Upload
dyno-triandika-diputra
View
41
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ini baru namanya tugas
Citation preview
Aspek Kebencaan Wilayah Kecamatan Cipatat
Pada hakikatnya bila lingkungan dikelola dengan baik maka ia pun akan selalu ramah
terhadap kita. Sebaliknya bila kita membiarkan maraknya perusakan lingkungan, dapat
dipastikan suatu saat alam pun akan murka menerjang kehidupan kita.
Bencana demi bencana, khususnya banjir, tanah longsor dan kekeringan yang belakangan
ini marak terjadi, tak terlepas akibat ulah manusia. Ini semua terjadi karena pengelolaan alam
lingkungan yang telanjur salah kaprah sejak awal. Pengelolaan lingkungan semata lebih banyak
diarahkan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek, tanpa memerhatikan risiko jangka panjang
yang setiap saat siap menjadi "bom waktu' penghancur kehidupan kita. Oleh sebab itulah,
masalah pengelolaan lingkungan sangat penting diperhatikan di masa-masa mendatang. Tanpa
pengelolaan lingkungan yang baik, maka ancaman bencana banjir, longsor dan kekeringan akan
terus menghadang. Berbagai permasalahan lingkungan yang cukup kompleks mencuat ke
permukaan, semuanya juga berawal dari perlakuan kita yang tidak ramah terhadap lingkungan.
Ini terjadi akibat konsep pemikiran yang salah bahwa kekayaan alam lingkungan cenderung
hanya dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi. Di lain pihak, upaya untuk mengatasi masalah
bencana lebih banyak digunakan dengan pendekatan teknis, tanpa memperhitungkan aspek moral
dan sosial. Bahwa bumi tak semakin luas tetapi semakin sempit akibat pembangunan-
pembangunan, perkembangan teknologi, dan trend kepadatan penduduk dunia yang terus
bertambah. Bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan anak cucu yang mutal harus
dijaga dengan baik agar kelak tidak rusak.
Kalau kedua konsep pemikiran di atas dipahami dengan baik maka setiap pembangunan -
apalagi yang diyakini untuk kemaslahatan hidup umat manusia - harus senantiasa memerhatikan
kelestarian alam lingkungan seputar. Itulah sebabnya, pembangunan tidak bisa dilakukan
seenaknya tetapi benar-benar perlu dirancang dengan baik dengan senantiasa memperhatikan tata
ruang lingkungan yang ideal.
Tata ruang pembangunan berdasarkan pendekatan lingkungan diperlukan untuk
mengetahui titik-titik mana yang layak dibangun, kawasan mana yang perlu dilindungi, kawasan
mana yang pantas dipertahankan sebagai daerah potensial, dan bagaimana mengupayakan agar
setiap pembangunan memiliki keseimbangan dengan alam lingkungannya. Pembangunan
perumahan di Kecamatan Pecet dan Sukaresmi, Cianjur yang terletak di eks lahan pertanian dan
lereng pebukitan Cipanas jelas berpotensi merusak keseimbangan lingkungan. Karena, daerah
resapan air menjadi hilang setelah areal hijau yang terbuka berubah fungsi menjadi bangunan-
bangunan perumahan permanen.
Kalau pemerintah daerah meyakini bahwa pembangunan perumahan-perumahan tersebut
memang dirasakan penting untuk pengembangan kawasan demi menggali pemasukan ekonomi
dari pajak dan IMB, serta untuk kesejahteraan rakyat, misalnya, maka kawasan tersebut perlu
ditata kembali sesuai tata ruang lingkungan. Pendirian perumahan baru di kawasan hijau
idealnya diikuti dengan pembangunan drainase, situ (danau buatan) dan sumur-sumur untuk
resapan air hujan. Ini penting untuk menghindari dampak serius di kemudian hari bila resapan air
tak tertampung. Bencana banjir, longsor, dan kekeringan di kawasan itu dan kawasan lain yang
terkait, bisa terjadi di masa depan.
Kondisi Industri Pertambangan di Kecamatan Cipatat
Gambaran Umum Industri Pertambangan di Kecamatan Cipatat
Kecamatan Cipatat adalah sebuah wilayah di Kabupaten Bandung Barat bagian paling
barat yang dialiri oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dan Cimeta yang memiliki
kekayaan sumberdaya alam tambang yang sangat melimpah.
Kekayaan sumberdaya alam tersebut menjadi faktor penarik bagi para investor dari dalam
dan luar negeri untuk melakukan investasi di sektor pertambangan. Hal ini terlihat dari
banyaknya aktivitas industri pertambangan yang tersebar di beberapa kawasan Kecamatan
Cipatat.
Jumlah total perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan di Kecamatan Cipatat
sebanyak kurang lebih 2 likuran perusahaan baik yang mengantongi surat izin resmi atau yang
kongkalikong dengan oknum, yang tersebar di 4 Desa, yaitu Desa Gunung Masigit, Desa Citatah,
Desa Cirawa Mekar dan Desa Cipatat. Adapun jenis bahan tambang yang dikeruk adalah jenis
bahan galian golongan C seperti batu, pasir teras, Batu Kapur, Batu Ansedit dan Marmer.
tambang ini akan digunakan sebagai bahan bangunan atau membuat pemukiman.
Dampak Aktivitas Pertambangan
Dampak aktifitas Pertambangan disebabkan oleh adanya benturan antara beberapa
kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan/politik, kepetingan
pengusaha/ekonomi dan kepentingan masyarakat untuk melestarikan kualitas lingkungan yang
lebih baik.
Kegiatan pertambangan disini, bagi warga Cipatat dianggap sebagai kegiatan yang
menimbulkan dampak negative karena hanya warga Cipatatlah yang merasakannya. Kalau pergi
menemui masyarakat cipatat, datanglah sebagai sosok masyarakat cipatat, jangan menjadi sosok
monster yang menakutkan.
Setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak
positif maupun dampak negatif. Dampak tersebut adalah:
Dampak positif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ;
3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;
4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan
7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Kehancuran lingkungan hidup;
2. Penderitaan masyarakat adat;
3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal;
4. Menurunnya permukaan air tanah;
5. Kehancuran ekologi kampung-kampung; dan
6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan
Dampak Aspek Sosio-Ekonomi
Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia, telah memicu kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi sumberdaya mineral serta untuk mendapatkan lokasi-lokasi sumberdaya mineral
yang baru. Konsekuensi dari meningkatnya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral
seharusnya diikuti dengan usaha-usaha dalam pencegahan terhadap dampak yang ditimbulkan
sebagai akibat dari eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral tersebut.
Dampak sosial ekonomi merupakan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosial
ekonomi yang dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif akibat aktivitas pertambangan
diantaranya adalah terjadinya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya lapangan
pekerjaan, dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan
sedangkan dampak negatif dari adanya aktivitas pertambangan adalah terjadinya penurunan
pendapatan bagi masyarakat yang bergerak di sektor pertanian, karena menurunnya kualitas
lahan karena lahannya digunakan atau tercemari industry pertambangan
Hal ini mengakibatkan hilangnya vegetasi (tanaman), populasi satwa liar dan
menurunnya kualitas air. Sementara itu di daerah bagian hilir pasca tambang, rawan terjadinya
bencana erosi akibat sedimentasi tanah.
Contoh di beberapa daerah selain Cipatat yang memiliki potensi penambangan pasir,
seperti Kabupaten Magelang, Sleman dan Temanggung, aktivitas penambangan mengakibatkan
timbulnya tebing-tebing bukit yang rawan longsor akibat penambangan yang tidak memakai
sistem standar keamanan yang baik yang akhirnya merugikan masyarakat sekitar.
Dan ini mengakibatkan semakin tingginya tingkat erosi di daerah pertambangan,
berkurangnya debit air permukaan atau mata air, menurunnya produktivitas lahan pertanian, dan
tingginya lalu lintas kendaraan dump truk di jalan desa yang kemudian membuat rusaknya jalan,
serta timbulnya polusi udara dan degradasi lahan.
Selain itu, juga hilangnya fungsi atas sungai bagi masyarakat, seperti air sungai yang ada
disekitar tambang, pada awalnya digunakan warga untuk minum, membersihkan makanan,
mandi, mencuci, minum ternak. Sungai tercemar oleh limbah yang berasal dari konsentrator
aktivitas limbah dan pembukaan hutan di bagian hulu untuk kepentingan industri. Selain itu,
terjadinya kekeringan air sumur milik warga akibat adanya aktivitas pengeboran artesis untuk
pemanfaatan industri tambang
Kerusakan lingkungan Cipatat oleh galian tambang pasir
Kecamatan Cipatat memiliki potensi tambang yang beraneka ragam seperti bahan tambang
golongan C yang terdiri dari batu kapur, batu gunung (andesit), pasir, pasir kuarsa, kerikil, tras,
dan marmer. disamping itu, terdapat juga potensi tambang emas, batubara, perak dan timah
hitam.potensi bahan galian golongan C terdapat pada wilayah Desa Gunung Masigit, Desa
Citatah, Desa Mandala wangi dan Desa Cipatat. sedangkan potensi tambang Batu marmer
terdapat di Desa Gunung Masigit, Citatah dan Cirawa mekar.
Potensi pertambangan golongan C di kecamatan Cipatat, memungkinkan dapat
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) karena cipatat terkenal sebagai daerah yang kaya
mineral padat bawah tanahnya, namun pengelolaan hasil tambang harusnya bisa dilakukan
seoptimal mungkin agar efisien, berwawasan lingkungan, serta berkeadilan dengan dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Sebuah fenomena yang mungkin belum pernah dilihat banyak orang setelah situs Gua
Pawon terancam rusak, sekarang galian pasir tipe C yang berada di kampung margaluyu Desa
Citatah Kecamatan Cipatat, galian pasir tersebut berada persis bedampingan dengan jalan kereta
api peninggalan kolonaial Belanda jurusan Bandung Cianjur, jalan kereta api itu merupakan situs
yang harus dijaga kelestariannya
Menghawatirkan. Itulah yang terjadi di kawasan Cipatat Kabupaten Bandung Barat,
eksploitasi penambangan pasir besar-besaran terjadi disana dan saya katagorikan dalam tahap
yang sudah menghawatirkan, dari hasil penelusuran kawasan penambangan pasir, Di kampung
margaluyu Desa Citatah Kecamatan Cipatat banyak ditemukan degradasi kawasan yang sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas penambangan yang dilakukan secara besar-besaran.
Setelah perusahaaan besar bahkan orang berkantong tebal mulai masuk dan membabi
buta melakukan eksploitasi, parahnya penambangan dilakukan tidak lagi dengan peralatan
sederhana, tetapi dengan menggunakan alat berat sampai menggunakan blasting. Hal inilah yang
menyebabkan degradasi kawasan ini berlangsung sangat cepat. ditambah lagi pihak penambang
yang tidak melakukan rehabilitasi kawasan sesuai aturan penambang galian C.
UU No 4/Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).UU
ini adalah pengganti/penyempurnaan dari UU No 11/Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan yang dianggap tidak lagi sesuai dengan kondisi masa kini. Terutama
dengan adanya “UU Desentralisasi /Otonomi Daerah” seperti UU No 32/Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No 33/Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Maka bahaya manipulasi oleh pengusaha dan kerusakan lingkungan harus betul-betul
diwaspadai oleh Pemerintah Daerah. Apalagi UU 32/Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) akan memberikan sanksi pidana kepada para
pejabat yang memberikan izin kepada pengusaha yang merusak dan mencemarkan lingkungan.
Sungguh ironis melihat dampak dan hasil yang sangat tidak sesuai dengan apa yang
diterima masyarakat sekitar lokasi penambangan. Dari data yang saya himpun dari awal
berdirinya pemkab Bandung Barat hanya mendapat sedikit saja PAD dari hasil pertambangan
salah satu diantaranya berasal dari industri pertambangan di kecamatan Cipatat.
Padahal hasil tambang dari kecamatan Cipatat itu luar biasa, Itu belum termasuk dari
material tambang lainnya, seperti pasir,kerikil dan trass,dijalur tak resmi uang yang jumlahnya
diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah juga masuk dalam kantong-kantong sejumlah oknum,
namun dari penghasilan yang mencapai ratusan juta itu,warga pribumi hanya mendapatkan
sedikit saja. Tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan warga seperti akses jalan rusak
parah dan derita sesak nafas akibat polusi debu pasir yang beterbangan di musim kemarau.
Pemerintah harusnya segera memberikan tanggapan tentang masalah ini, dengan cara
meninjau lokasi, mendata, merevitalisasi dan memberikan keputusan terhadap kegiatan
penambang yang sudah sangat membahayakan, dan harus tegas untuk menutup karena tidak
sesuai dengan perundangan yang berlaku
Salah satu tiga waduk yang dipunyai Sungai Citarum adalah Waduk Saguling, dimana
Saguling adalah waduk dengan posisi teratas. Dua waduk lainnya yaitu waduk Cirata dan waduk
Jatiluhur. Waduk Saguling adalah waduk buatan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada
ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Lokasinya kurang lebih 1,5 jam dari exit tol
Padalarang.
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan permasalahan lingkungan di daerah itu,
Saguling ditata-ulang sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan
lain seperti perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, dan lain-lain. Sekarang, waduk ini juga
digunakan untuk kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran.
Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk
Cirata dan Waduk Jatiluhur yang sudah dibangun lebih dahulu. Hal tersebut terjadikarena
sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua kotoran disaring untuk pertama
kali sebelum kemudian disaring kembali oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur.
Daerah di sekitar Waduk Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang
berkontribusi pada waduk. Hal tersebut membuat bentuk Waduk Saguling sangat tidak beraturan
dengan banyak teluk. Daerah waduk ini asalnya adalah berupa daerah pertanian. Selain untuk
mengairi persawahan penduduk sekitar, waduk ini juga menjadi slaah satu alternatif wisata
warga, bahkan di hari-hari libur wisatawan luar kota juga banyak yang datang. Banyak hal yang
bisa dilakukan di sekitar Saguling, memancing, naik perahu keliling danau, santai di atas waduk
dan permainan air lainnya. Yang pasti berada disekitar waduk cukup sejuk udaranya, cocok
sekali untuk wisata keluarga.
Analisis Penetapan Lokasi TPA Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat
• Geologi
Batuan dasar pada area calon TPA menjadi sangat berarti peranannya dalam
meminimalisasi penyebaran air lindian sampah (leachate) secara alamiah, baik pada saat
bergerak menuju muka air tanah maupun saat bergerak lateral bersama air tanah oleh karena itu
diperlukan studi pemilihan area TPA yang tidak memiliki batuan dasar dengan formasi batu
pasir, batu gamping atau batuan berongga. Dari peta Geologi Jenis Batuan Kabupaten Bandung
Barat yang diterbitkan oleh Bappeda dapat diketahui bahwa formasi batuan yang tidak cocok
untuk dijadikan lokasi TPA adalah formasi batuan Gamping Neogen yang terletak pada
kecamatan Padalarang dan Gamping Oligo-Miosen yang terletak pada kecamatan Cipatat dan
Batujajar. Daerah geologi lainnya yang penting untuk dievaluasi adalah potensi gempa, zona
vulkanik yang aktif serta daerah longsoran. Peta Kawasan Lingkungan Rawan Cekungan
Bandung yang diterbitkan oleh Bappeda di-digitasi menjadi peta Rawan Gunung Api sehingga
dapat dilihat bahwa wilayah yang rawan gunung api ada di kecamatan Parongpong
dan Lembang yang terdapat pada sisi utara kabupaten. Daerah sekitar gunung berapi
merupakan daerah rawan geologis sehingga tidak dianjurkan untuk menjadi lokasi calon TPA.
Potensi gempa dapat dilihat pada peta Rawan Bencana Gempa Kabupaten Bandung Barat
yang diterbitkan oleh Bappeda, warna merah menunjukkan wilayah yang rawan gempa sehingga
tidak cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA, sedangkan warna hijau menunjukkan wilayah ini
aman untuk menjadi calon lokasi TPA karena memiliki tingkat keamanan yang cukup baik
terhadap gempa. Peta Gerakan Tanah Kabupaten Bandung Barat yang diterbitkan oleh Bappeda
menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung Barat dapat dikelompokkan menjadi 4 zona gerakan
tanah, yaitu tinggi, menengah, rendah dan sangat rendah. Gerakan tanah yang tinggi dinilai tidak
cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA. Gerakan tanah yang tinggi dapat dilihat pada peta
Gerakan Tanah tersebar di seluruh Kabupaten Bandung Barat akan tetapi persentasenya masih
lebih kecil dibandingkan tanah dengan gerakan tanah relatif stabil.
• Hidrogeologi
Informasi hidrogeologi dibutuhkan untuk mengetahui keberadaan muka air tanah,
mendeteksi impermiabilitas tanah, lokasi sungai atau waduk atau air permukaan dan sumber air
minum yang digunakan oleh penduduk sekitar. Tanah dengan permeabilitas cepat dinilai
memiliki nilai yang rendah untuk menjadi lokasi calon TPA karena memberikan perlindungan
yang kecil terhadap air tanah dan membutuhkan teknologi tambahan yang khusus. Jenis tanah
juga mempengaruhi permeabilitas terhadap air yang masuk ke tanah. Pada calon TPA dipilih
daerah dengan jenis tanah yang tidak berpasir karena memiliki porositas yang tinggi sehingga
angka kelulusan air dalam tanah akan relatif tinggi sehingga dapat mengganggu kualitas air
tanah. Peta Hidrogeologi Kabupaten Bandung Barat yang diterbitkan oleh Bappeda memberikan
gambaran jenis tanah yang dinilai memiliki nilai permeabilitas atau kemampuan
menyerap air tanah yang cepat, baik, sedang dan lambat. Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar),
yaitu lebih besar dari 36 cm per jam; permeabilitas tanah baik (pasir halus), yaitu 3,6 - 36 cm per
jam; permeabilitas sedang, yaitu 2,0-3,6 cm per jam; sedangkan permeabilitas lambat dibawah
2,0 cm per jam.
• Hidrologi
Fasilitas pengurukan limbah tidak diinginkan berada pada suatu lokasi dengan jarak
antara dasar sampai lapisan air tanah tertinggi kurang dari 3 meter. Sumber air permukaan di
Kabupaten Bandung Barat umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestic
pertanian; industri, dan lain-lain. Pada peta Sumber Daya Air Kawasan Cekungan Bandung dapat
dilihat bahwa pada Kabupaten Bandung Barat rata-rata memiliki kedalaman air tanah yang
cukup dalam. Selain itu sebagian kecilnya terdiri dari sumber mata air memancar dan sumber air
tanah dangkal, keduanya dinilai kurang cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA karena memiliki
potensi mencemari air tanah yang lebih besar. Potensi pencemaran juga berhubungan dengan
intensitas hujan. Kabupaten Bandung Barat pada umumnya memiliki intensitas hujan 13,6-20,7
mm/hari. Daerah pada Kabupaten Bandung Barat yang memiliki intensitas hujan sebesar 20,7-
27,7 mm/hari mendapatkan penilaian yang rendah karena dapat menghasilkan air lindi yang
lebih besar.
• Topografi
Tempat pengurukan limbah tidak boleh terletak pada suatu bukit dengan lereng yang
tidak stabil. Suatu daerah dinilai lebih bila terletak di daerah landai dengan topografi tinggi. Pada
peta Kemiringan Lereng dapat diketahui bahwa sebagian besar (42%) di wilayah cekungan
Bandung merupakan daerah datar (kemiringan 0 - 8%), 21% merupakan daerah landai
(kemiringan 8% - 15%), 20% bergelombang (kemiringan lereng 15% - 25%), 12% merupakan
daerah curam (kemiringan lereng 25% - 40%), dan 5% merupakan daerah sangat curam
(kemiringan lereng > 40%). Daerah yang sangat curam dinilai memiliki nilai yang lebih kecil
karena dikhawatirkan dapat menyebabkan kelongsoran yang berakibat fatal terutama saat terjadi
hujan atau rembesan air yang tinggi.
• Tataguna lahan
Landfilling yang menerima limbah organik, dapat menarik kehadiran burung sehingga
tidak boleh diletakkan dalam jarak 300 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakan
oleh penerbangan turbo jet atau dalam jarak 1500 meter dari landasan lapangan terbang yang
digunakan oleh penerbangan jenis piston. Disamping itu, lokasi tersebut tidak boleh terletak di
dalam wilayah yang diperuntukkan bagi daerah lindung perikanan, satwa liar dan pelestarian
tanaman. Jenis penggunaan tanah lainnya yang biasanya dipertimbangkan kurang cocok adalah
konservasi lokal dan daerah kehutanan.
Pemilihan lokasi untuk pembuangan sampah kota seharusnya tidak berbenturan
dengan peruntukan lahan lainnya oleh karena itu pada tahap terakhir peta tematik di-overlaykan
dengan peta Land use Kabupaten Bandung Barat. Hal ini untuk mencegah kemungkinan
timbulnya pencemaran dan sisi negatif terhadap masyarakat di sekitar TPA. Kesulitan dalam
pemilihan lokasi pembuangan sampah, biasanya karena tidak dijumpai lahan yang memadai
sesuai dengan peruntukan lahan atau kondisi geologi dari wilayah tersebut.