Upload
ngoanh
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemampuan untuk berinovasi merupakan hal yang krusial bagi efektivitas
organisasi (Yuan & Woodman, 2010; Hartog, 2010; Janssen, 2003). Rubera dan
Kirca (2012) menyatakan bahwa inovasi memiliki konsekuensi positif terhadap
berbagai kinerja seperti posisi pasar, posisi finansial hingga nilai perusahaan di
pasar saham. Organisasi dengan tingkat inovasi yang lebih tinggi akan lebih mudah
dalam merespon perubahan lingkungan dan mengembangkan kemampuan baru
untuk meraih kinerja yang lebih baik (Montes et al., 2004; Tsai, 2001). Inovasi
dibutuhkan untuk meningkatkan performa organisasi supaya dapat tetap efektif dan
efisien dalam rangka bertahan dalam lingkungan yang semakin kompetitif (Mathew
et al., 2015). Dengan manfaat yang didapatkan darinya, inovasi menjadi hal yang
tidak dapat ditinggalkan oleh organisasi yang ingin mengembangkan dan
mempertahankan keunggulan bersaingnya dan/atau memperoleh akses masuk ke
pasar yang baru (Becheikh et al., 2006).
Organisasi perlu mengimplementasikan inovasi dalam bentuk layanan dan metode
penyampaian layanan yang baru dalam rangka merespon perubahan yang ada pada
lingkungan eksternal seperti deregulasi, kelangkaan sumber daya dan permintaan
konsumen (Walker, 2014). Implementasi metode penyampaian layanan baru dalam
suatu organisasi merupakan salah satu bentuk inovasi proses untuk meningkatkan
kinerja organisasi. Inovasi proses adalah pengenalan atas proses produksi, rantai
pasokan, dan administrasi yang baru atau ditingkatkan secara signifikan (Piening &
2
Salge, 2014). Peran inovasi proses dalam merekonfigurasi proses organisasional
melalui inovasi teknologi dan administratif menjadi sangat penting terutama dalam
lingkungan dinamis di mana keunggulan bersaing menjadi sangat mudah terhapus
karena adanya perubahan teknologi, perubahan keinginan konsumen, situasi pasar,
dan kerangka legal yang diterapkan.
Pencarian inovasi-inovasi baru dalam pengelolaan bisnis proses mempunyai
tantangan tersendiri dalam organisasi terutama organisasi besar dengan proses
bisnis yang saling terintegrasi antar fungsi-fungsi di dalamnya (Gulledge Jr. &
Sommer, 2002). Di sisi lain, kebutuhan akan proses bisnis yang lebih efektif dan
efisien juga semakin besar karena fondasi dari operasional bisnis dalam suatu
organisasi dilaksanakan melalui proses bisnis. Proses adalah serangkaian kegiatan
yang saling berhubungan dengan interaksi, yang mengubah obyek menjadi hasil, di
mana karyawan akan menambahkan nilai-nilai prosedural tertentu, menggunakan
sumber daya organisasi (Milan et al., 2014). Sedangkan Gulledge dan Sommer
(2002) proses bisnis didefinisikan sebagai suatu kumpulan tugas-tugas yang
berhubungan secara logis untuk mencapai luaran bisnis yang ditentukan. Proses
bisnis yang lebih efisien dan efektif dapat menghasilkan pengurangan siklus waktu
yang signifikan dan meningkatkan kontrol atas aktivitas-aktivitas di dalamnya.
Oleh karena itu, proses bisnis menjadi elemen yang penting untuk dikelola dalam
mencapai tujuan organisasi baik strategis maupun operasional.
Salah satu bentuk inovasi proses yang banyak dipercaya dapat menghasilkan
metode penyampaian layanan baru yang lebih baik adalah business process
3
reengineering (BPR). BPR merupakan hasil dari adanya tuntutan atas
meningkatnya kebutuhan konsumen atas efisiensi dan keefektifan organisasi (Al-
Mashari et al., 2001; Milan et al., 2014). BPR adalah strategi manajerial yang
berfokus pada analisis dan rancangan dari alur kerja dan proses bisnis dalam suatu
organisasi yang ditujukan untuk membantu organisasi-organisasi dalam secara
fundamental memikirkan ulang cara mereka untuk secara dramatis meningkatkan
layanan konsumen, memotong biaya operasional, dan meningkatkan daya saing
(Brock Jr et al., 1997).
Perlunya pengembangan BPR dalam proses di organisasi dimulai dengan adanya
pergeseran paradigma dari biaya dan kualitas menjadi fleksibilitas dan respon
terhadap keinginan konsumen (O'neill & Sohal, 1999). Dalam proses tersebut, BPR
berperan dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan melalui
manajemen proses yang ada dalam organisasi. Bahkan pada awal tahun 1990-an,
BPR dianggap sebagai penyelamat organisasi yang berkinerja kurang baik (Paper
& Chang, 2005). Tidak efektifnya implementasi BPR dapat menghambat inovasi
dan peningkatan berkelanjutan, faktor-faktor yang menyebabkan tidak efektifnya
BPR antara lain hilangnya keberanian, fokus, dan stamina; manajemen senior yang
sudah nyaman dengan menara gading mereka; kurangnya fokus holistik dan
nyaman dengan keuntungan yang didapatkan dari peningkatan minor; isu SDM dan
organisasional; budaya, sikap, dan basis keahlian organisasional; dan pembatasan
sumber daya dan ketakutan atas teknologi informasi (Al-Mashiri & Zairi, 2000).
4
Rekayasa proses bisnis berkaitan dengan memikirkan ulang secara fundamental dan
mendesain ulang proses bisnis untuk mendapatkan peningkatan yang dramatis dan
berkelanjutan dalam kualitas, biaya, layanan, lead-time, outcome, fleksibilitas, dan
inovasi (Al-Mashari et al., 2001). BPR dipromosikan sebagai salah satu alternatif
yang lebih baik dibandingkan konsep manajemen modern lain seperti total quality
management (TQM), karena dianggap lebih rendah biaya untuk diimplementasikan
dan menjamin manfaat yang lebih cepat (Al-Mashiri & Zairi, 2000). BPR saat ini
banyak dikembangkan untuk menyusun strategi dan proses melalui bisnis proses
yang ada untuk mencapai tujuan umum perusahaan seperti kepuasan konsumen,
pengembalian investasi, dan pangsa pasar (Gunasekaran & Bath, 1997).
Kebutuhan untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui inovasi merupakan hal
yang diperlukan oleh semua organisasi tidak terkecuali organisasi publik.
Organisasi publik cenderung tertinggal dalam mengadopsi inovasi-inovasi dalam
hal manajemen sehingga sering kali membuat mereka berada dalam kondisi yang
kurang menguntungkan (Mathew et al., 2015). Terkait dengan BPR, meskipun pada
perusahaan swasta sudah banyak diteliti namun penelitian terkait dengan
implementasi BPR di organisasi publik masih sangat terbatas pada negara-negara
maju yang sudah menerapkan organisasi publik transformasional seperti Inggris
dan Belanda (Weerakkody et al., 2011). Hal senada juga diungkapkan oleh
Gulledge dan Sommer (2002) yang menyatakan bahwa penelitian tentang BPR dan
manfaatnya lebih banyak dilakukan di sektor swasta sedangkan pada sektor publik
seperti pemerintahan masih belum cukup banyak dan pembahasannya cenderung
lebih umum. Implementasi BPR untuk memperbaiki bisnis proses di pemerintahan
5
meskipun masih jarang dilakukan, merupakan pilihan yang layak untuk
meningkatkan praktik penyelenggaraan birokrasi di pemerintahan (Fragoso, 2015;
Mathew et al., 2015). Pada sektor publik masih dibutuhkan tambahan literatur yang
dapat menjelaskan BPR dengan tahapan-tahapannya serta manfaat yang dapat
memotivasi pengelola organisasi di sektor publik untuk mengimplementasikan
BPR di dalam organisasi yang dikelolanya.
Meskipun BPR kembali menjadi topik yang menarik, perlu diketahui bahwa
popularitas BPR dalam manajemen proses bisnis sempat turun karena muncul
keraguan dari para eksekutif dan peneliti yang melaporkan hasil yang kurang sukses
dari inisiatif tersebut pada pertengahan tahun 1990-an (Altinkemer et al., 2011).
Kondisi tersebut terjadi karena memosisikan BPR sebagai variabel utama dari
peningkatan kinerja bukan sebagai sebuah variabel mediator yang membutuhkan
kondisi tertentu untuk menghasilkan peningkatan kinerja dari implementasi BPR
(Albadvi et al., 2007). Dalam penelitiannya tersebut, Albadvi et. al. (2007)
menyatakan bahwa BPR membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menghasilkan
dampak yang optimal seperti kesiapan teknologi informasi dan SDM di dalam
organisasi tersebut. Penelitian terhadap faktor kesuksesan implementasi BPR juga
menunjukkan bahwa dalam penerapannya, lingkungan organisasi harus mendukung
adanya perubahan (Paper & Chang, 2005). Di dalam penelitian tersebut juga
disebutkan bahwa teknologi mempunyai peran yang mendukung kesuksesan
implementasi BPR.
6
Dalam melakukan perubahan di tingkat organisasi seperti BPR, pengelola
organisasi perlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan. Boohene dan Williams (2012) menyatakan beberapa alasan dibalik
kegagalan dari suatu perubahan bervariasi mulai dari rendahnya pemahaman atas
kapasitas perubahan organisasi hingga ke faktor SDM seperti resistensi terhadap
perubahan. Hal ini senada dengan pernyataan Paper dan Chang (2005) yang
menyatakan bahwa dalam mengimplementasikan perubahan dari BPR perlu
didukung oleh lingkungan yang mendukung perubahan, termasuk SDM di
dalamnya. Resistensi terhadap perubahan merupakan perwujudan dari tidak adanya
dukungan terhadap perubahan di dalam suatu organisasi. Resistensi sendiri
didefinisikan sebagai suatu fenomena yang mempengaruhi proses perubahan,
menunda atau memperlambat permulaannya, menghalangi atau menghambat
penerapannya, dan meningkatkan biayanya (Pardo-del-Val & Martinez-Fuentes,
2003). Studi terkait resistensi terhadap perubahan perlu dilakukan di suatu
organisasi sebelum mengimplementasikan perubahan untuk menekan kemungkinan
gagalnya implementasi tersebut (Bateh et al., 2013). Dengan dilakukannya
pengukuran resistensi perubahan pengelola organisasi dapat menentukan kebijakan
yang tepat dalam memilih pegawai yang tepat untuk menduduki suatu jabatan
maupun untuk melakukan pelatihan yang tepat dengan karakteristik pegawai
tersebut (Oreg, 2003). Dengan mengetahui tingkat resistensi terhadap perubahan di
organisasi, pengelola organisasi dapat menginvestigasi faktor mana saja yang perlu
disesuaikan untuk meningkatkan kemauan dari SDM di dalam organisasi supaya
mau menerima perubahan (Bovey & Hede, 2001).
7
Mengelola resistensi perubahan dengan sukses merupakan tantangan utama yang
paling penting bagi pengelola organisasi dalam mengimpelemtasikan perubahan
(Bovey & Hede, 2001). Implementasi perubahan yang sukses merupakan
kombinasi antara sesuatu yang disebut dengan “hard areas” dan “soft areas”
(Petrescu, 2010). Hard areas sering diidentikkan dengan perencanaan atau inisiasi
dari perubahan sedangkan soft areas merupakan sisi personal atau individu yang
meliputi keputusan dan tindakan yang dirancang dalam membantu anggota
organisasi dalam menerapkan metode, teknologi, dan cara kerja yang baru. Adanya
resistensi terhadap perubahan dalam organisasi bukanlah jalan buntu dalam
menerapkan perubahan melainkan suatu informasi yang perlu digali dan
diperlakukan dengan perlakuan tertentu untuk dapat melancarkan proses
implementasi perubahan ke dalam organisasi tersebut (Robbins, 2006).
Apabila dikaitkan dengan konteks yang ada, perizinan merupakan salah satu
layanan pemerintah yang berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga
kinerjanya langsung dirasakan oleh masyarakat. Sayangnya, kinerja perizinan di
Indonesia dipandang belum cukup baik oleh berbagai pihak. Kendala yang
dianggap paling serius dalam permasalahan perizinan di Indonesia di antaranya
adalah permasalahan koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah terutama
sejak pelaksanaan otonomi daerah dan birokrasi yang dicerminkan melalui prosedur
administrasi perizinan yang berbelit-belit dan langkah-langkah prosedurnya yang
tidak jelas (Tambunan, 2007). Perizinan daerah memiliki tiga masalah utama yang
dapat meningkatkan biaya transaksi dan inefisiensi, yaitu terjadi perbedaan antara
regulasi pusat dan regulasi implementasi di daerah menyangkut waktu proses dan
8
persyaratan, banyak peraturan tambahan yang diterapkan daerah bertujuan untuk
meningkatkan PAD dan bukan efisiensi perizinan, dan ketiga perizinan yang berada
pada level kabupaten cenderung memiliki koordinasi dan kapasitas yang terbatas
(Steer, 2006). Praktik perizinan sebagai sumber pendapatan daerah senada dengan
hasil survei yang dilakukan oleh The Asia Foundation pada tahun 2006 pada 17
kabupaten di Indonesia yang menyatakan bahwa PAD hanya menyumbang 8,4%
dari APBD dan 7,9% di antaranya dihasilkan dari perizinan. Terdapat tiga
kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diikut sertakan dalam survei
tersebut, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Pemerintah melalui Presiden RI pada tanggal 29 September 2015 mengeluarkan
Paket Kebijakan Ekonomi II yang berisi perintah untuk penyederhanaan proses
berinvestasi di Indonesia. Paket kebijakan tersebut memang lebih ditujukan bagi
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat, namun membuka wacana
implementasi atas kebijakan tersebut di seluruh pemerintah daerah di Indonesia.
Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi XII yang
diterbitkan pada 28 April 2016 tentang peningkatan kemudahan melakukan bisnis
di seluruh Indonesia (increase ease of doing business). Peringkat kemudahan
berbisnis di Indonesia menurut data dari World Bank 2016 menunjukkan bahwa
sejak 2014 peringkat Indonesia semakin membaik (lihat gambar 1). Setelah sempat
turun peringkat di tahun 2013 menjadi peringkat 120 (sebelumnya di tahun 2012
Indonesia menduduki peringkat 116), berangsur-angsur berhasil naik peringkat ke
109 di tahun 2016. Peningkatan ini patut disyukuri, namun pemerintah pusat
menargetkan bahwa Indonesia harus dapat meraih peringkat 40 pada tahun 2017.
9
Target tersebut baik sebagai motivasi seluruh aparat di instansi yang terkait untuk
meningkatkan kualitas pelayanan perijinan, namun bisa juga sekedar menjadi
“mimpi” yang tak kunjung terwujud jika tidak ada strategi yang jelas untuk
meraihnya.
Gambar 1.1 Peringkat Kemudahan Berbisnis Indonesia dari Tahun ke Tahun (Sumber: World Bank, 2016)
Berbagai indikator yang menjadi dasar penilaian World Bank dalam merangking
kemudahan berbisnis adalah sebagai berikut:
1. Kemudahan Memulai Usaha;
2. Kemudahan Memperoleh Sambungan Listrik;
3. Pembayaran Pajak;
4. Pemenuhan Kontrak;
5. Penyelesaian Kepailitan;
6. Pencatatan Tanah & bangunan;
129
122
126129
116
120 120
114
109
95
100
105
110
115
120
125
130
135
Peringkat
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
10
7. Permasalahan Izin Pembangunan;
8. Kemudahan Memperoleh Kredit;
9. Perlindungan Investor;
10. Perdagangan Lintas Negara.
Melihat berbagai indikator di atas, tampak jelas bahwa untuk memperbaiki
peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis, tidak bisa jika hanya dilakukan
oleh satu instansi tertentu atau daerah tertentu atau hanya oleh pemerintah pusat
saja. Diperlukan strategi yang komprehensif dan terintegrasi yang melibatkan
berbagai pihak atau lembaga baik di pemerintah pusat maupun daerah.
Meskipun aturan mengenai perizinan diturunkan dari peraturan yang lebih tinggi di
pusat, implementasi peraturan tersebut pada level daerah merupakan hal yang
krusial (Martin, 2002). Implementasi peraturan perizinan di daerah, di tengah
semangat desentralisasi membuat cukup banyak variasi implementasi yang
dilakukan oleh daerah-daerah berbeda. Di sisi lain, implementasi peraturan di
daerah langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai konsumen dari layanan
publik sehingga untuk dapat meningkatkan kepuasan konsumen, pembenahan
implementasi peraturan perizinan di daerah perlu diperhatikan.
Berkaca dari reformasi birokrasi yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan,
sistem perizinan di Indonesia masih menganut birokrasi tradisional dan belum
senafas dengan paradigma NPM maupun reinventing the government.
Pembenahan-pembenahan selain melalui kebijakan di level pusat, juga dapat
dimulai dengan melakukan perbaikan proses bisnis untuk menciptakan sistem
birokrasi yang efektif dan efisien salah satunya menggunakan BPR (Fragoso,
11
2015). Sebagai salah satu proses baru yang dianut dalam organisasi, penerapan BPR
pada sistem perizinan di pemerintah daerah dapat dikategorikan sebagai inovasi
proses. Penelitian ini mengeksplorasi peran BPR dalam meningkatkan kinerja
sistem perizinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara lebih spesifik,
mengeksplorasi metode Value Added Analysis dalam menerapkan BPR di proses
perizinan pemerintah daerah dan mengukur resistensi terhadap perubahan yang
mungkin timbul dari penerapan perubahan proses bisnis tersebut serta menyusun
strategi manajemen perubahan untuk mengantisipasi resistensi terhadap perubahan,
dengan objek penelitian yang disasar adalah kinerja proses pelayanan perizinan di
Pemerintah Daerah DIY.
1.2. Perumusan Masalah
Penelitian ini berupaya untuk mengisi celah-celah penelitian (research gaps) dari
penelitian sebelumnya baik dari segi teoritis maupun praktis. Celah-celah yang akan
diisi oleh penelitian ini antara lain.
a. Pertama, penelitian ini mencoba mengisi celah yang belum tertutupi dari
penelitian sebelumnya mengenai implementasi BPR pada organisasi publik
seperti pemerintahan daerah. Penelitian terkait dengan implementasi BPR
di organisasi publik masih sangat terbatas pada negara-negara maju yang
sudah menerapkan organisasi publik transformasional seperti Inggris dan
Belanda (Weerakkody et al., 2011). Selain itu, penelitian terkait BPR di
organisasi publik cenderung kurang detail tidak seperti yang ada pada
penelitian terkait BPR di organisasi swasta sehingga kurang dapat dijadikan
12
sebagai panduan pelaksanaan BPR di organisasi publik (Gulledge Jr. &
Sommer, 2002). Dengan menggunakan alat analisis berupa Value Added
Analysis (VAA), penelitian ini mengembangkan kerangka kerja BPR dalam
organisasi publik pemerintah daerah yang berkaitan dengan pelayanan
perizinan.
b. Kedua, penelitian ini mencoba untuk memformulasikan strategi manajemen
perubahan yang diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan di
organisasi pemerintah daerah dengan memperhatikan resistensi terhadap
perubahan yang ada. Perubahan organisasi secara alami akan
mengakibatkan timbulnya reaksi dari individu di dalam organisasi yang
salah satunya adalah resistensi terhadap perubahan tersebut karena faktor
ketidakpastian yang melekat pada suatu perubahan (Bovey & Hede, 2001).
Penelitian ini mengukur resistensi terhadap perubahan dari anggota
organisasi untuk dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan strategi
manajemen perubahan untuk mempermudah implementasi perubahan
organisasional tersebut. Penelitian-penelitian terdahulu yang membahas
tentang BPR menunjukkan bahwa tidak sedikit implementasi BPR yang
gagal karena tidak adanya kesiapan dari organisasi dan anggotanya dalam
mengadopsi perubahan yang dihasilkan (Gulledge Jr. & Sommer, 2002).
Penelitian ini melakukan pengukuran resistensi terhadap perubahan dan
merekomendasikan strategi manajemen perubahan dalam mengatasi
resistensi terhadap perubahan. Selain itu, penelitian ini juga mencoba
13
mengisi celah praktis dalam memberikan jaminan kesuksesan implementasi
BPR terutama di organisasi pemerintah daerah.
Berdasarkan celah-celah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian
ini merumuskan perubahan proses bisnis dengan menggunakan kerangka Business
Process Reengineering dengan menggunakan alat analisis Value-added Analysis
untuk mengelompokkan aktivitas-aktivitas yang penting dan perlu ditinggalkan
dalam proses bisnis pelayanan perizinan di Pemda DIY. Untuk menjamin
keberhasilan implementasi perubahan proses bisnis tersebut, dilakukan pengukuran
resistensi perubahan dari anggota organisasi yang pekerjaannya berkaitan dengan
pelayanan perizinan untuk kemudian dirumuskan strategi manajemen perubahan
yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi organisasi.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang diutarakan pada bagian sebelumnya,
dapat dihasilkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kemungkinan peningkatan proses bisnis pelayanan perizinan di
organisasi pemerintah daerah dengan menggunakan metode business
process reengineering?
2. Berapa besar tingkat resistensi pegawai di dalam proses perizinan terhadap
perubahan proses bisnis?
3. Apa yang perlu dilakukan dalam mengelola perubahan proses bisnis pada
tingkat resistensi terhadap perubahan yang ada di organisasi pemerintah
daerah?
14
4. Apa perbedaan utama yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan
business process reengineering di organisasi pemerintah daerah dengan
organisasi bisnis?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengeksplorasi kemungkinan peningkatan proses bisnis perizinan di
organisasi pemerintah daerah dengan menggunakan metode business
process reengineering.
2. Mengukur resistensi pegawai di dalam proses perizinan terhadap perubahan
proses bisnis.
3. Merumuskan strategi manajemen perubahan dalam mengelola perubahan
proses bisnis pada tingkat resistensi terhadap perubahan yang ada di
organisasi pemerintah daerah.
4. Mengidentifikasi perbedaan karakteristik yang ada pada organisasi publik
dalam mengimplementasikan business process reengineering dibandingkan
dengan organisasi bisnis.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara praktis maupun
teoritis. Manfaat yang diharapkan antara lain:
1. Manfaat Teoritis.
15
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kerangka kerja teoritis dalam
mengimplementasikan teknik Business Process Reengineering pada
institusi Pemerintah Daerah pada umumnya dan pada layanan perizinan di
tingkat pemerintah daerah pada khususnya. Selain itu, penelitian ini
diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam mengidentifikasi
kendala-kendala dalam mengimplementasikan BPR di pemerintah daerah
dan memberikan solusi untuk mengatasi kendala tersebut.
2. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan sebuah proses bisnis yang
efektif dan efisien dalam layanan perizinan di pemerintah daerah khususnya
di DIY. Proses bisnis yang efektif dan efisien tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kinerja lembaga dan meningkatkan kepuasan konsumen
dalam hal ini masyarakat yang mengakses layanan perizinan di DIY.