BAB 1 REV 8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BAB 1 REV 8 DOC

Citation preview

5

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPenyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup (Kementrian Kesehatan RI, 2012).Manusia modern tidak mempunyai banyak waktu dan istirahat yang cukup. Pola makan dan istirahatpun jadi tidak teratur. Salah satu penyakit tidak menular yang sangat dipengaruhi oleh pola makan adalah hiperurisemia. Seseorang bisa terserang hiperurisemia karena pola makan yang salah atau pola makan yang umumnya berlebihan terutama pada jenis makanan yang mengandung banyak protein, alkohol dan kopi, karena makanan tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat (Sutanto, 2013).Hiperurisemia atau asam urat adalah asam yang terbentuk akibat metabolisme purin di dalam tubuh. Purin terebut berasal dari makanan yang mengandung protein (Kertia, 2009). Seseorang dikatakan mengalami hiperurisemia apabila kadar asam urat di dalam darah melebihi nilai normal, yaitu di atas 7 mg/dl pada pria, dan di atas 6 mg/dl pada wanita (Karyadi, 2006).Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, bahwa prevalensi Nasional penyakit sendi di Indonesia sebesar 30,3%. Sebanyak 11 provinsi di Indonesia mempunyai prevalensi sendi di atas persentase Nasional, dan provinsi Jawa Tengah termasuk di dalamnya, yaitu sebesar 12% berdasarkan Diagnosis oleh Tenaga Kesehatan. Sedangkan penderita penyakit asam urat berdasarkan Data Kesakitan Tingkat Puskesmas se Kota Semarang selama 3 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2010-2012 adalah 1289 orang, 350 orang dan 900 orang, pada rentang umur 45-54 tahun.Peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor usia, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga, obesitas, asupan makanan, asupan alkohol, konsumsi obat, gangguan ginjal dan hipertensi (Setyoningsih, 2009).Berdasarkan data Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, terjadi peningkatan jumlah penderita gout dari tahun ke tahun dan peningkatan tersebut cenderung diderita pada usia yang semakin muda, yaitu golongan usia 30-50 tahun yang masih tergolong dalam kelompok usia produktif (Uripi et al, 2002). Penyakit asam urat lebih cenderung menyerang laki-laki daripada wanita, karena kadar asam urat darah pada laki-laki secara alami lebih tinggi daripada wanita, sehingga menyebabkan penyakit asam urat lebih sering menyerang laki-laki. Selain itu, laki-laki tidak terdapat hormon estrogen di dalam tubuh, sedangkan pada wanita terdapat hormon estrogen yang berfungsi membantu dalam pembuangan asam urat melalui urine. Sehingga, wanita lebih bisa mengontrol kadar asam urat daripada laki-laki (Sutanto, 2013). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi arthritis pirai (asam urat) adalah makanan yang dikonsumsi, umumnya makanan yang tidak seimbang (asupan protein yang mengandung purin terlalu tinggi) (Utami, 2009). Di dalam tubuh, perputaran purin terjadi secara terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian RNA dan DNA, sehingga walaupun tidak ada asupan purin, tetap terbentuk asam urat dalam jumlah yang substansial (Sacher, 2004). Obesitas ditandai dengan indeks massa tubuh (IMT) seseorang yang melebihi normal yaitu > 25,0. Hal ini merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya hiperurisemia. Dari beberapa penelitian diantaranya menunjukkan bahwa orang yang mengalami obesitas mempunyai kecenderungan lebih tinggi terkena penyakit asam urat. Karena orang yang kelebihan berat badan, pada umumnya mengkonsumsi protein yang berlebihan, dimana protein mengandung purin yang banyak, yang dapat meningkatkan kadar asam urat (Sutanto, 2013).Faktor pemicu terjadinya asam urat selanjutnya adalah genetik. Orangorang dengan riwayat genetik atau keturunan yang mempunyai hiperurisemia mempunyai risiko 1-2 kali lipat di banding pada penderita yang tidak memiliki riwayat genetik/ keturunan (Purwaningsih, 2009).Hasil survei pendahuluan pada 10 karyawan laki-laki Dinas Kesehatan Kota Semarang didapatkan 20% mempunyai kadar asam urat tinggi dan 30% mempunyai risiko penyakit asam urat. Kemungkinan tingginya kadar asam urat berhubungan dengan faktor penyebab diantaranya adalah faktor genetik, kebiasaan makan yang salah yaitu suka ngemil (makanan yang digoreng seperti tempe goreng, pisang goreng, dll) dan sering mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak protein atau makanan tinggi purin (seperti ayam, daging, tahu, tempe, dll), kurang melakukan aktivitas fisik atau olahraga dan faktor pemicu tingginya kadar asam urat lainnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan makan, IMT dan faktor genetik dengan kadar asam urat pada karyawan laki-laki Dinas Kesehatan Kota Semarang.B. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut Apakah ada hubungan antara kebiasaan makan, IMT dan faktor genetik dengan kadar asam urat pada Karyawan Laki-laki Dinas Kesehatan Kota Semarang?C. Tujuan Penelitian1. Tujuan UmumUntuk mengetahui hubungan antara kebiasaan makan, IMT dan faktor genetik dengan kadar asam urat pada Karyawan Laki-laki Dinas Kesehatan Kota Semarang.2. Tujuan Khususa. Mendeskripsikan kadar asam urat.b. Mendeskripsikan kebiasaan makan.c. Mendeskripsikan IMT.d. Mendeskripsikan faktor genetik.e. Menganalisis hubungan antara kebiasaan makan dengan kadar asam urat.f. Menganalisis hubungan antara IMT dengan kadar asam urat.g. Menganalisis hubungan antara faktor genetik dengan kadar asam urat.D. Manfaat Penelitian1. Bagi Masyarakat :Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai hubungan antara kebiasaan makan, IMT dan faktor genetik dengan kadar asam urat bagi masyarakat terutama pada karyawan laki-laki di Dinkes Kota Semarang.2. Bagi Pemerintah Dinkes Kota Semarang :Mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk perencanaan program intervensi gizi yang tepat bagi karyawan laki-laki setempat.

1