Upload
adhi-suryana
View
19
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
abrakadabra
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus berasal dari kata diabetes yang artinya penerusan atau
pipa untuk menyalurkan air atau mengalir terus dan mellitus artinya manis,
sehingga penyakit ini sering disebut kencing manis (Sutedjo, 2010). Diabetes
Melitus atau disingkat DM merupakan kelompok penyakit metabolit dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (ADA,2010). Diabetes melitus adalah suatu penyakit
dimana kemampuan tubuh manusia untuk mengubah glukosa menjadi energi
mengalami gangguan. Glukosa adalah bahan utama bagi tubuh untuk beraktivitas,
dan dalam proses perubahan glukosa menjadi energi, dalam hal ini hormon insulin
yang dibuat oleh pankreas, sangatlah dibutuhkan. Pada individu dengan diabetes
melitus, proses inilah yang mengalami gangguan. Apabila pankreas mengalami
gangguan dalam memproduksi insulin maka disebut diabetes tipe I. Jika pankreas
mampu memproduksi namun terjadi defek pada sel tubuh, maka disebut diabetes
tipe II (DSWF, 2012).
Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab
kematian terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga belum
tuntas, selain itu semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi baru dan
timbulnya kembali penyakit infeksi yang sudah lama menghilang, Sehingga
Indonesia memiliki beban kesehatan ganda yang berat.
Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki
epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya
merupakan penyebab penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada
milenium baru ini. Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes
yang belum terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang
terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik non farmakologis maupun
farmakologis. Dari yang menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja
yang terkendali dengan baik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi
1
diabetes dapat dicegah dengan kontrol glikemik yang optimal. Kontrol glikemik
yang optimal sangatlah penting, namun demikian di Indonesia sendiri target
pencapaian kontrol glikemik belum tercapai (Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan DM tipe 2, 2011).
Berdasarkan data pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan, jumlah
penyandang diabetes mellitus menempati urutan nomor 2 tertinggi setelah
hipertensi. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman pengelolaan yang dapat
menjadi acuan penatalaksanaan diabetes melitus. (BPJS Kesehatan, 2015).
Tanpa penatalaksanaan yang baik diabetes melitus berpotensi untuk terjadi
komplikasi antara lain jantung koroner, stroke, gagal ginjal, gangguan
penglihatan, ganggren, impotensi dan lain-lain. Karena banyaknya komplikasi
kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ
vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif
untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular.
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar
penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2,
2011).
Pada strategi pelayanan kesehatan bagi penyandang diabetes, peran dokter
umum menjadi sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan
primer. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh
dokter umum di pelayanan kesehatan primer. Penyandang diabetes yang
berpotensi mengalami penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada
dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis penyakit dalam konsultan
endokrin, metabolisme, dan diabetes di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi di rumah sakit rujukan. Demikian pula penyandang diabetes dengan
glukosa darah yang sukar dikendalikan dan penyandang diabetes dengan penyulit.
Pasien dapat dikirim kembali kepada dokter pelayanan primer setelah penanganan
di rumah sakit rujukan selesai. Diabetes melitus merupakan penyakit menahun
yang akan diderita seumur hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain
dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga
menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan
2
memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit,
dan penatalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan
keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Oleh karena itu, dokter
internship sebagai dokter umum dilayanan primer berupaya untuk meningkatkan
target pencapaian kontrol glikemik yang belum tercapai dengan melaksanakan 4
pilar penatalaksaan DM dan dalam rangka memenuhi tugas mini project dokter
internship, akan diangkat judul “Upaya Meningkatkan Pemantauan Terhadap
Status Kesehatan pasien Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Pengadaan
Kartu Pemantauan Kesehatan di Puskesmas Tanggul”. Judul ini diambil juga
sebagai bentuk tindak lanjut program pengelolaan diabetes mellitus tipe 2
(PPDM) dari BPJS Kesehatan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan
dalam proyek ini adalah bagaimana cara meningkatkan target pencapaian kontrol
glikemik dan meningkatkan kesadaran pasien diabetes mellitus tipe 2 di wilayah
kerja puskesmas Tanggul.
1.3 Tujuan
Tujuan proyek ini adalah untuk meningkatkan target pencapaian kontrol
glikemik dan meningkatkan kesadaran pasien diabetes mellitus tipe 2 di wilayah
kerja puskesmas Tanggul untuk melakukan pemantauan kesehatan secara rutin.
1.4 Manfaat
Diharapkan proyek ini dapat digunakan sebagai bahan informasi berupa
data , masukan dalam penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas pada
masyarakat kecamatan wilayah kerja puskesmas Tanggul.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes melitus adalah suatu kelompok atau spektrum dari kelainan
metabolik yang memiliki fenotipe yang sama yaitu adanya hiperglikemia.
Beberapa tipe dari diabetes muncul, dan disebabkan oleh karena interaksi yang
kompleks dari faktor genetik dan faktor lingkungan yang ada. Terdapat berbagai
macam faktor yang mempengaruhi terjadinya hiperglikemia pada pasien, yaitu
sekresi dari hormon insulin yang menurun, penggunaan glukosa yang menurun,
dan peningkatan produksi glukosa. Adanya disregulasi metabolik yang muncul
menyebabkan berbagai macam perubahan patologis sekunder pada sistem organ
sehingga akan merugikan pasien dan juga sistem pelayanan kesehatan yang ada
(IDF, 2014).
2.2 Klasifikasi
DM diklasifikasikan berdasarkan proses patogenesisnya, dimana yang
akan berkembang menjadi hiperglikemia. Terdapat dua pembagian besar dari DM,
yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan oleh defisiensi hormon
insulin yang hampir mendekati total. Sedangkan DM tipe 2 adalah kelainan
heterogen yang dikarakterisasi oleh adanya berbagai macam derajat resistensi
insulin, sekresi insulin yang mulai berkurang dan produksi glukosa yang semakin
meningkat. DM tipe 2 didahului oleh tahap pre-diabetes dimana terjadi gangguan
toleransi glukosa atau gangguan gula darah puasa terlebih dahulu (Fauci, 2008).
4
Tabel 2.1 Klasifiaksi Diabetes Melitus
2.3 Patogenesis
DM tipe 1 terjadi pada 5-10% dari keseluruhan kasus diabetes yang ada.
Diabetes tipe 1 dapat terjadi pada segala umur, namun paling sering dapat terjad
pada anak-anak atau dewasa muda. DM tipe 1 dikarakterisasi oleh adanya
defisiensi insulin yang diakibatkan oleh adanya proses penghancuran autoimun
dari sel beta pankreas. Penyakit autoimun endokrin lainnya seperti hipotiroidisme,
insufisiensi adrenal, anemia pernisiosa, hepatitis autoimun, dan vitiligo kadang
dapat menyertai pasien dengan DM tipe 1. Secara klinis, pasien dengan DM tipe 1
sangat susah dibedakan dengan pasien DM tipe 2, kecuali pada pasien DM tipe 1
biasanya lebih tidak obesitas, dan malah kadang terjadi penurunan berat badan
yang ekstrim dan juga respon terhadap obat anti diabetes yang buruk.
Resiko untuk terkena DM secara genetis ditentukan oleh lokus gen yang
ada, dan yang paling penting adalah pada lokus HLA (Human Leukocyte Antigen).
Namun, hanya 10% dari pasien dengan DM tipe 1 yang memiliki riwayat keluarga
dengan DM tipe 1 juga. Resiko terkena DM tipe 1 pada generasi pertama dari
pasien hanyalah sebesar 2-5%. Adanya antibodi terhadap glutamic acid
5
decarboxylase (GAD), antibodi terhadap insulin, dan juga antibodi lainnya dapat
tampak pada saat diagnosis dari DM tipe 1. Kemungkinan adanya faktor
lingkungan lebih diyakini dengan perkembangan terjadinya proses autoimun pada
pasien ini, meskipun mekanisme tersebut masih belum dapat dijelaskan dengan
baik.
Pada DM tipe 2, paling sering terjadi pada pasien dewasa, meskipun DM
tipe 2 dapat terjadi pada berbagai macam umur. Pada saat ini, hampir setengah
jumlah anak dengan diabetes merupakan pasien dengan DM tipe 2. Kebanyakan
pasien dengan DM tipe 2 memiliki riwayat keluarga dengan DM pula. Sebagian
besar pasien ini mengalami obesitas sentral. Dari suatu studi prospektif,
ditemukan bahwa DM tipe 2 terjadi karena adanya penurunan secara progresif
dari kapasitas sekresi insulin dengan adanya resistensi insulin perifer. Resistensi
insulin dapat dijelaskan sebagai adanya respon yang tidak adekuat dari proses
metabolik meskipun kadar insuliin sudah mencapai kadar fisiologis.
Berbagai macam fenotipe klinis yang berkaitan dengan terjadinya
resistensi insulin, seperti sindrom metabolik. Sindrom ini termasuk adanya
obesitas sentral, dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi, hiperkoagulabilitas,
disfungsi endotelial, dan aterosklerosis (Fauci, 2008).
2.4 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood),
vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh
WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini :
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
6
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat
dilihat pada bagan (bagan 2.1). Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil
dapat dilihat pada table (table 2.2). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
7
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosa DM
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram / kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
2.5 Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka
yang mempunyai risiko DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM.
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT,
maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
8
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko
untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok
yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan (bagan 2.1). Pemeriksaan
penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan
mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan
penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau
general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai
patokan penyaring dapat dilihat pada tabel (table 2.3).
Tabel 2.3 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan
hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun
tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3
tahun.
9
Bagan 2.1 Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa
2.6 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek yaitu
menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan penatalaksanaan jangka
panjang antara lain mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu memperhatikan 4 pilar
penatalaksanaan DM.
10
2.6.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif, tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku
sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya
edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi
pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah
mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami
penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan / komplikasi yang
mungkin timbul secara dini / saat masih reversible. Ketaatan perilaku pemantauan
dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku / kebiasaan
kesehatan yang diperlukan.
Dalam menjalankan tugasnya, tenaga kesehatan memerlukan landasan
empati, yaitu kemampuan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Prinsip
yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah :
Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan.
Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang
sederhana.
Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi.
Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien.
Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program
pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan
laboratorium.
Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.
Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
Libatkan keluarga / pendamping dalam proses edukasi.
Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien
dan keluarganya
Gunakan alat bantu audio visual
11
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Edukasi yang diberikan kepada pasien
meliputi pemahaman tentang:
A. Materi edukasi pada tingkat awal
Materi tentang perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan
Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat hipoglikemik
oral atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan)
Pentingnya perawatan kaki
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
B. Materi edukasi pada tingkat lanjut
Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
Makan di luar rumah
Rencana untuk kegiatan khusus
Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM
12
Edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku
memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi.
2.6.2 Terapi Gizi Medis
Pasien dengan DM tipe 2 seringkali memiliki gaya hidup (makan dan
aktivitas fisik) yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit tersebut. Sangatlah
penting bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mengenai
bagaimanakah cara yang dapat mereka lakukan untuk mengontrol gula darah,
tekanan darah dan juga kadar lemak darah yang mereka miliki, meskipun mereka
seringkali membutuhkan terapi farmakologis untuk membantu hal tersebut.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%,
protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
Sudah terdapat berbagai macam bukti didapatkan mengenai terapi nutrisi
dan aktivitas fisik dalam hubungannya dengan pencegahan dan manajemen dari
DM tipe 2. Berbagai panduan, dari The Canadian, UK NICE, Australian, ADA,
menunjukkan pentingnya terapi modifikasi gaya hidup ini untuk pasien dengan
DM tipe 2. Dalam suatu penelitian, terapi nutrisi yang tepat dapat membantu
pasien untuk menurunkan kadar gula darah mereka sesaat setelah diagnosis
ditetapkan, bahkan tidak jarang pasien dapat mengontrol gula darah mereka
selama bertahun-tahun hanya dengan terapi modifikasi nutrisi saja. (IDF,2014)
Manajemen terapi nutrisi adalah hal yang dasar bagi pencegahan juga
untuk terapi dari pasien dengan DM tipe 2. Tujuan adanya terapi nutrisi ini adalah
untuk membantu menyediakan pilihan makanan yang tepat bagi pasien untuk
menurunkan resiko dan mengontrol kadar gula darah mereka, juga meningkatkan
kualitas hidup pasien.
13
2.6.3 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 2.4). Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
Table 2.4 Kegiatan jasmani penderita DM
2.6.4 Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
2.6.4.1 Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): ulfonylurea dan glinid.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
14
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor.
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta ulfonyl, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan ulfonylurea kerja
panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.
15
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4),
atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
16
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta
menghambat penglepasan glukagon.
Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap
penurunan A1C dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan nama obat, berat bahan
aktif (mg) per tablet, dosis harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat
pada lampiran 2.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan.
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.
2.6.4.2 Suntikan
A. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat.
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
Ketoasidosis diabetic.
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke).
Kehamilan dengan DM / diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
17
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni :
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin).
3. Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin).
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3.
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek
samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin adalah :
sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum
tercapai.
18
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting)
atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan
insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal
+ 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat
dari lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada
keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain,
dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Lokasi
penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan
benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh
sterilitas penyimpana terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih
dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan
kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit
yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai konsentrasi
yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).
19
B. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
2.6.4.3 Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
20
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolik dapat
dilihat pada bagan 2.
Bagan 2.2 Alogaritma pengelolaan DM
21
2.7 Penilaian hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
kadar glukosa darah dan pemeriksaan A1C
Pemeriksaan gula darah bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran terapi
telah tercapai dan juga untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum
tercapai sasaran terapi.
Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain
secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan A1C Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga
sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka
pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali
dalam setahun.
22
23