologi puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya
Wiji Thukul. Sedangkan data penelitian ini, berupa antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
karya A. Mustofa Bisri. Selain itu, dalam penelitian ini, penulis tidak hanya melakukan kajian pada
dimensi kritik sosial saja, tetapi juga kajian pada nilai religius dan nilai pendidikan.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Elis Hidayati (2006) berjudul ”Masalah Pendidikan
dalam Potret Pembangunan dalam Puisi Karya W. S. Rendra”. Penelitian tersebut dapat diungkap
bahwa W. S. Rendra dalam antologi puisi yang berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi mampu
merespon situasi lingkungan dan sosialnya secara baik, sehingga karya-karyanya dalam antologi
puisi tersebut mencapai ekspresi yang padu dengan realita. W. S. Rendra berhasil menulis catatan
hitam tentang dunia pendidikan (di Indonesia). Persamaan dengan penelitian ini terletak pada kajian
terhadap nilai pendidikan terhadap antologi puisi dalam prespektif sosiologi sastra. Perbedaannya,
data penelitian tersebut di atas, berupa antologi puisi Potret Pembangunan dalam Puisi Karya W.
S. Rendra. Sedangkan penelitian ini, data penelitiannya berupa antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Selain itu, dalam penelitian ini, penulis tidak hanya
menitikberatkan kajian pada nilai pendidikan saja, tetapi juga kajian pada dimensi kritik sosial dan
nilai religius.
C. Kerangka Berpikir
Secara sederhana kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan
berikut.
Bagan 3. Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar bagan di atas dapat dideskripsikan, bahwa pemaknaan puisi tidak hanya
didasarkan pada unsur internal puisi saja, yakni struktur lahir (metode puisi) dan struktur batin
(hakikat puisi). Akan tetapi, perlu adanya beberapa aspek yang dapat dijadikan bahan pijakan
pembaca (penelaah), yakni pengetahuan dan pemahaman terhadap sosiologi sastra dan penyair
(meliputi: kehidupan dan pengalaman batin, sikap terhadap kehidupan, dan pemahaman
terhadap nilai religius dan nilai pendidikan) yang melatari keberadaan puisi.
Dengan demikian, penelitian terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
karya A. Mustofa Bisri menggunakan kerangka berpikir yang tidak hanya didasarkan pada
struktur lahir dan struktur batin saja, melainkan dengan mensinergikan beberapa aspek yang
koheren dengan wujud puisi, yakni pengetahuan dan pemahaman penulis tentang soisologi
sastra dan penyair (meliputi: kehidupan dan pengalaman batin, sikap terhadap kehidupan, dan
pemahaman terhadap nilai religius dan nilai pendidikan) yang melatari keberadaan puisi.
Sebagaimana tujuan penelitian ini, yakni untuk mendeskripsikan dan menjelaskan dimensi
kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam prespektif sosiologi sastra terhadap
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian
Peneliatian ini akan dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2010 dengan
jadwal kegiatan sebagai berikut.
No Alokasi Waktu Kegiatan
1. Januari – Februari 2010 Pengajuan proposal dan perizinan
2. Februari - Maret 2010 Pengumpulan data
3. Maret - Mei 2010 Reduksi dan analisis data
4. Mei - Juni 2010 Penyusunan laporan penelitian
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam
Lexy J. Moleong (2004: 4) metode kualitatif-deskriptif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.
Pada pengertian lain disebutkan oleh Lexy J. Moleong (2004: 6) bahwa penelitian kualitatif-
deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek
penelitian, misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
C. Data Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis. Data-data tersebut adalah (1) data
objektif dan (3) data afektif. Data objektif bersumber pada karya antologi puisi itu sendiri. Data
objektif ini berupa tekstual dari antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri. Data afektif diperoleh dari dari tanggapan/reaksi penulis (penelaah) terhadap antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Data ini dihimpun secara maksimal guna
memperoleh data yang lebih maksimal, dengan menggunakan berbagai pertimbangan pemikiran.
Utamanya dimensi kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam prespektif sosiologi
sastra. Selain itu, digunakan pula pertimbangan kedudukan dan keberadaan penyair (A. Mustofa
Bisri) dalam kehidupan sosial dan pengalaman batin serta sikap penyair terhadap kehidupan yang
melatari penciptaan antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
D. Sumber Data
Puisi-puisi yang menjadi sampel dalam penelitian ini berperan sebagai sumber data primer,
data primer atau data utama ini diharapkan dapat mewakili objek penelitian terhadap analisis teks
puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Sehubungan
dengan pengertian data di atas, data primer dalam penelitian ini adalah data kebahasaan dan data
aspek-aspek lainnya sebagai pendamping kebahasaan yang muncul, meliputi sosiologi sastra, nilai
religius, dan nilai pendidikan yang bersifat koheren dengan teks puisi.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis dokumen
dan (2) wawancara. Masing-masing akan dijelaskan dalam uraian berikut.
Pertama, analisis dokumen atau kajian isi menurut Weber dalam Lexy J. Moleong
(2004:220) adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik
kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Sementara itu dikatakan oleh Yin dalam H.
B. Sutopo (2002: 69-70) bahwa analisis dokumen oleh peneliti bukan sekadar mencatat isi penting
yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena
itu, peneliti harus bersikap kritis dan teliti.
Kedua, wawancara ialah teknik yang secara sistematis mendapatkan informasi, data,
pandangan seseorang, yang disampaiakan informan secara lisan menyangkut satu masalah sesuai
dengan pokok penelitian, yang dicatat atau direkam, dan lebih lanjut dianalisis dan diinterpretasi
(Suwardi Endraswara, 2003: 33). Selanjutnya menurut Sudaryanto (1988: 36) wawancara adalah
percakapan yang mendorong diperoleh jawaban verbal atas pertanyaan verbal yang diajukan. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa pertukaran atas pertanyaan verbal tidak selalu dengan tatap muka, tetapi
dapat dilakukan melalui telepon. Dengan demikian, wawancara merupakan salah satu teknik
pengumpulan data di mana peneliti dan informasi terlibat percakapan atau bertanya jawab secara
lisan, baik melalui tatap muka maupun melalui telepon dan email.
F. Teknik Analisis Data
Klaus Krippendroff (1993: v) pada pengantar bukunya Analisis Isi (content analysis)
mengatakan bahwa secara potensial, analisis isi merupakan salah satu penelitian yang paling
penting dalam ilmu-ilmu sosial. Penelitian dengan teknik analisis isi ini berusaha memahami data
bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi juga sebagai gejala simbolik dan mendekati
analisisnya dengan rendah hati.
Dalam penelitian ini, teknik analisis isi (content analysis) ini digunakan karena berbagai
alasan berikut: (a) data penelitian ini bersumber pada dokumen,; (b) data yang ada berupa simbol-
simbol kebahasaan sehingga dapat dikaji dengan content analysis; dan (c) tujuan utama penelitian
ini adalah mendeskripsikan data yang kompleks dan banyak jumlahnya sehingga perlu dikaji
dengan content analysis. Sedangkan kerja analisis isi ini memiliki konsep dasar sebagai berikut: (a)
konteks data, yaitu antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri; (b)
data hasil wawancara dengan penyair, sebagaimana yang dikomunikasikan kepada penulis; (c)
bagaimana pengetahuan penulis membatasi realitasnya; dan (d) target analisis.
G. Validasi Data
Validasi data dalam penelitian ini menggunakan validitas trianggulasi teori. Pada dasarnya
trianggulasi merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat
multiprespektif. Artinya, untuk menarik kesimpulan yang dapat dipercaya (valid), diperlukan tidak
hanya satu sudut pandang penulis saja (H. B. Sutopo, 2002: 92). Sedangakan teknik trianggulasi
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (a) trianggulasi sumber data, yaitu penelitian ini
dapat menggunakan beragam sumber data yang koheren (baik tulisan berupa sastra maupun esai)
dari penyair juga pendapat dan pemikiran dari para sastrawan, budayawan, dan juga rohaniwan
tentang diri penyair, (b) trianggulasi metode, pengumpulan data yang sejenis dapat menggunakan
teknik dan pendekatan yang berbeda-beda, dan (c) trianggulasi diskusi penulis dengan penyair
terkait proses kreatif dan sikap terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan kritik
sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan tersebut, dalam bab ini penulis memaparkan hasil analisis dan pembahasan
terhadap tiga rumusan masalah tersebut. Pertama, analisis dan pembahasan tentang kritik sosial
dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus. Kedua, analisis dan pembahasan tentang nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan
Pahlawn dan Tikus. Ketiga, analisis dan pembahasan tentang nilai pendidikan dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawn dan Tikus.
1. Kritik Sosial dalam Hubungannya dengan Sikap Penyair dan Tema dalam Antologi Puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Dalam analisis dan pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap
penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, ada beberapa hal yang
dapat dijadikan kerangka berpikir dalam bab ini, guna mendapatkan hasil analisis dan
pembahasan berupa sintesis dan interpretasi terhadap permasalahan tersebut. Kerangka berpikir
tersebut, berupa deskripsi dan penjelasan tentang: (a) A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (b)
gambaran umum antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (c) tema-tema dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (d) sikap penyair (A. Mustofa Bisri) dalam
hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (e) struktur
bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (f) sintesis dan interpretasi.
Adapun uraian terhadap kerangka berpikir untuk mendapatkan hasil analisis dan
pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah sebagai berikut.
a. Tentang A. Mustofa Bisri dan Karya-karyanya
A. Mustofa Bisri adalah pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin di rembang,
Jawa Tengah. Ia salah seorang wakil ketua syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB-
NU). A. Mustofa Bisri atau lebih akrab dengan panggilan Gus Mus termasuk penulis yang
produktif. Ia menulis dan menerjemahkan beberapa buku tentang Islam. Ia juga seorang
mubalig, pelukis, penulis cerita pendek, esais, dan seorang penyair.
Kehadiran A. Mustofa Bisri dalam blantika sastra Indonesia memberikan angin segar,
tidak saja bagi puisi Indonesia melainkan juga bagi masyarakat Indonesia secara umum.
Karya-karyanya terutama puisi adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar
nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Di tahun 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial
bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata ’mendelik’. A. Mustofa
Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras namun dengan wajah tersenyum.
Puisi-puisinya membuat kita geram namun juga tersenyum. Meskipun berupa senyum pahit.
Sebagaimana yang disampaikan Jamal D. Rahman (2004:1) dalam pengantar redaksi
majalah Kakilangit (sisipan majalah sastra Horison), sebagai berikut.
Di tahun 1980-an, rezim Orde Baru berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah menyampaikan suara kritis apalagi ditujukan kepada pemerintah waktu itu. Suara kritis pasti ditindas bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan orang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan kritik keras dan lugas dengan resiko dilarang aparat keamanan untuk tampil di mana-mana. Kedua, melakukan kritik secara jenaka, terutama dengan cara menertawakan diri sendiri. Puisi-puisi Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan cara kedua.
Selanjutnya dikatakan oleh Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (2009:v) dalam
pengantar editor buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut.
Gus Mus bagi kami adalah sosok magnetis yang bisa menarik siapa pun untuk memperhatikannya tanpa beliau harus bersusah payah menarik perhatian itu sendiri. Kata-kata beliau baik yang berupa perkataan sehari-hari, puisi, cerpen, maupun ceramah adalah embun. Tingkah laku beliau adalah bentuk bunga yang bisa dipetik bagi pembacanya. Puisi-puisinya tidak hanya memberikan kritik terhadap pemerintah. Puisi-puisinya adalah suara kritis yang ditujukan kepada berbagai lapisan sosial, dari lapisan paling atas sampai lapisan paling bawah, dari lapisan paling dekat sampai lapisan paling jauh. Pendeknya, melalui puisi-puisinya ia mengkritik pemimpin dan rakyat, juga mengkritik orang lain dan diri sendiri.
A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama dan seorang penyair. Maka dia memandang
dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan
dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Sejalan dengan
hal ini, dikatakan oleh Jamal D. Rahman (2004: 11), sebagai berikut.
Seorang ulama memandang dunia dari sudut pandang agama; pandangan-dunianya merefleksikan kesadaran religiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia dari intuisi kepenyairannya; pandangan-dunianya merefleksikan bangunan intuitifnya.Kedua sudut pandang tersebut akan bertemu dalam satu titik, baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apa pun selain dirinya sendiri; pada saat yang bersamaan keduanaya berbicara masalah sosial.
Pada tingkat praktis, seorang ulama secara teguh melakukan ibadah yang sangat
personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan;
sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis puisi
yang sarat dengan muatan moral dan sosial. Selanjutnya dikatakan oleh Jamal D. Rahman
(2004:12), sebagai berikut.
“Saya tidak pernah membuat dikotomi ulama-penyair. Semisal A. Mustofa Bisri jelaslah, bahwa beliau adalah seorang ulama sekaligus seorang penyair. Keduanya, ulama dan penyair, dipilih semata-mata sebagai kategori dan strategi untuk membantu kita mendekati puisi-puisi A. Mustofa Bisri. Sudah tentu, kita bisa mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang penyair, tanpa mempedulikan sosok penulisnya sebagi seorang ulama. Namun, pendekatan seperti ini akan membuat puisinya tercerabut dari tanah kelahirannya, tanah yang bisa menjelaskan banyak hal tentang puisi-puisinya. Namun sebaliknya, mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang ulama, akan membuat kita meragukan kesungguhannya dalam mengeksplorasi bahasa.”
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa A. Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah
representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan,
sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya, tak
terkecuali lewat puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan kental
dengan kritik-kritik sosial.
Adapun karya-karya A. Mustofa Bisri antara lain: Dasar-dasar Islam (terjemahan,
penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A.
Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-nyamuk Perkasa dan Awas,
Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah
(terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al
Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994),
Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Mutiara-mutiara Benjol
(Lembaga Studi Filsafat Islam Yogyakarta, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah
Humordan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan
puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996),
Gandrung: Sajak-Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya,
Yogyakarta, 2002), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya,
1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996),
Saleh ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam
Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa,
Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997), Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-
Ibriz Rembang bersama Penerbit Al-Miftah Surabaya, Juli 1997), dan Lukisan Kaligrafi,
Kumpulan Cerpen, (Kompas, 2003).
Antologi puisi karya A. Mustofa Bisri yang sudah diterbitkan ada sembilan karya, yaitu:
Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antalogi
Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humordan
PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Gelap Berlapis-lapis
(Fatma Press, Jakrta, Tanpa tahun), Gandrung: Sajak-Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001),
Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002), dan Aku Manusia (MataAir Publishing,
2007, Surabaya).
Melalui kearifan dalam menulis (puisi, cerpen, esai, dan terjemahan) yang hampir rata-
rata berisi pemikiran dan sikap tentang kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam berbagai bidang kehidupan bagi semua orang dan setiap individu terlepas
dari suku, agama, dan golongan manapun, maka tidak mengherankan jika pada tanggal 30
Mei 2009, A. Mustofa Bisri mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijogo
Yogyakarta. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syihabuddin Qalyubi (2009:ix) Dekan
Fakultas Adab UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta dalam kata sambutan dalam buku Gus Mus:
Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut.
Gus Mus, panggilan akrab KH. A. Mustofa Bisri, memang layak dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa karena jasa-jasa beliau yang masih terus berjalan dalam mengemban dan mengembangkan kebudayaan Islam. Melalui pidato, pena, dan lukisan, Gus Mus tak henti-hentinya menggugah, mendorong, mencerahkan, dan menyejukkan semua orang. Muslim, non-Muslim, kaya, non-kaya, muda, non-muda, gegap gempita menyambut karya-karya gemilang Gus Mus yang sering menggelitik, menghibur, sekaligus mencubit untuk mengingatkan sesama akan tugas luhur menata bangsa dan negara. Tanpa pamrih jabatan dan sapaan luhur, Gus Mus terus mengingatkan agar kita tetap berjalan dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Puisi-puisi beliau yang nylekit tapi humoris mengingatkan kita agar berdakwah harus dengan jalan hasanah.
Dalam tulisan ini, hanya dipilih dua dari sembilan karya antologi puisi dari A. Mustofa
Bisri, yakni antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Dengan pertimbangan, adanya
kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas
analisis oleh penulis.
b. Gambaran Umum Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Pertama, antologi puisi Tadarus adalah antologi puisi A. Mustofa Bisri yang kedua
sesudah Ohoi. Inilah kelanjutan A. Mustofa Bisri dalam berpuisi. Seorang kyai yang
memimpin sebuah pondok pesantren, yang profesinya melakukan perjalanan, menatap, dan
mempertimbangkan berbagai firman Tuhan dan sabda Nabi, tetapi dengan kesimpulan sudut
pandang manusia sehari-hari. Sejalan dengan hal tersebut, disampaikan oleh Prof. Dr. Umar
Kayam (1993:v) dalam pengantar antologi puisi Tadarus, sebagai berikut.
Bila dalam perjalanannya sebagai kiai, A. Mustofa Bisri menempatkan pertimbangan dan kesimpulannya pada kedaifan manusia sehari-hari. Dalam perjalanannya sebagai kyai, ia menyerahkan diri secara total sembari berjalan dengan tafakur. Sedang perjalanannya sebagai penyair ia berjalan, mata hatinya menatap alam semesta dan puak manusia dengan ngungun, penuh pertanyaan dan ketakjuban. Hasilnya Tadarus inilah, perjalanan puisi yang unik. Dalam menatap alam semesta dan polah tingkah manusia, A. Mustofa Bisri mendengarkan firman Allah dan sabda Muhammad, yang sesungguhnya adalah puisi-puisi, kemudian ia merenunginya, mempertimbangkannya serta menyimpulkannya dalam puisi-puisi juga. Membaca lembar-lembar Tadarus adalah bersampan-sampan dalam sungai yang berkelok-kelok. Penuh dengan tikungan dan pemandangan yang mengasyikkan. Bahkan menggetarkan. Pendeknya, dalam Tadarus, A. Mustofa Bisri, sang kyai, sang penyair, sudah menggenggam kearifan dan keindahan kata-kata.
Senada hal tersebut, dikatakan oleh Sutardji Calzoum Bachri terhadap antologi puisi
Ohoi (1991), sebagai berikut.
Gaya pengucapan A. Mustofa Bisri tidak berbunga-bunga . Ia bukan juru hias, bukan tukang kebun penjaga taman kata-kata. Ia memang tidak menyibukkan diri merapikan dan memangkas kata-kata dan menumbuhkan bunga-bunga puitika. Bahasanya langsung dan ’gamblang’. Namun tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Ini disebabkan ada bernas yang ditampilkan dari ucapan puisinya. Ada kearifan, sehingga sebagai penyair ia bukan lagi hanya penjaga taman kata-kata. Akan tetapi, ia penjaga dan pendamba kearifan.
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa jenis atau sifat puisi berdasarkan
isinya. Dalam antologi puisi Tadarus banyak dijumpai puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat
puisi yang muncul tersebut dalam antologi puisi Tadarus, tidak lain adalah untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan sikap penyair tentang kritik terhadap kehidupan sosial
dan juga terhadap diri penyair sekaligus kesadaran keagamaan penyair.
Antologi puisi Tadarus di dalamnya ada lima puluh puisi yang terbagi dalam dua
bagian. Bagian pertama terdiri dari delapan belas puisi dan bagian kedua terdiri dari 32 puisi,
yang masing-masing dianalisis untuk mendapatkan deskripsi dan penjelasan tentang kritik
sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam puisi. Dengan pertimbangan
adanya kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan
intensitas analisis oleh penulis, maka ungkapan pikiran, perasaan, dan sikap penyair dalam
antologi puisi Tadarus, dapat diuraikan pada beberapa tema atau gagasan berikut: (1) kritik
terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran
hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri,
dan (5) kesadaran spiritual.
Kedua, antologi puisi Pahlawan dan Tikus adalah antologi puisi A. Mustofa Bisri yang
keempat sesudah antologi puisi Rubaiyat Angin dan Rumput (1995). Keberadaan antologi
puisi Pahlawan dan Tikus ini, mendapat sambutan dari beberapa sastrawan. Di antaranya oleh
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dikatakan bahwa keunikan puisi A. Mustofa Bisri terletak
pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari.
Selanjutnya, Taufiq Ismail menyatakan bahwa rasa yang kuat dengan masalah sosial,
keunggulan seorang yang saleh berilmu, kerendahan hati dan rasa humor berpadu dalam
pribadi A. Mustofa Bisri yang membayang dalam puisi-puisiya. Sedangkan oleh Danarto
dikatakan, bahwa lewat puisi A. Mustofa Bisri membuat ayat-ayat suci menjadi operasional
bagi sepak terjang keadilan, kemakmuran, dan kebenaran.
Tidak berbeda jauh dengan antologi puisi Tadarus, untuk antologi puisi Pahlawan dan
Tikus banyak dijumpai pula puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut
dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, tidak lain juga untuk mengungkapkan sikap kritis
penyair terhadap kehidupan dan diri sendiri (penyair) sekaligus kesadaran keagamaan penyair.
Antologi puisi Pahlawan dan Tikus di dalamnya ada 56 puisi yang terbagi dalam enam
bagian. Bagian pertama disebut ”puisi-puisi gelap” terdiri dari tujuh puisi, bagian kedua
disebut ”puisi-puisi remang-remang” terdiri dari lima belas puisi, bagian ketiga disebut
”puisi-puisi agak terang” yang terdiri dari enam puisi, bagian keempat disebut ”puisi-puisi
terang” yang terdiri dari dua puluh puisi, bagian kelima disebut ”puisi-puisi terang-terangan”
yang terdiri dari lima puisi, dan bagian keenam disebut ”puisi-puisi penerang” yang terdiri
dari tiga puisi. Masing-masing juga akan ditelaah untuk mendapatkan deskripsi dan
penjelasan adanya dimensi kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema
dalam puisi.
Dengan pertimbangan yang sama, yaitu adanya kecenderungan kesamaan tema dari
karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas analisis oleh penulis, maka
ungkapan pikiran, perasaan, dan sikap penyair dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus,
dapat diuraikan pada beberapa tema atau gagasan berikut: (1) kritik terhadap dekadensi moral
kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap
ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Terkait dengan keberadaan tema atau gagasan tersebut di atas, selanjutnya dipaparkan
hasil analisis dan pembahasan terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Oleh
karena pembicaraan kali ini meliputi banyak puisi dari kedua antologi puisi tersebut, maka
puisi yang memiliki tema yang kuat relevansinya dan kesejajarannya dengan keberadaan
tema-tema di atas yang akan dianalisis dan dibahas dalam bagian berikut.
c. Tema-tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Tema menurut Herman J. Waluyo (2008: 124) merupakan gagasan pokok atau subject-
matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat
mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya.
Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka
puisinya bertema ketuhanan, jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau
kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk
memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta
atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena
cinta.
Selajutnya dikatakan oleh Herman J. Waluyo (2008: 125) bahwa dengan latar belakang
pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama
bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus
dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab
itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak
dibuat-buat).
Sejalan dengan hal tersebut, terkait dengan konsep-konsep tulisan karya A. Mustofa
Bisri, diungkapkan oleh Mohamad Sobary (1997:viii) dalam pengantar buku Pesan Islam
Sehari-hari: Ritus Dzikir dan Gempita Ummat, sebagai berikut.
Apa yang ditulis A. Mustofa Bisri, baik esai, cerpen, bahkan puisinya adalah sebuah penilaian, sikap skeptis, perasaan gundah, bahkan kegemasan dan rasa muak melihat kecenderungan-kecenderungan kehidupan sosial- politik dan kebudayaan yang berkembang di sekitar kita. Dalam beberapa bentuk tulisannya tersebut, kita merasa diwakili. A. Mustofa Bisri menjadi wakil nurani kita yang bungkam, takut, dan cemas, atau bahkan yang sekedar tak tahu bagaimana seharusnya bersikap.
Sebagaimana uraikan di atas, bahwa Antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus, mengungkapkan beberapa tema atau gagasan penting yang sejalan dengan jenis atau
sifat puisi yang ditampilkan. Secara umum tema atau gagasan yang diungkapkan oleh penyair
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah kritik terhadap kehidupan sosial
dan diri penyair serta kesadaran keagamaan penyair.
Selanjutnya, sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di atas, tema atau gagasan
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus meliputi: (1) kritik terhadap dekadensi
moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik
terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran
spiritual.
Adapun hasil analisis dan pembahasan terhadap masing-masing tema dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah sebagai berikut.
1) Kritik terhadap Dekadensi Moral Kemanusian
Kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan yang diungkapkan oleh penyair pada
larik-larik dan bait-bait dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah
ungkapan pikiran, perasaan, dan sikap kritis penyair terhadap semakin menipisnya nilai
dan rasa kemanusiaan di antara sesama sekaligus penanaman kesadaran agar dalam
pergaulan hidup harus tetap terbina rasa sayang, rasa cinta, dan saling mengasihi di antara
sesama.
Dalam antologi puisi Tadarus, penyair mengungkapkan kritik terhadap dekadensi
moral kemanusiaan, diantaranya pada puisi yang berjudul ”Membangun Rumah”, ”Dzikir
2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan ”Kubaca Berita”. Dalam puisi ”Membangun
Rumah” penyair mengungkapkan sebuah gambaran kesenjangan hubungan kemanusiaan
antara orang-orang kaya raya dengan orang yang dipandang miskin dan hina. Dengan
mudahnya orang-orang kaya untuk melakukan apapun yang diinginkannya, termasuk
dalam memandang remeh orang-orang yang dianggapnya miskin dan serba kekurangan.
Di atas tanah rezki Allah
(Cuma tiga hektar luasnya
Pembantu-pembantuku berhasil membelinya
Dari beberapa petani di pinggiran kota)
Akan kubangun rumah sederhana
Arsitek kenamaan kenalan istriku
……………………………………………………………..
Waktu kami akan berangkat ke hotel bersama-sama
dan pembantu kami membuka pintu gapura
beberapa tamu tak diundang menerobos masuk seenaknya
Mereka bilang minta waktu sebentar saja
Meski sangat terganggu kusuruh sekretarisku melayaninya
……………………………………………………..
Tak lama sekretaris melapor dengan tertawa
“Cuma panitia pengumpul dana,” katanya
“Entah untuk solidaritas Bosnia entah apa.
Kukasi lima ribu saja
meraka menghaturkan terimakasih tak terhingga
dan mendoakan kesejahteraan kita”.
Ayo berangkat, seru istriku, ada-ada saja!
Iring-iringan pun bergerak.
(Kulihat para tamu tak diundang itu
tertunduk-tunduk syukur mengawasi kami
Sementara pembantu kami terus mendorong mereka pergi).
(Tadarus: 17 – 18)
Bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik terhadap rasa kemanusiaan orang-orang
kaya semakin tipis. Betapa nikmatya menjadi orang kaya segala apapun yang diinginkan,
tidak ada yang tidak terwujud. Apapun yang akan dilakukan serba mewah dan sangat jauh
dari kemampuan wajar orang-orang miskin. Mulai dari penguasaan hak kepemilikan tanah,
kepemilikan rumah, dan keluar-masuk hotel mewah untuk segala urusan, sudah menjadi
hal yang wajar dan lumrah. Di sisi lain, orang-orang kaya tersebut memandang dengan
sebelah mata terhadap orang lain yang dianggap meraka tidak berpengaruh dan
menguntungnya posisinya. Mereka cukup memberi penghargaan sekadarnya, tanpa harus
berpusing diri memikirkan keadaan dan (apalagi) kebutuhan mereka. Orang-orang tersebut
dianggap ‘tidak berguna dalam hidupnya’.
Dalam puisi “Dzikir 2” penyair mengungkapkan kritik terhadap bagaimana dan
dalam posisi apa umumnya manusia berdzikir. Dzikir dalam puisi ini bukan bermakna
‘mengingat Tuhan’ secara terus-menerus. Akan tetapi, dzikir dalam puisi ini bisa bermakna
‘pengambilan sikap’ atau ‘keputusan’ yang hampir sering dikerjakan. Baik mereka yang
berkedudukan sebagai ulama, wakil rakyat maupun sebagai rakyat sendiri. Masing-masing
punya sikap sesuai dengan posisi dan kedudukannya.
Dzikir ulama-ulama adalah dzikir qahri
mantap sekali harus harus harus
dzikir wakil rakyat adalah dzikir jahri
penuh tenaga ya ya ya
dzikir rakyat adalah dzikir khafi
tanpa suara ah ah ah.
(Tadarus: 20)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik terhadap moral sebagian manusia
(Indonesia) yang posisinya sebagai ulama yang dekat dengan kekuasaan (para wakil
rakyat). Sering terjadi, bahwa ulama yang dekat dengan kekuasaan dengan qahri (penuh
keterpaksaan) dalam setiap membuat keputusan atau bahkan hukum. Sebab, dimungkinkan
keputusan atau hukum itu berdasarkan ‘pesanan’ penguasa dan tidak berdasarkan hukum
(negara dan agama) yang semestinya berlaku. Wakil rakyat dalam posisi ini merasa
diuntungkan dengan keputusan ulama. Oleh karena itu, dengan suara jahru (keras dan
lantang) mendukung keputusan atau hukum itu, guna memperkuat kedudukannya. Artinya,
dengan perasaan bangga, mereka menyetujuinya. Sedangkan rakyat dengan khauf (penuh
rasa takut) dan dalam posisi ketidakberdayaannya, hanya bisa pasrah dan menerima.
Akhirya, merekalah (rakyat kecil) yang selalu dalam posisi dirugikan atas keputusan atau
hukum itu.
Dalam puisi berjudul “Mantan Rakyat” penyair mengungkapkan kritik terhadap para
wakil rakyat (lembaga legislatif) dalam hal berhubungan dan berkomunikasi dengan
rakyat. Sebagian besar rakyat di antaranya sudah memahami, bahwa komunikasi tersebut
adalah konsumsi publik yang bertendensi ‘seola-olah’ pembelaan terhadap rakyat. Padahal
hanya sebuah retorika saja untuk menarik simpati rakyat.
Mantan rakyat bertemu rakyat
Berbicara atas nama rakyat demi rakyat
Dan rakyat pun saling bertanya
Apakah dia pernah jadi rakyat?
(Tadarus: 21)
Kutipan bait di atas, menunjukkan kritik terhadap moralitas para wakil rakyat, yaitu
mereka yang duduk di lembaga terhormat (legislatif), sehingga mereka ini disebut mantan
rakyat. Karena merasa wakil rakyat, mereka berbicara atas nama rakyat. Akan tetapi, dalam
kenyataannya wakil rakyat tersebut tidak pernah memahami keinginan rakyat. Sehingga
rakyat sanksi, pengatasnamaan siapa pembicaraan tersebut. Hal ini menunjukkan, bahwa
yang dibicarakan para wakil rakyat bukan untuk kepentingan rakyat. Melainkan untuk
kepentingan mereka sendiri mengatasnamakan rakyat.
Dalam puisi “Kubaca Berita” penyair menyuguhkan beragam kritik terhadap
keterbatasan manusia dalam menerima kehendak dan keputusan Tuhan. Baik berupa
kematian yang datangnya tiba-tiba, keangkuhan atas jabatan dan kedudukan yang akan
sirna tanpa dapat menolaknya, maupun kesombongan atas kekayaan, idiologi, dan
pemikiran yang lenyap begitu saja akibat perbuatan manusia sendiri.
Kubaca berita tentang seorang putera yang diidam-idamkan orangtuanya menjadi Sarjana dan kebanggaan bangsa
tiba-tiba mati di jalan raya menjelang diwisuda.
………………………………………………………………………… Kubaca berita tentang seorang pemikir yang diandalkan
para pengikutnya kerna kecemerlangan pikiran
dan kekuatan pribadinya tiba-tiba ambruk tak berdaya
ketika memberikan dan belum selesai memaparkan
teori-teori pembaruannya.
Kubaca berita tentang seorang superstar yang dielu-elukan
para penggemarnya tiba-tiba terkulai digasak virus
yang selama ini ia ikut memproduksi dan menyebarkannya
****
Kubaca berita tentang kepala Negara yang diangkat seumur hidup oleh para wakil rakyatnya tiba-tiba anak-anaknya
sendiri mencopot dan mencacimakinya.
Kubaca berita tentang seorang maharaja yang sedang asyik
dan belum selesai memuasi keperkasaan kekuasaannya
tiba-tiba terguling oleh tangan besinya sendiri
yang selama ini digunakan menggencet rakyatnya.
Kubaca berita tentang seorang presiden yang digadang-gadang dan merasa mampu
memimpin negaranya hingga akhir
hayatnya tiba-tiba terbirit-birit diburu rakyatnya
hingga tak sempat mati di tanah airnya sendiri.
……………………………………………………………………………
****
Kubaca berita tentang Negara molek tempat plesiran
turis-turis manca Negara yang sedang asyik
mereka-reka peningkatan daya tarik obyek wisata
dan menghitung-hitung pertambahan devisanya
tiba-tiba perang saudra mengoyak-ngoyaknya
Kubaca berita tentang Negara kaya yang sedang bangga
dan terlena oleh kekayaannya tiba-tiba tetangganya
sendiri tanpa ampun menghajar dan menjarahnya.
Kubaca berita tentang negara raksasa yang sedang berlomba memimpin dunia dan asyik
mengekspor ideologinya
kemana-mana tiba-tiba gulung tikar dan tak seorang pun berdaya menyelamatkan keutuhannya.
…………………………………………………………………………dan masih dan terus kubaca berita tentang manusia yang masih dan terus tak menyadari
kekerdilannya.
****
Kubaca berita kuno tentang wali allah yang senantiasa
menjaga jiwa dan raganya
yang tak pernah hadas kecuali segera menghilangkannya
Karena tak ingin dalam keadaan tidak suci.
Syahdan ketika suatu ketika datang hadas padanya
dan serta merta dia bertayammum dengan debu seadanya padahal ada air sungai hanya beberapa langkah darinya orang-orang yang mengerti fikih pun menegurnya
dan jawabnya : apakah kalian bisa menjamin aku masih bernyawa sebelum aku mencapai sungai disana?)
Aku ingin membaca berita tentang baru tentang manusia modern
yang melaksanakan tugas kekhalifannya
tetap dengan kerendahan hati seorang hamba.
(Tadarus: 24-26)
Larik-larik puisi yang panjang di atas, menunjukkan kritik sekaligus penyadaran
moralitas kemanusiaan akibat beragam peristiwa dan kejadian yang dialami manusia.
Kebanyakan peristiwa dan kejadian itu tanpa disadari kedatangannya. Hal itu menunjukkan
betapa kerdil dan lemahnya manusia, sehingga tidak akan pernah tahu apa yang akan
terjadi dan menimpa dirinya.
Padahal Tuhan telah memberikan banyak contoh peristiwa dan kejadian sebelumnya,
tetapi sebagian besar manusia tidak mau belajar dari hal tersebut. Baik berupa ujian
kematian, kedudukan dan jabatan, serta ideologi, pemikiran dan kekayaan. Semua itu akan
datang dan pergi pada diri kita, tanpa Tuhan harus memberitahu sebelumnya. Pada akhir
puisi “Kubaca Berita” berharap adanya sosok manusia modern yang cakap dan kreatif
dalam menjalankan tugas sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi, tetapi memiliki
kerendahan hati dan mengakui segala kelemahan yang ada pada dirinya di hadapan Tuhan.
Dalam puisi “Bosnia Adalah” , penyair mengungkapkan kritik terhadap manusia
termasuk diri penyair. Manusia diingatkan kembali keberadaan sebuah peristiwa tragedi
kemanusiaan yang dinjak-injak keangkaramurkaan, keserakahan, serta kekejaman dan
kekejian akibat perang saudara di bekas Negara Yugoslavia, yakni di Bosnia Herzegovina.
Melalui puisi ini pula, mengingatkan sekaligus mengkritik keberadaan dan keberadaban
kemanusiaan yang terkoyak di tengah tragedi peperangan yang banyak menimbulkan
ketidakberdayaan, kesengsaraan, dan kematian.
Bosnia adalah wajah kita yang kusut
Bosnia adalah keangkuhan dan ketidakberdayaan kita
Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak
Bosnia adalah kepanikan manusia menghadapi diri sendiri
(Airmata dan darah tertumpah atau tidak
Raung atau erang yang terdengar
Atau justru hanya senyum yang sunyi
Tragedi manusia adalah saat
Kemanusiaannya lepas entah kemana)
Atau barangkali Bosnia
Adalah dunia kita yang mulai
sekarat.
(Tadarus: 28)
Pada bait-bait puisi di atas, menunjukkan kritik dekadensi moral manusia yang
terefleksi dalam tragedi kemanusiaan akibat peperangan di Bosnia (saat itu). Bahwa perang
Bosnia adalah wujud ketidakberdayaan dan kepanikan serta pertumpahan darah manusia
secara sia-sia, akibat nilai-nilai kemausiaan yang dinjak-injak. Bosnia adalah wujud
kemanusiaan yang hampir punah. Atau barangkali Bosnia/Adalah dunia kita yang mulai
sekarat.
Selanjutnya, tidak jauh berbeda dengan keberadaan antologi puisi Tadarus, antologi
puisi Pahlawan dan Tikus, juga mengangkat tema atau gagasan tentang kritik sosial
terhadap dekadensi moral kemanusiaan dengan berbagai wujud refleksinya dalam
kehidupan. Adapun puisi-puisi yang menampilkan tema atau gagasan tersebut tampak
dalam beberapa puisi yang berjudul “Reinkarnasi”, “Input dan Output”, “Ketika Tuhan”,
“Putra-Putri Ibu Pertiwi”, “Maju Tak Gentar”, “Soal”, “Soal Kemiskinan”, “Permainan
Golf”, “Waktu Tiba-Tiba Berhenti Berdenyut”, “Makin Canggih Saja”, dan “Saling”.
Dalam puisi “Reinkarnasi”, penyair menyuarakan kritik atas keberadaan hubungan
kemanusiaan yang semakin luntur. Bahkan atas nama Tuhan, nilai-nilai kemanusiaan
dengan mudahnya untuk injak-injak. Bahwa saat ini telah muncul tokoh dalam kategori
kelompok manusia zalim (dalam kitab suci Alqur’an), yang bertindak atas nafsu dan
keserakahan serta tidak percaya adanya Tuhan, bahkan ada yang mengaku dirinya sebagai
Tuhan.
abrahah-abrahah tak lagi datang membawa gajah
dari jauh mereka mengirim burung-burung bagai ababil
mengobrak-abrik batok kepala dan perut bumi
menyikat ruh-ruh dan nurani
abujahal-abujahal cebol terseret-seret pedang-pedang mereka
sendiri ketika meneriakkan seruan jihad fisabilillah
di mimbar-mimbar
di seminar-seminar
di jalanan dan di pasar-pasar
firaun-firaun kecil
dan qarun-qarun kerdil
mengacung-acungkan duplikat-duplikat tongkat
musa yang keramat
mencari-cari mangsa
menakut-nakuti manusia
menenung gunung
menyihir laut
meneluh hutan
mengaduk-aduk tanah
mengorek rempah-rempah
mengais-ngais sampah
di tempat-tempat ibadah yang indah
tuhan tersalib dalam upacara sakral yang meriah
dan mereka pun bebas leluasa
bertuhan-tuhan ria
seenaknya.
(Pahlawan dan Tikus: 24)
Pada larik-larik puisi di atas, merefleksikan kritik terhadap munculnya kembali
kezaliman yang berkedok Ketuhanan dan kemanusiaan. Semua hal yang baik yang muncul
saat ini adalah wujud kebohongan yang mengatasnamakan kebajikan. Artinya, apa yang
disampaikan dan dilakukan oleh siapa pun (saat ini) sama sekali berdasar atas nafsu
pribadinya semata, bukan hati nurani dan bukan perintah Tuhan melalui kitab suci. Hal itu,
ditandai dengan munculnya Abrahah, Abu Jahal, Fir’aun, dan Qorun yang baru dalam
kancah kekinian. Hal tersebut memunculkan perubahan serta pergeseran besar terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Mereka lakukan apapun, asal terpenuhi nafsunya, tanpa harus
berpijak pada nurani dan perintah Tuhan. Ironisnya, mereka tidak segan-segan mengaku
sebagai Tuhan. di tempat-tempat ibadah yang indah/tuhan tersalib dalam upacara sakral
yang meriah/dan mereka pun bebas leluasa/bertuhan-tuhan ria/seenaknya.
Dalam puisi “Input dan Output”, penyair mengungkapkan kritik terhadap gambaran
kehidupan yang serba carut-marut di berbagai wadah kehidupan. Hal tersebut diperlihatkan
adanya tatanan nilai dan hubungan kemanusiaan yang semakin mengalamai degradasi, baik
di masjid-masjid, di rumah-rumah, di kantor-kantor (birokrasi), di media cetak, di hotel-
hotel dan tempat hiburan, maupun di jalanan dan di kendaraan. Kesemuanya
memperlihatkan bungkus kebaikan bahkan ada yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi isi
yang sebenarnya adalah keburukan dan keserakahan manusia.
Di mesjid-mesjid dan majlis-majlis taklim
Berton-ton huruf dan kata-kata mulia
Tanpa kemasan dituang-suapkan
Dari mulut-mulut mesin yang dingin
Ke kuping-kuping logam yang terbakar
Untuk ditumpahkan ketika keluar
Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah
Berhektar-hektar layar kehidupan mati
Dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan
Melalui mata-mata yang letih
Ke benak-benak seng berkarat
Untuk dibawa-bawa sampai sekarat
Di kantor-knator dan markas-markas
Bertimbun-timbun arsip kebijaksaan aneh
Dengan map-map agung dikirim-salurkan
Melalui kepala-kepala plastik
Ke segala penjuru urat nadi
Untuk diserap sampai mati
Di majalah-majalah dan Koran-koran
berkilo-kilo berita dan opini Tuhan
dengan disain nafsu dimuntah-jejalkan
melalui kolom-kolom rapi
ke ruang-ruang kosong tengkorak
orang-orang tua dan anak-anak
Di hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan
beronggok-onggok daging dan virus
dengan bungkus sutera disodor-suguhkan
melalui saluran-saluran resmi
ke berbagai pribadi dan isntansi
untuk dinikmati dengan gengsi
Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan
berbarel-barel bensin dan darah
dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan
melalui pori-pori kejantanan
ke tangki-tangki penampung nyawa
untuk menghidupkan sesal dan kecewa.
(Pahlawan dan Tikus: 28-29)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan tentang gambaran keprihatinan dan kritik
terhadap tatanan nilai kehidupan dan hubungan kemanusiaan yang semakin mengalami
degadrasi di berbagai wilayah dan sendi kehidupan. Di masjid-masjid akan kita jumpai
berbagai macam nasihat dan petuah mulia, yang sama sekali tidak memiliki kekuatan
untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Nasihat dan petuah mulia hanya merupakan kalimat-
kalimat bohong tanpa dapat diresapi dalam hati. Di rumah-rumah banyak kita jumpai,
bahwa manusia lebih percaya dan menjadikan pedoman pada benda mati bernama televisi
yang tidak lebih hanya menjanjikan mimpi daripada pesan moral. Di kantor-kantor terlihat
beberapa kebijakan para birokrat yang tampak aneh dan fiktif dengan tampilan yang
bagus, sehingga seolah-olah dapat menjadi pedoman yang harus diaati dan dilaksanakan.
Di media cetak maupun elektronik banyak dijumpai tulisan yang mengatasnamakan Tuhan,
tetapi sebenarnya berisi kebohongan. Di hotel-hotel dan tempat hiburan banyak dijumpai
aneka maksiat yang berlabel legal, sehingga menjadi konsumsi publik tanpa harus
sembunyi-sembunyi dan terselubung. Serta di jalanan dan di kendaraan banyak dijumpai
berbagai keborosan penggunaan fasilitas yang membutuhkan anggaran dan biaya besar.
Sementara sisi kehidupan lain, masih banyak rakyat dalam keadaan sengsara, menderita
dan kecewa.
Dalam puisi “Ketika Tuhan”, penyair mengungkapkan gambaran diplomasi malaikat
dengan Tuhan, saat Tuhan memutuskan akan menciptakan manusia. Para malaikat meminta
kepada Tuhan untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Akan tetapi, Tuhan
Maha Tahu dan berkehendak terhadap apa yang dikehendaki-Nya. Meskipun, yang
dikehendaki Tuhan akan membawa mudarat bagi manusia sendiri. Manusia dan semua
makhluk, hanya mampu menerima dan berintrospeksi atas semua yang dikehendaki Tuhan.
Ketika Tuhan menyampaikan
MaksudNya menciptakan manusia
Sebagai khalifahNya di dunia
Para malaikat pun berkata
Tuhan, mengapa Paduka
Hendak mencipta
,makhluk perusak di sana
Penumpah darah semena-mena
Sedangkan kita
Terus bertasbih dan memuja
Paduka?
Tuhan pun bersabda
Aku tahu apa
Yang kalian buta
Terhadapnya
Ketika sang khafilah benar-benar semena-mena
Merusak dan menumpahkan darah di mana-mana
Di dunia
Apakah kita akan membenarkan para malaikat dan berkata
kepadaNya seperti mereka lalu siapakah kita
yang tahu kehendak Sang Pencipta?
(Pahlawan dan Tikus: 33)
Larik-larik puisi di atas, menunjukkan penyadaran manusia sebagai makhluk yang
berakal atas kemahakuasanya Tuhan atas penciptaan manusia. Penciptaan manusia
bukanlah merupakan kesia-siaan, semuanya telah diperhitungkan atas dasar Kemabesaran
dan Kemahaadilan Tuhan sendiri. Walaupun pada kenyaataannya, pencipataan manusia
sebagai khalifah (pemimpin) makhluk di bumi, benar-benar membawa kerusakan
lingkungan dan pertumpahan darah antarsesama. Kita tidak akan pernah tahu, rahasia apa
di balik Kehendak dan Kuasa Tuhan. Manusia dan semua makhluk, hanya mampu
menerima dan berintrospeksi atas semua yang dikehendaki Tuhan.
Dalam puisi “Makin Canggih Saja”, penyair menunjukkan kritik pada manusia (saat
ini) tentang kepandaian manusia yang semakin bertambah dengan diciptakannya berbagai
macam virus dan senjata pemusnah. Meskipun pada akhirnya kegunaan hasil ciptaanya
tersebut untuk memusnahkan antarsesama dan dirinya sendiri.
Makin canggih saja manusia
Mencipta virus-virus berbisa
senjata-senjata serba-bisa
Agar sambil menangis atau tertawa
Bisa memusnahkan dirinya
(Pahlawan dan Tikus: 49)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik bahwa manusia (saat ini) makin canggih
(pandai) dalam menciptakan berbagai macam virus berbahaya dan senjata pemusnah yang
serba bisa (otomatis). Akan tetapi kepandaian dalam penciptaan benda-benda tersebut,
bukan untuk kemaslahatan umat manusia dan lingkungan. Akan tetapi, tidak lain hanya
untuk memusnahkan sesamanya dan merusak lingkingan serta dirinya sendiri, dengan
tanpa pertimbangan nurani.
Dalam puisi “Saling”, penyair mengungkapkan kritik terhadap degradasi hubungan
kemanusiaan, yakni manusia (saat ini) lebih suka menyakiti satu dengan yang lain. Hal itu
bisa terjadi di berbagai bidang kehidupan. Di gedung DPR, di kantor partai, di kampus, di
forum seminar, di sanggar seni, di koran, bahkan di tempat-tempat ibadah sekalipun, baik
di masjid, di gereja, di pura, maupun di wihara. Hal itu banyak terjadi pula di jalan, di
pasar, di warung, dan di rumah. Tidak pandang mereka ada hubungan keluarga, sahabat,
maupun orang lain, semua saling menyakiti.
Di gedung DPR
Fraksi-fraksi saling menghabisi
Di kantor partai
Golongan dan unsur saling gusur
Di kampus
Dosen dan Mahasiswa saling mencela
Di seminar
Pakar-pakar bertengkar
Di sanggar
Seniman-seniman berhantaman
Di koran
Orang-orang penting saling banting
Di mesjid
Orang-orang Islam bertikam
Di gereja
Orang-orang Nasrani berkelahi
Di pura
Orang-orang Hindu beradu
Di wihara
Orang-orang Budha berlaga
Di lapangan
Para olahragawan berterkaman
Di jalan
Sopir-sopir saling puntir
Di pasar
Bakul-bakul saling pukul
Di warung
Kawan-kawan saling lawan
Di rumah
Anak dan Bapak saling sepak
Di kamar
Kau dan aku terpaku
(Pahlawan dan Tikus: 50)
Dari larik-larik puisi di atas menunjukkan refleksi kritik penyair terhadap hubungan
kemanusiaan yang semakin renggang dan saling menyakiti satu dengan yang lain. Hal itu
terjadi di segala sendi kehidupan, di gedung DPR, di kantor partai, di kampus, di forum
seminar, di sanggar seni, di koran, bahkan di tempat-tempat ibadah sekalipun. Baik di
masjid, di gereja, di pura, maupun di wihara. Hal itu terjadi juga di jalan, di pasar, di
warung, dan di rumah. Tidak pandang mereka ada hubungan keluarga, sahabat, maupun
orang lain, semua saling menyakiti. Mereka yang sadar, hanya bisa melihat tanpa bisa
berbuat apapun.
Uraian analisis tema tentang ”kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan” yang
terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di
atas, dapat disimpulkan bahwa hidup manusia (saat ini) dan entah kapan berakhirnya,
ternyata lebih menonjolkan egoistis, hedonistis, dan materialistis. Segala petuah atau
nasihat, hanyalah bualan yang tidak penting untuk dijadikan pedoman moral kemanusiaan.
Bahkan, nasihat atau petuah bijak pun seolah-olah hanya menjadi topeng untuk menutupi
segala kekurangan manusia (tidak peduli dia adalah seorang tokoh masyarakat maupun
tokoh agama sekalipun).
Mereka hidup dihinggapi saling membenci dan saling mendendam. Bahkan pula
saling ’membunuh’ dengan tanpa perasaan, baik dalam membunuh karakter,
menghilangkan dan merampas hak orang-orang kecil, maupun menghabisi nyawa dengan
tanpa perasaan bersalah dan dosa. Manusia (saat ini) banyak yang hanya mencari kekayaan
dan kedudukan untuk diri sendiri dan pembenaran terhadap diri sendiri. Sedangkan untuk
memikirkan nasib sesama (orang lain) yang miskin, yang masih jauh dari keberuntungan
hidup, sama sekali bukan urusannya.
Banyak ceramah maupun khutbah dari para birokrat, ekonom, politikus sampai
pemuka agama sekalipun, adalah obrolan basa-basi yang tak berisi dan tidak bermuatan
moral untuk merubah watak buruk perilaku mereka sendiri, apalagi untuk orang lain yang
mendengarkannya. Ceramah dan khutbah hanyalah topeng untuk menutupi kekurangan
mereka sendiri.
Meskipun demikian, di balik kritik tajam terhadap dekadensi moral kemanusiaan,
ada beberapa nilai dan hikmah yang disampaikan penyair dalam beberapa puisi di atas.
Bahwa kita harus tetap mengedepankan moral kemanusiaan sebagai pedoman dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Abdul Munir Mulkhan (2009:163)
sebagai berikut.
Puisi-puisi Gus Mus bukan hanya indah dan sufistik, melainkan sekaligus humanis dan profetis meletakkan praktik Islam sebagai sebuah proses sosio-budaya dan seni dari kehidupan duniawi yang cair. Pilihan kata yang arif membuat pembaca yang menjadi sasaran kritiknya justru tersenyum manggut-manggut. Kritiknya tajam, tapi penuh hikmah dan terbarukan seperti menyebut syirik bukan semata menyembah batu, melainkan menempatkan diri sendiri paling benar dan mutlak benar.
2) Kritik terhadap Ketidakadilan dan Ketidakbenaran Hidup
Selain diungkap tema tentang kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, tema
atau gagasan lain yang diungkap dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
adalah kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup.
Dalam antologi puisi Tadarus, puisi yang mengungkapkan kritik terhadap
ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, antara lain berjudul: ”Anonim”, ”Ratsaa”,
”Khalifah Allah, Dimanakah Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”. Dalam puisi
”Anonim” berikut ini, penyair mengkritik berbagai kesewenang-wenangan, keserakahan,
dan berbagai macam ketidakadilan di negeri ini. Sementara itu, nasib para petani, nelayan,
dan rakyat pada umumnya semakin susah dalam segala usaha dan kesempatan. Sedangkan
kebahagian dan kenikmatan hanya milik sebagian orang saja, yakni orang-orang kaya dan
orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan rakyat miskin berada di pihak yang
selalu dikalahkan dan terkalahkan.
Siapa yang menanam padi hingga negeri ini
Dari pengimpor beras menjadi
Negeri swasembada pangan yang mandiri
Yang mendahulukan memberi makan anak-anakmu
Sebelum anak-anak sendiri?
Siapa yang menjalankan perahu pukatmu
Dan melawan badai menjala ikan untukmu
Siapa yang merawat tebu-tebumu
Agar persediaan gula terjamin selalu?
Siapa yang menabung receh-recehnya
Di bank hinga kau dan siapa saja yang lebih kaya
Bisa mengkreditnya kapan saja?
Siapa yang mau saja kau tarik-tarik kesan kemari
Mencoblos gambar lima tahun sekali
Hingga kau dan siapa saja yang punya nyali
Mendapat kedudukan terhormat sekali?
Siapa yang menyediakan sawah-sawah murah
Dan tambak-tambak dengan harga rendah
Untuk kau tanami pabrik dan rumah-rumah mewah
Dan tempat-tempat plesiran yang megah?
Siapa yang rela meninggalkan tempat tinggal
Dan segala milik, pekarangan, dan tegal
Bagi proyek-proyek prestisemu yang jajal-jajal?
Siapa yang membayar pajak tak boleh nunggak
Agar bangunan dan periukmu tegak?
Siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga
Untuk kau jejali rongsokan huruf dan kata-kata?
Siapa?
Kenapa kau tak menoleh sekejap saja?
(Tadarus: 10)
Bait-bait puisi di atas menunjukkan refleksi kritik bahwa rakyat miskin selalu
menjadi sasaran pihak yang berduit dan memiliki jabatan. Mereka selalu dikalahkan dalam
segala hal, baik untuk kepentingan bisnis maupun politik. Rakyat miskin selalu tidak
berdaya mengalami ketidakadilan hidup. Sementara jika ditanya, mengapa para pemegang
uang dan jabatan selalu berbuat demikian? Tanpa mengindahkan rasa kemanusiaan dan
keadilan? Mereka pun tak mampu menjawabnya, karena di dalam pikiran mereka, harta
dan kedudukan adalah segalanya. Sehingga dengan mudahnya mereka menghalalkan
segala cara untuk menginjak-injak rakyat miskin. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka
membungkus perilakunya dengan cara pembelaan atas nama rakyat.
Dalam puisi “Ratsaa” berikut menunjukkan kritik terhadap ketidakadilan dan
ketidaksempurnaan tatanan hidup. Semua urusan yang menjadi tanggung jawab masing-
masing individu dalam keluarga diserahkan pada orang yang lain yang tidak menjadi
tanggung jawabnya. Hingga pada urusan ibadah pada Tuhan sekalipun. Jika bisa dan dapat
dialihkan dan diwakilkan pada orang lain, maka mereka pun menyerahkan urusan tersebut.
anak-anakmu kau serahkan babumu
istrimu kau serahkan sopirmu
dirimu kau serahkan sekretarismu
tuhanmu kau serahkan siapa?
(Tadarus: 23)
Pada larik-larik puisi di atas, menunjukkan kritik penyair tentang karakter manusia
(saat ini) yang terlalu sibuk untuk mengurus apapun, baik urusan dunia maupun ibadah
kepada Tuhan sekalipun. Saking sibuknya, mereka lebih mudah meninggalkan tanggung
jawab individu dan keluarga untuk diserahkan atau diwakilkan kepada orang lain yang
semestinya tidak berhak untuk melaksanakan tanggung jawab itu. Meskipun untuk urusan
tanggung jawab kepada Tuhan, jika bisa diserahkan atau diwakilkan pada orang lain yang
bukan menjadi tanggung jawabnya. Entah dengan cara bagaimana?
Dalam puisi “Khalifah Allah, Dimanakah Kau?” berikut ini, menunjukkan kritik
terhadap beragam karakter manusia. Di depan mereka selalu berlaku diktator, angkuh, dan
kasar. Di tengah mereka tidak mau mengalah dan selalu ingin maju tapi tidak memiliki
kemampuan. Sementara di posisi belakang, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, semakin
terhimpit dan tersiksa dalam hidup. Dalam keadaan seperti ini, maka kita (rakyat) pada
umumnya, akan menemui kesusahan untuk mencari figur pimpinan yang benar-banar adil
dan dapat menempatkan diri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Di depan yang maju terus sendiri maju bagai lokomotip yang
dingin bagai bulldozer yang garang dalam keangkuhan yang
kaku menginjak-injak mendesak-desak mendorong-dorong yang
lain ke samping menumpuk-numpuk barisan panjang
yang terpelanting panik di belakang
Di tengah yang menengah terpisah resah berputar-putar sekitar
dirinya dalam kecongkaan-degilnya yang lalai ingin maju tak
mampu lalu berlagak maju tak maju
oleh mental dan ilmu yang tak maju-maju
kere yang melata di depan yang maju
pamer macam-macam di depan yang terbelakang
Di belakang yang terbelakang kian ke belakang terus ke belakang
terhimpit sepi yang kian rapi tak sempat senyum sesekali
masih tetap hidup semata-mata karena liatnya nyawa
Khalifah Allah, dimanakah kau?
(Tadarus: 41)
Bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik penyair tentang sulitnya mencari figur
khalifah (pimpinan) yang menempatkan keadilan dan kebenaran dalam berbagai posisi
kehidupan. Sekarang ini yang dapat dijumpai hanyalah sosok atau figur pimpinan jika di
depan bertindak sewenang-wenang dan sok berkuasa, menginjak-injak mereka yang lemah.
Di tengah mereka ingin tampil di depan, tapi tak mampu dari segi ilmu dan kemampuan.
Akhirnya, dia hanya bisa pamer di depan rakyat kecil. Sementara di belakang, dia semakin
terhimpit dan tersiksa dalam kehidupannya, akibat ketidakberdayaannya. Meskipun mereka
dapat bertahan hidup, itu hanyalah sebuah usaha (manusiawi) dalam mempertahankan
hidup.
Dalam puisi “Selamat Idul Fitri” berikut ini, penyair menunjukkan kritik sekaligus
penyadaran terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sekarang ini, jarang sekali kita
menjumpai sebuah tatanan hidup dengan dasar keadilan dan kebenaran, baik pada diri
sendiri, alam (tumbuhan dan hewan), maupun pada sesama. Melalui Idul Fitri, sudah
semestinya permohonan maaf harus disampaikan pada semuanya (baik kepada sesama
manusia maupun terhadap lingkungan) atas segala kezaliman yang telah diperbuat. Dengan
komitmen tidak akan mengulang kembali kesalahan yang sama. Artinya, kita mulai
tebarkan kasih sayang, baik kepada sesama maupun terhadap lingkungan yang memberi
kita kehidupan.
Selamat idul fitri, bumi
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak semena-mena
Kami memerkosamu
Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu
Selamt idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu
Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak segan-segan
Kami mengeruhkanmu
Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak putus-putus
Kami membrangusmu
Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu
Selamat idul fiti, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu
(Tadarus: 52)
Pada bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti
penting permohonan maaf. Sebab, barangkali saja sudah sekian lama kita melakukan
banyak kezaliman (berbuat tidak adil dan tidak benar) pada siapa pun. Baik terhadap diri
sendiri, sesama (para pemimpin dan rakyat) maupun terhadap alam (bumi, mentari, laut,
burung-burung, dan tumbuh-tumbuhan). Melalui Idul Fitri, kita sudah sepantasnya
menyampaikan permohonan maaf dengan tulus pada siapa pun (baik kepada sesama
maupun terhadap alam dan seisinya) atas segala kezaliman yang kita perbuat. Dengan
berjanji untuk tidak akan mengulang kembali kesalahan yang sama. Artinya, kita mulai
tebarkan kasih sayang, baik kepada sesama maupun terhadap lingkungan atau alam yang
memberi kita kehidupan.
Dalam puisi “Keadilan” berikut ini, penyair mengkritik sekaligus menunjukkan
penyadaran tentang makna keadilan yang mungkin saat ini masih dirasa sebagai mimpi.
Sesuatu yang masih jauh dari kenyataan. Keadilan masih dalam wujud angan-angan dan
impian yang belum dapat diraih.
Hampir tertangkap mimpi.
(Tadarus: 67)
Satu larik puisi di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti penting
sebuah keadilan, yang pada saat ini masih berwujud impian dan angan-angan yang belum
tergapai dalam kenyataan hidup. Atau barangkali keadilan memang hanya sebuah impian
saja, jauh dari kenyataan hidup? Hanya nurani yang bisa menjawabnya, sebab nurani lebih
dekat dengan keadilan dan kebenaran.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, puisi yang mengungkap tema
atau gagasan tentang kritik terhadap keadilan dan kebenaran hidup antara lain berjudul
”Merdeka”, ”Tikus”, ”Tikus-Tikus di Atas Meja”, ”Perlawanan”, ”Kepada Penyair”,
”Surabaya”, ”Dua Surat dari Surabaya”, ”Di Taman Pahlawan”, ”Orang Kecil Orang
Besar”, ”Rekayasa I”, ”Rekayasa II”, ”PT Rekayasa Semesta”, dan ”Negeriku”. Dalam
puisi ”Merdeka” berikut ini, kita dihadapkan pada gambaran tentang arti kemerdekaan
yang masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, baik kemerdekaan terhadap kesempatan
kerja, kelayakan pendapatan maupun hanya sekedar kemerdekaan berpendapat.
Merdeka!
@#$&*{?}<[!}
?.!.?.!.?.!!!
Merdeka?
(Pahlawan dan Tikus: 8)
Larik puisi di atas menunjukkan kritik tentang makna kemerdekaan yang masih
ruwet dan belum jelas maknanya serta masih menjadi tanda tanya keberadaannya (di negeri
ini). Sudahkah kita benar-benar merdeka? Pertanyaan yang harus dijawab dengan bukti dan
kenyataan. Akan tetapi, dalam kenyataan di segala bidang kehidupan di negeri ini,
kemerdekaan nyata-nyata belum terbukti untuk dapat dinikmati seluruh rakyat dalam
segala lapisan. Utamanya rakyat yang masih dalam bayang-bayang kemiskinan dan
sengsara dalam hidup.
Dalam puisi “Tikus” berikut ini, penyair menunjukkan sebuah metafora terhadap
karakter pencuri uang rakyat (dalam konteks kekinian), yakni para koruptor . Dengan
leluasa mereka mengambil uang rakyat tanpa harus merampok. Mereka melakukan aksinya
dengan berbagai upaya licik dan terselubung. Pada akhirnya, mereka bisa melakukan
aksinya dengan tidak meninggalkan jejak, sehingga tidak tercium dan terjamah wilayah
hukum.
Memanen tanpa menanam
Merompak tanpa jejak
Kabur tanpa buntut
Bau tanpa kentut
(Pahlawan dan Tikus: 17)
Larik-larik puisi ‘tikus’ di atas, menunjukkan sebuah metafora tentang karakter para
pencuri uang rakyat, yakni para koruptor. Seribu macam cara dan kerja akan dibuat oleh
para koruptor untuk mengambil uang rakyat. Mereka dalam melakukan aksinya dengan
licik, sehingga sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan jejak dan tidak pula sampai
tercium oleh aparat penegak hukum.
Dalam puisi “Tikus-tikus di Atas Meja” berikut, kembali penyair menunjukkan kritik
terhadap ketidakberdayaan aparat penegak hukum yang dimetaforakan sebagai kucing
yang menghadapi tikus sebagai metafora para pencuri uang rakyat (para koruptor). Dengan
segala kelicikannya, para koruptor berhasil menyikat apapun yang bukan menjadi haknya.
Dengan berbagai tampilan dan aksinya, mereka lakukan pekerjaan haram itu dengan
terang-terangan maupun sembunyi-bunyi.
Tikus-tikus di atas meja
(Seram juga melihat taring-taingnya)
Dengan rakus menyikat apa saja
Beberapa tikus meluncur turun ke bawah
Berebut remah dengan kecoa-kecoa kecil
Sesekali terdengar kersik suara
Tikus-tikus pun sekejap menghilang
Bagai ditelan bumi
Tapi tak lama moncong dan taringnya
Muncul lagi
Mengawasi sekeliling dengan waspada
Lalu naik lagi berputar-putar di atas meja
Mencari-cari sisa-sisa dengan jelinya
Lalu turun lagi kalau-kalau ada yang terlewatkan
Lalu naik lagi dengan mata dan hidung memeriksa
Ketika tak ada lagi yang bisa dimakannya
Mereka pun beramai-ramai menggerogoti meja
seekor kucing gembong mendekam di sudut
Pura-pura tak tahu
Atau barangkali
takut.
(Pahlawan dan Tikus: 25)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik penyair tentang perilaku ‘tikus’ sebagai
metafora dari para pencuri uang rakyat (koruptor) yang dengan leluasa bergerak tanpa
malu dan ragu lagi dalam merampas hak rakyat kecil, baik secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan. Mereka sikat habis uang rakyat tanpa sisa. Taktik dan kerja
mereka, sangatlah licik. Begitu terdengar situasi tidak aman bagi keselamatan diri mereka,
mereka sejenak menghilangkan jejak dan kegiatannya. Setelah dirasa situasi dan posisima
mereka aman, muncul kembali dengan tampilan baru yang lebih garang. Mereka lakukan
aksinya dengan mengambil sikap waspada terhadap situasi. Mereka kembali habisi semua
uang yang ada, tanpa tersisa. Begitu melihat semua uang sudah habis, mereka pun pergi
dengan segala taktik liciknya, agar tidak meninggalkan jejak. Ada seekor ‘kucing
gombong’ (aparat penegak hukum) yang melihat aksi dari ‘tikus’ (para koruptor) tersebut.
Mereka duduk terpaku seolah-olah tidak berdaya atau bahkan takut dalam menegakkan
hukum untuk menindak para koruptor.
Dalam puisi “Perlawanan” berikut ini, penyair menunjukkan kritik terhadap
ketidakadilan sosial, yakni tentang sikap perlawanan rakyat dikarenakan kezaliman dan
kebebalan sikap penguasa (para pemimpin). Rakyat sudah sekian kali mengingatkan para
pemimpinnya, agar berlaku adil dan tidak terus-menerus menzalimi rakyat. Akan tetapi,
kebanyakan para pemimpin dengan mudahnya tak menghiraukan apa yang menjadi
keinginan dan peringatan dari rakyat. Akhirnya, tidak ada jalan lain bagi rakyat, selain
untuk melawan penguasa (para pemimpin) yang zalim dan bebal.
penyesalan dan pengulangan
pengulangan dan penyesalan
silih berganti bagai ribuan lebah hutan
mengikuti berjuta kata yang kami tikamkan
menyengat lalu tak kalian hiraukan
hingga akhirnya kalian kebal sengatan
tapi biarlah kepada kalian
untuk kesekian milyar kalinya kukatakan
kami bukanlah lebah
apalagi cacing tanah
kami adalah takdir kalian
justru kelaliman dan kekebalan kalian
telah mengebalkan dan meliatkan
tekad kami melawan
kita lihat saja
nyawa siapa
yang lebih mampu bertahan
(Pahlawan dan Tikus: 27)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan tentang keberanian rakyat untuk melawan para
pemimpin yang zalim dan bebal. Keberanian rakyat tersebut bukan tidak beralasan. Rakyat
sudah terlalu sering untuk mengingatkan para pemimpinnya agar bertindak adil terhadap
rakyat. Akan tetapi, para pemimpin sering juga untuk tidak mengindahkan keinginan dari
rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat melawan dengan segenap kemampuan. Akhirnya, tegak
tidaknya sebuah keadialan sosial hanya dua pilihan, nurani rakyat yang menang atau tetap
berkuasanya pemimpin yang zalim dan bebal?
Dalam puisi “Kepada Penyair” berikut ini, penyair menunjukkan kritik terhadap para
penyair bahwa kehadiran sajak atau puisi akan sangat bermanfaat bila diberi muatan
tentang pembelaan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sajak atau puisi tidaklah
harus selalu indah dengan untaian kata. Puisi bukanlah rangkaian kata yang melulu sendu
tetapi bermakna nafsu dan menipu, bukan pula anyaman angan-angan yang penuh cinta
memburu nafsu tetapi bermakna lemah tanpa arah. Sajak dan puisi baru bermakna jika
dapat menyuarakan nurani yang tertindih dan tersiksa akibat kesewenang-wenangan yang
merajalela. Lebih jauh, sajak atau puisi yang bermakna adalah untaian kata yang
bermuatan dzikir dan doa yang membawa suara Tuhan, yang dengan mahacahaya-Nya
untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan segala kelaliman dan kesewenang-
wenangan.
Brentilah menyanyi sendu
tak menentu
tentang gunung-gunung dan batu
mega-mega dan awan kelabu
tentang bulan yang gagu
dan wanita yang bernafsu
Brentilah bersembunyi
dalam simbol-simbol banci
Brentilah menganyam-anyam maya
mengindah-indahkan cinta
membesar-besarkan rindu
Brentilah menyia-nyiakan daya
memburu orgasme dengan tangan kelu
Brentilah menjelajah lembah-lembah
dengan angan-angan tanpa arah
Tengoklah kanan-kirimu
Lihatlah kelemahan dimana-mana
membuat lelap dan kalap siapa saja
Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela
mebabat segalanya
Lihatlah segalanya semena-mena
mengroyok dan membiarkan nurani tak berdaya
Bangunlah
Asahlah huruf-hurufmu
Celupkan baris-baris sajakmu
dalam cahya dzkir dan doa
Lalu tembakkan kebenaran
Dan biarlah Maha Benar
yang menghajar kepongahan gelap
dengan mahacahyaNya
(Pahlawan dan Tikus: 47)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik kepada para penyair agar berhenti
menyusun untaian kata sendu tetapi bermakna gagu dan bernafsu, berhenti menyusun kata-
kata sunyi tapi tak berarti, dan berhenti merangkai kata indah penuh cinta tetapi bermakna
lemah tanpa arah. Sajak atau puisi yang bermakna adalah yang menyuarakan hati nurani
yang tertindas dan terampas akibat kesewenang-wenangan. Sajak dan puisi yang bermakna
adalah yang bermuatan dzikir dan doa yang membawa suara Tuhan untuk menegakkan
kebenaran, dan dengan mahacahaya-Nya untuk mengahancurkan kesewenang-wenangan.
Dalam puisi “Surabaya” kita diingatkan kembali semangat patriotisme dan
kepahlawanan arek-arek Suroboyo dalam melawan keserakahan dan kesewenang-
wenangan penguasa. Semangat mereka yang berkobar-kobar seakan tak mengindahkan
senjata atau apapun yang dimiliki musuh. Mereka pun tak melihat keadaan tubuh dan
senjata yang dibawanya. Walaupun begitu, mereka punya semangat yang membaja di
dada, merah putih yang berkibar dihati, dan pekik Allah Akbar dan Merdeka yang
menggelegar mengoyak langit Surabaya dan menggetarkan semua yang mendengar. Akan
tetapi, arek-arek Surabaya (saat ini) telah kehilangan semangat patriotisme dan keberanian
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah kehilangan nyali, karena sudah
dipenuhi kepuasaan pribadi demi keselamatan diri. Arek-arek Surabaya sudah menelan
dan menyembunyikan semangat kepahlawanannya, entah ke mana.
Jangan anggap mereka kalap
Jika mereka terjang senjata Sekutu yang lengkap
Jangan kira mereka nekat
Karena mereka Cuma berbekal semangat
Melawan seteru yang hebat
Jangan sepelekan senjata di tangan mereka
Atau lengan yang mirip kerangka
Tengoklah baja di dada mereka
Jangan remehkan sesobek kain di kepala
Tengoklah merah-putih yang berkibar
Di hati mereka
Dan dengar pekik mereka
Allahu Akbar!
Dengarlah pekik mereka
Allahu Akbar!
Gaungnya menggelegar
Mengoyak langit
Surabaya yang murka
Allahu Akbar!
Menggetarkan setiap yang mendengar
Semua pun jadi kecil
Semua pun tinggal seupil
Semua menggigil
Surabaya,
O, kota keberanian
O, kota kebanggaan
Mana sorak-sorai takbirmu
Yang membakar nyali kezaliman?
Mana pekik merdekamu
Yang menggetarkan ketidakadilan?
Mana arek-arekmu yang siap
Menjadi tumbal kemerdekaan
Dan harga diri
Menjaga ibu pertiwi
Dan anak-anak negeri.
Ataukah kini semuanya ikut terbuai
Lagu-lagu satu nada
Demi menjaga
Keselamatan dan kepuasan
Diri sendiri
Allahu Akbar!
Dulu arek-arek Surabaya
Tak ingin menyetrika Amerika
Melinggis Inggris
Menggada Belanda
Murka kepada Gurka
Mereka hanya tak suka
Kezaliman yang angkuh merajalela
Mengotori persada
Mereka harus melawan
Meski nyawa yang menjadi taruhan
Karena mereka memang pahlawan
Surabaya,
Dimanakah kau sembunyikan
Pahlawanku?
(Pahlawan dan Tikus: 54)
Larik-larik puisi “Surabaya” di atas menunjukkan pada kita betapa besar dan luar
biasanya semangat arek-arek Suroboyo dalam bertempur melawan ketidakadilan dan
ketidakbenaran (penjajahan). Mereka punya semangat membaja di dada, merah putih yang
berkibar di hati, dan pekik Allah Akbar dan Merdeka yang menggema di angkasa Surabaya
yang menggetarkan semua yang mendengar. Akan tetapi, arek-arek Surabaya kita kini
sudah kehilanagn nyali karena memburu kepuasan pribadi untuk keselamatan diri.
Bahkan, mereka sekarang sudah menelan dan menyembunyikan semangat
kepahlawanannya, entah ke mana.
Dalam puisi “Dua Surat dari Surabaya” berikut, penyair menunjukkan kritik dan
meingatkan kita terhadap dua peristiwa besar dalam kurun yang berbeda tetapi memiliki
kesamaan visi tentang karakter kepahlawanan. Pertama, adalah surat yang ditulis atas
nama pahlawan dengan latar belakang pertempuran November 1945 di Surabaya, bahwa
mereka (para pahlawan) berjuang dengan semangat yang membaja untuk kebenaran dan
keadilan yakni mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan.
Dengan tanpa pamrih sedikitpun, mereka rela mengorbankan jiwa, raga bahkan nyawa.
Mereka para pahlwan kusuma bangsa hanya punya satu tujuan utama yakni alam
kemerdekaan demi kebahagiaan anak cucu mereka sekarang ini.
Kedua, adalah surat yang ditulis atas nama pahlawan juga. Dia seorang buruh pabrik
bernama Marsinah yang meninggal dunia sekitar November 1993 demi membela
kebenaran dan keadilan atas hak-hak buruh yang diinjak-injak. Dengan tanpa pamrih pula,
Marsinah rela mengorbankan jiwa, raga bahkan nyawa demi menegakkan nilai-nilai
keadilan dan kebenaran. Kedua peristiwa dalam surat tersebut, penulisnya adalah pahlawan
sejati dengan visi perjuangan yang sama. Meskipun berbeda waktu dan ruang, karena
waktu dan ruang tidak akan membedakan semangat bagi mereka yang mendambakan
tegaknya kebenaran dan keadilan. Meraka kini telah tiada. Tapi nama meraka tetap harum
dikenang, sebab kematian mereka sama sekali tidak sia-sia.
Surabaya, November 1945
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dengan ini kami beritahukan bahwa
Sehubungan dengan kedatangan bala tentara sekutu
Yang dengan angkuh hendak menginjak-injak kedaulatan
Dan harga diri kita semua
Yang dengan membanggakan kelengkapan senjata lalim mereka
Hendak merenggut kemerdekaan yang menjadi milik asasi kita.
Maka dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab,
Kami sambut mereka dengan takbir dan pekik merdeka.
Kami lawan mereka mati-matian
Bukan karena kulit mereka lain dari kulit kita
Bukan karena hidung mereka lain dari hidung kita
Bukan karena lidah mereka lain dengan lidah kita
Bukan karena mereka Inggris, Belanda, atau Gurka
Bukan karena mereka asing bagi kita
Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka
Semata-mata karena kelaliman mereka
Jangan lihat sejengkal tanah yang kami pertahankan
Selembar nyawa mudah yang kami pertaruhkan
Tapi lihatlah kehidupan mulia yang kami perjuangkan.
Kami tak punya apa-apa kecuali pilihan
Tetap merdeka atau mati.
Hidup terhormat atau syahid di hadapan Tuhan.
Sia-siakah kematian kami?
Kalian yang masih hidup, bagaimana kini?
Semoga kalian senantiasa hidup merdeka. Amin.
Wassalam.
Sauara-saudaramu yang mati muda di Surabaya
Surabaya, November 1993
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dengan ini saya beritahukan bahwa saya
Sudah tidak di Nganjuk lagi. Surat ini saya tulis
di Kota Pahlawan menjelang Hari Pahlawan.
Saya bersyukur berkat perjuangan saya yang tak seberapa membela
Hak saudara-saudara saya yang sederhana,
Majikan-majikan saya telah berkenan mengantarkan saya,
Meski berliku-liku mengerikan jalannya,
Kepada pahlawan-pahlawan negeri ini
Yang telah mewariskan kepada saya sedikit semangat
Membela kebenaran dan keadilan.
Jangan lihat kenaikan upah yang cuma sekian ratus rupiah
Yang mungkin dianggap majikan-majikan kami tak lebih rendah
Disbanding selembar nyawa seekor buruh yang payah
Jangan lihat kebinatangan mereka yang menganiaya diri saya
Tapi lihatlah nasib keadilan yang parah
Dibawah kekuasaan dan keserakahan yang pongah
Seandainya mereka tidak merenggut nyawa saya,
Orang-orang seperti saya pun akan mati tersiksa juga
Bersama keadilan yang terkalahkan.
Hidup tanpa keadilan adalah kematian.
Sia-siakah kematian saya?
Kalian yang masih hidup, jawablah.
Wassalam. Marsinah
NB:
Kalau jasad saya masih dibutuhkan, silakan bongkar kubur saya.
Saya tak memerlukan lagi.
Apabila kalian ingin mengirim doa, alamat saya mudah. Sama dengan arek-arek yang empat puluh delapan tahun yang lalu mempertahankan merah-putih di sini. Kami kumpul di Taman Pahlawan sejati. (Sebenarnya kami ingin sekali bersemayam di hati kalian).
(Pahlawan dan Tikus: 56)
Larik-larik puisi berwujud surat di atas menunjukkan pada kita tentang nilai
kepahlawanan sejati dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda. Akan tetapi, memiliki
visi yang sama dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Pertama, kita ditunjukkan semangat yang luar biasa dari arek-arek Soroboyo dalam
mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut paksa oleh para penjajah. Mereka rela
mengorbankan jiwa, raga, bahkan nyawa demi kebahagiaan anak cucu mereka, agar bisa
menghirup udara kemerdekaan hingga kini. Kedua, kita ditunjukkan semangat yang tak
kalah luar biasa dari seorang buruh yang bernama Marsinah dalam menegakkan keadilan
dan kebenaran atas nama hak-hak buruh yang diinjak-injak kezaliman. Marsinah rela
mengorbankan jiwa, raga, bahkan nyawa demi tegakknya keadilan dan kebenaran terhadap
hak-hak buruh hingga kini.
Kedua pahlawan dalam dua surat adalah pahlawan sejati yang namanya terus
terkenang di hati bangsanya hingga kini, dan kematian mereka adalah kematian yang mulia
di sisi Tuhan. Kita yang dibahagiakan lewat perjuangan mereka, wajib memberi hormat
dan mengirim doa buat mereka.
Dalam puisi “Di Taman Pahlawan” berikut, kita ditunjukkan sebuah dialog antara
kita dengan para pahlawan yang gugur mendahului kita. Bahwa di antara para pahlawan di
alam sana, ada yang benar-benar pahlawan dan ada pula yang salah jika disebut sebagai
‘pahlawan’ (karena tuntutan keadaan). Yang benar-benar pahlawan, menanyakan pada kita
tentang semangat patriotisme dan keberanian membela kebenaran dan keadilan di alam
kemerdekaan. Masih tegakkah kebenaran dan keadilan di alam kemerdaan ini atau hanya
tinggal dongeng dan slogan belaka? Bagi mereka yang bukan pahlawan atau salah disebut
‘pahlawan’, hanya tersipu malu mendengarkannya. Sebab perjuangan meraka dulu sama
sekali tidak mengindahkan nurani, tetapi atas nama kepentingan dan tuntutan pribadi,
keluarga, dan kolega.
Begitu muncul Marsinah melewati Taman Pahlawan, mereka berharap ada
penghormatan yang sama dengan mereka dulu saat dikebumikan. Akan tetapi, dugaan
mereka salah. Jasad Marsinah tidak dikebumikan. Jasadnya masih dibutuhkan untuk
kepentingan penyelidikan bagi orang-orang berperilaku jahat, yang hanya mencari muka.
Dikubur atau tidak, bagi Marsinah sendiri tidaklah penting. Yang terpenting bagi dirinya
adalah merelakan dirinya menjadi ‘tumbal’ demi tegaknya keadilan di negeri ini. Atau
bahkan sebaliknya, sekedar sebagai bangkai tak berarti apa-apa di Republik ini.
Di taman pahlawan beberapa pahlawan sedang berbincang-bincang
tentang keberanian dan perjuangan.
Mereka bertanya-tanya apakah ada yang mewariskan semangat
perjuangan dan pembelaan kepada yang ditinggalkan ?
Ataukah patriotisme dan keberanian di zaman pembangunan ini sudah tinggal menjadi dongeng dan slogan ?
Banyak sekali tokoh di situ yang diam-diam ikut mendengarkan dengan perasaan malu dan sungkan.
Tokoh-tokoh ini menyesal pihak-pihak yang membawa mereka ke
mari karena menyangka mereka juga pejuang-pejuang pemberani. Lalu menyesali diri mereka sendiri yang dulu terlalu baik memerankan tokoh-tokoh gagah berani tanpa mengindahkan nurani.
(Bunga-bunga yang setiap kali ditaburkan justru membuat mereka lebih tertekan)
Apakah ini yang namanya siksa kubur?
tanya seseorang di antara mereka yang dulu terkenal takabur.
Tapi kalau kita tak disemayamkan di sini, makam pahlawan ini akan
sepi penghuni, kata yang lain menghibur.
Tiba-tiba mereka mendengar tentang Marsinah.
Tiba-tiba mereka semua yang di Taman Pahlawan,
yang betul-betul pahlawan atau yang keliru dianggap pahlawan, begitu girang menunggu salvo ditembakkan dan genderang penghormatan ditabuh lirih mengiringi kedatangan wanita muda yang gagah perkasa itu.
Di atas, Marsinah yang berkerudung awan putih
Berselendang pelangi tersenyum manis sekali:
Maaf kawan-kawan, jasadku masih dibutuhkan
Untuk menyingkapkan kebusukan dan membantu mereka
Yang mencari muka.
Kalausudah tak diperlukan lagi
Biarlah mereka menanamnya di mana saja di persada ini
Sebagai tumbal keadilan atau sekedar bangkai tak berarti.
(Pahlawan dan Tikus: 58)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita tentang ungkapan pertanyaan dari
para pahlawan (yang benar-benar pahlawan) kepada kita tentang patriotisme dan
keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di alam kemerdekaan ini. Masih
tegakkah keadilan dan kebenaran di alam kemerdekaan ini atau hanya tinggal dongeng atau
slogan belaka? Sementara, mereka yang salah disebut sebagai ‘pahlawan’ merasa malu
mendengarkannya, sebab mereka dulu berjuang bukan demi tegaknya keadilan dan
kebenaran. Mereka berjuang untuk kepentingan pribadi bukan nurani. Tetapi begitu mereka
(pahlawan dan yang salah disebut ‘pahlawan’) terperangah melihat jasad Marsinah yang
berkrudung putih dan tersenyum manis. Mereka berharap Marsinah juga menerima
perlakuan yang sama seperti saat mereka dulu dikebumikan. Akan tetapi, dugaan mereka
salah. Bahwa jasad Marsinah belum dikebumikan, sebab masih digunakan untuk
penyelidikan bagi orang-orang berperilaku jahat, yang hanya mencari muka. Bagi
Marsinah, dikubur atau tidak, bukanlah hal yang penting. Yang terpenting bagi dirinya
adalah merelakan dirinya menjadi tumbal demi tegaknya keadilan di negeri ini. Atau
sebaliknya, hanya sebagai bangkai yang tak berarti apa-apa. Semua tergantung pada kita,
sanggupkah kita tetap menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran di Republik tercinta
ini dalam kondisi dan situasi apapun? Atau sebaliknya, membiarkan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan tercampakkan di negeri ini.
Dalam puisi “Orang Kecil Orang Besar” di bawah ini, kita ditunjukkan dialog
sederhana sebuah penghuni rumah yang tampak sangat sederhana dan penat, sepenat
situasi yang menghimpit mereka seisi rumah. Dialog tersebut berupa nasihat dan wasiat
ayah dan ibu yang lugu terhadap anaknya yang lugu pula. Nasihat dan wasiat itu berisi,
bahwa si anak jangan sampai menjadi orang kecil yang selamanya akan selalu tidak
berdaya dan dibuat permainan orang-orang besar. Oleh karena itu, keduanya berpesan
jadilah orang besar yang memiliki banyak kesempatan besar dan bisa mempermainkan
apapun semaunya. Termasuk mempermainkan orang-orang kecil. Si anak terdiam, dalam
hatinya bertanya-tanya. Mungkinkah orang kecil akan menjadi orang besar? Hal ini terus
terngiang dalam hatinya, tentang orang kecil yang tak akan mampu dan berdaya untuk
menegakkan nilai kebenaran dan keadilan hidup. Sedangkan orang besar yang selalu tegas
mengatakan ‘persetan’ akan nilai kebenaran dan keadilan hidup.
Suatu hari yang tak cerah
Di dalam rumah yang gerah
Seorang anak yang lugu
Sedang diwejang ayah-ibunya yang lugu
Ayahnya berkata:
“Anakku,
Kau sudah pernah menjadi anak kecil
Janganlah kau nanti menjadi orang kecil!”
“Orang kecil kecil peranannya
Kecil perolehannya” tambah si Ibu
“Ya,” lanjut ayahnya
“Orang kecil sangat kecil bagiannya
Anak kecil masih mendingan
Rengeknya didengarkan
Suaranya diperhitungkan
Orang kecil tak boleh memperdengarkan rengekan
Suaranya tak suara.”
Sang ibu ikut wanti-wanti:
“Betul, jangan sekali-kali jadi orang kecil
Orang kecil jika jujur ditipu
Jika menipu dijur
Jika bekerja digangguin
Jika mengganggu dikerjain.”
Ayah dan ibu berganti-ganti menasehati:
“Ingat, jangan sampai jadi orang kecil
Orang kecil jika ikhlas diperas
Jika diam ditikam
Jika protes dikentes
Jika usil dibedil
“Orang kecil jika hidup dipersoalkan
Jika mati tak dipersoalkan.”
“Lebih baik jadilah orang besar
Bagiannya selalu besar”
“Orang besar jujur tak jujur makmur
Benar-tak benar dibenarkan
Lalim-tak lalim dibiarkan.”
“Orang besar boleh bicara semaunya
Orang kecil paling jauh dibicarakan saja”
“Orang kecil jujur dibilang tolol
Orang besar tolol dibilang jujur
Orang kecil berani dikata kurang ajar
Orang besar kurang ajar dikata berani”
“Orang kecil mempertahankan hak
Disebut pembikin onar
Orang besar merampas hak
Disebut pendekar”
Si anak terus diam tak berkata-kata
Namun dalam dirinya bertanya-tanya”
“Anak kecil bisa menjadi besar
Tapi mungkinkah orang kecil
Menjadi orang besar?”
Besoknya entah sampai kapan
Si anak terus mencoret-coret
Dinding kalbunya sendiri:
“ O r a n g k e c i l ? ? ?
O r a n g b e s a r ! ! ! !”
(Pahlawan dan Tikus: 63)
Larik-larik puisi “Orang Kecil Orang Besar” di atas, kita ditunjukkan dialog
sederhana sebuah penghuni rumah yang mungkin sangat sederhana dan penat, sepenat
situasi yang menghimpit mereka seisi rumah. Dialog tersebut berupa nasihat dan wasiat
ayah dan ibu yang lugu terhadap anaknya yang lugu pula. Nasihat kedua orang tua berisi,
bahwa kelak nanti anaknya jangan sampai menjadi orang kecil. Sebab orang itu, kecil
peranannya dan kecil perolehannya. Orang kecil itu tak boleh merengek dan meminta,
sebab percuma, suaranya tak akan terderngar. Orang kecil itu jika jujur ditipu, jika menipu
dihabisi, jika bekerja selalu diganggu, dan jika mengganggu akan dibuat main-main. Kedua
orang tua si anak juga berwasiat janganlah kelak si anak menjadi orang kecil. Sebab orang
kecil itu jika ikhlas akan diperas, jika diam akan ditikam (dibunuh), jika protes akan
dikentes (dipukul), jika usil akan dibedil (ditembak), dan orang kecil itu jika hidup
dipersoalkan, tapi jika mati tak dipersoalkan.
Selanjutnya kedua orang tua tersebut berpesan pada anaknya, untuk menjadi orang
besar. Sebab orang besar, bagiannya juga besar. Selain itu, orang besar itu jujur atau tidak
jujur selalu makmur, benar atau tak benar selalu dibenarkan, zalim atau tak zalim akan
dibiarkan. Orang besar boleh bicara semaunya, orang kecil paling hanya dibicarakan.
Orang besar tolol dibilang jujur, orang kecil jujur dibilang tolol. Orang besar kurang ajar
dikatakan berani, orang kecil berani dikatakan kurang ajar. Orang besar merampas hak
disebut pendekar, orang kecil mempertahankan hak disebut pembikin onar. Si anak
terdiam, dalam hatinya bertanya-tanya, mungkinkah orang kecil seperti dia akan menjadi
orang besar? Hal ini terus terngiang dalam hatinya. Inilah gambaran tentang orang kecil
yang selalu ragu dan bertanya tentang tegakknya nilai kebenaran dan keadilan hidup.
Sedangkan orang besar, yang dengan tegasnya mengatakan ‘persetan’ terhadap tegaknya
nilai kebenaran dan keadilan hidup.
Uraian analisis tema tentang ”kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran
hidup” yang terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan dan kebenaran masih merupakan
cerita atau dongeng di alam kemerdekaan ini. Artinya, dalam kehidupan (saat ini) untuk
menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran adalah perjuangan yang amat berat.
Dibutuhkan keberanian, bahkan taruhannya adalah nyawa. Akan tetapi, seberat apapun
perjuangan menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kita harus punya komitmen
untuk menegakkannya.
Selanjutnya, kita laksanakan komitmen tersebut dalam kehidupan yang nyata. Yakni,
dengan tetap mengedepankan sikap adil dan benar dalam segala hal. Dengan tidak
memandang untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompok kita. Akan tetapi, pada
siapapun kita harus bersikap adil dan benar. Hal ini, sejalan dengan pendapat tentang sikap
penyair yang disampaikan oleh M. Imam Aziz (2009 : xiii) dalam kata pengantarnya pada
buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut.
Gus Mus (A. Mustofa Bisri) adalah sebuah misteri, paling tidak bagi saya yang tidak terlalu akrab dalam pergaulan sehari-hari bersamanya. Tapi, justru dengan itu, saya menghormati beliau sepenuh-penuhnya. Pembawaannya yang entengan, penuh canda dan ledekan, namun bisa sangat “marah” dengan ketidakadilan, mencerminkan pandangan hidupnya yang tegak lurus dengan prinsip tasamuh-tawazun-i’tidal (toleran, seimbang, dan proporsional), seperti pada umumnya diyakini kalangan kiai pesantren.
3) Kritik terhadap Ketidakjujuran dalam Kehidupan
Kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan adalah tema yang juga ingin
disampaikan penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam
penelitian ini. Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tema ketidakjujuran
dalam kehidupan, antara lain pada puisi yang berjudul ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”,
”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”. Dalam puisi berjudul ”Jangan Berpidato” di
berikut ini, kita ditunjukkan sikap penolakan penyair terhadap pidato yang akhir-akhir ini
sudah tidak lagi menunjukkan nuansa kejujuran nurani baik segi bentuk maupun isi.
Keberadaan pidato sekarang ini hanyalah ocehan murahan untuk menutupi segala
kekurangan. Kekurangan yang dianggap baik, akan membuat diri kita sendiri hancur
dimakan kebaikan dan kejujuran nurani.
Jangan berpidato!
kata-katamu yang paling bijak
hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi
menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu
Peradaban koreng!
Has asasi borok !
Perdamaian kurap!
Demokrasi kudis!
Humanisasi panu!
Berlagaklah adi siapa perduli
Bangunanmu tinggal cantik di luar
Tinggal menunggu saat-saat ambyar
(Tadarus: 8)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita betapa tidak berdayanya sebuah
nasihat dalam pidato dengan kata-kata paling bijak sekalipun. Sebab kebijakan yang
dibawa hanyalah pelapis luarnya saja terhadap segala keburukan dan kebobrokan yang
melatarbelakangi keadaan yang sebenarnya. Segala hal yang baik, semisal: peradaban,
hak asasi, perdamaian, demokrasi, dan humanisasi adalah keburukan dari peradaban, hak
asasi, perdamaian, demokrasi, dan humanisasi itu sendiri. Sehingga yang tampak dan
dapat disaksikan hanyalah sebuah bangunan yang baik luarnya, tapi rapuh kerangka dan
penyangganya. Pada akhirnya, tinggal menunggu hancur dan robohnya bangunan itu.
Sikap yang ditunjukkan penyair pada kita, kejujuran seharusnya tidak hanya tampak di
luar, tetapi juga harus tampak di dalamnya.
Dalam puisi “Rampok” di bawah ini, penyair menunjukkan kritik terhadap
ketidakjujuran seseorang dalam bersikap. Umumnya, jika disuruh memilih antara harta,
nyawa, dan nurani, maka jawaban yang diberikan kebanyakan adalah lebih senang harta
daripada nyawa atau sebaliknya. Akan tetapi, lebih ironis lagi ada sebagian manusia justru
lebih sayang pada nyawa atau harta daripada memihak pada nuraninya.
Nyawa atau harta?!
Harta !
Nyawa atau harta ?!
Nyawa !
Nurani atau nyawa ?!
Nyawa!
Nyawa atau nurani?!
Nya
wa
!
(Tadarus: 9)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik penyair tentang betapa tidak pentingnya
harga sebuah nurani dibanding dengan harta maupun nyawa. Inilah yang sering kita jumpai
dalam kehidupan, kita kurang berani dalam menampilkan kejujuran nurani. Meskipun
kedudukan maupun jabatan dan keadaan ekonomi kita terhimpit sekalipun.
Dalam puisi “Menulis” berikut ini, menunjukkan kritik penyair terhadap nilai-nilai
kejujuran. Bahwa dalam kehidupan setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian dalam
membuat keputusan atau kebijakan yang setara dengan kedudukan atau jabatan yang
disandanganya, tanpa harus didasari dengan kejujuran nurani. Semakin tinggi jabatan dan
kedudukannya semakin bebas dia memutuskan segala sesuatu. Semakin tidak berdaya
seseorang, maka semakin kecil dan sepele yang diputuskannya.
orang kuat menulis katabelece
helmezet helmezet
!
orang besar menulis memo
helmezet helmezet
!
orang kaya menulis kwitansi
helmezet helmezet
!
orang rendah menulis pernyataan
helmezet helmezet
!
aku mencoba menulis puisi
helmezet helmezet
??
(Tadarus: 22)
Larik-larik puisi di atas, penyair menunjukkan kritik pada kita tentang kejujuran
hidup yang masih jauh dari impian nurani. Yang berlaku sekarang ini adalah bahwa siapa
pemilik kekuasaan dan jabatan besar atau tinggi, maka dapat memutuskan apapun yang
dikehendaki. Akan tetapi, sebaliknya jika tidak memiliki jabatan atau kedudukan, maka
sudah sepantasnya tidak bisa berbuat apapun selain hanya bisa membuat hal-hal yang
sepele dan remeh. Meskipun yang sepele dan remeh tersebut sangat berarti dan berdaya
dalam mengungkap kejujuran dalam kehidupan. Sebaliknya, yang diputuskan orang-orang
yang memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah sebuah omong kosong dan tipuan-tipuan
belaka terhadap kehidupan.
Dalam puisi “Allah Ampunilah Kami” di bawah ini, kembali kita disadarkan akan
ketidakberdayaan kita terhadap kemahakuasa-Nya. Dari hari ke hari kita semakin terbebani
dengan segala ketidakpastian hidup. Hal itu terjadi, dikarenakan perilaku kita sendiri. Kita
tidak meyakini keberadaan nurani dan kejujuran dalam bertindak dan bersikap. Padahal
nurani dan kejujuran adalah suara Tuhan.
Dari hari ke hari kita terus terbelenggu dengan ketidakmampuan kita untuk
memisahkan antara kebenaran dan kemungkaran, perdamaian dan pertikaian, keserakahan
dan keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan. Bahkan kebijakkan dapat terpasung oleh
hukum, keadilan dipenjarakan oleh kekuasaan, dan nurani selalu diteror dan diasingkan
oleh akal. Kalau sudah demikian ke mana kita akan mengadu, selain memohon ampunan
pada Tuhan. Sebelum Tuhan menghancurkan peradaban kita sendiri.
Allah, hendak Engkau hancurkan dengan cara apa kami maka
Engkau kirim-kuasakan virus-virus penyebar ketidakpastian
Yang dari hari ke hari menggerogoti keyakinan.
Kebenaran menjadi tak begitu benar
Bahkan sering terlalu benar
Kemungkinan menjadi tidak begitu mungkar
Bahkan sering terlalu mungkar
Ikrar dan ingkar kehilangan pagar
Damai dan bertikai kehilangan bingkai
Serakah dan barokah kehilangan pemisah
Maksiat dan dan taat kehilangan sekat
Kebijaksaan menghadang hukum dan menghakiminya sendiri
Kekuasaan mengamankan keadilan dan memenjarakannya tanpa
Mengadili
Akal menteror nurani dan mengasingkannya tanpa toleransi
Allah, hendak Engkau hancurkan dengan cara apa kami maka
Engkau kirm-kuasakan virus-virus penyebar ketidakpastian
Yang dari hari ke hari menggerogoti keyakinan
Allah, ampunilah kami.
(Tadarus: 57)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita bahwa tanpa petunjuk dan
pertolongan Tuhan, kita tak akan pernah mampu menegakkan suara Tuhan lewat nurani
dan kejujuran dalan setiap sendi kehidupan. Hari demi hari, banyak kita jumpai
ketidakmampuan kita untuk memisahkan antara kebenaran dan kemungkaran, perdamaian
dan pertikaian, keserakahan dan keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan. Bahkan
kebijakkan dapat terpasung oleh hukum, keadilan dipenjarakan oleh kekuasaan, dan nurani
selalu diteror dan diasingkan oleh akal. Kalau sudah demikian, tidak ada waktu dan tempat
yang tepat selain memohon ampunan pada Tuhan. Sebelum Tuhan mengahancurkan
peradaban kita sendiri.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawn dan Tikus, puisi yang mengungkap tentang
ketidakjujuran dalam kehidupan, antara lain terdapat dalam beberapa puisi yang berjudul
”Pahlawan”, ”Seperti Sudah Kuduga”, ”Sujud”, dan ”Di Negeri Amplop”.
Dalam puisi ”Pahlawan” berikut ini, kita ditunjukkan terhadap sosok pahlawan. Dia
yang lahir kemudian hilang tanpa sebuah identitas dan itu memang yang tidak dia
diingankan. Lalu dia berjuang hingga gugur. Meskipun gugur, dia tetap hidup dalam hati
setiap orang yang mengedepankan nurani dan kejujuran. Sehingga tetap terus mengalir
sampai tegaknya nurani dan kejujuran dalam hati setiap insan yang berharap.
Lahir. Hilang. Gugur. Hidup. Mengalir. Sudah.
(Pahlawan dan Tikus: 4)
Larik puisi di atas kita ditunjukkan sosok pahlawan yang benar-benar pahlawan
adalah mereka yang membela nurani dan kejujuran. Dia yang tidak mementingkan untuk
siapa dia lahir, lalu hilang untuk terus berjuang tanpa perlu diketahui siapapun. Kemudian
dia gugur, tetapi tetap hidup dalam semangat nurani dan kejujuran pada diri setiap orang,
hingga nurani dan kejujuran tertanam dalam diri setiap insan yang menginginkannya.
Dalam puisi ”Seperti Sudah Kuduga” di bawah ini, kita ditunjukkan terhadap sebuah
penyesalan yang akan terus berulang, sampai pada kita tidak dapat menyesali kembali. Hal
ini terjadi, karena kita tidak menyadari bahwa setiap tindakan yang kita lakukan diperlukan
pertimbangan nurani dan kejujuran. Sebab bila tidak, penyesalan akan menyelimuti
kehidupan kita.
Seperti sudah kuduga
Kau akan menyesal
Dan akan kembali
Mengulangi apa
Yang kau sesali
Sampai kau tak bisa lagi
Menyesal dan kembali
(Pahlawan dan Tikus: 6)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita, bahwa setiap yang kita lakukan
hendaknya didasari dengan nurani dan kejujuran. Sebab bila tidak, penyesalan demi
penyesalan akan terus menyelimuti kehidupan kita hingga kita tidak akan kuasa
menyesalinya kembali.
Dalam puisi ”Sujud” berikut ini, kita ditunjukkan bagaimana seharusnya kita
bersujud dengan bentuk kepasrahaannya. Manakala kita bersujud, kita harus menanggalkan
segala macam atribut dan kebanggaan yang menyelimuti hati. Kita tanamkan sikap jujur
dan pasrah pada-Nya, atas segala ketidakberdayaan kita. Sebab yang kita jadikan media
sujud adalah hakikat keberadaan kita, yakni tanah. Dari tanah kita berasal dan ke tanah
pula kita akan kembali
bagaimana kau hendak bersujud
pasrah
sedang wajahmu yang bersih
sumringah
keningmu yang mulia dan indah
begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh
tanah
apakah kau melihatnya
seperti iblis saat menolak
menyembah bapamu
dengan congkak
tanah hanya patut diinjak
tempat kencing dan berak
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya
lahan pemanjaan
nafsu serakah dan tamak
apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapa
dai mana ibumu dilahirkan
tanah adalah ibu
yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan
yang memelukmu dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian?
singkirkan saja sajadah mahalmu
ratakan keningmu
latakan heningmu
tanahkan wajahmu
pasrahkan jiwamu
biarlah rahmat agung
Allah membelaimu
dan terbanglah, kekasih
(Pahlawan dan Tikus: 38)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik pada kita, agar kita selalu
mengedepankan kejujuran dan menanggalkan segala macam atribut dan kebanggaan yang
kita miliki apabila kita bersujud dan kepasrahan pada-Nya. Sebab keberadaan kita dengan
segala yang kita miliki adalah atas kehendak-Nya. Dengan media tanah, kita dingatkan
kembali asal usul kita dan ke mana kita akan kembali. Hanya sikap jujur dan pasrah pada-
Nya, kita dapat berharap sentuhan kasih sayang-Nya.
Dalam puisi ”Di Negeri Amplop” berikut ini, kita ditunjukkan oleh penyair terhadap
ketidakberdayaan sikap jujur manusia dalam menghadapi keadaan dan berbagai hal yang
berbau materialistis dan hedonistis yang terus membelenggu. Kalau sudah demikian, maka
akan muncul pada diri mereka seakan dibutakan, ditulikan, dibisukan, dan bahkan tertutup
mata hati dan nuraninya terhadap nilai-nilai kejujuran. Sehingga hanya uang, jabatan, dan
kedudukan yang berbicara dan berkuasa atas diri mereka.
Di negeri amplop
Aladin menyembunyikan
Lampu wasiatnya. Malu.
Samson tersipu-sipu
Rambut keramatnya
Ditutupi topi. Rapi-rapi.
David Coperfield dan Houdini
Bersembunyi. Rendah diri.
(Entah andaikata Nabi Musa
Bersedia datang membawa tongkatnya)
Amplop-amplop di negeri amplop
Mengatur dengan teratur
Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
Memutuskan putusan yang tak putus
Amplop-amlop menguasai panguasa
Dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
Mencairkan dan membekukan
Mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa nafsu
Orang sakti bisa mati
Di negeri amplop
Amplop-amplop mengamplopi
apa saja dan siapa saja
(Pahlawan dan Tikus: 57)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita terhadap sikap materialistis dan
hedonistis yang terus membelenggu kehidupan manusia. Jika sudah demikian, maka
segala macam tatanan kehidupan yang baik yang mengedepankan kejujuran akan berubah
seketika. Semua akan akan berkiblat pada keduanya (sikap materialistis dan hedonistis).
Mata menjadi buta (tidak bisa melihat yang baik), telinga menjadi tuli (tidak dapat dapat
mendengar petuah dan nasihat bijak), mulut menjadi bisu (tidak mampu menyuarakan
kebaikan dan kebijakan), dan hati menjadi mati (tak akan mampu mengungkap kejujuran
dan menuntun sikap rendah hati). Sebab materialistis dan hedonistis, tidak memandang
siapa dan di mana dia akan bersandar dan menyandangnya. Kecuali mereka yang selalu
mengedepankan sikap jujur dalam segala hal.
Uraian analisis tema tentang ”kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan” yang
terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di
atas, dapat disimpulkan bahwa kita harus menempatkan kejujuran dalam kehidupan.
Meskipun dalam situasi dan kondisi hidup yang sangat sulit. Kejujuran tidak terbatas oleh
ruang dan waktu. Juga tidak dibatasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik
kepentingan pribadi maupun kelompok dan golongan.
Kejujuran akan membawa hidup kita tenang dan tidak ’dihantui’ kesalahan-
kesalahan. Akan tetapi, jika kita sudah terbiasa tidak jujur dalam segala hal, maka tinggal
menunggu saat hancurnya kehidupan kita. Meskipun kita tidak menyadarinya. A. Mustofa
Bisri dalam karya-karyanya lebih mengedepankan kejujuran, meskipun terasa ’pedas’ dan
’panas’ untuk dibaca dan diresapi pembaca. Karena kejujuran adalah obat bagi kehidupan
kita. Terasa pahit untuk ditelan (diterima). Akan tetapi, jika sudah meresap dalam tubuh
(menjadi sikap hidup), maka tubuh kita menjadi sehat (hidup kita menjadi tenang). Senada
dengan hal itu, disampaikan oleh Hamdy Salad (2009:191) tentang karakter khas karya
sastra (puisi dan prosa) dari A. Mustofa Bsiri, sebagai berikut.
Hampir semua puisi dan prosanya dalam buku antologi Ohoi: Kumpulan Puisi-puisi Balsem (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikue (1995), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Wekwekwek: Sajak-sajak Bumulangit (1996), dan Lukisan Kaligrafi (2004) menyuratkan karakter khas yang bersifat terbuka dan lugas, penuh penghargaan pada suara hati nurani. Menyatakan sesuatu dengan apa adanya
(menyuarakan kejujuran), sebagaimana yang dilihat dan dirasakan, namun tidak terjebak pada jargon dan pamflet semata. Kritiknya terhadap penguasa sangat pedas, namun tidak terasa panas di dada. Tidak cengeng, tetapi tidak pula absurd. Karya prosanya seolah hanya bercerita, tapi tidak terjatuh pada dongeng. Dan inilah bagian penting dari ekspresi sastranya; selalu berupaya untuk menghindar dari bentuk-bentuk wacana khutbah, apalagi mengusung fatwa dan menggurui soal agama para pembacanya. Sehingga, karya-karya sastra yang dilahirkan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat pendukungnya.
4) Koreksi dan Introspeksi Diri
Tema lain yang diungkapkan penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus pada penelitian ini adalah koreksi dan introspeksi diri. Beberapa puisi dalam
antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang hal koreksi dan introspeksi diri ada
dalam beberapa puisi yang berjudul ”Puisi Berkata Padaku”, ”Lalat-lalat”, ”Pesona”,
”Tidur”, ”Puisi Islam”, ”Nasihat-nasihat”, ”Nurani”, dan ”Kulihat Wali-wali Allah”.
Dalam puisi berjudul ”Puisi Berkata Padaku” di bawah ini, penyair menunjukkan
bahwa kata dan kalimat yang disusun dalam puisi-puisinya mengalir dengan sendirinya
tanpa ada yang mencegah. Puisi-puisinya mengalir sejalan dengan tuntutan dan tuntunan
hidup tanpa ada yang mencegah termasuk diri penyair sendiri. Memang inilah hakikat
puisi, biarlah dia menjaga keberadaban yang mulai tercabik-cabik oleh situasi dan keadaan
yang amburadul. Dia bukan hanya indah dengan kata-kata, tetapi harus tetap
mengindahkan segala sesuatu yang mulai mengeruhkan jiwa. Tidak peduli bagi karya
penyair (A. Mustofa Bisri) sendiri.
Sebelum lahir puisiku bertanya padaku haruskah aku lahir
Dari rahimmu yang kering aku berkata diamlah
Dia berkata kalau aku harus lahir lahirkah aku
Seperti yang lain cantik dan indah kataku diamlah
Dia terus nerocos kalau aku harus lahir untuk apa
Harus cantik dan indah bukanlah cantik dan indah bagi yang berselera
Atau bagi maniak-maniak keindahan yang hingga lupa segala
Diamlah kataku
Tidak aku akan lahir sendiri. Diamlah. Apa adanya
Diamlah. Lihatlah aku akan lahir kau mau atau tidak aku tidak akan
Tergiur mempersolek diri cantik dan indah untuk yang belum
Mati rasa. Diamlah.
Aku tak akan pedulikan ambisi-harga-dirimu tak pedulu nafsu pamermu
Yang dekil-degil. Diamlah diamlah diamlah bentakku.
Tidak tidak tidak. Lahirku pun kau tak mampu membendung
Aku tetap kau mau atau tidak lahir dan bicara apa adanya
Aku sudah asah sendiri huruf-hurufku jangan coba-coba
Menumpulkannya dengan melumurkan karat-gengsi dan tahi-nama
Pada matanya berkilauan
Akan kutusuk-tusukkan mata kilaunya pada mata batin bertahi
Siapa saja termasuk jeroan-busukmu sendiri seperti mereka
Menusuk-nusuk ozonku
Menusuk-nusuk peradaban dan kemanusiaan mereka sendiri
Aku akan ganggu mereka meski sekejab-sekejab seperti mereka
Selama ini dan tak henti-hentinya mengganggu kebingungan
Yang belum sempat mengatur nafas.
Belum sempat aku mengatur nafas.
Puisiku telah melesat lahir dengan sendirinya.
(Tadarus: 1)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa melalui kata-kata dalam puisi-puisinya,
penyair mengungkapkan kesungguhan dalam merangkainya. Kata-kata yang terangkai
adalah bentuk kejujuran yang menyuarakan hati nurani yang akan terus menyeruak dan
meluncur keluar untuk menghadang segala macam kemungkaran dan kebatilan. Kata-kata
yang disusun penyair (A. Mustofa Bisri) bukanlah kata-kata manis untuk meninabobokkan
segala pujian dan sanjungan. Dia terus akan melesat maju dan menusuk-nusuk mendung
hati yang penuh gengsi, ambisi dan harga diri yang berlebihan (bagi siapapun). Termasuk
diri penyair (A. Mustofa Bisri).
Dalam puisi berjudul “Lalat-Lalat” berikut ini, menunjukkan pentingnya kesadaran
sikap rendah hati pada diri kita (termasuk penyair). Bahwa, kita bukanlah orang suci yang
menyuarakan kebajikan. Tapi kita seperti manusia lain, yang masih banyak kekurangan.
Sehingga segala (kata-kata) yang keluar dari diri kita, tidak seutuhnya bermuatan
kebajikan. Akan tetapi, bisa jadi keburukan itu sendiri yang dibalut dengan kata-kata bijak.
Di borokku yang belum kering benar
Lalat-lalat dengan dingin bermain
Menari-nari nanar
Mabuk darah dan nanah
Helm-helmnya berkilatan
Sayap-sayapnya menggelepar
Menciptakan lagu lapar
Terbius aku sendiri
Rasa risi menyengat nyeri
Kuusir datang lagi kuusir datang lagi
Kuusir
Datang
Lagi. Sialan !
(Tadarus: 5)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa diri kita (termasuk penyair) bukanlah
orang suci dari segala hal (pikiran, ucapan, dan perbuatan). Kebaikan yang terlihat (dalam
pikiran, ucapan, dan perbuatan) adalah kebaikan yang dibalut dengan keindahan. Sehingga
tampak secara lahiriah adalah kebaikan dan kesempurnaan. Padahal, kita seperti umumnya
manusia yang lain, yang masih banyak kekurangan dan kelemahan serta sifat dan karakter
buruk lainnya dalam segala hal. Inilah sikap rendah hati yang sudah sepantasnya lebih
ditunjukkan dalam kehidupan.
Dalam puisi berjudul “Pesona” di bawah ini, penyair menunjukkan gambaran sikap
ketidakberdayaan diri (manusia) terhadap keberadaan benda ajaib yang bernama televisi.
Melalui televisi kita bisa dapatkan apapun yang menjadi keinginan kita dan seluruh
keluarga kita. Kita dapat hiburan dan informasi apapun, baik yang manfaat maupun
mudlarat. Kita tidak akan mampu membendung arus derasnya informasi, yang akan
memalingkan kita dan membuat kita semakin jauh dari-Nya.
Istriku, anank-anakku, sering-sering anak-anak tetanggaku,
pembantu-pembantuku, sering-sering pembantu-pembantu
tetanggaku, hari-hari bersimpuh terpaku menghadap ke satu
kiblat menyimak sepenuh jiwa-raga entah apa.
Meja makan apalagi meja belajar hari-hari terlantar.
Telpon yang berderng-dering, pintu yang diketuk-ketuk
tamu,bahkan pengeras suara yang melengkin-lengkingkan
adzan tak terdengar. Tak ada seorang pun sudi meminjamkan
sebelah telinga saja, sekejap saja
Semua tenggelam dalam kekhusyukan-asyik yang ajaib
bagai tersihir pesona gaib.
Bagai wali-wali Allah dalam keadaan fana
ketika mengeja isyarat-isyaratNya.
Mereka sedang belajar dengan metoda belajar yang ampuh luar biasa.
Pelan-pelan tapi pasti pelajaran-pelajaran terserap bahkan
terhayati sampai ke sungsum-sungsum mereka
Mereka diajari menyanyi lagu apa saja,
menari apa saja,
mengaji apa saja,
di ajari masak-memasak yang sesuai
atau bertentangan dengan selera
diajari bermain komedi yang menyedihkan
dan drama yang menggelikan.
Mereka dididik membinasakan selera dan raa keindahan.
Mereka diajari bermain cinta
muali gaya Siti Nurbaya hingga Casanova,
bahkan mereka diajari membunuh dan meyiksa
dengan berbagai cara yang mendirikan bulu roma.
Mereka dididik membunuh rasa malu dan iba.
Tuhan, aku yang mendatangkan guru privat ajaib itu
Tentu saja dengan maksud yang mulia
Aku yang membayar uang bulanannya
Ternyata ketika ia menyihir keluargaku seenaknya
Aku tak bisa menghentikannya.
(Benda mati persegi itu salah satu bukti kehebatan khalifahMu
dan seperti sesamanya diciptakan karena ilmu pengetahuan dan kebanggaanlalu diproduksi besar-besaran karena mencari
keuntungan dan yang memanfaatkannya ada yang demi ilmu dan
kemajuan ada yang emi informasi dan hiburan ada yang demi
kepuasan dan kekayaan ada pula yang menggunakannya ikut-ikutan
atau asal menggunakan)
Tuhan, kami tak mampu menhentikannya atau memanfaatkannya
Musuh kami dan musuhMu lagi-lagi telah lebih dahulu
dengan sangat sempurna memanfaatkannya untuk misinya.
Memalingkan kami dariMu.
Tuhan, lihatlah menghadapi benda mati ciptaan sendiri pun
kami tak berdaya dan mengaku kepadaMu.
(Tadarus: 6)
Laik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa pada umumnya (manusia) mengakui
akan ketidakmampuan diri untuk membendung arus informasi yang begitu deras memalui
media televisi, benda kotak ajaib yang menjanjikan berbagai macam hiburan dan
informasi. Media televisi merupakan wujud karya ilmu pngetahuan yang hebat dari
manusia sekaligus wujud ketidakberdayaannya manusia menghadapi dampak yang
ditimbulkan media tersebut. Sehingga antara manfaat dan mudlarat yang ditimbulkan, kita
susah untuk memilih dan memilahnya. Pada akhirnya, membuat diri kita semakin jauh
dari-Nya. Hal inilah, yang diungkap penyair, betapa lemahnya kita (manusia) untuk
membendung dampak negatif dari benda ciptaan kita sendiri. Apalagi untuk menghadapi
dan membandingkan dengan Kemahasempurnaan Sang Maha Pencipta.
Dalam puisi berjudul “Tidur” berikut ini, menunjukkan bahwa betapa lemahnya kita
(manusia). Bahwa dalam situasi dan kondisi apa pun kita masih terlalu lemah jika berada
di hadapan-Nya. Sehingga lalat pun dapat menunjukkan, bahwa kita pada dasarnya mampu
menyembunyikan keburukan dan kelemahan kita.
Wajahku diinjak-injak lalat
(Tadarus: 16)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan, bahwa kelemahan dan keburukan yang kita
miliki akan terus nampak dalam keadaan dan kondisi apa pun. Inilah bukti, betapa rendah
dan lemahnya kita. Jika kita berada di hadapan-Nya.
Dalam puisi bertajuk “Puisi Islam” berikut ini, menunjukkan bahwa Islam yang kita
sandang dengan segala konsekuensinya dalam kehidupan masih dalam bentuk bangunan
fisik belaka. Belum pada tataran dan tuntunan batin atau hati. Sehingga apa yang kita
sandang, baik pakaian dan aksesorinya, pekerjaan, maupun gaya berkomunikasi dan
sebagainya. Seluruhya hanyalah berlabel Islam dari bungkusnya. Belum sampai pada
isinya, sehingga patut kita sangsikan diri kita dengan pertanyaan “Sudah Islamkah kita
dengan semua itu?”.
Islam agamaku, nomor satu di dunia
Islam benderaku, berkibar dimana-mana
Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya
Islam sorbanku
Islam sajadahku
Islam kitabku
Islam podiumku, kelas eksklusif yang mengubah cara dunia memandangku
Tempat aku menusuk kanan-kiri
Islam media massaku, gaya komunikasi islami masa kini
Tempat aku menikam sana-sini
Islam organisasiku
Islam perusahaanku
Islam yayasanku
Islam instansiku, menara dengan seribu pengeras suara
Islam mukatamarku, forum hiruk pikuk tiada tara
Islam bursaku
Islam warungku, hanya menjual makanan sorgawi
Islam supermarketku, melayani segala keperluan manusiawi
Islam makananku
Islam teaterku, menampilkan karakter-karakter suci
Islam festivalku, memerintahkan hari-hari mati
Islam kausku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa
Tuhan, Islamkah aku?
(Tadarus: 29)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita tentang agama Islam yang kita
sandang, masih berupa label fiisk belaka. Belum menunjuk pada tataran sikap dalam hati.
Sehingga pakaian dan aksesorinya, pekerjaan, cara komunikasi dan sebagainya hanyalah
berupa label Islam. Sehingga secara terus-menerus, kita sanksi akan keberadaan Islam kita,
“Apakah kita kita memang sudah benar-benar Islam?” Kita sendirilah yang berhak
menjawabnya dengan nurani dan hati kita.
Dalam puisi berjudul “Nasihat-Nasihat” di bawah ini, menunjukkan akan kelemahan
kita untuk menerima berbagai macam seruan bijak berupa nasihat-nasihat di mana dan
kapan pun serta lewat media apa pun. Semakin sering kita dengar nasihat, semakin sering
pula kita melupakan dan tidak mengindahkannya.
Dari hari ke hari siang-malam nasihat-nasihat luhur itu
Menterorku menghadangku hingga di spanduk-spanduk jalan
Menguntitku hingga di stiker-stiker kendaraan menguberku
Dengan pengeras-pengeras suara yang memekik-mekik memekakkan
Mencegatku di pamflet-pamflet pagar-pagar rumah dari kantor
Mengusikku dari layar-layar bioskop dan seri-seri drama teve
Mengepungku di kolom-kolom Koran dan majalah mengurungkanku di
Mesjid-mesjid surau-surau gereja-gereja dan lanpangan-lapangan upacara …..
Hingga tak sempat aku melaksanakannya
(Tadarus: 63)
Larik-larik puisi menunjukkan pada kita pada setiap gerak dan langkah dalam
kehidupan kita tidak dapat lepas dengan petuah maupun nasihat-nasihat luhur. Di mana dan
kapan pun kita akan dihadapkan pada petuah maupun nasihat bijak tersebut. Misalnya
lewat pengeras suara, pamflet-pamflet, layar bioskop dan televisi, koran, dan majalah.
Bahkan di surau, masjid, dan gereja juga pada tempat-tempat upacara. Semakin sering kita
dengar nasihat, semakin sering pula kita melupakan dan tidak mengindahkannya. Inilah
kelemahan kita yang sebenarnya. Banyaknya nasihat tidak membuat diri kita semakin baik,
tetapi berlaku sebaliknya pada diri kita.
Dalam puisi berjudul “Nurani” berikut ini, kita ditunjukkan bahwa nurani tidak lagi
menjadi pedoman kita dalam bersikap dan bertindak. Karena kita telah dininabobokkan
dengan berbgai hal yang menjauhkan diri kita darinya (nurani), semisal sikap materialistis
dan hedonistis.
Semula dengkurnya menggangu tidurku. Kini tak lagi.
(Tadarus: 66)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan ketidakberdayaan kita untuk menempatkan
nurani pada tempatnya. Kita telah banyak terbuai dengan dengan urusan dan kepentingan
yang berbau kebendaan dan duniawi. Inilah kelemahan kita yang secara terus-menerus ada
dalam sikap dan tindakan kita. Akan tetapi, terkadamg kita tidak menyadarinya.
Dalam puisi bertajuk “Kulihat Wali-Wali Allah” di bawah ini, menunjukkan pada
kita betapa lemah dan ringkihnya kita dibanding dengan para wali Allah (manusia yang
lebih dekat dengan Allah). Dengan segala Kasih Sayang-Nya, hati sanubari mereka terus
bercahaya menembus ruang dan waktu dan menghadirkannya dalam kehidupan.
Keberadaan mereka dapat menembus media apapun (tidak terbatas oleh ruang dan waktu).
Perilaku mereka adalah jalan dzikir untuk menuju jalan-Nya. Sedangkan kita hanya mampu
menyesali diri dengan segala keterbatasan dan kelemahan, hingga tak mampu berbuat
apapun selain penyesalan demi penyesalan.
Kulihat wali-wali Allah berterbangan
Dengan sayap-sayap dzikir
menembus cahya
menuju
Maha Cahya.
Aku pun tergesa-gesa
Berangkat
Dengan sayap-sayap ringkih
Bagai laron menuju cahya
Wali Allah, wali Allah,
Jangan tinggalkan aku di bawah!
Tak terdengar jawab.
Senyap.
Di atas
Wali-wali Allah terus mencahya dan menderas
Di bawah
Aku tetap jadi rayap tanah
Menggerogoti diri sendiri
Hingga punah.
(Tadarus: 73-74)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita tentang perbandingan diri kita
dengan wali-wali Allah. Sebab jalan yang kita tempuh berbeda dengan para wali Allah.
Mereka menempuh jalan dzikir untuk selalu menuju ke jalan-Nya. Sedangkan kita
menempuh jalan lainnya, yang semakin menjauhkan diri dari jalan-Nya. Sehingga yang
kita masuki adalah kegelapan hati. Oleh karena itu, setiap hari kita dihadapkan pada
pernyataan dan kenyataan “tiada hari tanpa penyesalan diri”.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema
koreksi dan introspeksi diri adalah beberapa puisi yang berjudul ”Huruf-huruf Hidup”,
”Les”, ”Andaikata”, ”Nasihat-nasihat Ramadan buat Mustofa Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”.
Dalam puisi bertajuk ”Huruf-Huruf Hidup” di bawah ini, kita dihadapkan pada
pengharapan sang penyair (A. Mustofa Bisri) agar apa yang terurai dalam kata dan kalimat
puisi-puisinya bisa menjadi untaian kata dan kalimat yang dapat menjadi petuah bijak bagi
diri penyair maupun pembacanya.
Huruf-huruf hidup
Huruf-huruf mati
Kurangkai-rangkai
Kujadikan setangkai kata
Ingin kusematkan
Tersenyumlah!
Di rekah bibirmu
Lalu tiuplah pelan-pelan
Biar bertebaran
Kalimat-kalimat keramat
Bagai manik-manik sorga
Di telaga
Hatiku.
(Pahlawan dan Tikus: 5)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita terhadap pengharapan penyair
terhadap untaian kata dan kalimat dalam puisi-puisinya menjadi petuah bijak bagi diri
penyair mapun bagi pembacanya.
Dalam puisi berjudul “Les” berikut ini, menunjukkan gambaran pemikiran penyair
yang berkelana di alam bawah sadarnya, yakni alam binatang. Ternyata di alam binatang,
berlaku aturan “Dilarang Mengganggu Manusia”. Sebuah sindiran bagi kita makhluk yang
bernama manusia, bahwa binatang pun mampu mengendalikan diri untuk tidak
mengganggu manusia. Bagaimana dengan manusia? Sudahkan tidak mengusik kehidupan
binatang. Kesanggupan itu terjadi masih dalam impian. Entah kapan dapat terwujud?
Les!
Tiba-tiba mimpi membawaku melayang
Melanglang alam binatang
Ternyata di sini tak seperti alam kita
Tak ada kata-kata
Hanya makna
Kecuali di suatu ruang
Mirip kebun binatang
Kubaca di depannya tulisan gambalng:
Kebun Manusia ‘Panggalipang’
Ketika masuk kulihat di mana-mana
Di antara kandang-kandang
Papan peringatan terpampang:
Awas, dilarang mengganggu manusia
Di sini aku tersesat
Ketika mencoba lepas lari
Dari mimpi
Les!
Tiba-tiba aku sudah berada
Di salah satu kandang
Dan
Kulihat diriku
Berusaha
Terjaga
(Pahlawan dan Tikus: 9)
Larik-larik puisi di atas kita ditunjukkan pemutarbalikan fakta tentang kehidupan
manusia yang masuk dalam kehidupan binatang. Dalam alam bawah sadarnya, penyair
beranggapan bahwa binatang masih memiliki sifat perikebinatangan, sehingga mereka
sayang terhadap manusia. Hal ini menunjukkan otokritik, bahwa kita (manusia) masih
belum memiliki kesadaran atas sifat perikemanusiaan kita untuk selalu menjaga
keseimbangan alam, termasuk menaruh rasa sayang terhadap binatang.
Dalam puisi bertajuk “Andaikata” di bawah ini menunjukkan akan kelemahan diri
kita (termasuk penyair), yang hanya bisa berkata andaikata. Sebuah kata harapan yang
menunjukkan kelemahan kita dalam segala hal. Yang kita punya hanya sikap kalah, resah,
luka, pilu, penuh air mata, renta dan menderita. Andaikata kita tidak memiliki semua
kelemahan itu, maka kita akan mampu melaksanakan apa yang kita ingin wujudkan dalam
kehidupan kita. Sehingga tidak akan lagi muncul dalam diri kita, kata-kata harapan
andaikata tanpa sebuah usaha konkret.
Andaikata ku punya
Tak hanya
Lengan lunglai
Tempat kita meletakkan kalah
Andaikata ku punya
Tak hanya
Pangkuan landai
Tempat kita merebahkan resah
Andaikata ku punya
Tak hanya
Dada luka
Tempat kita menyandarkan duka
Andaikata ku punya
Tak hanya
Tangan kelu
Tempat kita menggenggam pilu
Andaikata ku punya
Tak hanya
Kata-kata dusta
Penyekam airmata
Andaikata ku punya
Tak hanya
Telinga renta
Penampung derita
Andaikata
Ku punya
Tak hanya
Andaikata
(Pahlawan dan Tikus: 9)
Larik-larik di atas menunjukkan sikap keputusasaan yang selalu ada dalam diri kita.
Sehingga apa yang kita hadapi ke depan hanya sebuah harapan dan cita-cita yang belum
pasti terwujud. Hal ini terjadi karena ketidakyakinan terhadap kemampuan kita dalam
segala. Kita kebanyakan mendahulukan sikap putus asa sebelum melakukan tindakan
nyata.
Dalam puisi berjudul “Nasihat Ramadlan Buat A. Mustofa Bisri” berikut ini, kita
ditunjukkan cerminan diri dan sikap kita melalui untaian kata dari penyair (A. Mustofa
Bisri) dalam memaknai ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Banyak hal yang
semestinya dapat kita petik dari Ramadhan sebagai media tadzkiyah an nafs (penyucian
jiwa) dari segala macam penyakit hati dan jiwa. Puasa tidak hanya menahan lapar, dahaga,
dan segala hal yang membatalkan puasa. Lebih dari itu, puasa adalah media mengasah
pribadi kita untuk tetap dapat menahan diri dan bersikap sabar dalam segala hal. Sebab
yang akan kita raih adalah derajat taqwa, yakni puncak sikap penghambaan diri untuk
selalu dengan tulus dan ikhlas melaksanakan perintah-Nya dan menghindari segala
larangan-Nya.
Mustofa,
Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan
Ramadlan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi
Atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang
Menggerakkan lidahmu begitu
Mustofa,
Ramadlan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu. Darimu hanya
untukNya dan ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkanNya
kepadamu. Semua yang khusus untukNya khusus untukmu.
Mustofa,
Ramadlan adalah bulanNya yang ia serahkan padamu dan bulanmu
Serahkanlah semata-mata padaNya. Bersucilah untukNya. Bersalatlah
UntukNya. Berpuasalah untukNya. Berjuanglah melawan dirimu sendiri
untukNya.
…………………………………………………………………….
Berpuasalah
Suci.
Kan Dirimu
Musrofa,
Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang
Mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa.
Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu
Atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa.
Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahu
Sedikit berpuasa tapi hanya kau yang tahu
Hasrat dikekang untuk apa dan siapa
………………………………………..
Tidak.
Puasakan
Hasratmu
Hanya untuk
Hadlirat
Nya
!
Ramadlan bulan suci katamu, kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah
Merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu
Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian
Keserakahan ujub riya takabur dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari
Comberan hatimu?
Mustofa,
Inilah bulan baik saat baik untuk kerjabakti membersihkan hati
Mustofa,
Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu
Yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi
Kau puja selama ini.
Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini
Seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu
(Pahlawan dan Tikus: 83-85)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan cerminan diri kita melalui untaian kata dari
penyair (A. Mustofa Bisri) dalam memahami ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Ramadhan adalah media penempaan seorang hamba untuk mencapai derajat taqwa
(melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya). Ramadhan juga merupakan media
tadzkiyatun an nafs (penyucian jiwa) dari segala macam penyakit hati dan jiwa. Selain itu,
puasa adalah proses penempaan dan pelatihan diri untuk selalu dengan tulus dan ikhlas
dalam menahan diri terhadap segala hal yang merusak hati dan jiwa serta selalu dengan
tulus dan ikhlas pula menanamkan sikap sabar untuk menjalankan segala ibadah menuju
keridlaan-Nya.
Dalam puisi bertajuk “Ya Rasulullah” di bawah ini menunjukkan pada kita tentang
kemuliaan sang penghulu para Nabi, Rasulullah saw. Dengan kemuliaan akhlaknya, kita
(manusia umumnya) tidak akan mampu membandingkan dengan akhlak beliau. Sehingga
yang kita harapkan hanyalah syafaat (pertolongan) beliau di alam akhirat, yakni di lembar
kedua kehidupan nanti. Segala yang ada pada diri ini, jasad, ruh, dan seluruh panca indera
yang kita miliki setiap saat dan sebisa mungkin untuk selalu berharap syafaatnya. Akan
tetapi, setiap saat pula kita dengan mudahnya melakukan perbuatan yang tidak diinginkan
dan disenangi Rasulullah saw. Meskipun kita peluk dan yakini Islam, kita tanamkan
iman dalam hidup serta semampu kita untuk berbuat ihsan dalam setiap ibadah, tapi
sudahkah kita lakukan demi mengharap ridla-Nya dan berharap syafaat beliau Rasulullah
saw.
Aku ingin seperti santri berbaju putih
Yang tiba-tiba datang menghadapmu
Duduk menyentuh kedua lututnya pada lutut agungmu
Dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas paha-paha muliamu
Lalu aku akan bertanya ya rasulallah
Tentang islamku
Ya rasulallah
Tentang imanku
Ya rasulallah
Tentang ihsanku
Ya rasulallah
Mulut dan hatiku bersaksi
Tiada tuhan selain Allah
Dan engkau ya rasul utusan Allah
Tapi kusembah juga diriku astaghfirullah
Dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah
Ya rasulallah
Setiap saat jasadku salat
Setiap kali tubuhku bersimpuh
Diriku jua yang kuingat
Setiap saat kubaca salawat
Setiap kali tak lupa kubaca salam
Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh
Salam kepadamu wahai nabi juga rahmat dan berkat Allah
Tapi tak pernah kusadari apakah di hadapanku
Kau menjawab salamku
Bahkan apakah aku menyalamimu
Ya rasulallah
Ragaku berpuasa
Dan jiwaku kulepas bagai kuda
Ya rasulallah
Sekali-kali kubayar zakat dengan niat
Dapat balasan kontan dan berlipat
Ya rasulallah
Aku pernah naik haji
Sambil menaikkan gengsi
Ya rasulallah, sudah islamkah aku?
Ya rasulallah
Aku percaya allah dan sifat-sifatnya
Aku percaya malaikat
Percaya kitab-kitab sucinya
Percaya nabi-nabi utusannya
Aku percaya akherat
Percaya qadla – kadarnya
Seperti yang kucatat
Dan kuhafal dari ustad
Tapi aku tak tahu
Seberapa besar itu mempengaruhi lakuku
Ya rasulallah, sudah imankah aku?
Ya rasulallah
Setiap kudengar panggilan
Aku menghadap Allah
Tapi apakah ia menjumpaiku
Sedang wajah dan hatiku tak menentu
Ya rasulallah, dapatkah aku berihsan?
Ya rasulallah
Kuingin menatap meski sekejap
Wajahmu yang elok mengerlap
Setelah sekian lama mataku hanya menangkap gelap
Ya rasulallah
Kuingin mereguk senyummu yang segar
Setelah dahaga di panggung kehidupan hambar
Hampir membuatku terkapar
Ya rasulallah
Meski secercah, teteskan padaku
Cahyamu
Buat bekalku sekali lagi
Menghampirinya
(Pahlawan dan Tikus: 86-88)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud penghambaan diri penyair pada sang Pencipta
sekaligus pengakuan terhadap kemuliaan terhadap Nabi junjungan, Rasulullah saw. Jika
dibanding dengan akhlak Rasulullah saw, akhlak kita amatlah berbeda jauh baik pikiran,
ucapan, maupun sikap atau perbuatan. Beliau adalah uswatun hasanah (contoh yang baik)
dalam segala hal.
Meskipun kita akui dan yakini Islam sebagai pedoman hidup, kita imani apa yang
menjadi pedoman rukun iman, dan semaksimal mungkin kita berbuat ihsan untuk meraih
ridla-Nya, tapi sudahkah kita benar-benar tulus dan ikhlas dalam melakukannya. Inilah
cermin kelemahan kita. Bahwa kita hanya bisa mengucapkan, tetapi belum bisa
menerapkan dalam kehidupan yang nyata, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Dalam keadaan yang demikian, tiada lain pedoman kita selain beribadah untuk dapat
meraih ridla-Nya dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memperoleh syafaat
beliau, Rasulullah saw di lembar kedua kehidupan nanti. Dengan cara meneladani sikap
dan perilaku beliau dalam kehidupan sehari-hari di alam fana ini.
Uraian analisis tema tentang ”koreksi dan introspeksi diri” yang terefleksi pada
beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam disadari atau tidak diri kita baik pada pikiran, ucapan, maupun
perbuatan dalam kehidupan ini masih penuh dengan berbagai keburukan dan kelemahan.
Sehingga tidak lain yang kita hadirkan dalam diri adalah sikap rendah hati, yakni
pengakuan atas segala keburukan dan kelemahan yang ada pada diri kita.
Segala kesempurnaan dan kemuliaan hanya milik Tuhan Yang Maha Sempurna dan
Maha Mulia. Termasuk beberapa manusia pilihan Tuhan, di antaranya para Nabi dan Wali
Allah. Mereka menjadi manusia yang dipilih Tuhan disebabkan oleh jalan dzikir yang
ditempuhnya untuk menggapai Cahaya Tuhan yang penuh dengan kasih sayang.
Kita yang belum menempuh jalan Tuhan tetap berusaha dengan jalan tadzkiyah an-
nafs (penyucian diri) melalui ibadah yang telah diperintahkan Tuhan dan menjauhi segala
perbuatan yang dilarang-Nya, dengan tulus dan ikhlas. Dengan terus-menerus
menyadarkan diri terhadap berbagai kelemahan dan kekurangan atau sikap rendah hati di
hadapan Tuhan. Sejalan dengan hal tersebut dikatakan oleh Slamet Effendy Yusuf dalam
Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds.) (2009:215) sebagai berikut.
Sebagai kiai dan ulama, A. Mustofa Bisri memiliki pengetahuan yang luas tentang Tuhan, pencipta, makhluk, hakikat kehidupan, serta introspeksi diri dan sebagainya yang bernilai filosofis tinggi. Akibatnya, unsur-unsur Ketuhanan sangat melekat pada
karya-karyanya (syair, puisi, cerpen,dll). Rangkaian kata-kata beliau adalah wujud dari penghambaan dan kepatuhan beliau sebagai makhluk kepada Sang Penciptanya. Bait-bait puisi dan syairnya sangat kental dengan untaian rasa syukur atas karunia-Nya. Hal ini pula yang membuat karya-karya indahnya sangat diminati, karena tidak hanya memberikan keindahan seni dan budaya, tetapi juga sarat akan makna serta mampu menyentuh dimensi emosi para pembaca. Tepat kiranya jika banyak orang kemudian menyebutkan bahwa puisi dapat menjadi sarana yang tepat untuk berdakwah. KH. Mustofa Bisri adalah bukti nyata.
5) Kesadaran Spiritual
Tema terakhir yang ingin diungkapkan oleh penyair dalam antologi puisi Tadarus
dan Pahlawan dan Tikus dalam penelitian ini adalah kesadaran spiritual. Dalam antologi
puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang tema kesadaran spiritual adalah beberapa puisi
yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan
Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya
Menghadang”, ”Matahari”, ”Bulan”, ”Laut”, ”Langit”, dan ”Doa”.
Tampak dalam puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan” berikut ini, penyair
mengungkapkan permohonan perlindungan dan rahmat hanya kepada Tuhan dari berbagai
godaan, musibah, dan kerumitan hidup.
Titik-titik hujan terus
Mengetuk-ngetuk malam-dinginku
Mengabarkan kesedihan langit
Sekali-kali kulihat kilat
Matanya yang geram tajam
Menyeruak pekat
Seperti mencariku hendak menikam
Hatiku yang kecil kecut
Kupeluk diriKu kencang-kencang
Dalam gigil yang semakin dahsyat
Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33)
Larik-larik dalam penggalan puisi di atas mengungkapkan gambaran tentang godaan,
musibah, dan masalah dalam hidup akan datang terus pada diri manusia (termasuk penyair)
seperti tak akan pernah berakhir. Penyair menggunakan metafora untuk melambangkannya
dan menggambarkan suasana hati, seperti titik-titik hujan malam dingin, kesedihan langit,
dan matanya yang geram tajam menyeruak pekat. Puncak kekalutan manusia digambarkan
dengan dalam gigil yang semakin dahsyat. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak
memiliki kekuatan untuk melawan kekalutannya. Sebagai makhluk yang lemah, manusia
selalu dihantui beragam masalah kehidupan hingga membuatnya sangat menderita. Dan,
hanya kepada Tuhan manusia memohon perlindungan dan rahmat serta kekuatan untuk
mengarungi pasang surut kehidupan.
Hal lain yang diangkat penyair dalam puisinya adalah sindiran kepada manusia yang
beribadah dengan niat memuaskan nafsu dunianya. Sebagaimana yang tergambar dalam
puisi berjudul ”Tadarus” di bawah ini.
...................................................................................
Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan terlempar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan memberati timbangan
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul’ Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama. Amien.
(Tadarus: 46)
Tampak sekali pada larik-larik puisi di atas bahwa belalang malang, yang tidak lain
adalah metafora untuk manusia yang merasa memiliki banyak amal ibadah tetapi tak
memiliki nilai dalam pandangan Tuhan. Karena ibadah mereka tersebut tidak didasari niat
ikhlas demi mengagungkan Tuhan, maka gunung amal yang dibanggakan tersebut bisa
saja berubah menjadi selembar bulu saja saat perhitungan amal di hari kiamat nanti.
Sindiran yang lebih keras lagi adalah begitu tidak bermaknanya bacaan ayat-ayat
Alquran bagi sebagian manusia. Mereka sama sekali tidak memahami makna ayat-ayat
Alquran yang baru dibacakan, apalagi mengamalkan kandungan ajarannya. Mereka lebih
sibuk memikirkan dan menenggelamkan diri dalam kesibukan-kesibukan duniawi.
Puncaknya, yakni sindiran yang paling keras terhadap keteledoran manusia yang
menganggap bahkan sangat yakin, bahwa kiamat masih lama. Mereka merasa hari
pembalasan itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, mereka leluasa
berbuat dosa dan bersenang-senang dengan melupakan lembar kedua kehidupan, yakni
akhirat.
Penyair juga mengangkat gambaran proses penciptaan manusia, sebagaimana dalam
puisi berjudul ”Buah Mata”. Gambaran tersebut seperti yang terkandung dalam kitab suci
(Alquran).
Sekali pancar cintamu melepas-luncurkan ratusan juta
Makhluk hidup yang tak kasatmata
Berlomba berenang di garba istrimu yang tercinta
Berebut mahkota
Yang membuahkan buah mata
Ikutlah sesekali meluncur berenang dalam sungai cintamu
Sampai ke garba kahidupan
Lihatlah proses agung penciptaan anakmu yang dahsyat
Wahai alangkah rumit
Wahai alangkah ajaib
Wahai alangkah wahai
Nutfah jadi darah
Darah jadi daging
Kaukah yang menjadikan
Kulit membalut daging
Daging membalut tulang
Tulang membalut sungsum
Kaukah yang membalut
Oto-otot
Urat-urat
Saraf-saraf
Resepto-resepto
Kelenjar-kelenjar
Sel-sel
Bulu-bulu
Rongga-rongga
Pori-pori
Usus-usus
Paru-paru
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Limpa
Ginjal
Kelamin
Dubur
Jantung
Otak
Hati
Ruh.
Lihatlah air cinta yang kau tumpahkan
Bagai hujan tumpah ke bumi
Bumi membelah diri
Bagi suatu kelahiran
Kau tak meniupkan ruh tak meniupkan cipta
Bagaimana anakmu mampu hidup dan mencipta
Kau tak memasang indera tak memasang anggota
Bagaimana anakmu mampu mengindera dan nyata
Kau tak menitipkan rasa tak menitipkan kaya
Bagaimana anakmu mampu merasa dan berkata
Kau tak menitipka benci tak menitipkan cinta
Kau tak emnitipkan senyum tak menitipkan airmata
Bagaimana anakmu mampu tersenyum dan mengucrukan airmata
Kau tak meniupkan apa-apa tak menitipkan apa-apa
Karena memang kau seperti anakmu juga
Sejak mula tak memiliki apa-apa
Bagaimana kau mengaku segala apa?
Kau tahu
Pemiliknya yang sejati
Menitip-amanatkan padamu
Dan tak pernah berhenti
mengawasimu
(Tadarus: 76)
Dalam puisi ini digambarkan bahwa Tuhan adalah Zat Yang Mahakuasa. Tuhan
menciptakan manusia dari sperma hingga menjadi janin melalui proses yang rumit dan
ajaib. Selain itu, larik-larik puisi tersebut juga memaparkan bahwa pada dasarnya manusia
tidak memiliki kekuatan, selain kekuatan dari Tuhan. Orang tua yang melahirkan anak
pada hakikatnya sama sekali tidak memiliki kekuasaan terhadap anaknya. Pemilik sejati
anak-anak mereka tsb adalah Tuhan.
Namun, penyair mengingatkan kita (manusia) bahwa Tuhan mengamanatkan anak-
anak itu kepada para orang tuanya agar merawat, mengasuh, dan mendidik sesuai ajaran
Tuhan. Pada hari kiamat nanti, para orang tua akan dimintai pertanggungjawaban dan tidak
sedikit pun mereka bisa mengelak, karena Tuhan tidak pernah berhenti mengawasinya.
Dalam puisi berjudul ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang” di bawah ini, kita ditunjukkan
pengalaman religi si penyair saat berada di masjidil haram (Makkah) suatu tempat yang
menjadi kiblat umat Islam sejagad. Di tempat itu yang ia jumpai hanya pemujaan dan
pemujian hamba kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta. Mereka kumandangkan tahlil,
tahmid dan takbir secara terus-menerus seolah tanpa putus-putusnya. Satu tujuan mereka,
hanya berharap atas ampunan dosa dari-Nya.
Di pelataran agungMu nan lapang
Kawanan burung merpati
Sesekali sempat memunguti
Butir-butir bebijian
Yang Kau tebarkan
Lalu terbang lagi Menggores-gores biru langit
Melukis puja-puji
Nan hening
Di pelataran agungMu nan lapang
Aku setitik noda
Setahi burung merpati
Menempel pada pekat gumpalan
Yang menyeret warna
Bias kelabu
Berputaran
Mengabur melayu
Luruh dalam gemuruh Talbiah
Takbir dan tahmid
Di kejar dosa-dosa Dalam kerumunan dosa
Ada sebaris doa
Siap kuucapkan Lepas
Terhanyut airmata
Tersangkut di kiswah
Nan hitam
Di pelataran agungMu nan lapang
Aku titik-titik tahi merpati
Menggumpal dalam titik noda
Berputaran
Mengabur melaju
Luruh dalam gemuruh Talbiah
Takbir dan tahmid
Mengejar ampunan Dalam lautan ampunan
Terpelanting Dalam
Khauf dan raja
(Tadarus: 37-38)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kepada kita sebuah bukti totalitas
penghambaan manusia kepada Sang Khaliq, Allah swt. Tiada lain yang diucapkan, selain
sanjungan dan pujian kepada-Nya semata, dengan tahlil, tahmid, dan takbir. Dengan
berharap ampunan atas segla dosa dan khilaf yang di sandangnya.
Sebagaimana puisi sebelumnya, dalam puisi berjudul “Wanita Cantik di Multazam”
berikut ini, kita ditunjukkan sebuah gambaran pengalaman spiritual penyair pada saat di
Multazam, sebuah tempat yang diyakini umat Islam berdsarkan sabda Nabi Muhammad
saw sebagai tempat yang mustajabah (terkabulnya segala doa dan pinta hamba). Di sinilah
penyair seolah menemukan sebuah wujud pertemuan yang indah dalam ibadah, saat
bersatunya kalbu dengan Tuhan. Pertemuan ini digambarkan seolah pertemuannya dengan
sosok wanita cantik.
Di tengah-tengah himpitan daging-daging doa di pelataran
rumahMu yang agung aku mengalirkan diri dan ratapku
hingga terantuk pada dinding-mustajabMu menumpahkan
luap-pintu di dadaku
kubaca segala yang bisa kubaca dalan berbagai bahasa runduk
hamba dari tahlil dari tasbih ke tahmid dari
tahmid ke takbir
dari takbir ke istighfar dari istighfar ke syukur dari
syukur ke khauf dari khauf ke raja
dari raja ke khauf
raja khauf
khauf raja
khaufraja
sampai tawakkal
tiba-tiba sebelum benar-benar fana melela dari arah multazam
seorang wanita cantik sekali
masya Allah tabarakAllah!
Allah, apa amalku jika kurnia
Apa dosaku jika coba?
Allah, putih kulitnya dalam putih kerudungnya
Indah sekali alisnya
Indah sekali matanya
Indah sekali hidungnya
Indah bibirnya
Dalam indah wajahMu
Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan
di atas keindahan di bawah keindahan
di kanan-kiri keindahan
di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku! Tak kutanyakan kenapa
Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku? - - ampunilah aku - - tanyalah jua yang
Kupunya kini:
Allahku, mukallafkah aku dalam keindahanMu?
(Tadarus: 39-40)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud pengalaman spiritual, yakni pertemuan antara
penyair dengan Tuhan dalam ikatan kalbu penghambaan dan pengharapan yang amat
dekat. Pertemuan itu terjadi di Multazam, sebuah tempat di mana terkabulnya doa dan
pinta hamba (umat manusia). Pertemuan itu diumpamakan dengan perjunpaan dengan
sosok wanita yang cantik.
Dalam puisi berjudul “Tanpa Jarak” berikut ini, kita ditunjukkan posisi
penghambaan penyair kepada Tuhan sekaligus pengalaman spiritualnya, begitu dekat
hatinya dengan Tuhan. Sehingga dalam bentuk komunikasi apapun seakan-akan dia dengan
Tuhan begitu dekat, tanpa jarak.
Tanpa jarak
Maka entah rapat entah berantara
Tanpa aksara
Maka entah diam entah bicara
Tanpa ketika
Maka entah sebentar entah lama
Tanpa masa
Maka entah kekal entah fana
Tanpa janji
Maka entah berpisah entah bersua
(Tadarus: 64)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud pengalaman spiritual penyair dengan Tuhan,
bahwa dia dengan Tuhan begitu dekatnya, seakan tanpa sekat yang menghadang. Meskipun
dalam waktu dan tempat yang berbeda. Sebuah wujud komunikasi (bentuk ikatan batin),
penyair merasakan hatinya begitu dekat dengan Tuhan.
Dalm puisi berjudul “Berlapis-lapis Cahaya Menghadang” berikut ini, kita
ditunjukkan sebuah pencarian diri (penyair) agar keberadaan batinnya selalu dekat dengan
‘Cahaya’ Tuhan. Sebab tanpa adanya cahaya Tuhan, hakikat hidupnya tidak bermakna.
Berhamburan deras cahaya Tuhan di alam semesta seakan memberi rahmat pada semua
makhluk ciptaan-Nya. Sungguh besar kasih Tuhan pada semesta dan penyair ingin selalu
menjadi bagian dari ‘Cahaya’ Tuhan itu, agar dapat menjadi penerang bagi siapapun yang
membutuhkan.
Berlapis-lapis cahya menghadang
Lepas satu bermilyar-milyar pijar
Menghambur menyilau pandang
Memancar mentari
Menerangi langit dan bumi
Makhluk-makhluk hidup
Makhluk-makhluk mati
Yang terbang dan mengangkasa
Yang merayap dan melata
Yang menyelam dan berenang
Menyilau pandang
Kututup mataku
Barangkali dengan gelap bisa
Kutembus pijar-pijar dan lapis-lapis cahya
Sia-sia
Boleh jadi aku mengandung pijar-pijar
Tapi aku ingin cahya
O, Maha Cahya
Yang dilindungi cahya-cahya,
Cahyakanlah aku
Agar aku bisa meyatu
Dengan cahya-cahyaMu
Atau kalau tidak jadikanlah aku
Sekilas pijar agar mampu
Merenangi cahya-cahyaMu
menujuMu
(Tadarus: 68)
Larik-larik puisi di atas menggambarkan sebuah keinginan yang luar biasa dari diri
penyair akan curahan ‘cahaya’ Tuhan. ‘Cahaya’ Tuhan adalah bagian dari kemahabesaran
dan Maha Kasih Tuhan pada alam semesta, Dia penerang tanpa batas, kecuali pada
saatnya nanti (kiamat) Dia sendiri yang mencabut cahaya itu dari semesta. Penyair ingin
selalu menjadi bagian dari ‘Cahaya’ Tuhan itu, sehingga dapat menjadi penerang bagi
siapapun yang membutuhkan.
Dalam beberapa puisi berjudul “Matahari”, “Bulan”, “Laut”, dan “Langit” berikut
ini, kita ditunjukkan sebuah keberadaan kepasrahan total diri penyair terhadap
Kemahabesaran Tuhan. Dia kuasa atas penciptaan semua makhluk-Nya. Keberadaan
matahari, bulan, laut, dan langit dengan segala manfaatnya, adalah bukti kemahabesaran-
Nya. Termasuk bergerak dan bertindaknya keempat makhluk ciptaan-Nya tersebut dalam
rotasi masing-masing, berjalan atas izin dan sesuai dengan sunatullah (hukum Allah)
untuk kemanfaatan semesta. Matahari terbit dan terbenam, bulan dengan pantulan
sinarnya yang indah menerangi malam, laut yang amat luas, dan langit yang terhampar
bebas tanpa batas adalah ibarat ilmu Tuhan yang tak akan pernah habis. Semuanya itu
diakui oleh penyair, akan kemahabesaran dan kuasanya Tuhan, pencipta semesta.
Jika terbit disini
Aku tak perduli tenggelam dimana
(Tadarus: 69)
Bulan,
Ayo berpandang-pandangan
Siapa yang lebih dahulu berkedip
Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya.
(Tadarus: 70)
Laut,
Aku ingin meminum habis airmu
Tapi untuk apa?
(Tadarus: 71)
Langit,
Adakah langit di atas birumu?
(Tadarus: 72)
Larik-larik dari empat puisi di atas adalah wujud kesadaran spiritual penyair akan
kebesaran dan kuasa Tuhan, dalam menciptakan semesta dan segala isinya. Tuhan
ciptakan matahari, bulan, laut, dan langit dan semua ciptaan-Nya bukanlah hal yang sia-sia
dan kesemuanya berjalan dan bergerak sesuai dengan sunnah-Nya (perintah dan mandat-
Nya).
Puisi lain yang sangat kental dengan nuansa spiritualnya adalah puisi yang berjudul
”Doa”. Puisi ini menunjukkan pada kita terhadap sebuah pengungkapan pengakuan penyair
kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaannya. Sifat-sifat Tuhan yang dkenal adalah
yang terangkum dalam 99 nama baik bagi Tuhan (al asma al husna). Kita (manusia) hanya
berharap dan memohon pada-Nya, agar diberi perlindungan, pertolongan dan ampunan-
Nya atas segala yang menjadi kelemahan dan kesalahan kita. Selanjutnya, kita dituntun
pula oleh penyair untuk selalu mencari ridla-Nya. Sebab tanpa ridla-Nya semata, apa yang
kita dapatkan ini hanyalah sebuah kesia-siaan hidup belaka.
Ya Allah ya Rahmanu
Wahai Tuhan Yang Maha penyayang
Sayangilah kami
terutama ketika kami lalai dan mabuk kepayang
Ya Allah ya Rahiimu
Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih
Kasihilah kami
terutama ketika kami kalah dan tersisih
Ya Allah ya Maliku
Wahai Tuhan Yang Maharaja
Rajakanlah kami
atas nafsu-nafsu kami yang manja
...................................................................................
Ya Allah ya Jaliilu
Wahai Tuhan Yang Maha luhur
Luhurkanlah derajat kami
Kelak bersama para nabi, wali, dan ulama jumhur
Ya Allah ya Kariimu
Wahai Tuhan Yang Maha murah
Anugerahilah kami
Dari kemurahanMu yang tak pernah berkurang walau sezarah
Ya Allah ya Raqiibu
Wahai Tuhan Yang Maha mengamati
Tajamkanlah pengamtan kami
Terhadap tipuan-tipuan halus setan dan noda-noda hati
.........................................................................................
Ya Allah ya Waaritsu
Wahai Tuhan Yang Maha waris
Wariskanlah kepada kami
Pengetahuan dan keteguhan para nabi
Untuk meneruskan perjuangan sesuai garis
Ya Allah ya Rasyiidu
Wahai Tuhan Yang Maha penuntun
Tuntunlah kami ke jalan yang benar
Dan jadikanlah kami hamba yang santun
Ya Allah ya Shabuuru
Wahai Tuhan Yang Maha sabar
Jadikanlah kami
Hamba yang sabar dan terhadap hawa nafsu tidak mengumbar
Amin.
(Tadarus: 79-93)
Larik-larik dalam puisi di atas, penyair menuntun kita untuk selalu memanfaatkan Al
Asmaul Al Husna (nama-nama baik bagi Tuhan) dalam mengawali setiap berdoa. Nama-
nama Tuhan tersebut adalah petunjuk bagi kita terhadap segala Keagungan-Nya dan itulah
yang menjadi sumber inspirasi untuk menjadi hamba yang baik. Misalnya, setelah
menyebut Ya Allah ya Lathiifu (Mahalembut), dia kemudian memohon lembutilah kami
dan lebutkanlah hati kami sebelum kian berkabut.
Di beberapa larik lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Hadii (Maha Pemberi
Petunjuk), dalam berdoa tunjukkanlah kami jalan yang lurus yang harus kami lalui seperti
Engkau perintahkan. Satu bait lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Baqii, maka
bermohonlah kekalkanlah keyakinan kami terhadap pertolonganMu hingga kami tak
pernah berhenti tawakkal.
Selain esensi pentingnya berdoa, sebagai perjalanan spiritual menuju ‘Cahaya’
Tuhan. Puisi ini sarat akan sifat-sifat mulia Tuhan yang patut diteladani manusia sebagai
hamba-Nya. Dengan meneladani sifat-sifat tersebut, diharapkan manusia bisa memperbaiki
kualitas diri dan hidupnya.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema
tentang kesadaran spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar
Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”.
Puisi ”Ibu” kita ditunjukkan sebuah penggambaran spiritual penyair akan
penghormatan dan pujian kepada seorang ibu, yang menurut hadist Nabi Muhammad saw,
bahwa sosok seorang ibu sangat dimuliakan oleh Tuhan. Ibu ibarat kesempurnaan ciptaan
Tuhan yang amat berharga dan bermanfaat. Ibu juga yang akan membawa perjalanan
bahagia maupun sengsara buah kasihnya, sehingga Tuhan berkenan memberi amanat
membawa surga di bawah telapak kakinya. Tiada lain yang diharap penyair, selain
bermohon pada-Nya agar ibunya diselalu diberi kemuliaan dan kasih sayang seperti
kemuliaan dan kasih sayang Tuhan kepada para kekasih-Nya.
Ibu
Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan meyelam
Kaulah, ibu, laut dan langit
yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu
(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasih sayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin).
(Pahlawan dan Tikus: 37)
Larik-larik puisi di atas adalah penggambaran kesadaran spiritual penyair tentang
sosok seorang ibu, yang disebut pula sebagai wakil Tuhan di bumi. Sejak dalam
kandungan, setiap manusia telah merasakan besarnya pengorbanan seorang ibu. Hal ini
digambarkan dengan kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu sekian lama. Selama
sembilan bulan mengandung, seorang ibu pasti mengalami berbagai hal yang berat.
Namun, dengan suka cita dia menjalaninya karena besarnya rasa cinta kepada janin yang
dikandungnya.
Setelah sang bayi lahir, rasa cinta ibu tidak berkurang, justru semakin berlimpah. Dia
mengasuh, memanjakan, mendidik, dan menjaga anaknya sepenuh hati. Dalambait-bait
puisi tersebut, tergambar sangat jelas betapa besar jasa ibu bagi anaknya.
Karena itu, setiap anak sudah seharusnya berbakti kepada ibunya. Meskipun tidak
sebanding dengan pengorbanan ibu, memanjatkan doa untuk ibu adalah hal yang mulia
untuk dilakukan. Bait terakhir puisi tersebut merupakan sebuah doa yang sangat dalam
maknanya.
Puisi lain yang juga bernuansa spiritual berjudul ”Kurban”. Puisi ini mengangkat
sebuah puncak perjalanan spiritual, yakni ibadah haji. Peristiwa dalam puisi ini adalah
pengalaman spiritual penyair pada saat melaksanakan ibadah haji. Salah satu peristiwa ini
adalah terkait dengan sejarah yang dialami Nabi Ibrahim as, istri (Siti Hajar), dan putra
beliau (Nabi Ismail as).
di sana
barangkali ibrahim, hajar, dan ismail pun mengawasi
lautan kafan kepasrahan berputar-putar
mengitari titik bumi
allahu akbar!
Meluap-luap di pelataran suci
mencoba menyapu sampah dalam diri selama ini
allahu akbar!
Menderas arus berkejar-kejaran
putar-balik antara bukit shafa dan marwah
meyakinkan diri akan penerimaan
sebelum tumpah menutup padang arafah yang ramah
allahu akbar!
Meluber ke muzdalifah membanjiri mina yang menyerah
allahu akbar!
Lalu balik melimpah menggenangi ka'bah
dan menyatu dengan mataair zamzam yang pemurah
allahu akbar!
Di sini pun
kerelaan ibrahim, kepatuhan hajar, dan kepasrahan ismail
menguji kesayangan
yang dikurbankan
bismillahi allahu akbar!
Relakah sepenuh hati relakah!
Relakan sepenuh hati relakan!
Bismillahi allahu akbar!
Kurelakan permataku semata wayang
bismillahi allahu akbar
adakah yang lebih tersayang melebihi putera tersayang
adakah yang lebi berharga melebihi nyawa
kecuali kasihnya
yang menanti di batas ketulusan?
Hari ini pun
agaknya hingga kapan pun
kurban tetap tak seberapa
takbir tak seberapa
tahmid tak seberapa
tapi terimalah, tuhan!
Bismillahi allahu akbar walillahil hamdu!
(Pahlawan dan Tikus: 72)
Larik-larik puisi di atas adalah gambaran perjalanan spiritual penyair saat
menjalankan ibadah haji, di antaranya pada saat melaksanakan ibadah thawaf
(mengelilingi Kakbah) dilambangkan dengan lautan kafan kepasrahan berputar-putar
mengitari titik bumi. Sedangkan para jamaah haji yang sedang melaksanakan ibadah sa’i
(berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah) dilambangkan dengan menderas arus
berkejar-kejaran putar-balik antara bukit shafa dan marwah. Sementara itu, jamaah haji
yang tengah wukuf di Arafah dilambangkan dengan tumpah menutup padang arafah yang
ramah.
Lebih dari itu, penyair mengingatkan esensi ritual-ritual haji tersebut. Thawaf,
misalnya, merupakan upaya menyapu sampah dalam diri selama ini atau melebur dosa-
dosa yang telah dilakukan. Sedangkan sa’i merupakan usaha meyakinkan diri akan
penerimaan atau memantapkan keimanan.
Ibadah haji memiliki kaitan yang sangat erat dengan sejarah Nabi Ibrahim as, istri
(Siti Hajar), dan putra beliau (Nabi Ismail as). Hikmah keteladan yang dapat dipetik adalah
kerelaan Ibrahim as, kepatuhan Hajar, dan kepasrahan Ismail as saat Tuhan menguji iman
mereka dengan menyembelih Ismail. Karena itu, kurban binatang yang dilakukan saat Idul
Adha sama seklai tidak sebanding dengan pengorbanan Nabi Ibrahim as yang rela putra
beliau (Nabi Ismail as) untuk disembelih sebagai wujud penghambaan dan mematuhi
perintah Tuhan.
Puisi berikutnya berjudul ”Nazar Ibu di Karbala”. Puisi ini penyair menggambarkan
sebuah pengalaman spiritual seorang ibu yang berjiwa besar saat berdoa dan bernazar di
depan makam di sebuah wilayah di Iraq, yakni Karbala. Dalam pemikiran penyair, ibu ini
sangat luar biasa. Betapa tidak? Meskipun Tuhan mengujinya dengan cobaan yang amat
berat, suaminya meninggal, anaknya kehilangan satu kaki, dan rumahnya hancur akibat
perang, dia tetap berbesar hati. Sebab hal ini tidak sebanding dengan ujian dan cobaan
yang dialami cucu Rasulullah saw, Sayyidina Husain binta Sayyidatina Fatimah Az Zahra.
Inilah bukti kesadaran spiritual yang tinggi seorang hamba akan ’Cahaya’ dari Tuhannya.
pantulan mentari
senja dari kubah keemasan
mesjid dan makam sang cucu nabi
makin melembutkan pada genanga
airmata ibu tua
bergulir-gulir
berkilat-klat
seolah dijaga pelupuk
agar tak jatuh
indah warnanya
menghibur bocah berkaki satu
dalam gendongannya
tapi jatuh juga akhirnya
manik-manik bening berkilauan
menitik pecah
pada pipi manis kemerahan
puteranya
“ibu menangis ya, kenapa?
Meski kehilangan satu kaki
bukankah ananda selamat kini
seperti yang ibu pinta?”
“airmata bahagia, anakku
kerna permohonan kita dikabulkan
kita ziarah kemari hari ini
memenuhi nazar ibumu”
cahaya lembut masih memantul-mantul
dari kedua matanya
ketika sang ibu tiba-tiba brenti
berdiri tegak di pntu makam
menggumamkan salam:
“assalamu'alaika ya sibtha rasulillah
salam bagimu, wahai cucu rasul
salam bagimu, wahai permata zahra”
lalu dengan permatanya sendiri
dalam gendongannya
hati-hati maju selangkah selangkah
menyibak para peziarah
yang begitu meriah
disentuhnya dinding makam seperti tak sengaja
dan pelan-pelan dihadapkannya
wajahnya ke kiblat
membisikkan munajat:
“terimakasih, tuhanku
dalam galau perang yang tak menentu
engkau hanya mengujiku
sebatas ketahananku
engkau hanya mengambil suami
gubuk kami
dan sebelah kaki
anakku
tak seberapa
dibanding cobamu
terhadap cucu rasulmu ini
engkau masih menjaga
kejernihan pikiran
dan kebeningan hati
tuhan,
kalau aku boleh meminta ganti
gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku
dengan kepasrahan yang utuh
dan semangat yang penuh
untuk terus melangkah
pada jalan lurusmu
dan sadarkanlah manusia
agar tak terus menumpahkan darah
mereka sendiri sia-sia
tuhan,
inilah nazarku
terimalah.”
(Pahlawan dan Tikus: 34)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud kesadaran sipiritul yang tinggi, yang dialami
seorang ibu di sebuah makam di daerah Iraq, yakni Karbala. Meskipun Tuhan mengujinya
dengan cobaan yang berat, dia tetap tabah. Sebab ujiannya tersebut tak sebanding dengan
ujian Tuhan terhadap cucu Rasulullah saw, yakni Sayyidina Husain putra dari Sayyidatina
Fatimah Az Zahra. Ibu itu terus memohon kepada Tuhan dan bernazar agar kiranya tidak
ada lagi pertumpahan darah di antara manusia, jadikan manusia hidup dalam ketentraman
dan kedamaian.
Puisi berjudul ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili” berikut ini adalah wujud
kesadaran spiritual penyair akan perlindungan dan bantuan Tuhan terhadap dirinya. Hizib
Nashar adalah sebuah ritual doa yang biasa dilaksanakan di kalangan santri untuk tujuan
perlindungan dan benteng diri dari segala macam ancaman dan bencana baik yang datang
dari diri sendiri maupun orang lain.
Ya Allah,
Dengan lecut keperkasaanMu yang memaksa
Dengan kilat pertolonganMu yang membela
Denagn ghirahMu kerna diinjak-injaknya kehirmatanMU
Dengan perlindunganMu terhadap mereka
yang berlindung pada ayat-ayatMu
Kami memohonMu, ya Allah
Wahai Yang Maha Mendengar
Wahai Yang Maha Dekat
Wahai Yang Maha Pengabul
Wahai Yang Maha Kilat
Wahai Yang Maha Menghukum
Wahai Yang Maha Dahsyat hantamanNya
Wahai Yang Maha Perkasa
Wahai Yang Maha Memaksa
Wahai Yang tak tertaklukakan
oleh pemaksaan mereka yang perkasa
Yang tak sukar membinasakan raja-raja angkara,
Hunjamkanlah tipudaya mereka yang memperdaya kami
ke leher mereka sendiri
Balikkan muslihat mereka yang menipu kami menimpa mereka sendiri
Jerumuskan mereka yang menggali lubang untuk kami ke dalamnya
Dan mereka yang memasang perangkap untuk kami
jerat dan jebloskan mereka, Ta Tuhan, ke dalamnya!
........................................................................................................
Jika telat dan menjauh bantuan handai tolan
Yang terdekat pada kami adalah bantuan Allah
O, bantuan Allah bergegaslah
Uraikan simpul kami, o, bantuan Allah
Orang-orang yang melampaui batas
sudah keterlaluan
Dan kami menharap Allahlah yang menyelamatkan
Cukup Allah sebagai pembela
Cukup Allah sebagai penolong
Allah mencukupi kami
Tempat bersandar paling handal
Laa haula walaa quwwata illa billahi'i'Aliyi'l'Adhiim
tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah
Yang Maha Luhur Maha Agung
Salaamun'alaa Nuuhin fi 'l-'aalamiin
Kesejahteraan bagi Nuh di seluruh alam
Kabulkanlah kami
Amin, amin, amin!
Tertumpaslah habis kaum yang zalim
Alhamdulillahi Rabbi 'l' aalamiin
Washallahu 'alaa sayyidinaa Muhammadin
Wa'alaa'aalihi wa shahbihi was sallam.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam
Shalawat dan salam bagi pemimpin kami Muhammad
Beserta keluarga dan para shahabatnya.
(Pahlawan dan Tikus: 95-99)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud kesadaran spiritual penyair akan penghambaan
dirinya kepada Tuhan melalui doa Hizib Nashar. Di kalangan para santri doa ini sering
digunakan untuk benteng diri dari segala ancaman dari dalam diri manusia maupun orang
lain. Doa hizib adalah puncaknya doa, setelah doa-doa lain tak dapat atau belum dapat
menjawab persoalan hidup, yakni tentang totalitas perlindungan Tuhan atas diri kita.
Sejalan dengan puisi di atas, dalam puisi berjudul ”Doa Akasyah” berikut ini adalah
juga merupakan gambaran kesadaran spiritual penyair akan Maha Besar dan Maha
Kuasanya Tuhan dalam segala sesuatu dan dalam menentukan sesuatu. Oleh karena itu,
penyair selalu memohon dan meminta untuk selalu diberi petunjuk dan perlindungan baik
di dunia maupun di akhirat. Dalam kalangan santri, doa akasyah adalah salah satu
perwujudan doa untuk permohonan perlindungan total bagi diri sendiri, keluaraga, kerabat
atau sahabat, dan umat muslim secara umum dari gangguan dan mara bahaya, baik yang
datang dari diri sendiri maupun orang lain sekaligus ujian dari Tuhan.
Ya Allah, Wahai Pelimpah anugrah
Wahai Yang Senantiasa bermurah
Wahai Pemberi kurnia sempurna
Wahai Pembagi rezki kepada hamba-hambaNya
dalam keadaan bagaimana saja
Wahai Yang Maha Indah tiada tara
Wahai Yang Maha kekal tiada sirna
Selamatkanlah kami dari kekufuran dan kesesatan
demi Laa ilaaha illahallah Muhammadur Rasuulullah
shallallahu 'alaihi wasallam
........................................................................................
Ya Allah, Wahai Tuhanku;
Wahai Yang Maha Hidup
Wahai Yang Maha Tegak Sendiri
Wahai Yang Tiada Tuhan selain Engkau
Maha Suci Engkau
aku telah termasuk mereka yang lalim
“Maka Aku mengabulkannya dan
menyelamatkannya dari kesusahan
demikianlah Aku menyelamatkan mereka yang beriman”
Tiada Tuhan selain Dia
KepadaNyalah aku berserah diri
Dialah Tuhan Penguasa 'Arasy yang agung
Cukup bagiku Allah Sebaik-baiknya pelndung
dan Sebaik-baik pembela
Tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Agung
Ya Tuhan kami, anugerahilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akherat dan lindungi kami
dari api neraka
Shalawat Allah terlimpahlah kiranya
kepada sebaik-baik ciptaanNya
cahaya'Arasynya
pemimpin dan nabi kita
pemberi syafaat kita, Muhammad
dan kepada keluarganya
seta sekalian para shahabatnya
dengan rahmatMu
Wahai Sebaik-baik perahmat
Amin Ya Rabbal 'alamin.
(Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Larik-larik puisi di atas adalah gambaran kesadaran spiritual penyair dalam
perwujudan doa. Doa yang disampaikan kepada Tuhan adalah doa akasyah, yakni doa
dalam kalangan santri yang merupakan wujud doa untuk permohonan perlindungan diri
dari segala macam gangguan dan bahaya yang datang tiba-tiba, baik dari diri sendiri
maupun orang lain sekaligus ujian dari Tuhan. Sebagaimana wujud doa, isinya adalah
sanjung dan puji bagi Tuhan semata, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada
penghulu para nabi, Muhammad saw. Puncaknya, merupakan wujud permohonan kita
kepada Tuhan untuk selalu mendapat kasih sayang, petunjuk, dan perlindungan-Nya.
Uraian analisis tema tentang ”kesadaran spiritual” yang terefleksi pada beberapa
puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan
bahwa dalam meraih ‘Cahaya’ Tuhan perlu hadirnya kesadaran total membangun
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesama.
Hubungan dengan Tuhan diwujudkan dalam beragam ibadah ritual, yang terangkum dalam
rukun Islam. Sedangakan hubungan dengan sesama diwujudkan dalam bentuk ibadah
sosial, termasuk selalu menebar cinta dan kasih saying pada sesama tanpa batas suku,
agama atau golongan.
Sejalan dengan motif tema ”kesadaran spititual” dalam penelitian ini, Hamdy Salad
(2009:194) mengungkapkan sebagai berikut.
Beragam aktivitas budaya yang telah disumbangkan Gus Mus kepada masyarakat, tak sedikit pun terbersit motif lain kecuali menggapai asa bersama. Mengharumkan marwah agama dan bangsa. Atau, menjaga martabat dan harga diri manusia dari segala tindakan sosial ataupun pribadi yang hanya bertumpu pada kemegahan duniawi. Oleh karena itu, tak lekang Gus Mus oleh waktu untuk diapresiasi melalui seribu pintu. Seperti juga hakikat makhluk di bumi dan langit yang selalu bertasbih kepada Sang Pencipta, karya-karya seni dan kesustraannya senantiasa bergema, mengajak para pembacanya untuk tetap sehati menjalin cinta terhadap sesama demi meraih cinta yang lebih abadi kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Dari uraian analisis, deskripsi dan penjelasan terhadap tema atau gagasan dalam
larik-larik dan bait-bait puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus di atas,
maka tema atau gagasan yang dapat terungkap di dalamnya, antara lain tentang: (1) kritik
terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan
ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan
instrospeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
d. Sikap Penyair dalam Hubugannya dengan Tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sedangkan perasaan atau yang disebut juga feeling dan tone. Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal itu mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok pikiran teretntu, manusia pada umumnya juga dilatarbelakangi oleh sikap tertentu pula.
Adapun nada dan sikap yang ingin disampaikan penyair (A. Mustofa Bisri) dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus sejalan sifat puisi yang ditampilkan. Puisi
yang ditampilkan bersifat deskriptif dan metafisikal. Sebagaimana yang telah diuarikan di
depan bahwa puisi deskriptif adalah penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap
keadaan atau peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis
puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya : puisi satir, kritik sosial,
dan puisi-puisi impresionistik. Satire juga merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan
tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan
keadaan sebaliknya.
Sedangkan Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang
kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
Kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan
atau terhadap diri seseorang dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan
keadaan atau seseorang tersebut. Kesan penyair juga dapat dihayati dalam puisi-puisi
impresionistik yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhaap suatu hal.
Kemudian yang puisi yang bersifat metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan
mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius di satu
pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan panyair) di
lain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup,
kehidupan, dan Tuhan).
Oleh karena itu, maka wujud tampilan tema dalam dua antalogi puisi tersebut
mengungkapkan sikap tidak puas penyair terhadap diri sendiri maupun suatu keadaan atau
peristiwa dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus tersebut banyak mengandung sindiran atau
kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan yang ada dalam diri penyair sendiri
maupun suatu keadaan atau peristiwa dalam masyarakat dengan cara membeberkan
kepincangan atau ketidakberesan diri sendiri maupun keadaan atau peristiwa dalam
masyarakat tersebut. Selain itu, dalam dua antologi puisi tesebut juga mengajak pembaca
merenungkan kehidupan dan menyanjung serta memuji Tuhan dengan segala sifat
kesempurnaan-Nya.
Sebagaimana yang tergambar dalam tema-tema dari antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus, nada dan sikap penyair juga ingin menyuarakan dan merefleksikan
kritik terhadap keberadan hubungan sosial kemanusiaan termasuk kritik pada diri sendiri dan
nilai-nilai religius serta nilai-nilai pendidikan yang dia pahami dan refleksinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nada dan perasaan itu diungkapkan
secara terbuka, kritis, dan bahkan sinis.
Meskipun latar belakang sosial penyair yang sangat religius, yakni sebagai pengasuh
dan pimpinan sebuah pondok pesantren. Selain itu, penyair juga menjadi orang yang memiliki
posisi penting dalam tubuh ormas sebesar NU (Nahdlatul Ulama) dan beliau duduk sebagai
wakil rais syuriah PBNU. Puisi-puisinya tidak semata-mata memiliki nada dan perasaan
religius atau spiritual. Tampak fisik puisi-puisinya bernapaskan religius dan spiritual. Akan
tetapi, penampilan batin atau nada dan perasaan yang ingin disampaikan melalui puisi-
puisinya lebih mengarah pada protes dan kritik sosial.
Terkait dengan karakteristik atau ciri khas dari puisi-puisi A. Mustofa Bisri,
diungkapkan oleh Aning Ayu Kusumawati (2009:17) sebagai berikut.
Ciri khas dari puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu).
Hal tersebut, senada juga dengan pandangan Umar Kayam pada pengantarnya dalam
kumpulan puisi Tadarus bahwa A. Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan pendamba
kearifan” dan “penjaga taman kata-kata“, melainkan ia sudah menggenggam kearifan dan
keindahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak A. Mustofa Bisri adalah penggunaan
diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak
tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan
protes.
Untuk memperkuat argumentasi terhadap nada dan sikap penyair dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka dapat penulis menguraikan pemikiran penyair yang
diambil dari beberapa buku esai karya penyair yang merupakan dokumen pemikiran dan
sekaligus data hasil wawancara penulis dengan penyair. Terkait dengan keberadaan tema-tema
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, pemikiran-pemikiran penyair sebagai
dasar sikap penyair dalam antologi puisi tersebut, antara lain: (1) penegakan moral
kemanusian, (2) keadilan dan kebenaran hidup, (3) kejujuran dalam kehidupan, (4) koreksi
dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Adapun uraian pemikiran penyair adalah
sebagai berikut.
1) Penegakan Moral Kemanusiaan
Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum muslimin, sementara
orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam
memang ada dua macam kesalehan, yaitu “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.
Sejalan dengan pemikiran penyair, A. Mustofa Bisri (2008:54-56) dalam kumpulan artikel
Mencari Bening Mata Air dengan judul artikel “Kesalehan Total”, sebagai berikut.
… Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan shalat, puasa, dan seterusnya; namun tidak, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan shalat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablun minallah.
… Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat perduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembahyang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.
Boleh jadi hal yang disampaikan penyair di atas adalah bermula dari fenomena
kehidupan beragama kaum muslim itu sendiri, di mana memang sering kita jumpai
sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan bekali-kali haji misalnya, namun
kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat
saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan
orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya
juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah
umat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadah
pribadinya”.
Pemikiran tersebut sebagaimana dapat ditunjukkan kutipan beberapa larik puisi yang
berjudul “Kubaca Berita” dan “Makin Canggih Saja” berikut.
………………………………………………………………………..
Aku ingin membaca berita tentang baru tentang manusia modern yang melaksanakan tugas
kekhalifannya tetap dengan kerendahan hati seorang hamba.
………………………………………………………………………..
(Tadarus: 24-26)
Makin canggih saja manusia
Mencipta virus-virus berbisa
senjata-senjata serba-bisa
Agar sambil menangis atau tertawa
Bisa memusnahkan dirinya
(Pahlawan dan Tikus: 49)
Dua puisi di atas menunjukkan, bahwa wujud karakter kemanusiaan secara normatif
dalam konteks kekinian masih dalam impian saja. Sebab hakikat kemanusiaan masih
sangatlah jauh dari konteks keperadaban. Hakikat kemanusiaan yang sebenarnya adalah
mereka yang dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban serta dapat menciptakan
suasana damai dan aman terhadap sesama dan lingkungannya.
2) Keadilan dan Kebenaran Hidup
Selain penghayatan dan pengalaman yang konsekuen terhadap Pancasila sebagai
falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, ada yang penting dan perlu
dibudayakan dalam kehidupan, yaitu sikap jujur dan adil. Kata adil, berasal dari bahasa
Arab, ‘adl, yang berarti lurus, atau jejeg dalam bahasa Jawa. Menurut istilah santri:
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kebalikan zalim (dhulm) yang berari “meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya”. Jadi, adil yang dimaksud mencakup segala pengertian, baik
sikap maupun cara berpikir. Senada dengan hal tersebut, A. Mustofa Bisri (2008:123-124)
mengungkapkan pemikiran dalam artikel berjudul “Keluarga Harmonis”, berikut ini.
Sikap dan cara berpikir adil lebih mudah difatwakan ketimbang diamalkan. Soalnya, meski dianugerahi akal dan nurani, kita dilengkapi ‘athifah’, kita menyukai dan membenci. Sedang adil berarti jejeg, tak condong ke sana ke mari. Memang sulit, apalagi bila nafsu ikut mendorong ‘athifah.
Namun, betapapun sulit, sikap dan cara berpikir adil penting “dibudayakan”. Terutama, di kalangan muslim. Dalam Al Qur’an, Allah berulang menandaskan pentingnya “adil” ini.
Dalam Surat Al-Maidah: 9, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak (kebenaran/keadilan) karena Allah; (dan bila menjadi saksi) jadilah saksi-saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum menjerumuskan kalian untuk bersikap tidak adil. Bersikap adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa ….” (Menurut banyak musafir, “kaum” berarti orang-orang kafir. Cermati makna ini).
Yang menarik, dalam Surat An-Nisa’: 135, Allah memulai firman-Nya dengan redaksi yang hamper sama, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak (kebenaran) yanga dil (Al Quran dan terjemahannya mengartikan, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan), jadilah saksi-saksi karena Allah sekalian terhadap diri kalian sendiri atau terhadap kedua orangtua dan kaum kerabat kalian. Jika yang bersangkutan kaya atau miskin, maka Allah lebih mengetahui keadaannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu untuk menyeleweng (dari kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (ucapan) atau enggan (menjadi saksi), maka sungguh Allah terhadap apa yang kalian lakukan adalah Maha Mengetahui.” (dalam firman Allah tersebut dapat kita perhatikan, bahwa bersaksi terhadap orang lain galibnya lebih mudah).
Karena pentingnya sifat ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mentradisikan dalams etiap khitbah Jumat agar dibacakan ayat, Innallahu yamuru bil ‘adli wa ihsaan …
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa untuk bersikap dan berpikir adil, diperlukan
latihan hidup sederhana. Juga kejujuran. Jujur kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain.
Orang tak jujur, sulit dibayangkan berlaku adil. Sementara, jujur itu sendiri memerlukan
keberanian, terutama buat mengakui kesalahan. Ini semua memerlukan latihan.
Pemikiran tersebut sebagimana ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang berjudul
“Selamat Idul Fitri” dan “Tikus” berikut ini.
Selamat idul fitri, bumi
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak semena-mena
Kami memerkosamu
Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu
Selamt idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu
Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak segan-segan
Kami mengeruhkanmu
Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak putus-putus
Kami membrangusmu
Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu
Selamat idul fiti, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
(Tadarus: 52)
Memanen tanpa menanam
Merompak tanpa jejak
Kabur tanpa buntut
Bau tanpa kentut
(Pahlawan dan Tikus: 17)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap dan
berperilaku pada siapapun, yakni dengan menempatkan kejujuran dan menanamkan nilai-
nilai kebenaran pada siapapun. Kita tidak sepantasnya meniru perilaku yang tidak baik dan
tidak benar, sebagimana yang ditunjukkan perilaku para pencuri uang rakyat (para
koruptor) yang disimbolkan dengan binatang yang bernama tikus.
3) Kejujuran dalam Kehidupan
Terlepas dari kriteria-kriteria pribadi manusia bijak yang dibuat orang-orang pintar,
ada hal yang penting dan merupakan sesuatu yang seharusnya mendapat perhatian dan
dimiliki oleh setiap pribadi bijak, yaitu takut kepada Tuhan, bersikap sederhana, pribadi
jujur dan belas kasihan kepada sesama.
Manusia yang zalim, otoriter, atau korup pastilah jenis makhluk yang tidak
mempunyai rasa takut kepada Tuhan dan tidak memiliki sikap sederhana, kepribadian
jujur, dan rasa belas kasihan kepada sesama. Kalau soal pintar dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, misalnya, mungkin kita memiliki banyak contoh dan tokoh
pilihan. Namun, bagaimanapun pintar dan ahlinya seseorang, apabila tidak mempunyai
rasa takut kepada Tuhannya, tidak bersikap sederhana, tidak berkepribadian jujur, dan tidak
mempunyai rasa belas kasihan kepada sesamaa, pastilah merupakan malapetaka bagi hidup
dan kehidupan. Seirama dengan hal ini, A. Mustofa Bisri (2008: 75-78) mengungkapkan
pemikirannya dalam artikel berjudul “Takwa dan Sikap Sederhana”, sebagai berikut.
Kita hidup untuk beribadah, dan kita beribadah semata mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha dan kepuasan diri sendiri. Dalam ibadah mahdhah atau yang bersifat ritual, seperti sembahyang, berpuasa, dan sebagainya, ketulusan mencari ridha Allah ini mungkin relatif lebih mudah dibanding dengan ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat baik kepada sesama misalnya. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila kita lebih berhati-hati dan terus mewaspadai ketulusan batin dan kejujuran kita dalam hal melakukan ibadah-ibadah yang bersifat sosial itu.
Misalnya dalam melaksanakan ibadah sosial ingin memperbaiki keadaan dan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah air, untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik, kita perlu pula terus mewaspadai niat batin kita. Kita perlu selalu bertanya kepada diri-diri kita sendiri, untuk apa sebenarnya kita berjuang. Kita berjuang untuk Tanah Air demi mendapatkan ridha Allah, ataukah sekadar untuk memuaskan nafsu dan kepentingan kita atau kelompok kita sendiri?
Getir rasanya dan sekaligus geli kita mendengar banyak orang yang meneriakkan slogan-slogan mulia, seperti akhlakul karimah; ukhuwwah islamiyah; membangun masyarakat yang beradab, dan lain sebagainya, namun dalam pada itu mereka sekaligus bersikap dan berperilaku yang tidak berakhlak, menebarkan permusuhan di antara sesama saudara.
Alangkah tertipunya mereka yang merasa diri dan bahkan mengaku-aku berjuang demi hal-hal yang mulia, seperti demi agama dan demi Negara, tetapi tindak-tanduknya justru menodai kemuliaan itu sendiri. Bahkan ada yang na’udzubillah meneriakkan asma Allah sambil memperlihatkan keganasannya kepada sesama hamba Allah.
Uraian di atas membuktikan, bahwa rasanya perlu membiasakan kembali sikap
takwa, hidup sederhana, dan jujur baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.
Sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Muhammad saw. Jika kita lakukan
pembiasaan sikap tersebut dengan mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw, maka kita
dapat lebih mudah untuk berlaku adil, jujur dan istiqamah serta dapat memandang sesuatu
tanpa kehilangan penalaran sehat.
Pemikiran tersebut sebagaiman dapat ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang
berjudul “Rampok” dan “Di Negeri Amplop”, sebagai berikut.
Nyawa atau harta?!
Harta !
Nyawa atau harta ?!
Nyawa !
Nurani atau nyawa ?!
Nyawa!
Nyawa atau nurani?!
Nya
wa
!
(Tadarus: 9)
……………………………………………………..
Amplop-amplop di negeri amplop
Mengatur dengan teratur
Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
Akan Memutuskan putusan yang tak putus
Amplop-amlop menguasai panguasa
Dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
Mencairkan dan membekukan
Mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa nafsu
Orang sakti bisa mati
………………………………………………
(Pahlawan dan Tikus: 57)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita bahwa suatu ketika kita pernah
dihadapkan pada sebuah pilihan hidup (baik dn buruk). Akan tetapi, baik menurut pikiran
kita ternyata bisa berbalik nilai jika dihadapkan pada nurani kita. Sehingga yang terjadi,
kita sering menanggalkan nurani dalam bersikap dan bertindak dalam pergaulan hidup
antarsesama.
4) Koreksi dan Introspeksi Diri
Lawan dari fitrah ini adalah dosa. Apa itu dosa? Al Quran menyebut orang yang
berdosa itu sebagai zalim. Secara harafiah, zalim artinya orang yang menjadi gelap. Dosa
dalam bahasa Arab, zulmun, kegelapan, artinya membuat hati yang gelap (suara hati yang
tertutup). Sejalan dengan hal ini, kembali A. Mustofa Bisri (2008: 68-72) mengungkapkan
pemikirannya dalam artikel berjudul “Suara Hati, Sabda Insani” berikut ini.
Kalau seseorang banyak berdosa, maka hati (suara hati)-nya tidak lagi bersifat nurani (bersifat cahaya), tetapi sudah dzulmaniy. Kata dzulmani ini sebagai lawan dari nurani, supaya kita tahu bahwa tidak semua orang itu mempunyai hati nurani atau suara hati. Hanya orang baik saja yang mempunyai hati nurani, sedangkan orang jahat hatinya tidak lagi bernurani. Hati jahat sudah menjadi dzulmaniy, menjadi gelap, sehingga tidak lagi peka terhadap apa itu baik dan buruk, benar dan salah.
Dalam keadaan gelap inilah ada kesengsaraan, muncullah malapetaka kerohanian, akibat ketidaktahuan diri. Orang yang berdosa adalah orang yang tidak mengenal dirinya, orang yang lupa akan dirinya. Orang yang membungkam suara hatinya, untuk menyenangkan hawa-nafsunya.
Ada Hadits ‘Barang siapa yang tahu dirinya, maka dia tahu Tuhannya”. Hadits ini mengungkapkan bahwa ada orang yang tahu diri, dan ada orang yang lupa diri. Memang, tidak berarti bahwa tahu diri, berarti tahu Tuhan, tetapi ini penting untuk suatu simbolisasi, tentang siapa diri kita ini, yang bias kita kenal melalui introspeksi atau mawas diri (ihtisab). Dengan itu, kita akan mengalami peningkatan kualitas kemanusiaan kita sedemikian rupa, sehingga kita seolah-olah tahu Tuhan (ihsan). Dalam diri orang yang ihsan inilah ada kecemerlangan suara hati.
Kecemerlangan suara hati dalam uraian di atas memiliki keterkaitan dengan konsep
fitrah dalam Islam. Pada dasarnya konsep fitrah menyangkut konsep tantang manusia yang
utuh secara keagamaan, seseorang yang suara hatinya berfungsi secara keagamaan,
seseorang yang suara hatinya berfungsi secara optimal. Jika manusia merindukan fitrahnya,
merindukan suara hati sejatinya, maka sebenarnya ini adalah kerinduan manusia kepada
“kesempurnaannya”. Dengan demikian, dia sudah menempuh jalan menuju kecemerlangan
suara hati.
Agama menyebut, manusia akan utuh, apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi
dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa
kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang utuh. Dia menjadi
manusia yang ‘terpecah’ dari akar primordialnya, kefitrahannya, yang menjadikan suara
hatinya pun tidak berfungsi.
Pemikiran penyair di atas, dapat kita lihat dalam beberapa larik puisi yang berjudul
“Nasihat-Nasihat” dan “Nasihat Ramadhan buat Mustofa Bisri”, sebagai berikut.
Dari hari ke hari siang-malam nasihat-nasihat luhur itu
Menterorku menghadangku hingga di spanduk-spanduk jalan
Menguntitku hingga di stiker-stiker kendaraan menguberku
Dengan pengeras-pengeras suara yang memekik-mekik memekakkan
Mencegatku di pamflet-pamflet pagar-pagar rumah dari kantor
Mengusikku dari layar-layar bioskop dan seri-seri drama teve
Mengepungku di kolom-kolom Koran dan majalah mengurungkanku di
Mesjid-mesjid surau-surau gereja-gereja dan lanpangan-lapangan upacara …..
Hingga tak sempat aku melaksanakannya
(Tadarus: 63)
……………………………………………Mustofa,
Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu
Yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi
Kau puja selama ini.
Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini
Seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu
(Pahlawan dan Tikus: 83-85)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita, bahwa betapa tidak berdayanya kita
dalam berbagai hal. Seringnya kita mendengar atau mengemukakan nasihat dan kata-kata
bijak, akan tetapi tidak menambah kebaikan pada diri kita. Sebab untuk melaksanakannya
sendiri saja terhadap apa yang kita sampaikan, kita belum bahkan tidak mampu. Oleh
karena itu, berbahagialah kita, apabila kita terus berkaca pada diri sendiri dengan segala
kelemahan dan ketidakberdayaan daripada harus mengoreksi orang lain yang barangkali
justru lebih baik dari kita.
5) Kesadaran Spiritual
Nilai takwa seseorang tidak semudah yang dilakukan orang awam. Takwa sendiri
oleh para ulama dan pemikir Islam dirumuskan dalam banyak definisi. Ada yang
mengatakan bahwa takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya. Ada pula yang mengatakan bahwa takwa adalah taat kepada Allah dan
berlindung dari hukuman-Nya. Senada dengan hal ini, A. Mustofa Bisri (2008: 115-120)
mengungkapkan pemikirannya dalam artikel yang berjudul “Dia, Saya, dan Takwa”,
sebagai berikut.
Takwa adalah menjaga diri dari apa saja yang mengundang hukuman Allah. Takwa ialah menghindari segala tata krama syariat. Takwa pada ketaatan berarti ikhlas, dan pada maksiat berarti tidak melakukannya. Dan masih banyak lagi
definisi-definisi yang lain.
Allah sendiri di awal Al Quran menyifatkan orang-orang yang bertakwa (al-Muttaqien) sebagai: “Mereka yang beriman kepada yang ghaib (percaya kepada yang maujud yang tak dapat ditangkap pancaindera, karena adanya dalil yang menunjukkan kepada adanya), yang mendirikan salat (menunaikannya dengan teratur sesuai aturan-aturannya), yang menafkahkan sebagian rezeki yang ia anugerahkan kepada mereka, dan mereka beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dan kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya serta menyakini adanya hari akhir.” (Q.S. Al-Baqarah: 2-4)
Sedangkan di surat Ali Imran: 135-5, Allah memberikan al-muttaqien sebagai’’ Mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu luang maupun sempit, mereka yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain, mereka yang apabila melakukan perbuatan keji atau melalimi diri sendiri segera ingat Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang mengampuni dosa-dosa kecuali Allah? Dan mereka tidak ngotot meneruskan apa yang mereka lakukan itu, sedang mereka mengetahui.”
Ternyata sepanjang yang saya ketahui tentang takwa yang menjadi patokan kemuliaan di sisi Tuhan itu, kesenimanan dan kekiaian tidak termasuk kriterium. Jadi sepanjang menyangkut soal ketakwaan, saya tidak bisa sekadar mengukurnya dari kesenimanannya dan kekiaian saya. Apalagi Rasulullah sendiri pernah berkata, sambil menunjuk dada, “at-Taqwa ha hunaa.” (takwa itu di sini).
Terkait dengan pemikiran penyair di atas, maka nilai takwa seseorang tidak mudah
untuk dirumuskan dan didefinisikan. Sebab takwa sangat dekat dengan pemahaman dan
pengalaman spiritual. Sedangkan spiritual lebih dekat dengan hati. Implementasi gerak hati
akan terwujud dalam keikhlasan beribadah, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Pemikiran tersebut sebagimana dapat diungkap dalam beberapa larik puisi yang
berjudul “Cahaya” dan “Doa Akasyah” berikut.
Berlapis-lapis cahya menghadang
Lepas satu bermilyar-milyar pijar
Menghambur menyilau pandang
Memancar mentari
Menerangi langit dan bumi
Makhluk-makhluk hidup
Makhluk-makhluk mati
Yang terbang dan mengangkasa
Yang merayap dan melata
Yang menyelam dan berenang
Menyilau pandang
Kututup mataku
Barangkali dengan gelap bisa
Kutembus pijar-pijar dan lapis-lapis cahya
Sia-sia
Boleh jadi aku mengandung pijar-pijar
Tapi aku ingin cahya
O, Maha Cahya
Yang dilindungi cahya-cahya,
Cahyakanlah aku
Agar aku bisa meyatu
Dengan cahya-cahyaMu
Atau kalau tidak jadikanlah aku
Sekilas pijar agar mampu
Merenangi cahya-cahyaMu
menujuMu
(Tadarus: 68)
…………………………………………….
Ya Tuhan kami, anugerahilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akherat dan lindungi kami
dari api neraka
Shalawat Allah terlimpahlah kiranya
kepada sebaik-baik ciptaanNya
cahaya'Arasynya
pemimpin dan nabi kita
pemberi syafaat kita, Muhammad
dan kepada keluarganya
seta sekalian para shahabatnya
dengan rahmatMu
Wahai Sebaik-baik perahmat
Amin Ya Rabbal 'alamin.
(Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa penyair sangat berharap atas anugerah
dan petunjuk serta pertolongan dan perlindungn Tuhan. Sebab tanpa anugerah, petunjuk,
pertolongan, dan perlindungan Tuhan, kita (manusia) tak akan mampu berbuat dan
bertidak. Sikap seperti ini adalah wujud kesadaran spiritual yang mendalam akan
keberadaan Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.
Demikian uraian tentang pemikiran-pemikiran penyair (A. Mustofa Bisri) dalam
rangka memperoleh data penelitian yang lebih akurat guna mendukung kajian terhadap
sikap penyair dalam hubungannya dengan tema. Di samping itu, terkait dengan sikap
penyair dalam hubungannya dengan tema, maka dapat diungkap pula melalui hasil
wawancara penulis dengan penyair, sebagai berikut:
“Sebagaimana kumpulan atau antologi puisi saya yang lain, ada sembilan kumpulan puisi. Beberapa antologi puisi saya adalah merupakan kumpulan dari beberapa puisi saya yang terus mengalir tercipta. Pada akhirnya, yang pertama terkumpul dalam Ohoi (kumpulan puisi balsam). Selanjutnya terkumpul dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dan seterusnya. Sikap atau pandangan saya terhadap keunculan dua antologi puisi tersebut (Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) adalah sama dengan beberapa antologi puisi saya yang lain, yaitu aliran suara hati saya yang tidak mudah bisa dibendung jika melihat peristiwa atau keadaan sekitar. Hati dan pikiran saya selalu terusik untuk menulisnya. Meskipun ada juga beberapa puisi saya berasal dari hasil perenungan diri sendiri.”
”... Yang perlu digarisbawahi, bahwa puisi-puisi saya adalah cermin dari diri saya. Seperti halnya para penyair lain, taruhlah seperti: W.S. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi karya mereka itu adalah cermin dari diri mereka masing-masing. Sehingga dapat pula dikatakan, bahwa bahasa yang terungkap dalam puisi-puisi saya adalah cermin kepedulian, perhatian, dan juga sikap saya. Termasuk konsep-konsep pemikiran saya tentang manusia, lingkungan kehidupan dan kematian, diri sendiri, maupun tentang konsep tentang keagamaan. Semua itu akan muncul dan tampak, jika saya mendeskripsikannya dalam bentuk karya (puisi, prosa, dan esai).”
“Tadarus bersal dari bahasa Arab darasa dan yadrisu lalu menjadi tadris, yang berarti ‘belajar’ atau ‘mempelajari’. Dalam bahasa Jawa ada isitilah nderes atau darusan. Dalam bahasa Indonesia menjadi tadarus, yang artinya terus-menerus membaca dan mengkaji. Jadi, antologi puisi Tadarus isinya bagaimana seharusnya kita belajar dan mempelajari serta mengkaji ayat-ayat Allah dalam kehidupan dan lingkungan di mana kita hidup dan berpijak termasuk apa yang ada pada diri sendiri (lahir dan batin) secara terus-menerus. Intinya, tidak ada kata berhenti untuk terus belajar dan mempelajari apapun yang ada dalam diri dan lingkungan kita. Sedangkan antologi puisi Pahlawan dan Tikus, bahwa dalam kehidupan ini kita akan dipertemukan dengan dua watak atau karakter manusia, baik dan buruk. Saya kira Anda paham tentang hal ini. Itu semua, muaranya kembali lagi pada pembaca atau penikmat puisi.”
Dari uraian tentang pemikiran penyair dan petikan hasil wawancara penulis dengan
penyair di atas, maka dapat disintesiskan sikap penyair dalam hubungannya dengan tema
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, antara lain tentang: (1) penegakan
moral kemanusiaan, (2) keadilan dan kebenaran hidup, (3) kejujuran dalam kehidupan, (4)
koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Sedangkan beberapa tema atau gagasan yang terungkap dalam antologi puisi Tadarus
dan Pahlawan dan Tikus, meliputi: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2)
kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran
dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa antara nada atau sikap penyair dan tema
atau gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, keduanya ikut
mendukung keberadaan refleksi kritik sosial di dalamnya.
e. Struktur Bahasa dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Sebagaimana keberadaan sifat puisi deskriptif dan metafisikal dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka struktur bahasa yang meliputi pilihan kata, kata
konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versivikasi dalam antologi puisi tersebut dipilih
penyair untuk mewakili keberadaan sifat puisi tersebut dan sejalan jika dikaitkan dengan
tema-tema yang ditampilkan.
Dalam pemilihan kata penyair menunjukkan sifat dan karakater dalam puisinya untuk
mewakili nada dan sikap tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara
menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya dan mengandung sindiran atau kritik tentang
kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu
masyarakat. Selain itu, penyair juga mengajak kita merenungkan kehidupan dan merenungkan
Tuhan. Hal itu itu dapat kita pada lihat pilihan kata dalam beberapa larik puisi yang tercetak
tebal berikut.
…………………………………………………………Kubaca berita tentang Negara kaya yang sedang bangga dan terlena oleh
kekayaannya tiba-tiba tetangganya sendiri tanpa ampun menghajar dan menjarahnya.
…………………………………………………………………………
(Tadarus: 24-26)
...........................................Tengoklah kanan-kirimu
Lihatlah kelemahan dimana-mana
membuat lelap dan kalap siapa saja
Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela
mebabat segalanya
Lihatlah segalanya semena-mena
mengroyok dan membiarkan nurani tak berdaya
…………………………………………………….
(Pahlawan dan Tikus: 47)
…………………………………………………….
Kebenaran menjadi tak begitu benar
Bahkan sering terlalu benar
Kemungkinan menjadi tidak begitu mungkar
Bahkan sering terlalu mungkar
Ikrar dan ingkar kehilangan pagar
Damai dan bertikai kehilangan bingkai
Serakah dan barokah kehilangan pemisah
Maksiat dan dan taat kehilangan sekat
…………………………………………………………..
(Tadarus: 57)
.............................................................................................Musrofa,
Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang
Mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa.
Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu
Atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa.
Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahu
……………………………………………………………………………
(Pahlawan dan Tikus: 47)
………………………………………………………..
Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan terlempar?
Gunung amal yang dibanggakanJadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan memberati timbangan
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul’ Adhiem
........................................................................................
(Tadarus: 46)
Larik-larik puisi yang tercetak tebal di atas menunjukkan bahwa penyair mengunakan
pilihan kata, kelompok kata, dan ungkapan, untuk mewakili nada dan perasaan yang sesuai
dengan sifat puisi deskriptif dan metafisikal. Bahasa yang ditampilkan bermakna lugas, kritis
dan satirik, sehingga tidak membutuhkan penafsiran yang mendalam untuk menangkap pesan
yang ingin disampaikan penyair.
Selanjutnya dalam penggunaan kata konkret dalam puisinya, penyair memperkuat
pengimajian bahasa puisi agar dapat pula mewakili nada dan sikapnya dalam melihat
kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu
masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Hal tersebut dapat
ditunjukkan pada beberapa larik yang tercetak tebal berikut.
Mantan rakyat bertemu rakyat
Berbicara atas nama rakyat demi rakyat
Dan rakyat pun saling bertanya
Apakah dia pernah jadi rakyat?
(Tadarus: 21)
………………………………..
tapi biarlah kepada kalian
untuk kesekian milyar kalinya kukatakan
kami bukanlah lebah
apalagi cacing tanah
kami adalah takdir kalian
justru kelaliman dan kekebalan kalian
telah mengebalkan dan meliatkan
tekad kami melawan
……………………………..
(Pahlawan dan Tikus: 27)
Tikus-tikus di atas meja
(Seram juga melihat taring-taingnya)
Dengan rakus menyikat apa saja
Beberapa tikus meluncur turun ke bawah
Berebut remah dengan kecoa-kecoa kecil
Sesekali terdengar kersik suara
Tikus-tikus pun sekejap menghilang
Bagai ditelan bumi
Tapi tak lama moncong dan taringnya
Muncul lagi
Mengawasi sekeliling dengan waspada
Lalu naik lagi berputar-putar di atas meja
Mencari-cari sisa-sisa dengan jelinya
Lalu turun lagi kalau-kalau ada yang terlewatkan
Lalu naik lagi dengan mata dan hidung memeriksa
Ketika tak ada lagi yang bisa dimakannya
Mereka pun beramai-ramai menggerogoti meja
seekor kucing gembong mendekam di sudut
Pura-pura tak tahu
Atau barangkali
takut.
(Pahlawan dan Tikus: 25)
Jangan berpidato!
kata-katamu yang paling bijak
hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi
menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu
Peradaban koreng!
Has asasi borok !
Perdamaian kurap!
Demokrasi kudis!
Humanisasi panu!
Berlagaklah adi siapa perduli
Bangunanmu tinggal cantik di luar
Tinggal menunggu saat-saat ambyar
(Tadarus: 8)
Di borokku yang belum kering benar
Lalat-lalat dengan dingin bermain
Menari-nari nanar
Mabuk darah dan nanah
Helm-helmnya berkilatan
Sayap-sayapnya menggelepar
Menciptakan lagu lapar
Terbius aku sendiri
Rasa risi menyengat nyeri
Kuusir datang lagi kuusir datang lagi
Kuusir
Datang
Lagi. Sialan !
(Tadarus: 5)
Ramadlan bulan suci katamu, kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah
Merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu
Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian
Keserakahan ujub riya takabur dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari
Comberan hatimu?
Mustofa,
Inilah bulan baik saat baik untuk kerjabakti membersihkan hati
Mustofa,
Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu
Yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi
Kau puja selama ini.
Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini
Seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu
(Pahlawan dan Tikus: 83-85)
Dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal di atas tampak beberapa kata konkret
guna memperkuat pengimajian bahasa puisi yang mengacu pada nada dan perasaan penyair
dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok
maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Beberapa
kata konkret yang tampak di antaranya mantan rakyat / rakyat / tikus-tikus / kucing gombong
/ cacing tanah / lebah / bedak murah / koreng-borok-kurap-kudis-panu / borokku / Lalat-lalat
/ darah / nanah / ujub / riya / takabur/ berhala / sampah / comberan. Meskipun kata-kata
konotatif tersebut tampak sederhana tetapi menyebab puisi-puisi menjadi intens dan kaya
makna, sehingga mudah untuk menafsirkannya.
Gaya bahasa hiperbola, personifikasi, metafora, dan pleonasme banyak dijumpai dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk mewakili nada dan perasaan penyair
yang satirik, kritis, impresinistik dan metafisikal dalam melihat kepincangan atau
ketidakberesan kehidupan baik pada diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat
serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Gaya bahasa tersebut dapat
ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal berikut.
Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan
berbarel-barel bensin dan darah
dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan
melalui pori-pori kejantanan
ke tangki-tangki penampung nyawa
untuk menghidupkan sesal dan kecewa.
(Pahlawan dan Tikus: 28-29)
……………………………………………………..Jangan lihat kenaikan upah yang cuma sekian ratus rupiah
Yang mungkin dianggap majikan-majikan kami tak lebih rendah
Dibanding selembar nyawa seekor buruh yang payah
Jangan lihat kebinatangan mereka yang menganiaya diri saya
Tapi lihatlah nasib keadilan yang parah
…………………………………………………………………
(Pahlawan dan Tikus: 56)
Titik-titik hujan terus
Mengetuk-ngetuk malam-dinginku
Mengabarkan kesedihan langit
Sekali-kali kulihat kilat
Matanya yang geram tajam
Menyeruak pekat
Seperti mencariku hendak menikam
Hatiku yang kecil kecut
Kupeluk diriKu kencang-kencang
Dalam gigil yang semakin dahsyat
Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33)
Bulan,
Ayo berpandang-pandangan
Siapa yang lebih dahulu berkedip
Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya.
(Tadarus: 70)
Laut,
Aku ingin meminum habis airmu
Tapi untuk apa?
(Tadarus: 71)
.......................................................
Ya Allah ya Badii’u
Wahai Tuhan Yang Maha pencipta
Ciptakanlah dalam hati kami
Kemampuan memandang keindahanMu
Yang mempesona semesta
………………………………………………
(Tadarus: 79-93)
…………………………………………………………….
Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka
Semata-mata karena kelaliman mereka
Jangan lihat sejengkal tanah yang kami pertahankan
Selembar nyawa mudah yang kami pertaruhkan
Tapi lihatlah kehidupan mulia yang kami perjuangkan.
Kami tak punya apa-apa kecuali pilihan
Tetap merdeka atau mati.
……………………………………………………………………
(Pahlawan dan Tikus: 56)
Larik-larik puisi yang tercdetak tebal di atas menunjukkan beberapa gaya bahasa untuk
mewakili serta nenegaskan nada dan perasaan penyair dalam melihat kepincangan atau
ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta
perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan.
Selanjutnya versifikasi, baik berupa rima, ritme, maupun metrum yang ditampilkan
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus selain untuk menghasilkan pengaruh
keindahan kata-kata yang ditampilkan, tetapi juga untuk memberikan gambaran kesungguhan
penyair dalam melihat kepincangan dan ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu
kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan.
Hal itu dapat ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal berikut.
…………………………………………..Kami lawan mereka mati-matian
Bukan karena kulit mereka lain dari kulit kita
Bukan karena hidung mereka lain dari hidung kita
Bukan karena lidah mereka lain dengan lidah kita
Bukan karena mereka Inggris, Belanda, atau Gurka
Bukan karena mereka asing bagi kita
Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka
Semata-mata karena kelaliman mereka
……………………………………………………..
(Pahlawan dan Tikus: 56)
…………………………………………….
“Orang besar boleh bicara semaunya
Orang kecil paling jauh dibicarakan saja”
“Orang kecil jujur dibilang tolol
Orang besar tolol dibilang jujur
Orang kecil berani dikata kurang ajar
Orang besar kurang ajar dikata berani”
“Orang kecil mempertahankan hak
Disebut pembikin onar
Orang besar merampas hak
Disebut pendekar”
………………………………………………….
(Pahlawan dan Tikus: 63)
Islam agamaku, nomor satu di dunia
Islam benderaku, berkibar dimana-mana
Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya
………………………………………………………………..
Islam teaterku, emnampilkan karakter-karakter suci
Islam festivalku, pemerintahkan hari-hari mati
Islam kausku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa
Tuhan, Islamkah aku?
(Tadarus: 29)
............................................Puasakan kelaminku
Untuk memuasi Ridla
Puasakan tanganmu
Untuk menerima Kurnia
Puasakan mulutmu
Untuk merasai Firman
Puasakan hidungmu
Untuk menghirup Wangi
Puasakan wajahmu
Untuk menghadap Keelokan
Puasakan matamu
Untuk menatap Cahya
Puasakan telingamu
Untuk menangkap Merdu
Puasakan rambutmu
Untuk menyerap Belai
Puasakan kepalamu
Untuk menekan Sujud
Puasakan kakimu
Untuk menapak Sirath
Puasakan tubuhmu
Untuk meresapi Rahmat
Puasakan hatimu
Untuk menikmati Hakikat
Puasakan pikiranmu
Untuk meyakini Kebenaran
Puasakan dirimu
Untuk menghayati Hidup.
Tidak.
Puasakan
Hasratmu
Hanya untuk
Hadlirat
Nya
!
…………………………………..
(Pahlawan dan Tikus: 83-85)
………………………………..
Kami memohonMu, ya Allah
Wahai Yang Maha Mendengar
Wahai Yang Maha Dekat
Wahai Yang Maha Pengabul
Wahai Yang Maha Kilat
Wahai Yang Maha Menghukum
Wahai Yang Maha Dahsyat hantamanNya
Wahai Yang Maha Perkasa
Wahai Yang Maha Memaksa
Wahai Yang tak tertaklukakan
oleh pemaksaan mereka yang perkasa
Yang tak sukar membinasakan raja-raja angkara,
Hunjamkanlah tipudaya mereka yang memperdaya kami
ke leher mereka sendiri
..........................................
(Pahlawan dan Tikus: 95-99)
Larik-larik puisi yang tercetak tebal di atas menunjukkan versifikasi, baik berupa rima,
ritme, maupun metrum yang padu untuk menghias keindahan larik-larik puisinya. Selain itu,
beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, keberadaan versivikasi
juga untuk mewakili serta menegaskan nada atau sikap penyair dalam melihat kepincangan
atau ketidakberesan kehidupan diri sendiri, kehidupan social serta perenungan terhadap hidup
dan keberadaan Tuhan.
Tampaknya, A. Mustofa Bisri selain mengungkapkan kata-kata yang lugas dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus selain untuk menyampaikan tema-tema yang
berhubungan dengan kritik terhadap kehidupan sosial dan religius, tampaknya penyair juga
ingin memadukan sifat-sifat yang ada dalam puisinya yang deskriptif dan metafisikal dengan
menggunakan kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versivikasi yang senada. Hal ini
membuktikan, bahwa selain ingin menyampaikan nada dan sikap secara lugas, kritis, dan
satiris, penyair masih mempertimbangakan keindahan bahasanya. Bahkan tidak sedikit nada
humoris juga tampak dalam beberapa puisinya dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus.
Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Abdul Munir Mulkan (2009:159)
tentang puisi-puisi A. mustofa Bisri (Gus Mus) sebagai berikut.
Puisi-puisi Gus Mus bukan hanya indah dan sufistik, melainkan sekaligus humanis dan
profetis meletakkan praktik Islam sebagai sebuah proses sosio-budaya dan seni dari kehidupan duniawi yang cair. Pilihan kata yang arif membuat pembaca yang menjadi sasaran kritiknya justru tersenyum manggut-manggut. Kritiknya tajam, tapi penuh hikmah dan terbarukan seperti menyebut syirik bukan semata menyembah batu, melainkan menempatkan diri sendiri paling benar dan mutlak benar.
f. Sintesis dan interpretasi.
Antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah wujud ciri khas dari puisi-puisi
A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah kritik sosial dan
spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang
digunakan cukup wajar dan sederhana. Akan tetapi, di balik kesederhanaan itu sebenarnya
terdapat makna yang lebih dalam atau dapat disebut dengan deceptive simplicity
(kesederhanaan yang menipu). Ciri khas yang lain dari puisi-puisinya adalah penggunaan
diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak
tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan
protes.
Beberapa tema atau gagasan yang diangkat diangkat dalam antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus, antara lain: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik
terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam
kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual, menunjukkan
korelasi yang senada dengan penyampaian sikap penyair. Sehingga strutktur bahasa yang
digunakan baik melalui pilihan kata, kata konkret, pengimajian, gaya bahasa, dan versifikasi
selaras dengan tema atau gagasan sekaligus nada atau sikap penyair yang diangkat dalam dua
antologi puisi tersebut.
Harmonisasi antara struktur bahasa dengan tema serta sikap penyair, tidak membuat
penulis sukar menafsirkan maknanya. Makna konotatif yang ditampilkan melalui struktur
bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus masih dapat didekati, bahkan
makna konotatif itu menyebabkan puisi-puisi dalam antologi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus menjadi intens dan kaya akan makna.
Penyair berhasil memberikan sugesti kepada kita tentang betapa pentingnya kita untuk
saling mengingatkan akan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, introspeksi
diri, dan kesadaran spiritual. Penyair terus mengingatkan agar kita tetap berjalan dalam
koridor etika ilahiah, moral surgawi. Sehingga puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus sangat kritis, satiris, bahkan nylekit dan sinis tetapi humoris. Hal ini
mengingatkan kita agar menyampaikan suara-suara Tuhan yang baik dan benar harus dengan
jalan hasanah (kebaikan) dan kebenaran pula.
Puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri bukanlah puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada
kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan imaji kata seperti
halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresi-
impresi ngungun dan samar. Sejalan dengan hal tersebut, disampaikan oleh Acep Zamzam
Noer (2009: 124), sebagai berikut.
Puisi-puisi A. Mustofa Bisri adalah puisi yang sadar akan fungsinya sebagai penyampai pesan, puisi yang memanfaatkan kekuatan retorika meski tidak jatuh sebagai pidato. Selalu tersedia sebuah ruang di mana pembaca bisa termenung, terhenyak, terhanyut, atau sekedar tersenyum. Bahasa yang digunakannya sejenis bahasa grafis yang plastis dan efektif, bahasa dengan karakter lisan yang kuat. Dalam perpuisian Indonesia mungkin bisa dibandingkan dengan puisi-puisi WS. Rendra atau Emha Ainun Nadjib, meski pada puisi-puisinya A. Mustofa Bisri lebih menonjol unsur humornya. Tentu saja humor khas pesantren.
Akhirnya, berdasarkan beberapa faktor yang dapat dijadikan kerangka berpikir meliputi:
(1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (2) gambaran umum tentang antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (3) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus, (4) sikap penyair dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus
dan Pahlawan dan Tikus, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus, dan (6) sintesis dan interpretasi. Maka nada atau sikap penyair sangat relevan
dengan tema atau gagasan tentang kritik terhadap kehidupan sosial dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
Relevansi tersebut terdeskripsi dalam kerangka tema atau gagasan tentang: (1) kritik
terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) ) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran
hidup, (3) ) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri,
dan (5) kesadaran spiritual.
2. Nilai Religius dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Puisi pada dasarnya merupakan bagian dari suatu tradisi tertentu yang secara turun
temurun diwariskan dari suatu generasi ke generasi lain, dengan atau tanpa reserve sehingga
memungkinkannya memodifikasi dirinya dari waktu ke waktu sesuai dengan konteks dan gairah
zaman yang menyertainya. Untuk hal terakhir tersebutlah selayaknya visi terlibat dalam
menentukan apa yang seharusnya bisa diemban dan dimainkan oleh sastra.
Terkait dengan hal tersebut, sejalan dengan yang disampaikan Aning Ayu Kusumawati
(2009:19) bahwa visi mengandung pengertian kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak
tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan, juga berarti apa yang tampak di
khayalan.
Visi dalam puisi-puisi A. Mustofa Bisri dapat diartikan sebagai kekuatan rohani atau akal
budi seorang A. Mustofa Bisri dalam potensi kreatifnya membaca tanda-tanda zaman. Sehingga
dapat dikatakan bahwa visi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Kekuatan rohani dan akal budi dalam karya puisi sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai
yang ada di dalamnya. Utamanya nilai-nilai reigius. Selanjutnya Aning Ayu Kusumawati
(2009:21) memberi pengertian pada kata religius atau religiusitas sebagai berikut.
Religius atau religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati” riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, du Coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman isi pribadi manusia.
Nilai-nilai religius yang diemban antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri adalah nilai religius yang dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan
kesadaran seseorang untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan
menciptakan hubungan yang harmoni dengan sang Maha Pencipta dalam pemikiran dan
perbuatan. Sealanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal
(pribadi) maupun ibadah sosial.
Adapun puisi yang kuat mengemban nilai religius berdasarkan pengertian di atas, dalam
antalogi puisi Tadarus tampak pada puisi-puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”,
”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”,
”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, dan ”Doa”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat
mengemban nilai religius tampak dalam larik-larik yang tercetak tebal berikut.
......................................Hatiku yang kecil kecut
Kupeluk diriKu kencang-kencang
Dalam gigil yang semakin dahsyat
Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33)
...................................................................................Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan terlempar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan memberati timbangan
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul’ Adhiem
................................................................................
(Tadarus: 46)
...................................................................................
Kau tak meniupkan apa-apa tak menitipkan apa-apa
Karena memang kau seperti anakmu juga
Sejak mula tak memiliki apa-apa
Bagaimana kau mengaku segala apa?
Kau tahu
Pemiliknya yang sejati
Menitip-amanatkan padamu
Dan tak pernah berhenti
mengawasimu
(Tadarus: 76)
.................................................................Di pelataran agungMu nan lapang
Aku titik-titik tahi merpati
Menggumpal dalam titik noda
Berputaran
Mengabur melaju
Luruh dalam gemuruh Talbiah
Takbir dan tahmid
Mengejar ampunan Dalam lautan ampunan
Terpelanting Dalam
Khauf dan raja
(Tadarus: 37-38)
………………………………………………Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan
di atas keindahan di bawah keindahan
di kanan-kiri keindahan
di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku! Tak kutanyakan kenapa
Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku? - - ampunilah aku - - tanyalah jua yang
Kupunya kini:
Allahku, mukallafkah aku dalam keindahanMu?
(Tadarus: 39-40)
Tanpa jarak
Maka entah rapat entah berantara
Tanpa aksara
Maka entah diam entah bicara
Tanpa ketika
Maka entah sebentar entah lama
Tanpa masa
Maka entah kekal entah fana
Tanpa janji
Maka entah berpisah entah bersua
(Tadarus: 64)
……………………………..O, Maha Cahya
Yang dilindungi cahya-cahya,
Cahyakanlah aku
Agar aku bisa meyatu
Dengan cahya-cahyaMu
Atau kalau tidak jadikanlah aku
Sekilas pijar agar mampu
Merenangi cahya-cahyaMu
menujuMu
(Tadarus: 68)
…………………………………………………..Wahai Tuhan Yang Maha cahaya
Sinarilah hati kami
Dengan cahyaMu sehingga kami dapat membedakan
Yang nyata dan yang maya
Ya Allah ya Hadii
Wahai Tuhan Yang Maha menunjukkan
Tunjukkanlah kami
Jalan yang lurus yang harus kami lalui
Seperti Engkau perintahkan
Ya Allah ya Badii’u
Wahai Tuhan Yang Maha pencipta
Ciptakanlah dalam hati kami
Kemampuan memandang keindahanMu
Yang mempesona semesta
…………………………………………………………………
(Tadarus: 79-93)
Larik-larik puisi yang ditunjukkan secara berurutan dari beberapa puisi yang berjudul
”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik
di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, dan ”Doa” di atas,
menunjukkan bahwa manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan
memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Selanjutnya dengan segala
upaya dan usahanya untuk selalu mendekat kepada Tuhan melalui beribadah dan berdoa guna
mendapat curahan rahmat-Nya.
Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk
menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam
kehidupan sehari-harinya kita akan selalu diliputi dengan ’Cahaya’ Tuhan. Dengan ’Cahaya’
Tuhan inilah, maka kita akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan. Karena pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi diri kita dalam segala
situasi dan kondisi.
Dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, puisi-puisi yang sangat kuat mengemban nilai-
nilai religius akan tampak pada beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar Ibu di
Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Secara berurutan,
puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-nilai religius tampak dalam larik-larik puisi berikut.
........................................................(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasih sayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin).
(Pahlawan dan Tikus: 37)
.....................................................Kurelakan permataku semata wayang
bismillahi allahu akbar
adakah yang lebih tersayang melebihi putera tersayang
adakah yang lebi berharga melebihi nyawa
kecuali kasihnya
yang menanti di batas ketulusan?
Hari ini pun
agaknya hingga kapan pun
kurban tetap tak seberapa
takbir tak seberapa
tahmid tak seberapa
tapi terimalah, tuhan!
Bismillahi allahu akbar walillahil hamdu!
(Pahlawan dan Tikus: 72)
...................................tuhan,
kalau aku boleh meminta ganti
gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku
dengan kepasrahan yang utuh
dan semangat yang penuh
untuk terus melangkah
pada jalan lurusmu
dan sadarkanlah manusia
agar tak terus menumpahkan darah
mereka sendiri sia-sia
tuhan,
inilah nazarku
terimalah.”
(Pahlawan dan Tikus: 34)
...............................................................Dan kami menharap Allahlah yang menyelamatkan
Cukup Allah sebagai pembela
Cukup Allah sebagai penolong
Allah mencukupi kami
Tempat bersandar paling handal
Laa haula walaa quwwata illa billahi'i'Aliyi'l'Adhiim
tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah
Yang Maha Luhur Maha Agung
...................................................................
(Pahlawan dan Tikus: 93-95)
......................................................Tiada Tuhan selain Dia
KepadaNyalah aku berserah diri
Dialah Tuhan Penguasa 'Arasy yang agung
Cukup bagiku Allah Sebaik-baiknya pelndung
dan Sebaik-baik pembela
Tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Agung
...............................................................
(Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Larik-larik yang secara berurutan pada puisi-puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar
Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”di atas,
menunjukkan bahwa dengan segala kesadarannya manusia harus mengakui keberadaannya di
dunia ini tidak lepas dari peran kasih sayang seorang ibu (orang tua). Apapun posisi dan jabatan
kita, tanpa kasih sayang ibu kita tidak kan mampu meraihnya. Sebab suara hati Ibu (orang tua)
kita sangat dekat dengan suara Tuhan. Kerelaan dan murka ibu (orang tua) kita juga merupakan
kerelaan dan murka Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita berharap dan memohon
kepada Tuhan, agar Tuhan juga memberikan kasih sayang-Nya pada ibu (orang tua) kita.
Selanjutnya kita ditunjukkan pengorbanan seorang ibu untuk mengharapkan cinta-Nya,
meskipun segala musibah menerpanya. Dengan segala ketidakberdayaannya, hanya mampu
berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya untuk selalu
mendekat pada Tuhan agar mendapat curahan rahmat-Nya. Selain itu, dari larik-larik puisi di
atas, kita ditunjukkan sebuah kesadaran, bahwa semua yang ada dan bergerak dalam tubuh kita
tiada lain adalah berkat kehendak-Nya semata, sehingga cukup hanya Tuhan yang menjadi
sandaran harapan kita. Karena hanya dengan rahmat dan pertolongan Tuhan, kita akan lebih
mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’
Tuhan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai religius dalam antologi puisi Tadarus
dan Pahlawan dan Tikus, adalah gambaran kehidupan kita sehari-hari yang selalu berharap
curahan ’Cahaya’ Tuhan. Dengan ’Cahaya Tuhan’ ini, kita akan selalu berusaha untuk
meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya
dengan pancaran ’Cahaya’ Tuhan dalam hati atau jiwa, maka kita akan memiliki kemampuan
untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan
dalam segala situasi dan kondisi.
3. Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Puisi adalah keindahan dan kehikmatan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau
hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka
membentuk pandangan hidupnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena pada awal
pertumbuhannya, puisi sangat erat hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan renungan
para pujangga Jawa, umumnya juga disusun dalam bentuk tembang.
Unsur kehikmatan yang kebermanfaatan dalam mengembangkan filsafat hidup pembaca
dapat meliputi berbagai masalah yang sangat kompleks. Sejalan dengan hal itu, diungkapkan
oleh Aminuddin (1987:197) sebagai berikut.
Kompleksitas itu terjadi karena, sebagai suatu kreasi seni, puisi dapat mengangkat bahan penciptaanya dari kompleksitas masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada
dan mungkin ada. Oleh sebab itu, puisi pada dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, manusia, kematian, dan ketuhanan.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan puisi adalah refleksi gambaran
manusia dengan segala masalah dan problematikanya yang berhubungan dengan kehidupan,
kemanusiaan, kematian, dan ketuhanan. Pemahaman pada keempat masalah itu akan
memperkaya wawasan hidup seseorang dengan kata lain, keempat masalah tersebut juga
merupakan butir-butir yang memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang
terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan, maupun sikap tersebut, dalam hal ini akan
mampu terwujud dalam suatu pandangan artistik, filosofis, maupun agamis sehingga akan
mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembaca.
Nilai pendidikan pada dasarnya juga merupakan suatu nilai yang telah beranjak jauh dari
pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra (Aminuddin, 1987: 47-49). Sebab itulah,
penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan
intelektual, kepekaan rasa maupun sikap yang mapan dari pembacanya.
Selanjutnya dikatakan oleh Aminuddin (1987: 47-49) terkait dengan pemahaman nilai
pendidikan dalam karya sastra, sebagai berikut.
Dalam pelaksanaannya, pemahaman terhadap nilai pendidikan ini diawali dengan upaya pemahaman gagasan atau tema yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Gagasan atau tema itu pada dasarnya disarikan dari paparan sikap pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya.
Upaya penggalian nilai-nilai pendidikan pada larik-larik puisi dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri akan berhubungan dengan berbagai
macam kemungkinan pengembangan yang sangat luas. Agar tidak terlalu luas, peneliti
menganalisis seperti halnya saat menentukan tema atau gagasan dalam puisi. Dari hasil analisis,
maka nilai-nilai pendidikan yang ada dalam larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus adalah nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan: (1) manusia
dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4)
manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan.
Adapun deskripsi dan penjelasan tentang nilai-nilai pendidikan yang terangkum dalam
hubungan manusia dengan diri sendiri, orang lain, kehidupan, kematian, dan ketuhanan yang
tercermin pada larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dapat
diuraikan dalam beberapa bagian berikut.
1) Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat
mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan diri sendiri, di
antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Pesona”, ”Nasihat-Nasihat”,
”Nurani”, ”Puisi Islam”, ”Naihat Ramadlan buat A. Mustofa Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”.
Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang
mendeskripsikan hubungan manusia dengan dirinya sendiri tampak dalam larik-larik puisi
berikut.
.....................................................................................Tuhan, kami tak mampu menhentikannya atau memanfaatkannya
Musuh kami dan musuhMu lagi-lagi telah lebih dahulu
dengan sangat sempurna memanfaatkannya untuk misinya.
Memalingkan kami dariMu.
Tuhan, lihatlah menghadapi benda mati ciptaan sendiri pun
kami tak berdaya dan mengaku kepadaMu.
(Tadarus: 6)
Dari hari ke hari siang-malam nasihat-nasihat luhur itu
Menterorku menghadangku hingga di spanduk-spanduk jalan
Menguntitku hingga di stiker-stiker kendaraan menguberku
Dengan pengeras-pengeras suara yang memekik-mekik memekakkan
Mencegatku di pamflet-pamflet pagar-pagar rumah dari kantor
Mengusikku dari layar-layar bioskop dan seri-seri drama teve
Mengepungku di kolom-kolom Koran dan majalah Mengurungkanku di
Mesjid-mesjid surau-surau gereja-gereja dan lanpangan-lapangan upacara ….. hingga
tak sempat aku melaksanakannya
(Tadarus: 63)
Semula dengkurnya menggangu tidurku. Kini tak lagi.
(Tadarus: 66)
Islam agamaku, nomor satu di dunia
Islam benderaku, berkibar dimana-mana
Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya
Islam sorbanku
Islam sajadahku
Islam kitabku
……………………………………………………………Islam kausku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa
Tuhan, Islamkah aku?
(Tadarus: 29)
Mustofa,
Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan
Ramadlan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi
Atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang
Menggerakkan lidahmu begitu
…………………………………………………
(Pahlawan dan Tikus: 83-85)
........................................Ya rasulallah
Mulut dan hatiku bersaksi
Tiada tuhan selain Allah
Dan engkau ya rasul utusan Allah
Tapi kusembah juga diriku astaghfirullah
Dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah
Ya rasulallah
Setiap saat jasadku salat
Setiap kali tubuhku bersimpuh
Diriku jua yang kuingat
.......................................
(Pahlawan dan Tikus: 86-88)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas mengemban nilai pendidikan hubungan
manusia dengan diri sendiri, bahwa disadari atau tidak diri kita dengan benar-benar berada
dalam segala keterbatasan dan kekurangan. Baik dalam mengahadapi keinginan sendiri
maupun untuk kepentingan ibadah. Kita selalu lebih mementingkan diri sendiri daripada
kepentingan di luar kita. Misalnya hubungan dengan sesama, lebih-lebih hubungan dengan
Tuhan.
Contohnya, dalam urusan beragama, kita mengakui apapun yang ada dalam diri kita
sudah berlabel agama yang kita yakini. Tapi apa benar menurut Tuhan, bahwa kita sudah
benar-benar beragama atau sekedar simbol agama yang menempel pada fisik kita saja? Kita
beribadah kepada Tuhan. Tapi apa benar, ibadah kita benar-benar ingin mencari ridla-Nya?
Atau hanya sekedar rutinitas tak bermakna, sehingga dalam ibadah kita hanya ingat diri kita
saja dan menghitung-hitung ibadah yang telah kita lakukan.
Contoh lain, banyaknya nasihat tentang kebajikan dalam bentuk apapun yang kita
dengar, bukan jaminan bagi kita untuk menjadi manusia yang bijak. Justru sebaliknya, kita tak
pernah sekalipun melaksanakan nasihat tentang kebajikan itu atau bahkah sama sekali kita tak
akan bergeming dengan berbagai bentuk nasihat tersebut. Terlalu sering bagi kita lebih egois
dengan urusan diri sendiri. Sedangkan untuk urusan dengan sesama dan Tuhan adalah urusan
yang kesekian. Inilah nilai pendidikan paling berharga bagi kita, untuk selalu menempatkan
keseimbangan kewajiban kita sebagai umat beragama sekaligus makhluk sosial.
2) Hubungan Manusia dengan Orang Lain
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat
mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan orang lain, di
antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Mantan Rakyat”, ”Kubaca Berita”,
”Bosnia”, ”Reinkarnasi”, ”Makin Canggih Saja”, dan ”Saling”. Secara berurutan, puisi-puisi
yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia
dengan orang lain tampak dalam larik-larik puisi berikut.
Mantan rakyat bertemu rakyat
Berbicara atas nama rakyat demi rakyat
Dan rakyat pun saling bertanya
Apakah dia pernah jadi rakyat?
(Tadarus: 21)
……………………………………………………………….
Kubaca berita tentang kepala Negara yang diangkat seumur hidup oleh para wakil rakyatnya tiba-tiba anak-anaknya sendiri mencopot dan mencacimakinya.
Kubaca berita tentang seorang maharaja yang sedang asyik dan belum selesai memuasi
keperkasaan kekuasaannya tiba-tiba terguling oleh tangan besinya sendiri yang selama ini digunakan menggencet rakyatnya.
Kubaca berita tentang seorang presiden yang digadang-gadang dan merasa mampu
memimpin negaranya hingga akhir hayatnya tiba-tiba terbirit-birit diburu rakyatnya hingga tak sempat mati di tanah airnya sendiri.
Kubaca berita tentang ibu Negara yang dianggap orang kedua terkuat setelah suaminya
tiba-tiba harus angkat kaki dari negerinya tanpa sempat membawa ratusan pasang sepatunya yang dipersiapkan untuk menghadiri ratusan jamuan dan resepsi kenegaraan.
……………………………………………………………………….
(Tadarus: 24-26)
Bosnia adalah wajah kita yang kusut
Bosnia adalah keangkuhan dan ketidakberdayaan kita
Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak
Bosnia adalah kepanikan manusia menghadapi diri sendiri
(Airmata dan darah tertumpah atau tidak
Raung atau erang yang terdengar
Atau justru hanya senyum yang sunyi
Tragedi manusia adalah saat
Kemanusiaannya lepas entah kemana?
Atau barangkali Bosnia
Adalah dunia kita yang mulai
sekarat.
(Tadarus: 28)
abrahah-abrahah tak lagi datang membawa gajah
dari jauh mereka mengirim burung-burung bagai ababil
mengobrak-abrik batok kepala dan perut bumi
menyikat ruh-ruh dan nurani
abujahal-abujahal cebol terseret-seret pedang-pedang mereka
sendiri ketika meneriakkan seruan jihad fisabilillah
di mimbar-mimbar
di seminar-seminar
di jalanan dan di pasar-pasar
firaun-firaun kecil
dan qarun-qarun kerdil
mengacung-acungkan duplikat-duplikat tongkat
musa yang keramat
mencari-cari mangsa
menakut-nakuti manusia
………………………………………………….
(Pahlawan dan Tikus: 24)
Makin canggih saja manusia
Mencipta virus-virus berbisa
senjata-senjata serba-bisa
Agar sambil menangis atau tertawa
Bisa memusnahkan dirinya
(Pahlawan dan Tikus: 49)
Di gedung DPR
Fraksi-fraksi saling menghabisi
Di kantor partai
Golongan dan unsur saling gusur
Di kampus
Dosen dan Mahasiswa saling mencela
Di seminar
Pakar-pakar bertengkar
Di sanggar
Seniman-seniman berhantaman
Di koran
Orang-orang penting saling banting
Di mesjid
Orang-orang Islam bertikam
Di gereja
Orang-orang Nasrani berkelahi
Di pura
Orang-orang Hindu beradu
Di wihara
Orang-orang Budha berlaga
Di lapangan
Para olahragawan berterkaman
Di jalan
Sopir-sopir saling puntir
Di pasar
Bakul-bakul saling pukul
Di warung
Kawan-kawan saling lawan
Di rumah
Anak dan Bapak saling sepak
Di kamar
Kau dan aku terpaku
(Pahlawan dan Tikus: 50)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita,
bahwa nilai-nilai hubungan kemanusiaan kita sudah mulai luntur bahkan lambat laun akan
terkikis dalam kehidupan kita yang serba hedonis dan meterialis. Banyak di antara kita yang
belum menyadari hakikat hubungan kemanusiaan. Apalagi kalau sudah diembel-embeli
jabatan atau pangkat yang melekat pada diri kita, seakan-akan jabatan atau pangkat itu
merupakan sekat moral kemanusiaan kita dengan sesama. Peperangan dan saling membunuh
demi sebuah kebanggaan ras atau suku serta demi gengsi menjadi tradisi daripada harus
membina kerukunan dan kasih sayang dengan sesama.
Kita lebih banyak menyibukkan diri untuk mempropagandakan label-label atau simbol-
simbol prestise yang kita sandang daripada harus bersusah payah menyuarakan kebaikan dan
kebenaran hidup antarsesama. Kita lakukan apapun demi keuntungan kita sendiri, meskipun
yang lain merasakan kesengsaraan atas perilaku kita.
Kita lebih senang menebar virus kebencian dan perpecahan dengan sesama di segala
bidang kehidupan daripada membina kerukunan dan kedamaian hidup di antara sesama.
Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah
seharusnya kita bisa menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bidang kehidupan
tanpa harus memandang terhadap perbedaan ras, suku, golongan, maupun agama.
3) Hubungan Manusia dengan Kehidupan
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat
mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kehidupan,
di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, di
manakah Kau?”, ”Selamat Idul Fitri”, ”Kepada Penyair”, ”Surabaya”, dan ”Di Negeri
Amplop”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang
mendeskripsikan hubungan manusia dengan kehidupan tampak dalam larik-larik puisi
berikut.
anak-anakmu kau serahkan babumu
istrimu kau serahkan sopirmu
dirimu kau serahkan sekretarismu
tuhanmu kau serahkan siapa?
(Tadarus: 23)
Di depan yang maju terus sendiri maju bagai lokomotip yang
dingin bagai bulldozer yang garang dalam keangkuhan yang
kaku menginjak-injak mendesak-desak mendorong-dorong yang
lain ke samping menumpuk-numpuk barisan panjang
yang terpelanting panik di belakang
Di tengah yang menengah terpisah resah berputar-putar sekitar
dirinya dalam kecongkaan-degilnya yang lalai ingin maju tak
mampu lalu berlagak maju tak maju
oleh mental dan ilmu yang tak maju-maju
kere yang melata di depan yang maju
pamer macam-macam di depan yang terbelakang
Di belakang yang terbelakang kian ke belakang terus ke belakang
terhimpit sepi yang kian rapi tak sempat senyum sesekali
masih tetap hidup semata-mata karena liatnya nyawa
Khalifah Allah, dimanakah kau?
(Tadarus: 41)
Selamat idul fitri, bumi
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak semena-mena
Kami memerkosamu
Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu
Selamt idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu
Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak segan-segan
Kami mengeruhkanmu
Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak putus-putus
Kami membrangusmu
Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu
Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu
(Tadarus: 52)
Brentilah menganyam-anyam maya
mengindah-indahkan cinta
membesar-besarkan rindu
Brentilah menyia-nyiakan daya
memburu orgasme dengan tangan kelu
Brentilah menjelajah lembah-lembah
dengan angan-angan tanpa arah
Tengoklah kanan-kirimu
Lihatlah kelemahan dimana-mana
membuat lelap dan kalap siapa saja
Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela
mebabat segalanya
Lihatlah segalanya semena-mena
mengroyok dan membiarkan nurani tak berdaya
…………………………………………………….
(Pahlawan dan Tikus: 50)
……………………………..
Surabaya,
O, kota keberanian
O, kota kebanggaan
Mana sorak-sorai takbirmu
Yang membakar nyali kezaliman?
Mana pekik merdekamu
Yang menggetarkan ketidakadilan?
Mana arek-arekmu yang siap
Menjadi tumbal kemerdekaan
Dan harga diri
Menjaga ibu pertiwi
Dan anak-anak negeri.
Ataukah kini semuanya ikut terbuai
Lagu-lagu satu nada
Demi menjaga
Keselamatan dan kepuasan
Diri sendiri
…………………………………………..
(Pahlawan dan Tikus: 54)
……………………………………….
Amplop-amplop di negeri amplop
Mengatur dengan teratur
Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
Memutuskan putusan yang tak putus
Amplop-amlop menguasai panguasa
Dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
Mencairkan dan membekukan
Mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa nafsu
Orang sakti bisa mati
Di negeri amplop
Amplop-amplop mengamplopi
apa saja dan siapa saja
(Pahlawan dan Tikus: 57)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita,
bahwa dalam hidup dan kehidupan kita masih banyak yang belum bisa kita lakukan sesuai
dengan aturan dan norma kebaikan yang berlaku. Kita masih sibuk dengan urusan sendiri,
yang belum jelas kebaikannya. Dimana pun posisi dan jabatan kita, belum dapat
menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang kita miliki. Kita masih terlalu
banyak menjadikan segala sesuatu di luar kita (baik manusia, hewan, maupun tumbuhan)
adalah pemuas keinginan kita, sehingga apapun langkah kita (benar atau salah) adalah benar
menurut kita. Asalkan semua keinginan kita terpenuhi.
Kita masih sering melihat kezaliman dan kemungkaran di sekitar kita yang memperdaya
nurani, karena memang kita tidak mampu untuk meninggalkan sifat buruk itu dalam diri kita.
Kita masih banyak mencari kepuasan diri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga
dengan jalan apapun (benar atau salah) asalkan keinginan kita terpenuhi, tetap kita pandang
sebagai hal yang paling benar. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik
puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita menghentikan segala bentuk praktik kezaliman dan
kemungkaran dalam setiap sudut kehidupan. Kita kembalikan semua praktik kehidupan pada
nurani kita. Hanya dengan menempatkan nurani, kita bisa hidup perdampingan dengan
siapapun, baik dengan sesama maupun terhadap lingkungan, sehingga nantinya akan tercipta
harmoni yang indah dalam kehidupan kita.
4) Hubungan Manusia dengan Kematian
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat
mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kematian, di
antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Kubaca Berita”, ”Sujud”, ”Surabaya”,
dan ”Dua Surat dari Surabaya”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-
nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kematian tampak dalam
larik-larik puisi berikut.
Kubaca berita tentang seorang putera yang diidam-idamkan orangtuanya menjadi Sarjana dan kebanggaan bangsa tiba-tiba mati di jalan raya menjelang diwisuda.
Kubaca berita tentang seorang pejabat yang sedang main tennis dengan kolega-koleganya
tiba-tiba terkapar di lapangan sebelum menyelesaikan set yang pertama dan belum hilang kumandang derail-derai tawanya.
Kubaca berita tentang seorang tokoh yang menjadi harapan keluarha dan dihormati
masyarakatnya ketika asyik menikmati liburannya di sebuah hotel berbintang mendadak mati di atas tubuh gundiknya dalam keadaan telanjang
Kubaca berita tentang seorang pemikir yang diandalkan para pengikutnya kerna
kecemerlangan pikiran dan kekuatan pribadinya tiba-tiba ambruk tak berdaya ketika memberikan dan belum selesai memaparkan teori-teori pembaruannya.
Kubaca berita tentang seorang superstar yang dielu-elukan para penggemarnya tiba-tiba
terkulai digasak virus yang selama ini ia ikut memproduksi dan menyebarkannya
……………………………………………………………………………………..
(Tadarus: 24-26)
............................................apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapa
dai mana ibumu dilahirkan
tanah adalah ibu
yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan
yang memelukmu dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian?
singkirkan saja sajadah mahalmu
ratakan keningmu
latakan heningmu
tanahkan wajahmu
pasrahkan jiwamu
biarlah rahmat agung
Allah membelaimu
dan terbanglah, kekasih
(Pahlawan dan Tikus: 38)
Surabaya,
O, kota keberanian
O, kota kebanggaan
Mana sorak-sorai takbirmu
Yang membakar nyali kezaliman?
Mana pekik merdekamu
Yang menggetarkan ketidakadilan?
Mana arek-arekmu yang siap
Menjadi tumbal kemerdekaan
Dan harga diri
Menjaga ibu pertiwi
Dan anak-anak negeri.
Ataukah kini semuanya ikut terbuai
Lagu-lagu satu nada
Demi menjaga
Keselamatan dan kepuasan
Diri sendiri
Allahu Akbar!
Dulu arek-arek Surabaya
Tak ingin menyetrika Amerika
Melinggis Inggris
Menggada Belanda
Murka kepada Gurka
Mereka hanya tak suka
Kezaliman yang angkuh merajalela
Mengotori persada
Mereka harus melawan
Meski nyawa yang menjadi taruhan
Karena mereka memang pahlawan
Surabaya,
Dimanakah kau sembunyikan
Pahlawanku?
(Pahlawan dan Tikus: 54)
………………………………………………………Maka dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab,
Kami sambut mereka dengan takbir dan pekik merdeka.
Kami lawan mereka mati-matian
Bukan karena kulit mereka lain dari kulit kita
Bukan karena hidung mereka lain dari hidung kita
Bukan karena lidah mereka lain dengan lidah kita
Bukan karena mereka Inggris, Belanda, atau Gurka
Bukan karena mereka asing bagi kita
Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka
Semata-mata karena kelaliman mereka
Jangan lihat sejengkal tanah yang kami pertahankan
Selembar nyawa mudah yang kami pertaruhkan
Tapi lihatlah kehidupan mulia yang kami perjuangkan.
……………………………………………………………….
Jangan lihat kebinatangan mereka yang menganiaya diri saya
Tapi lihatlah nasib keadilan yang parah
Dibawah kekuasaan dan keserakahan yang pongah
Seandainya mereka tidak merenggut nyawa saya,
Orang-orang seperti saya pun akan mati tersiksa juga
Bersama keadilan yang terkalahkan.
Hidup tanpa keadilan adalah kematian.
Sia-siakah kematian saya?
Kalian yang masih hidup, jawablah.
Wassalam. Marsinah
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita,
bahwa kematian akan menjemput kita tanpa kita sadari kapan datangnya. Kematian adalah
misteri Tuhan, disamping kehidupan dan perjodohan. Kematian akan dihadapkan pada kita
oleh Tuhan dengan berbagai ragam peristiwa dan kejadian. Kebanyakan di antara kita belum
siap untuk menerima atau menghadapinya. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang sudah siap
menghadapinya. Semua tergantung kita, bagaimana kita menyikapinya.
Jika kematian merupakan sesuatu yang menakutkan, tentunya kita berharap agar
kematian jangan bersandar pada diri kita terlebih dahulu. Sebaliknya, jika kita menyadari
bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Apapun yang terjadi pada diri kita,
kita hadapi dengan sikap berani dan lapang dada. Semisal sikap para pahlawan perjuangan
yang membela kebenaran dan hati nurani. Mereka menganggap kematian adalah sesuatu yang
indah, sebab mereka yakin kematian mereka bukanlah hal yang sia-sia. Nilai-nilai pendidikan
inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa kita semestinya tidak takut
menghadapi kematian. Sebab kematian pasti akan datang pada diri kita di mana dan kapan
pun kita berada.
Yang terpenting bagi kita, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi
kematian itu? Oleh karena itu, dalam setiap langkah kehidupan, kita harus bersandarkan pada
nilai-nilai kebenaran Tuhan dan hati nurani. Sehingga kapanpun kematian menghampiri, kita
berharap tidak ada alasan penyesalan untuk menghadapinya. Kita sudah benar-benar siap
menghadapinya.
5) Hubungan Manusia dengan Ketuhanan
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat
mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan, di
antaranya tampak dalam beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus yang berjudul ”Titik-
Titik Hujan”, ”Buah Mata”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Berlapis-lapis Cahaya
Menghadang”, ”Doa”, dan ”Ibu”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai
pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan tampak dalam larik-
larik puisi berikut.
......................................Hatiku yang kecil kecut
Kupeluk diriKu kencang-kencang
Dalam gigil yang semakin dahsyat
Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33)
...................................................................................
Kau tak meniupkan apa-apa tak menitipkan apa-apa
Karena memang kau seperti anakmu juga
Sejak mula tak memiliki apa-apa
Bagaimana kau mengaku segala apa?
Kau tahu
Pemiliknya yang sejati
Menitip-amanatkan padamu
Dan tak pernah berhenti
mengawasimu
(Tadarus: 76)
………………………………………………Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan
di atas keindahan di bawah keindahan
di kanan-kiri keindahan
di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku! Tak kutanyakan kenapa
Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku? - - ampunilah aku - - tanyalah jua yang
Kupunya kini:
Allahku, mukallafkah aku dalam keindahanMu?
(Tadarus: 39-40)
……………………………..O, Maha Cahya
Yang dilindungi cahya-cahya,
Cahyakanlah aku
Agar aku bisa meyatu
Dengan cahya-cahyaMu
Atau kalau tidak jadikanlah aku
Sekilas pijar agar mampu
Merenangi cahya-cahyaMu
menujuMu
(Tadarus: 68)
…………………………………………………..Wahai Tuhan Yang Maha cahaya
Sinarilah hati kami
Dengan cahyaMu sehingga kami dapat membedakan
Yang nyata dan yang maya
Ya Allah ya Hadii
Wahai Tuhan Yang Maha menunjukkan
Tunjukkanlah kami
Jalan yang lurus yang harus kami lalui
Seperti Engkau perintahkan
Ya Allah ya Badii’u
Wahai Tuhan Yang Maha pencipta
Ciptakanlah dalam hati kami
Kemampuan memandang keindahanMu
Yang mempesona semesta
…………………………………………………………………
(Tadarus: 79-93)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita,
bahwa manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan memohon
kepada Tuhan yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Selanjutnya dengan segala upaya
dan usahanya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu mendapat curahan rahmat-Nya.
Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk
menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam
kehidupan sehari-harinya akan selalu diliputi dengan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan
meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Karena
pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi dirinya dalam segala situasi dan kondisi.
Sedangkan dalam antalogi puisi Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai-nilai
pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan ada dalam beberapa
puisi yang berjudul ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-
Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai
pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan tampak dalam larik-
larik puisi berikut.
........................................................(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasih sayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin).
(Pahlawan dan Tikus: 37)
.....................................................
Kurelakan permataku semata wayang
bismillahi allahu akbar
adakah yang lebih tersayang melebihi putera tersayang
adakah yang lebi berharga melebihi nyawa
kecuali kasihnya
yang menanti di batas ketulusan?
Hari ini pun
agaknya hingga kapan pun
kurban tetap tak seberapa
takbir tak seberapa
tahmid tak seberapa
tapi terimalah, tuhan!
Bismillahi allahu akbar walillahil hamdu!
(Pahlawan dan Tikus: 72)
...................................tuhan,
kalau aku boleh meminta ganti
gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku
dengan kepasrahan yang utuh
dan semangat yang penuh
untuk terus melangkah
pada jalan lurusmu
dan sadarkanlah manusia
agar tak terus menumpahkan darah
mereka sendiri sia-sia
tuhan,
inilah nazarku
terimalah.”
(Pahlawan dan Tikus: 34)
.........................................................
Dan kami menharap Allahlah yang menyelamatkan
Cukup Allah sebagai pembela
Cukup Allah sebagai penolong
Allah mencukupi kami
Tempat bersandar paling handal
Laa haula walaa quwwata illa billahi'i'Aliyi'l'Adhiim
tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah
Yang Maha Luhur Maha Agung
...................................................................
(Pahlawan dan Tikus: 93-95)
......................................................
Tiada Tuhan selain Dia
KepadaNyalah aku berserah diri
Dialah Tuhan Penguasa 'Arasy yang agung
Cukup bagiku Allah Sebaik-baiknya pelndung
dan Sebaik-baik pembela
Tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Agung
...............................................................
(Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita.
Manusia dengan segala kesadarannya harus mengakui bahwa keberadaannya di dunia tidak
lepas dari kasih sayang seorang ibu (orang tua). Apapun posisi dan jabatan kita, tanpa kasih
sayang seorang ibu, kita tidak akan mampu meraih semua yang kita sandang sekarang ini.
Sebab suara hati Ibu (orang tua) sangat dekat dengan suara Tuhan. Kerelaan dan murka ibu
(orang tua) kita adalah kerelaan dan murka Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita
berharap dan memohon kepada Tuhan untuk memberi kasih sayang-Nya pada ibu (orang tua)
kita.
Selanjutnya, dari larik-larik puisi di atas, kita ditunjukkan pengorbanan seorang ibu
untuk mengharapkan cinta-Nya, meskipun segala musibah menerpanya. Dengan segala
ketidakberdayaannya, ia hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan pemilik segala
sifat kesempurnaan. Untuk selalu dekat dengan Tuhan guna mendapat curahan rahmat-Nya.
Berikutnya, pada larik-larik puisi di atas, kita ditunjukkan sebuah kesadaran, bahwa
semua yang ada dan bergerak dalam tubuh tiada lain adalah berkat kehendak-Nya semata,
sehingga cukup hanya Tuhan yang menjadi sandaran harapan kita. Karena hanya dengan
rahmat dan pertolongan Tuhan, kita akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan
perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan.
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri , bahwa dalam kehidupan kita menyadari terhadap kelemahan dan kekurangan
diri. Oleh karena itu, kita selalu ingat siapa diri kita? Bagaimana kita hidup dalam
masyarakat? Apa arti kehidupan kita? Ke mana setelah kehidupan ini berakhir? Bagaimana
kita selalu berharap kebaikan dari Tuhan?
Kalau itu semua sudah tertanam sebagai sebuah nilai pendidikan dalam diri kita, maka
kita selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan membentuk kesadaran untuk
meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya
dengan pancaran ’Cahaya’ Tuhan dalam diri, maka kita akan memiliki kemampuan untuk
menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam
segala situasi dan kondisi. Inilah nilai pendidikan berharga yang diemban larik-larik puisi
untuk menyuarakan kesadaran berketuhanan.
Dari hasil analisis tentang nilai-nilai pendidikan yang ada dalam dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan
tercermin di dalam dua antologi puisi tersebut merupakan nilai-nilai pendidikan yang
mendeskripsikan hubungan: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang
lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan
ketuhanan.
B. Pembahasan
1. Kritik Sosial dalam Hubungannya dengan Sikap Penyair dan Gagasan dalam Antologi
Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil penelitian tentang deskripsi dan penjelasan kritik sosial dalam
hubungannya dengan sikap penyair dan gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka berpikir untuk
mendapatkan hasil analisis berupa deskripsi hubungan tersebut, antara lain deskrpsi tentang (a)
A. Mustofa Bisri dan beberapa karyanya, (b) antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (c)
tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (d) nada atau sikap penyair
(A. Mustofa Bisri), (e) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
karya A. Mustofa Bisri, dan (f) simpulan berupa sintesis dan interpretasi. Secara terinci
diuraikan sebagai berikut.
a. Tentang A. Mustofa Bisri dan Karya-karyanya
Berdasrkan hasil analisis, A. Mustofa Bisri yang lebih dikenal dengan nama panggilan
Gus Mus adalah representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga
sebagai budayawan, sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat
karya-karyanya, tak terkecuali lewat puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi
religius dan kental dengan kritik-kritik sosial.
Puisi-puisi Mustofa Bisri tidak hanya memberikan kritik terhadap pemerintah. Puisi-
puisinya adalah suara kritis yang ditujukan kepada berbagai lapisan sosial, dari lapisan paling
atas sampai lapisan paling bawah, dari lapisan paling dekat sampai lapisan paling jauh.
Demikianlah puisi-puisinya mengkritik pemimpin dan rakyat, juga mengkritik orang lain dan
diri sendiri. Sejalan dengan hal itu, Acep Zamzam Noer (2009: 124) menyatakan sebagai
berikut.
Puisi-puisi yang ditulis Gus Mus bukanlah puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan magi kata seperti halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresi-impresi ngungun dan samar. Namun, puisi yang sadar akan fungsinya sebagai penyampai pesan, puisi yang memanfaatkan kekuatan retorika meski tidak jatuh sebagai pidato. Selalu tersedia sebuah ruang di mana pembaca bisa termenung, terhenyak, terhanyut, atau sekedar tersenyum. Bahasa yang digunakannya sejenis bahasa grafis yang plastis dan efektif, bahasa dengan karakter lisan yang kuat. Dalam perpuisian Indonesia mungkin bisa dibandingkan dengan puisi-puisi Rendra atau Emha, meski pada Gus Mus lebih menonjol unsur humornya. Tentu saja humor khas pesantren.
A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama dan seorang penyair. Maka dia memandang
dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan
dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Senada dengan
hal tersebut, Goenawan Muhamad (2009: 182) dalam esainya yang berjudul Gus Mus: Teks
dan Manusia, sebagai berikut.
Saya kira Gus Mus penyair yang didapuk oleh sejarah jadi seorang kiai. Atau juga: kiai yang menemukan nasib jadi penyair. Tak jelas, mana yang lebih dulu. Juga itu yang tak penting. Yang penting, bagi saya, dalam ketidakjelasan itu (juga ketidakjelasan kategori) Gus Mus menunjukkan bagaimana ia bisa peka pada kemungkinan dan ketidakmungkinan kata-kata: tiap teks pada akhirnya menyadari bahwa ia hanya teks, bukan kebenaran itu sendiri. Tiap teks adalah sesuatu yang terbelah; salah satu sisinya adalah ketidakmengertian.
Selanjutnya, dikatakan oleh Goenawam Muhamad (2009: 183) dalam kajian yang sama
terkait dengan teks-teks (esai dan sastra) karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus), sebagai berikut.
Dewasa ini, ketika agama sedang hendak diarahkan jadi kepatuhan terhadap teks, Gus Mus mengingatkan kita akan kearifan yang saya sebut tadi. Ia menyesali sikap yang hanya membicarakan “soal ibadah mahdlah, ibadah murni, ibadah ritual.” Padahal, kata Gus Mus, “Islam adalah ibadah sosial.” Di sebuah masa ketika syari’at Islam hanya disebut-sebut berkaitan perilaku pribadi (cara berpakaian, cara bersalaman, dan hal-hal khilafiyah lainnya), Gus Mus bertanya: “Kenapa tidak bicara tentang keadilan, hak asasi manusia, kemanusiaan, kejujuran dalam pergaulan hidup? Bagaimana menyantuni orang dhaif dan seterusnya?”
Melalui kearifan dalam menulis tentang kesadaran hidup bermasyarakat , berbangsa,
dan bernegara, maka tidak mengherankan jika pada tanggal 30 Mei 2009, A. Mustofa Bisri
mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Sebagaimana
kata sambutan yang disampaikan oleh Syihabuddin Qalyubi (2009:ix) dalam buku Gus Mus:
Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut.
Gus Mus, panggilan akrab KH. A. Mustofa Bisri, memang layak dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa karena jasa-jasa beliau yang masih terus berjalan dalam mengemban dan mengembangkan kebudayaan Islam. Melalui pidato, pena, dan lukisan, Gus Mus tak henti-hentinya menggugah, mendorong, mencerahkan, dan menyejukkan semua orang. Muslim, non-Muslim, kaya, non-kaya, muda, non-muda, gegap gempita menyambut karya-karya gemilang Gus Mus yang sering menggelitik, menghibur, sekaligus mencubit untuk mengingatkan sesame akan tugas luhur menata bangsa dan Negara. Tanpa pamrih jabatan dan sapaan luhur, Gus Mus terus mengingatkan agar kita tetap berjalan dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Puisi-puisi beliau yang nylekit tapi humoris mengingatkan kita agar berdakwah harus dengan jalan hasanah.
Adapun karya-karya A. Mustofa Bisri antara lain: Dasar-dasar Islam (terjemahan,
penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A.
Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-nyamuk Perkasa dan Awas,
Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah
(terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahaa Jasa, Penerbit Al
Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994),
Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Mutiara-mutiara Benjol
(Lembaga Studi Filsafat Islam Yogyakarta, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah
Humordan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan
puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996),
Gandrung: Sajak-Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya,
Yogyakarta, 2002), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya,
1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996),
Saleh ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam
Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa,
Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997), Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-
Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997), Lukisan Kaligrafi,
Kumpulan Cerpen, (Kompas, 2003).
Untuk antologi puisi A. Mustofa Bisri yang sudah menelorkan delapan karya, antara
lain Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antalogi
Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humordan
PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Gandrung: Sajak-
Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002).
Dalam penelitian ini, hanya dipilih dua dari sembilan antologi puisi karya A. Mustofa
Bisri, yakni antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dengan pertimbangan adanya
kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas
analisis atau kajian oleh peneliti.
b. Gambaran Umum Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil analisis, antologi puisi Tadarus banyak dijumpai sifat puisi deskriptif
dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut dalam antologi puisi Tadarus, tidak lain
merupakan bentuk pengungkapan pikiran dan perasaan penyair berupa kritik sosial terhadap
kehidupan masyarakat dan diri sendiri (penyair) dengan berbagai permasalahannya, utamanya
menyuarakan dan merefleksikan tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan,
(2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran
dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Antologi puisi Tadarus di dalamnya ada lima puluh puisi yang terbagi dalam dua
bagian. Bagian pertama terdiri dari delapan belas puisi dan bagian kedua terdiri dari 32 puisi,
yang masing-masing akan ditelaah untuk mendapatkan deskripsi hubungan antara sikap
penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial masyarakat dalam puisi, nilai-nilai
religius, dan nilai-nilai pendidikan.
Tidak berbeda jauh dengan antologi puisi Tadarus, untuk antologi puisi Pahlawan dan
Tikus banyak dijumpai pula sifat puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul
tersebut dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, tidak lain juga untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair berupa kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat dan diri
sendiri (penyair) dengan berbagai permasalahannya, utamanya menyuarakan dan
merefleksikan tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap
ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan,
(4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Antologi puisi Pahlawan dan Tikus di dalamnya ada 56 puisi yang terbagi dalam enam
bagian. Pertama, ”puisi-puisi gelap” terdiri dari tujuh puisi. Kedua, ”puisi-puisi remang-
remang” terdiri dari lima belas puisi. Ketiga, ”puisi-puisi agak terang” yang terdiri dari enam
puisi. Keempat, ”puisi-puisi terang” yang terdiri dari dua puluh puisi. Kelima, ”puisi-puisi
terang-terangan” yang terdiri dari lima puisi. Keenam, ”puisi-puisi penerang” yang terdiri dari
tiga puisi.
c. Tema-tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Brdasarkan hasil analisis antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri, sebagaimana uraian di atas, mengungkapkan beberapa gagasan atau tema
penting yang sejalan dengan jenis puisi yang ditampilkan. Secara umum gagasan atau tema
yang ditampilkan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, menyuarakan dan
merefleksikan kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, ketidakadilan dan
ketidakbenaran hidup, ketidakjujuran dalam kehidupan, dan keangkuhan serta membanggakan
diri. Oleh karena itu, telaah terhadap dua antologi puisi tersebut dijabarkan dalam beberapa
gagasan atau tema berikut: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik
terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam
kehidupan, dan (4) kritik terhadap keangkuhan dan membanggakan diri.
Gagasan atau tema tersebut terkait hubungannya dengan nada puisi sebagai sikap yang
ingin disampaikan penyair sebagai kritik terhadap tatanan kehidupan masyarakat termasuk
kritik terhadap diri penyair sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, diungkapkan oleh Mohamad
Sobary (1997:viii), sebagai berikut.
Apa yang ditulis A. Mustofa Bisri, baik esai, cerpen, bahkan puisinya adalah sebuah penilaian, sikap skeptis, perasaan gundah, bahkan kegemasan dan rasa muak melihat kecenderungan-kecenderungan kehidupan sosial- politik dan kebudayaan yang berkembang di sekitar kita. Dalam beberapa bentuk tulisannya tersebut, kita merasa diwakili. A. Mustofa Bisri menjadi wakil nurani kita yang bungkam, takut, dan cemas, atau bahkan yang sekedar tak tahu bagaimana seharusnya bersikap.
Adapun telaah masing-masing tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah sebagai berikut.
1) Kritik terhadap Dekadensi Moral Kemanusiaan
Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan kritik sosial terhadap dekadensi
moral kemanusiaan, diantaranya adalah puisi yang berjudul ”Membangun Rumah”,
”Dzikir 2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan ”Kubaca Berita”.
Selanjutnya, tidak jauh berbeda dengan keberadaan antologi puisi Tadarus, antologi
puisi Pahlawan dan Tikus, juga mengangkat tema atau gagasan kritik sosial terhadap
dekadensi moral kemanusiaan dalam berbagai wujud refleksi kehidupan. Adapun tema atau
gagasan tersebut, dapat diketahui dalam puisi-puisi yang berjudul “Reinkarnasi”, “Input
dan Output”, “Ketika Tuhan”, “Putra-Putri Ibu Pertiwi”, “Maju Tak Gentar”, “Soal”, “Soal
Kemiskinan”, “Permainan Golf”, “Waktu Tiba-Tiba Berhenti Berdenyut”, “Makin Canggih
Saja”, dan “Saling”.
Tema kritik sosial terhadap dekadensi moral kemanusiaan yang diungkap antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan
bahwa semakin menipisnya rasa kemanusiaan di antara sesama, manusia saling benci,
saling memaki, dan saling dendam. Bahkan bisa jadi saling ’membunuh’ dengan tanpa
perasaan, baik dalam membunuh karakter, menghilangkan dan merampas hak orang-orang
kecil, maupun menghabisi nyawa dengan tanpa perasaan bersalah dan dosa.
2) Kritik terhadap Ketidakadilan dan Ketidakbenaran Hidup
.Dalam antologi puisi Tadarus, judul puisi yang mengungkap kritik terhadap
ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup antara lain ” Anonim”, ”Ratsaa”, ”Khalifah
Allah, Dimanakah Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, yang mengungkap tema
atau gagasan tentang kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup antara lain
terdapat pada puisi berjudul ”Merdeka”, ”Tikus”, ”Tikus-Tikus di Atas Meja”,
”Perlawanan”, ”Kepada Penyair”, ”Surabaya”, ”Dua Surat dari Surabaya”, ”Di Taman
Pahlawan”, ”Orang Kecil Orang Besar”, ”Rekayasa I”, ”Rekayasa II”, ”PT Rekayasa
Semesta”, dan ”Negeriku”.
Tema keadilan dan kebenaran hidup yang diungkap antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan bahwa kita
dihadapkan berbagai pertanyaan tentang kesewenang-wenangan dan keserakahan serta
berbagai macam ketidakaadilan dan ketidakbenaran dalam berbagai sisi kehidupan
(hukum, ekonomi, politik, dan sosial) di negeri ini. Keberadaan dan posisi rakyat kecil
(para petani, nelayan, dan buruh) yang bersusah payah dalam segala usaha, tetapi yang
meraih kenikmatan hanya orang-orang kaya dan orang-orang besar yang memiliki
jabatan dan kekuasaan. Bagaimanapun rakyat kecil selalu berada di pihak yang selalu
kalah dan dikalahkan.
3) Kritik terhadap Ketidakjujuran dalam Kehidupan
Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tema ketidakjujuran dalam
kehidupan antara lain terdapat pada puisi berjudul ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”,
”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawn dan Tikus, judul puisi yang
mengungkap tentang kejujuran dalam pergaulan hidup adalah beberapa puisi yang
berjudul ”Pahlawan”, ”Seperti Sudah Kuduga”, ”Sujud”, dan ”Di Negeri Amplop”.
Tema kejujuran dalam pergaulan hidup yang diungkap antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan tentang
kejujuran dalam kehidupan yang masih jauh dari impian nurani. Yang berlaku sekarang
ini adalah bahwa siapa pemilik kekuasaan dan jabatan besar atau tinggi, dialah yang
dapat memutuskan apapun yang dia kehendaki.
Akan tetapi, sebaliknya jika dia tidak memiliki jabatan atau kedudukan atau jatuh
miskin, maka sudah sepantasnya dia hanya bisa dibuat mainan mereka yang memiliki
jabatan dan kedudukan. Mereka orang-orang kecil hanya mampu membuat hal-hal yang
sepele dan remeh. Meskipun yang sepele dan remeh tersebut belum tentu tidak berarti
dan berguna dalam mengungkap kejujuran dalam hidup. Sebaliknya, yang diputuskan
orang-orang besar yang memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah sebuah omong
kosong dan tipuan-tipuan belaka terhadap kehidupan.
4) Koreksi dan Introspeksi Diri
Beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang hal
koreksi dan introspeksi diri ada dalam puisi yang berjudul ”Puisi Berkata Padaku”,
”Lalat-lalat”, ”Pesona”, ”Tidur”, ”Puisi Islam”, ”Nasihat-nasihat”, ”Nurani”, dan
”Kulihat Wali-wali Allah”.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema
koreksi dan introspeksi diri adalah beberapa puisi yang berjudul ”Huruf-huruf Hidup”,
”Les”, ”Andaikata”, ”Nasihat-nasihat Ramadan buat Mustofa Bisri”, dan ”Ya
Rasulullah”.
Tema koreksi dan introspeksi diri yang diungkap antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan tentang
kelemahan kita dalam melihat diri sendiri. Pada setiap gerak dan langkah dalam
kehidupan kita, tidak dapat lepas dengan petuah mapun nasihat-nasihat luhur. Di mana
dan kapan pun kita akan dihadapkan pada petuah maupun nasihat bijak tersebut.
Misalnya lewat pengeras suara, pamflet-pamflet, layar bioskop, televisi, koran,
dan majalah. Bahkan di surau, di masjid, dan di gereja juga pada tempat-tempat ibadah
dan upacara keagamaan lainnya. Semakin sering kita dengar nasihat, semakin sering
pula kita melupakan dan tidak mengindahkannya. Inilah kelemahan kita yang
sebenarnya, banyaknya nasihat tidak membuat kita semakin baik tetapi kita bertindak
sebaliknya.
5) Kesadaran Spiritual
Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang tema kesadaran
spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah
Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”,
”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, ”Matahari”, ”Bulan”, ”Laut”, ”Langit”, dan
”Doa”.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema
tentang kesadaran spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”,
”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa
Akasyah”.
Tema kesadaran spiritual yang diungkap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan tentang gambaran
kesadaran spiritual dalam perwujudan permohonan dan doa. Permohonan dan doa yang
disampaikan kepada Tuhan adalah merupakan wujud penghambaan diri atas segala
ketidakmampuan dan kelemahan.
Permohonan dan doa juga untuk perlindungan diri dari segala macam gangguan
dan bahaya yang datang tiba-tiba, baik dari diri sendiri, orang lain bahkan ujian dari
Tuhan. Sebagaimana wujud doa, isinya adalah sanjung dan puji bagi Tuhan semata,
shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada penghulu para nabi, Muhammad saw.
Selain itu, permohonan dan doa merupakan wujud permohonan kita kepada Tuhan
untuk selalu mendapat kasih sayang, petunjuk, dan perlindungan-Nya di mana dan
kapan pun.
d. Sikap Penyair dalam Hubungannya dengan Tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus.
Berdasarkan hasil analisis nada dan sikap yang ingin disampaikan penyair (A. Mustofa
Bisri) dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus sejalan sifat puisi yang
ditampilkan. Sifat puisi yang ditampilkan adalah deskriptif dan metafisikal. Sebagaimana
yang telah diuraikan di depan, bahwa puisi deskriptif adalah penyair bertindak sebagai
pemberi kesan terhadap keadaan dan peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik
perhatian penyair.
Wujud tampilan tema dalam antalogi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus tersebut
mengungkapkan nada atau sikap ketidakpuasan penyair terhadap suatu keadaan dengan cara
menyindir diri sendiri maupun keadaan dan peristiwa yang dilihat dan didengar, atau
meyatakan keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, dua antologi puisi tersebut banyak
mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan diri
sendiri dn lingkungan sosial serta bentuk pengungkapan ketidaksenangan penyair dengan cara
membeberkan kepincangan atau ketidakberesan hidup diri sendiri dan lingkungan sosial
tersebut. Selain itu, dalam dua antologi puisi tersebut juga mengajak pembaca merenungkan
kehidupan dan pengakuan serta penghambaan diri kepada Tuhan, pemilik segala sifat Maha
Sempurna.
Terkait dengan karakteristik atau ciri khas dari puisi-puisi A. Mustofa Bisri
diungkapkan oleh Aning Ayu Kusumawati (2009:17) sebagai berikut.
Ciri khas dari puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu).
Hal tersebut, senada juga dengan pandangan Umar Kayam pada pengantarnya dalam
kumpulan puisi Tadarus bahwa A. Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan pendamba
kearifan” dan “penjaga taman kata-kata “, melainkan ia sudah menggenggam kearifan dan
keindahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak A. Mustofa Bisri adalah penggunaan
diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak
tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan
protes.
Untuk memperkuat argumentasi terhadap nada dan sikap penyair dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka beberapa pemikiran beliau terkait dengan tema-tema
yang ditampilkan. Selain itu, dari hasil wawancara penulis dengan penyair, dikatakan oleh
penyair sebagai berikut.
“Sebagaimana kumpulan atau antologi puisi saya yang lain, ada sembilan kumpulan puisi. Beberapa antologi puisi saya adalah merupakan kumpulan dari beberapa puisi saya yang terus mengalir tercipta. Pada akhirnya, yang pertama terkumpul dalam Ohoi (kumpulan puisi balsam). Selanjutnya terkumpul dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dan seterusnya. Sikap atau pandangan saya terhadap keunculan dua antologi puisi tersebut (Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) adalah sama dengan beberapa antologi puisi saya yang lain, yaitu aliran suara hati saya yang tidak mudah bisa dibendung jika melihat peristiwa atau keadaan sekitar. Hati dan pikiran saya selalu terusik untuk menulisnya. Meskipun ada juga beberapa puisi saya berasal dari hasil perenungan diri sendiri.”
”... Yang perlu digarisbawahi, bahwa puisi-puisi saya adalah cermin dari diri saya. Seperti halnya para penyair lain, taruhlah seperti: W.S. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi karya mereka itu adalah cermin dari diri mereka masing-masing. Sehingga dapat pula dikatakan, bahwa bahasa yang terungkap dalam puisi-puisi saya adalah cermin kepedulian, perhatian, dan juga sikap saya. Termasuk konsep-konsep pemikiran saya tentang manusia, lingkungan kehidupan dan kematian, diri sendiri, maupun tentang konsep tentang keagamaan. Semua itu akan muncul dan tampak, jika saya mendeskripsikannya dalam bentuk karya (puisi, prosa, dan esai).”
“Tadarus bersal dari bahasa Arab darasa dan yadrisu lalu menjadi tadris, yang berarti ‘belajar’ atau ‘mempelajari’. Dalam bahasa Jawa ada isitilah nderes atau darusan. Dalam bahasa Indonesia menjadi tadarus, yang artinya terus-menerus membaca dan mengkaji. Jadi, antologi puisi Tadarus isinya bagaimana seharusnya kita belajar dan mempelajari serta mengkaji ayat-ayat Allah dalam kehidupan dan lingkungan di mana kita hidup dan berpijak termasuk apa yang ada pada diri sendiri (lahir dan batin) secara terus-menerus. Intinya, tidak ada kata berhenti untuk terus belajar dan mempelajari apapun yang ada dalam diri dan lingkungan kita. Sedangkan antologi puisi Pahlawan dan Tikus, bahwa dalam kehidupan ini kita akan dipertemukan dengan dua watak atau karakter manusia, baik dan buruk. Saya kira Anda paham tentang hal ini. Itu semua, muaranya kembali lagi pada pembaca atau penikmat puisi.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan terkait sikap penyair dalam hubungannya dengan
tema, yakni tentang: (1) penegakan moral kemanusiaan, (2) keadilan dan kebenaran hidup, (3)
kejujuran dalam pergaulan hidup, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Dengan demikian dapat pula dikatakan, bahwa pemikiran-pemikiran penyair juga
merupakan sikap penyair dalam mendukung keberadaan beberapa tema atau gagasan yang
terungkap dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, yang meliputi: (1) kritik
terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran
hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri,
dan (5) kesadaran spiritual.
e. Struktur Bahasa dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
Berdasarkan hasil analisis dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus,
struktur bahasa yang meliputi pilihan kata, kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan
versivikasi dalam antologi puisi tersebut dipilih penyair untuk mewakili keberadaan sifat puisi
tersebut dan sejalan jika dikaitkan dengan tema-tema yang ditampilkan.
Pertama, dalam pemilihan kata oleh penyair menunjukkan sifat dan karakater dalam
puisi untuk mewakili nada atau sikap ketidakpuasannya terhadap suatu keadaan, namun
dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya dan mengandung sindiran atau
kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok
maupun suatu masyarakat. Selain itu, penyair juga mengajak kita merenungkan kehidupan
dan kehadiran Tuhan dalam jiwa.
Kedua, dalam penggunaan kata konkret dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus, digunakan penyair untuk memperkuat pengimajian bahasa puisi agar dapat pula
mewakili nada atau sikapnya dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan diri
sendiri maupun suatu kelompok masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan kehadiran
Tuhan dalam jiwa.
Ketiga, Gaya bahasa hiperbola, personifikasi, metafora, dan pleonasme banyak dijumpai
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk mewakili nada atau sikap
penyair yang satirik, kritis, impresionistik dan metafisikal dalam melihat kepincangan atau
ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri maupun suatu kelompok masyarakat serta
perenungan terhadap hidup dan kehadiran Tuhan dalam jiwa.
Keempat, tampilan versifikasi, baik berupa rima, ritme, dan metrum yang ditampilkan
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus selain untuk menghasilkan pengaruh
keindahan kata-kata yang ditampilkan, tetapi juga untuk memberikan gambaran kesungguhan
penyair dalam melihat kepincangan dan ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu
kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan kehadiran Tuhan
dalam jiwa.
Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa A. Mustofa Bisri selain mengungkapkan kata-
kata yang lugas dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk menyampaikan
tema-tema yang berhubungan dengan kritik terhadap kehidupan sosial, diri sendiri, dan
kesadaran keagamaan. Selain itu, antara sikap penyair dan tema dalam puisi terkesan senada
dan mendukung keberadaan larik-larik dan bait-bait puisinya yang berjenis deskriptif dan
metafisikal dengan menggunakan kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versifikasi.
Hal tersebut juga membuktikan, bahwa selain ingin menyampaikan sikap secara lugas,
kritis, dan satiris, penyair ternyata masih mempertimbangakan keindahan bahasanya.
Sehingga terdapatnya beberapa kata humoris dalam beberapa larik puisinya dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang ikut memberi warna dan kesan, bahwa sikap
kritis penyair terhadap kehidupan sosial dan pribadi juga terhadap kesadaran keagamaan
sekalipun, penyair menyampaikannya dengan nada humor yang membuat pembaca
tersenyum, meskipun berupa senyuman pahit.
f. Sintesis dan Interpretasi.
Berdasarkan analisis antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah wujud ciri
khas dari puisi-puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan
masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang
lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu
sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity
(kesederhanaan yang menipu).
Ciri khas yang lain dari puisi-puisinya adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk
mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti
sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.
Puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri bukanlah puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada
kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan imaji kata seperti
halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresi-
impresi ngungun dan samar. Akan tetapi, penyair berhasil memberikan sugesti kepada kita
tentang betapa pentingnya kita untuk saling mengingatkan akan nilai-nilai kemanusiaan,
kebenaran, keadilan, kejujuran, introspeksi diri, dan kesadaran spiritual.
Penyair terus mengingatkan kita agar tetap istiqomah ‘ajeg dan terus-menerus’ berjalan
dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus sangat kritis, satiris, bahkan nylekit dan sinis tetapi humoris. Hal ini
mengingatkan kita agar menyampaikan suara-suara Tuhan yang baik dan benar harus dengan
jalan hasanah (kebaikan) dan kebenaran pula.
Akhirnya, dapat disimpulkan berdasarkan deskripsi beberapa faktor yang dapat
dijadikan kerangka berpikir meliputi: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (2)
gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri, (3) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri, (4) nada dan sikap penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya
A. Mustofa Bisri, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus karya A. Mustofa Bisri, dan (6) sintesis dan interpretasi, bahwa nada atau sikap penyair
sangat relevan dengan keberadaan tema atau gagasan tentang corak kehidupan masyarakat
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Hubungan
tersebut meliputi deskripsi tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2)
kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran
dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
2. Nilai Religius dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai religius yang tercermin dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah nilai religius yang dibatasi pada
religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang (penyair) untuk selalu berhubungan
dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan
sang Maha Pencipta dalam pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Sealanjutnya akan terealisasi
dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial.
Adapun puisi yang kuat mengemban nilai-nilai religius berdasarkan pengertian di atas,
dalam antalogi puisi Tadarus tampak pada puisi-puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”,
”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa
Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, dan ”Doa”.
Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, puisi-puisi yang sangat kuat
mengemban nilai-nilai religius akan tampak pada beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”,
”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”.
Hasil analisis terhadap nilai religius di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai religius dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri merupakan gambaran
sikap penyair dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan,
sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan.
Sebab hanya dengan pancaran Cahaya Tuhan dalam diri, maka penyair akan memiliki
kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan Cahaya
Tuhan dalam segala situasi dan kondisi.
3. Nilai-nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil analisis dalam upaya penggalian nilai-nilai pendidikan pada larik-larik
puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri akan
berhubungan dengan berbagai macam kemungkinan pengembangan yang sangat luas. Agar tidak
terlalu luas, maka peneliti menganalisis seperti halnya saat menentukan gagasan atau tema puisi,
yakni dengan mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan yang ada dalam larik-larik puisi yang
mendeskripsikan hubungan: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain,
(3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan
ketuhanan. Adapun masing-masing hubungan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan
manusia dengan diri sendiri, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul
”Pesona”, ”Nasihat-Nasihat”, ”Nurani”, ”Puisi Islam”, ”Nasihat Ramadlan buat A. Mustofa
Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”.
Secara garis besar, nilai-nilai pendidikan yang dikandung puisi-puisi di atas
memberikan kesadaran bahwa kita benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan
kekurangan. Baik dalam menghadapi keinginan sendiri maupun untuk kepentingan ibadah,
kita selalu lebih mementingkan diri sendiri daripada urusan atau kepentingan di luar kita.
Misalnya hubungan dengan sesama, lebih-lebih hubungan ibadah kepada Tuhan.
Dalam urusan beragama misalnya, kita mengakui bahwa apa pun yang ada dalam diri
kita sudah berlabel agama yang kita yakini. Tapi apa benar menurut Tuhan, bahwa kita sudah
benar-benar beragama atau sekedar simbol agama yang menempel pada fisik kita saja? Kita
mengakui dan beribadah kepada Tuhan. Tapi apa benar, ibadah kita benar-benar ingin mencari
ridla-Nya? Atau hanya sekedar rutinitas tak bermakna, sehingga dalam ibadah kita hanya
ingat diri kita saja dan hanya menghitung-hitung ibadah yang telah kita lakukan.
Banyaknya nasihat bijak dalam bentuk apapun yang kita dengar, bukan jaminan kita
menjadi manusia yang bijak. Justru sebaliknya, kita tak pernah sekalipun melaksanakan
nasihat bijak itu atau bahkah sama sekali kita tak akan bergeming dengan berbagai bentuk
nasihat bijak tersebut. Kita lebih egois dengan urusan diri sendiri. Sedangkan untuk hubungan
dengan sesama dan dengan Tuhan adalah urusan yang kesekian. Inilah nilai pendidikan paling
berharga bagi kita, untuk selalu menempatkan keseimbangan kewajiban kita sebagai umat
beragama sekaligus makhluk sosial.
2) Hubungan Manusia dengan Orang Lain
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan
manusia dengan orang lain, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Mantan
Rakyat”, ”Kubaca Berita”, ”Bosnia”, ”Reinkarnasi”, ”Makin Canggih Saja”, dan ”Saling”.
Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita,
bahwa nilai-nilai hubungan kemanusiaan kita sudah mulai luntur bahkan lambat laun mulai
terkikis dalam kehidupan. Banyak di antara kita yang belum menyadari hakikat hubungan
kemanusiaan. Apalagi kalau sudah diembel-embeli jabatan atau pangkat yang melekat pada
diri kita, seakan-akan jabatan atau pangkat itu merupakan sekat terhadap rasa kemanusiaan
kita dengan sesama. Peperangan dan saling membunuh demi sebuah kebanggaan ras atau suku
demi gengsi menjadi tradisi daripada harus membina kerukunan dan kasih sayang dengan
sesama.
Kita lebih banyak menyibukkan diri untuk mempropagandakan label-label atau simbol-
simbol prestise yang kita sandang daripada harus bersusah payah menyuarakan kebaikan dan
kebenaran hidup antarsesama. Kita lakukan apapun demi keuntungan kita sendiri, meskipun
yang lain merasakan kesengsaraan dari perilaku kita.
Kita lebih senang menebar virus kebencian dan perpecahan dengan sesama di segala
bidang kehidupan dan pekerjaan daripada membina kerukunan dan kedamaian di antara
sesama. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah
seharusnya kita bisa menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bidang kehidupan
tanpa harus memandang terhadap perbedaan ras, suku, golongan, maupun agama.
3) Hubungan Manusia dengan Kehidupan
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan
manusia dengan kehidupan, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul
”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, di manakah Kau?”, ”Selamat Idul Fitri”, ”Kepada Penyair”,
”Surabaya”, dan ”Di Negeri Amplop”.
Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita,
bahwa dalam hal hidup dan kehidupan kita masih banyak yang belum bisa kita lakukan sesuai
dengan aturan dan norma kebaikan yang berlaku. Kita masih sibuk dengan urusan sendiri,
yang belum jelas kebaikannya. Di mana pun posisi dan jabatan kita, belum dapat
menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang kita miliki.
Kita masih terlalu banyak menjadikan segala sesuatu di luar kita (baik manusia, hewan,
maupun tumbuhan) adalah pemuas keinginan kita, sehingga apapun langkah kita (benar atau
salah) adalah benar menurut kita. Asalkan semua keinginan kita terpenuhi. Kita masih belum
melihat kezaliman dan kemungkaran di sekitar kita yang memperdaya nurani, karena memang
kita tidak mampu untuk meninggalkan sifat buruk itu dalam diri kita.
Kita masih banyak mencari kepuasan diri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga
dengan jalan apapun (benar atau salah) asalkan keinginan kita terpenuhi, tetap kita pandang
sebagai hal yang paling benar. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik
puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita menghentikan segala bentuk praktik kezaliman dan
kemungkaran dalam setiap sudut kehidupan. Kita kembalikan semua praktik kehidupan pada
nurani kita. Hanya dengan menempatkan nurani, kita bisa hidup perdampingan dengan
siapapun (baik dengan sesama maupun lingkungan), sehingga nantinya akan tercipta harmoni
yang indah dalam kehidupan kita.
4) Hubungan Manusia dengan Kematian
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan
manusia dengan kematian, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Kubaca
Berita”, ”Sujud”, ”Surabaya”, dan ”Dua Surat dari Surabaya”.
Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita,
bahwa kematian akan menjemput kita tanpa kita sadari kapan datangnya. Kematian adalah
misteri Tuhan, disamping kehidupan dan perjodohan. Kematian akan dihadapkan pada kita
dengan berbagai ragam datangnya. Kebanyakan kita belum siap untuk menerima atau
menghadapi kematian. Akan tetapi, ada juga yang benar-benar sudah siap menghadapinya.
Semua tergantung kita, bagaimana kita menyikapinya.
Jika kematian itu adalah sesuatu yang menakutkan, tentunya kita berharap agar
kematian jangan bersandar pada diri kita terlebih dahulu. Sebaliknya, jika kita menyadari
bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Apapun yang terjadi pada diri kita,
kita hadapi dengan sikap berani dan lapang dada. Kematian dalam pandangan para pahlawan
perjuangan yang membela kebenaran dan hati nurani berbeda dengan pandangan kita
(generasi saat ini). Mereka menganggap kematian adalah sesuatu yang indah, sebab mereka
yakin kematian mereka bukanlah hal yang sia-sia.
Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa kita
semestinya tidak takut menghadapi kematian. Sebab kematian pasti akan datang pada diri kita
di mana dan kapan pun kita berada. Yang terpenting, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk
menghadapi kematian itu? Oleh karena itu, dalam setiap langkah kehidupan, kita harus
bersandarkan pada nilai-nilai kebenaran Tuhan dan hati nurani. Sehingga kapanpun kematian
menghampiri, kita berharap tidak ada alasan penyesalan untuk menghadapinya. Kita sudah
benar-benar siap menghadapinya.
5) Hubungan Manusia dengan Ketuhanan
Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A.
Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan
manusia dengan ketuhanan, di antaranya tampak dalam beberapa puisi dalam antologi puisi
Tadarus yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Buah Mata”, ”Wanita Cantik di Multazam”,
”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, ”Doa”, dan ”Ibu”.
Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita,
bahwa manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan memohon
kepada Tuhan, pemilik segala sifat kesempurnaan.
Selanjutnya dengan segala upaya dan usahanya untuk selalu mendekat pada Tuhan
untuk selalu mendapat curahan rahmat-Nya. Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat
Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan
dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam kehidupan sehari-harinya akan selalu diliputi dengan
’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan
yang dilarang Tuhan. Karena pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi dirinya dalam segala
situasi dan kondisi.
Sedangkan dalam antalogi puisi Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai-nilai
pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan ada dalam beberapa
puisi yang berjudul ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-
Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”.
Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan, bahwa dengan
segala kesadarannya manusia harus mengakui keberadaannya di dunia tidak lepas dari peran
kasih sayang seorang ibu (orang tua). Apa pun posisi dan jabatan kita, tanpa kasih sayang ibu
kita tidak kan mampu meraihnya. Sebab suara hati seorang Ibu (orang tua) sangat dekat
dengan suara Tuhan. Kerelaan dan murka ibu (orang tua) kita adalah kerelaan dan murka
Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita berharap dan memohon kepada Tuhan untuk
memberi kasih sayang-Nya pada ibu (orang tua) kita.
Selanjutnya dalam puisi-puisi di atas, kita ditunjukkan pengorbanan seorang ibu untuk
mengharapkan curahan cinta-Nya, meskipun segala musibah menerpanya. Dengan segala
ketidakberdayaannya hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala
sifat kesempurnaan-Nya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu mendapat curahan
rahmat-Nya.
Berikutnya, dalam puisi-puisi di atas, kita ditunjukkan sebuah kesadaran, bahwa semua
yang ada dan bergerak dalam tubuh tiada lain adalah berkat kehendak-Nya semata, sehingga
cukup hanya Tuhan yang menjadi sandaran harapan kita. Karena hanya dengan rahmat dan
pertolongan Tuhan, kita akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan
sejalan dengan tuntunan Cahaya Tuhan.
Hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia lain, kehidupan, kematian,
dan ketuhanan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri,
menegaskan bahwa dalam kehidupan kita menyadari terhadap kelemahan dan kekurangan
diri. Oleh karena itu, kita selalu berharap bantuan orang lain, kita bersikap baik dalam
kehidupan, kita akan mempersiapkan diri menghadapi kematian, dan berharap selalu akan
curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan membentuk kesadaran untuk meminimalkan bahkan
menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran
’Cahaya’ Tuhan dalam diri, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati,
pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam segala situasi dan
kondisi. Inilah nilai-nilai pendidikan berharga yang diemban larik-larik puisi untuk
menyuarakan kesadaran berketuhanan.
Akhirnya, dari uraian pembahasan tentang nilai-nilai pendidikan yang ada dalam dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri di atas, dapat
disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang tercermin pada larik-larik puisi dalam dua
antologi puisi tersebut, merupakan nilai pendidikan yang merefleksikan hubungan: (1)
manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan
kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Simpulan yang dapat diuraikan dari hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Kritik Sosial dalam Hubungannya dengan Sikap Penyair dan Tema dalam Antologi Puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya
dengan sikap penyair dan gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya
A. Mustofa Bisri, ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka berpikir untuk mendapatkan
hasil analisis dan pembahasan berupa deskripsi hubungan tersebut, antara lain deskrpsi tentang:
(a) A. Mustofa Bisri dan beberapa karyanya, (b) antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus, (c) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (d) sikap
penyair dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus,
(e) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (f) simpulan
berupa sintesis dan interpretasi.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka didapatkan hasil analisis dan pembahasan
berupa deskripsi tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan gagasan
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, sebagai berikut.
Pertama, A. Mustofa Bisri yang lebih dikenal dengan nama panggilan Gus Mus adalah
representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan,
sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya baik karya
terjemahan, esai, prosa, maupun puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan
kental dengan kritik-kritik sosial.
Kedua, gambaran umum dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus banyak
dijumpai puisi-puisi yang bersifat puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul
tersebut dalam dua antologi puisi tersebut, tidak lain adalah untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair berupa kritk terhadap diri sendiri (penyair) dan kehidupan sosial masyarakat
serta kesadaran keagamaan penyair.
Ketiga, terkait dengan gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus, maka tema atau gagasan yang terdapat dalam dua antologi puisi tersebut, antara lain
tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan
ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan
introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
Keempat, senada dengan wujud tampilan tema dalam antalogi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus tersebut juga mengungkapkan nada atau sikap tidak puas penyair terhadap suatu
keadaan dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, dua
antologi puisi tersebut banyak mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau
ketidakberesan diri sendiri dan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat dengan
cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan diri sendiri dan kehidupan suatu kelompok
maupun suatu masyarakat tersebut. Selain itu, dalam dua antologi puisi tesebut juga mengajak
pembaca merenungkan kehidupan dan menghadirkan Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-
Nya di dalam jiwa.
Kelima, A. Mustofa Bisri selain mengungkapkan kata-kata yang lugas dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk menyampaikan tema-tema yang berhubungan dengan
corak kehidupan sosial dan religius, tampaknya penyair juga ingin memadukan sifat-sifat yang
ada dalam puisinya yang deskriptif dan metafisikal dengan menggunakan kata konkret,
pengimajian, gaya bahasa dan versifikasi yang senada. Hal ini membuktikan, bahwa selain ingin
menyampaikan nada atau sikap penyair secara lugas, kritis, dan satiris, tetapi masih
mempertimbangakan keindahan bahasanya. Bahkan tidak sedikit nada bahasa humoris juga
tampak dalam beberapa larik puisinya dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
Keenam, dapat disimpulkan berdasarkan deskripsi beberapa faktor yang dapat dijadikan
kerangka berpikir meliputi: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (2) gambaran
umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (3) tema-tema dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (4) sikap penyair dalam hubungannya dengan tema
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (5) struktur bahasa dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (6) sintesis dan interpretasi. Selanjutnya, dapat
dikatakan bahwa nada atau sikap penyair terdapat relevansi dengan tema atau gagasan tentang
kritik terhadap kehidupan sosial, diri sendiri, dan kesadaran keagamaan dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Relevansi tersebut tercermin dalam
beberapa tema antara lain: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusian, (2) kritik terhadap
ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4)
koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
2. Nilai Religius dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa nilai religius yang
diemban antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah nilai
religius yang dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang (penyair)
untuk selalu berhubungan dengan Sang Maha Pencipta dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, penyair selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan
menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran ’Cahaya’
Tuhan dalam diri, maka penyair akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran,
dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam segala situasi dan kondisi.
Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Maha Pencipta
dalam pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Selanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual
ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial dalam kehidupan sehari-hari.
3. Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam upaya penggalian nilai-nilai pendidikan
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, maka didapatkan
simpulan bahwa nilai-nilai pendidikan yang ada dalam larik-larik puisi dalam dua antologi puisi
tersebut, yakni berupa nilai pendididikan yang berhubungan tentang: (1) manusia dengan dirinya
sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan
kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan. Simpulan paparan masing-masing sebagai berikut.
Pertama, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri
dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah memberikan kesadaran bahwa kita
benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan kekurangan. Baik dalam mengahadapi
keinginan sendiri maupun untuk kepentingan ibadah ritual dan ibadah sosial, kita selalu lebih
mementingkan diri sendiri daripada kepentingan di luar kita. Misalnya hubungan dengan sesama,
apalagi untuk urusan hubungan dengan Tuhan.
Dalam urusan beragama misalnya, kita mengakui bahwa apapun yang ada dalam diri kita
sudah berlabel agama yang kita yakini. Tapi apa benar menurut Tuhan, bahwa kita sudah benar-
benar beragama atau sekedar simbol agama yang menempel pada fisik kita saja? Kita mengakui
dan beribadah kepad Tuhan. Tapi apa benar, ibadah kita benar-benar ingin mencari ridla-Nya?
Atau hanya sekedar rutinitas tak bermakna, sehingga dalam ibadah kita hanya ingat bahwa diri
kita saja dan menghitung-hitung ibadah yang telah kita lakukan. Banyaknya nasihat tentang
kebajikan dalam bentuk apapun yang kita dengar, bukan jaminan kita menjadi manusia yang
bijak.
Justru sebaliknya, kita tak pernah sekalipun melaksanakan nasihat bijak itu atau bahkah
sama sekali kita tak akan bergeming dengan berbagai bentuk nasihat bijak tersebut. Kita lebih
egois dengan urusan diri sendiri. Sedangkan untuk urusan dengan sesama dan Tuhan adalah
urusan yang dapat ditunda atau bahkan dikesampingkan. Inilah nilai pendidikan paling berharga
bagi kita, untuk selalu menempatkan keseimbangan kewajiban kita sebagai umat beragama
sekaligus makhluk sosial.
Kedua, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan orang lain dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah nilai-nilai hubungan kemanusiaan kita
sudah mulai luntur bahkan lambat laun mulai terkikis dalam kehidupan. Banyak di antara kita
yang belum menyadari hakikat hubungan kemanusiaan. Apalagi kalau sudah diembel-embeli
jabatan atau pangkat yang melekat pada diri kita, seakan-akan jabatan atau pangkat itu yang
membatasi kemanusiaan kita dengan sesama.
Peperangan dan saling membunuh demi sebuah kebanggaan ras atau suku demi gengsi
menjadi tradisi daripada harus membina kerukunan dan kasih sayang dengan sesama. Kita lebih
banyak menyibukkan diri untuk mempropagandakan label-label atau simbol-simbol prestise
yang kita sandang daripada harus bersusah payah menyuarakan kebaikan dan kebenaran hidup
antarsesama. Kita lakukan apa pun demi keuntungan kita sendiri, meskipun yang lain merasakan
kesengsaraan dari perilaku kita. Kita lebih senang menebar virus kebencian dan perpecahan
dengan sesama di segala bidang kehidupan dan pekerjaan daripada membina kerukunan dan
kedamaian di antara sesama.
Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah
seharusnya kita bisa menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bidang kehidupan tanpa
harus memandang perbedaan ras, suku, golongan, maupun agama.
Ketiga, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan kehidupan dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah dalam hal hidup dan kehidupan kita
masih banyak yang belum bisa kita lakukan sesuai dengan aturan dan norma kebaikan yang
berlaku. Kita masih sibuk dengan urusan sendiri, yang belum jelas kebaikannya. Di mana pun
posisi dan jabatan kita, belum dapat menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan keahlian
yang kita miliki.
Kita masih terlalu banyak menjadikan segala sesuatu di luar kita (baik manusia, hewan,
maupun tumbuhan) adalah pemuas keinginan kita, sehingga apa pun langkah kita (benar atau
salah) adalah benar menurut kita. Asalkan semua keinginan kita terpenuhi. Kita masih belum
melihat kezaliman dan kemungkaran di sekitar kita yang memperdaya nurani, karena memang
kita tidak mampu atau bahkan enggan untuk meninggalkan sifat buruk itu dalam diri kita.
Kita masih banyak mencari kepuasan diri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga
dengan jalan apapun (benar atau salah) asalkan keinginan kita terpenuhi, tetap kita pandang
sebagai hal yang paling benar.
Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah
seharusnya kita menghentikan segala bentuk praktik kezaliman dan kemungkaran dalam setiap
sudut kehidupan. Kita kembalikan semua praktik kehidupan pada nurani kita. Hanya dengan
menempatkan nurani, kita bisa hidup perdampingan dengan siapapun ( baik dengan sesama
maupun lingkungan), sehingga nantinya akan tercipta harmoni yang indah dalam kehidupan kita.
Keempat, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan kematian dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah kematian akan menjemput kita tanpa kita
sadari kapan datangnya. Kematian adalah misteri Tuhan, disamping kehidupan dan perjodohan.
Kematian akan dihadapkan pada kita dengan berbagai ragam peristiwa. Ada kalanya kita belum
siap untuk menerima atau menghadapinya. Akan tetapi, ada yang sudah siap menghadapinya.
Semua tergantung kita, bagaimana kita menyikapinya.
Jika kematian itu adalah sesuatu yang menakutkan, tentunya kita berharap agar kematian
ditunda pada diri kita terlebih dahulu. Sebaliknya, jika kita menyadari bahwa kematian adalah
sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Apapun yang terjadi pada diri kita, kita hadapi dengan sikap
berani dan lapang dada. Seperti sikap para pahlawan perjuangan yang membela kebenaran dan
hati nurani dengan tanpa pamrih. Mereka menganggap kematian adalah sesuatu yang indah,
sebab mereka yakin kematian mereka bukanlah hal yang sia-sia.
Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, bahwa kita semestinya tidak takut menghadapi kematian.
Sebab kematian pasti akan datang pada diri kita di mana dan kapan pun kita berada. Yang
terpenting, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu? Oleh karena itu,
dalam setiap langkah kehidupan, kita harus bersandarkan pada nilai-nilai kebenaran Tuhan dan
hati nurani. Sehingga kapanpun kematian menghampiri, kita berharap tidak ada alasan
penyesalan untuk menghadapinya. Kita sudah benar-benar siap menghadapinya.
Kelima, nilai pendidikan yang menunujukkan hubungan manusia dengan ketuhanan dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah manusia dengan segala ketidakberdayaan
hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.
Selanjutnya dengan segala upaya dan usahanya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu
mendapat curahan rahmat-Nya. Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan
lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’
Tuhan. Dalam kehidupannya sehari-hari akan selalu diliputi dengan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga
akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Karena
pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi diri dalam segala situasi dan kondisi.
B. Implikasi
Berpijak pada simpulan terhadap hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan di atas,
maka implikasi yang layak dikemukakan dari penelitian ini untuk peningkatan dan pengembangan
pengajaran bahasa dan sastra Indonesia pada umumnya dan pengajaran apresiasi puisi pada
khususnya. Ada tiga hal yang dapat dijadikan tumpuan implikasi dari penelitian ini dalam
pengajaran apresiasi puisi, utamanya terhadap (1) tinjauan sosiologi sastra, (2) nilai religius, dan (3)
nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
Pertama, tinjauan sosiologi sastra terhadap karya antologi puisi akan berimplikasi terhadap
pengajaran apresiasi puisi di sekolah, baik implikasi secara kognitif dan afektif maupun implikasi
secara teoritis dan praktis dalam pengkajian terhadap hubungan antara nada atau sikap penyair
dengan gagasan atau tema dalam antologi puisi itu sendiri. Terkait dengan kajian sosiologi terhadap
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, maka implikasinya
terhadap pengajaran apresiasi puisi baik implikasi secara kognitif dan afektif maupun implikasi
secara teoritis dan praktis adalah pemerolehan deskripsi tentang hubungan antara nada atau sikap
penyair dengan gagasan atau tema tentang kritik terhadap kehidupan sosial dalam dua antologi
puisi tersebut yang mencakup beberapa hal, yakni: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-
karyanya, (2) gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (3) tema-
tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (4) nada dan sikap penyair dalam
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi
Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (6) sintesis dan interpretasi terhadap antologi puisi Tadarus
dan Pahlawan dan Tikus.
Kedua, meskipun mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bukan mata pelajaran agama,
sudah selayaknya dan sepantasnya dalam pengajarannya diintegrasikan dengan pemahaman
terhadap nilai-nilai religius. Salah satunya dalam pengajaran apresiasi sastra, khususnya pengajaran
apresiasi puisi. Dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri,
keberadaan nilai religius sangat kuat sekali. Pemaparan nilai religiusnya tidak semata-mata
merupakan deskripsi ibadah ritual yang bersifat individu, tetapi lebih mengarah pada aplikasi nilai
religius dalam tataran kehidupan sosial. Oleh karena itu, implikasi terhadap hasil analisis dan
pembahasan dalam penelitian ini terkait erat dengan pengajaran apresiasi sastra, khusunya terhadap
penggalian nilai-nilai religius dalam puisi sangat layak mendapat perhatian utama guna menambah
pemahaman siswa terhadap nilai-nilai religius, untuk selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ketiga, salah satu tujuan utama penyelenggaraan pembelajaran di lembaga-lembaga
pendidikan adalam penyampaiaan dan pemahaman terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Sebagai salah satu mata pelajaran, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia juga memegang peranan
penting dalam penyampaian nilai pendidikan. Misalnya pada pengajaran apresiasi sastra, khususnya
pengajaran apresiasi puisi. Di dalamnya akan banyak kita temukan nilai pendidikan. Terkait dengan
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, nilai-nilai pendidikan yang
dipaparkan melalui larik-larik puisinya sangat kental, yakni adanya keterkaitan nilai pendidikan
yang berhubungan dengan (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3)
manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, maupun (5) manusia dengan ketuhanan.
Implikasi terkait dengan penelitian ini, bahwa pengajaran apresiasi puisi juga merupakan hal yang
tidak bisa dianggap sepele. Sebab di dalamnya banyak terdeskripsi beragam nilai, salah satunya
nilai pendidikan. Dengan pemahaman terhadap nilai pendidikan ini, diharapkan pengajaran
apresiasi sastra khususnya puisi akan menjadi pembelajaran yang lebih bermakna dan bermanfaat
bagi siswa, sebagai pembelajaran tentang diri sendiri, orang lain, kehidupan, kematian, dan
ketuhanan.
C. Saran
Dari keseluruhan uraian penelitaian ini, maka dapat dipaparkan beberapa saran, khususnya
bagi peserta didik, tenaga pendidik, lembaga kependidikan, dan peneliti lain, sebagai berikut.
Pertama, bagi peserta didik hendaknya lebih banyak untuk meningkatkan kemampuan dan
pemahaman terhadap apresiasi puisi. Sebab ada banyak manfaat yang bisa didapatkan terkait
dengan dengan kegiatan apresiasi ini, antara lain (1) pemahaman terhadap berbagai bentuk kajian
sastra khususnya puisi, (2) pemahaman terhadap nilai religius, dan (3) pemahaman terhadap nilai
pendidikan. Semuanya itu untuk mendapatkan pemahaman unsur lahir dan unsur batin puisi secara
lebih mendalam dan proporsional.
Kedua, bagi pendidik selalu berusaha membuat pengajaran apresiasi sastra khususnya puisi
menjadi pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Hal ini disebabkan karena di balik
rumitnya kerja apresiasi puisi, maka para tenaga pendidik berusaha semaksimal mungkin untuk
terus berupaya menjadikan dan membuat inovasi baru terhadap pengajaran apresiasi sastra
khusunya puisi, sehingga nantinya pengajaran apresiasi puisi tidak menjadi pengajaran yang
monoton dan membosankan. Melainkan menjadi pengajaran yang menarik dan memberikan nilai
dan manfaat secara langsung pada siswa yang berimplikasi terhadap kehidupannya.
Ketiga, bagi lembaga pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional) untuk tetap memberikan
porsi yang seimbang antara pengajaran bahasa (tata bentuk bahasa) dengan pengajaran apresiasi
sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam rangka penyusunan silabus pembelaran bahasa dan sastra
Indonesia. Selain itu, juga tetap terus berupaya mengadakan forum pendidikan dan pelatihan bagi
tenaga pendidik khusunya guru pengampu mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia baik berupa
workshop, seminar, maupun revitalisasi tentang kebahasaan dan kesastraan baik di tingkat
kabupaten, provinsi, maupun nasional dalam rangka pembinaan secara terus-menerus guna
peningkatan profesionalisme guru dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Keempat, bagi para peneliti dan peminat penelitian di bidang pengkajian karya sastra (puisi,
prosa, dan drama) dapat terus melakukan penelitian dan pengkajian terhadap karya sastra.
Mengingat begitu luasnya wilayah kajian terhadap karya sastra, maka memungkinkan akan muncul
beragam kajian. Khususnya terhadap hasil karya A. Mustofa Bisri, baik berupa antologi puisi
maupun cerpen yang tidak hanya dapat ditinjau dari sudut pandang sosiologi sastra, nilai religius,
dan nilai pendidikan. Melainkan beragam sudut pandang dan tinjauan guna penelitian lanjutan
terhadap karya-karya A. Mustofa Bisri, baik berupa antologi puisi maupun cerpen.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi W. M. 1987. Rumi, Sufi, dan Penyair. Bandung: Pustaka.
Abdul Munir Mulkan. 2009. Islam dalam Pesona Seni: Gus Mus yang Kukenal. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Abrams, M. H. 1971. A Glossary of Literary Term. New York: Holt, Rinehart and Wiston.
___________. 1979. The Mirror and The Lamp. New York: Oxford University Press.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan Jakarta: Rineka Cipta.
Acep Zamzam Noer. 2009. Gus Mus. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
A. Mustofa Bisri. 1991. Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus.
___________. 1993. Tadarus, Antologi Puisi. Yogyakarta: Prima Pustaka.
___________. Tanpa Tahun. Rubaiyat Angin & Rumput, Antologi Puisi. Jakarta: PT Marta Multi Media & Majalah Humor.
___________. 1995. Pahlawan dan Tikus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
___________. 1996. Pesan Islam Sehari-hari; Ritus Dzikir dan Gempita Ummat. Surabaya : Risalah Gusti.
___________. 2008. Mencari Bening Mata Air. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Aminuddin. 1982. Pendekatan Analitis dalam Mengapresiasi Puisi. Imam Syafi’i dan Suparno (Ed.). PBJJ-BI IKIP Malang, Malang: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Pendidikan Diploma Kependidikan.
___________. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. C. V. Sinar Baru: Bandung.
Aning Ayu Kusumawati. 2009. Menangkap Visi Religiusitas dalam Puisi-puisi A. Mustofa Bisri. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Altenbend, Lynn dan Leslie Lewis. 1969. Introduction to Literature: Poem. Toronto, Ontario: Maacmillan Company Ltd.
Atar Semi. 1982. Kritik Sastra. Penerbit Angkasa: Bandung.
Awang H. Saleh. 1980. Sastra dan Sosiologi dalam Penulisan Kreatif. (Kumpulan Esai Ceramah). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Barry, Gerald Sir. 1965. The Art, Man’s Creative Imagination. Doubleday & Company Inc. Garden City: NewYork.
Barsstone, Willis. 1993. The Poetics of Translation: History, Theory, Practice. New Haven and London. Yale University Press.
Bertens K. 1997. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Boulton, Marjorie. 1979. The Anatomy of the Poetry. London: Routledge & Kegan Paul.
Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu ke Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory. Oxford: Basil Backwell.
Elizabeth, Torn Burn (ed.). 1973. Sosiologi of Literature & Drama. Harmondsworth: Penguin Books.
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Goenawan Muhamad. 2009. Gus Mus, Teks, dan Manusia. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Grace, William J. 1965. Response to Literature. New York: Mc. Graw Hill Inc.
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya. Surakarta: UNS Press.
Hamdy Salad. 2009. Satu Rumah Seribu Pintu. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Harrow, Susan. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. The Autobiographical and the Realin Appollinaire. October 2002, Vol. 97, Part 4, p. 821-824. Maney Publishing for the Modern Humanities Research Association.
Herman J. Waluyo. 1992. Apresiasi dan Pengkajian Sastra. Surakarta: UNS Press.
____________. 2008. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.
Hook, J. N. 1965. The Teaching of High School English. New York: The Ronald Presss Company.
Hudson, W.H. 1985. An Introduction to The Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Ida Nurul Chasanah. 2005. Ekspresi Sosial dalam Sajak-sajak KH. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Pustaka Logung.
Ignas Kleden. 1981. Kesusastraan Indonesia Tidak Harus Menjadi Cermin Keadaan Masyarakat (dalam Tifa Budaya). Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leprenas).
Ilmu Sastra. 2009. Sosiologi Sastra. http://www.sebuahcatatansastra.blogspot. com/2009/02/sosiologi-sastra.html, diunduh tanggal 16 April 2010.
Jamal D. Rahman. “Kakilangit, Sisipan Majalah Sastra Horison”. Puisi-puisi A. Mustofa Bisri: Kesadaran Sosial-Keagamaan Ulama-Penyair. November 2004, No. 95, hal. 11-12. Jakarta: Yayasan Indonesia.
____________. 2009. A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama-Penyair. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
James, William. 1958. The Varietis of Religious Experience. New York: The American Library of Worl Literature, Inc.
Johnson, John. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. The Problem of Theory in The Poetics of Andrea Zanzotto. Januari 2000, Vol. 95, Part 1, p. 92-106. Maney Publishing for the Modern Humanities Research Association.
Kaswardi. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia Widya Sarana.
Kennedy, X. J. 1971. An Introduction to Poetry. Boston: Little Brown and Company.
Komunitas Mata Air. 2006. A. Mustofa Bisri, Kiai, Penyair, dan Pelukis. http:// gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=1162, diunduh tanggal 25 Mei 2010.
Krippendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi.Terjemahan Farid Wajidi. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers.
Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). 2009. Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Max Scheler. 2001. Filsafat Nilai. Jakarta: Angkasa.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Ros-
da Karya.
Nani Tuloli. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Janah
Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://openlibrary.org/books/OL3773662M/Paradigma_Sosiologi_ sastra, diunduh tanggal 20 Mei 2009.
Olsen, Stein Haugom. 1978. The Structure of Literary Understanding. London: Cambridge University Press.
Rabindranath Tagore. 2002. Agama Manusia (Terjemahan dari judul asli The Religion of Man). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Rachmat Djoko Pradopo. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
_____________. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reeves, James. 1978. Understandig Poetry. London: Heyneman Educational Books.
Richards, I. A. 1976. Practical Criticism: A Study of Literary Judgement. London: Routledge & Keagan Paul.
Sansom, Clive. 1960. The Word of Poetry. London: Phoenic House.
Sapardi Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.
Sastra Santri. 2009. Sosiologi Sastra. http://www.sastrasantri.wordpress.com/ 2009/01/sosiologi-sastra.html, diunduh tanggal 20 April 2010.
S. Effendi. 1973. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende Flores: Nusa Indah.
S. Wisni Septiarti. “Jurnal Ilmiah Visi: Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal”. Aktualisasi Nilai dalam Konteks Pendidikan Luar Sekolah yang Berbasis pada Kearifan Lokal. No. 2 - 2000, Vol. 1, hal. 56-61. Depdiknas Dirjen PMPTK Dirdik PTK-PNF bekerjasama dengan FIP UNJ.
Soerjono Soemargono. 1986. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soelaeman. 1988. Suatu Telaah Tentang Manusia Religi Pendidikan. Jakarta: Depsikbud.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suminto A. Suyuti. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Sutardji Calzoum Bachri. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Swingewood. 1977. The Myth of Mass Culture. London: Macmillan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Umar Junus. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
_____________. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.
Wellek, Rene, and Austin Warren, 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.
Y. B. Mangunwijaya. 1982. Sastra dan Riligiositas. Jakarta: Sinar Harapan
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.