40
Arsitektur Tradisional di Indonesia Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki keberagaman dan kekhasan pada kebudayaannya. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya suku adat di Indonesia. Tiap suku memiliki satu sistem kepercayaan yang kuat terhadap alam atau yang dikenal dengan sistem kosmologis. Dengan menempatkan kehidupan manusia sebagai pusat kendali alam, sistem kepercayaan masing-masing suku menjadi tonggak utama mereka dalam menjalani kehidupan. Perwujudan sistem kosmologis diterapkan dalam bentuk Bangunan Adat. Pembahasan mengenai arsitektur tradisional di Indonesia akan difokuskan pada arsitektur tradisional Toraja (Indonesia bagian Timur) dan arsitektur tradisioal Batak (Indonesia Bagian Barat) 1) Arsitektur Tradisional Toraja A. Letak Geografis, Topografis dan Administratif Tana Toraja meruapakan nama salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Luasnya 3178 km2 terdiri atas 40% pegunungan dan 25% dataran tinggi. Terletak 350 km di Utara Kota Makassar.

Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Citation preview

Page 1: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Arsitektur Tradisional di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki keberagaman dan kekhasan pada

kebudayaannya. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya suku adat di Indonesia. Tiap suku memiliki

satu sistem kepercayaan yang kuat terhadap alam atau yang dikenal dengan sistem kosmologis.

Dengan menempatkan kehidupan manusia sebagai pusat kendali alam, sistem kepercayaan

masing-masing suku menjadi tonggak utama mereka dalam menjalani kehidupan. Perwujudan

sistem kosmologis diterapkan dalam bentuk Bangunan Adat.

Pembahasan mengenai arsitektur tradisional di Indonesia akan difokuskan pada

arsitektur tradisional Toraja (Indonesia bagian Timur) dan arsitektur tradisioal Batak (Indonesia

Bagian Barat)

1) Arsitektur Tradisional Toraja

A. Letak Geografis, Topografis dan Administratif

Tana Toraja meruapakan nama salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Luasnya 3178

km2 terdiri atas 40% pegunungan dan 25% dataran tinggi. Terletak 350 km di Utara Kota

Makassar.

Populasi Suku Toraja sekitar 650.000 jiwa dengan 450.000 jiwa masih tinggal di Tana

Toraja.

Tana Toraja secara administrasi masuk dalam Kabupaten Toraja, terdiri dari 9

kecamatan dan 32 desa. Wilayah Tana Toraja terletak sekitar 350 Km di utara kota

Page 2: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Makassar, antara 2°40'-3°25' lintang selatan dan 119°30'-120°25' bujur timur. Di tengah-

tengah wilayah berbukit-bukit tersebut terdapat Sungai Sa’dang yang mengalir dari

utara ke selatan serta berpengaruh secara sosial, budaya dan ekonomi masyarakat

Toraja (Sumalyo, 2001).

Agama yang dianut masyarakat Tana Toraja sudah beragam. Sekitar 66% penduduk Tana

Toraja sudah menganut agama Kristen, 12% Roma Katolik, 7% Muslim, dan 16% Aluk

Todolo. Sistem kepercayaan Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme yang telah di

akui di Indonesia sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Agama ini dianggap sebagai

agama yang dibawa oleh nenek moyang masyarakat Toraja.

B. Sejarah Asal Suku Toraja

1) Berdasarkan Peta Geografis dan Migrasi Penduduk

Kembali ke masa prasejarah (kira-kira 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu)

penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus

Erectus beserta manusia Indonesia purba dengan kebudayaan batu tua atau

mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Homo Soloensis dan

sebagainya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam

beberapa gelombang.

Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari

teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dalam setiap perpindahan manusia

beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang

tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di

Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal

dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu

ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina

Selatan.

Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua

sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua

Page 3: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan

Bangsa Aria dan Mongol.

Orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju

dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat

menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka

dapat menetap secara lebih permanen. Pola menetap ini mengharuskan mereka

untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai

membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman

mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan

rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka

mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam

yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi

terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau,

melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan

pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang

dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian

menggantikan kebudayaan penduduk asli.

Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman.

Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku

Sakai, Kubu, dan Anak Dalam. Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja.

Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari

tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang

sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah

subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran. Wilayah yang sudah mulai

ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari

bangsa Melayu Tua.

Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya

percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih

Page 4: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan

mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-

orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan,

orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-

orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.

Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah

orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan

Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan

kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu

Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan

alat produksi.

Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang

tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena

kebudayaannya kalah maju dari bangsa

Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan

bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak,

Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Penjabaran ini

mungkin bisa menjawab pertanyaan beberapa kawan yang mengatakan bahwa

antara suku Toraja dan suku Batak masih ada hubungan kekerabatannya.

Dari sejarah singkat di atas, disimpulkan bahwa suku Toraja berasal dari

rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras

mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina

Selatan. Namun dari sumber lainnya disebutkan bahwa Teluk Tonkin, terletak antara

Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.

Page 5: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

2) Sisi Sejarah Dan Budaya.

Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Tana Toraja dahulu bernama Tondok

Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Secara harafiah terminologi ini menggambarkan

sebuah negeri yang bulat sebagai simbol kesatuan, bulat bagaikan bulan dan

matahari. Secara filosofis diartikan sebagai sebuah negeri dimana bentuk

pemerintahan serta masyarakatnya merupakan suatu kesatuan bulat, utuh dan tak

terpisahkan. Ideologi pemersatu dan alat perekat sosio-kultural mereka, yakni

keyakinan pada Aluk Todolo. Warisan leluhur ini memuat nilai-nilai atau aturan yang

bersumber dari negeri Marinding Banua Puang yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa’

bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (aturan/agama 7777).

Para ahli sejarah dan ahli budaya telah menyatakan bahwa penduduk yang

pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo pada zaman

purba adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan yang diperkirakan

datang pada sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan perahu/sampan melalui

sungai- sungai yang besar, dan menuju ke pegunungan Sulawesi Selatan akhirnya

menempati daerah pegunungan termasuk Tana Toraja. Kedatangan mereka secara

berkelompok yang dalam sejarah Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia ) dan

menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu. Segera setelah itu,

mereka itu tak dapat lagi melanjutkan pelayaran karena air sungai deras dan

berbatu-batu. Karena itu, mereka lalu menambat perahu-perahunya di pinggir-

pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui oleh sungai. Kondisi

pemukiman awal yang menggunakan perahu seperti inilah mungkin yang menjadi

alasan mengapa dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal suatu

istilah yakni Banua di Toke‘ (Banua = rumah di Toke’ = digantung).

3) cerita rakyat

suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku

pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang

teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.

Page 6: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka

datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau

Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang

makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang

mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan

pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang

inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja

C. Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Toraja

Kehidupan social masyarakat Toraja tidak lepas dari pengaruh kelas sosial di dalamnya.

Pembagian kelas sosial ini memengaruhi berbagai aspek seperti harta kekayaan, utang

piutang, bahkan hingga perkawinan pun diatur sedemikian rupa dengan adanya

pembagian kelas sosial ini. Berikut ini adalah pembagian kelas sosial pada masyarakat

toraja.

1) Tana’ Bulaan : bangsawan tinggi yang mengatur aturan hidup dan agama

2) Tana’ Basii : bangsawan menengah sebagai pewaris yang bertugas mengatur

kepemimpinan dan mengajar kecerdasan

3) Tana’ Karurung : rakyat biasa yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung,

memiliki karunia sebagai tukang dan orang terampil

4) Tana’ Kua-kua : hamba yang mewarisi untuk menerima tanggung jawab sebagai

pengabdi/budak

Kelas sosial ini diturunkan oleh ibu, sehingga perkawinan seorang laki-laki dengan

wanita yang kelas sosialnya lebih rendah tidak diperbolehkan, dikhawatirkan terjadinya

penyebaran harta, tetapi dibolehkan apabila seorang laki-laki yang menikahi wanita

dengan status sosial satu tingkat lebih tinggi.

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa

adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai

nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh

Page 7: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

(sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan

kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan

sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.

Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa

keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan

saling membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan

demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan

utang keluarga.

Sementara itu, mata pencaharian masyarakat toraja pada umumnya adalah bertani atau

bercocok tanam.

D. Adat dan Kebudayaan

Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara

dikenal dua macam pembagian yaitu Rambu Solok dan Rambu Tuka.

Rambu Solok merupakan upacara kedukaan, upacara kematian dan upacara adat

terbesar. Dalam upacara ini sering dilaksanakan dengan mengadakan adu ayam, kerbau

serta menyembelih binatang babi yang jumlahnya cukup besar. yang meiliputi 7

tahapan, yaitu :

a. Rapasan

b. Barata Kendek

c. Todi Balang

d. Todi Rondon

e. Todi Sangoloi

f. Di Silli

g. Todi Tanaan

Rambu Tuka merupakan upacara kegembiraan Acara yang berhungan dengan acara

syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat atau

Page 8: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

tongkonan baru, atau selesai direnovasi. Dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau

Mangrara Banua Sura’’., yang juga meliputi 7 tahapan, yaitu :

a. Tananan Bua’

b. Tokonan Tedong

c. Batemanurun

d. Surasan Tallang

e. Remesan Para

f. Tangkean Suru

g. Kapuran Pangugan

Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek

moyangnya maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini

terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu

Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan

dan cukup terkenal. Dalam upacara Rambu Solok, jenazah yang akan dikubur sudah di

simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di

makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di

makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar

beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah

seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua

dan menghadap ke luar.Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi

tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan

membuat petinya terjatuh.

E. Sistem Kepercayaan

Menurut L. I. Tangdilintin dalam Yulianto Sumalyo (2001), kepercayaan asli

masyarakat Toraja adalah Aluk Todolo yang artinya agama/aturan dari leluhur (aluk =

agama/aturan, todolo = nenek moyang).

Page 9: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Aluk Todolo menurut penganutnya diturunkan oleh Puang Matua atau Sang

Pencipta mulanya pada le-luhur pertama Datu La Ukku' yang kemudian menurunkan

ajarannya kepada anak cucunya. Oleh karena itu menurut kepercayaan ini, manusia

harus menyembah, memuja dan me-muliakan Puang Matua atau Sang Pencipta

diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap hidup dan ungkapan ritual antara lain berupa

sajian, persembahan maupun upacara-upacara.

Se-telah Puang Matua menurunkan Aluk kepada Datu La Ukku sebagai manusia

pertama, ke-mudian memberikan kekuasaan kepada para Deata atau Dewa untuk

menjaga dan me-melihara manusia. Oleh karena itu Deata di-sebut pula sebagai

Pemelihara yang menurut Aluk Todolo tidak tunggal tetapi di golongan menjadi tiga

yaitu: Deata Langi' (Sang Pe-melihara Langit menguasai seluruh isi langit dan cakrawala),

Deata Kapadanganna (Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua yang ada di bumi) dan

Deata Tangngana Padang (Sang Pemelihara Tanah, menguasai isi bumi). Masing-masing

golongan terdiri dari beberapa Deata yang menguasai bagian-bagian tertentu misalnya

gunung, sungai, hutan dan lain-lain. Selain kepada Deata dengan kekuasa-an

masingmasing Puang Mattua atau Sang Penguasa juga memberikan kepercayaan kepada

To Membali Puang atau Todolo (Leluhur) yang juga diwajibkan dipuja dan disembah

karena merekalah yang memberi berkah kepada para keturunannya. Pemujaan kepada

ketiga unsur yang masing-masing berupa kelompok Deata tersebut, oleh masyarakat

penganut Aluk Todolo diungkapkan dalam bentuk upacara-upacara ritual dengan

berbagai sajian, persembahan atau korban. Persembahan ini bermacam-macam bentuk,

tempat dan arahnya disesuai-kan dengan ketiga unsur tersebut di atas. Kepada Para

Deata atau Pemelihara, dipersembahkan babi atau ayam dengan mengambil tempat di

sebelah timur rumah Tongkonan dan untuk Tomembali Puang/Todolo atau Leluhur

sebagai pengawas manusia dipersembahkan babi atau ayam di sebelah barat

Tongkonan atau di tempat kuburan. Adanya kepercayaan terhadap para Dewa tersebut

terkait dengan pandangan masyarakat Toraja terhadap tata-ruang jagad raya atau

makrokosmos yang dipandang terdiri dari tiga unsur yaitu: langi' (sorga), lino atau

Page 10: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

padang berarti bumi dan Deata to Kengkok atau Puang to Kebali'bi' (Dewa Berekor)

artinya bagian di bawah bumi.

Menurut Tangdilintin, skema kosmo-logi dari masyarakat Toraja digambarkan: Puang

Matua (Sang Pencipta) di Utara/atas/langit tiga kelompok Deata berada di Timur,

Tomembali Puang/Todolo di Barat dan bumi tempat kehidupan manusia di bawah. Jowa

Imre Kis-Jovak peneliti dari Belanda, membuat intepretasi kosmologi dari Aluk Todolo

dengan gambaran terlihat dalam gambar dibawah.

Ulluna Langi digolongkan ke dalam dunia atas, berada di titik Zenith atau puncak dari

bola langit. Permukaan bumi dipandang sebagai Dunia Tengah atau dalam bahasa Toraja

disebut Lino sering pula disebut Padang, terletak pada bidang potong tengah bola langi'

yang berarti langit. Dalam hal ini langit diartikan udara atau Puya tempat tinggal jiwa. Di

dunia tengah inilah terdapat kehidupan manusia termasuk di dalamnya tongkonan.

Menurut interpretasi Kis- Jovak dari hasil penelitian antropologisnya, dunia tengah

dalam hal ini terletak disebelah timur Gunung Bamba Puang dan pohon-pohon palem

sebagai pintu keluar-masuk para Dewa di sebelah barat. Dunia Bawah terdiri dari Pong

Tulak Padang dan roh-roh dalam tanah mendukung dunia tengah rumah dan kediaman

Page 11: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

manusia di muka bumi. Menurut Kis-Jovak, di luar sistem bola langit di sebelah barat

terdapat Pongko', yang dalam mitos merupakan asal orang Toraja, dibatasi oleh tasik

atau laut dengan ketiga bagian dunia tersebut di atas. Cakrawala adalah keseluruhan

sebagai pembungkus dunia tengah dipandang sebagai palullungan yang artinya atap.

Dunia bawah dipikul oleh Tulakpadang artinya Ia yang memikul bumi dengan kepala dan

pohon-pohon palem di tangannya. Ia menjaga keseimbangan dan bermukim 12 tingkat

di bawah bumi. Meski-pun demikian, kadangkadang terjadi ketidak seimbangan karena

Indo' Ongan-ongan istrinya yang suka bertengkar, mengganggu hingga terjadi gempa

bumi. Dunia bawah dapat dicapai melalui lobang-lobang belahan dan jurang-jurang.

"Rongga-rongga" dalam perut bumi ini merupakan suatu ciptaan yang luar biasa,

mengagumkan dan ditakuti manusia.

Sungai Sa'dang dipandang oleh masyarakat Toraja mengalir dari utara ke selatan

melintas Tana Toraja, kemudian berbelok ke arah barat. Hal ini menunjukkan bahwa

arah air yang kebetulan dari utara ke selatan (tepatnya dari utara-timur ke arah selatan-

barat) menjadi arah penting dalam orientasi kehidupan. Hal tersebut dapat dianalisis

menurut logika bahwa air menjadi sumber kehidupan mengalir dari daa atau utara ke

arah lao' atau selatan merupakan unsur utama dalam menanam padi selain pula sangat

vital dalam kehidupan sehari-hari.

F. Arsitektur Toraja

1) Permukiman di Toraja

Menurut Jovak, dkk. (1988), permukiman tradisional Toraja memiliki 3 tipe, yaitu

permukiman yang berada di dataran tinggi (puncak bukit atau gunung), permukiman

yang berada di area yang terisolasi atau terpencil, dan permukiman yang berada di

dataran rendah.

Permukiman yang berada di dataran tinggi adalah permukiman yang umum dijumpai

di Toraja. Lokasi permukiman tradisional Toraja pada umumnya berada di tempat

ketinggian (puncak bukit atau gunung) dan sangat sulit untuk dijangkau. Rumah-

rumah dalam permukiman di bangun berdekatan karena area yang sangat terbatas.

Page 12: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Tongkonan dan lumbung yang merupakan elemen utama yang tidak dapat

dipisahkan dalam permukiman tradisional Toraja dibangun melintang bersusun dari

utara ke selatan menyesuaikan dengan keadaan kontur tanah. Permukiman di

kelilingi oleh pohon-pohon bambu yang sangat lebat, sehingga tidak terlihat dari

luar. Pohon-pohon bambu ini secara tidak langsung berfungsi sebagai benteng alami

bagi area permukiman. Selain karena faktor keamanan yaitu untuk melindungi diri

dari serangan musuh atau hewan liar, masyarakat toraja percaya bahwa semakin

tinggi letak pembangunan tongkonan maka semakin tinggi status atau derajat

mereka.

Permukiman tradisional Toraja di area yang terisolasi atau terpencil, biasanya

dibangun di atas tebing-tebing yang curam dan terjal. Sangat sulit untuk menjangkau

permukiman tersebut. Tebing-tebing yang curam dan terjal menjadi benteng alami

untuk melindungi Permukiman dari serangan musuh dan hewan liar. Area

permukiman dikelilingi oleh pagar kayu (biasanya ujung kayu sangat runcing).

Jumlah tongkonan dan alang tidak banyak dan dibangun dengan jarak yang

berdekatan.

Kendala terbesar dari permukiman yang berada di area dataran tinggi dan terisolasi

ini adalah, jauh dan sulitnya jalan menuju sawah dari lokasi permukiman. Hal ini

tentunya menyulitkan orang-orang yang memiliki sawah tersebut untuk mengawasi

dan mempertahankan sawah mereka dari musuh. Selain itu, mereka sulit untuk

mengurus hewan-hewan peliharaan. Hewan-hewan peliharan harus digiring dan

digembalakan ke lembah tempat padang berada, kemudian mereka harus

menggiring kembali hewan-hewan tersebut ke permukiman yang berada di dataran

yang lebih tinggi. Hal lain yang menyulitkan adalah cukup jauhnya lokasi mata air.

Lokasi mata air yang berada di lembah mengharuskan mereka naik turun mengambil

air untuk kebutuhan mereka sehari-hari, terutama untuk memasak.

Page 13: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Seperti permukiman yang berada di dataran tinggi, permukiman di dataran rendah

ini juga dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang lebat. Di sekeliling permukiman

juga terhampar sawah yang luas. Pemandangan ini menjadikan permukiman nampak

seperti pulau yang dikelilingi oleh penghijauan. Rumah-rumah di dalam permukiman

di bangun tidak serapat seperti pada Permukiman di dataran tinggi, karena

permukiman memiliki area yang lebih luas. Letak tongkonan dan lumbung dalam

permukiman ini memiliki pola berjajar atau memanjang mengikuti arah gerak

matahari dari timur ke barat.

2) Elemen-elemen dalam Permukiman Tradisional Toraja

Tongkonan

Dalam sebuah kelompok permukiman tidak selalu terdapat sebuah tongkonan.

Akan tetapi, sebuah kelompok permukiman selalu terkait pada sebuah

tongkonan yang menjadi sumber adat istiadatnya. Demikian pula bentuk rumah

penduduk tidak selalu mengikuti bentuk tongkonan, tetapi bentuk tongkonan

harus selalu megikuti ciri-ciri tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh

nenek moyang. Tongkonan dan rumah kediaman penduduk di sekitar tongkonan

selalu dibangun menghadap ke Utara.

Alang

Di hadapan tongkonan, dibangun berbanjar dari timur ke barat lumbung-

lumbung padi atau dalam bahasa Toraja di sebut Alang. Bentuk dasar lumbung

atau alang mirip dengan bentuk tongkonan, hanya memiliki ukuran lebih kecil.

Jumlah alang menandakan kesejahteraan/ kekayaan seseorang. Bagian bawah

atau kolong Alang dapat digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu.

Kandang

Salah satu elemen dalam permukiman tradisional adalah kandang. Tidak ada

aturan khusus dalam penempatan kandang bagi kerbau (Bala) atau babi

Page 14: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

(Pangkung) dalam permukiman. Akan tetapi, kandang biasanya diletakkan pada

posisi yang mudah terlihat. Hal ini bertujuan agar kandang lebih mudah untuk

diawasi. Awalnya kolong tongkonan juga dapat berfungsi sebagai kandang babi

atau kerbau. Saat ini kerbau maupun babi dibuatkan kandang tersendiri terpisah

dan tidak di bawah atau kolong tongkonan lagi.

Uma

Lahan garapan yaitu sawah (uma) bagi orang Toraja, secara simbolik merupakan

hal yang paling penting dan sangat berharga dalam kehidupan orang-orang di

Toraja. Semakin banyak atau luas sawah yang dmiliki seseorang, maka semakin

tinggi pula status sosial orang tersebut di kalangan orang-orang di Toraja. Lokasi

sawah berada di lembah, sedangkan Permukiman tradisional Toraja pada

umumnya berada jauh di atas sebuah bukit atau gunung. Butuh waktu dan

tenaga ekstra untuk mencapai sawah. Selain itu, dengan kondisi seperti ini,

penduduk akan sangat sulit untuk mengawasi sawahnya.

Pa’lak

Kebun atau Pa’lak biasanya lokasinya tidak jauh dari lokasi permukiman atau

tongkonan. Bambu dan ketela merupakan tanaman yang paling banyak terdapat

di sekitar permukiman tradisional toraja. Kedua tanaman tersebut mempunyai

banyak manfaat bagi orang toraja. Pohon bambu yang banyak tumbuh subur di

hutan-hutan tongkonan banyak dimanfaatkan sebagai salah satu bahan

bangunan untuk rumah dan dijadikan wadah untuk minuman tuak. Sedangkan

ketela yang dalam bahasa toraja disebut Utan Bai banyak di tanam di kebun

Merupakan tanaman buat makanan babi.

Rante

Rante adalah dataran atau tempat untuk pelaksanaan upacara pemakaman dan

tempat penyembelihan hewan yang Merupakan salah satu ritual dalam upacara

Page 15: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

pemakaman. Di area rante ini banyak terdapat batu-batu besar yang disebut

Menhir/ megalit, dalam bahasa Toraja disebut simbuang batu. Terkadang di

beberapa desa, rante dapat dijadikan tempat untuk pasar regular. Secara umum

lokasi rante berada di sebelah barat dari tongkonan yang merupakan pusat

permukiman tradisional.

Liang

Liang adalah kuburan yang berada di dinding tebing batu karang. Letak liang

biasanya tidak boleh dekat dengan permukiman masyarakat atau tongkonan. Hal

ini bertujuan agar mereka tidak bersedih jika melihat liang dari nenek moyang

atau keluarga yang telah meninggal. Lokasi liang sebelah barat dari lokasi

Permukiman.

Selain elemen-elemen yang telah disebutkan di atas, dalam permukiman

tradisional Toraja terdapat bangunan yang bergaya bugis (rumah panggung) dan

rumah melayu yang cenderung modern yang dibangun dan berada di sekitar areal

tongkonan. Tidak ada persyaratan khusus tentang arah dan bentuk bangunan untuk

rumah kediaman penduduk ini.

3) Tongkonan

Kata Tongkonan menurut Abdul Azis Said dalam Shandra Stephani (2009),

berasal dari kata Tongkon yang berarti 'tempat duduk', mendapat akhiran 'an' maka

menjadi Tongkonan yang artinya tempat duduk. Dahulu Tongkonan adalah pusat

pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya

masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan

dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.

Page 16: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa fungsi, antara

lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan pera-turan keluarga dan

kegotongroyongan, pusat dinami-sator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga

fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk duduk bersama, lebih luas

lagi meliputi segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-

upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa

Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang Toraja

sangat men"sakral"kan Tongkonan.

Pembagian alam raya berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo kemudian menjadi

konsep dasar terwujudnya bentukan rumah Tongkonan baik itu skala horizontal

maupun skala vertikal.

Page 17: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Struktur vertikal Tongkonan

Keterangan gambar:

a) Atap dan bagian muka, terutama bagian ber-bentuk segitiga dari dinding

muka dinamakan sondong para atau lido puang (wajah dari dewa-dewa),

melambangkan Dunia Atas

b) Dunia Tengah, dunia dari manusia; bagian muka sebelah utara paling

berhubungan dengan “bagian dari matahari terbit‟ (untuk upacara di bagian

timur)

c) Dunia bawah: Sama seperti Pong Tulak Padang memegang dunia di atas, jadi

rumah disangga dengan jiwa yang tinggal dalam Bumi (menurut beberapa

orang Toraja, Tulak Padang sendiri yang menyangga rumah)

d) Lubang, yang dibuka pada bagian dalam atap untuk upacara-upacara dari

sebelah timur.

ATAP TONGKONAN

Atap Tongkonan terbuat dari Bambu yang dipilah menjadi 2 dan disusun

saling tumpang tindih. Dari segi konstruksi bentuk me-lengkung hiperbolik

lebih menguntungkan karena konstruksi atap pada bagian punggung

semuanya menerima gaya tarik yang sesuai dengan kekuatan bahan

bangunan yaitu dari kayu dan bambu. Perbanding-an antara panjang longa

Page 18: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

dan badan tongkonan lebih kurang 1 : 1,4. Material yang digunakan sebagai

penutupp atap adalah rumbia.

Teori Evolusi Atap Tongkonan

1. Banua lentong a’pa’, (bentuk awal).

2. Banua tamben (perkembangan II).

3. Banua di sanda a’riri (perkembangan III).

4. Tongkonan berpunggung atap melengkung dalam.

Makna simbolik atap tongkonan :

1. Bentuk atap dikonotasikan sebagai metafora bentuk yang mirip ‘perahu’

atau ‘tanduk kerbau’

2. Bagian yang dianggap suci, bersih dan terhormat

3. Dunia atas: Langi’ (langit), tempat Puang Matua

BAGIAN BADAN TONGKONAN (KALE BANUA)

Merupakan wadah untuk kegiatan fungsional praktis penghuni (Tidur, masak,

makan). Material pada Kale Banua adalah sebagai berikut.

Lantai: papan kayu uru dan kayu banga (Alang)

Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau kayu

kecapi. Sedangkan dinding pengisinya menggunakan kayu enau.

Page 19: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Dinding: pada Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan

sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan

Sambo Rinding.

Makna simbolik :

Wadah manusia menciptakan keharmonisan

Tempat persilangan 4 arah mata angina dan pertemuan dunia atas dan

dunia bawah

Dunia Tengah : Lino (bumi)

SULLUK BANUA (KOLONG)

Terbentuk antara tiang-tiang dari kayu dengan sulur (roroan) yang mengikat

tiang satu sama lain. Kolong ini Terdiri atas Pondasi, Kolom, Balok dan

Tangga. Material yang digunakan adalah sebagai berikut.

Pondasi : batuan gunung tanpa pengikat antara tanah, kolom dan

pondasi itu sendiri.

Kolom/tiang (a’riri): kayu uru persegi empat untuk tongkonan, sedangkan

alang menggunakan kayu nibung bulat untuk mencegah masuknya tikus.

Balok: kayu uru.

Tangga : kayu uru.

Makna simbolik :

Bagian terendah yang dianggap kotor

Tempat untuk hewan, air, sungai, tanaman yang dimanfaatkan manusia

untuk kahidupan

Tempat Pong Tulak Padang yang memberi spirit pada Tongkonan

PENATAAN RUANG/ Struktur Horizontal Tongkonan

Rumah bagi masyarakat Toraja adalah cerminan penghayatan religi, sebagai bentuk

pemahaman sederhana terhadap alam semesta (Dewi, 2003). Bentukan geometris

Page 20: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

ruang selalu dikaitkan dengan fenomena alam. Konsep hirarki rumah Toraja (banua)

terdiri dari tiga bagian berdasarkan hirarkinya, yakni bagian atas, bagian tengah dan

bagian bawah.

1) Bagian atas, loteng (langi) merupakan dunia/alam atas yang melambangkan

sorga dan dianggap paling sakral;

2) Ruang tengah merupakan ruang dunia kehidupan manusia (padang);

3) Ruang bawah rumah/kolong merupakan dunia bawah, tempat kehidupan

makhluk setan;

4) Kaki bangunan paling bawah akan ditopang pada kepala dewa Pong Tulak

Padang;

5) Sementara dewa tertinggi, Puang Matua, bertempat di alam sorga teratas

(ulunna langi) dan ini disimbolkan dengan matahari dan pergerakannya;

Page 21: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

6) Rumah bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di kaki rumah yang tidak

difungsikan, disimbolkan sebagai riri posi atau tempat tali pusar;

7) Pada badan rumah terdapat ruang yang menjadi orientasi (axis mundi), atau

disimbolkan sebagai pusat alam semesta (petuo), dalam satu sumbu vertikal

dengan ruang di atasnya. Ruang di bawah rumah (kaki panggung) dianggap

sebagai ruang yang sangat berbahaya, terdapat kekuatan yang dapat

mengganggu kehidupan manusia;

8) Padi dan air sebagai sumber kehidupan terdapat di sebelah utara rumah;

9) Tapak rumah akan dibangun mengikuti aliran sungai Sa’dan. Aliran sungai dari

arah utara ke selatan juga merupakan salah satu sumbu orientasi perumahan

suku Toraja pada umumnya, selain juga mengikuti orientasi timur-barat sesuai

lintasan pergerakan matahari;

10) Laut terdapat di bagian selatan dengan latar belakang Pulau Pongko, asal nenek

moyang masyarakat Toraja sebelumnya;

11) Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan;

12) berdekatan dengan gunung Bamba Puang yang legendaris itu;

13) Kuburan bagi para bangsawan diposisikan lebih tinggi daripada kuburan

masyarakat biasa. Kuburan ini dikelilingi oleh pohon kelapa untuk membantu

para roh mencapai alam atas.

Rumah suku Toraja diletakkan sesuai orientasi utara-selatan.

14) Bagian rumah yang dianggap paling sakral adalah bagian loteng paling utara

(lindo puang), sebagai pengejawantahan wajah pemilik rumah itu, sekaligus juga

pintu masuk para dewa ke dalam rumah. Pada sisi rumah sebelah selatan dan sisi

lainnya disimbolkan sebagai kematian, seperti juga sisi barat, tempat matahari

terbenam;

15) Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah dengan kepala di selatan,

melambangkan pulau kematian yang berada di sebelah selatan. Kondisi ini hanya

dilakukan pada saat upacara menjelang pemakaman. Jenasah kemudian

diposisikan di timur-barat, dan diperlakukan seolah jenasah itu masih hidup;

Page 22: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

16) Upacara ini merupakan upacara terpenting, akhirnya jenasah dikeluarkan melalui

pintu yang terletak di sisi barat rumah. Sisi selatan dan sisi barat juga

dilambangkan sebagai tempat leluhur dan tempat peninggalan benda-benda

pusaka;

17) Ada juga yang meletakkannya di sudut tenggara ruangan;

18) Sebelah timur rumah merupakan tempat aktivitas para penghuni, dilambangkan

sebagai jantung.

Menurut Azis Said dalam Shandra Stephani (2009), rumah Tongkonan terdiri atas

ruang-ruang yang berjejer dari utara ke selatan dan berbentuk persegi panjang.

Ruang pada bagian badan Tongkonan terbagi atas tiga bagian, yaitu:

Ruang bagian depan (Tangdo‟) disebut kale banua menghadap bagian utara.

Tempat penyajian kur-ban pada upacara persembahan dan pemujaan kepada

Puang Matua.

Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas

bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu Solo’

dan bagian kanan (timur) tempat sajian kurban persembahan dalam upacara

Aluk Rambu Tuka’.

Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah) berada dibagian

selatan, tempat masuknya penyakit.

Selain itu, pola penataan ruangnya berdasarkan pada pembagian keempat titik

mata-angin seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

Page 23: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Penataan ruang disusun sedemikian rupa untuk mempermudah pelaksanaan

ritual di dalam tongkonan yang terletak pada tata letak penyajian hidangan yang

mengikuti arah Timur-Barat menurut kepercayaan Aluk Todolo. Pada upacara rambu

tuka’, sajiannya dihidangkan di bagian timur sedangkan untuk upacara rambu solo’,

sajiannya dihidangkan di bagian Barat dalam Tongkonan.

Berikut penjabaran dari perwujudan kepercayaan Aluk Todolo pada tiap ruang

dalam dari Tongkonan, yaitu Bagian Utara, Selatan, Timur dan Barat:

Bagian Utara Tongkonan disebut Ulunna lino (kepala dunia) atau lindo puang

(wajah raja-raja). Bagian ini dikonotasikan sebagai kepala, bagian depan, atasan,

bagian yang dihormati, dan dianggap sebagai tempat suci tempat

bersemayamnya Puang Matua sekaligus sebagai tempat dewa memasuki rumah.

Areal ini terletak pada bagian depan Tongkonan dan dalam pelaksanaan ritual

berfungsi untuk upacara persembahan dan pemu-jaan kepada Puang Matua.

Bagian Selatan disebut pollo ‘na lino (ekor dunia) dikonotasikan sebagai kaki,

bawahan, ekor, pengikut dan tempat kotor. Di selatan bagi masyarakat Toraja,

terdapat alam Puya tempat roh-roh orang yang telah meninggal dan dijaga oleh

Pong Lalondong. Bagian ini digunakan sebagai tempat ruang tidur bagi anggota

keluarga yang mana posisi kepala menurut kepercayaan mereka harus

menghadap ke utara untuk memperoleh berkah dari Puang Matua agar

terhindar dari segala jenis penyakit.

Page 24: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Bagian Timur tempat terbitnya matahari, rampe mata allo (rampe=sisi;

allo=matahari) dikonotasikan sebagai “kehidupan‟, mewakili kebahagiaan,

terang, kesukaan, dan kegiatan yang menunjang kehidupan-tempat perapian

diletakkan. Fungsi religiusnya sebagai areal pelaksanaan ritual Aluk Rambu Tuka’,

tempat pemujaan Deata-deata (penguasa dan pemelihara bumi) dan terletak

pada sisi kanan ruang dalam Tongkonan.

Bagian Barat tempat terbenamnya matahari (rampe matampua), merujuk pada

“kematian‟ dan mewakili unsur gelap, kedukaan, dan semua hal yang

mendatangkan kesusahan. Bagian barat ruang ini secara religius berfungsi

sebagai tempat membaringkan tubuh mayat dengan kepala menghadap ke

selatan tempat alam Puya berada dan tempat upacara pertama orang mati yang

dilakukan dalam Tongkonan. Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat pemujaan

Tomembali Puang (arwah para leluhur yang telah menjadi dewa atau biasanya

disebut todolo) dalam pelaksanaan ritual Aluk Rambu Solo’ dan terletak pada sisi

kiri ruang dalam Tongkonan. Bagian Timur dan Barat terletak pada sisi kanan dan

kiri dari ruang tengah. Pembagian antara bagian kanan dan kiri ditandai dengan

pata’ (kayu melintang dari ruang depan ke belakang dan membagi badan rumah

secara simetris yang terdapat pada lantai).

Page 25: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

ORNAMEN

Ornamen dalam bahasa Toraja disebut passuraq, yang berasal dari akar kata suraq

sinonim dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran (Anwar

Thosibo, 2011). Etnis Toraja menggambar passuraq sama seperti bentuk aslinya

(einmalig) yang memiliki artikulasi. Artikulasi passuraq ternyata identik dengan

tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana Jepang

tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang di dalam obyek

gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis.

Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu yang

dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang masih berlangsung,

sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi gambar passuraq berguna untuk

menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq

merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja,

karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat

kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi passuraq - sebagai seorang

perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang

dilihat dan dialami dalam dunia imajinasinya.

Menurut Kornelius Kadang dalam Anwar Thosibo (2011) menyatakan bahwa

terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan, yang

masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif hanya

dikhususkan untuk Tongkonan. etnis Toraja mengklasifikasi gambar passuraq ke

dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.

Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai

pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja. Kedua dinamakan Passuraq

Page 26: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak

berkeluarga sampai kakek nenek. Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu

penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi. Keempat dinamakan

Passuraq Pakbarean, dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam

kehidupan yang berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan

kesenangan pada masa kanak-kanak.

Contoh Ukiran/ Passurak Toraja (Wegymantung, 2009)

Pa’tedong (ukiran kepala kerbau)

Melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran.

Pa’Barre Alo (ukiran matahari)

Melambangkan kebesaran dan kebanggaan bagi orang Toraja.

Page 27: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

NE’LIMBONGAN (Danau)

Tekad mendapat rejeki dari 4 penjuru mata angin yang menyatu di danau

PA’ULU KARUA

Harapan muncul orang berilmu dalam keluarga

PA’BULU LODONG (Rumbai ayam jago)

Keperkasaan dan kearifan

Page 28: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

PADAUN PERIA

(Kuncup bunga peria)

Larangan berzina dan menjaga kesucian seperti kuncup bunga peria

PA’BAMBO UAI

(Binatang air yang berenang)

Manusia harus cepat dan tepat dlm bekerja dengan hasil berlipat

Page 29: Arsitektur Tradisional Di Indonesia

2) Arsitektur Tradisional Batak