Upload
hari-hilman
View
165
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
askep tonsil
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada
prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat
beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan
prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil.Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian
sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.Mengingat dampak yang
ditimbulkan makatonsilitis kronis hipertrofi yang telah menyebabkan
sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan
operatif tonsilektomi. Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode
1
pengangkatan tonsil berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti
tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari bahasa yunani ectomy yang
berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang mulai dari abad
21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan
tonsilektomi dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah
diseksi thermal menggunakan elektrocauter.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia
pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta
keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di
Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik
anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan
tujuan untuk pendidikan.
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan
dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi
terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi.
Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun
komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca
operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan
hipovolemia, hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti
jantung terkait induksi intravena dengan pentotal.
2
1.2. TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari makalah ini adalah untuk memahami
gambaran umum tentang Tonsilitis dan mampu menerapkan asuhan
keperawatan pada penatalaksanaan anestesi pada klien dengan Tonsilitis
yang menjalani operasi Tonsilektomi.
1.2.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari makalah ini antara lain adalah :
a. Mengetahui tentang pengertian Tonsilitis
b. Mengetahui tentang anatomi dan fisiologis Tonslitis
c. Mengetahui tentang etiologi dari Tonsilitis
d. Mengetahui tentag patofisiologi dan pathway dari Tonsilitis
e. Mengetahui tentang maifestasi klinis dari Tonsilitis
f. Mengetahui tentang komplikasi Tonslitis
g. Mengetahui tentang penatalaksanaan baik penatalaksanaan medis
maupun penatalaksannaan keperawatan anestesi dari Tonsilektomi
h. Mengetahui asuhan keperawatan dan penatalaksanaan anestesi pada
pasien dengan Tonsilektomi
3
1.3. Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu penulis hanya
menggambarkan atau memaparkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa
kini.
Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara
Penulis mengadakan wawancara langsung terhadap pasien, keluarga
pasien, perawat ruangan dan petugas kesehatan yang terlibat dalam kasus
ini.
b. Observasi
Penulis melakukan pengumpulan data melalui hasil pengamatan secara
langsung terhadap kondisi pasien.
c. Pemeriksaan Fisik
Penulis melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan metode
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultrasi.
d. Studi Literatur
Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara mempelajari buku-
buku keperawatan dan buku-buku ilmiah lainnya yang menunjang kasus.
e. Studi Dokumentasi
Penulis melakukan pengumpulan data dengan memvalidasi data yang
diperoleh dari pengkajian dan data dari keluarga.
4
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibagi menjadi 4 bagian sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
metode penulisan, lingkup bahasan.
BAB II : Pembahasan tentang Tonsilitis secara umum dan penatalaksanaan
anestesi pada pasien Tonsilektomi.
BAB III : Tinjauan kasus penatalaksanaan keperawatan dan anestesi umum
pada pasien An. I dengan tindakan Tonsilektomi dikamar operasi
BLUD RSU Kota Banjar.
BAB IV : Kesimpulan dan saran.
1.5. Lingkup Bahasan
a. Materi
Materi dalam pembahasan kasus ini adalah mengenai asuhan keperawatan
dan penatalaksanaan anestesi umum (intubasi tracheal) pada An. I usia 10
tahun dengan tindakan Tonsilektomi.
b. Waktu
Waktu pengambilan kasus ini tanggal 20 November 2014.
c. Tempat
Tempat pengambilan kasus ini di Instalasi Bedah SentralBLUD RSU
Kota Banjar.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. TONSILITIS
2.1.1. Pengertian
Tonsil merupakan kumpulan besar jaringan limfoid di belakang faring yang
memiliki keaktifan munologik. Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak
menyebarke seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui
mulut,hidung dantenggorokan. Oleh karena itu, tidak jarang tonsil mengalami
peradangan.
Tonsilitis adalah infeksi atau peradangan pada tonsil. Tonsilitis akut merupakan
inveksi tonsilyang sifatnya akut, sedangkan tonsillitis kronik merupakan tonsillitis
yang terjadi berulangkali.
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil atau amandel. Operasi ini
merupakan operasi THT yang paling sering dilakukan pada anak-anak.
Tonsilektomi dilakukan hanya jika pasien mempunyai masalah-masalah berikut :
a. Menderita tonsillitis berulang
b. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang dapat menyebabkan obstruksi
c. Serangan otitis media purulens berulang
d. Diduga kehilangan pendengaran akibat otitis media serosa yang terjadi
dalam kalbunya dengan pembasaran konal dan adenoid
e. Kecurigaan keganasan tonsil pada orang dewasa muda dan dewasa
6
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil
lingual, dan tonsil tubal.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral
orofaring. Dibatasi oleh:
7
(a) Lateral – muskulus konstriktor faring superior
(b) Anterior – muskulus palatoglosus
(c) Posterior – muskulus palatofaringeus
(d) Superior – palatum mole
(e) Inferior – tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli
terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat
germinal.
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan
batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring
superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian
luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.
8
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan
cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri
maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri
lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal
asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden,
diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub
atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung
dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
9
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke
IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser
palatine nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel
plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen
komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil
dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular,
mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel
ilmfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
10
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari
sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di
dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi.
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa
ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata.
2.1.3. Etiologi
Penyebab tonsilitis bermacam – macam, diantaranya adalah yang
tersebut dibawah ini yaitu :
11
1. Streptokokus Beta Hemolitikus
2. Streptokokus Viridans
3. Streptokokus Piogenes
4. Virus Influenza
Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (
droplet infections )
2.1.4. Proses Patologi dan Patway
Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran napas
bagian atas akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian
menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus
patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi
sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya
udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada
faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil
sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam
tinggi bau mulut serta otalgia.
12
Pathway
2.1.5. Manifestasi Klinis
Penderita biasanya demam, nyeri tenggorokan, mungkin sakit berat dan
merasa sangat nyeri terutama saat menelan dan membuka mulut disertai dengan
trismus (kesulitan membuka mulut). Bila laring terkena, suara akan menjadi serak.
13
Invasi kuman patogen (bakteri / virus)
Penyebaran limfogen
Faring & tonsil
Proses inflamasi
Tonsilitis akut hipertermi
Edema tonsil
Nyeri telan
Sulit makan & minum
Resiko perubahanstatus
nutrisi < dari kebutuhan
tubuh
Tonsil & adenoid membesar
Obstruksi pada tuba eustakii
Kurangnya pendengaran Infeksi sekunder
Otitis media
Gangguan persepsi sensori :
pendengaran
Kelemahan
Intoleransi
aktifitas
Pada pemeriksaan tampak faringhiperemis, tonsil membengkak, hiperemis :
terdapat detritus (tonsillitis folibularis), kadangdetritus berdekatan menjadi sati
(tonsillitis laturasis) atau berupa membrane semu. Tampak arkus palatinus anterior
terdorong ke luar dan uvula terdesak melewati garis tengah.Kelenjar sub
mandibula membengkak dan nyeri tekan, terutama pada anak-anak. Pembesaran
adenoid dapat menyebabkan pernapasan mulut, telinga mengeluarkan
cairan,kepala sering panas, bronchitis, napas baud an pernapasan bising.
2.1.6. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara
perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen
ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap
ditemui adalah sebagai berikut :
a. Komplikasi sekitar tonsil
(a) Peritonsilitis
(b) Abses Peritonsilar (Quinsy)
(c) Abses Parafaringeal
(d) Abses Retrofaring
(e) Krista Tonsil
(f) Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
14
b. Komplikasi Organ jauh
(a) Demam rematik dan penyakit jantung rematik
(b) Glomerulonefritis
(c) Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
(d) Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
(e) Artritis dan fibrositis
2.2. Penatalaksanaan Tindakan Anestesi
Pada pasien tonsilektomi kita harus memperhatikan perubahan-
perubahan fisiologi dan anatomi, karena tindakan tersebut dapat
mempengaruhi tindakan anestesi. Bila pasien disertai dengan penyakit lain
seperti asma maka tindakan anestesi akan lebih spesifik lagi. Untuk hal ini
perlu pengetahuan lebih mendalam mengenai fisiologi dan anatomi
sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.
2.2.1. Pengertian Anestesi
Istilah anestesi pertama kali dikemukakan oleh ahli filosofi
Yunani yang bernama Dioscorides. Anestesi adalah hilangnya rasa
sakit.Anestesi berarti hilangnya segala sensasi panas, dingin, rabaan,
kedudukan tubuh (posture), nyeri dan biasanya dihubungkan dengan
hilangnya kesadaran.Anestesi umum berarti hilangnya sakit diseluruh
tubuh yang disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat
sementara akibat pemberian obat anestesi. Setelah obat ini mengalami
15
metabolisme dan dikeluarkan oleh tubuh, keadaan akan pulih kembali
seperti semula.
2.2.2. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversibel).Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgetik,
hipnotik, dan relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga
kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan
mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah,
tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi,
menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali,
tanpa efek yang tidak diinginkan.
16
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain
pada dosis yang aman mempunyai daya analgetik relaksasi otot yang
cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak
mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut
harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.
a. Macam-macam Teknik Anestesi
(a) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik
diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung
penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
(b) Semi open drop method
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi
hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas
flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara
semenit.
17
(c) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang
dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas
yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya
dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar
tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan
memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100%
kebutuhan.
(d) Closed method
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga
udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.
2.2.3. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
18
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
(a) Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
(b) Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
(c) Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
19
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
a. Pemeriksaan praoperasi anestesi
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
20
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernapasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernapasan, serta
suhu tubuh.
21
5. Jalan napas (airway). Jalan napas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : Palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
ii. Mallampati II : Palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : Palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : Palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
22
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
23
2.2.4. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi.Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
(1) Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam
(2) Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
(3) Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
(4) Memberikan analgetika, misal : fentanyl, pethidin
(5) Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
(6) Memperlancar induksi, misal : pethidin
(7) Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
(8) Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
(9) Mengurangi sekresi kelenjar saluran napas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status
fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya,
riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu
yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya
operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
24
a. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi:
Fentanyl
Fentanyl merupakan salah satu preparat golongan analgetik
opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-
150 mcg/kgBB, termasuk sufentanyl (0,25-0,5 mcg/kgBB).Bahkan
sekarang ini telah ditemukan remifentanyl, suatu opioid yang poten
dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan
depresi pernapasan residual.Opioid dosis tinggi yang deberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan
larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut,
sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi
berhubungan dengan perkembangan toleransi akut.Maka dari itu,
dosis fentanyl dan sufentanyl yang lebih rendah telah digunakan
sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam
anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek
analgetik perioperatif.
Sebagai analgetik, potensinya diperkirakan 80 kali
morfin.Lamanya efek depresi napasfentanyl lebih pendek
dibanding meperidin.Efek euphoria dan analgetik fentanyl
diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu
25
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi
IV.Dosis tinggi fentanyl menimbulkan kekakuan yang jelas pada
otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum.Efek ini di antagonis oleh
nalokson.Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski
juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi.Obat ini
tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.Fentanyl dan droperidol
(suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan
bersama-sama untuk menimbulkan analgetika dan amnesia dan
dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek
yang disebut sebagai neurolepanestesia.
2.2.5. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
26
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan
2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan
pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain
itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi.
Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien
rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis)
dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi
arteri perifer dan venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri
27
sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena
vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya
kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali
lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan
ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik,
sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi
terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan
menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
28
efek analgetik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar
lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang
rendah propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya
depresi pernapasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada
sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi,
bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan
lidokain (20-50 mg).
b. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular
sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut
mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin,
dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi
relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali.
29
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang
berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa
keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :
(a) Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama
melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi
kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
(b) Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian
berulang.
(c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler
yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis
yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada
dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium
dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
30
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan
pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat
menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien
dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang
mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan
sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan
perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
2.2.6. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan
tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat,
tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat
merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan
ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
31
menimbulkan analgetik yang berarti. Depresi napas terjadi pada
masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat
dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
2.2.7. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
32
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
33
2.2.8. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai
untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara
Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan
untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
34
Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas
motorik
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
2
1
0
2 Respirasi Napas adekuat dan dapat batuk
Napas kurang adekuat/distress/hipoventilasi
Apneu/tidak bernapas
2
1
0
3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula
Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari
semula
Tekanan darah berbeda >50% dari semula
2
1
0
4 Kesadaran Sadar penuh 2
35
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon atau belum sadar
1
0
5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula
Pucat
Sianosis
2
1
0
Aldrete score ≥ 9, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan
36
BAB III
TINAUAN KASUS
3.1. Pengkajian
3.1.1. Identitas
I. Identitas Klien
Nama : An. I
Umur : 10 tahun
Jenis Kelami : Perempuan
Pendidikan : SD
Suku/bangsa : Sunda/Indonesia
Tanggal Masuk RS : 19 November 2014
NO.MED.REC : 280910
Ruang/kamar : Raflesia
Diagnosa Medis : Tonsilitis Kronik
Tanggal Pengkajian : 20 November 2014
37
Alamat : RT/02 RW/15 Desa Sukasari, Kecamatan
Banjarsar, Kabupaten Banjar
II.Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. K
Umur : 46 tahun
Pendididkan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia
Alamat : RT/02 RW/15 Desa Sukasari, Kecamatan
Banjarsar, Kabupaten Banjar
1. Keluhan Utama
Keluhan utama saat masuk rumah sakit : nyeri saat menelan
Keluhan utama saat dikaji : nyeri saat menelan dan
cemas
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit tanggal 19 November 2014 dan di rawat
di ruang Raflesia, pasien mengeluh nyeri menelan. Nyeri bertambah
hebat jika klien makan atau minum, tenggorokan klien terasa nyeri.
38
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Ibu klien mengatakan bahwa klien mengalami penyakit ini sejak 1
tahun yang lalu, dan belum pernah melakukan tindakan operasi di
Rumah Sakit.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan di keluarga nya tidak ada yang menderita penyakit
yang sama dengan klien.
3.1.3. Keadaan Umum
1. Penampilan : Klien terlihat sakit sedang
2. Kesadaran :
Kualitas : Compos mentis
Kuantitas : E=4, M=6, V=5, GCS=15
3. Berat badan/Tinggi badan : 25kg/130cm
4. TTV
T = 130/80 mmHg
P = 110x/menit
R = 20x/menit
S = 36,40 C
39
3.1.4. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala dan rambut
Bentuk simetris tidak ada lesi atau benjolan, pasien tampak meringis
kesakitan.
2. Mata
Bentuk simetris, konjungtiva merah muda, sklera mata putih, tidak
memakai alat bantu penglihatan, lapang pandang baik, tidak ada
keluhan.
3. Hidung
Bentuk simetris, tidak ada lesi dan benjolan, fungsi penciuman baik.
4. Telinga
Bentuk simetris, telinga bersih, fungsi pendengaran baik.
5. Mulut dan Tenggorokan
Mukosa bibir lembab, kondisi gigi bersih, tonsil klien terlihat
membesar dan klien mengeluh nyeri pada tenggorokan.
6. Leher
Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran tyroid, pergerakan
leher baik.
7. Dada
Bentuk simetris, pergerakan dada baik, pola napas normal.
8. Abdomen
Bentuk simetris, tidak ada nyeri tidak ada keluhan.
40
9. Genetalia
Tidak terpasang DC.
10. Punggung dan Bokong
Tidak ada lesi dan dekubitus,tidak ada nyeri.
11. Ekstremitas
Ekstremitas Atas : Bentuk simetris,kondisi kuku bersih, terpasang infus
di sebelah kiri.
Ekstermitas bawah : Bentuk simetris,kondisi kuku bersih,pergerakan
bebas,tanpa ada keluhan/nyeri.
Skala otot Klien 0-5 :
*4 = Bergerak menahan tahanan tetapi kekuatannya berkurang
*5 = Dapat menahan tahanan dengan kekuatan maksimal.
Kekuatan Otot :
5 5
5 5
12. Integumen
Keadaan kulit bersih, tidak terdapat lesi dan keadaan kulit lembab.
41
3.1.5. Pola Aktivitas
NO AKTIVITAS DI RUMAH DI RUMAH
SAKIT
1. Nutrisi dan Cairan
*Nutrisi
Jenis
Frekuensi
Tambahan
Pantangan
Keluhan
*Cairan
Jenis
Frekuensi
Jumlah
Nasi
3x1
Buah-buahan
-
- nyeri saat
menelan
Air putih
± 7 gelas/hari
1680 ml/hari
Nasi
3x1
Kue
-
-nyeri saat menelan
Air putih
± 7 gelas/hari
1680 ml/hari
42
2. Istirahat dan Tidur
Tidur siang
Tidur malam
Kualitas
± 2 jam
8 jam/hari
-
1 jam
± 5-6 jam/hari
-
3. Eliminasi
*BAB
Bentuk
Frekuensi
Warna
*BAK
Warna
Frekuensi
Keluhan
Normal feces
1x2/hari
Kuning khas
Kuning khas
2-4x/hari
-
Normal feces
1x/hari
Kuning khas
Kuning khas
3x/hari
-
4. Personal Hygiene
43
Mandi
Gosok Gigi
Cuci Rambut
Ganti Pakaian
2x/hari
2x/hari
3x/minggu
1x/hari
Di seka 1x/hari
2x/hari
-
2x/hari
3.1.6. Data Penunjang
1. Data Psikologi
Orang tua dan pasien tampak terlihat cemas dan gelisah dengan
tindakan operasi dan anestesi yang akan dilakukan.
2. Data Sosial
Hubungan klien dengan lingkungan rumah sakit dan tenaga kesehatan
baik, serta dukungan keluarga sangat penuh untuk kesembuhan klien.
3. Data Spiritual
Klien selalu berdoa untuk kesembuhannya.
4. Data Ekonomi
Klien termasuk keluarga yang perekonomiannya menengah.
44
5. Pemeriksaan Laboraturium
Pemeriksaan Hasil Normal
Golongan Darah
Hb
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
Masa Pendarahan/bt
Masa Pembekuan/ct
LED
Sgot
Sgpt
Kreatinin
Ureum
GDS
AB
10.0
10.7
29.9
6.24
471
2’30”
6’15”
9
17
11
0.55
21.7
117
10-18 g/dl
4.0-11,.0 ribu/mm3
30-55%
4.76-6.95 juta/uL
150-450 ribu/mm3
1-3 Menit
6-11 Menit
L:<=10, P:<20 mm/jam
<37 U/I
<41 U/I
08-1.5 ma/dl
10-50 ma/dl
80-150 ma/dl
45
3.1.7. Therapi
Infus RL : 20 gtt/menit
Cefotaxime : 2x1000 mg IV
Kalnex : 3x250 mg IV
Tramadol : 50-100mg IV
3.2. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Pre operasi
DS:
- Pasien mengatakan
merasa nyeri pada
tenggorokan
DO:
Wajah klien tampak
meringis, skala nyeri 3 (0-
Invasi kuman patogen
↓
Penyebaran limfogen
↓
Faring dan tonsil
↓
Proses inflamasi
Nyeri
(Pre operasi)
46
10)
- TTV:
TD: 130/80 mmhg
N: 110 x/m
RR: 20 x/m
S : 36.40c
↓
Udema tonsil
↓
Nyeri
DS:
Pasien mengatakan takut
akan menghadapi tindakan
pembiusan dan operasi
DO:
- Klien tampak cemas
- TTV:
TD: 130/80 mmhg
N: 110 x/m
RR: 20 x/m
S : 36.40c
- Rencana tindakan
pembedahan
tonsilektomi dengan
general anestesi
Tindakan pembedahan
GA
↓
Merangsang neuro
tranmiteruntuk
mengeluarkan histamin,
bradikinin,
asiltelkolamin,
prostaglandin
↓
Hipotalamus
↓
Thalamus
↓
Korteks serebri
↓
Dipersepsikan
Cemas
(Pre operasi)
47
↓
Kecemasan
DS:-
DO:
- Akan di lakukan
pembedahan dengan
GA yang menggunakan
teknik intubasai ETT
- Obat-obat anestesi yang
dapat mendepresi sistem
kardiovaskuler
Tindakan pembedahan
dengan GA
↓
Penekanan pada sistem
kaardiovaskuler akibat
pemberian obat anestesi
↓
Penekanan pada
hipotalamus
↓
Thalamus
↓
Gangguan kestabilan
Gangguan kestabilan
hemodinamik
(Intra Operasi)
DO:
- Lumpuhnya otot
pernapasan
- Penurunan tekanan
inspirasi dan
ekspirasi
- Penurunan ventilasi
(dyspnea)
Pemberian obat
pelumpuh otot
↓
Menghambat bertemunya
Ach dan reseptor Ach
↓
Menghambat kontraksi
neuromuscular junction
Pola nafas tidak efektif
(post operasi)
48
- Apnoe ↓
Tidak terjadi kontraksi
otot/ dinding dada
3.3. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas Masalah
1) Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan adanya proses
inflamasi.
2) Gangguan rasa nyama cemas berhubungan dengan prosedur tindakan
pembedahan akan di lakukan dengan teknik General Anestesi (GA) di
tandai dengan anak terlihat gelisah.
3) Gangguan hemodinamik sehubungan dengan prosedur tindakan anestesi
yang mendepresi sistem kardiovaskuler di tandai dengan tanda-tanda vital
yang tidak stabil.
4) Pola napas tidak efektif sehubungan dengan disfungsi neuromuscular
junction di tandai dengan lumpuhnya otot pernapasan
49
3.4. Intervensi
Nama : An. I Tangal MRS : 19 November 2014
Umur : 10 tahun No.RM : 28.09.10
Jenis kelamin : Perempuan DX Medis : Tonsilitis Kronis
NO Diagnosa Perencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan rasa nyaman
nyeri yang berhubungan
dengan adanya proses
inflamasi
Setelah di lakukan
tindakan keperawatan
selama 1x 24 jam, nyeri
teratasi dengan kriteria:
-Nyeri hilang
- Skala nyeri 0
- Ekspresi wajah tenang
- TTV dalam batas normal
1. Kaji tingkat nyeri.
2. monitor TTV
3. Atur posisi asien
4. Berikan lingkungan
yang tenang
1. Mengetahui tingkat nyeri
2. Mengetahui setiap
perubahan yang terjadi
pada pasien
3. Memberikan
kenyamanan pada pasien
4. Rangsangan yang
berlebihan dari
lingkungan akan
50
5. Kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
analgetik
6. Berikan obat analgetik
sesuai instruksi dokter
memperberat rasa nyeri
5. Mengembangkan
rencana tindakan
keperawatan untuk
mengurangi nyeri
6. Membantu mempercepat
proses penyembuhan dan
mengurangi sakit
2 Gangguan rasa nyama
cemas berhubungan
dengan prosedur tindakan
pembedahan akan di
lakukan dengan teknik
General Anestesi (GA) di
tandai dengan anak terlihat
cemas
Tujuan jangka panjang:
Setelah di lakukan
tindakan keperawatan
selama 1x24 jam di
harapkan klien
menjadi lebih tenang,
Dengan kriteria:
- wajah klien tampak
tenang
1. Kaji tingkat
kecemasan
2. Cari penyebab dan
cara mengatasi
kecemasan
3. Monitor TTV
4. Beri kesempatan orang
tua serta pasien untuk
1. Mengetahui tingkat
kecemasan
2. Mengetahui faktor
pencetus dan solusi dan
cara mengatasinya
3. Melihat keadaan umum
pasien.
4. Memberi kesempatan
pasien untuk
51
Jangka pendek:
Setelah dilakukan peraatan
kurang lebih satu jam di
harapkan kecemasan klien
berkurang dengan kriteria
hasil:
- klien tampak tenang
- klien dapat bekerja
sama dengan tim
medis
bertanya
5. Beri penjelasa
mengenai prosedur
6. beri kesempatan klien
untuk di temani oleh
keluarganya
7. Anjurkan klien untuk
berdoa
mengutatarakan perasaan
nya
5. Memberikan solusi
dalam mengatasi stress
6. Agar pasien tenang dan
merasa nyaman
7. Agar pasien lebih tenang
3 Gangguan hemodinamik
sehubungan dengan
prosedur tindakan anestesi
yang mendepresi sistem
kardiovaskuler di tandai
dengan tanda-tanda vital
yang tidak stabil
Tujuan jangka panjang:
Setelah di lakukan
perawatan 1x24 jam
setelah di lakukan GA
fungsi kardiopulmonal
adekuat dengan kriteria
hasil :
- pasien tidak mengeluh
- pernapasan pasien
1. Kontrol sistem
kardiovaskuler klien
dengan benar
2. Cukupi kebutuhan
cairan pasien sesuai
dengan volume darah
dan kebutuhan cairan
rumatan pasien
3. Monitoring TTV.
1. Agar hemodinamik
kembali stabil.
2. Agar sistem
kardiovaskuler tetap
berfungsi dengan baik
3. Mengetahui apabila
52
tidak adekuat
- pasien tidak merasa
sakit
Tujuan jangka pendek:
Setelah di lakukan terapi
cairan dan mengontrol
pemberian anestesi
inhalasi, hemodinamik
klien mulai stabil
4. Monitoring intake
output
teterjadi perubahan
yang signifikan pada
saat tindakan operasi
berlangsung
4. Mengetahui apabila
terjadi
ketidakseimbangan
cairan tubuh
4. Setelah selesai tindakan
anestesi atau pembiusan
pola nafas pasien jadi
efektif, dengan kriteria :
- frekuensi nafas
normal
- irama nafas normal
- ekspansi dada
1. Beri ventilasi sesuai
dengan tidal volume
dan minute volume
pasien
2. Beri obat
anticholinesterase
1.Dengan tercapai minute
volume tidak terjadi
hipoksia dan kebutuhan
oksigen pasien tercukupi
2. Merivest atau
menghilangkan efek obat
pelumpuh otot sehingga
pasien bisa bernafas
adekuat
53
simetris
- tidak menggunakan
obat tambahan
- tidak sianosis
3. Bersihkan sekcret pada
jalan napas
4. Jaga jalan napas
( Triple manuver dan
OPA)
5. Beri suplai oksigen 3 L
di ruang pemulihan
3. Dengan bebasnya jalan
napas aliran oksigen
menjadi lancar
4. Agar tidak terjadi
sumbatan jalan napas
5.Untuk mempertahankan
napas pasien tetap adekuat
54
3.5. Implementasi dan Evaluasi
Nama : An. I Tangal MRS : 19 November 2014
Umur : 10 tahun No.RM : 28.09.10
Jenis kelamin : Perempuan DX Medis : Tonsilitis Kronis
Tangal/jam DX
kep
Implementasi Evaluasi
20-11-12
13.50 WIB
1. Mengkaji tingkat nyeri
2. Memonitoring TTV
3. Mengatur posisi asien
4. Memberikan lingkungan
yang tenang
5. Berkolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
analgetik
6. Memberikan obat analgetik
fentanyl 50 ug sesuai
instruksi dokter
S:-Pasien
mengatakan
nyeri berkurang
O:
- wajah klien
tampak rileks
- TTV:
TD= 100/60
mmhg
HR= 82 x/m
A: Masalah teratasi
sebagian
P:Melanjutkan
tindakan
selanjutnya di
ruang perawatan
20-11-2014
13.55 WIB
1. Mengkaji tingkat kecemasan
2. Mencari penyebab dan cara
mengatasi kecemasan
3. Memonitor TTV
4. Memberi kesempatan pasien
S: Orang tua pasien
mengatakan
sudah tidak
merasa cemas
55
dan keluarga untuk bertanya
5. Memberi penjelasan mengenai
prosedur oprasi pada pasien dan
keluarga
6. Menganjurkan klien untuk
berdoa
O:
- Orang tua dan
pasien tampak
tenang
- TTV=
- TD= 100/60
mmhg
- N= 82 x/m
A: Masalah teratasi
P: Intervensi di
hentikan
1. Mengontrol sistem
kardiovaskuler klien dengan
benar
2. Mencukupi kebutuhan cairan
pasien sesuai dengan volume
darah dan kebutuhan cairan
rumatan pasien
3. Memonitoring TTV
4. Monitoring intake output
S:-
O:
- Hasil tensi
hemodinaik
klien
menunjukan
angka
kestabilan
- TTV
TD:
100/60mmhg
ND: 82 x/m
A: Masalah teratasi
sebagian
P: Meneruskan
rencana
observasi seperti:
- Mengobservasi
TTV pasien
dalam 24 jam
56
post operasi
- Mengobservasi
tanda-tanda
komplikasi dini
dan laju dari
pemberian obat-
obatan anestesi
selama operasi
seperti mual,
pusing
20-11-2014
14.05 WIB
1. Beri ventilasi sesuai dengan
tidal volume dan minite
volume pasien melalui
Endotrakea tube
2. Beri obat anticholinesterase
( neogstimin + sulfat
atropin)
3. bersihkan sekcret pada jalan
napas (suction setelah ETT
di lepas)
4. jaga jalan napas ( Tripel
manuver dan OFA di kamar
operasi sampai dengan
ruang pemulihan)
5. beri suplai oksigen 3 ltr
dengan menggunakan kanul
di ruang pemulihan
S:
O:
- SaO2 100 %
- Tidak sianosis
- Tidak ada suara
napas tambahan
- Aliran oksigen
lancar
- TTV
TD= 100/60
mmHg
N= 82 x/m
A: Masalah teratasi
P: Intrevensi di
lanjutkan
57
3.6. Penatalaksanaan Anestesi
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Informed Consent Operasi
c. Konsul ke Bagian Anestesi
d. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I.
a. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
Status Operatif : ASA 1, Mallampati I
Jenis Operasi : Tonsilektomi
Jenis Anastesi : General Anastesi
b. Laporan Anestesi
(a) Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
58
(b) Diagnosis Pasca Bedah
Tonsilitis Kronik
c. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
d. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis Pembedahan : Tonsilektomi
Jenis Anestesi : General Anestesi
Teknik Anestesi : General anastesi dengan tekhnik semi
closed circuit system dengan NTT non
kinking no 5.5
Mulai Anestesi : 20 November 2014 jam 14.05
Mulai Operasi : 20 November 2014 jam 14.15
Premedikasi : Fentanyl 50 µg
Induksi : Propofol 50 mg iv
Roculax 20 mg iv
Maintanance : O21L, N2O 1L , Sevoflurane 2L
Intubasi : Laringoskop blade no 3
Endotracheal Tube no 5,5
59
Respirasi : Pernapasan kontrol
Posisi : Supine
Cairan Durante Operasi : RL 500 ml
Pemantauan TD dan HR : Terlampir
Selesai operasi : 14.25 WIB
e. Pre Operatif
a) Persiapan Pasien
(a) Memeriksa identitas pasien (nama, diagnosa, RM)
(b) Periksa hasil pemeriksaan penunjang , laboratorium
(c) Memaastikan inform consent, SIO (+) dan SIA (+) telah di
sepakati
(d) Memeriksa kembali apakah pasien menggunakan bahan dari
logam, gigi palsu
(e) Menyanyakan kembali puasa pasien apakah sesuai dengan
yang di anjurkan
(f) Memastikan apakah infus sudah terpasang dengan baik,
menetes dengan lancar , dan sudah terpasang cairan RL
(g) Mengganti pakaian pasien dengan pakaian khusus di kamar
bedah
b) Persiapan alat
Memilih, menyiapkan dan mengecek peralatan untuk intubasi:
60
(a) S : Scope (stetoscope dan laryngoscope dengan blade
nomor 3)
(b) T : Tube (pipa napas; ETT ukuran 4.5, 5.0, dan 5.5 dengan
balon, dicek apakah balonnya bocor)
(c) A : Airway (Oropharyngeal Airway no. 4, 5, 6)
(d) T : Tape (Plester untuk fiksasi)
(e) I : Introducer (mandrin)
(f) C : Connector
(g) S : Mesin Suction dan Canule Suction
(h) Spuit 10 cc, 5 cc, 3 cc
(i) Forcep Magill
(j) Facemask
(k) Kassa lembab
(l) Monitor
(m) Mesin anestesi dengan sumber gas O2, N2O, dan volatile
sudah siap digunakan
c) Persiapan obat
(a) Premedikasi
Ondansentron
Midazolam
Fentanyl
61
(b) Trias Anestesi
Propofol 1%
Roculax
Fentanyl
(c) Obat-obatan Emergency
Sulfat Atropin
Dexametason
Aminofilin
Efaedrin
Epineprin
(d) Obat anti chollnesterase
Neogstimin
f. Intra Operative
a) Pasien masuk ke kamar operasi pada pukul 14.00
b) Premeedikasi : Fentanyl 50 µg pada pukul 14.03
c) Induksi pada jam 14.05 dengan menggunakan
Propofol 50 mgIV
Roculax 20 mg IV
Sevofluran 8%
d) Pelaksanaan intubasi di lakukan pada pukul 14.10 WIB dengan
prosedur :
62
(a) Posisikan pasien di meja operasi
(b) Buka mulut pasien dengan cross finger
(c) Pegang laringoscope dengan tangan kiri
(d) Masukan laringoscope dari sebelah kiri dan geser lidah ke arah
medial
(e) Angkat handle sehinggah rahang terbuka dan terlihat lubang
trakea yang terletak di belakang epiglotis, jika belum terlihat
gunakan selic manuver yaitu memnekan daerah krikoidke
dalam sehinggah lubang trakea terlihat.
(f) Setelah terlihat ambil ETT no 5,5 lalu masukan pada lubang
trakea
(g) Setelah yakin masuk, kembangkan balon ETT dengan spuit 10
cc kemudian sambungkan dengan conector yang tersambung
pada mesin anestesi
(h) Tes kedalaman ETT dengan stetoscope pada daerah apex
kanan dan kiri untuk memastikan ETT benar-benar masuk ke
dalam trakea dan mengecek keseimbangan pengembangan
antara paru-paru kanan dan kiri
(i) Setelah ETT sudah di pastikan dalam keadaan yang seimbang
maka di lakukan fiksasi dengan menggunakan plester agar
tidak terjadi perubahan letak posisi ETT.
63
e) Maintenence
Untuk mempertahankan stadiium anestesi maka di lakukan
maintenence dengan cara pemberian N20 dan O2 1 liter/mnt
( 50:50) dan sevofluran 2 vol %.
f) Monitoring tanda-tanda vital
Selama operasi berjalan di lakukan monitoring TTV setiap 3
menit sekali dengan menggunakan monitor yang telah di atur
secara otomatis dan pencatatan di lakukan setiap setiap 5 menit
sekali.
Monitoring intra Operatif
Waktu Tekanan Darah Nadi SPO2
14.00 130/80 110x/mnt 100%
14.10 100/60 82x/mnt 100%
14.15 110/60 110x/mnt 96%
14.20 112/60 105x/mnt 99%
14.25 112/70 100x/mnt 98%
14.30 130/80 120x/mnt 100%
64
g) Penghitungan Cairan Selama operasi
Penghitungan Rencana Pemberian Ventilasi
(a) Tidal Volume
Tidal Volume (TV) = BB (kg) X konstanta ( 6-10)
= 25 kg X 7
= 175 ml
(b) Minute Volume
Minute Volume (MV) = Tidal Volume X Respirasi Rate (12-
16x/menit)
= 175 X 14 x/m
= 2450 ml = 2,4 L
Jadi perbandingan N2O : O2 = 1,2 L : 1,2 L
(c) Perhitungan Rencana Pemberian Cairan
BB : 25 kg
Jenis Operasi : Sedang
Puasa : 8 jam
65
1. Kebutuhan Cairan Maintanance untuk pasien BB 25kg
Rumus 4 2 1
Kebutuhan Cairan Maintenance : 4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 5 = 5 +
Jumlah = 65 ml/jam
2. Pengganti Puasa
Rumus : Jam puasa x maintanance = ...... ml
Pengganti puasa = 8 jam x 65 ml
= 520ml
3. Insensible Water Lose (IWL)
Stress Operasi : Ringan=2-4 ml; Sedang=4-6 ml;Berat=6-8
ml
IWL = Stress operasi x BB(kg) pasien
= 4 x 25kg
= 100 ml
4. Estimated Blood Volume
66
= (EBV x Kg BB)
= 80 x 25 = 2000 ml
5. Estimated Blood Lose
= ( EBL x 10%, 15%, 20%)
Ringan = 2000 x 10% = 200ml
Sedang = 2000 x 15% = 300ml
Berat = 2000 x 20% = 400ml
6. Jumla perdarahan ( suction, kasa,duk,dll) : 250 ml
Suction = 150 ml, Kasa kecil = 80 ml, Duk = 20 ml
7. Kebutuhan Cairan Intra Operatif
Rumus : ½ x puasa + maintanance + stress operasi = .... ml
Jam I = ½ x 520 + 65 + 100
= 425ml
Jam II = ¼ x 520 + 65 + 100
= 295 ml
Jam III = ¼ x 520 + 65 +100
= 295 ml
67
8. Total cairan yang keluar
( R = jumla perdarahan + Stres operasi + Puasa)
= 250 ml + 100 ml + 520 ml
= 875 ml
( Perdarahan ringan : di ganti dengan cairan Kristaloid)
9. Cairan yang sudah di berikan ( kristaloid)
Pre operasi = RL 200 ml
Intra operasi = 300 ml
Total = 500 ml
h) Pukul 14.25 operasi selesai N20 di hentikan pasien hanya di beri
O2 untuk mencegah hipoksia dan di lakukan suction saliva sebelum
di ekstubasi yang bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya
spasme akibat rangsang lendir di jalan napas dan membantu pasien
untuk mempermudah bernapas
i) Pelaksanaan ekstubasi pada pukul 14.30
j) Ekstubasi di lakukan setelah memenuhi kriteria :
(a) Napas pasien telah adekuat
(b) Tanda-tanda vital telah kembali stabil
(c) SpO2 di atas 95%
(d) Otot pernapasan telah adekuat
68
(e) Refleks menelan dan batuk (+)
Prosedur ekstubasi :
(a) Sebelumnya di lakukan suction lendir sampai benar-benar
bersih
(b) Lepaskan fiksasi ETT yang menempel pada wajah pasien
(c) Kempeskan balon ETT dengan spuit10 cc
(d) Cabut ETT pada saat ekspirasi
(e) Berikan pasien O2 dengan menggunakan face mask dan alirkan
O2100 %
g. Post Operatif
a) Posisi pasien di ruang Recovery Room dalam posisi supine dan
kepala di miringkan agar slam dapat keluar dan jalan napas tetap
terjaga
b) Pukul 14.40 pasien di pindahkan ke Recovery Room dengan
keadaan:
Keadaan umum : compos mentis
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 110x/m
Respirasi : 20 x/m
69
Di pasang O2 : 3 ltr/m
c) Monitoring TTV
Waktu Tekanan darah Nadi Saturasi
14.30 130/70 110 100%
d) Kriteria pasien keruangan dengan menggunakan aldert score
Tanda Kriteria Nilai
Aktivitas Mampu menggerakan 4 ekstremitas
Mampu menggerakan 2 ekstremitas
Tidak mampu menggerakan
ekstremitas
2
1
0
Respirasi Mampu bernapas dalam dan batuk
Pernapasan terbatas, jalan napas aman
Apnea, sumbatan jalan napas
2
1
0
Sirkulasi TD sistolik 20% pre op
TD sistolik 20-50% pre op
TD sistolik 50% pre op
2
1
0
70
Kesadaran Sadar penuh
Dapat di bangunkan jika di panggil
Tidak bereaksi
2
1
0
Warna kulit Merah
Pucat
Sianosis
2
1
0
Jumla
tertinggi
10
Skor > 9 pasien di perbolehkan pindah dari ruang pemulihan
71
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Penatalaksaan anestesi pada pasien yang akan dilakukan
tonsilektomi dengan diagnosis Tonsilitis Kronis dengan anestesi
berdasarkan uraian tentang “Penatalaksanaan Anestesi Umum pada An. I
Usia 10 Tahun dengan Tonsilitis Kronis di BLUD RSU Kota Banjar”
maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemilahan tehnik anestesi pada kasus Tonsilitis Kronis
hendaknya mempertimbangkan beberapa hal seperti: kondisi
pasien, kesediaan alat, durasi operasi yang menyangkut
keterampilan operator dan tehnik anestesi yang benar-benar
dikuasai.
2. Segala prosedur pre operatif sangatlah penting guna untuk
menunjang kelancaran operasi.
72
3. Penanganan intra operatif monitoring kedalaman anestesi,
analgetik, pengeluaran, dan pemasukan cairan juga sebagai
perawat anestesi sangat penting untuk melakukan
pendokumentasian.
4. Penangan post operatif pada pasien tonsilitis kronis bisa terjadi
peningkatan hemodinamik akibat nyeri post operatif, frekuensi
napas yang cepat dan kecil dapat terjadi akibat nyeri dari luka
operatif pada tenggorokan, maka perlu dilakukannya
monitoring TTV pasien dan selanjutnya dilakukan penyerahan
pasien kepada petugas ruangan setelah penilaian alderette score
mencapai 9-10.
4.2. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan dan penatalaksanaan
anestesi umum pada An.I dengan tindakan Tonsilektomi, penulis ingin
menyumbangkan saran-saran pada kasus ini :
1. Tetap menjalankan monitoring pasien secara teliti dan waspada
baik preoperatif, intraoperatif, dan post operatif
2. Tetap memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan setiap kali
melakukan tugas
73
3. yang paling utama untuk di renungkan bahwa tidak ada alat, obat,
dan teknik anestesi yang aman, selain anestesinya itu sendiri dan
jangan lupa selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Tatang bisri, Sp.An. (K),Prof,Dr,general anesthesia.Bandung
2. Himendra. W, Sp.An, Prof, Anesthesiologi untuk mahasiswa kedokteran,
Bandung
3. Mariyln. E. Doengus. ( 2000 ). Rencana Asuhan Keperawatan,edisi
3,Penerbit buku kedokteran, Jakarta
75