Upload
atikacaesarini
View
26
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PSA neuro
Citation preview
.BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi fisiologi otak
Susunan saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan medulla spinalis yang
merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktivitas tubuh. Otak banyak
membutuhkan nutrient terutama glukosa dan oksigen dengan demikian otak
membutuhkan aliran darah yang cukup, namun harus dilindungi dari senyawa-
senyawa yang membahayakan dalam darah yang dapat mengganggu fungsi otak
yang sangat kompleks. Pelindung dan pendukung otak meliputi:
a. Tulang tengkorak
b. Selaput otak (meningen)
Gambar 2.1 Meningen
Selaput yang menyelimuti otak berfungsi sebagai proteksi bagi otak saat terjadi
benturan. Selaput otak akan menahan dan mencegah kontak antara otak dengan
tulang. Selaput otak adalah selaput yang membatasi antara otak dan tengkorak
yang terdiri dari:
Duramater (paling luar)
Duramater kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur lapisan terluar
dari selaput otak dan terdiri dari dua lapisan fibrosa, yaitu lapisan terluar
(periostal) dan lapisan dalam (meningeal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana keduanya
berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus dan di tempat dimana
lapisan dalam membentuk sekat diantara bagian-bagian otak. Duramater
lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh darah fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri. Lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat
yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum crania. Diantara
kedua hemisfer terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat
pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan
tentorium cerebella yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars
superior cavum crania sedemikian rupa sehingga masing-masing hemisfer
aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebella terbentang seperti tenda
yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa crania posterior. Tentorium
melekat di sepanjang sulcus transverses os occipitalis dan pinggir atas os
petrosus dan processus clinoideus. Di sebelahnya ia meninggalkan lobus
besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-
saluran vena besar dan sinus dura mater terbenam dalam dua lamina dura.
Arakhnoid
Membrane arakhnoid melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor serebrospinalis,
cavum subarachnoidalis, dan dihubungkan ke piamater oleh trabekular dan
septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi sistem
rongga-rongga yang saling berhubungan. Cavum subarachnoid adalah
rongga diantara arachnoid dan piamater yang secara relatif sempit dan
terletak diatas permukaan hemisfer cerebrum. Namun rongga tersebut
semakin bertambah lebar di daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini
disebut cistern arachnoidea.
Piamater (paling dalam)
Piamater adalah lapisan yang melekat langsung pada permukaan otak.
Piamater berfungsi sebagai lantai untuk mendukung pembuluh darah besar
otak karena bercabang diatas permukaan otak, memberikan aliran darah
untuk memenuhi kebutuhan darah pada daerah superficial korteks. Suplai
darah yang luas sangat penting karena otak membutuhkan pasokan konstan
nutrisi terutama glukosa dan oksigen.
Gambar 2.2 Lapisan meningen
c. Cairan serebrospinal
d. Penghalang darah-otak (blood brain barrier)
2.2 Definisi perdarahan subarachnoid (PSA)
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi didalam ruang
subaraknoid disekeliling permukaan otak, yaitu ruang antara selaput araknoid dan
piameter. Perdarahan subaraknoid merupakan salah satu etiologi dari stroke
hemoragik. Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-
tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau
global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.
2.2.1 Klasifikasi stroke
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan kelainan patologis
a. Stroke hemoragik
1) Perdarahan intra serebral
2) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)
b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
1) Stroke akibat trombosis serebri
2) Emboli serebri
3) Hipoperfusi sistemik
2. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke
4) Completed stroke
2.3 Epidemiologi PSA
Kejadian perdarahan subaraknoid berkisar antara 21.000 hingga 33.000
orang per tahun di Amerika Serikat. Studi yang multi nasional yang dilakukan
oleh WHO menunjukkan bahwa insiden perdafahan subaraknoid bervariasi di tiap
negara. Insiden PSA meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kejadian PSA
seringkali terjadi pada rentan usia 40-45 tahun, akan tetapi PSA juga bisa terjadi
pada anak-anak dan lanjut usia. Bila ditinjau dari jenis kelamin PSA 1,6 kali lebih
sering terjadi pada wanita. Berbagai studi menduga bahwa perbedaan jenis
kelamin teekait dengan perbedaan status hormonal. Angka mortalitas PSA 10%
meninggal sebelum mendapatkan perawatan di rumah sakit. Bahkan beberapa
studi menunjukkan bahwa 25% penderita PSA meninggal dalam 24 jam pertama.
2.4 Etiologi PSA
Perdarahan subarachnoid merupakan temuan yang sering pada trauma
kepala akibat dari robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex dimana
terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak atau pada sedikit kasus akibat
rupturnya pembuluh darah serebral major. Pasien yang mampu bertahan dari
perdarahan subarachnoid kadang mengalami adhesi arakhnoid, obstruksi cairan
serebrospinalis, dan hidrosephalus.
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah
aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa
(sekitar 5-10%).
Gambar 2.3 Predileksi aneurisma
Aneurisma sakuler biasanya terbentuk di titik-titik percabangan arteri,
tempat terdapatnya tekanan pulsasi maksimal. Risiko pecahnya aneurisma
tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding aneurisma. Aneurisma
dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai
risiko pecah terendah; risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi
serebral posterior dan akan meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma.
Malformasi arteriovenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau
lebih fi stula. Daerah tersebut tidak mempunyai tipe kapiler spesifik yang
merupakan celah antara arteriola dan venula, mempunyai dinding lebih tipis
dibandingkan dinding kapiler normal. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu
kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat trombosis sinus,
trauma, atau kraniotomi.
Etiologi perdarahan subaraknoidEtiologi perdarahan subaraknoidTrauma dan cedera iatrogenik selama pembedahanAneurisma serebral dan malformasi arteriovenosaPerdarahan perimesensefalik dan perluasan perdarahan intraserebralVaskulitis Penyebab hematologik (DIC, hemofi lia, purpura, trombotik trombositopenik)Tumor susunan saraf pusat Diseksi arteriaTabel 2.1 Etiologi perdarahan subaraknoid
Gambar 2.4 Aneurisma
2.5 Faktor Risiko PSA
Faktor risiko di Ameika, Jepang, Belanda, Finlandia, dan Portugal adalah
hipertensi, merokok, dan alkohol. Obat-obatan simpatomimetik seperti kokain dan
phenylpropanolamin juga merupakan faktor risiko PSA. Beberapa sindrom
genetik juga ikut berperan sebagai faktor risiko, contohnya autosomal dominan
policystic kidney disease dan sindroma Ehlers Danlos type IV. Adanya riwayat
aneurisma intrakranial sebelumnya, juga berisiko terjadinya aneurisma ulang.
Bisa Dimodifikasi Tidak Bisa DimodifikasiHipertensiPerokok (masih atau riwayat)Konsumsi alkoholTingkat pendidikan rendahBody mass index rendahKonsumsi kokain dan narkoba jenis lainnyaBekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam sebelum onset
Riwayat pernah menderita perdarahan subaraknoid Riwayat keluarga perdarahan subaraknoid atau aneurismaPenderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau penyakit jaringan ikat (sindrom Ehlers-Danlos, sindrom Marfan dan pseudoxanthoma elasticum)
Tabel 2.2 Faktor resiko PSA
2.6 Manifestasi Klinis PSA
a) Ciri khas dari kasus PSA adalah keluhan nyeri kepala mendadak (akut)
yang hebat (tundhercalp) (70-80%), pasien disertai pusing (10%), nyeri
orbita (7%), diplopia (4%), pandangan kabur (4%).
b) Kaku kuduk, fotofobi dengan nyeri pinggang bawah sebagai gejala dari
rangsangan meningeal dan mual, muntah karena peningkatan intrakranial.
c) Paresis nervi kranial, seperti okulomotorius, abdusen.
d) Dalam pemeriksaan funduskopi didapatkan perdarahan subhialoid retina
dan kemungkinan edema papil.
e) Beberapa hari atau minggu sebelum aneurisma pecah, 10-50% penderita
mengalami sentinel hemorrage yang ditandai nyeri kepala berat mendadak
dengan intensitas maksimal dalam hitungan detik dalam beberapa minggu,
keluhan ini menyebabkan penderita tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari, kondisi ini sering mengalami kesalahan diagnosis dengan
kasus migrain, tension headace, atau nyeri kepala ringan. Sentinel
hemorrage kejadiannya lebih cepat daripada migrain dan berlangsung
lebih lama.
f) Faktor pencetus ditemukan kerja fisik berat, ketegangan emosinal,
mengedan, berhubungan seksual dan trauma, sedangkan 30-40% sisanya
terjadi waktu istirahat.
2.6.1 Parameter klinis
Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi keluaran (outcome) dapat
dijadikan panduan intervensi maupun untuk menjelaskan prognosis, misalnya
skala Hunt dan Hess, skala ini mudah dan paling banyak digunakan dalam praktek
klinis. Nilai tinggi pada skala Hunt dan Hess merupakan indikasi perburukan
luaran. Skala ini juga mempunyai beberapa keterbatasan, seperti beberapa
gambaran klinis teridentifikasi samar, sehingga sulit menentukan nilai gradasi,
dan tidak mempertimbangkan kondisi komorbiditas pasien.
Tabel 2.3 Skala Hunt and Hess
2.7 Pemeriksaan Penunjang PSA
a) Pencitraan
Pemeriksaan computed tomography (CT) non kontras adalah pilihan utama
karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan
lebih akurat, sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam
pertama setelah serangan,tetapi akan turun 50% pada 1 minggu setelah
serangan. Dengan demikian, pemeriksaan CT scan harus dilakukan
sesegera mungkin. Dibandingkan dengan magnetic resonance imaging
Skala Gambaran klinis0 UnrupturedI Nyeri kepala minimal atau asimtomatik, kaku
kuduk ringa
II Nyeri kepala sedang/berat, kaku kuduk, tidak ada defi sit neurologis, kecuali parese nervi kraniales
III Mengantuk, bingung, defisit neurologis fokal sedang
IV Stupor, hemiparesis sedang/ berat, mungkin terjadi rigiditas deserebrasi dini
V Koma dalam, rigiditas deserebrasi, munculnya tanda-tandaend state
(MRI), CT scan unggul karena biayanya lebih murah, aksesnya lebih
mudah, dan interpretasinya lebih mudah. PSA dapat diidentifikasikan pada
CT scan sebagai jaringan dengan densitas tinggi menggantikan cairan
serebrospinal di hemisfer atau fisura sylvii, sulcus cerebral, atau sisterna
basalis.
Gambar 2.5 PSA
Skala Fisher digunakan untuk mengklasifi kasikan perdarahan
subaraknoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT
scala, penilaian ini hanya berdasarkan gambaran radiologik. Pasien dengan
skor Skala Fisher 3 atau 4 mempunyai risiko luaran klinis yang lebih
buruk.Skala ini sangat dipengaruhi oleh variabilitas inter-rater serta
kurang mempertimbangkan keseluruhan kondisi klinis pasien
Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan pemeriksaan CT scankepala
1 Tidak terdeteksi adanya darah2 Deposit darah difus atau lapisan vertikal terdapat
darah ukuran <1 mm, tidak ada jendalan
3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertikalterdapat darah tebal dengan ukuran >1 mm
4 Terdapat jendalan pada intraserebral atauintraventrikuler secara difus atau tidak adadarah
Tabel 2.4 Skor Fisher
b) Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi
lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subaraknoid adalah adanya
eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan/ atau xantokromia.
Jumlah eritrosit meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL
akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL.16 Xantokromia adalah
warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit,
terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal.
c) Angiografi
Digital-subtraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk
deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan
karena non invasif serta sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi.17
Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena
sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang
negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua
tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak.
Gambar 2.6 Angiografi
2.8 Penatalaksanaan PSA
Pada prinsipnya tujuan utama terapi pada stroke adalah :
1. mencegah kerusakanb otak yang bersifat irreversible
2. mencegah komplikasi
3. mencegah kecacatan yang lebih berat
4. mencegah serangan yang lebih berat.
a) Manajemen umum
Tujuan manajemen umum yang pertama adalah identifikasi sumber
pendarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan
atau tindakan intravaskuler lain. Kedua adalah manajemen komplikasi.
Langkah pertama, konsultasi dengan dokter spesialis bedah saraf
merupakan hal yang sangat penting untuk tindakan lebih lanjut pada
aneurisma intrakranial. Pasien perdarahan subaraknoid harus dirawat di
Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi hemodinamiknya.
Idealnya, pasien tersebut dikelola di Neurology Critical Care Unit yang
secara signifi kan akan memperbaiki luaran klinis. Jalan napas harus
dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous pressure
dan pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri,
harus terus dilakukan. Untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial,
manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan; dapat
diberikan analgesik dan pasien harus istirahat total. Setelah itu, tujuan
utama manajemen adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan
pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan
neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan,
jika perlu, diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan
nikardipin. Setelah aneurisma dapat diamankan, sebetulnya hipertensi
tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan berapa
nilai amannya. Analgesik sering kali diperlukan; obat-obat narkotika
dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua faktor penting yang
dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia;
karena itu, keduanya harus segera dikoreksi. Profi laksis terhadap
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera
dengan peralatan kompresif sekuensial; heparin subkutan dapat diberikan
setelah dilakukan penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel
blocker dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan
nimodipin oral.
b) Manajemen khusus aneurisma
Terdapat dua pilihan terapi utama untuk mengamankan aneurisma yang
ruptur, yaitu microsurgical clipping dan endovascular coiling;
microsurgical clipping lebih disukai.
Gambar 2.7 Clipping aneurisma
Bukti klinis mendukung bahwa pada pasien yang menjalani pembedahan
segera, risiko kembalinya perdarahan lebih rendah, dan cenderung jauh
lebih baik daripada pasien yang dioperasi lebih lambat. Pengamanan
aneurisma yang ruptur juga akan memfasilitasi manajemen komplikasi
selama vasospasme serebral. Meskipun banyak ahli bedah neurovaskular
menggunakan hipotermia ringan selama microsurgical clipping terhadap
aneurisma, cara tersebut belum terbukti bermanfaat pada pasien
perdarahan subaraknoid derajat rendah.29 International Subarachnoid
Aneurysm Trial (ISAT) secara prospektif mengevaluasi beberapa pasien
aneurisma yang dianggap cocok untuk menjalani endovascular coiling
atau microsurgical clipping. Untuk beberapa kelompok pasien tertentu,
hasil baik (bebas cacat selama 1 tahun) secara signifi kan lebih sering
pada kelompok endovascular coiling daripada surgical placement of
clips. Risiko terjadinya epilepsi lebih rendah pada pasienpasien yang
menjalani endovascular coiling, akan tetapi risiko kembalinya perdarahan
lebih tinggi. Selanjutnya pada pasien yang di-follow-up dengan
pemeriksaan angiografi serebral, tingkat terjadinya oklusi komplit
aneurisma lebih tinggi daripada surgical clipping.
Gambar 2.8 Coilling aneurisma
c) Manajemen komplikasi
Vasospasme
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering
pada perdarahan subaraknoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat
berupa perubahan status mental, defisit neorologis fokal; jarang terjadi
sebelum hari 3, puncaknya pada hari ke 6-8, dan jarang setelah hari ke-
17. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan
dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal, biasanya terletak di dekat
aneurisma yang pecah, dan lesi multipel luas yang sering tidak
berhubungan dengan tempat aneurisma yang pecah. Mekanisme
vasospasme pada perdarahan subaraknoid belum diketahui pasti;
diduga oksihemoglobin memberikan kontribusi terhadap terjadinya
vasospasme yang dapat memperlambat perbaikan defi sit neurologis.
Oksihemoglobin terbentuk akibat proses lisis bekuan darah yang
terbentuk di ruang subaraknoid. Mekanisme efek vasospasmenya
belum diketahui pasti, diduga melalui kemampuannya untuk menekan
aktivitas saluran kalium, meningkatkan masuknya kalsium,
meningkatkan aktivitas protein kinase C, dan juga Rho kinase.
Sebelum terjadi vasospasme, pasien dapat diberi profi laksis nimodipin
dalam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan, dengan dosis 60 mg setiap
4 jam per oral atau melalui tabung nasogastrik selama 21 hari.
Metaanalisis menunjukkan penurunan signifi kan kejadian vasospasme
yang berhubungan dengan kematian pada pemberiannimodipin profi
laksis. Nimodipin adalah suatu calcium channel blocker yang harus
diberikan secepatnya dalam waktu 4 hari setelah diagnosis ditegakkan.
Pemberian secara intravena dengan dosis awal 5 mL/jam (ekuivalen
dengan 1 mg mimodipin/ jam) selama 2 jam pertama atau kira-kira 15
mg/kg BB/jam. Bila tekanan darah tidakturun dosis dapat dinaikkan
menjadi 10 mL/jam intravena, diteruskan hingga 7-10 hari. Dianjurkan
menggunakan syringe pump agar dosis lebih akurat dan sebaiknya
dibarengi dengan pemberian cairan penyerta secara three way stopcock
dengan perbandingan volume 1: 4 untuk mencegah pengkristalan.
Karena nimodipin merupakan produk yang sensitif terhadap cahaya,
selang infus harus diganti setiap 24 jam. Pemberian secara infus dapat
dilanjutkan dengan pemberian nimodipin tablet per oral. Penambahan
simvastatin sebelum atau setelah perdarahan subaraknoid juga terbukti
potensial mengurangi vasospasme serebral. Terapi antiplatelet dapat
berperan mengurangi iskemia serebral tertunda, meskipun perlu
penelitian prospektif lebih lanjut untuk menilai keselamatan dan efek
samping.
Perdarahan ulang
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%; 4% dalam 24 jam
pertama, selanjutnya 1% hingga 2% per hari dalam kurun waktu 4
minggu. Adanya perbaikan aneurisma dan pemberian terapi primer
secara signifikan mengurangi risiko perdarahan ulang. Untuk
mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan
aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati.
Hidrosefalus
Jika pasien perdarahan subaraknoid menderitadeteriorasi mental akut,
harus dilakukan pemeriksaan ulang CT scan kepala untuk mencari
penyebabnya, dan penyebab yang paling sering adalah hidrosefalus.
Volume darah pada pemeriksaan CT scan dapat sebagai prediktor
terjadinya hidrosefalus. Kurang lebih sepertiga pasien yang didiagnosis
perdarahan subaraknoid karena aneurisma memerlukan drainase
ventrikuler eksternal sementara atau dengan ventricular shunt
permanen. Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat
meningkatkan risiko perdarahan ulang dan vasospasme serebral.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko shunt-dependent
hydrocephalus adalah usia lanjut, perempuan, skor Hunt dan Hess
rendah, volume perdarahan subaraknoid cukup banyak berdasarkan CT
scan saat pasien masuk, adanya perdarahanm intraventrikuler,
pemeriksaan radiologic mendapatkan hidrosefalus saat pasien masuk,
lokasi pecahnya aneurisma di sirkulasi posterior distal, vasospasme
klinis, dan terapi endovaskuler.
Hiponatremia
Kejadian hiponatremia pada pasien perdarahan subaraknoid berkisar
antara 30% hingga 35%. Hal ini berhubungan dengan terbuangnya
garam di otak dan tindakan pemberian cairan pengganti serta sering
didapatkan pada vasospasme serebral. Suatu penelitian melaporkan
bahwa kejadian hiponatremia terutama disebabkan oleh syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) yang
didapatkan pada 69% kasus atau hiponatremia hipovolemik pada 21%
kasus.
Hiperglikemia
Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien perdarahan subaraknoid,
boleh jadi berhubungan dengan respons stres. Insulin diberikan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah tetap aman dalam kisaran 90-
126 mg/dL.45 Terapi insulin intensif dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Pemantauan kadar glukosa darah intensif pada pasien
dengan terapi insulin juga harus dilakukan.
Epilepsi
Kejadian epilepsi ditemukan pada sekitar 7% hingga 35% pasien
perdarahan subaraknoid. Bangkitan pada fase awal perdarahan
subaraknoid dapat menyebabkan perdarahan ulang, walaupun belum
terbukti menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. The American
Heart Association merekomendasikan pemberian rutin profi laksis
bangkitan untuk semua pasien perdarahan subaraknoid. Namun, ada
laporan bahwa fenitoin profi laksis berhubungan dengan perburukan
luaran neurologis dan kognitif. Dengan demikian, pemberian obat
antiepilepsi harus hati-hati dan lebih tepat diberikan pada pasien yang
mendapat serangan di rumah sakit atau pada pasien yang mengalami
serangan onset lambat epilepsi setelah pulang dari rumah sakit.
Komplikasi lain
Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia, sepsis,
aritmia kardial dan peningkatan kadar enzim-enzim jantung. Kepala
pasien harus dipertahankan pada posisi 30 derajat di tempat tidur, dan
segera diberi terapi antibiotik adekuat jika dijumpai pneumonia
bakterial. Profilaksis dengan kompresi pneumatik harus dilakukan
untuk mengurangi risiko Deep Vein Thrombosis (DVT) dan emboli
pulmonum. Antikoagulan merupakan kontraindikasi pada fase akut
pendarahan.
2.9 Prognosis PSA
Sistem Ogilvy dan Carter menggabungkan data klinis, demografi dan
radiologik, serta mudah digunakan dan komprehensif untuk menentukan
prognosis pasien yang mendapatkan intervensi bedah.
Skor Keterangan1 Nilai Hunt dan Hess > III1 Skala skor Fisher > 21 Ukuran aneurisma > 10 mm1 Usia pasien > 50 tahun1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran
besar ≥ 25 mmTabel 2.3 Sistem Ogilvy dan Carter
Sistem evaluasi terkini adalah dengan menggabungkan Skala Hunt dan
Hess dengan skor Skala Fisher; penggabungan ini mempunyai rentang nilai lebih
luas sehingga bisa memengaruhi luaran klinis. Nilai 0 dan 1 mempunyai prognosis
baik atau sangat baik pada kurang lebih 95% pasien. Sementara itu, jika nilainya
lebih dari 1, secara signifikan mempunyai prognosis buruk; kematian kurang lebih
10% pada nilai 2, dan 30% pada nilai 3 serta 50% pada nilai 4. Pasien dengan
nilai 5 tidak dapat dioperasi.