6
AS Biang Negara Teroris? [Opini] Oleh BG Burhanuddin Sebagaimana kita saksikan via media cetak maupun layar televisi dari seluruh dunia, mayoritas umat manusia telah menolak dan mengutuk agresi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Irak serta menyerukan agar Perang Teluk II itu segera dihentikan. Meski demikian, Presiden George W Bush justru mencapai klimaks arogansinya dengan mengatakan bahwa perang tersebut hanya bisa dihentikan jika pasukan AS dan sekutunya telah meraih kemenangan mutlak menaklukkan Irak. Padahal karena agresi tadi telah melanggar resolusi PBB serta menginjak-injak hukum internasional dan telah banyak menewaskan warga sipil Irak, PBB juga telah mengutuk agresi AS dan sekutunya itu Meski Bush mengatakan bahwa penyerangan ke Irak untuk membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Presiden Saddam Hussein, namun faktanya tak sedikit warga sipil di pasar dan pemukiman penduduk yang justru telah tewas maupun terluka akibat gempuran rudal AS dan sekutunya. Penduduk sipil Irak masih terus jadi korban agresi militer itu, hingga 29/3-'03 di seluruh Irak paling tidak tercatat 75 orang tewas dan 290 orang cedera seperti disiarkan Al Jazeera (TV kabel bermarkas di Doha - Qatar), sebagai bukti bahwa Bush sudah tak peduli seruan dunia internasional yang menghendaki secepat mungkin dihentikannya peperangan ilegal dan amat tidak seimbang itu.

As Biang Negara Teroris

Embed Size (px)

DESCRIPTION

As Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara TerorisAs Biang Negara Teroris

Citation preview

AS Biang Negara Teroris

AS Biang Negara Teroris? [Opini]

Oleh BG Burhanuddin

Sebagaimana kita saksikan via media cetak maupun layar televisi dari seluruh dunia, mayoritas umat manusia telah menolak dan mengutuk agresi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Irak serta menyerukan agar Perang Teluk II itu segera dihentikan. Meski demikian, Presiden George W Bush justru mencapai klimaks arogansinya dengan mengatakan bahwa perang tersebut hanya bisa dihentikan jika pasukan AS dan sekutunya telah meraih kemenangan mutlak menaklukkan Irak. Padahal karena agresi tadi telah melanggar resolusi PBB serta menginjak-injak hukum internasional dan telah banyak menewaskan warga sipil Irak, PBB juga telah mengutuk agresi AS dan sekutunya itu

Meski Bush mengatakan bahwa penyerangan ke Irak untuk membebaskan rakyat Irak dari kediktatoran Presiden Saddam Hussein, namun faktanya tak sedikit warga sipil di pasar dan pemukiman penduduk yang justru telah tewas maupun terluka akibat gempuran rudal AS dan sekutunya. Penduduk sipil Irak masih terus jadi korban agresi militer itu, hingga 29/3-'03 di seluruh Irak paling tidak tercatat 75 orang tewas dan 290 orang cedera seperti disiarkan Al Jazeera (TV kabel bermarkas di Doha - Qatar), sebagai bukti bahwa Bush sudah tak peduli seruan dunia internasional yang menghendaki secepat mungkin dihentikannya peperangan ilegal dan amat tidak seimbang itu.

Lebih mengenaskan dan mencabik-cabik rasa kemanusiaan serta mengganggu hati nurani kita adalah banyaknya korban anak-anak yang tak berdosa sebagai fenomena yang sangat memilukan sekaligus mengerikan. Kekerasan dan kebiadaban perang ini berpotensi bagi porak-porandanya kehidupan manusia, tidak hanya berakibat buruk pada kehidupan mereka sekarang, juga kehidupan mendatang. Lebih-lebih, efek kejiwaan bagi anak-anak akibat perang bersifat traumatis dan merusak atau bahkan bisa menghancurkan masa depan mereka. Ironisnya AS selama ini sebagai penganjur hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di barisan terdepan.

Negara-negara anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) telah menyepakati rancangan resolusi untuk mengaktifkan kembali program "minyak untuk pangan" (oil-for-food programme), program kemanusiaan PBB di Irak. AS dan Inggris menginginkan program ini secepat mungkin dimulai kembali, namun negara-negara penentang aksi invasi ke Irak, khususnya Rusia, menolak jika program kemanusiaan PBB itu dimanfaatkan untuk penanggulangan keadaan darurat dampak perang. Penolakan dilakukan karena Rusia khawatir hal itu dianggap sebagai sesuatu yang melegalisasi aksi serangan ke Irak. Meski tujuan-tujuan kemanusiaan merupakan hal yang penting, namun menurut Rusia, tak ada kewajiban yang lebih mendesak dibanding usaha untuk menghentikan perang secepat mungkin dan membawa masalah ke jalur penyelesaian secara politik.

Kebijakan luar negeri AS

Invasi AS ke Irak nampaknya tak terlepas dari orientasi kebijakan luar negeri AS untuk "menciptakan lingkungan internasional yang kondusif untuk kemakmuran negerinya". Lingkungan internasional yang kondusif ini, menurut Prof Richard Falk dari Princeton University, tak lain adalah absennya ancaman negara lain yang dicirikan dengan adanya permusuhan (hostility) yang disebabkan perbedaan ideologi yang dianut dan kemampuan (capability) dari negara yang bermusuhan untuk mewujudkan serta mengembangkan ideologinya. Sementara itu, "kemakmuran negerinya" adalah berhubungan dengan bergeraknya industri yang dijamin oleh akses pada sumber energi dan bahan mentah, sekaligus menguntungkan produk-produk AS di pasar dunia.

Kebijakan luar negeri AS nampaknya menampilkan secara eksklusif kebenaran menurut mereka sebagai gambaran legal/moral secara sepihak, sehingga nilai-nilai Barat seolah paling agung. Dan manakala dirasakan adanya ancaman, mereka tergambarkan seolah sangat lemah dan menderita, yang akhirnya menjadi pembenaran bagi kekerasan tanpa batas. Ini semua dilakukan guna melenyapkan segala bentuk rintangan yang berpotensi mengganggu pencapaian tujuan luar negerinya. Meski terkesan serampangan bahkan terlalu berani menginjak-injak hukum internasional dan menentang mayoritas warga dunia, tetapi itulah realitas ciri khas AS. Bahkan prinsip the end justifies the means secara terbuka diisyaratkan oleh Franklin D Roosevelt: "Anakku, diizinkan bagimu di saat yang sangat berbahaya untuk berjalan bersama iblis hingga engkau melintas jembatan". Ungkapan keji inilah rupanya yang memberi inspirasi bagi Bush untuk tidak ragu-ragu dan berambisi menginvasi Irak.

Tindakan AS kepada negara lain untuk "kemakmuran negerinya" dengan segala cara, menuai kecaman keras, baik dari luar maupun kalangan masyarakatnya sendiri, termasuk para ilmuwan. Agresi AS dan sekutunya ke Irak bahkan ditentang paling tidak oleh dua pertiga warga AS. Seorang ilmuwan AS yang paling getol mengritik AS ialah Prof Naom Chomsky dari Massachusetts Institute of Technology, dikenal sebagai budayawan yang sering melakukan otokritik terhadap bangsanya sendiri. Beliau ditakuti pemerintah AS lantaran kekritisannya terhadap kebijakan luar negeri AS, hubungan internasional dan kebijakan HAM dari AS. Menurut Chomsky, kebijakan ganda AS di kawasan Timur Tengah sangat kontras. Hal itu terlihat jelas dari sikap AS yang berbeda sangat tajam terhadap Irak dan Israel. Dalam kasus Irak, selama satu dekade terakhir AS dan Inggris telah menghancurkan kehidupan warga sipil Irak. Mereka begitu keras terhadap Saddam Hussein, sebaliknya AS adalah pendukung utama pendudukan militer Israel atas Palestina yang telah berlangsung selama 35 tahun.

Chomsky dalam sebuah wawancara dengan majalah Monthly Review (25/3-'02) pernah mengungkapkan bahwa AS sebenarnya adalah negara teroris paling terkemuka di dunia. Bahkan pemikirannya yang tertuang dalam bukuPirates and Emperors: International Terrorism in the Real World,mengata kan bahwa AS digambarkan sebagai sosok maling yang sedang meneriakkan maling kepada segelintir maling-maling kecil. AS adalah maling karena dengan segala cara menguasai dunia, baik dari sektor ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ironisnya, AS tak pernah disebut maling, malahan dijuluki sebagai "polisi dunia". Pemikiran-pemikiran Chomsky patut kita renungkan dan dijadikan referensi dalam menyikapi berbagai tindakan kontroversial negara super teror tersebut.

Justifikasi perang

Sehubungan kebiadaban AS dan sekutunya terhadap rakyat Irak saat ini, berarti AS kini sedang mengukuhkan dirinya sebagai biang terorisme negara (state terrorism). Rumusan versi Ezzat A Fattah, kriminolog dari Kanada mengatakan, terorisme merupakan alat yang digunakan rezim suatu pemerintahan (bertindak atas nama negara) sebagai sarana paksa untuk menaklukkan pihak lain, sehingga dapat diatur seenaknya. Sarana paksa itu wujudnya bisa bermacam-macam. Mulai bom-bom berkekuatan kecil hingga berbagai senjata pemusnah massal. Guna menggetarkan nyali dalam praktik terorisme negara itu dipakailah tank, rudal, heli tempur, jet tempur, peluncur roket dan sejenisnya. Dalam state terrorism, motif paling dominan adalah motif politik dan ekonomi, yakni untuk mempertahankan hegemoni, kekuasaan, dan kekayaan seperti yang sedang dilakukan AS saat ini.

Yang paling mencemaskan dalam kejahatan ini yakni adanya upaya untuk membungkus act of terror dengan hukum sebagai justifikasi. Seperti Israel yang berkali-kali mendapat pembelaan "hukum" oleh AS atas state terrorism yang dilakukan terhadap Palestina dalam forum-forum PBB, yang puncaknya penggunaan hak veto. AS yang mengaku memerangi terorisme, malahan mendukung aksi teror Israel ke Palestina. Alasan Israel menyerang dan mengepung Markas Besar Arafat di Ramallah (2/4-2002) dicarikan pembenarannya secara hukum yakni tentang "pemberantasan terorisme internasional". Hal itu setidaknya tampak dari pernyataan Mayjen Giora Filand, Kepala Cabang Perencanaan Israel, bahwa dalam markas yang dikepung itu ada belasan orang yang dicari-cari Israel sebagai pelaku yang dituduh melaksanakan terorisme.

Pembenaran secara hukum itu memiliki tempat, karena menurut William D Purdue, ada relativitas makna terorisme. Mengejar teroris hingga menukik ke jantung paling dalam dari simbol kekuasaan bangsa dan negara Palestina, hanyalah alibi Israel guna mematahkan dan menghancurkan kekuatan militer yang dianggap dapat mengancam kepentingannya. Label teroris lebih dulu ditimpakan kepada Palestina, lalu dibangun hegemoni makna secara mondial atas label itu, sehingga tindakan terorisme negara yang paling brutal dapat dicarikan pembenarannya secara hukum. Begitu juga karena Irak dianggap memiliki kekuatan militer yang bisa jadi ancaman bagi kepentingan AS, maka Bush memutuskan untuk menyerang Irak meski tanpa dukungan Dewan Keamanan PBB (DK-PBB). Tetapi, jika penyerangan ke Irak dimaksudkan AS untuk memerangi terorisme dunia pun tak akan mencapai sasaran yang dikehendaki, karena dalam perspektif pelaku terorisme terhadap AS, negara adidaya itu bukan korban, melainkan justru sebagai pelaku state terrorism yang lebih dahulu bersifat ofensif.

Satu-satunya alasan AS yang coba dikaitkan dengan hukum untuk menyerbu Irak sejak 20 Maret '03 adalah bahwa Irak melanggar resolusi DK-PBB, yang mengharuskannya untuk menghancurkan semua jenis senjata pemusnah massal (biologi dan kimia). Tetapi, sejauh ini Tim Inspeksi Senjata PBB pimpinan Hans Blix, yang menjadi tokoh penting dalam perdebatan di DK-PBB soal Irak, tak pernah menemukan bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal tersebut. Blix diberitakan telah memutuskan mundur dari jabatan itu ketika kontraknya habis pada Juni mendatang. Tekanan kepadanya memang semakin kuat setelah Blix melaporkan pada Februari lalu bahwa para inspekturnya tidak bisa mengonfirmasikan tuduhan AS bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. (Penulis adalah pemerhati masalah-masalah internasional, alumnus Fisipol Jurusan Hubungan Internasional UGM, Yogyakarta).

http://www.hupelita.com/baca.php?id=10330