Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
15
ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)
TERHADAP PEMBUKTIAN DI MUKA SIDANG PENGADILAN
(Studi Kasus Perkara Pidana Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar)
Oleh:
Hana Krisnamurti, Sri Mulyati Chalil
Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung
ABSTRAK
Pasal 142 KUHAP memberikan hak kepada Penuntut Umum untuk melakukan
penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (Splitsing). Pemisahan ini dapat
dilakukan jika Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka dan peran masing-
masing tersangka berbeda. Konsekuensi dari splitsing, yaitu bahwa satu perkara
pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya
timbul istilah saksi mahkota (kroongetuide). Secara normatif penggunaan dan
pengajuan „saksi mahkota‟ merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran
terhadap kaidah HAM yakni bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) dan mengabaikan hak ingkar yang dimiliki terdakwa
karena terikat oleh sumpah dalam kedudukannya sebagai saksi.
Kata kunci: Splitsing, Presumption of Innocence, Saksi Mahkota, dan Hak Ingkar
ABSTRACT
Criminal justice can be interpreted as a process of working of some law enforcement
agencies. Criminal justice mechanisms include activities that gradually starting
from the investigation, prosecution, examination before the court, and execution of a
court decision which held in a correctional institution with a common goal that is
desired in order to seek, find and get the accuracy of which are specifically regulated
in the Act Law No. 8 / 1981 on Criminal Proceedings. The development of criminal
procedure have been related to the scope of many things that must be learned one of
them is about authority as Prosecutor Attorney General for prosecution action by the
indictment. Article 142 Criminal Procedure Code gives a right to the Public
Prosecutor to prosecute the case by way of separation (Splitsing). Consequences of
splitsing, namely that the perpetrators must testify together in each case. In one case
the perpetrator has two positions, either as witnesses or defendants. As a result, the
term arising crown witness (kroongetuide). Normatively use and filing of 'crown
witnesses' are contrary to the principles of fair trial and impartial (fair trial) and
also a violation of human rights principles as known in the Criminal Code and the
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). What is needed is a
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
16
thoroughness and wisdom of law enforcement, especially prosecutors and judges in
the use of crown witnesses as evidence so as to maintain the balance of protecting
the interests of either country's interest, the public, as well as individual interests
including the interests of criminals and victims of crime, so it will create certainty
law is expected by the community.
Keywords: Splitsing, Presumption of Innocence, Kroongetuide.
PENDAHULUAN
Kejahatan merupakan masalah
sosial yang tidak hanya dihadapi oleh
Indonesia atau masyarakat dan negara
tertentu, tetapi merupakan masalah
yang dihadapi oleh seluruh masyarakat
di dunia. Kejahatan ditemukan atau
ada di semua kultur atau budaya, dan
setiap masyarakat menghasilkan
mekanisme atau cara untuk
mengendalikan kejahatan.
Mekanisme tersebut meliputi
proses yang bertahap dimulai dari
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
di sidang pengadilan, dan pelaksanaan
putusan hakim yang dilaksanakan di
lembaga pemasyarakatan.
Keseluruhan proses itu bekerja di
dalam suatu sistem, sehingga masing-
masing lembaga itu merupakan
subsistem yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi antara satu
dengan yang lain.
Mulyadi (1996) mengatakan
bahwa Hukum Acara Pidana merupa
kan peraturan yang mengatur,
menyelenggarakan dan memper-
tahankan eksistensi ketentuan
Hukum Pidana (Materieel
Strafrecht) guna mencari, menemu-
kan dan mendapatkan kebenaran
materi atau yang sesungguhnya.
Perkembangan hukum acara
pidana telah menyangkut ruang
lingkup banyak hal yang harus
dipelajari yakni meliputi aturan
hukum tentang wewenang alat
negara penegak hukum, tindakan
penyidikan untuk mengumpulkan
bahan-bahan bukti, wewenang
melakukan penangkapan/penahanan,
tindakan penuntutan dengan surat
dakwaan, pemeriksaan sidang untuk
pembuktian sebagai bahan
keputusan, penerapan hukum dengan
penetapan/putusan, berbagai upaya
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
17
hukum dan pelaksanaan putusan
yang mempunyai kekuatan tetap.
Tindakan penuntutan dengan
surat dakwaan merupakan
kewenangan dari jaksa (Pasal 1
angka 6 huruf a KUHAP). Pasal 142
KUHAP memberikan hak kepada
Penuntut Umum untuk melakukan
penuntutan dengan jalan pemisahan
perkara (Splitsing). Pada prinsipnya,
menurut hukum acara pidana splitsing
kasus adalah hak Penuntut Umum.
Pemisahan itu dapat dilakukan jika
Penuntut Umum menerima satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak
pidana. Kejahatan itu juga melibatkan
beberapa orang tersangka. Dengan
kata lain, lebih dari satu perbuatan dan
pelaku. Splitsing bisa dilakukan
karena peran masing-masing tersangka
berbeda.
Konsekuensi dari splitsing, yaitu
bahwa para pelaku harus saling
bersaksi dalam perkara masing-
masing. Dalam satu perkara pelaku
memiliki dua kedudukan, baik sebagai
saksi maupun terdakwa. Akibatnya
timbul istilah saksi mahkota
(kroongetuide).
Hal ini dapat dilihat dalam
proses perkara pidana pembunuhan
terhadap Nasrudin Zulkarnaen
Iskandar. Secara garis besar para
pelaku dalam perkara pidana ini
terbagi dalam beberapa unsur, yaitu
eksekutor (Edo Cs), penyandang dana
(Sigid Haryo Wibisono) dan yang
menyuruh (Williardi Wizard), serta
Antasari Azhar sebagai pelaku turut
serta (yang membujuk).
Dalam satu perkara yang
menjadi terdakwa adalah kelompok
eksekutor sedangkan kelompok
penyandang dana, yang menyuruh,
serta yang membujuk berkedudukan
sebagai saksi demikian sebaliknya
dalam perkara yang lain penyandang
dana sebagai terdakwa sedangkan
eksekutor, yang menyuruh dan yang
membujuk berkedudukan sebagai
saksi.
Secara normatif penggunaan dan
pengajuan „saksi mahkota‟ merupakan
hal yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip peradilan yang adil dan tidak
memihak (fair trial) dan juga
merupakan pelanggaran terhadap
kaidah HAM sebagaimana dikenal
dalam KUHAP maupun International
Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR).
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
18
Berdasarkan u raian tersebut
diatas peneliti tertarik untuk mengada-
kan penelitian mengenai aspek yuridis
pemisahan berkas perkara (splitsing)
terhadap pembuktian di muka sidang
Pengadilan (Studi Kasus Perkara
Pidana Pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen Iskandar). Oleh karena itu
penulis membatasi analisis dalam dua
permasalahan yaitu bagaimanakah
aspek yuridis pemisahan berkas
perkara (splitsing) terhadap pem-
buktian di muka sidang pengadilan
(Studi Kasus Perkara Pidana
Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen
Iskandar)? Dan bagaimanakah
kepastian hukum saksi mahkota
dalam pemeriksaan perkara pidana?
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System) telah men-
jadi suatu istilah yang menunjukkan
mekanisme kerja dalam penang-
gulangan kejahatan dengan memper-
gunakan dasar pendekatan sistem. Arti
sistem itu sendiri adalah susunan
kesatuan dari bagian-bagian yang
saling bergantung.
Remington dan Ohlin dalam
Atmasasmita (1996) mengemukakan
bahwa Criminal Justice System dapat
diartikan sebagai pemakaian pen-
dekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana, dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan praktik
administrasi dan sikap atau tingkah
laku sosial. Pengertian sistem itu
sendiri mengandung implikasi suatu
proses interaksi yang dipersiapkan
secara rasional dan dengan cara efisien
untuk memberikan hasil tertentu
dengan segala keterbatasannya.
Dalam konteks inilah selanjut-
nya dibicarakan tentang mekanisme
peradilan pidana sebagai suatu proses,
atau disebut “Criminal Justice
Process”. Criminal Justice Process ini
dimulai dari proses penangkapan,
penggeledahan, penahanan,
penuntutan, dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan, serta diakhiri
dengan pelaksanaan pidana di lembaga
pemasyarakatan.
Sistem peradilan pidana dalam
operasionalisasinya melibatkan
manusia, baik sebagai subjek hukum
maupun sebagai sasaran atau objek
hukum, sehingga persyaratan utama
supaya sistem peradilan pidana itu
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
19
bersifat rasional, harus dapat
memahami dan memperhitungkan
dampaknya terhadap manusia dan
masyarakat manusia, baik yang berada
dalam kerangka sistem maupun yang
berada di luar sistem.
Mengkaji KUHAP Tahun 1981
sebagai dasar hukum terselenggaranya
sistem peradilan pidana di Indonesia,
maka akan tampak subsistem-
subsistem sebagai berikut :
a. Subsistem Penyidikan
b. Subsistem Penuntutan
c. Subsistem Pengadilan
Dilihat secara umum, menurut
sistem KUHAP, hakim memiliki
posisi yang sentral dan sangat
menentukan, karena hakimlah yang
menetapkan tentang terbukti atau
tidaknya kesalahan terdakwa.
Kegiatan pengumpulan bukti-bukti
dilakukan oleh penyidik, pemanfaatan
alat-alat bukti menjadi tanggung jawab
penuntut umum karena penuntut
umum yang berkewajiban membuat
dakwaan dan membuktikannya
melalui alat-alat bukti yang dikumpul-
kan oleh penyidik.
Hakim tidak boleh menjatuh-
kan pidana kepada seseorang berdasar-
kan hanya atas keyakinannya melain-
kan harus dengan adanya sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah
(Pasal 183 KUHAP). Pengertian
tersebut merupakan pencerminan dari
sistem pembuktian negatif (asas
negative wettelijke).
Hamzah (1990) mengatakan,
bahwa Sistem pembuktian negatif
merupakan gabungan dari teori atau
sistem pembuktian berdasar keyakinan
secara positif dengan sistem
pembuktian berdasar keyakinan hakim
melulu, sehingga dalam sistem ini
hakim hanyalah menghukum terdakwa
kalau bukti-bukti yang sah menurut
hakim, ia berkeyakinan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukan
tindak pidana.
Alat bukti adalah alat yang ada
hubungannya dengan suatu tindak
pidana, yang dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas
kebenaran akan adanya tindak pidana
yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Sedangkan alat bukti yang sah artinya
alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang, yaitu yang tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
yakni: Keterangan saksi, Keterangan
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
20
ahli, Surat, Petunjuk,dan Keterangan
terdakwa.
Keterangan saksi merupakan
faktor penting dalam segala kegiatan
pelaksanaan proses peradilan dan
sebagai alat bukti yang dapat mem-
beratkan atau meringankan terdakwa.
Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di per-
sidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pem-
beritahuan secara lisan dan pribadi
oleh orang yang bukan salah satu
pihak dalam perkara yang dipanggil di
persidangan.
Pasal 1 angka 26 menentukan:
"Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuan
itu". Demikian halnya dengan Pasal 1
butir 1 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, menyatakan “Saksi
adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/
atau ia alami sendiri”.
Pengertian umum dari
keterangan saksi tercantum dalam
Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “salah
satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu.”
Penilaian terhadap keterangan
yang diberikan oleh seorang saksi
adalah bebas, artinya seorang hakim
bebas untuk menerima atau menolak
isi keterangan seorang saksi yang
diberikan di persidangan. Keadaan
tersebut ada benarnya, karena
seringkali seorang saksi di dalam
memberikan keterangan dilandasi
suatu motivasi tertentu.
Dalam mempertimbangkan nilai
suatu kesaksian, hakim harus
memberikan perhatian khusus pada
persamaan kesaksian-kesaksian satu
sama lain, pada persamaan antara
kesaksian-kesaksian itu dengan apa
yang diketahui dari sumber lain
tentang hal yang menjadi perkara,
pada alasan-alasan yang kiranya telah
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
21
mendorong seorang saksi untuk
mengutarakan perkaranya secara
begini begitu, pada cara hidup,
kesusilaan, dan kedudukan para saksi,
serta pada segala apa yang mungkin
ada pengaruhnya terhadap lebih atau
kurang dapat dipercayainya para saksi
itu.
Dalam banyak kasus tampak
bahwa tidak setiap kejadian atau
keadaan yang terjadi di tempat
kejadian perkara disaksikan oleh
seorang saksi yang berdiri sendiri-
sendiri, dapat dipergunakan sebagai
alat bukti yang sah, jika keterangan
saksi itu ada hubungannya yang satu
dengan yang lain sedemikian rupa,
hingga dapat membenarkan adanya
suatu kejadian. Dalam antara seorang
terdakwa dengan terdakwa lain yang
bersama-sama melakukan tindak
pidana, bisa dijadikan saksi antara
yang satu dengan yang lain. Hal inilah
yang kemudian dikenal sebagai „saksi
mahkota‟ (kroongetuide).
Meskipun tidak diberikan
definisi otentik dalam KUHAP,
namun berdasarkan kenyataan, „saksi
mahkota‟ didefinisikan sebagai saksi
yang berasal atau diambil dari salah
seorang tersangka atau terdakwa
lainnya yang bersama-sama melaku-
kan tindak pidana. Adapun mahkota
yang diberikan kepada saksi yang
berstatus terdakwa adalah dalam
bentuk ditiadakannya penuntutan
terhadap perkaranya atau diberikannya
suatu tuntutan yang sangat ringan
apabila perkaranya dilimpahkan ke
pengadilan atau dimaafkan atas
kesalahan yang pernah dilakukan.
Saksi mahkota hanya ada dalam
perkara pidana yang merupakan delik
penyertaan.
Hamzah (1996) berpendapat
bahwa: “saksi mahkota adalah salah
seorang terdakwa biasanya yang
paling ringan kesalahannya dijadikan
(dilantik) sebagai saksi. Jadi terdakwa
ini seperti diberi mahkota yang tidak
akan dijadikan terdakwa lagi.
Pengaturan mengenai ‟saksi
mahkota‟ ini pada awalnya diatur di
dalam Pasal 168 KUHAP, yang
prinsipnya menjelaskan bahwa pihak
yang bersama-sama sebagai terdakwa
tidak dapat didengar keterangannya
dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi. Kemudian dalam perkembangan
nya, maka tinjauan pemahaman
tentang saksi mahkota sebagai alat
bukti dalam perkara pidana diatur
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
22
dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989
tanggal 21 Maret 1990.
Dalam Yurisprudensi tersebut
dijelaskan bahwa Mahkamah Agung
RI tidak melarang apabila Jaksa/
Penuntut Umum mengajukan saksi
mahkota dengan syarat bahwa saksi
ini dalam kedudukannya sebagai
terdakwa tidak termasuk dalam satu
berkas perkara dengan terdakwa yang
diberikan kesaksian.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dilakukan
dengan cara menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu
suatu penelitian yang menekankan
pada peraturan perundang-undangan
untuk mengkaji permasalahan dengan
menemukan peraturan hukumnya yang
bertujuan untuk menemukan asas dan
teori hukum (Soekanto, 1986).
Spesifikasi penelitian yang
digunakan adalah deskriptif analitis,
yaitu mendeskripsikan atau meng-
gambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagai hukum
positif (ius constitutum) dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan praktik
pelaksanaan hukum positif seputar
permasalahan yang akan dibahas
(Soemitro, 1985).
Objek yang diteliti yaitu
mengenai putusan pengadilan terhadap
para pelaku pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen Iskandar. Data dalam
penelitian ini diperoleh melalui studi
kepustakaan yang berkaitan dengan
data sekunder di bidang hukum
kemudian dianalisis dengan mengguna
kan metode analisis yuridis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh disusun
secara sistematis, kemudian diuraikan
dalam bentuk narasi. Sehingga akan
diperoleh suatu interpretasi hukum
dengan menggunakan cara penafsiran
hukum.
PEMBAHASAN
Pada prinsipnya, menurut
hukum acara pidana splitsing kasus
adalah hak Penuntut Umum.
Pemisahan itu dapat dilakukan jika
Penuntut Umum menerima satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak
pidana. Kejahatan itu juga melibatkan
beberapa orang tersangka. Dengan
kata lain, lebih dari satu perbuatan dan
pelaku. Splitsing bisa dilakukan
karena peran masing-masing terdakwa
berbeda.
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
23
Konsekuensi dari splitsing, yaitu
bahwa para pelaku harus saling
bersaksi dalam perkara masing-
masing. Dalam satu perkara pelaku
memiliki dua kedudukan, baik sebagai
saksi maupun terdakwa. Akibatnya
timbul istilah saksi mahkota
(kroongetuide).
Dalam perkara pembunuhan
berencana terhadap Nasrudin
Zulkarnaen ini, secara garis besar para
pelaku terbagi dalam beberapa unsur,
yaitu eksekutor (Edo Cs), penyandang
dana (Sigid Haryo Wibisono) dan
yang menyuruh (Williardi Wizard),
serta Antasari Azhar sebagai pelaku
turut serta (yang membujuk).
Peneliti berpendapat mengapa
Jaksa Penuntut Umum harus melaku-
kan Splitsing terhadap para pelaku,
karena menurut peneliti Splitsing itu
akan mengakibatkan kaburnya Unsur
Penyertaan (Deelneming).
Penyertaan (Deelneming) adalah
apabila dalam suatu peristiwa pidana
terdapat lebih dari satu orang,
sehingga harus dicari pertanggung-
jawaban dan peranan masing-masing
peserta dalam persitiwa tersebut.
Splitsing dapat menyulitkan
jaksa penuntut umum dalam
membuktikan hubungan pelaku satu
dengan pelaku lainnya. karena, dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh
beberapa orang otomatis diperlukan
pembuktian antara pelaku, kalau
perkaranya di-split bagaimana bisa
mengetahui hubungan antar pelaku.
Padahal tidak mungkin terbukti
unsur penyertaan jika tindak pidana
yang dilakukan berbeda. Semua atau
salah satu unsur yang ada dalam
dakwaan harus dilaksanakan secara
bersama-sama. Kalau pelaku didakwa
sendiri bagaimana membuktikan unsur
“bersama-samanya”. Terdakwa
tunggal itu tidak mungkin terbukti
melakukan tindak pidana bersama-
sama orang lain. Pemisahan perkara
menyebabkan unsur penyertaan tidak
terbukti. karena, penentuan siapa
pelaku (pleger) dan medepleger (turut
serta) tidak jelas, pelaku (pleger)
justru berada dalam berkas perkara
yang berbeda. Akibat penentuan
kualitas deelneming (penyertaan) yang
tidak jelas mengakibatkan perbedaan
penerapan hukum.
Hal ini dapat dilihat dari vonis
hakim dalam putusan pengadilan ter-
hadap para pelaku tersebut yaitu Sigid
Haryo Wibisono hakim menjatuhkan
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
24
pidana penjara selama 15 (lima belas)
tahun, Williardi Wizard hakim
menjatuhkan pidana penjara selama 12
(dua belas) tahun, dan terhadap
Antasari Azhar hakim menjatuhkan
pidana penjara selama 18 (delapan
belas) tahun.
Inkonsitensi penerapan pasal
menunjukan adanya dua delik yang
berbeda. Padahal didakwa melakukan
penyertaan (deelneming). Hal ini
menunjukan ketidaktepatan dalam
menerapkan pasal.
Selain hal tersebut diatas
splitsing dianggap telah melanggar
asas praduga tidak bersalah. Asas
Praduga Tidak Bersalah merupakan
perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang fundamental.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
menyatakan bahwa: “setiap orang
yang ditangkap, dan dituntut karena
disangka melakukan suatu tindak
pidana berhak dianggap tidak ber-
salah, sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
Splitsing dianggap telah
melanggar asas praduga tidak bersalah
karena pemeriksaan di muka
persidangan belum selesai namun
dengan adanya putusan terdakwa lain
ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya
pemeriksaan itu hanya formalitas saja.
Contoh konkrit ketika vonis
terhadap Antasari diputuskan maka
secara logika bahwa Sigit dan
Williardi dapat dinyatakan bersalah
juga karena terkait Pasal 55 ayat (1)
tentang penyertaan sedangkan pada
saat itu perkara Sigit dan Williardi
belum diputuskan.
Penggunaan saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam perkara
pidana tentunya akan menimbulkan
berbagai permasalahan yuridik.
Munculnya alasan untuk memenuhi
dan mencapai rasa keadilan
masyarakat sebagai dasar argumentasi
diajukannya saksi mahkota bukan
merupakan hal yang menjustifikasi
penggunaan saksi mahkota itu sebagai
alat bukti dalam pemeriksaan perkara
pidana.
Saksi mahkota pada esensinya
adalah berstatus sebagai terdakwa.
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
25
Oleh karena itu, sebagai terdakwa ia
mempunyai hak untuk diam atau
bahkan hak untuk memberikan
jawaban yang bersifat ingkar atau
bohong. Hal ini sebagai konsekuensi
yang melekat akibat tidak diwajib-
kannya terdakwa untuk bersumpah
dalam memberikan keterangan. Pasal
66 KUHAP juga mengatur bahwa
terdakwa tidak dibebani pembuktian
karena beban pembuktian ada pada
Jaksa Penuntut Umum. Karena ter-
dakwa tidak dikenakan kewajiban
untuk bersumpah maka terdakwa
bebas untuk memberikan keterangan-
nya di persidangan.
Sebagai subjek dalam
pemeriksaan, maka tersangka atau
terdakwa diberikan kebebasan untuk
melakukan pembelaan diri terhadap
dakwaan yang ditujukan kepada
dirinya (sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 52 KUHAP). Dengan kata
lain terdakwa mempunyai hak untuk
ingkar, yakni berhak untuk meng-
ingkari setiap keterangan ataupun
kesaksian yang memberatkan dirinya
serta berhak untuk mengingkari
terhadap dakwaan yang didakwakan
kepadanya karena dilindungi oleh asas
praduga tak bersalah (presumption of
innocence).
Dalam hal terdakwa diajukan
sebagai saksi mahkota tentunya
terdakwa tidak dapat memberikan
keterangan secara bebas karena terikat
dengan sumpah. Kosekuensi terhadap
pelanggaran sumpah ini adalah ia bisa
diancam melanggar Pasal 242 KUHP
tentang sumpah palsu dan keterangan
palsu. Adanya keterikatan dengan
sumpah tersebut tentunya akan
menimbulkan tekanan psikologis bagi
terdakwa karena ia tidak dapat
menggunakan haknya untuk ingkar
atau berbohong.
Oleh karena itu, pada hakikatnya
kesaksian yang diberikan saksi
mahkota tersebut disamakan dengan
pengakuan yang didapat dengan
menggunakan kekerasan dalam hal ini
kekerasan psikis. Hal ini jelas
bertentangan dengan prinsip-prinsip
peradilan yang adil dan tidak memihak
(fair trial) dan juga merupakan
pelanggaran terhadap kaidah HAM
sebagaimana dikenal dalam KUHAP
maupun International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR).
Pada dasarnya, ketentuan Pasal
14 ayat (3) huruf g ICCPR bertujuan
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
26
untuk melarang paksaan dalam bentuk
apapun. Selain itu, diamnya tersangka
atau terdakwa tidak dapat digunakan
sebagai bukti untuk menyatakan
kesalahannya.
Terdakwa tidak boleh dipersalah
kan atas keterangannya. Kondisi ini,
sangat tidak adil bagi terdakwa.
Sementara, tujuan dari penegakan
hukum, tidak hanya menegakan
hukum, tetapi juga keadilan baik untuk
korban maupun terdakwa. Apalagi,
keterangan yang diberikan besar
kemungkinan menunjukan kesalahan
terdakwa dalam kasus tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Splitsing bisa dilakukan karena
peran masing-masing terdakwa ber-
beda. Namun pada kenyataannya
splitsing dapat menimbulkan masalah,
yaitu kaburnya unsur penyertaan
(deelneming) yang mengakibatkan
perbedaan penerapan hukum, pelang-
garan asas non self incrimination dan
bertentangan dengan asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence).
Penggunaan saksi mahkota dianggap
suatu pelanggaran terhadap kaidah
HAM yakni hak ingkar yang dimiliki
terdakwa karena terikat oleh sumpah
dalam kedudukannya sebagai saksi.
Sehingga akan lebih menjamin
kepastian hukum apabila eksistensi
saksi mahkota diatur dengan ketentuan
hukum yang jelas demi mewujudkan
proses peradilan yang sesuai dengan
kaidah-kaidah yang terdapat dalam
KUHAP dan mewujudkan rasa
keadilan bagi masyarakat luas.
Saran
a. Dalam menyusun surat dakwaan
terhadap perkara yang di-split
sebaiknya jaksa memahami unsur
penyertaan, sehingga jelas
hubungan antar pelaku dan
penentuan siapa pelaku (pleger)
dan medepleger (turut serta) serta
memahami tentang kualitas
perkara yang perlu diadakan
splitsing.
b. Penggunaan saksi mahkota sebagai
alat bukti dalam perkara pidana
perlu ditinjau ulang karena ber-
tentangan dengan esensi hak asasi
manusia, khususnya hak asasi
terdakwa.
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)
SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011
27
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Atmasasmita R., (1996), Sistem
Peradilan Pidana (Perspektif,
Eksistensialisme, dan
Abolisionisme, Putra A. Bardin,
Bandung.
Hamzah, A., (1990), Pengantar
Hukum Acara Pidana Indonesia,
Ghalia, Jakarta.
Hamzah, A., (1996), Hukum Acara
Pidana Indonesia, C.V. Bapta
Arta Jaya, Jakarta.
Mulyadi L., (1996), Hukum Acara
Pidana Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soekanto S., (1986), Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.
Soemitro R.H., (1985), Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sumber Perundang-undangan:
Afnil G.S.S., (2008), KUHAP dan
Penjelasan, Asa Mandiri,.
Kuffal H.M.A., (2005), Undang-
Undang Kejaksaan RI.,
Kekuasaan Kehakiman,
Kepolisian Negara RI,
Mahkamah Agung, Umm
Press.
Moeljatno, (1999), Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Bumi
Aksara, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.