Upload
haphuc
View
221
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
3
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ utama sistem urinari dan bersama organ sistem urinari lain yaitu
ureter, kandung kemih, dan uretra membentuk, menyimpan dan membuang urin. Urin
merupakan cairan encer sampah produk metabolisme yang terdiri dari air, ion, dan
senyawa kecil terlarut. Sedangkan produk akhir gas dieliminasi oleh paru-paru. Fungsi
sistem urinari dibagi menjadi dua fungsi besar yaitu ekskresi (memindahkan/membuang
sisa hasil metabolisme dari cairan tubuh) dan eliminasi (membuang sisa hasil metabolisme
tersebut ke lingkungan). Fungsi ekskresi ini yaitu membuang air, hasil metabolisme
terutama senyawa nitrogen (asam urat, kreatinin dan urea), garam-garam anorganik, dan
senyawa yang telah didetoksifikasi. Selain itu, fungsi ginjal yaitu mengatur cairan ekstrasel
dan tekanan darah arteri, mensintesis hormon eritropoietin, mengabsorpsi nutrisi yang
masih diperlukan tubuh dari urin, mengatur kebutuhan air dan elektrolit serta
keseimbangan asam basa, dan menhidroksilasi 25-hidroksi-kolekalsiferol menjadi 1,25-
dihidroksi-kolekalsiferol (metabolisme kalsium dan fosfat).
Ginjal berjumlah dua, berwarna merah gelap (cokelat kemerahan) dan berbentuk seperti
kacang merah. Panjang ginjal sekitar 10 cm, lebar sekitar 5.5 cm, dan ketebalan 3 cm.
Panjang total seluruh tubulus dari kedua ginjal sekitar 80 km. Setiap ginjal memiliki berat
sekitar 150 gram.
Ginjal berada pada masing-masing sisi torak ke-12 dan vetebral lumbar ke-3, disebut
retroperitonial karena berada di belakang parietal peritonium atau diantara peritonium dan
dinding abdominal. Ginjal kiri lebih superior daripada ginjal kanan karena ginjal kanan
tertekan oleh hati. Bagian permukaan superior ginjal ditutupi oleh kelenjal adrenal. Posisi
ginjal di rongga perut dijaga oleh lapisan peritonium, organ lain yang berdekatan, dan
jaringan penghubung. Jaringan penghubung terdiri dari tiga lapisan yang melindungi dan
menstabilisasi masing-masing ginjal yaitu kapsula renal, kapsula adiposa, dan fascia renal.
4
Gambar 1.1 Lokasi Ginjal (The World’s Anatomic Charts, 2008)
1.1.1 Anatomi Makroskopik Ginjal
Serabut kolagen kapsula renal melindungi seluruh permukaan ginjal dan memanjang keluar
dari kapsula renal melalui kapsula adiposa sampai lapisan fascia renal. Lapisan tebal
jaringan adiposa pada kapsula adiposa melindungi kapsula renal. Fascia renal merupakan
lapisan terluar yang terdiri dari lapisan fibrosa. Pada bagian posterior, fascia renal menjaga
ginjal agar tetap bersatu dengan lingkungannya. Fascia renal bersatu dengan fascia dalam
yang menutupi otot dinding tubuh. Pada bagian anterior, fascia renal membentuk lapisan
tebal yang bersatu dengan peritonium.
Secara makroskopik, ginjal terdiri dari zona terluar yaitu korteks, zona terdalam yaitu
medula, dan pelvis yang berada di dalam hilus. Hilus merupakan tempat masuk arteri renal
dan saraf renal serta tempat keluarnya vena renal dan ureter.
Korteks ginjal berhubungan dengan kapsula renal dan bewarna kemerahan lebih terang
daripada medula serta bergranul. Medula ginjal terdiri dari 6-18 struktur triangular yang
disebut piramida renal. Bagian dasar setiap piramida menghadap korteks dan bagian ujung
setiap piramida yang disebut papilla renal menghadap sinus renal. Sinus renal berpenetrasi
sebagian ke dalam ginjal dan membawa sebagian saluran ginjal, pembuluh darah, dan
jaringan penghubung. Piramida renal yang berdekatan dipisahkan oleh jaringan kortikal
yang disebut kolom renal yang memanjang sampai ke medula. Kolom tersebut memiliki
tekstur bergranul seperti korteks. Piramida renal, lapisan korteks renal yang menutupi atau
berdekatan dengan bagian piramida, dan kolom renal yang berdekatan membentuk lobus
renal. Produksi urin terjadi pada lobus renal tersebut.
5
Saluran-saluran pada setiap papila renal mengeluarkan urin melalui suatu saluran yang
disebut minor kaliks. Empat atau lima minor kaliks bergabung membentuk mayor kaliks
dan dua atau tiga mayor kaliks bergabung membentuk pelvis renal. Pelvis merupakan
ruang berbentuk corong untuk menampung urin dan kemudian menyalurkannya melalui
ureter.
Gambar 1.2 Anatomi Makroskopik Ginjal (The World’s Anatomic Charts, 2008)
1.1.2 Anatomi Mikroskopik Ginjal
Korteks dan medula bersama-sama membentuk parenkim atau bagian selular dari ginjal.
Parenkim terdiri dari 1-1,5 juta (rata-rata 1,25 juta) nefron yang merupakan unit fungsional
ginjal. Jutaan nefron tersebut belum tentu aktif pada satu waktu. Pada nefron tersebut
produksi urin terjadi secara mikroskopik. Panjang nefron sekitar 145 km.
Gambar 1.3 Parenkim Ginjal (The World’s Anatomic Charts, 2008)
Nefron berdasarkan lokasinya dibagi menjadi dua tipe. Pertama yaitu nefron kortikal yang
membentuk seluruh korteks dan memiliki jerat Henle yang pendek. Arteriol eferennya
mengalirkan darah ke jaringan dan mengelilingi tubulus renal secara keseluruhan yang
6
disebut kapilari peritubular. Kedua yaitu juxtamedulari yang memiliki jerat Henle panjang
meluas ke dalam medula ginjal. Kapilari tubularnya dihubungkan dengan vasa rekta berupa
kapilari yang panjang, lurus, dan paralel dengan jerat Henle. Nefron kortikal bertanggung
jawab lebih besar daripada nefron juxtamedulari untuk menjalankan fungsi reabsorpsi dan
sekresi dari ginjal karena jumlahnya lebih banyak (85 %). Nefron memiliki beberapa
bagian, terdiri dari korpuskel renal dan tubulus renal.
Ujung nefron berbentuk seperti mangkok berdiameter 150-250 µm disebut kapsula
glomerular (Kapsula Bowman’s) yang dihubungkan dengan bagian awal tubulus renal. Di
dalam mangkok tersebut terdapat sekelompok kapiler yang disebut glomerulus. Dinding
terdalam kapsula ini berhubungan dengan dinding kapilari yang disebut lapisan viseral
(epitelium viseral) pada kapsula dan disusun oleh sel unik podosit. Sel tersebut besar dan
membungkus lamina densa yang merupakan membran dasar kapilari glomerular. Podosit
berproses seperti jari/kaki untuk membentuk celah filtrasi mengelilingi kapilari. Kaki
podosit disebut pedisel dan celah filtrasi merupakan celah sempit antara pedisel yang
berdekatan. Materi dalam darah yang terdapat dalam glomerulus harus cukup kecil untuk
dapat melintasi celah tersebut (6-9 nm). Ruang Bowman’s (ruang kapsular) berada di
antara epitelium viseral dan lapisan terluar atau lapisan parietal kapsula. Kedua lapisan
tersebut juga berhubungan dengan arteriol eferen dan arteriol aferen. Kapsula glomerular
disusun oleh epitel sederhana. Kapilari glomerular merupakan kapilari fenestra dengan
endotelium yang memiliki pori-pori dengan diameter yang besar (60-100 nm). Endotelium
fenestra, lamina densa, dan celah filtrasi membentuk membran filtrasi. Kapsula dan
jaringan kapilari yang dikandungnya inilah yang disebut korpuskel renal (malpigi).
Gambar 1.4 Korpuskel Renal (The World’s Anatomic Charts, 2008)
7
Selanjutnya terdapat tubulus proksimal (dekat dengan kapsula glomerular) yang bentuknya
berbelit dan terdapat dalam korteks. Panjangnya sekitar 14 mm dan diameternya 60 µm.
Tubulus ini dilapisi oleh lapisan epitel kubus sederhana dengan mikrovili di bagian
permukaannya dan cukup besar untuk dilihat di bawah mikroskop. Di ujung tubulus
proksimal ini terdapat saluran berbentuk U yang disebut jerat Henle yang memanjang
sehingga sebagian atau seluruhnya berada dalam medula. Jerat Henle ini dibagi menjadi
lengkung desenden yang membawa cairan secara sentripetal dan lengkung asenden yang
membawa cairan secara sentrifugal. Lengkung desenden berdiameter 15 µm dan lengkung
asenden berdiameter 35 µm. Setiap lengkung mengandung segmen tebal dan tipis yang
tergantung dari tebal lapisan epitelium. Segmen tebal terdiri dari epitel berbentuk kubus
sedangkan segmen tipis dilapisi oleh epitel tipis selapis. Lengkung desenden tebal
memiliki fungsi yang sama dengan tubulus proksimal dalam memompa ion natrium dan
klorida keluar cairan tubular. Perpindahan air melalui segmen tipis membantu
mengkonsentrasikan cairan tubular.
Kemudian diteruskan dengan tubulus distal (jauh dari kapsula glomerular) yang memasuki
saluran pengumpul. Jerat Henle memisahkan tubulus proksimal dan tubulus distal. Panjang
tubulus distal sekitar 5 mm. Bagian awal tubulus distal melewati bagian dekat korpuskel
renal di antara arteriol eferen dan aferen. Tubulus ini memiliki diameter lebih kecil
daripada tubulus proksimal yaitu sekitar 20-50 µm dan epitelnya tidak memiliki mikrovili
serta membentuk epitel kubus sederhana. Sel epitel dekat korpuskel renal lebih panjang
daripada sel epitel di bagian lain pada tubulus distal dan memiliki inti sel yang terkumpul,
disebut makula densa. Sel makula densa bergabung dengan serabut otot polos pada arteriol
aferen. Serabut ini disebut sel jukstaglomerular. Makula densa dan sel jukstaglomerular
membentuk jukstaglomerular aparatus yang merupakan struktur yang mensekresikan
hormon eritropoietin dan enzim renin.
Tubulus-tubulus yang berbelit-belit di atas inilah yang disebut tubulus renal. Filtrat dari
korpuskel renal memasuki tubulus renal tersebut menjadi cairan tubular.
Tubulus distal memasuki sistem pengumpul yang terdiri dari saluran pengumpul yang
dimulai di korteks dan menurun sampai bagian medula membawa cairan tubulus ke saluran
papilari. Kemudian cairan dialirkan hingga ke minor kaliks. Tubulus pengumpul memiliki
8
panjang 20-22 mm dan diameter sekitar 50 µm. Papilari pengumpul berdiameter 100-200
µm dan disusun oleh epitel kolom sederhana.
Setiap nefron memiliki suplai darah tersendiri sekitar 25 % dari cardiac output dan
jaringan kapilari peritubular yang melindungi tubulus dan loop nefron. Suplai darah terdiri
dari arteri renal yang bercabang ke setiap ginjal dari aorta. Dalam sinus renal, arteri
bercabang membentuk arteri-arteri interlobar yang berpenetrasi ke parenkim ginjal dan
untuk mencapai dasar piramid, pembuluh interlobar bercabang membentuk arteri arkuat
yang mengkerucut mengelilingi dasar piramid. Dari arteri arkuat, secara radial arteri
interlobular meningkat dan beberapa arteriol aferennya membentuk jaringan kapilari
glomerulus. Arteriol eferen keluar dari masing-masing glomerulus dan membentuk
jaringan perikapilari mengelilingi tubulus nefron atau menjerat vasa recti yang mengikuti
jerat Henle yang panjang. Untuk membawa darah keluar dari ginjal, dimulai dengan vena
interlobular, diterima vena arkuat. Vena interlobar bersama pembuluh arkuat membentuk
vena renal dari masing-masing ginjal.
Gambar 1.5 Nefron Ginjal (The World’s Anatomic Charts, 2008)
1.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal memfiltrasi darah sekitar 1,2 L setiap menit lalu filtrat masuk ke dalam tubulus dan
mengalami proses lebih lanjut. Untuk memproduksi urin yang bertujuan menjaga
homeostasi tubuh, ginjal melaksanakan tiga proses yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi.
Filtrasi terjadi di korpuskel renal berfungsi untuk menyaring darah. Cairan dari darah yang
terdiri dari air, nutrien, dan buangan menembus dinding glomerulus yaitu melalui
membran filtrasi pada tekanan 60-75 mm Hg dan masuk ke ruang kapsular. Kapilari
9
endotelium yang merupakan bagian dari membran filtrasi cukup kecil untuk mencegah sel
darah merah melintas tetapi terlalu besar untuk membatasi difusi zat terlarut, bahkan
protein plasma. Diameter pori kapilari glomerulus sebesar 60-100 nm.
Materi dari pembuluh darah dapat melewati ruang kapsular berdasarkan berat molekulnya,
yaitu ≤ 10.000 dan juga berdasarkan muatan elektrik, yaitu molekul bermuatan negatif
lebih sulit difiltrasi daripada molekul bermuatan positif. Molekul dengan berat molekul di
atas 10.000 memiliki daya saring terbatas. Lamina densa bersifat lebih selektif karena
hanya melewatkan protein plasma yang kecil, nutrien, dan ion. Celah filtrasi merupakan
filter terakhir yang dapat menahan protein plasma kecil sekalipun. Protein plasma terkecil
yaitu albumin yang berbobot sekitar 70.000 tidak dapat melewati filter tersebut.
Selain dipengaruhi ukuran dan muatan molekul, filtrasi juga dipengaruhi oleh tekanan
filtrasi efektif (tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik) dan banyaknya glomerulus
yang masih berfungsi. Proses filtrasi menghasilkan cairan yang disebut filtrat dan
jumlahnya setiap menit diketahui melalui kecepatan filtrasi glomerulus (GFR). GFR
normal pada orang dewasa adalah 125 ml/menit dan pada wanita 110 ml/menit.
Pengurangan laju terjadi pada orang dengan usia 70 tahun yaitu hanya sekitar 65 ml/menit.
GFR diatur melalui 3 mekanisme yaitu autoregulasi, regulasi hormonal, dan regulasi
otonom. Autoregulasi terjadi pada level lokal dan mengatur GFR dengan cara mengubah
diameter arteriol aferen, arteriol eferen, dan kapilari glomerular. Regulasi hormonal
diinisiasi oleh ginjal dan melibatkan hormon renin-angiotensin dan atrial natriuretic
peptide (ANP). Terakhir, regulasi otonom melibatkan sistem saraf simpatik. Konsentrasi
osmotik filtrat sama dengan plasma yaitu sekitar 300 mOsm/l yang merupakan komposisi
plasma darah tanpa protein plasma.
Filtrat dari korpuskel renal masuk ke dalam tubulus renal yang kemudian disebut cairan
tubular. Cairan tersebut akan mengalami proses reabsorpsi dan sekresi yang melibatkan
kombinasi proses difusi, osmosis, dan transport yang dimediasi pembawa (difusi
terfasilitasi, transport aktif, kotransport, dan countertransport).
Proses reabsorpsi terjadi di tubulus proksimal berfungsi untuk mereabsorpsi nutrien
organik (lebih dari 99 % glukosa, asam amino, dan nutrien organik lain), mereabsorpsi ion
10
secara aktif (Na+, K
+, Mg
+, HCO3
-, PO4
3-, SO4
2-), mereabsorpsi air, dan ion secara pasif
(urea, ion klorida, dan materi larut lemak). Contoh materi yang tidak direabsorpsi yaitu
kreatinin dan asam urat , syaratnya tidak larut lemak, tidak ada pembawa, dan berukuran
besar. Filtrat yang direabsorpsi sekitar 60-70 % atau 80 % dari volume filtrat yang
dihasilkan korpuskel renal. Materi yang direabsorpsi masuk ke cairan peritubular dan
berdifusi ke dalam kapilari peritubular.
Materi yang berperan penting dalam proses reabsorpsi yaitu natrium. Ion natrium berdifusi
ke dalam sel tubulus melalui chanel ion natrium yang terbuka ke arah area membran
basemen. Area tersebut mengandung pompa penukar natrium-kalium yang mengeluarkan
ion natrium dalam pertukaran untuk ion kalium ekstraselular. Ion natrium yang
tereabsorpsi lalu berdifusi ke kapilari peritubular yang berdekatan. Reabsorpsi ion dan
senyawa sepanjang tubulus proksimal ini melibatkan beberapa protein pembawa dan
melalui sel epitelial tubulus, ruang ekstraselualar, dan endotelium kapilari. Zat-zat yang
umumnya pasti direabsorpsi seperti glukosa, protein, dan asam amino mempunyai nilai
ambang atau kapasitas reabsorpsi maksimal yang tidak boleh dilewati. Jika dilewati zat-zat
tersebut akan terdapat dalam urin. Misalnya albuminuria menandakan adanya albumin
dalam urin akibat tidak tereabsorpsi.
Proses sekresi terjadi terutama di tubulus distal dan juga terjadi di tubulus proksimal,
berfungsi sebagai backup proses filtrasi (mensekresi zat-zat yang belum terfiltrasi),
mengeliminasi zat/metabolit yang tereabsorpsi pasif (urea dan asam urat), menjaga
kesimbangan asam-basa darah (kontrol pH darah), menjaga homeostasis K+, dan
bertanggung jawab dalam pembentukan akhir cairan tubular dengan komposisi dan volume
tertentu (reabsorpsi selektif dan sekresi). Hanya 15-20 % volume filtrat awal yang
mencapai tubulus distal.
Pada tubulus distal terjadi reabsorpsi selektif yaitu reabsorpsi ion Na+ dan Cl
- dengan cara
transport aktif, reabsorpsi Ca2+
, reabsorpsi HCO3-
yang berperan dalam menjaga kapasitas
bufer plasma serta sekresi ion, asam, obat, dan racun. Dalam sekresi, solut ditransport dari
cairan peritubular, menembus epitelium tubular dan masuk ke cairan tubular. Sebelum
memasuki cairan tubular, melewati jerat Henle terlebih dahulu. Pada jerat Henle, segmen
menurun dan segmen menaik memiliki karakteristik permeabilitas yang sangat berbeda.
Segmen tipis yang menurun bersifat permeabel terhadap air tetapi relatif impermeabel
11
terhadap solut akibatnya air akan masuk ke dalam cairan peritubular dan menyebabkan
cairan tubular memiliki konsentrasi osmotik yang lebih tinggi. Segmen tebal yang menaik
relatif impermeabel terhadap air dan solut dan mengandung protein transport untuk
memompa ion natrium dan klorida dari cairan tubular ke dalam cairan peritubular sehingga
konsentrasi cairan tubular menurun dengan konsentrasi osmotik yang rendah saat cairan
tubular mencapai tubulus distal.
Cairan tubular dari tubulus distal memasuki saluran pengumpul dan membawanya ke arah
sinus renal sepanjang gradien konsentrasi pada medula. Jumlah air dan solut yang hilang
dalam sistem pengumpul diatur dalam dua cara yaitu oleh aldosteron dan oleh ADH.
Dalam sistem pengumpul juga terjadi fungsi reabsorpsi dan sekresi, yang penting untuk
mengontrol pH cairan tubuh. Dari sistem pengumpul ini, cairan dialirkan ke minor kaliks.
1.3 Patologi Gagal Ginjal
Fungsi ginjal normal dapat berlangsung selama filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi berada
dalam batas wajar. Salah satu kelainan fungsi pada ginjal yaitu gagal ginjal. Gagal ginjal
adalah kondisi ginjal yang tidak dapat menjalankan fungsi ekskresi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan homeostasis. Filtrasi lambat dan produksi urin berkurang. Seiring
berkurangnya urin, gejala gagal ginjal tampak karena air, ion-ion, dan buangan metabolik
tertahan dalam darah sehingga berpengaruh pada seluruh sistem dalam tubuh, seperti
gangguan keseimbangan cairan, pH, kontraksi otot, metabolisme, dan pencernaan,
hipertensi, anemia pada kekurangan produksi eritropoietin, serta masalah sistem saraf pusat
yang menyebabkan tidak dapat tidur, seizure, delirium dan bahkan koma.
Kematian pada gagal ginjal, terutama berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit
selain berhubungan dengan buangan nitrogen. Beberapa derajat yang mengindikasikan
gagal ginjal :
1. gagal mengekskresikan produk buangan nitrogen, seperti urea
2. asidemia
3. peningkatan level K+ serum
4. dehidrasi selular
Gejala lengkap pada gagal ginjal adalah muntah, diare, lalu susah bernafas, dan akhirnya
depresi sistem saraf pusat. Dimulai dengan kelesuan dan kebingungan, drowsiness, dan
12
bahkan koma. Kematian terjadi sekitar 5-7 hari jika perbaikan tidak dimulai. Penyebab
sebenarnya gejala-gejala ini belum dimengerti, tidak hanya semata-mata berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi urea atau asam urat, pada pemberian secara oral sendiri
pada dosis yang tinggi tidak toksik. Tetapi bagaimanapun juga, konsentrasi tinggi urea
darah menjadi pertanda gagal ginjal.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua jenis yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Baik
akut maupun kronis dikategorikan berdasarkan penyebabnya yaitu pre-renal, renal, dan
post-renal. Kegagalan pre-renal disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal atau
pengaruh suplai darah seperti hipotensi akibat shock atau dehidrasi dan gangguan pada
pembuluh darah. Kegagalan renal menunjukan kerusakan pada ginjal itu sendiri yang
disebabkan infeksi, toksin, obat-obatan (NSAID, antibiotik aminoglikosida, amfoterisin B,
litium), rhabdomiolisis, hemolisis, atau hiperparatiroid. Kegagalan post-renal menunjukan
kelainan akibat adanya gangguan pada saluran urinari.
1.3.1 Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah kelainan fungsi ginjal yang ditunjukan dengan penurunan fungsi
ginjal secara cepat selama beberapa hari dan bertahan sampai beberapa minggu yang
berakibat pada kerusakan ginjal sehingga mengakibatkan retensi senyawa nitrogen (seperti
urea dan kreatinin) dan produk non-nitrogen yang dalam keadaan normal diekskresikan
oleh ginjal. Gagal ginjal akut disebabkan oleh paparan obat yang toksik, racun, logam berat,
transfusi atau reaksi hemolitik lain, shock, dehidrasi iskemi renal, obstruksi urinari,
glomerulonefritis, pembedahan, trauma yang menyebabkan filtrasi tiba-tiba melambat atau
berhenti, tapi di beberapa kasus disebabkan penyakit ginjal intrinsik yang berprogres cepat.
Gejalanya termasuk anoreksia, mual dan muntah, seizure, dan koma jika tidak diobati.
Pada gagal ginjal akut, ekskresi air dan semua elektrolit penting diblok dan terakumulasi
dalam tubuh. Meskipun konsentrasi Kalium dan klorida meningkat, konsentrasi Natrium
biasanya berkurang karena retensi air lebih besar daripada retensi natrium. Keadaan ini
dibarengi dengan terjadinya gangguan metabolisme seperti metabolik asisdosis akibat
retensi asam anorganik seperti sulfat, fosfat, dan produk katabolisme protein yang lain
yang tidak signifikan pada kondisi normal lalu dinetralisasi oleh bikarbonat dan buffer lain
sehingga menurunkan bikarbonat dalam plasma. Kerusakan sel tubular tidak bisa
menggantikan bikarbonat atau untuk mengekskresi ion hidrogen sehingga terjadilah
13
asidosis. Selain itu dapat terjadi hiperkalemia, perubahan keseimbangan tubuh, dan efek
terhadap organ lainnya. Hasil laboratorium menunjukan kadar natrium dan bikarbonat
dalam serum menurun, kadar kalium dan klorida dalam serum meningkat, volume darah
meningkat, Natrium dan kalium urin menurun, pH urin normal atau basa, dan volume urin
menurun (oliguria, urin kurang dari 400 ml per hari) bahkan berhenti (anuria). Pengobatan
tergantung penyebab tapi juga termasuk pengaturan cairan dan elektrolit dan terkadang
dialisis. Gagal ginjal akut bersifat reversibel.
1.3.2 Gagal Ginjal Kronis
Pada gagal ginjal kronis, fungsi ginjal menurun atau struktur internal rusak secara perlahan
dan bertahap selama beberapa bulan atau tahun sehingga efeknya terakumulasi setiap
waktu. Gagal ginjal kronis bersifat ireversibel dan gejala-gejala gagal ginjal akut sering
terjadi. Gagal ginjal kronis memiliki tingkat dari disfungsi ringan sampai gagal ginjal berat.
Ketidakmampuan ginjal untuk memfiltrasi, membuang cairan dan produk buangan dari
darah dan mengekskresikannya di urin dapat menyebabkan berbagai komplikasi termasuk
pengaruh/efek samping terhadap sistem respirasi, sirkulasi, dan sistem pencernaan.
Gagal ginjal dapat terjadi tanpa gejala untuk beberapa tahun dan rusak secara perlahan
sehingga gagal ginjal kronis tidak dapat dideteksi sampai fungsi ginjal kurang dari 25 %
dari normal. Gagal ginjal kronis menyebabkan gagal ginjal total yang dikenal sebagai
Gagal Ginjal Tahap akhir (End-Stage Renal Disease, ESRD) yang berakibat fatal jika tidak
diatur dengan sebagaimana mestinya.
Gagal ginjal kronis dapat disebabkan penyakit diabetes, hipertensi, glomerulonefritis atau
infeksi ginjal, sindrom Alport, lupus eritematosus, penyakit jaringan penghubung, kanker
ginjal, sirosis, penyakit ginjal polisistic, dan abnormalitas congenital . Selain itu, gagal
ginjal kronis dapat disebabkan penggunaan obat-obatan seperti analgesik nefropati,
ibuprofen, asetaminofen, antibiotik gentamisin, dan obat sulfa yang digunakan untuk
mengobati infeksi. Gejala-gejala yang terjadi termasuk seringnya urinasi, anemia,masalah
tulang dan sendi,adema akibat ketidakseimbangan cairan tubuh, haus berlebihan, urin
berdarah, sakit kepala, tekanan darah tinggi, kelelahan, nyeri punggung bagian bawah,
mual dan muntah, kehilangan nafsu makan, sering cegukan, nafas yang buruk akibat
buangan dalam saliva dan keringat, rasa tidak enak dalam mulut, mudah pendarahan, kuku
14
tidak normal, diskolorasi kulit dan gatal kulit. Faktor risiko gagal ginjal kronis terjadi pada
hipertensi yang tidak terkontrol, diabetes melitus, batu ginjal, penggunaan dalam jangka
waktu lama atau penyalahgunaan obat-obat penghilang rasa sakit, merokok, sirkulasi
rendah, dan penyakit ginjal turunan.
Diagnosis dapat dilakukan dengan tes lab terhadap darah, urin yang dikumpulkan selama
24 jam, radiologi, ultrasound, X-rays, Computer Tomography (CT), scan MRI, dan
pemeriksaan jaringan di bawah mikroskop yang disebut biopsi. Tes darah akan
menunjukan konsentrasi abnormal kreatinin yang menunjukan nilai GFR rendah,
peningkatan Urea Nitrogen Darah (BUN) secara bertahap, penurunan bersihan kreatinin
secara bertahap, asam urat, fosfat, natrium, dan kalium serta metabolik asidosis.
Akumulasi cairan dan produk buangan metabolisme menyebabkan peningkatan produk
nitrogen dalam darah tanpa gejala (azotemia) dan uremia. Selain itu, ukuran ginjal menjadi
lebih kecil. Pengobatan gagal ginjal kronis berupa terapi obat jangka panjang, diet
makanan, dialisis (peritonial dialisis dan hemodialisis), dan transplantasi ginjal.
1.4 Evaluasi Fungsi Ginjal
Evaluasi fungsi ginjal tidak digunakan untuk mengetahui penyebab penyakit ginjal, tetapi
digunakan untuk mendeteksi kerusakan ginjal yang diduga terjadi secara klinis. Evaluasi
ini dapat digunakan untuk menilai gagal ginjal akut maupun kronis apapun penyebabnya.
Parameter uji yang digunakan pada evaluasi ini yaitu kreatinin serum yang secara tidak
langsung menentukan nilai GFR, bersihan kreatinin, kreatinin urin, BUN, dan albumin urin.
Semakin cepat kerusakan didiagnosa dan diobati semakin besar peluang untuk menjaga
kondisi nefron yang normal dan mencegah keadaan parah yang membutuhkan dialisis.
1.4.1 Kreatinin
Kreatinin adalah metabolit yang dibentuk dari kreatin melalui kreatinin fosfat. Kreatinin
melewati filtrasi glomerolus dan disekresi oleh tubulus pada konsentrasi yang tinggi dalam
plasma, jumlah yang direabsorpsi dapat diabaikan. Kreatin merupakan sumber energi
dalam metabolisme otot dan kreatinin merupakan bentuk anhidrida dari kreatin yang tidak
digunakan oleh tubuh sehingga diekskresikan melalui urin.
15
Tempat metabolisme kreatinin dibedakan menjadi 4 bagian yaitu premuskular,
intramuskular, postmuskular, dan ginjal. Proses biokimia dan fisiologi dalam metabolisme
kreatin dan kreatinin yaitu pertama-tama kreatin disintesis dari arginin dan lisin di berbagai
organ termasuk pankreas, hati, dan ginjal melalui beberapa tahap intermediat. Kreatin ini
melewati plasma kemudian mencapai ginjal. Pada orang dewasa, kreatin yang difiltrasi
oleh ginjal hampir seluruhnya direabsorpsi. Proses ini melibatkan mekanisme transport
yang sama dengan reabsorpsi asam amino. Kreatin secara aktif diperoleh dari plasma
melalui sel otot dan difosforilasi oleh aksi kreatin kinase menghasilkan kreatin fosfat
secara intramuskular yang akan didistribusikan oleh darah ke otak. Kreatin fosfat bertindak
sebagai penyimpan energi yang analog dengan Adenosin Trifosfat (ATP).
Pada kontraksi otot, energi kimia dari kreatin fosfat dikonversi menjadi energi mekanik
membentuk kreatin, fosfat, dan Adenosin Difosfat (ADP). Jika terdapat cukup ATP
memungkinkan kreatin difosforilasi kembali sedangkan fosfat digunakan sebagai sumber
energi dalam otot jantung dan otot skelet. Namun, kreatin fosfat mengalami penguraian
secara spontan menjadi kreatinin dan tidak diketahui enzim yang mengakatalis reaksi
tersebut. Sekitar 1,5-2 % (1,6-1,7 %) kreatin tubuh dikonversi menjadi kreatinin setiap
harinya tergantung dari total massa otot yang mengandung kreatin dan kreatin fosfat.
Kreatinin tersebut mencapai plasma dan secara kuantitatif diekskresikan ke dalam urin
melalui filtrasi.
Metode yang digunakan untuk mengukur kadar kreatinin adalah Metode Jaffé. Prinsipnya
adalah reaksi antara kreatinin dan asam pikrat (kuning) dalam suasana basa (NaOH)
membentuk senyawa kompleks Janovski (kreatinin pikrat) berwarna merah jingga yang
dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm (500-550 nm). Intensitas
warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi kreatinin. Sampel terdiri dari darah
dan urin. Sampel urin merupakan koleksi urin selama 24 jam. Sebelum pengukuran,
sampel dideproteinasi terlebih dahulu. Pengukuran konsentrasi kreatinin dilakukan dengan
fotometer.
Faktor kritik yang mempengaruhi adalah waktu reaksi, suhu reaksi (suhu pada waktu
pembacaan kreatinin pikrat), derajat agitasi selama waktu reaksi, konsentrasi NaOH (basa),
dan panjang gelombang.
16
1.4.1.1 Kreatinin Serum
Pada fungsi ginjal normal, konsentrasi kreatinin serum relatif konstan dan sangat rendah.
Konsentrasi kreatinin serum mempunyai rentang normal yang bervariasi di setiap
laboratorium yaitu 1-1,5 mg/dl, pada pria bisa berkisar antara 0,6-1,2 mg/dl atau 0,7-1,2
mg/dl, pada wanita 0,5-1 mg/dl, pada binaraga 2 mg/dl, sedangkan konsentrasi 0,7 mg/dl
menunjukan adanya penyakit ginjal pada wanita lanjut usia. Konsentrasi tersebut
tergantung kecepatan pembentukan (masuk ke otot, disimpan di otot, dan reabsorpsi di
ginjal).
Jika ginjal tidak bekerja dengan baik kadar kreatinin serum akan meningkat. Peningkatan
konsentrasi terjadi saat massa otot berkurang (muskular distrofi, muskular atrofi, atau
amputasi) dan mengindikasikan adanya kerusakan ginjal atau ginjal tidak berfungsi
maksimal. Peningkatan yang tidak begitu jauh memungkinkan kondisi masih terlihat
normal. Peningkatan yang lebih besar dapat mengindikasikan terjadinya gagal ginjal.
Penurunan lebih rendah dari normal disebabkan asupan protein yang kurang, penyakit hati,
kerusakan ginjal dan kehamilan sehingga dapat terjadi distrofi otot atau miastenia gravis.
Kreatinin hanya dipengaruhi sedikit oleh dehidrasi, malnutrisi, dan penyakit hati. Selain itu,
makanan, demam, dan kerusakan otot tidak mempengaruhi kadar kreatinin serum secara
langsung. Penentuan kreatinin serum lebih baik dalam mencerminkan derajat uremia
dibandingkan konsentrasi BUN.
1.4.1.2 Kreatinin Urin dan Bersihan Kreatinin
Kreatinin dieliminasi hanya melalui filtrasi glomerulus sehingga bersihan kreatinin dapat
digunakan untuk menghitung GFR dan untuk mengetahui kapasitas filter ginjal. Kreatinin
urin dapat diukur dengan mengumpulkan urin selama 24 jam dan sampel diambil pada
akhir pengujian lalu dapat dihitung bersihan kreatinin berdasarkan :
B
UVBersihan
Bersihan = mL/menit
U= konsentrasi urin (mmol/mL atau mg/mL)
V = kecepatan alir urin (volume/waktu atau mL/menit atau mL/24 jam)
B = konsentrasi plasma (mmol/mL atau mg/mL)
17
Nilai normalnya yaitu 150-180 L/24 jam per 1,73 m2 luas permukaan tubuh. Sumber lain
mengatakan 80-160 ml/menit, pada pria 97-137 mL/menit, pada wanita 88-128 mL/menit.
Kesalahan dapat terjadi jika pengumpulan urin tidak lengkap. Parameter ini digunakan
secara kasar untuk memonitor progres penyakit ginjal.
Jika ginjal tidak bekerja dengan baik maka nilai bersihan kreatinin akan menurun. Pada
peningkatan konsentrasi kreatinin serum (seperti pada uremia), bersihan ginjal akan
menurun dengan asumsi peningkatan sekresi tubular tengantung pada konsentrasi kreatinin
serum. Rendahnya bersihan selain karena penyakit ginjal primer, dapat juga terjadi pada
shock dan penyakit renal vaskular.
1.4.2 Albumin Urin
Albumin disintesis di hati, bersifat larut air, kecepatan penguraiannya sebanding dengan
konsentrasi plasma dan konsentrasinya paling tinggi dalam plasma. Albumin berperan
penting untuk ikatan protein obat, transport asam lemak, hormon tiroid, beberapa hormon
steroid, bilirubin, kalsium, dan progesteron. Selain itu, albumin berperan penting menjaga
tekanan osmotik darah dan mencegah terjadinya udem. Oleh karena itu, konsentrasi
albumin dalam darah lebih besar konsentrasinya dalam cairan ekstraselular.
Saat protein plasma diekskresikan dalam urin, tekanan osmotik darah berkurang dan
kapiler tidak dapat mengambil air. Cairan jaringan terakumulasi dan terjadi udem pada
abdomen. Seiring volume darah dan tekanan darah menurun, ginjal mengabsorpsi lebih
banyak garam dan air yang akhirnya meningkatkan udem. Kehadiran albumin dalam urin
mengindikasikan glomerulus lebih permeabel dari biasanya berarti terjadi gangguan ginjal.
Kerusakan kemungkinan besar terjadi pada kapsula renal karena albumin yang bermolekul
besar tak seharusnya dapat melalui membran filtrasi di glomerulus. Protein berukuran kecil
yang dapat melewati filter akan direabsorpsi lagi dan digunakan sebagai sumber energi.
Sejumlah protein akan terdapat dalam urin jika kadar protein dalam darah tinggi meskipun
ginjal berfungsi normal. Namun pada penyakit ginjal, protein akan muncul dalam urin
meskipun kadar protein dalam darah normal. Jika sejumlah kecil protein yang dapat masuk
ke dalam urin maka disebut mikroalbuminuria dan jika kondisi ginjal semakin menurun
sehingga jumlah albumin dan protein dalam urin akan meningkat maka disebut proteinuria.
Protein urin ini dapat diuji dengan spot tes atau pemeriksaan urin 24 jam. Dalam sampel
18
urin 24 jam, jumlah normalnya kurang dari 30 mg/hari. Jika melebihi batas normal dapat
mengindikasikan glomerulonefritis, kerusakan ginjal akibat logam berat dan nefrotoksik.
Kerusakan hati menyebabkan penurunan albumin dalam serum. Selain itu, penurunan
tersebut dapat disebabkan oleh albumin masuk ke dalam urin, malnutrisi, dan rendahnya
asupan protein. Jumlah albumin dalam urin dapat meningkat dengan latihan berat, kadar
gula darah yang tidak terkontrol, infeksi saluran urinari, dan penyakit lain.
Metode yang digunakan untuk mengukur konsentrasi albumin adalah metode Bromkresol
Hijau. Prinsipnya yaitu penggunaan indikator asam basa bromkresol hijau yang dapat
bereaksi dengan albumin. Bromkresol hijau merupakan pewarna anionik. Banyaknya
indikator yang terikat menjadi ukuran banyaknya albumin (absorbansi sebanding dengan
konsentrasi). Pada panjang gelombang 615 nm terjadi perbedaan yang besar antara
indikator terikat dan tidak terikat.
1.4.3 Urea Nitrogen Darah (Blood Urea Nitrogen-BUN)
BUN merupakan parameter yang menunjukan jumlah urea nitrogen dalam darah. Urea
dibentuk di hati dari pelepasan amonia melalui deaminasi asam amino atau
pemecahan/metabolisme protein. Urea merupakan konstituen nonprotein nitrogen utama
dalam darah. Konstituen lain misalnya asam amino, asam urat, kreatinin, dan amonia.
Protein dipecah menjadi asam amino dalam proses pencernaan. Asam amino mengandung
nitrogen nitrogen dan dibuang dalam bentuk amonium (NH4+) sedangkan molekul lain
digunakan untuk produksi energi atau digunakan oleh sel lain. Amonia berikatan dengan
molekul kecil lainnya membentuk urea. Urea masuk ke dalam darah lalu terlarut dalam
plasma, difiltrasi dalam glomerulus dan melewati tubulus proksimal yang impermeabel.
Jerat Henle permeabel terhadap urea dan beberapa urea direabsorpsi secara aktif dari
lengkung asenden.
Cairan interstisial pada medula ginjal mengandung urea dengan konsentrasi tinggi yang
membantu untuk tetap hipertonik sebagai bagian dari mekanisme reabsorpsi air. Urea
menghilang dari cairan interstisial ini masuk ke dalam darah dan beberapa masuk kembali
ke dalam urin melalui difusi ke dalam saluran pengumpul. Urea diekskresikan oleh ginjal
sehingga urea nitrogen yang masih dalam darah dapat digunakan untuk uji fungsi ginjal,
19
keparahan penyakit, dan melihat atau menentukan pengaruh pengobatan serta terjadi
dehidrasi parah atau tidak.
Nilai BUN normal sekitar 4,7-32 mg/100 mL atau 7-20 mg/100 mL, pada pria lebih tinggi
dariapada wanita, pada anak-anak sekitar 5-8 mg/100mL, pada bayi yang baru lahir lebih
rendah, dan pada wanita hamil menurun 25 % dari kondisi normal, serta pada manula
nilainya meningkat karena penurunan fungsi ginjal. Hubungan urea darah dengan
kretininin penting jumlahnya pada kondisi klinis. Peningkatan baik kreatinin dan BUN
terjadi pada gagal ginjal akut maupun kronis dengan rasio BUN:kreatinin dipertahankan
pada 10:1.
Peningkatan nilai BUN (azotemia) dapat dikategorikan menjadi prerenal, renal, dan
postrenal. Prerenal azotemia disebabkan oleh gagal jantung kongestif yang menyebabkan
penurunan aliran darah ke ginjal, penurunan perfusi ginjal akibat hipovolemik, infark
miokardium akut, dehidrasi yang menyebabkan kurangnya cairan tubuh untuk
mengekskresikan produk hasil metabolisme yang tidak berguna, shock, dan pendarahan
pada saluran pencernaan. Pre-renal azotemia menyebabkan rasio BUN:kreatinin lebih dari
10:1.
Dalam renal azotemia terjadi penurunan GFR yang disebabkan oleh penyakit ginjak kronis
atau akut, glomerulonefritis, interstisial nefritis, dan tubular nekrosis. Postrenal azotemia
pada umumnya disebabkan oleh kerusakan pada saluran urinari. Peningkatan nilai BUN
juga dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti allopurinol, aminoglikosida, furosemid,
endometasin, metotreksat, aspirin, amfoterisin B, karbamazepin, vankomisin, propanolol,
rifampin, spironolakton, tetrasiklin, diuretik tiazid, dan triamterene.
Selain itu peningkatan nilai BUN tidak hanya disebabkan oleh penyakit ginjal, tetapi dapat
juga disebabkan oleh penyakit hati atau dehidrasi. Penurunan BUN dapat terjadi dalam
kondisi penyakit hati, malnutrisi dan gangguan absorpsi, overhidrasi, kehamilan, dan
Syndrome of Inappropiate Anti-Diuretic Secretion (SIADH) yang menurunkan substansi
lain yang juga penting akibat volume aliran darah yang meningkat secara berarti. Hormon
anti diuretik bertanggung jawab menstimulasi ginjal untuk menahan cairan tubuh sehingga
menyebabkan jumlah air yang ditahan dalam pembuluh darah lebih banyak daripada
jumlah yang dikeluarkan melalui urin.
20
Pemeriksaan urea berdasarkan empat prinsip yaitu reaksi urea dengan α-diketon dan
oksimnya, penentuan amonia yang dibebaskan pda penggunaan urease, penentuan dengan
elektroda ion selektif, dan pengukuran urea pada tes optikal menggunakan urease dan
glutamat dehidrogenase. Faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan hasil pemeriksaan
misalnya penggunaan diuretik penyebab dehidrasi, usia, jenis kelamin, dan obat-obatan
seperti aminoglikosida.
Metode yang digunakan adalah reaksi urease dan determinasi dengan metode Berthelot. Prinsipnya sampel diinkubasi dengan enzim urease sehingga urea diubah menjadi amonia
dan karbondioksida. Amonia bereaksi dengan larutan fenil-hipoklorit yang dikatalis oleh
sodium nitroferisianida menghasilkan warna biru tua. Keberadaan amonia diperiksa
dengan reagen Berthelot dan diukur secara fotometri. Absorban sebanding dengan
konsentrasi.
Gambar 1.6 Reaksi Urease
Level urea tergantung asupan protein meskipun konsentrasi kreatinin tidak dipengaruhi
makanan. Pengukuran serum kreatinin lebih unggul daripada BUN untuk diagnosis,
prognosis, dan manajemen gagal ginjal.
1.5 Obat Penginduksi Gagal Ginjal
Gentamisin dan piroksikam memiliki efek toksik terhadap ginjal yaitu sebagai penginduksi
terjadinya gagal ginjal. Kombinasi kedua obat nefrotoksik tersebut menunjukan
peningkatan kadar kreatinin yang lebih cepat, penurunan bobot badan terbesar,
peningkatan indeks ginjal yang lebih cepat dan kerusakan ginjal yang semakin parah, jika
dibandingkan pemberian masing-masing obat secara tunggal.
1.5.1 Piroxicam
Piroxicam merupakan golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID) yang
bekerja menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (COX). NSAID potensial nefrotoksik,
biasanya berupa kerusakan tubulus termasuk vakuolasi, dilatasi, nekrosis atau atrofi.
NH2
C = O + H2O urease 2 NH3 + CO2
NH2
21
Fungsi ginjal misalnya pada kondisi gagal ginjal tergantung sintesis prostaglandin.
Prostaglandin tersebut berperan pada terjadinya inflamasi, peningkatan sekresi mukus
lambung, kontraksi uterus, dan aliran darah ke ginjal. Prostaglandin berasal dari asam
arakidonat yang berikatan dengan reseptor enzim siklooksigense. Penghambatan enzim
berarti juga penghambatan secara langsung sintesis prostaglandin yang dibutuhkan
misalnya untuk menghilankan nyeri saat inflamasi atau sekresi asam lambung yang
berlebihan.
Piroxicam memiliki rasio spesifitas terhadap COX-1 dan COX-2 sebesar 250:1 sehingga
efek sampingya lebih besar karena spesifitas tinggi terhadap COX-1. COX-1 dan COX-2
menghasilkan prostaglandin yang berbeda dan lokasinya menunjukan prostaglandin yang
dilepaskannya. COX-1 distimulasi terus menerus menghasilkan prostaglandin yang
berperan menjaga fungsi normal tubuh seperti ekskresi air di ginjal atau pembentukan
mukus lambung untuk COX-1 pada dinding lambung. COX-1 banyak terdapat di jaringan
tubuh dengan konsentrasi relatif konstan/stabil. Jika COX-1 dihambat maka homeostasis
terganggu. COX-2 aktif jika terinduksi dan aktivitasnya meningkat jika terjadi inflamasi.
COX-2 menghasilkan prostaglandin yang berperan dalam respon inflamasi. Piroxicam
dengan spesifitasnya menyebabkan prostaglandin yang dihasilkan melalui aktivitas COX-
1 akan lebih banyak dihambat daripada prostaglandin hasil aktivitas COX-2 sehingga
homeostasis lebih terganggu. Rasio yang semakin besar menyebabkan efek samping yang
semakin besar maka pembentukan prostaglandin semakin dihambat sehingga aliran darah
ke ginjal semakin menurun.
Vasodilator ginjal prostaglandin mengimbangi efek vasokonstriktor substansi endogen lain.
Penggunaan NSAID menghambat produksi vasodilator prostaglandin sehingga aliran darah
ke ginjal berkurang karena adanya norepinefrin dan angiotensin II yang mengaktivasi
refleks pressor. Penurunan aliran darah tersebut menyebabkan sel ginjal kekurangan suplai
oksigen (hipoksia) sehingga sel ginjal akan terdegradasi atau rusak. Oleh karena itu,
penggunaan piroxicam secara terus-menerus menyebabkan kerusakan glomerulus.
Piroxicam juga menunjukan pengaruh terhadap kadar albumin dalam urin. Jumlah albumin
yang berlebihan dalam urin menyebabkan tekanan osmosis sehingga cairan akan keluar
dari pembuluh darah dan menyebabkan udem.
22
Gambar 1.7 Struktur Piroxicam
1.5.2 Gentamisin
Gentamisin termasuk golongan antibiotik aminoglikosida. Semua aminoglikosida potensial
menyebabkan toksisitas renal. Toksisitas tersebut terjadi akibat akumulasi dan retensi
aminoglikosida pada sel tubulus proksimal. Setelah berikatan dengan membran tubular
brush border, aminoglikosida akan tervakuolisasi dan diambil sel tubulus proksimal lalu
ditransport ke lisosom. Pengambilan terus menerus menyebabkan disfungsi lisosom
sehingga terjadi degenerasi dan enzim lisosom bekerja pada organel sel lainnya.
Manifestasi awal dari nefrotoksisitas ini adalah pelepasan enzim brush border dan lisosom,
glikosuria, aminoasiduria, dan tubular proteinuria. Urin tidak dihasilkan jika
aminoglikosida berikatan dengan bagian tubulus distal. Kerusakan pada transport tubular
dapat diindikasikan dengan adanya β2-mikroglobulin, hipokalemia, hipomagnesia, dan
hilangnya kemampuan memekatkan urin lalu diikuti penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus. Penurunan tersebut dan juga kerusakan tubular diduga akibat gangguan
metabolisme prostaglandin akibat afinitas obat dengan membran. Selain itu, terjadi
perubahan morfologi sel endotelial glomerulus dan penurunan koefisien ultraflitrasi pada
kapilari glomerulus.
Gentamisin merupakan antibiotik spektrum luas yang dieliminasi dari tubuh dalam urin
dan hampir seluruhnya diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Gentamisin memiliki efek
ototoksik dan mengganggu baik pendengaran dan fungsi vestibular. Di laboratorium hewan,
nefrotoksisitas gentamisin kurang dari neomisin tetapi lebih besar daripada streptomisin.
Toksisitas gentamisin pada tubulus proksimal menyebabkan menurunnya kemampuan
tubulus mengekskresikan komponen-komponen sisa metabolisme dalam darah. Nekrosis
tubular pada tikus dapat dihasilkan dengan dosis yang tinggi dan kerusakan baik anatomik
maupun fungsional tergantung pada dosis. Dengan dosis tinggi, misalnya 100 mg/kg/hari
23
selama 5 hari, terjadi nekrosis yang luas pada tubulus proksimal. Dengan dosis tinggi sel
dirusak secara ireversibel dan mengandung sitosegresom dalam jumlah besar.
Sitosegresom dengan myelin menunjukan adanya lisosom yang diambil dari organel sel
yang terdegradasi. Terjadi produksi yang berlebihan komponen sel terdegradasi dan terjadi
kerusakan pada kemampuan lisosom untuk melakukan fungsi normalnya.
Gentamisin merusak membran lisosom menyebabkan enzim yang terkandung hilang/lepas
sehingga menghambat respirasi mitokondria. Gentamisin umumnya kationik dan
strukturnya cincin tidak polar sehingga memiliki afinitas yang tinggi terhadap fosfolipid
yang bersifat anionik pada berbagai membran sel termasuk lisosom. Interaksi obat dan
membran menyebabkan lamelar beragregasi dan akumulasi obat pada lisosom serta akibat
afinitas tersebut akan berpengaruh pada generasi membran yang berasal dari autokoid serta
second messenger (prostaglandin, inositol fosfat, dan diasilgliserol). Pada aminoglikosida
secara umum terjadi hambatan fosfolipase, spingomielinase dan ATPase, serta perubahan
fungsi mitokondria dan ribosom
Perusakan ginjal tergantung pada dosis dan durasi pemaparan. Dengan dosis yang besar,
terjadi proteinuria, poliuria, dan peningkatan serum kreatinin dan BUN. Selain itu
toksisitas gentamisin juga diduga menurunkan transport basa organik dan sintesis glukosa
serta menghambat sintesis protein di sel ginjal. Gentamisin menghasilkan kerusakan ginjal
tapi biasanya ringan dan dapat kembali karena kemampuan bergenerasi.
Gambar 1. 8 Struktur Gentamisin
1.6 Rambut Jagung (Maydis stigma)
Simplisia rambut jagung berasal dari tanaman jagung (Zea mays) suku Poaceae. Simplisia
ini diujikan untuk mengetahui efek tanaman obat tradisional yang dapat membantu
regenerasi sel-sel ginjal sehingga mempercepat pemulihan gagal ginjal. Selain itu, rambut
jagung juga diketahui memiliki khasiat sebagai diuretik atau peluruh air seni pada tikus.
24
Tinjauan botani dilakukan terhadap tanaman jagung yang meliputi klasifikasi botani,
sinonim, dan nama daerah, penggunaan tradisional dan efek farmakologi, serta kandungan
kimia tanaman yang akan digunakan sebagai tumbuhan uji.
1.6.1 Klasifikasi dan Nama Daerah
Klasifikasi tanaman Jagung :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Anak Kelas : Commelinidae
Bangsa : Cyperales
Suku : Poacea
Marga : Zea
Jenis : Zea mays L.
Simplisia : Rambut Jagung (Maydis stigma) dan Pati Jagung (Maydis Amylum)
Nama daerah :
Di Sumatera, Zea mays L. dikenal dengan nama eyako (Enggano), jagong (Aceh),
jagong (Batak), dan rigi (Nias). Di Jawa dikenal sebagai jagong (Sunda), jagung
(Jawa Tengah), dan jhahung (Madura). Di Bali dikenal dengan nama jagung. Di
Nusa Tenggara dikenal sebagai jagung (Sasak), jago (Bima), wataru (Sumba),
latung (Flores), fata (Solor), dan pena (Timor). Di Sulawesi dikenal dengan nama
binte (Gorontalo), binde (Buel), dan gandum (Toraja). Sedangkan di Maluku
dikenal sebagai jagong (Ambon), kastela (Halmahera), dan tela (Tidore) (Hutapea,
2000).
1.6.2 Morfologi dan Penyebaran
Zea mays merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi lebih kurang 1,5 meter. Batang
bulat, masif, tidak bercabang, warna kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat
panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, warna hijau. Bunga
majemuk, berumah satu, bunga jantan dan betina bentuk bulir, di ujung batang dan di
ketiak daun, warna putih. Buah berbentuk tongkol, panjang 8-20 cm, warna hijau
kekuningan. Buah berbentuk bongkol, panjang 8-20 cm, dan berwarna hijau kekuningan.
Biji berbentuk bulat, berwarna kuning atau putih. Akar serabut dan berwarna putih kotor.
25
Jagung tersebar di Jawa pada ketinggian lebih kurang 200 m di atas permukaan laut.
Jagung di Indonesia kebanyakan ditanam di dataran rendah baik di tegalan, sawah tadah
hujan maupun sawah irigasi. Sebagian terdapat juga di daerah pegunungan pada ketinggian
1000- 1800 m di atas permukaan laut (Hutapea, 2000).
1.6.3 Ciri Makroskopik dan Mikroskopik Rambut Jagung
Rambut jagung (Maydis stigma) adalah kepala putik dan tangkai kepala putik buah Zea
mays L. yang segar, suku Poaceae. Rambut jagung berwarna jingga kemerahan, merah
jambu, coklat kekuningan, coklat sampai merah ungu, berbau aromatik lemah dan rasa
agak kelat. Secara makroskopik, rambut jagung berupa benang-benang ramping, lemas,
agak mengkilat, panjang 10 cm sampai 25 cm, garis tengah lebih kurang 0,4 mm. Secara
mikroskopik, pada penampang melintang tampak epidermis bentuk segi empat, dengan
rambut penutup terdiri dari beberapa sel, parenkim terdiri dari beberapa sel berdinding tipis,
terdapat berkas pembuluh dengan tipe kolateral. Serbuk berwarna coklat muda. Fragmen
pengenal adalah parenkim. Rambut penutup terdiri dari beberapa lapis sel berkas pembuluh
dan serbuk sari (Ditjen POM, 1995).
1.6.4 Kandungan Kimia
Sifat khas agak manis. Biji jagung mengandung alkaloid, flavonoid dan polifenol. Bunga
mengandung Stigmasterol. Rambut jagung mengandung saponin, zat samak, flavon,
minyak atsiri, minyak lemak, alantoin, dan zat pahit. Rambut jagung juga mengandung
maysin, beta-karoten, beta-sitosterol, geraniol, hordenin, limonen, mentol, dan viteksin.
(Rahmayani, 2007).
1.6.5 Penggunaan Tradisional dan Aktivitas Farmakologi
Zea mays pada umumnya digunakan pada penyakit Batu empedu, Batu ginjal, Busung air
pada radang ginjal, Busung perut, Hepatitis, Kencing manis, Radang kandung empedu,
Sirosis, dan Tekanan darah tinggi.
Bagian daun dari tanaman jagung digunakan untuk radang ginjal, batu empedu, batu ginjal,
nyeri jantung, dan abortif. Biji tanaman jagung berkhasiat untuk memperbanyak air susu
ibu, obat batu ginjal, obat demam nifas, obat jantung dan peluruh air seni. Infus tongkol
26
jagung mempunyai daya diuretis serta dapat menyembuhkan pendarahan hidung. Rambut
jagung digunakan sebagai diuretik dan antihipertensi (Rahmayani, 2007).