Asal Usul Rumah Lawang Ombo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ok

Citation preview

Asal Usul Rumah Lawang Ombo

RUMAHCandu Lawang Ombo terletak di Jalan Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Sepintas, bangunan itu terlihat seperti rumah kuno biasa. Memang, seharihari rumah milik Subagyo tersebut tidak berpenghuni alias dibiarkan kosong. Hanya sesekali kami datangi untuk berkumpul dan bersembahyang, kata Subagyo yang menemuinya awal Februari lalu.

Posisi rumah candu itu cukup strategis. Bisa dijangkau dari berbagai arah. Baik dari Surabaya maupun Semarang. Tepatnya di sebelah timur (dari arah Surabaya) Jembatan Mba gan Lasem, masuk gang sekitar 100 meter. Kompleks cagar budaya seluas 5.500 meter persegi itu dikelilingi tembok setinggi 1,5 meter. Pintu gerbangnya sejajar lurus dengan pintu rumah. Jika melihat coraknya, rumah candu tersebut merupakan perpaduan gaya Tiongkok dan Eropa. Ciri Tiongkok terlihat pada bentuk genting yang melengkung seperti walet. Sedangkan sakanya yang dari beton merupakan ciri Eropa, jelas Subagyo.

Rumah tersebut dibangun pada 1860-an. Pemiliknya adalah seorang Tionghoa bernama Liem Kok Sing. Dia merupakan saudagar cukup ternama di kawasan Lasem. Salah satu barang dagangannya adalah candu yang didatangkan langsung dari Tiongkok. Subagyo merupakan salah seorang cucu Liem. Dia keturunan generasi keempat. Namun, oleh keluarga besar Liem, bangunan tersebut diserahkan kepada cucu Liem yang lain, yang tidak lain adalah sepupu Subagyo.

Namun, pada 1996, usaha yang dikelola sang sepupu surut. Nyaris bang krut. Khawatir bangunan tersebut ikut dijual ke orang lain, Subagyo berinisiatif membelinya. Saat itu nilai jualnya mencapai Rp 350 juta. Lambat laun, rumah candu semakin dikenal orang. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun berminat untuk menjadikannya cagar budaya.

Selain itu, di kompleks bangunan tersebut akan dibangun penginapan untuk turis. Namun, Subagyo tidak mau melepaskan rumahnya itu. Dia khawatir rencana yang dinilai bagus tersebut bertentangan dengan adat di keluarganya. Apalagi rumah candu itu masih sering digunakan sembahyang keluarga besarnya. Kami keberatan dengan rencana pemerintah itu. Tapi, saya welcome bagi siapa saja yang ingin melihatlihat bangunan ini dan ingin mengetahui peninggalan keluarga Liem, tegasnya.

Subagyo juga akan senang bila ada warga yang ingin memanfaatkan rumah tersebut untuk menggelar acara tertentu. Dia tidak akan menarik biaya alias menggratiskan. Selama bisa turut menjaga, saya tidak masalah, katanya.

Rumah Candu Lawang Ombo memang sering menjadi bahan penelitian sejarah dan antropologi para ahli. Di antaranya, meneliti sejarah opium dan perkembangan warga Tiongkok di Jawa. Subagyo sering meluangkan waktu untuk menemani orang yang berkunjung ke rumah itu.

Subagyo yang ditemani karyawannya menjelaskan satu demi satu artefak sejarah yang masih terpelihara dengan baik di rumah tersebut. Begitu melewati halaman yang cukup luas, pengunjung langsung masuk ke bangunan inti. Di teras terdapat dua meja lengkap dengan kursi masing-masing empat buah. Ada pula kursi yang menempel di dinding.

Zaman dahulu, kata Subagyo, jarang ditemui ruang tamu di dalam rumah. Pemilik rumah menyambut tamu di teras. Bagian dalamnya, selain ruang keluarga, digunakan sebagai ruangan untuk altar persembahyangan.

Ciri lain bangunan Tiongkok adalah paviliun di sebelah kiri bangunan inti. Paviliun itu digunakan untuk tamu jauh yang menginap. Mereka lebih leluasa berada di paviliun daripada tinggal serumah dengan sang pemilik. Paviliun itu berukuran 4 x 5 meter. Tetapi, saat ini kondisinya kosong dan kurang terawat. Hanya ada kursi kayu yang sudah rapuh. Lantainya berdebu cukup tebal.

Di beberapa titik terdapat lubang berdiameter 50 sentimeter yang ditutupi papan kayu. Konon, lubang itu menyambung ke sungai yang berjarak 100 meter dari rumah tersebut. Lubang inilah yang dulu dipakai untuk memasukkan candu yang dibawa kapal-kapal dari Tiongkok yang merapat di sungai itu, jelas Subagyo.