Upload
lily-thamzil-thahir
View
197
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Bersembunyi di Balik Argumen Kurikulum 2013
Oleh: H. JEMMA
H. Jemma, S.Pd., M.Pd.Mahasiswa S3 UIN Alauddin Makassar
Guru SMPN 2 Pallangga, Gowa
MENYAMBUT implementasi Kurikulum 2013, sosialisasi gencar dilakukan di tanah
air sebagai salah satu tahapan dalam rencana penerapan akhir Juni mendatang.
Kabupaten Gowa menyelesaikan rangkaian sosialisasi 28 Februari lalu dihadiri oleh
pihak LPMP Sulsel, Dinas Pendidikan setempat, dan guru-guru se Kabupaten Gowa.
Sosialisasi tersebut menyisakan beberapa catatan yang mampu membuka ruang
pikir penulis termasuk menjawab skeptisme berbagai pihak terhadap kurikulum
tersebut.
Banyak yang beranggapan bahwa Kurikulum 2013 ini benar-benar produk yang
didesain baru sehingga wacana penamaan pun mengemuka. Beberapa di antaranya
yang sempat dirangkum penulis dari berbagai sumber adalah KTSP Yang
Disempurnakan, KTSP Berbasis Kompetensi, KTSP 2013, dan Kurikulum 2013.
Ketika sosialisasi pun, masih banyak yang mempertanyakan nama kurikulum ini,
namun tanpa sadar menyebut “Apa nama Kurikulum 2013 ini, Pak?” Mungkin
maksudnya, nama resmi yang digunakan oleh pemerintah dalam penyebutan
kurikulum yang sementara dalam proses perampungan.
Secara permanen, kurikulum ini memang belum ‘diaqiqah’ sekalipun akta
lahirnya telah disiapkan dalam bentuk Peraturan Menteri. Dari deretan nama yang
sering disebutkan oleh tim penyusun kurikulum, yang mencuat ke permukaan justru
“Kurikulum 2013” itu. Dari penjelasan selama sosialisasi, terungkap fakta bahwa
kurikulum 2103 bukanlah kurikulum yang benar-benar baru. Kurikulum 2013
hanyalah penyempurnaan dari KTSP 2006. Penyempurnaan atau inovasi kurikulum
otomatis hanya menitikberatkan pada komponen-komponen kurikulum yang
dinyatakan lemah setelah dilakukan evaluasi formatif ataupun sumatif. Dan, yang
namanya inovasi, dalam konsep tertentu tidak akan ada akhirnya.
Kepala LPMP Sulsel dalam sambutannya kembali menegaskan bahwa
Kurikulum 2013 ini pasti ada kekurangannya karena buatan manusia. “A nice excuse
for trillions of rupiah!” Lalu, apa argumen pokok mendasari lahirnya kurikulum ini?
Selama masa uji publik Desember lalu, pertanyaan besar bermunculan. Di
antaranya, mengapa kurikulum harus diganti atau disempurnakan? Apa yang keliru?
Mengapa kita guru-guru yang mengimplementasikan kurikulum kepada siswa tidak
pernah diberitahu? Apakah siswa menyadari sepenuhnya kebutuhan belajar
mereka? Adakah needs assessment? Apakah memang sudah ada evaluasi
menyeluruh terhadap kurikulum sebelumnya?
Penulis berkeyakinan bahwa jika kita tidak menghargai pertanyaan guru dan
siswa selaku implementer utama kurikulum; atau jika kita abai tak mau mendengar
apa yang mereka tanyakan dan apa yang mereka butuhkan (dan hanya mau
mendengar apa yang kita ingin dengar saja), maka kurikulum 2013 akan gagal
mempengaruhi perubahan perilaku jutaan siswa di ratusan ribu sekolah di tanah air.
Jumlah SD yang akan menerapkan kurikulum 2013 sebanyak 44.609 sekolah; SMP
sebanyak 36.434 sekolah; SMA sebanyak 11.535 sekolah; dan SMK sebanyak 9.875
sekolah. Jumlah siswa yang akan menjadi implementer sejati kurikulum 2103
diprediksi akan mencapai 7 hingga 8 juta siswa di tahap pertama (Kelas I, IV, VII,
dan X). (Kompas.com, 15/2).
Argumen Akademis dan Empiris
Setidaknya dua argumen pokok yang menjadi rasional pengembangan
kurikulum ini. Pertama, argumen akademis yang dibangun terkait konten, skills,
standar proses, dan system penilaian. Konten kurikulum dianggap masih terlalu
padat dan belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Soft skills dan hard skills belum terakomodasi secara berimbang
sehingga kurang mapan menghadapi perubahan sosial. Standar proses
pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci bahkan masih
berpusat pada guru. Sistem penilaian belum sepenuhnya berbasis kompetensi
(proses dan hasil) yang menyebabkan minimnya remediasi secara berkala.
Kedua, argumen yang bersifat empiris yang mengarah pada urgensi
perubahan kurikulum untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang tentunya
ikut menuntut perkembangan kompetensi. Secara historis, kurikulum di Indonesia
memang selalu mengalami perubahan sejak tahun 1947 hingga 1973. Selanjutnya,
perubahan dilakukan dalam siklus 10-tahunan dengan produk Kurikulum 1984, 1994,
dan 2004. Pasca 2004 inilah kemudian terjadi perubahan yang sedikit progresif
karena tidak lagi mengikuti siklus 10 tahunan sebelumnya, yakni KTSP 2006 dan
Kurikulum 2013. Keduanya penyempurna dari kurikulum sebelumnya.
Yang paling kontekstual dalam argumen perubahan kurikulum kali ini adalah
adanya fenomena negatif yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, kasus-kasus
narkoba, korupsi, kecurangan dalam ujian, dan social unrest. Di samping itu adanya
persepsi masyarakat yang memandang pendidikan sekarang ini terlalu
menitiberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan terkesan
kurang bermuatan karakter.
Yang Sembunyi di Balik Argumen
Dengan asumsi yang dibangun bahwa kurikulum ini sudah pasti belum
sempurna, maka ujung-ujungnya waktu dan proses juga yang akan memberi
berbagai refleksi konstruktif atau bahkan mungkin destruktif. Sekarang ini, sejumlah
pertanyaan memang perlu dicermati, terutama menyangkut guru sebagai ujung
tombak pelaksana kurikulum.
Jika sistem pendidikan kita saat ini sarat masalah, maka mengapa kurikulum
yang dijadikan vocal point perubahan? Setidaknya, jika kurikulum ini dijadikan
sumber masalah, maka apa tidak sebaiknya paparkan dulu hasil evaluasi secara
komprehensif terhadap pelaksanaan kurikulum yang sedang berjalan (KTSP).
Jangan-jangan permasalahan pendidikan kita bukan pada kurikulumnya, tetapi justru
pada implementer kunci: GURU. Data teraktual hasil Uji Kompetensi Guru (UKG)
nasional tahun lalu, DIY misalnya rata-rata 48,75; Jawa Timur 43,83; Sumatera Utara
38,22; Jawa Tengah 44,75; dan Jawa Barat 42,81 untuk standar minimal 70. Sangat
jauh di bawah rata-rata, tentunya. Secara implicit, data ini menunjukkan adanya
masalah serius yang berkaitan dengan kompetensi guru kita.
Pengalaman penulis sebagai narasumber di sejumlah workshop kelompok kerja
guru tingkat SD maupun SMP juga menunjukkan fakta yang membenarkan temuan
data itu. Mayoritas guru belum mau (untuk tidak mengatakan ‘belum mampu’)
menyusun RPP sendiri untuk sekadar digunakan di kelasnya sebelum mengajar.
Mereka lebih suka menggunakan RPP yang tersedia di internet lewat Mr. Google lalu
copas.
Kondisi itu sudah cukup menjelaskan bahwa rambu-rambu dalam KTSP 2006
seperti petunjuk dari BSNP belum mampu diimplementasikan sebagaimana
harusnya, tiba-tiba tiba-tiba harus ganti kurikulum lagi. Artinya, akan terjadi repeating
failure pada tataran pelaksana kurikulum di tingkat sekolah. Olehnya itu , praktisi
pendidikan memandang masalah ini jauh lebih krusial untuk diselesaikan daripada
perubahan kurikulum. Masih banyak guru yang perlu mendapat pencerahan
bagaimana membelajarkan dan bagaimana semangat pembelajarannya berdampak
kepada setiap siswa. Sesederhana apapun kurikulum jika guru memang mapan
dalam praktek pembelajaran, semangat dan kreativitasnya akan sangat besar
pengaruhnya terhadap perubahan perilaku siswanya.
Dari uji publik tiga pekan sejak minggu ke empat November 2012 sampai
minggu kedua Desember 2012 lalu, muncul beberapa pandangan reflektif. Misalnya,
jika kurikulum 2013 ini diasumsikan menjawab tuntutan zaman, mengapa pelajaran
bahasa Inggris di SMA hanya 90 menit/minggu dan ditambah 3 jam pelajaran lagi
bagi yang mengambil peminatan bahasa? Padahal, untuk memenuhi tuntutan
zaman, penguasaan bahasa Inggris hal yang mutlak.
Implikasi penyimpangan juga bisa terjadi pada pernyataan bahwa kurikulum
2013 akan memudahkan guru karena mereka tinggal memakai materi dan silabus
yang sudah dibuatkan. Di satu sisi, memang menjadi berita menggembirakan bagi
sebagian guru, terutama bagi mereka yang selama ini memang tidak mampu atau
mungkin malas menyusun perangkat pembelajaran. Namun, pada sisi lain,
sebenarnya ini pelemahan terhadap profesionalisme guru karena dianggap
memberangus kreativitas guru dalam merencanakan dan merancang kegiatan
pembelajarannya yang justeru seharusnya terus dilatih baik melalui kegiatan in-
service maupun kegiatan on-service.
Pembaharuan kurikulum memang bukan sekedar perbaikan dokumen. Dampak
dari sebuah kurikulum akan terlihat setelah beberapa tahun. Dan, itu sangat
bergantung pada hasil kajian yang mendasari dikembangkannya kurikulum tersebut,
serta kesiapan sekolah dan guru dalam mengimplementasikannya di kelas. Jadi,
akankah negeri kita terus menyembunyikan fakta di balik sejumlah argumen atas
nama perubahan? [,]