Upload
ibliz-dunia-maya
View
146
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tfuyt76t7yugjyguuyghjh
Citation preview
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GAGAL GINJAL
DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN KELEBIHAN VOLUME
CAIRAN
DI UNIT HEMODIALISA RSUD KABUPATEN KEBUMEN
DISUSUN OLEH :
RATNA MINARSIH
A1.0900540
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah mampu
merubah gaya hidup manusia. Manusia sekarang cenderung menyukai segala
sesuatu yang cepat, praktis dan ekonomis (Sherwood, 2001).
Chronic Renal Failure (CRF), atau yang disebut juga dengan Chronic
Kidney Disease (CKD) adalah ketidakmampuan ginjal dalam menjalankan
fungsinya, yang salah satu tandanya ditunjukkan dengan adanya gangguan
bersihan kreatinin yang seharusnya difiltrasi oleh glomerulus.
Penatalaksanaan pasien dengan CRF di Rumah Sakit adalah dengan
terapi Hemodialisa, obat-obatan seperti anti hipertensi, suplemenbesi, agen
pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid untuk membantu berkemih,
terapi diit rendah protein dan tinggi karbohidrat, pemberian transfuse darah
dan transplantasi ginjal pada pasien dengan tahap terminal.
Sedangkan malnutrisi pada CRF dengan hemodialisa antaralain
disebabkan oleh meningkatnya urea nitrogen, hilangnya asam amino saat
hemodialisa, pengambilan darah berulang, gangguan endokrin dan
meningkatnya toksinuremik endogen (Indrasti, 2000).
Prevalensi CRF telah mengalami peningkatan pada awal tahun 1990-
an dan hanya menyerang lansia ,juga merupakan “penyakit orang kaya”, di
Asia. Prevalensi CRF berkembang secara merata CRF tidak pandang usia
menyerang golongan muda, yaitu pada usia 15 tahun.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 155 juta
penduduk dunia tahun 2002 mengidap CRF. Jumlah ini akan meningkat
hingga melebihi 200 juta pada tahun 2025 (Febrian, 2009).
Di Indonesia, penderita CKD/CRF setiap tahun bertambah 20 orang
per satu juta penduduk. Kasus ini ada kecenderungan meningkat dari waktu
kewaktu. Data menunjukkan penderita CRF di Indnesia mendudukiurutan ke-
6 penyakit utama penyebab kematian di RumahSakit di Indonesia dengan
prosentase 2,99% dengan jumlah kematian 5.521 penderita (Depkes RI, 2007).
Klien CRF yang menjalani rawat inap antara lain dikarenakan
penurunan kadar hemoglobin dan membutuhkan transfusi darah, atau karena
indikasi lain yang membutuhkan perawatan lebih lanjut baik pre maupun post
HD. Karena diruangan Barokah berkapasitas 43 tempat tidur, dan keterbatasan
tenaga perawat, jadi sering kebutuhan cairan klien CRF tidak terpantau secara
maksimal dan tidak menutup kemungkinan terjadi kekurangan atau bahkan
kelebihan cairan. Pada klien CRF cenderung lebih sering mengalami
kelebihan volume cairan. Apabila overhidrasi terjadi sangat cepat, penderita
akan menunjukkan kekacauan mental, kejang dan koma. Pada kelebihan
volume cairan, cairan terkumpul di sekitar sel-sel di dada, perut dan tungkai
bawah, seperti edema paru, cardiomegali, ascites, sehingga pasien bisa terjadi
sesak nafas sampai apnea.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut : “Bagaimana Keseimbangan Cairan pada Klien CRF yang menjalani
Rawat Inap di Ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong ?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keseimbangan
cairan pada klien CRF yang menjalani rawat inap di Ruang Barokah RS
PKU Muhammadiyah Gombong.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik responden penderita CRF di RS
PKU Muhammadiyah Gombong.
b. Mengetahui keseimbangan cairan pada klien CRF yang menjalani
rawat inap di Ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong.
D. Manfaat
1. Bagi ilmu keperawatan
Dapat digunakan sebagai bahan atau masalah yang dapat di angkat
dalam penyuluhan kesehatan bagi pasien, keluarga, komunitas yang
menderita CRF untuk lebih memperhatikan keseimbangan cairan.
2. Bagi perawat
Untuk menambah kepustakaan dalam penelitian lebih lanjut untuk
mengembangkan ilmu keperawatan dan asuhan keperawatan mengenai
penanganan penderita CRF.
3. Bagi institusi pelayanan
Menentukan kebijakan Rumah Sakit dalam mengevaluasi program
pemantauan keseimbangan cairan dan memperhatikan kebutuhan cairan
dan mampu menanamkan sikap positif pada perawat dan penderita CRF,
serta lebih menyediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang kesehatan.
4. Bagi penderita dan keluarga
Diharapkan penderita CRF lebih memperhatikan keseimbangan
antara kebutuhan cairan dan pengeluaran cairan, sehingga dapat
mengurangi dampak penumpukkan cairan yang berlebihan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dititik beratkan pada Bagaimana keseimbangan cairan
pada klien CRF yang menjalani rawat inap di Ruang Barokah RS PKU
Muhammadiyah Gombong.
Penelitian yang sama sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan
oleh peneliti yang lain, namun ada beberapa yang mirip dengan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti, yaitu :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ikha Septiana Wulansari pada tahun 2008
dengan judul “Faktor Risiko Hipertensi Terhadap Kejadian Gagal Ginjal
Kronis di Rumah Sakit Umum Kudus Periode 1 Januari-31 Desember
2007”. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari
rekam medik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2008.
Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang di rawat inap di bagian
Penyakit Dalam di RS Kudus dari periode 1 Januari-31 Desember 2008.
Dari penderita GGK, usia yang terbanyak yaitu rentang usia 50-59 tahun
yaitu sebanyak 31,7% dan penderita GGK terendah pada rentang usia 70-
79 dan 80-89 tahun, yaitu sebanyak 4,9%. Penderita GGK wanita lebih
banyak daripada penderita GGK pria, yaitu sebanyak 53,7%, sedangkan
penderita GGK wanita sebanyak 46,3%. Berdasarkan hasil perhitungan
didapatkan ratio prevalensi sebesar 1,756 (RP>1) dan IK = 1, 086-2,837.
Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi sebagai faktor risiko GGK. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor risiko hipertensi terhadap
kejadian Gagal Ginjal Kronis. Persamaan dengan penelitian ini adalah
populasi yang diteliti yaitu pasien Gagal Ginjal Kronis/CRF.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Endah Setianingsih pada tahun 2008
dengan judul “Hubungan Motivasi dengan Kinerja Perawat dalam
Pelaksanaan Monitoring Balance Cairan di Ruang ICU RS PKU
Muhammadiyah Gombong.” Jenis penelitian ini non eksperimental,
merupakan penelitian survey, penelitian survey ini bersifat deskriptif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional.Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah semua perawat yang bertugas di
ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong. Variabel independen
(bebas) : motivasi dan kinerja perawat ICU. Variabel dependen (terkait) :
pelaksanaan monitoring balance cairan. Analisa data menggunakan rumus
korelasi Kendall’s Tau. Hasil penelitian motivasi perawat persentase
terbesar 71,4% dengan kategori baik kinerja perawat dalam pelaksanaan
monitoring balance cairan dengan persentase terbesar yaitu 57,1% adalah
berkinerja baik hasil analisis menggunakan Kendall’s b didapatkan nilai
korelasi sebesar 0,730 dengan taraf signifikasi p = 0,008 (<0,005), artinya
ada hubungan motivasi dengan kinerja perawat dalam pelaksanaan
monitoring balance cairan di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah
Gombong. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
motivasi dengan kinerja perawat dalam pelaksanaan monitoring balance
cairan di Ruang ICU RS PKU Muhammadiyah Gombong. Persamaan
dengan penelitian ini adalah variabel terkaitnya yaitu monitoring balance
cairan.
Perbedaan penelitian yang dilaksanakan ini adalah jenis penelitian
studi kasus dengan pendekatan observasional. Waktu, tempat dan sampel
yang berbeda pula.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal
a. Pengertian
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif
dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang
dari 50 mL/min (Suyono, et al, 2001).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth,
2001; 1448).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,
berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju
filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit (Arjatmo Tjokonegoro,
2001; 427).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah ketidak mampuan ginjal untuk
mempertahankan keseimbangan dan integritas tubuh yang muncul
secara bertahap sebelum terjun kefase penurunan faal ginjal tahap
akhir (EndaySukandar, 2006).
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
3 bulan atau lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda
kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis, dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus ataupun tidak. Penyakit ginjal kronik ditandai
dengan penurunan semua faal ginjal secara bertahap, diikuti
penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan
cairan dan elrektrolit.
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan
manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam
darah (Arif Muttaqin, 2011; 166).
b. Klasifikasi
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah,
seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Laju filtrasi glomerulus dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Fungsiginjal Lajufiltrasi glomerulus (ml/menit/1,73m2 )
Risikomeningkat
Normal > 90 (ada factor risiko)
Stadium 1 Normal/meningkat > 90 (ada kerusakan ginjal, proteinuria)
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurunan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal ginjal < 15
c. Penyebab
Penyebab GGK menurut Price (1992), dibagimenjadidelapankelas,
antaralain:
1) Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2) Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3) Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus
sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal.
6) Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
7) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati
timbal.
8) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosisnetroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra.
d. Tanda Gejala Penyakit Gagal Ginjal
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sisem tubuh dipengaruhi
oleh kondisi uremia, maka pasien akan memperhatikan sejumlah tanda
dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan
tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjal kronis mencakup
hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi system
rennin-angiotenin-aldosteron), gagal jantung kongestif, dan edema
pulmoner (akibat cairan berlebihan), dan perikarditis (akibat iritasi
pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal
yang parah (pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea
di kulit, saat ini jarang terjadi akibat penanganan dini dan agresif
terhadap penyakit ginjal tahap akhir. Gejala gastrointestinal juga
sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muntah dan cegukan.
Perubahan neuromuskuler mencakup perubahan tingkat kesadaran,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996: 369):
1) Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental,
berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi.
2) Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak,
udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001: 1449) antara lain:
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem
renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem
pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi
pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah,
dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai
berikut:
1) Sistem kardiovaskuler
- Hipertensi
- Pitting edema
- Edema periorbital
- Pembesaran vena leher
- Friction sub pericardial
2) Sistem Pulmoner
- Krekel
- Nafas dangkal
- Kusmaull
- Sputum kental dan liat
3) Sistem gastrointestinal
- Anoreksia, mual dan muntah
- Perdarahan saluran GI
- Ulserasi dan pardarahan mulut
- Nafas berbau ammonia
4) Sistem musculoskeletal
- Kram otot
- Kehilangan kekuatan otot
- Fraktur tulang
5) Sistem Integumen
- Warna kulit abu-abu mengkilat
- Pruritis
- Kulit kering bersisik
- Ekimosis
- Kuku tipis dan rapuh
- Rambut tipis dan kasar
6) Sistem Reproduksi
- Amenore
- Atrofi testis
e. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron-
nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah
hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu
(Barbara C Long, 1996; 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah.
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat.
Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Brunner & Suddarth,
2001; 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi
tiga stadium yaitu:
1) Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum
Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
2) Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo
filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood
Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin
serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan,
timbul nokturia dan poliuri.
3) Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia).
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo
filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit
atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood
ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri
(Price, 1992; 813-814).
f. Perjalanan Klinis
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3
stadium :
1) Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40%-
75%).
Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik.
Pada tahap ini penderita belum merasakan gejala-gejala dan
pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal.
Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea
Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik.
Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan
memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih
yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2) Stadium II : Insufisiensi ginjal (faal ginjal antara 20%-50%).
Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa
padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini
pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan,
kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian
obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah-
langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah
penderita masuk ke tahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih
dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru
mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi
BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.
Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar
pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun
poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya
ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara
5%-25%. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala-
gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, aktifitas
penderita mulai terganggu.
3) Stadium III : Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%)
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan
dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana
mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah,
nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air
kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10%
dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5- 10
ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar
BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai
penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai
merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih)
kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun
proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal, kompleks
menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi
setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan mengenal kecuali ia mendapat pengobatan
dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
g. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara
lain:
1) Hiperkalemia, akibat penurunan eksresiasi dosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih
2) Perikarditis, efusi perincalkdial dan temponade jantung
3) Hipertensi, akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi
sistem rennin angio aldosteron
4) Anemia, akibat penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah
merah, pendarahan gastrointestinal akibat iritasi
5) Penyakit tulang, akibat retensi fosfat kadar kalium serum yang
rendah metabolisme vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar
aluminium
2. Hemodialisis
a. Pengertian
Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal
ginjal akut, gagal ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalaui
mesin.
Hemodialisis (cuci darah) adalah sebuah terapi . Kata ini
berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti
dipisahkan. Hemodialisis merupakan salah satu dari terapi penggganti
ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi
ginjal, baik akut maupun kronik. Perinsip dasar dari Hemodialisis
adalah dengan menerapkan proses difusi dan ultrafiltrasi pada ginjal
buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Hemodialisis
dapat dikerjakan untuk sementara waktu (misalnya pada Gagal Ginjal
Akut) atau dapat pula untuk seumur hidup (misalnya pada Gagal
Ginjal Kronik). Pada dasarnya untuk dapat dilakukan Hemodialisa
memerlukan alat yang disebut ginjal buatan (dialiser), dialisat dan
sirkuit darah. Selain itu juga diperlukan akses vaskuler.
Hemodialisis berfungsi membuang produk-produk sisa
metabolisme seperti potassium dan urea dari darah dengan
menggunakan mesin dialiser. Mesin ini mampu berfungsi sebagai
ginjal menggantikan ginjal penderita yang sudah rusak kerena
penyakitnya, dengan menggunakan mesin itu selama 24 jam
perminggu, penderita dapat memperpanjang hidupnya sampai batas
waktu yang tidak tertentu.
Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan
dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik
dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk
ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat
terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut
(sisa metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam
kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat
melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah
dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam tubuh.
b. Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan
GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.Pasien-pasien
tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi:
1) Hiperkalemia
2) Asidosis
3) Kegagalan terapi konservatif
4) Kadar ureum atau kreatinin tinggi dalam darah
5) Kelebihan cairan
6) Mual dan muntah hebat
c. Proses Hemodialisis
Mekanisme proses pada mesin hemodialisis, darah pompa dari
tubuh masuk kedalam mesin dialisis lalu dibersihkan pada dializer
(ginjal buatan), lalu darah pasien yang sudah bersih dipompakan
kembali ketubuh pasien. Mesin dialisis yang paling baru dipasaran
telah dilengkapi oleh sistim komputerisasi dan secara terus menerus
memonitor array safty-critical parameter, mencangkup laju alir darah
dan dialysate, tekanan darah, tingkat detak jantung, daya konduksi,
pH, dll. Bila ada yang tidak normal, alarm akan berbunyi. Dua
diantara mesin dialisis yang paling besar adalah fresenius dan gambro.
Dalam hemodialisis memerlukan akses vaskular (pembuluh darah)
hemodalisis (AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah
yang cukup besar, yaitu diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300
ml/menit secara kontinue selama hemodialis 4-5 jam. AVH dapat
berupa kateter yang dipasang dipembuluh darah vena di leher atau
paha yang bersifat temporer. Untuk yang permanen dibuat hubungan
antara arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous
fistula, lebih populer bila disebut (brescia) cimino fistula. Kemudian
darah dari tubuh pasien masuk kedalam sirkulasi darah mesin
hemodialisis yang terdiri dari selang inlet/arterial (ke mesin) dan
selang outlet/venous (dari mesin ketubuh). Kedua ujungnya
disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk kepembuluh darah
pasien. Darah setelah melalui selang inlet masuk ke dialiser. Jumlah
darah yang menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200ml.
Dalam dialiser darah dibersihkan, sampah-sampah secara kontinue
menembus membran dan menyebrang ke kompartemen dialisat. Di
pihak lain cairan dialisat mengalir dalam mesin hemodialisis dengan
kecepatan 500ml/menit masuk kedalam dialiser pada kompartemen
dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang pekat dengan bahan
utama elektrit dan glukosa, cairan ini dipompa masuk kemesin sambil
dicampur dengan air bersih yang telah mengalami proses pembersihan
yang rumit (water treatment). Selama proses hemodialisis, darah
pasien diberi heparin agar tidak membeku bila berada diluar tubuh
yaitu dalam sirkulasi darah mesin.
Driving force yang digunakan adalah pebedaan konsentrasi zat
yang terlarut berupa racun seperti partikel-partikel kecil, seperti urea,
kalium, asam urea, fosfat dan kelebihan klorida pada darah dan
dialysate. Semakin besar konsentrasi racun tersebut didalam darah dan
dialysate maka proses difusi semakin cepat. Berlawanan dengan
peritoneal dialysis, dimana pengangkutan adalah antar kompartemen
cairan yang statis, hemodialisis bersandar pada pengangkutan
konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana bila dialysate
mengalir kedalam berlawanan arah dengan mengalir extracorporeal
sirkuit. Metoda ini dapat meningkatkan efektivitas dialisis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang
sudah disterilkan. urea dan sisa metabolisme lainya, seperti kalium
dan fosfat, berdifusi ke dalam dialysate.
Selain itu untuk memisahkan yang terlarut dalam darah
digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan pada
ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan
dialyzer. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air
melewati membran. Jika tekanan dari dialyzer di turunkan maka
kecepatan ultrafiltrasi air dan darah akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan
darah yang bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah
yang digunakan pada mesin hemodialisis modern, sehingga
keefektifitasannya dalam menggantikan peran ginjal sangat tinggi.
d. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005)
selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang
terjadi, antara lain :
1) Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa.
Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan)
yang cepat dengan volume yang tinggi.
2) Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat
asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik,
neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3) Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum
yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea
yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan
suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini.
Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan
biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama
dengan azotemia berat.
5) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang
perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
6) Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit
dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan
heparin selama hemodialisa juga merupakan factor risiko
terjadinya perdarahan.
7) Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah
yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan
sering disertai dengan sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa
terjadi pada akses vaskuler.
8) Pembekuan darah
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin
yang tidak sesuai ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
3. Therapy Komplementer
a. Pengertian
Terapi komplementer adalah terapi dalam ruang lingkup luas
meliputi system kesehatan, modalitas, dan praktek-praktek yang
berhubungan dengan teori-teori dan kepercayaan pada suatu daerah
dan pada waktu atau periode tertentu.
Terapi komplementer adalah terapi yang digunakan secara
bersama-sama dengan terapi lain dan bukan untuk menggantikan
terapi medis. Terapi komplementer dapat digunakan sebagai single
therapy ketika digunakan untuk meningkatkan kesehatan (Sparber,
2005).
Menurut WHO (World Health Organization), Pengobatan
komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang bukan
berasal dari negara yang bersangkutan, sehingga untuk Indonesia
jamu misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer tetapi
merupakan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang
dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman dahulu
digunakan dan diturunkan secara turu-temurun pada suatu negara.
b. Jurnal terkait
Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan komplikasi Gagal
Ginjal Terminal (GGT) memiliki ginjal yang telah mengalami
penurunan fungsi sampai tidak mampu membuang limbah sisa
metabolisme dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi hemodialisa
merupakan tindakan yang tepat untuk menggantikan kerja ginjal
meskipun harus dilakukan pembatasan asupan cairan yang
mengakibatkan sebagian besar pasien mengeluh mengalami mulut
kering. Salah satu cara untuk merawat mulut kering (dry mouth)
adalah mengunyah permen karet rendah gula untuk merangsang
sekresi saliva.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat
pengaruh mengunyah permen karet rendah gula terhadap peningkatan
sekresi saliva pada pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD Kota
Langsa tahun 2009 dengan quasy experimen dengan menggunakan
rancangan kasus kontrol. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak
40orang dengan menggunakan teknik total sampling. Pengumpulan
data dilakukan tanggal 10 Oktober sampai 10 November 2009.
Berdasarkan analisa data didapatkan jumlah sekresi saliva
sebelum dilakukan tindakan pada kelompok intervensi rata-rata 0,7
mL/menit (40%) pada kelompok kontrol rata-rata 0,6 mL/menit
(55%). Sekresi saliva setelah dilakukan tindakan pada kelompok
intervensi seluruhnya meningkat dengan jumlah rata-rata 2,7
mL/menitdan 2,8 mL/menit, masing-masing 20% sedangkan pada
kelompok kontrol tidak mengalami kenaikan dengan rata-rata 0,6
mL/menit (75%). Hasil uji korelasi terdapat adanya perbedaan
bermakna antara jumlah sekresi saliva pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol, sebelum dan setelah pemberian tindakan
mengunyah permen karet rendah gula dengan nilai p = 0,000 (nilai p <
0,05).
Dengan demikian perawat yang bertugas di ruang
hemodialisa hendaknya dapat lebih proaktif dalam menggali masalah
yang dirasakan pasien hemodialisa seperti adanya penurunan sekresi
saliva yang menimbulkan sensasi mulut kering sehingga dapat
dilakukan upaya-upaya untuk membantu mengatasi masalah tersebut.
Pengetahuan perawat tentang dampak dari tindakan pembatasan cairan
pada pasien hemodialisa akan membantu meningkatkan kualitas hidup
pasien sehingga tetapdapat berfungsi seoptimal mungkin dengan
keterbatasan yang dimilikinya.
Kata kunci : Mengunyah Permen Karet Rendah Gula, Peningkatan
Sekresi
Saliva.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Biodata
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 53 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wirausaha
Agama : Islam
Alamat : Padureso
Tanggal pengkajian : 13 April 2013
Diagnose medis : CKD stage V
2. Identitas penanggung jawab
Nama : Sdr. N
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : laki- laki
Pekerjaan : -
Alamat : Padureso
Hub. Dengan klien : anak kandung klien
B. Riwayat penyakit
1. Keluhan utama
Klien mengeluh bengkak pada kaki dan pusing.
2. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan ± 4 bulan yang lalu klien merantau ke kalimantan dan
disana klien sering mengkonsumsi serbuk minunan penambah stamina
seperti kuku bima,extra joss,dll. Klien juga sering mengkonsumsi sayuran
yang dirumah pantangan seperti kangkung,bayam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengalami penyakit gagal ginjal kronis stadium 5 dan seminggu 2x
menjalani terapi hemodialisa setiap hari rabu dan sabtu.
4. Riwayat penyakit keluuarga
Klien mengatakan keluarga tidak ada yang mengalami penyakit yang sama
dengan klien ataupun menyakit menurun dan menular.
C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda – Tanda Vital
TD : 169/106 mmHg
N : 85 x/mnt
RR : 24 x/mnt
S : 365 0 C
BB : 57 Kg, BB post HD sebelumnya 55 Kg
4. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut beruban dan bersih
5. Mata :Konjungtiva anemis,tidak ada gangguan
penglihatan
6. Mulut :Mukosa bibir kering, mulut dan gigi bersih
7. Leher :Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
8. Dada : Simetris, tidak ada retraksi dinding dada.
9. Jantung
I : ictus cordis pada intercosta ke 2-4
Au : terdengar S1 dan S2 reguler
Pe : bunyi redup
Pa : tidak ada pembesaran jantung
10. Paru-paru
I : Tidak ada lesi, tidak ada retraksi dinding dada,
tidak menggunakan otot bantu pernapasan.
Pe : Terdengar suara sonor
Pa : Tidak ada oedema paru dan terdengar vocal
vomitus
Au : Tidak ada terdengar suara nafas tambahan RR : 24
x/m
11. Abdomen
I : Tidak terlihat adanya lesi
Au : Peristaltik 16x/menit
Pa : Tak ada massa, tak ada nyeri tekan
Pe : Terdengar bunyi tympani
12. Ekstremitas : Ada oedema kedua kaki derajat 1
D. Pengkajian keperawatan, Menurut Virginia Handerson atau Gordon
1. Pola oksigenasi
Sebelum HD : Klien mengatakan tidak ada sesak nafas, tidak ada
gangguan pernafasan
Setelah HD : Klien mengatakan tidak sesak nafas.
2. Pola nutrisi
Sebelum HD : klien mengatakan tidak ada masalah dengan nafsu makan,
makan 3x/sehari dengan menu : nasi, sayur dan lauk dan
minum klien minum air putih gelas sehari, klien dulu kalau
merasa kurang enak badan langsung minum obat warung
tanpa resep dokter
Setelah HD : Klien mengatakan makan 3x/sehari , minum air putih 2
gelas/hari
3. Pola eliminasi
Sebelum HD : Klien mengatakan BAB 3x/sehari dan BAK 4-6 x/hari
Sesudah HD : Klien mengatakan Diare ada ampasnya, warna hitam dan
BAB 3-6x/sehari dan BAK tidak lancar.
4. Pola Aktivitas
Sebelum HD : Klien mengatakan aktivitas sehari-hari bekerja sebagai
petani, aktiivitas klien mandiri tanpa bantuan.
Setelah HD : Klien mengatakan tidak bisa bekerja,karena bekerja
sebentar klien mengatakan cepat lelah.
5. Pola istirahat dan tidur
Sebelum HD : Klien mengatakan tidur antara jam 10 malam- 5 pagi,
kira” 6-7 jam/ sehari.
Setelah HD : klien istirahatnya berkurang hanya 5-6 jam sehari
6. Pola berpakaian
Sebelum HD : klien mengatakan dalam berpakaian mandiri, rapih
Setelah HD : klien mengatakan masih biasa sendiri kadang dibantu
keluarga
7. Pola mempertahankan temperature tubuh
Sebelum HD : Klien mengatakan menggunakan selimut dan jaket kalau
merasa dingin
Setelah HD : Klien mengunakan selimut kalau dingin, S : 365 0 C
8. Pola personal hygiene
Sebelum HD : klien mengatakan mandi 2x sehari
Setelah HD : klien mandi secara mandiri 2x sehari
9. Pola perlindungan diri
Sebelum HD : klien mengatakan kalau beraktivitas mandiri tanpa
bantuan
Setelah HD : klien sering merasa lemas, jika akan melakukan aktivitas
dibantu oleh keluarga
10. Pola berkomunikasi
Sebelum HD : klien berkomunikasi dengan lancar tidak ada gangguan,
mengunakan bahasa jawa dan indonesia
Setelah HD : klien berkomunikasi dengan lancar tidak ada gangguan,
mengunakan bahasa jawa dan indonesia
11. Pola spiritual
Sebelum HD : klien mengatakan sholat 5 waktu dan berdo’a setiap hari
Setelah HD : klien masih bias sholat 5 waktu walaupun kadang dengan
duduk karena kondisinya sekarang
12. Pola belajar
Sebelum HD : klien mengatakan tidak pernah berfikir akan mengalami
penyakit gagal ginjal
Setelah HD : klien sudah mengetahui penyakitnya dari dokter dan
perawat
13. Pola rekreasi
Sebelum HD : klien mengatakan jarang berpergian hanya berkumpul
dengan keluarga dan tetangga kalau ada waktu senggang
Sesudah HD : klien hanya dirumah saja
14. Pola rasa aman dan nyaman
Sebelum HD : klien mengatakan sering sakit pinggang sudah lama
sebelum didiagnosa gagal ginjal
Sesudah HD : klien mengatakan sekarang sering merasa lemas, sesak
nafas karena penyakinya
E. Pemeriksaan penunjang
1. Hasil laboratorium tanggal 27 Maret 2013
Pemeriksaan Hasil Unit Normal
Hb 6.8 g/dl L : 13,2- 17,3 P : 11,7- 15,5
Ureum 128,8 Mg/dl 10.0 – 50.0
Creatinin 10,68 Mg/dl 0.60 – 1.10
Glukosa 103 Mg/dl 70 -120
2. Hasil laboratorium tanggal 10 April 2013
Parameter Result Ref. range
WBC 8.06 x 10^3/ul L:3,8-10,6 P: 3,6- 11.0
RBC 2.99 x 10^6/ul L: 4.4 -5.9 P: 3.8 – 5.2
HGB 8.7 g/dl L: 13.2-17.3 P :11.7-15.5
HCT 25.8 % L:40-52 P:35-47
MCV 86.3 fL 80.0 – 100.0
MCH 29.1 pg 26.0 – 34.0
MCHC 33.7 g/dL 32.0 – 36.0
PLT 57 10^3/uL 150 - 440
RDW-CV 14.9 % 11.5 – 14.3
RDW-SD 45.4 fL 35 - 47
PDW 10.9 fL 9.0 – 13.0
MPV 10.1 fL 7.2 – 11.1
P-LCR 29.5 % 15.0 – 25.0
NEUT# 5.51 10^3/uL 1.8 - 8
LYMPH# 1.15 10^3/uL 0.9 – 5.2
MONO# 0.50 10^3/uL 0.16 - 1
EO# 0.83 + 10^3/uL 0.045 – 0.44
BASO# 0.07 10^3/ul 0 – 0.2
NEUT% 68.3 + % 50 - 70
LYMPH% 14.3 - % 25 - 40
MONO% 6.2 % 2 - 8
EO% 10.3 + % 2 - 4
BASO% 0.9 % 0 - 1
F. Terapi obat
Tanggal 13 April 2013
1. Sulfas ferosis 3x1 tablet
2. Asam folat 3x1 tablet
3. CaCO3 3x1 tablet
ANALISA DATA
No. Tanggal/
jam
Analisa data Pathway Problem Etiologi
1. 13 April
2013
07.30 WIB
Ds : klien mengatakan
pusing, cemas.
Do :
- Ada oedema
ekstremitas bawah,
derajat 1
- Klien lemah
- Konjungtiva
anemis
- TD : 169/106
mmHg
N : 85 x/mnt
RR: 24 x/mnt
S : 365 0 C
- BB sekarang 57
Kg, BB post HD
sebelumnya 55 Kg.
Zat toksik
(obat” warung)
Tertimbun diginjal
Gagal ginjal kronis
Retensi Na
Vol. intertisial naik
Oedema
Preload naik
Beban jantung naik
Hipertropi ventrikel
kiri
COP turun, aliran
darah ginjal turun
RAA turun
Retensi Na dan H2O
Kelebihan
volume
cairan
Gangguan
mekanisme
regulasi
(Retensi Na
dan H2O naik)
naik
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan Volume Cairan b.d Gangguan mekanisme regulasi (Retensi Na dan
H2O naik)
INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Dx. Kep NOC NIC
1. Kelebihan Volume
Cairan b.d
Gangguan
mekanisme regulasi
(Retensi Na dan H2O
naik)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x4 jam, diharapkan keseimbangan
cairan klien terpenuhi. criteria hasil :
Indicator IR ER
TD dalam batas yg
diharapkan
2 4
BB stabil 3 5
Tidak ada asites 3 5
tidak ada nafas
tambahan
2 4
Ket :
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
a. Ukur TTV
b. Timbang BB pre
dan post HD
c. Keseimbangan
intake dan output
d. Tingkat oedema
dan turgor kulit
e. Lakukan HD
dengan UF 2000
ml
f. Pantau KU selama
HD
g. Kolaborasi
pemberian obat
deuretik
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No. Dx Tanggal / jam Implementasi Respon klien
1 13 April 2013
07.30 wib
07.30 wib
08.00 wib
08.15 Wib
10.30 wib
11.00 wib
11.40 wib
a. Timbang berat
badan sebelum HD
b. Ukur TTV
c. Monitor tingkat
oedema
d. Melakukan terapi
HD
e. Monitor KU
selama HD
f. Monitor intake dan
output cairan
g. Mengukur TTV
dan BB setelah HD
h. Memonitor KU
klien
a. BB sebelum HD : 57
Kg
b. TD : 169/106mmHg
N : 85 x/mnt
RR : 24 x/mnt
S : 365 0 C
c. Oedema derajat 1 dikaki
d. Klien tampak tenang
e. Klien kooperatif, tenang
f. UF yang ditarik 1000 ml
g. TD : 130/70 mmHgS : 36 0CBB : 55 Kg
h. Klien tampak lemas
EVALUASI KEPERAWATAN
Tanggal/
jam
No. Dx Evaluasi (SOAP)
13 April
2013
12. 00 wib
1. S : klien mengatakan lebih nyaman
O : masih ada oedema, cairan keluar 2000 ml
A : masalah kelebihan volume cairan teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
a. Monitor intake dan output cairan
b. Anjurkan klien untuk mengatur asupan cairannya
G. Instrument pengumpulan data
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
pemantauan keseimbangan cairan dan gelas ukur untuk memantau cairan pada
klien CRF.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Keperawatan perdiagnosa
Dari hasil pengkajian pasien hemodialisa di RSUD Kebumen dengan
nama Tn. S , Saya mengambil diagnose kelebihan volume cairan b.d
Gangguan mekanisme regulasi (Retensi Na dan H2O naik).
B. Pembahasan perdiagnosa
Kelebihan volume cairan terjadi karena dulu klien sering
mengonsumsi obat warung sehingga adanya Zat toksik (obat” warung)
kemudian tertimbun diginjal terjadi gagal ginjal kronis menyebabkan
Retensi Natrium dan Volume intertisial naik menyebabkan oedema
preload naik dan beban jantung naik terjadi Hipertropi ventrikel kiri COP
turun aliran darah ginjal turun dan RAA turun Retensi Na dan H2O naik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Gambaran karakteristik responden penderita CRF di RS PKU
Muhammadiyah Gombong persentase terbesar responden berumur antara
25-50 tahun (59,1%), berjenis kelamin laki-laki (68,2%) dan memiliki
pekerjaan sebagai buruh yaitu sebesar 59,1%.
2. Keseimbangan cairan pada klien CRF yang menjalani rawat inap di ruang
Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong responden yang memiliki
keseimbangan cairan kurang baik memiliki persentase lebih besar
dibanding dengan responden yang memiliki keseimbangan cairan baik
yaitu sebanyak 68,2%.
B. SARAN
1. Bagi perawat
Agar lebih mengontrol pemberian terapi cairan pada klien dengan CRF.
Apabila penderita CRF tidak membutuhkan cairan parenteral berupa
infus, sebaiknya hanya dipasang panflon untuk memasukkan therapi dan
meminimalkan cairan yang masuk, dan apabila klien membutuhkan
transfusi darah bisa disambungkan dengan transfusi set, sehingga dapat
meminimalkan terjadinya over hidrasi.
2. Bagi institusi pelayanan
Agar membuat kebijakan rumah sakit dalam rangka mengevaluasi
program pemantauan keseimbangan cairan dan memperhatikan kebutuhan
caiaran dan mampu menanamkan sikap positif pada perawat dan penderita
CRF, serta lebih menyediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang
kesehatan.
3. Bagi penderita dan keluarga
Diharapkan penderita CRF lebih memperhatikan keseimbangan antara
kebutuhan cairan dan pengeluaran cairan, sehingga dapat mengurangi
dampak penumpukan cairan yang berlebihan.
4. Bagi peneliti berikutnya
Pada penelitian ini hanya study deskriptif keseimbangan cairan pada klien
CRF untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian penyebab dari CRF,
apakah karena faktor minuman instan atau infeksi virus.