Upload
dirga-rane-agasi
View
82
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Arsitektur Tradisional Di Indonesia
Citation preview
Arsitektur Tradisional di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki keberagaman dan kekhasan pada
kebudayaannya. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya suku adat di Indonesia. Tiap suku memiliki
satu sistem kepercayaan yang kuat terhadap alam atau yang dikenal dengan sistem kosmologis.
Dengan menempatkan kehidupan manusia sebagai pusat kendali alam, sistem kepercayaan
masing-masing suku menjadi tonggak utama mereka dalam menjalani kehidupan. Perwujudan
sistem kosmologis diterapkan dalam bentuk Bangunan Adat.
Pembahasan mengenai arsitektur tradisional di Indonesia akan difokuskan pada
arsitektur tradisional Toraja (Indonesia bagian Timur) dan arsitektur tradisioal Batak (Indonesia
Bagian Barat)
1) Arsitektur Tradisional Toraja
A. Letak Geografis, Topografis dan Administratif
Tana Toraja meruapakan nama salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Luasnya 3178
km2 terdiri atas 40% pegunungan dan 25% dataran tinggi. Terletak 350 km di Utara Kota
Makassar.
Populasi Suku Toraja sekitar 650.000 jiwa dengan 450.000 jiwa masih tinggal di Tana
Toraja.
Tana Toraja secara administrasi masuk dalam Kabupaten Toraja, terdiri dari 9
kecamatan dan 32 desa. Wilayah Tana Toraja terletak sekitar 350 Km di utara kota
Makassar, antara 2°40'-3°25' lintang selatan dan 119°30'-120°25' bujur timur. Di tengah-
tengah wilayah berbukit-bukit tersebut terdapat Sungai Sa’dang yang mengalir dari
utara ke selatan serta berpengaruh secara sosial, budaya dan ekonomi masyarakat
Toraja (Sumalyo, 2001).
Agama yang dianut masyarakat Tana Toraja sudah beragam. Sekitar 66% penduduk Tana
Toraja sudah menganut agama Kristen, 12% Roma Katolik, 7% Muslim, dan 16% Aluk
Todolo. Sistem kepercayaan Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme yang telah di
akui di Indonesia sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Agama ini dianggap sebagai
agama yang dibawa oleh nenek moyang masyarakat Toraja.
B. Sejarah Asal Suku Toraja
1) Berdasarkan Peta Geografis dan Migrasi Penduduk
Kembali ke masa prasejarah (kira-kira 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu)
penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus
Erectus beserta manusia Indonesia purba dengan kebudayaan batu tua atau
mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Homo Soloensis dan
sebagainya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam
beberapa gelombang.
Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari
teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dalam setiap perpindahan manusia
beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang
tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di
Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal
dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu
ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina
Selatan.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua
sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua
yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan
Bangsa Aria dan Mongol.
Orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju
dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat
menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka
dapat menetap secara lebih permanen. Pola menetap ini mengharuskan mereka
untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai
membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman
mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan
rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka
mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam
yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi
terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau,
melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan
pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang
dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian
menggantikan kebudayaan penduduk asli.
Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman.
Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku
Sakai, Kubu, dan Anak Dalam. Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja.
Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari
tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang
sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah
subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran. Wilayah yang sudah mulai
ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari
bangsa Melayu Tua.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya
percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih
dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan
mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-
orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan,
orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-
orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah
orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan
Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan
kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu
Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan
alat produksi.
Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang
tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena
kebudayaannya kalah maju dari bangsa
Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan
bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak,
Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Penjabaran ini
mungkin bisa menjawab pertanyaan beberapa kawan yang mengatakan bahwa
antara suku Toraja dan suku Batak masih ada hubungan kekerabatannya.
Dari sejarah singkat di atas, disimpulkan bahwa suku Toraja berasal dari
rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras
mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina
Selatan. Namun dari sumber lainnya disebutkan bahwa Teluk Tonkin, terletak antara
Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.
2) Sisi Sejarah Dan Budaya.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Tana Toraja dahulu bernama Tondok
Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Secara harafiah terminologi ini menggambarkan
sebuah negeri yang bulat sebagai simbol kesatuan, bulat bagaikan bulan dan
matahari. Secara filosofis diartikan sebagai sebuah negeri dimana bentuk
pemerintahan serta masyarakatnya merupakan suatu kesatuan bulat, utuh dan tak
terpisahkan. Ideologi pemersatu dan alat perekat sosio-kultural mereka, yakni
keyakinan pada Aluk Todolo. Warisan leluhur ini memuat nilai-nilai atau aturan yang
bersumber dari negeri Marinding Banua Puang yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa’
bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (aturan/agama 7777).
Para ahli sejarah dan ahli budaya telah menyatakan bahwa penduduk yang
pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo pada zaman
purba adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan yang diperkirakan
datang pada sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan perahu/sampan melalui
sungai- sungai yang besar, dan menuju ke pegunungan Sulawesi Selatan akhirnya
menempati daerah pegunungan termasuk Tana Toraja. Kedatangan mereka secara
berkelompok yang dalam sejarah Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia ) dan
menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu. Segera setelah itu,
mereka itu tak dapat lagi melanjutkan pelayaran karena air sungai deras dan
berbatu-batu. Karena itu, mereka lalu menambat perahu-perahunya di pinggir-
pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui oleh sungai. Kondisi
pemukiman awal yang menggunakan perahu seperti inilah mungkin yang menjadi
alasan mengapa dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal suatu
istilah yakni Banua di Toke‘ (Banua = rumah di Toke’ = digantung).
3) cerita rakyat
suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku
pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang
teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.
Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka
datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau
Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang
makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang
mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan
pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang
inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja
C. Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Toraja
Kehidupan social masyarakat Toraja tidak lepas dari pengaruh kelas sosial di dalamnya.
Pembagian kelas sosial ini memengaruhi berbagai aspek seperti harta kekayaan, utang
piutang, bahkan hingga perkawinan pun diatur sedemikian rupa dengan adanya
pembagian kelas sosial ini. Berikut ini adalah pembagian kelas sosial pada masyarakat
toraja.
1) Tana’ Bulaan : bangsawan tinggi yang mengatur aturan hidup dan agama
2) Tana’ Basii : bangsawan menengah sebagai pewaris yang bertugas mengatur
kepemimpinan dan mengajar kecerdasan
3) Tana’ Karurung : rakyat biasa yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung,
memiliki karunia sebagai tukang dan orang terampil
4) Tana’ Kua-kua : hamba yang mewarisi untuk menerima tanggung jawab sebagai
pengabdi/budak
Kelas sosial ini diturunkan oleh ibu, sehingga perkawinan seorang laki-laki dengan
wanita yang kelas sosialnya lebih rendah tidak diperbolehkan, dikhawatirkan terjadinya
penyebaran harta, tetapi dibolehkan apabila seorang laki-laki yang menikahi wanita
dengan status sosial satu tingkat lebih tinggi.
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa
adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai
nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh
(sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan
kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan
sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan
saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan
demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan
utang keluarga.
Sementara itu, mata pencaharian masyarakat toraja pada umumnya adalah bertani atau
bercocok tanam.
D. Adat dan Kebudayaan
Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara
dikenal dua macam pembagian yaitu Rambu Solok dan Rambu Tuka.
Rambu Solok merupakan upacara kedukaan, upacara kematian dan upacara adat
terbesar. Dalam upacara ini sering dilaksanakan dengan mengadakan adu ayam, kerbau
serta menyembelih binatang babi yang jumlahnya cukup besar. yang meiliputi 7
tahapan, yaitu :
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon
e. Todi Sangoloi
f. Di Silli
g. Todi Tanaan
Rambu Tuka merupakan upacara kegembiraan Acara yang berhungan dengan acara
syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat atau
tongkonan baru, atau selesai direnovasi. Dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau
Mangrara Banua Sura’’., yang juga meliputi 7 tahapan, yaitu :
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan
Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek
moyangnya maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini
terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu
Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan
dan cukup terkenal. Dalam upacara Rambu Solok, jenazah yang akan dikubur sudah di
simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di
makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di
makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah
seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua
dan menghadap ke luar.Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi
tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
E. Sistem Kepercayaan
Menurut L. I. Tangdilintin dalam Yulianto Sumalyo (2001), kepercayaan asli
masyarakat Toraja adalah Aluk Todolo yang artinya agama/aturan dari leluhur (aluk =
agama/aturan, todolo = nenek moyang).
Aluk Todolo menurut penganutnya diturunkan oleh Puang Matua atau Sang
Pencipta mulanya pada le-luhur pertama Datu La Ukku' yang kemudian menurunkan
ajarannya kepada anak cucunya. Oleh karena itu menurut kepercayaan ini, manusia
harus menyembah, memuja dan me-muliakan Puang Matua atau Sang Pencipta
diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap hidup dan ungkapan ritual antara lain berupa
sajian, persembahan maupun upacara-upacara.
Se-telah Puang Matua menurunkan Aluk kepada Datu La Ukku sebagai manusia
pertama, ke-mudian memberikan kekuasaan kepada para Deata atau Dewa untuk
menjaga dan me-melihara manusia. Oleh karena itu Deata di-sebut pula sebagai
Pemelihara yang menurut Aluk Todolo tidak tunggal tetapi di golongan menjadi tiga
yaitu: Deata Langi' (Sang Pe-melihara Langit menguasai seluruh isi langit dan cakrawala),
Deata Kapadanganna (Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua yang ada di bumi) dan
Deata Tangngana Padang (Sang Pemelihara Tanah, menguasai isi bumi). Masing-masing
golongan terdiri dari beberapa Deata yang menguasai bagian-bagian tertentu misalnya
gunung, sungai, hutan dan lain-lain. Selain kepada Deata dengan kekuasa-an
masingmasing Puang Mattua atau Sang Penguasa juga memberikan kepercayaan kepada
To Membali Puang atau Todolo (Leluhur) yang juga diwajibkan dipuja dan disembah
karena merekalah yang memberi berkah kepada para keturunannya. Pemujaan kepada
ketiga unsur yang masing-masing berupa kelompok Deata tersebut, oleh masyarakat
penganut Aluk Todolo diungkapkan dalam bentuk upacara-upacara ritual dengan
berbagai sajian, persembahan atau korban. Persembahan ini bermacam-macam bentuk,
tempat dan arahnya disesuai-kan dengan ketiga unsur tersebut di atas. Kepada Para
Deata atau Pemelihara, dipersembahkan babi atau ayam dengan mengambil tempat di
sebelah timur rumah Tongkonan dan untuk Tomembali Puang/Todolo atau Leluhur
sebagai pengawas manusia dipersembahkan babi atau ayam di sebelah barat
Tongkonan atau di tempat kuburan. Adanya kepercayaan terhadap para Dewa tersebut
terkait dengan pandangan masyarakat Toraja terhadap tata-ruang jagad raya atau
makrokosmos yang dipandang terdiri dari tiga unsur yaitu: langi' (sorga), lino atau
padang berarti bumi dan Deata to Kengkok atau Puang to Kebali'bi' (Dewa Berekor)
artinya bagian di bawah bumi.
Menurut Tangdilintin, skema kosmo-logi dari masyarakat Toraja digambarkan: Puang
Matua (Sang Pencipta) di Utara/atas/langit tiga kelompok Deata berada di Timur,
Tomembali Puang/Todolo di Barat dan bumi tempat kehidupan manusia di bawah. Jowa
Imre Kis-Jovak peneliti dari Belanda, membuat intepretasi kosmologi dari Aluk Todolo
dengan gambaran terlihat dalam gambar dibawah.
Ulluna Langi digolongkan ke dalam dunia atas, berada di titik Zenith atau puncak dari
bola langit. Permukaan bumi dipandang sebagai Dunia Tengah atau dalam bahasa Toraja
disebut Lino sering pula disebut Padang, terletak pada bidang potong tengah bola langi'
yang berarti langit. Dalam hal ini langit diartikan udara atau Puya tempat tinggal jiwa. Di
dunia tengah inilah terdapat kehidupan manusia termasuk di dalamnya tongkonan.
Menurut interpretasi Kis- Jovak dari hasil penelitian antropologisnya, dunia tengah
dalam hal ini terletak disebelah timur Gunung Bamba Puang dan pohon-pohon palem
sebagai pintu keluar-masuk para Dewa di sebelah barat. Dunia Bawah terdiri dari Pong
Tulak Padang dan roh-roh dalam tanah mendukung dunia tengah rumah dan kediaman
manusia di muka bumi. Menurut Kis-Jovak, di luar sistem bola langit di sebelah barat
terdapat Pongko', yang dalam mitos merupakan asal orang Toraja, dibatasi oleh tasik
atau laut dengan ketiga bagian dunia tersebut di atas. Cakrawala adalah keseluruhan
sebagai pembungkus dunia tengah dipandang sebagai palullungan yang artinya atap.
Dunia bawah dipikul oleh Tulakpadang artinya Ia yang memikul bumi dengan kepala dan
pohon-pohon palem di tangannya. Ia menjaga keseimbangan dan bermukim 12 tingkat
di bawah bumi. Meski-pun demikian, kadangkadang terjadi ketidak seimbangan karena
Indo' Ongan-ongan istrinya yang suka bertengkar, mengganggu hingga terjadi gempa
bumi. Dunia bawah dapat dicapai melalui lobang-lobang belahan dan jurang-jurang.
"Rongga-rongga" dalam perut bumi ini merupakan suatu ciptaan yang luar biasa,
mengagumkan dan ditakuti manusia.
Sungai Sa'dang dipandang oleh masyarakat Toraja mengalir dari utara ke selatan
melintas Tana Toraja, kemudian berbelok ke arah barat. Hal ini menunjukkan bahwa
arah air yang kebetulan dari utara ke selatan (tepatnya dari utara-timur ke arah selatan-
barat) menjadi arah penting dalam orientasi kehidupan. Hal tersebut dapat dianalisis
menurut logika bahwa air menjadi sumber kehidupan mengalir dari daa atau utara ke
arah lao' atau selatan merupakan unsur utama dalam menanam padi selain pula sangat
vital dalam kehidupan sehari-hari.
F. Arsitektur Toraja
1) Permukiman di Toraja
Menurut Jovak, dkk. (1988), permukiman tradisional Toraja memiliki 3 tipe, yaitu
permukiman yang berada di dataran tinggi (puncak bukit atau gunung), permukiman
yang berada di area yang terisolasi atau terpencil, dan permukiman yang berada di
dataran rendah.
Permukiman yang berada di dataran tinggi adalah permukiman yang umum dijumpai
di Toraja. Lokasi permukiman tradisional Toraja pada umumnya berada di tempat
ketinggian (puncak bukit atau gunung) dan sangat sulit untuk dijangkau. Rumah-
rumah dalam permukiman di bangun berdekatan karena area yang sangat terbatas.
Tongkonan dan lumbung yang merupakan elemen utama yang tidak dapat
dipisahkan dalam permukiman tradisional Toraja dibangun melintang bersusun dari
utara ke selatan menyesuaikan dengan keadaan kontur tanah. Permukiman di
kelilingi oleh pohon-pohon bambu yang sangat lebat, sehingga tidak terlihat dari
luar. Pohon-pohon bambu ini secara tidak langsung berfungsi sebagai benteng alami
bagi area permukiman. Selain karena faktor keamanan yaitu untuk melindungi diri
dari serangan musuh atau hewan liar, masyarakat toraja percaya bahwa semakin
tinggi letak pembangunan tongkonan maka semakin tinggi status atau derajat
mereka.
Permukiman tradisional Toraja di area yang terisolasi atau terpencil, biasanya
dibangun di atas tebing-tebing yang curam dan terjal. Sangat sulit untuk menjangkau
permukiman tersebut. Tebing-tebing yang curam dan terjal menjadi benteng alami
untuk melindungi Permukiman dari serangan musuh dan hewan liar. Area
permukiman dikelilingi oleh pagar kayu (biasanya ujung kayu sangat runcing).
Jumlah tongkonan dan alang tidak banyak dan dibangun dengan jarak yang
berdekatan.
Kendala terbesar dari permukiman yang berada di area dataran tinggi dan terisolasi
ini adalah, jauh dan sulitnya jalan menuju sawah dari lokasi permukiman. Hal ini
tentunya menyulitkan orang-orang yang memiliki sawah tersebut untuk mengawasi
dan mempertahankan sawah mereka dari musuh. Selain itu, mereka sulit untuk
mengurus hewan-hewan peliharaan. Hewan-hewan peliharan harus digiring dan
digembalakan ke lembah tempat padang berada, kemudian mereka harus
menggiring kembali hewan-hewan tersebut ke permukiman yang berada di dataran
yang lebih tinggi. Hal lain yang menyulitkan adalah cukup jauhnya lokasi mata air.
Lokasi mata air yang berada di lembah mengharuskan mereka naik turun mengambil
air untuk kebutuhan mereka sehari-hari, terutama untuk memasak.
Seperti permukiman yang berada di dataran tinggi, permukiman di dataran rendah
ini juga dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang lebat. Di sekeliling permukiman
juga terhampar sawah yang luas. Pemandangan ini menjadikan permukiman nampak
seperti pulau yang dikelilingi oleh penghijauan. Rumah-rumah di dalam permukiman
di bangun tidak serapat seperti pada Permukiman di dataran tinggi, karena
permukiman memiliki area yang lebih luas. Letak tongkonan dan lumbung dalam
permukiman ini memiliki pola berjajar atau memanjang mengikuti arah gerak
matahari dari timur ke barat.
2) Elemen-elemen dalam Permukiman Tradisional Toraja
Tongkonan
Dalam sebuah kelompok permukiman tidak selalu terdapat sebuah tongkonan.
Akan tetapi, sebuah kelompok permukiman selalu terkait pada sebuah
tongkonan yang menjadi sumber adat istiadatnya. Demikian pula bentuk rumah
penduduk tidak selalu mengikuti bentuk tongkonan, tetapi bentuk tongkonan
harus selalu megikuti ciri-ciri tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh
nenek moyang. Tongkonan dan rumah kediaman penduduk di sekitar tongkonan
selalu dibangun menghadap ke Utara.
Alang
Di hadapan tongkonan, dibangun berbanjar dari timur ke barat lumbung-
lumbung padi atau dalam bahasa Toraja di sebut Alang. Bentuk dasar lumbung
atau alang mirip dengan bentuk tongkonan, hanya memiliki ukuran lebih kecil.
Jumlah alang menandakan kesejahteraan/ kekayaan seseorang. Bagian bawah
atau kolong Alang dapat digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu.
Kandang
Salah satu elemen dalam permukiman tradisional adalah kandang. Tidak ada
aturan khusus dalam penempatan kandang bagi kerbau (Bala) atau babi
(Pangkung) dalam permukiman. Akan tetapi, kandang biasanya diletakkan pada
posisi yang mudah terlihat. Hal ini bertujuan agar kandang lebih mudah untuk
diawasi. Awalnya kolong tongkonan juga dapat berfungsi sebagai kandang babi
atau kerbau. Saat ini kerbau maupun babi dibuatkan kandang tersendiri terpisah
dan tidak di bawah atau kolong tongkonan lagi.
Uma
Lahan garapan yaitu sawah (uma) bagi orang Toraja, secara simbolik merupakan
hal yang paling penting dan sangat berharga dalam kehidupan orang-orang di
Toraja. Semakin banyak atau luas sawah yang dmiliki seseorang, maka semakin
tinggi pula status sosial orang tersebut di kalangan orang-orang di Toraja. Lokasi
sawah berada di lembah, sedangkan Permukiman tradisional Toraja pada
umumnya berada jauh di atas sebuah bukit atau gunung. Butuh waktu dan
tenaga ekstra untuk mencapai sawah. Selain itu, dengan kondisi seperti ini,
penduduk akan sangat sulit untuk mengawasi sawahnya.
Pa’lak
Kebun atau Pa’lak biasanya lokasinya tidak jauh dari lokasi permukiman atau
tongkonan. Bambu dan ketela merupakan tanaman yang paling banyak terdapat
di sekitar permukiman tradisional toraja. Kedua tanaman tersebut mempunyai
banyak manfaat bagi orang toraja. Pohon bambu yang banyak tumbuh subur di
hutan-hutan tongkonan banyak dimanfaatkan sebagai salah satu bahan
bangunan untuk rumah dan dijadikan wadah untuk minuman tuak. Sedangkan
ketela yang dalam bahasa toraja disebut Utan Bai banyak di tanam di kebun
Merupakan tanaman buat makanan babi.
Rante
Rante adalah dataran atau tempat untuk pelaksanaan upacara pemakaman dan
tempat penyembelihan hewan yang Merupakan salah satu ritual dalam upacara
pemakaman. Di area rante ini banyak terdapat batu-batu besar yang disebut
Menhir/ megalit, dalam bahasa Toraja disebut simbuang batu. Terkadang di
beberapa desa, rante dapat dijadikan tempat untuk pasar regular. Secara umum
lokasi rante berada di sebelah barat dari tongkonan yang merupakan pusat
permukiman tradisional.
Liang
Liang adalah kuburan yang berada di dinding tebing batu karang. Letak liang
biasanya tidak boleh dekat dengan permukiman masyarakat atau tongkonan. Hal
ini bertujuan agar mereka tidak bersedih jika melihat liang dari nenek moyang
atau keluarga yang telah meninggal. Lokasi liang sebelah barat dari lokasi
Permukiman.
Selain elemen-elemen yang telah disebutkan di atas, dalam permukiman
tradisional Toraja terdapat bangunan yang bergaya bugis (rumah panggung) dan
rumah melayu yang cenderung modern yang dibangun dan berada di sekitar areal
tongkonan. Tidak ada persyaratan khusus tentang arah dan bentuk bangunan untuk
rumah kediaman penduduk ini.
3) Tongkonan
Kata Tongkonan menurut Abdul Azis Said dalam Shandra Stephani (2009),
berasal dari kata Tongkon yang berarti 'tempat duduk', mendapat akhiran 'an' maka
menjadi Tongkonan yang artinya tempat duduk. Dahulu Tongkonan adalah pusat
pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan
dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa fungsi, antara
lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan pera-turan keluarga dan
kegotongroyongan, pusat dinami-sator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga
fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk duduk bersama, lebih luas
lagi meliputi segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-
upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa
Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang Toraja
sangat men"sakral"kan Tongkonan.
Pembagian alam raya berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo kemudian menjadi
konsep dasar terwujudnya bentukan rumah Tongkonan baik itu skala horizontal
maupun skala vertikal.
Struktur vertikal Tongkonan
Keterangan gambar:
a) Atap dan bagian muka, terutama bagian ber-bentuk segitiga dari dinding
muka dinamakan sondong para atau lido puang (wajah dari dewa-dewa),
melambangkan Dunia Atas
b) Dunia Tengah, dunia dari manusia; bagian muka sebelah utara paling
berhubungan dengan “bagian dari matahari terbit‟ (untuk upacara di bagian
timur)
c) Dunia bawah: Sama seperti Pong Tulak Padang memegang dunia di atas, jadi
rumah disangga dengan jiwa yang tinggal dalam Bumi (menurut beberapa
orang Toraja, Tulak Padang sendiri yang menyangga rumah)
d) Lubang, yang dibuka pada bagian dalam atap untuk upacara-upacara dari
sebelah timur.
ATAP TONGKONAN
Atap Tongkonan terbuat dari Bambu yang dipilah menjadi 2 dan disusun
saling tumpang tindih. Dari segi konstruksi bentuk me-lengkung hiperbolik
lebih menguntungkan karena konstruksi atap pada bagian punggung
semuanya menerima gaya tarik yang sesuai dengan kekuatan bahan
bangunan yaitu dari kayu dan bambu. Perbanding-an antara panjang longa
dan badan tongkonan lebih kurang 1 : 1,4. Material yang digunakan sebagai
penutupp atap adalah rumbia.
Teori Evolusi Atap Tongkonan
1. Banua lentong a’pa’, (bentuk awal).
2. Banua tamben (perkembangan II).
3. Banua di sanda a’riri (perkembangan III).
4. Tongkonan berpunggung atap melengkung dalam.
Makna simbolik atap tongkonan :
1. Bentuk atap dikonotasikan sebagai metafora bentuk yang mirip ‘perahu’
atau ‘tanduk kerbau’
2. Bagian yang dianggap suci, bersih dan terhormat
3. Dunia atas: Langi’ (langit), tempat Puang Matua
BAGIAN BADAN TONGKONAN (KALE BANUA)
Merupakan wadah untuk kegiatan fungsional praktis penghuni (Tidur, masak,
makan). Material pada Kale Banua adalah sebagai berikut.
Lantai: papan kayu uru dan kayu banga (Alang)
Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau kayu
kecapi. Sedangkan dinding pengisinya menggunakan kayu enau.
Dinding: pada Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan
sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan
Sambo Rinding.
Makna simbolik :
Wadah manusia menciptakan keharmonisan
Tempat persilangan 4 arah mata angina dan pertemuan dunia atas dan
dunia bawah
Dunia Tengah : Lino (bumi)
SULLUK BANUA (KOLONG)
Terbentuk antara tiang-tiang dari kayu dengan sulur (roroan) yang mengikat
tiang satu sama lain. Kolong ini Terdiri atas Pondasi, Kolom, Balok dan
Tangga. Material yang digunakan adalah sebagai berikut.
Pondasi : batuan gunung tanpa pengikat antara tanah, kolom dan
pondasi itu sendiri.
Kolom/tiang (a’riri): kayu uru persegi empat untuk tongkonan, sedangkan
alang menggunakan kayu nibung bulat untuk mencegah masuknya tikus.
Balok: kayu uru.
Tangga : kayu uru.
Makna simbolik :
Bagian terendah yang dianggap kotor
Tempat untuk hewan, air, sungai, tanaman yang dimanfaatkan manusia
untuk kahidupan
Tempat Pong Tulak Padang yang memberi spirit pada Tongkonan
PENATAAN RUANG/ Struktur Horizontal Tongkonan
Rumah bagi masyarakat Toraja adalah cerminan penghayatan religi, sebagai bentuk
pemahaman sederhana terhadap alam semesta (Dewi, 2003). Bentukan geometris
ruang selalu dikaitkan dengan fenomena alam. Konsep hirarki rumah Toraja (banua)
terdiri dari tiga bagian berdasarkan hirarkinya, yakni bagian atas, bagian tengah dan
bagian bawah.
1) Bagian atas, loteng (langi) merupakan dunia/alam atas yang melambangkan
sorga dan dianggap paling sakral;
2) Ruang tengah merupakan ruang dunia kehidupan manusia (padang);
3) Ruang bawah rumah/kolong merupakan dunia bawah, tempat kehidupan
makhluk setan;
4) Kaki bangunan paling bawah akan ditopang pada kepala dewa Pong Tulak
Padang;
5) Sementara dewa tertinggi, Puang Matua, bertempat di alam sorga teratas
(ulunna langi) dan ini disimbolkan dengan matahari dan pergerakannya;
6) Rumah bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di kaki rumah yang tidak
difungsikan, disimbolkan sebagai riri posi atau tempat tali pusar;
7) Pada badan rumah terdapat ruang yang menjadi orientasi (axis mundi), atau
disimbolkan sebagai pusat alam semesta (petuo), dalam satu sumbu vertikal
dengan ruang di atasnya. Ruang di bawah rumah (kaki panggung) dianggap
sebagai ruang yang sangat berbahaya, terdapat kekuatan yang dapat
mengganggu kehidupan manusia;
8) Padi dan air sebagai sumber kehidupan terdapat di sebelah utara rumah;
9) Tapak rumah akan dibangun mengikuti aliran sungai Sa’dan. Aliran sungai dari
arah utara ke selatan juga merupakan salah satu sumbu orientasi perumahan
suku Toraja pada umumnya, selain juga mengikuti orientasi timur-barat sesuai
lintasan pergerakan matahari;
10) Laut terdapat di bagian selatan dengan latar belakang Pulau Pongko, asal nenek
moyang masyarakat Toraja sebelumnya;
11) Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan;
12) berdekatan dengan gunung Bamba Puang yang legendaris itu;
13) Kuburan bagi para bangsawan diposisikan lebih tinggi daripada kuburan
masyarakat biasa. Kuburan ini dikelilingi oleh pohon kelapa untuk membantu
para roh mencapai alam atas.
Rumah suku Toraja diletakkan sesuai orientasi utara-selatan.
14) Bagian rumah yang dianggap paling sakral adalah bagian loteng paling utara
(lindo puang), sebagai pengejawantahan wajah pemilik rumah itu, sekaligus juga
pintu masuk para dewa ke dalam rumah. Pada sisi rumah sebelah selatan dan sisi
lainnya disimbolkan sebagai kematian, seperti juga sisi barat, tempat matahari
terbenam;
15) Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah dengan kepala di selatan,
melambangkan pulau kematian yang berada di sebelah selatan. Kondisi ini hanya
dilakukan pada saat upacara menjelang pemakaman. Jenasah kemudian
diposisikan di timur-barat, dan diperlakukan seolah jenasah itu masih hidup;
16) Upacara ini merupakan upacara terpenting, akhirnya jenasah dikeluarkan melalui
pintu yang terletak di sisi barat rumah. Sisi selatan dan sisi barat juga
dilambangkan sebagai tempat leluhur dan tempat peninggalan benda-benda
pusaka;
17) Ada juga yang meletakkannya di sudut tenggara ruangan;
18) Sebelah timur rumah merupakan tempat aktivitas para penghuni, dilambangkan
sebagai jantung.
Menurut Azis Said dalam Shandra Stephani (2009), rumah Tongkonan terdiri atas
ruang-ruang yang berjejer dari utara ke selatan dan berbentuk persegi panjang.
Ruang pada bagian badan Tongkonan terbagi atas tiga bagian, yaitu:
Ruang bagian depan (Tangdo‟) disebut kale banua menghadap bagian utara.
Tempat penyajian kur-ban pada upacara persembahan dan pemujaan kepada
Puang Matua.
Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas
bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu Solo’
dan bagian kanan (timur) tempat sajian kurban persembahan dalam upacara
Aluk Rambu Tuka’.
Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah) berada dibagian
selatan, tempat masuknya penyakit.
Selain itu, pola penataan ruangnya berdasarkan pada pembagian keempat titik
mata-angin seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.
Penataan ruang disusun sedemikian rupa untuk mempermudah pelaksanaan
ritual di dalam tongkonan yang terletak pada tata letak penyajian hidangan yang
mengikuti arah Timur-Barat menurut kepercayaan Aluk Todolo. Pada upacara rambu
tuka’, sajiannya dihidangkan di bagian timur sedangkan untuk upacara rambu solo’,
sajiannya dihidangkan di bagian Barat dalam Tongkonan.
Berikut penjabaran dari perwujudan kepercayaan Aluk Todolo pada tiap ruang
dalam dari Tongkonan, yaitu Bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat:
Bagian Utara Tongkonan disebut Ulunna lino (kepala dunia) atau lindo puang
(wajah raja-raja). Bagian ini dikonotasikan sebagai kepala, bagian depan, atasan,
bagian yang dihormati, dan dianggap sebagai tempat suci tempat
bersemayamnya Puang Matua sekaligus sebagai tempat dewa memasuki rumah.
Areal ini terletak pada bagian depan Tongkonan dan dalam pelaksanaan ritual
berfungsi untuk upacara persembahan dan pemu-jaan kepada Puang Matua.
Bagian Selatan disebut pollo ‘na lino (ekor dunia) dikonotasikan sebagai kaki,
bawahan, ekor, pengikut dan tempat kotor. Di selatan bagi masyarakat Toraja,
terdapat alam Puya tempat roh-roh orang yang telah meninggal dan dijaga oleh
Pong Lalondong. Bagian ini digunakan sebagai tempat ruang tidur bagi anggota
keluarga yang mana posisi kepala menurut kepercayaan mereka harus
menghadap ke utara untuk memperoleh berkah dari Puang Matua agar
terhindar dari segala jenis penyakit.
Bagian Timur tempat terbitnya matahari, rampe mata allo (rampe=sisi;
allo=matahari) dikonotasikan sebagai “kehidupan‟, mewakili kebahagiaan,
terang, kesukaan, dan kegiatan yang menunjang kehidupan-tempat perapian
diletakkan. Fungsi religiusnya sebagai areal pelaksanaan ritual Aluk Rambu Tuka’,
tempat pemujaan Deata-deata (penguasa dan pemelihara bumi) dan terletak
pada sisi kanan ruang dalam Tongkonan.
Bagian Barat tempat terbenamnya matahari (rampe matampua), merujuk pada
“kematian‟ dan mewakili unsur gelap, kedukaan, dan semua hal yang
mendatangkan kesusahan. Bagian barat ruang ini secara religius berfungsi
sebagai tempat membaringkan tubuh mayat dengan kepala menghadap ke
selatan tempat alam Puya berada dan tempat upacara pertama orang mati yang
dilakukan dalam Tongkonan. Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat pemujaan
Tomembali Puang (arwah para leluhur yang telah menjadi dewa atau biasanya
disebut todolo) dalam pelaksanaan ritual Aluk Rambu Solo’ dan terletak pada sisi
kiri ruang dalam Tongkonan. Bagian Timur dan Barat terletak pada sisi kanan dan
kiri dari ruang tengah. Pembagian antara bagian kanan dan kiri ditandai dengan
pata’ (kayu melintang dari ruang depan ke belakang dan membagi badan rumah
secara simetris yang terdapat pada lantai).
ORNAMEN
Ornamen dalam bahasa Toraja disebut passuraq, yang berasal dari akar kata suraq
sinonim dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran (Anwar
Thosibo, 2011). Etnis Toraja menggambar passuraq sama seperti bentuk aslinya
(einmalig) yang memiliki artikulasi. Artikulasi passuraq ternyata identik dengan
tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana Jepang
tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang di dalam obyek
gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis.
Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu yang
dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang masih berlangsung,
sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi gambar passuraq berguna untuk
menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq
merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja,
karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat
kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi passuraq - sebagai seorang
perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang
dilihat dan dialami dalam dunia imajinasinya.
Menurut Kornelius Kadang dalam Anwar Thosibo (2011) menyatakan bahwa
terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan, yang
masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif hanya
dikhususkan untuk Tongkonan. etnis Toraja mengklasifikasi gambar passuraq ke
dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.
Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai
pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja. Kedua dinamakan Passuraq
Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak
berkeluarga sampai kakek nenek. Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu
penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi. Keempat dinamakan
Passuraq Pakbarean, dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam
kehidupan yang berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan
kesenangan pada masa kanak-kanak.
Contoh Ukiran/ Passurak Toraja (Wegymantung, 2009)
Pa’tedong (ukiran kepala kerbau)
Melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Pa’Barre Alo (ukiran matahari)
Melambangkan kebesaran dan kebanggaan bagi orang Toraja.
NE’LIMBONGAN (Danau)
Tekad mendapat rejeki dari 4 penjuru mata angin yang menyatu di danau
PA’ULU KARUA
Harapan muncul orang berilmu dalam keluarga
PA’BULU LODONG (Rumbai ayam jago)
Keperkasaan dan kearifan
PADAUN PERIA
(Kuncup bunga peria)
Larangan berzina dan menjaga kesucian seperti kuncup bunga peria
PA’BAMBO UAI
(Binatang air yang berenang)
Manusia harus cepat dan tepat dlm bekerja dengan hasil berlipat
2) Arsitektur Tradisional Batak