14
Ayat-ayat Api : Permainan Ke(tidak)-ada- an Agung Dwi Ertato In a drear-nighted December, Too happy, happy brook, Thy bubblings ne'er remember Apollo's summer look; But with a sweet forgetting They stay their crystal fretting, Never, never petting About the frozen time. (Happy Insensibility, John Keats) /1/ Pada era puisi romantik, John Keats menampilkan sajak-sajak liris imajis. John Keats menangkap semua yang ia lihat dan ia rasakan kemudian ia tuangkan ke dalam kata-kata. Pengaruh puisi-puisi John Keats merasuk ke dalam sajak-sajak penyair Indonesia terutama Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhamad. Keduanya mempunyai gaya bahasa yang hampir mirip. saat tiada pun tiada aku berjalan (tiada gerakan serasa isarat) Kita pun bertemu (potongan “Dalam Doa: II”, Sapardi Djoko Damono)

Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

Embed Size (px)

DESCRIPTION

analisis tiga sajak SDD dalam atnologi puisi Ayat-ayat Api

Citation preview

Page 1: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

Ayat-ayat Api : Permainan Ke(tidak)-ada-

an

Agung Dwi Ertato

In a drear-nighted December, Too happy, happy brook,

Thy bubblings ne'er rememberApollo's summer look;

But with a sweet forgettingThey stay their crystal fretting,

Never, never pettingAbout the frozen time.

(Happy Insensibility, John Keats)

/1/

Pada era puisi romantik, John Keats menampilkan sajak-sajak liris imajis.

John Keats menangkap semua yang ia lihat dan ia rasakan kemudian ia

tuangkan ke dalam kata-kata. Pengaruh puisi-puisi John Keats merasuk ke

dalam sajak-sajak penyair Indonesia terutama Sapardi Djoko Damono dan

Goenawan Muhamad. Keduanya mempunyai gaya bahasa yang hampir

mirip.

saat tiada pun tiadaaku berjalan (tiadagerakan serasaisarat) Kita pun bertemu

(potongan “Dalam Doa: II”, Sapardi Djoko Damono)

Senja pun jadi kecilKota pun jadi putihDi subwayaku tak tahu saat pun sampai

Ketika berayun musim

Page 2: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

dari sayap langit yang bekuketika burung-burung, di rumput-rumput dinginterhenti mempermainkan waktu

Ketika kita berdiri sunyipada dinding biru inimenghitung ketidak-pastian dan bahagiamenunggu seluruh usia

1966

(Senja Pun Jadi Kecil Kota Pun Jadi Putih, Goenawan Muhamad)

Keduanya memiliki gaya retoris liris. Membaca kedua sajak ini, kita seakan-

akan tersihir meresapi kelirisan kata yang terbentuk dan menyelami

kedalaman pemaknaannya.

/2/

Sejak awal kepenyairnnya, Sapardi Djoko Damono tetap setia pada gaya

bahasa yang liris imajis. Membaca karya Sapardi Djoko Damono seperti

membaca potongan-potongan fragmen kecil. Kekuatan sajak-sajak Sapardi

terletak pada diksi kata yang sederhana, namun mempunyai kedalaman

makna. Dalam antologi puisi Ayat-ayat Api (2000), Sapardi Djoko Damono

kembali menampilkan kesederhanaan diksi kata. Ayat-ayat Api terbagi

menjadi tiga bagian yakni Ayat Nol, Ayat Arloji, dan, Ayat Api. Ketiga bagian

tersebut menandakan proses menuju ke(tidak)-ada-an yang bermula pada

ke(tidak)-ada-an. Sapardi seolah-olah bermain dengan ke(tidak)-ada-an.

Dalam antologi tersebut setidaknya ada tiga sajak yang menampilkan

permainan ke(tidak)-ada-an. Sajak tersebut adalah Ruang Ini, Catatan Masa

Kecil 4, dan Yang Paling Menakjubkan.

Untuk memahami ketiga sajak tersebut tidak bisa dilakukan dengan

pembacaan biasa. Micheal Riffaterre mengungkapkan bahwa pemaknaan

puisi bersifat tidak langsung—puisi berbicara suatu hal dengan maksud yang

lain (1978:1)—dan kesatuan makna dalam puisi bersifat terbatas atau

Page 3: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

terselubung dalam teks puisi (1978: ix). Setidaknya ada dua tahap

pembacaan yang harus dilalui. Yang pertama adalah pembacaan heuristik.

Pembacaan heuristik adalah pembacaan secara linear, sekadar memeriksa

konvensi bahasa dalam puisi. Dalam pembacaan tahap ini pemaknaan puisi

cenderung heterogen, terpecah-pecah, dan belum menyatu. Oleh sebab itu

dibutuhkan pembacaan kedua. Pembacaan kedua adalah pembacaan

hermeneutik. Pembaca akan dituntut untuk melakukan penafsiran terhadap

puisi, dengan kata lain pemberian makna. Pembacaan hermeneutik ini

bersifat semiotik. Dalam pembacaan hermeneutik akan ditemukan kesatuan

makna.

Seperti yang telah diutarakan, pembacaan puisi adalah proses memahami

makna puisi. Secara semiotik puisi merupakan struktur tanda-tanda yang

bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi.1Pendekatan semiotik

sastra adalah upaya menelaah karya sastra menggunakan sistem tenda-

tanda untuk menentukan makna suatu karya sastra. Pendekatan semiotik

Micheal Riffaterre akan digunakan dalam pembahasaan keempat puisi yang

mempunyai indikasi membicarakan ke(tidak)-ada-an.

/3/

RUANG INI

kau seolah mengerti: tak ada lubang angindi ruang terkunci ini

seberkas bunga plastik di atas meja,asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbukapada halaman pertama

kau cari catatan kaki itu, sia-sia

1 Konvensi-konvensi yang dimaksud adalah konvensi sastra dan tentu saja konvensi bahasa, karena bahasa merupakan media dalam karya sastra. Karya sastra tidak bisa lepas begitu saja dari konvensi bahasa yang berlaku pada waktu karya tersebut dibuat. Periksa A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra halaman 95.

Page 4: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

Dalam sajak Ruang Ini, aku ‘liris’ tidak disebutkan dalam sajak. Aku ‘liris’

terlesap dalam sajak. Pembacaan secara heuristik sajak ini adalah Aku ‘liris’

membicarakan ‘kau’ yang seolah mengerti bahwa tidak ada lubang angin

dalam ruangan yang terkunci ini. Di dalam ruangan yang terkunci terdapat

seberkas bunga plastik yang berada di atas meja. Di atas meja tersebut juga

terdapat asbak yang penuh dan buku yang terbuka pada halaman pertama.

‘Kau’ masih mencari catatan kaki itu padahal tidak ada dan kesiasiaan yang

didapat.

Seperti yang diutarakan, pembacaan heuristik hanya akan mendapatkan

makna yang sangat heterogen. Pemaknaan secara semiotik sajak ini, ‘kau’

sebagai objek atau lawan bicara dari aku ’liris’. ‘Seolah mengerti’ frasa

tersebut menandai seakan-akan mempunyai pengetahuan. ‘Seolah’

mengacu pada keadaan yang ‘seakan-akan’ dan ‘mengerti’ mengacu pada

kepintaran. Jika merujuk pada larik pertama ‘Kau seolah mengerti: tak ada

lubang angin’ merupakan gambaran tentang sesuatu yang tidak bisa

tertembus oleh akal pikiran manusia.

‘Di ruang terkunci ini’ menguatkan frasa sebelumnya. ‘Ruang’ mempunyai

padanan dengan semesta. Semesta yang luas bahkan tidak tahu seberapa

menggambarkan luasnya semesta. ‘Terkunci’ adalah simbol dari

ketertutupan. Dalam hal ini ‘terkunci’ mempunyai makna kerahasian. Frasa

ini berkaitan dengan semesta yang penuh dengan kerahasiaan.

Pada bait kedua lebih menggambarkan tentang isi dari semesta.

seberkas bunga plastik di atas meja,asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbukapada halaman pertama

Kata ‘seberkas’ biasanya menandai keterangan file-file. ‘Seberkas’

menunjukkan bentuk tunggal yang menerangkan frasa ‘bunga plastik’.

‘bunga’ adalah makhluk hidup yang bisa tumbuh sedangkan ‘plastik’ adalah

benda mati yang tidak bisa berkembang. Frasa ‘bunga plastik’ dapat

Page 5: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

menandai makhluk hidup yang telah mati jiwanya. ‘Meja’ adalah isi dari

‘ruangan ini’. ‘Meja’ menandai sebuah bagian dari alam semesta—bumi.

‘Meja’ mengacu pada tempat tinggal makhluk hidup, kota maupun desa.

’Asbak’ menandai tempat pembuangan racun-racun kehidupan. ‘Buku’ lebih

mengindikasikan catatan kegiatan atau rekaman hal-hal yang telah

dikerjakan. ‘Pada halaman pertama’ merupakan tanda awal dari rekaman

yang telah dikerjakan manusia sebagai objek dalam sajak ini.

Membicarakan buku berarti membicarakan pencipta atau pengarangnya.

Dalam setiap buku yang bersifat ilmiah selalu ada catatan kaki untuk

pertanggung jawaban atas pengutipan. Dalam sajak Ruang Ini ‘catatan kaki’

menandai esensi dari penciptaan semesta. Pengutipan tentang penciptaan

buku—pencipta semesta. ‘kau’—lawan bicara aku ‘liris’—seakan mencari

siapa dibalik penciptaan semesta dan dia hanya menemukan jalan yang tak

mungkin.

Jika kita melihat ruangan terkunci kita akan mempertanyakan ke-ada-an

atau ketidak-ada-an perihal isi dalam ruangan tersebut. Lalu kita menebak-

nebak antara ada dan tiada. Lain halnya kalau kita menemukan ruangan

terkunci dan kita sudah tahu isi di dalamnya, kita akan melewatinya tanpa

proses mempertanyakan ihwal isi di dalamnya lalu kita akan membiarkan

saja atau melewatinya.

Pemaknaan sajak Ruang Ini adalah tentang manusia yang seakan-akan

secerdas apapun akan sia-sia dalam memahami catatan kehidupan. Manusia

yang cerdas itu pun akan terjebak pada ketidak-ada-an. Mereka akan

mempertanyakan ihwal pencipta yang mereka sungguh mengerti bahwa

mereka tak bisa menembus ada atau tidak ada pencipta.

/4/

Page 6: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

Ihwal ke(tidak)-ada-an juga terdapat pada puisi Catatan Masa Kecil 4.

Ke(tidak)-ada-an ditandai dengan metafor ‘angka nol’.

Catatan Masa Kecil 4

Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang dengan angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.

Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.

Pada pembacaan awal, kita akan menemukan bentuk sajak ‘Catatan Masa

Kecil 4’ serupa dengan prosa. Sajak ini merupakan bagian dari ketegangan

konvensi dan inovasi dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono melakukan

inovasi terhadap bentuk sajak yang ia ciptakan. Sajak tersebut tidak lagi

berbentuk bait-bait yang sering ditulis oleh penyair-penyair pada periode

pujangga baru maupun angkatan’45. Inovasi inilah yang menempatkan

Sapardi Djoko Damono menjadi salah satu penyair modern selain inovasi

dalam hal gaya bahasa.

Secara heuristik, sajak ini bercerita tentang aku ‘liris’ yang mencerikatan ‘ia’

kepada lawan bicaranya. ‘ia’ digambarkan oleh aku ‘liris’ sebagai anak kecil.

Anak kecil tersebut tidak pernah bertanya tentang ketepatan angka-angka

dalam ilmu matematika. Setiap ‘ia’ menghitung angka ‘ia’ hanya teringat

kepada ‘ibunya’ yang sakit keras. Saatnya ‘ibunya’ sakit keras, ‘ayahnya’

juga tidak ada di rumah. Saat itu pula ‘ia’ mendengar suara bakiak

‘neneknya’ yang sudah meninggal, dan saat itu pula ‘ia’ takut ke kamar

mandi, lalu ‘ia’ kencing di kasur. Sejak awal ‘ia’ hanya percaya ‘angka nol’.

Pemaknaan masih bersifat heterogen. Tidak ada kesatuan makna dalam

pembacaan heuristik. Dalam pembacaan heuristik kita akan menemukan

Page 7: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

subjek aku ‘liris’ yang bertindak sebagai penutur, orang ketiga—‘ia’—,

‘angka-angka’, relasi ‘penjumlahan dan perkalian’, ‘ibunya’, ‘ayahnya’,

‘almarhum neneknya’, ‘bakiak’, ‘kencing’, ‘sumur’, ‘kamar kecil’, ‘kasur’,

‘mempercayai’, dan ‘angka nol’. Metafor-metafor tersebut masih kabur

maknanya.

‘Ia’ dalam sajak ini menjadi objek utama. ‘Ia’ berkaitan dengan anak kecil

karena merujuk pada judul sajak—Catatan Masa Kecil 4. Anak kecil mengacu

pada keadaan awal mula, awal mula dari sebuah kehidupan. Anak kecil

merupakan simbol kepolosan. Pada pengetahuan anak kecil selalu pada

tingkat yang kosong belum terisi dengan segala pengetahuan. Awal mula

adalah ke(tidak)-ada-an.

Frasa ‘tak pernah sempat bertanya’ merupakan fungsi predikat dari ‘ia’.

Frasa tersebut dapat diinterpretasikan pada keadaan yang diam dan sunyi.

‘Kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu

kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari

tiga tambah tiga.’ Klausa tersebut menandai suatu kepastian. Kepastian

yang terjadi setelah awal mula—ketidakadaan—menuju proses keadaan.

Dalam proses menuju keadaan, sesuatu yang ada sudah pasti dan tidak

dapat diganggu gugat.

Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.

Ada ketakutan pada masa lalu. Ketakutan masa lalu tersebut ditandai

dengan frasa ‘setiap kali’ dan ‘selalu teringat’. ‘Dua tambah tiga kali empat

kurang dua’ dikaitkan dengan ‘waktu terjaga malam-malam ketika ibunya

sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar

langkah-langkah bakiak almarhum neneknhya’. Frasa pertama tadi

menandai kepastian dari ada dan frasa kedua menandai keadaan yang

Page 8: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

sunyi. ‘Ia’ sangat takut dengan ke-ada-an yang sunyi dan sendirian.

Ketakutan pada kepastian dan ketakutan pada kepastian kenangan. Frasa

‘angka nol’ menandai bentuk permulaan dan kekosongan. Dalam

kekosongan—ke(tidak)-ada-an—selalu ada ketidakpastian yang mengisinya.

Dalam sajak Catatan Masa Kecil 4, permainan ke(tidak)-ada-an berada pada

ketidakpastian ‘angka nol’. Hubungan antara deretan angka dengan

kehidupan, angka nol—kekosongan—menjadi angka yang mutlak merupakan

metafor dari rangkaian kehidupan dari anak-anak menuju tua—nenek.‘Angka

nol’ menjadi awal dari kekosongan yang tidak pasti batas kekosongannya.

Kosong menjadi penanda bagi ke(tidak)-ada-an. Ke(tidak)-ada-an menjadi

ketidakpastian.

/5/

‘Angka nol’yang dianggap sebagai ke(tidak)-ada-an muncul kembali pada

sajak Yang Paling Menakjubkan. Ke(tidak)-ada-an lebih mengacu pada

metafor ‘dunia yang fana’ dan ‘segala sesuatu yang tidak ada’.

Yang Paling Menakjubkan

Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya, kita bisa membayangkan apa saja tentangnya, menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung yang letih, yang dindingnya berlemak, yang memompa sel-sel darah agar bisa menerobos urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara di dinding kamar periksa seorang dokter ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”

Kita bisa membayangkannya sebagai lidah yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan

Page 9: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya, kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya sementara orang berhak juga menganggap kita gila.

Ke(tidak)-ada-an dipermainkan melalui pengimajinasian subjek ‘kita’. Subjek

‘kita’ berimajinasi tentang yang paling menakjubkan di dunia yang fana

adalah segala sesuatu yang tidak ada. Kata ‘membayangkan’ diulang empat

kali. Pengulangan empat kali menunjukkan penegasan terhadap ‘segala

sesuatu yang tidak ada’ dan ‘yang paling menakjubkan di dunia yang fana

ini’. Pengimajinasian digambarkab pada bait satu sampaie empat. Pada bait

kelima kata ‘sungguh’ menjadi penegasan kembali tentang ‘yang paling

menakjubkan’.

Pada bait pertama sajak Yang Paling Menakjubkan kita akan menemukan

beberapa kata yang mengaburkan pemaknaan sajak tersebut. Kata-kata itu

adalah ‘kita’ sebagai subjek, ‘yang paling menakjubkan’, ‘di dunia yang fana

ini’, ‘membanyangkan’, ‘muara’, ‘segala yang luar biasa’. Di tinjau dari judul

sajak—Yang Paling Menakjubkan—menandakan sesuatu hal yang tertinggi.

Frasa ‘Yang Paling’ menunjukkan posisi tertinggi, teratas. Kata

‘menakjubkan’ merujuk kata sifat. ‘Menakjubkan’ menandai sifat hebat,

luarbiasa. Judul sajak tersebut menandai sesuati hal yang paling luarbiasa.

‘Yang paling menakjubkan’ tersebut kemudian disebutkan pada bait

pertama. ‘Di dunia yang fana ini’merujuk pada tempat manusia berdiam.

Dunia bersifat fana, tidak abadi, dan sementara. ‘Tidak ada’ menandai hal

yang kosong keberadaannya, tidak bias terlihat, dan abstrak.

‘Membayangkan’ adalah melakukan kegiatan pengandaian. ‘Muara’ adalah

ujung dari sungai, muara dapat menandai awal dari segala sesuatu. ‘Luar

biasa’ menunjuk perihal yang tidak sesuai pada umumnya.

Pemaknaan tersebut ditarik menjadi kebulatan makna pada bait pertama.

Pada bait pertama pemaknaan sajak adalah permainan ke(tidak)-ada-an

Page 10: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

adalah adalah Sang Pencipta. Sang Pencipta tidak bisa dilihat. Sang Pencipta

adalah yang menciptakan dunia yang fana. Sang Pencipta merupakan awal

mula—muara—bagi tempat manusia yang tak abadi.’ Yang Paling

Menakjubkan’ adalah ke(tidak)-ada-an, yang paling menakjubkan adalah

Sang Pencipta. Ini tentu saja belum tentu jika dibulatkan dengan bait-bait

berikutnta.

Pada bait kedua sampai bait keempat, pengimajinasian kontradiktif dengan

bait pertama. Pada bait pertama adalah awal yang luar biasa, sedangkan

pada bait kedua sampai keempat adalah segala sesuatu yang terbatas—

jantung, bolamata, dan lidah. Ketidak-ada-an menjadi sesuatu yang

mempunyai batasan. Batasan mengenai kemampuan.

Pada bait kelima, terjadi penegasan kembali merujuk pada kata ‘sungguh’.

Penegasan terhadap ke(tidak)-ada-an yang dapat bersifat awal mula atau

bersifat terbatas. Ke(tidak)-ada-an menjadi sesuatu yang bebas.

Setelah pemaknaan perbait ternyata terjadi ketidakgramatikalan pada ihwal

ke(tidak)-ada-an. Bait pertama menjelaskan awal mula, bait kedua

menjelaskan keterbatasan, dan bait terakhir menjelaskan penegasan

tentang kebebasan. Kebulatan pemaknaan Yang Paling Menakjubkan adalah

alam pemikiran manusia. Alam pemikiran manusia bisa menjadi awal mula,

bisa menjadi terbatas, dan bisa menjadi bebas sampai dianggap orang

menjadi gila. Alam pemikiran manusia bisa menjadikan manusia sebagai

sang pencipta, manusia dengan keterbatasan, ataupun manusia gila. Apa

yang terjadi dalam alam pemikiran manusia adalah segala sesuatu yang

bebas diterjemahkan.

/6/

Dalam puisi permainan makna sering dilakukan oleh penyair. Puisi berbicara

tentang suatu hal yang merujuk hal yang lain. Pada antologi Ayat-ayat Api,

Page 11: Ayat-ayat Api: Permainan Ke(tidak)-ada-an

Sapardi Djoko Damono mempermainkan ke(tidak)-ada-an. Ke(tidak)-ada-an

yang umumnya bersifat nisbi dimainkan menjadi sesuatu yang lain.

Pada sajak Ruang Ini,permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘di

ruang terkunci ini’ yang bermakna hal yang sia-sia untuk ditafsirkan.

Secerdas apapun manusia akan sia-sia menafsirkan semesta. Pada sajak

Catatan Masa Kecil 4, permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘angka

nol’. ‘Angka nol’ yang biasanya bermakna kosong dalam sajak tersebut

mempunyai makna awal mula dari kepastian. ‘Angka nol’ menjadi awal dari

angka satu,dua, dst. yang mempunyai kepastian nilai. ‘Angka nol’ adalah

ketidakpastian yang menjadi awal kepastian. Pada sajak Yang Paling

Menakjubkan, permainan ke(tidak)-ada-an muncul pada frasa ‘segala

sesuatu yang tidak ada’. Frasa tersebut mempunyai makna alam pemikiran

manusia. Alam pemikiran manusia bersifat abstrak dan dapat meng-ada-kan

sesuatu yang tidak ada. Permaian ke(tidak)-ada-an yang dilakukan Sapardi

menunjukkan bahwa puisi selalu berbicara suatu hal dan bermaksud hal

yang lain. Ke(tidak)-ada-an dalam sajak Sapardi mempunyai makna yang

berbeda dari sajak-sajak yang lain.

Sumber Acuan

Culler, Jonathan. 2001. The Pursuit of Signs. London: Roudledge Classic

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Ayat-ayat Api.Jakarta: Pustaka Firdaus

Muhamad, Goenawan.1992. Asmaradana. Jakarta: Grasindo

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington : Indiana

University Press

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya