38
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian 2.1.1 Stratigrafi Regional Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari tiga unit vulkanik utama yang berumur Miosen-Pliosen (Marcoux & Milesi, 1994). Unit yang lebih bawah mempunyai karakteristik endapan andesit kalk-alkalin bawah laut yang tergadrasi secara lateral menjadi endapan epiklastik. Unit tengah dicirikan oleh banyaknya batuan vulkanik dasitik letusan subaerial yang disusun oleh lapili tuf yang ditumpangi lapili, blok tuf, tuf piroklastik berbutir halus dan batuan epiklastik. Unit atas terbentuk dari aliran lava andesit dengan struktur meniang (columnar). Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Pongkor (Marcoux & Milesi, 1994)

Bab 2 TA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Baji, ground support, viability index method

Citation preview

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian

    2.1.1 Stratigrafi Regional

    Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari tiga unit vulkanik utama yang

    berumur Miosen-Pliosen (Marcoux & Milesi, 1994). Unit yang lebih bawah

    mempunyai karakteristik endapan andesit kalk-alkalin bawah laut yang

    tergadrasi secara lateral menjadi endapan epiklastik. Unit tengah dicirikan

    oleh banyaknya batuan vulkanik dasitik letusan subaerial yang disusun oleh

    lapili tuf yang ditumpangi lapili, blok tuf, tuf piroklastik berbutir halus dan

    batuan epiklastik. Unit atas terbentuk dari aliran lava andesit dengan struktur

    meniang (columnar).

    Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Pongkor (Marcoux & Milesi, 1994)

  • 6

    2.1.2 Struktur Geologi

    Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat

    dipengaruhi oleh tektonik kepulauan Indonesia yang merupakan titik

    pertemuan antara tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia yang relatif lebih diam,

    lempeng Samudra Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut dan lempeng

    Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara (Hamilton,1979).

    Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Hamilton,1979), subduksi lempeng

    Australia kebawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah

    menghasilkan pola penyebaran batuan volkanik Tersier di Pulau Jawa berarah

    barat-timur. Terbentuk juga cekungan tengah busur (intra-arc basin) dan

    cekungan belakang busur (back-arc basin) di Jawa Barat bagian Utara.

    Cekungan belakang busur ini secara progresif semakin berpindah ke arah

    utara sejalan dengan perpindahan jalur gunung api selama Tersier hingga

    Kuarter (Soeria-Atmadja, dkk.,1994).

    Dari hasil penelitian para pendahulu, struktur geologi yang

    berkembang di daerah penelitian mencakup dua pola utama, yaitu:

    1. Pola kisaran Timur Laut-Barat Daya meliputi Sesar Cikaniki, Sesar

    Cidurian, Sesar Cihalang dan Sesar Cisarua.

    2. Pola kisaran Barat Laut-Tenggara meliputi Sesar Gunung Singa, Sesar

    Telukwaru, Sesar Curugbitung, Sesar Ciguha, Sesar Ciurug dan Sesar

    Pasir Pogor

    Selain kedua pola sesar utama, terdapat sesar berarah utara selatan

    yang terbentuk setelah kedua sesar utama tersebut dan berkaitan dengan urat

    Pasir Jawa. Pola penyebaran kekar memperlihatkan arah umum sejajar

    dengan penyebaran urat dan bidang perlapisan batuan yang umumnya terisi

    kuarsa, lempung mangan oksida, pirit dan limonit.

  • 7

    2.2 Alterasi Daerah Penelitian

    Alterasi merupakan perubahan komposisi mineral dari suatu batuan karena

    proses fisika atau kimia, khususnya oleh interaksi dari larutan hydrotermal dengan

    batuan yang dilaluinya. Bila batuan induk (dalam bentuk rekahan, retakan atau

    pori) dilalui fluida panas yang berasal dari magma maupun dari larutan

    hydrotermal, maka keadaan keduanya menjadi tidak stabil. Untuk mencapai titik

    keseimbangan equilibrium condition maka akan terjadi suatu reaksi dari

    keduanya dan menghasilkan suatu bentukan kondisi yang baru yang ditamdai

    dengan munculnya kumpulan mineral baru yang memiliki sifat yang berbeda dari

    batuan induk maupun dari larutan asalnya.

    Ubahan bisa diakibatkan oleh proses dekomposisi kimia, pelapukan atau

    penambahan elemen baru. Intensitas ubahan tergantung pada komposisi

    batuan/mineral asal, lingkungan geologi dan larutan/fluida yang mengubahnya.

    2.2.1 Jenis-jenis Alterasi

    Telah diketahui bahwa cebakan bijih tambang emas Pongkor

    merupakan endapan epitermal sulfida rendah dengan tipe urat kuarsa-

    karbonat-adularia, suhu pembentukan urat ini berkisar antara 180-220C. Tipe

    alterasi pada daerah penelitian ini adalah potasik, argilik, propilit dan serisit

    berdasarkan mineral penciri yang ditemukan menjadi isian (filling) pada

    bidang-bidang diskontinu. Tipe alterasi berdasarkan asosiasi mineralnya

    (Corbett dan Leach, 1993) :

  • 8

    Tabel 2.1 Alteration based on Mineral Assemblages (Corbett dan Leach, 1993)

    Tipe Mineral penciri Mineral Aksesori Keterangan

    Propilitik

    Klorit, Epidot dan

    Karbonat

    Albit, Kuarsa, Kalsit,

    Pirit, Ilit atau Lempung

    dan Oksida besi

    Temperatur 100-250C, salinitas

    beragam, pH mendekati netral,

    permeabilitas rendah.

    Argilik

    Smektit,

    Montmorilonit,

    Ilit-Smektit dan

    Kaolinit

    Pirit, Klorit, Kalsit dan

    Kuarsa

    Temperatur 200-300C, salinitas

    rendah, pH asam-netral

    Advanced

    Argillic

    (Temperatur

    rendah)

    Kaolinit, Alunit

    dan Kalsedon

    Kalsedon, Kristobalit,

    Kuarsa dan Pirit Temperatur < 180C, pH asam

    Advanced

    Argillic

    (Temperatur

    tinggi)

    Pirofilit, Diasfor

    dan Andalusit

    Kuarsa, Enargit,

    Turmalin dan Luzonit Temperatur 250-350C, pH asam

    Filik

    Kuarsa, Serisit

    dan Pirit

    Anhidrit, Pirit dan

    Kalsit

    Temperatur 230-400C, salinitas

    beragam, pH asam-netral, zona

    permeabilitas pada batas urat.

    Potasik Biotit, Kuarsa

    Klorit, Epidot, Pirit

    dan Ilit-Serisit

    Temperatur > 300C, salinitas tinggi,

    dekat dengan batuan intrusi

    Skarn

    Garnet, Piroksen,

    Amfibol, Epidot

    dan Magnetit

    Wolastonit, Klorit dan

    Biotit

    Temperatur 300-700C, salinitas

    tinggi, pada batuan samping karbonat

    2.3 Sifat-sifat Batuan

    Batuan adalah material kerak bumi yang tersusun dari satu atau lebih

    mineral yang terikat kuat, tanpa adanya ubahan yang berarti akibat adanya proses

    pelapukan, sehingga kemas dan sebagian besar mineral utama tetap ada (Hunt,

    1984). Pada dasarnya batuan memiliki dua sifat utama yaitu sifat fisik dan

    mekanik yang dapat ditentukan berdasarkan hasil pengujian laboratorium maupun

    lapangan.

    2.3.1 Sifat Fisik Batuan

    Sifat fisik batuan meliputi berat jenis, porositas, absorpsi, void ratio

  • 9

    a) Penimbangan Berat Percontoh

    Wn = berat percontoh asli/ natural (gram)

    Wo = berat percontoh kering (gram)

    Ww = berat percontoh jenuh (gram)

    Wa = berat percontoh jenuh+ berat air + berat bejana (gram)

    Wb = berat percontoh jenuh tergantung di dalam air + berat air

    + berat bejana (gram)

    Ws = berat percontoh jenuh di dalam air (Wa-Wb)

    Wo-Ws = volume percontoh tanpa pori-pori (cm)

    Ww-Ws = volume percontoh total (cm)

    b) Penentuan Sifat Fisik Batuan

    Berat isi asli (natural density), = Wn (gram/cm ).......................(1)

    Ww-Ws

    Berat isi kering (dry density), d = Wo (gram/cm ) ....................(2)

    Ww-Ws

    Berat isi jenuh (saturated density), s = Ws (gram/cm ) .............(3)

    Ww-Ws

    Specific gravity, GS = Wo

    Wo-Ws (gram/cm ) ..................................(4)

    Berat isi air

  • 10

    Kadar air (water content), W = Wn-Wo x 100% (%)..................(5)

    Wo

    Derajat kejenuhan, SR = Wn-Wo x 100% (%)..........................(6)

    Ww-Wo

    Porositas, n = Wn-Wo x 100% (%)..........................................(7)

    Ww-Ws

    Void ratio, e = n ...................................................................(8)

    1-n

    2.3.2 Sifat Mekanik Batuan

    Sifat mekanik meliputi kuat tekan, kuat tarik, modulus elastisitas,

    poisson ratio, sudut geser dalam, kohesi dan kuat geser.

    a) Kuat tekan (Compressive Strength)

    Bisa juga didapat dari pengujian uniaxial, triaxial atau biaxial.

    Pengujian Kuat Tekan (Uniaxial Compressive Strength) ini

    menggunakan mesin tekan untuk menekan percontoh batu yang

    berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah (uniaxial).

    Gambar 2.2 3D Lingkaran Mohr yang mempresentasikan berbagai kondisi tegangan

    (Sadisun, 2008)

  • 11

    Perbandingan antara tinggi dan diameter percontoh (l/D)

    mempengaruhi nilai kuat tekan batuan. Syarat menggunakan UCS

    adalah bahwa = 0. Pada uji kuat tekan uniaksial terdapat tipe pecah

    suatu contoh batuan pada saat runtuh. Tipe pecah contoh batuan

    bergantung pada tingkat ketahanan contoh batuan dan kualitas

    permukaan contoh batuan yang bersentuhan langsung dengan

    permukaan alat penekan saat pembebanan.

    b) Modulus Elastisitas

    Untuk kebanyakan batuan, kurva tegangan-regangan uniaksial

    sebelum mengalami keruntuhan umumnya mendekati bentuk linear

    (=E). E dikenal sebagai modulus elastisitas (modulus Young) yang

    mencerminkan kapasitas deformasi batuan atau kekakuannya

    (stiffness).

    c) Nisbah Poisson

    Merupakan rasio antara regangan lateral (radial/tranversal) dan

    vertikal (aksial).

    d) Kuat Tarik (tensile strength)

    Ada dua metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui

    kuat tarik contoh batuan di laboratorium, yaitu metode kuat tarik

    langsung dan metode kuat tarik tak langsung. Metode kuat tarik tak

    langsung merupakan uji yang paling sering digunakan. Hal ini

    disebabkan uji ini lebih mudah dan murah daripada uji kuat tarik

    langsung. Salah satu uji kuat tarik tak langsung adalah Brazilian test.

    e) Kuat Geser (Direct shear)

    Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat geser batuan,

    harga kohesi dan sudut geser dalam baik puncak (peak), apperent atau

  • 12

    sisa dari batuan pada tegangan normal tertentu dengan memakai alat

    direct shear box apparatur test.

    2.3.3 Keruntuhan Batuan

    Keruntuhan adalah suatu proses dimana material berubah dari satu

    perilaku menjadi kondisi perilaku yang lainnya. Kriteria keruntuhan

    merupakan hubungan tegangan dan regangan yang memberi sifat terjadinya

    keruntuhan batuan. Untuk membahas kriteria keruntuhan dikenal dua metode

    yaitu cara analitik dan cara empirik. Metode analitik meliputi; kriteria

    keruntuhan Mohr-Coulomb, kriteria keruntuhan Tresca, kriteria keruntuhan

    Drucker-Prager, kriteria keruntuhan Von Mises dan kriteria keruntuhan

    Griffith. Metode empirik meliputi; kriteria Bieniawski, kriteria

    Protodyakonov dan kriteria Hoek-Brown. Berikut akan dibahas kriteria

    keruntuhan berdasarkan Mohr-Coulomb dan Hoek-Brown.

    a) Mohr-Coulomb (MC)

    Dimana dan adalah shear dan normal stress. adalah

    koefisian geser dalam batuan = tan dan c kohesi. Teori Mohr

    menganggap bahwa untuk suatu keadaan tegangan > >

    (intermediate stress) tidak mempengaruhi keruntuhan batuan dan kuat

    tarik tidak sama dengan kuat tekan.

    Keruntuhan geser suatu batuan tergantung pada kohesi

    material dan besarnya tegangan normal yang bekerja pada dinding

    keruntuhan tersebut. Oleh karena itu kriteria Mohr-Coulomb dapat

    ditulis;

    = c +

  • 13

    Gambar 2.3 Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb (Sadisun, 2008)

    Keterangan gambar :

    r-r = bidang rupture

    t-t = Garis kuat geser Coulomb

    - diameter lingkaran Mohr

    Keruntuhan (failure) terjadi jika lingkaran Mohr menyinggung

    kurva intrisik dan lingkaran tersebut disebut lingkaran keruntuhan.

    Faktor keamanan ditentukan berdasarkan jarak dari titik pusat

    lingkaran Mohr ke garis kekuatan batuan (kurva intrisik) dibagi

    dengan jari-jari lingkaran Mohr. Faktor keamanan ini menyatakan

    perbandingan keadaan kekuatan batuan terhadap tegangan yang

    bekerja pada batuan tersebut.

    Teori ini didasarkan pada hipotesis bahwa tegangan normal

    dan tegangan geser yang bekerja pada permukaan rupture memainkan

    peran pada preses failure batuan. Untuk beberapa bidang rupture

  • 14

    dimana tegangan normal sama besarnya, maka bidang yang paling

    lemah adalah yang memiliki tegangan geser paling besar.

    b) Hoek-Brown strength

    Gambar 2.4 Hoek and Brown Failure Criterion (Sumber: Rock Mass

    Classification; B. Singh)

    Hoek-Brown (1980) mengusulkan sebuah metode untuk

    mendapatkan estimasi kekuatan batuan terkekarkan, berdasarkan

    penilaian atas ikatan antara blok batuan dan kondisi permukaan antara

    blok tersebut. Aplikasi metode ini pada atuan dengan kualitas sangat

    jelek memerlukan beberapa perubahan dan akhirnya menggunakan

    klasifikasi baru yaitu Geological Strength Index (Hoek, Kaiser and

    Bawden, 1995; Hoek, 1995; Hoek-Brown, 1997).

  • 15

    Tabel 2.2 Generalised Hoek-Brown Criteria (Sumber: Rock Mass Classification; B.

    Singh)

    2.3.4 Wedge Failure

    Longsoran Baji ialah tipe longsoran yang disebabkan karena

    perpotongan dua atau lebih bidang diskontinuitas sehingga membentuk

    bidang Baji. Biasanya berbentuk blocky maupun prisma. Terbentuk di atap

    maupun dinding terowongan.

  • 16

    Potensi bidang Baji yang terbentuk dapat terlihat dari kumpulan joint

    set yang telah dianalisis menggunakan pemograman khusus. Namun untuk

    memastikan keberadaan Baji tersebut ada baiknya dilakukan pengecekan

    lapangan.

    Gambar 2.5 Kenampakan Baji di X Cut 5 Tambang Gudang Handak L. 500

  • 17

    2.4 Bidang Diskontinuitas

    Secara umum bidang diskontinu merupakan bidang yang memisahkan

    massa batuan menjadi bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993) dalam

    Sitohang (2008), pengertian bidang diskontinu adalah setiap bidang lemah yang

    terjadi pada bagian yang memiliki kuat tarik paling lemah dalam batuan. Menurut

    Gabrielsen (1990) dalam Sitohang (2008), keterjadian bidang diskontinu tidak

    terlepas dari masalah perubahan stress (tegangan), strain (regangan), temperatur,

    mineralisasi dan rekristalisasi yang terjadi pada massa batuan dalam waktu

    panjang. Keberadaan struktur geologi dan diskontinuitas akan mengurangi tingkat

    kekuatan geser batuan dan implikasi utamanya adalah meningkatnya peluang

    terjadinya longsor. Dengan munculnya bidang lemah tersebut maka batuan yang

    tadinya utuh akan berubah menjadi massa batuan dengan kekuatan yang jauh

    lebih kecil dari sebelumnya. Beberapa jenis bidang diskontinu yang digolongkan

    berdasarkan ukuran dan komposisinya;

    a) Fault (patahan) adalah bidang diskontinu yang secara jelas

    memperlihatkan tanda-tanda pergerakan. Tanda-tanda tersebut

    diantaranya terdapat cermin sesar atau slicken slide pada permukaan

    batuan, adanya zona hancuran pada sekitar bidang maupun bentuk jejak

    seperti penanggaan.

    b) Joint (kekar) merupakan bidang diskontinu yang telah pecah namun tidak

    mengalami pergerakan yang berarti.

    c) Bedding (bidang perlapisan) terdapat pada permukaan bataun yang

    mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut

    serta perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan

    batuan sedimen.

    d) Fracture dan crack diartikan sebagai bidang diskontinu yang pecah tidak

    paralel atau pecahan yang terjadi saat pengujian batuan, peledakan dan

    untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan brittle.

  • 18

    2.5 Pendekatan Kestabilan Terowongan

    Terdapat tiga metode pendekatan yang dapat digunakan untuk desain lubang

    bukaan bawah tanah diantaranya metode empirik, metode analitik dan metode

    numerik.

    2.5.1 Metode Empirik

    a) RMR

    Klasifikasi geomekanika diusulkan oleh Bieniawski pada tahun

    1984. Dalam menggunakan klasifikasi geomekanika, massa batuan

    dibagi menjadi beberapa kelompok daerah yang didasarkan kesamaan

    sifat dan karakteristik. Di dalam klasifikasi ini, lima parameter dasar

    diukur secara langsung, meliputi :

    - Kuat tekan uniaksial material batuan (intact rock)

    - RQD (Rock quality designation)

    - Spasi diskontinuitas

    - Kondisi diskontinuitas

    - Kondisi air tanah

    Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi

    seksi-seksi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah.

    Batas-batas seksi umumnya struktur geologi mayor seperti patahan atau

    perubahan jenis batuan. Berikut ini penjelasan mengenai kelima

    parameter yang dipakai dalam sistem klasifikasi RMR ;

    - Uniaxial Compressive Strength (UCS)

    Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan

    utuh yang diperoleh dari hasil uji UCS menggunakan mesin tekan

    untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS

  • 19

    merupakan besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat

    batuan pecah.

    - RQD

    RQD adalah presentase yang menunjukan perbandingan antara inti

    batuan utuh yang memiliki panjang lebih dari 10 cm terhadap panjang

    total keseluruhan core. Bisa juga dengan perhitungan langsung

    melakukan pengukuran orientasi dan jarak antar diskontinu pada

    singkapan.

    Tabel 2.3 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere, 1967)

    RQD (100%) ROCK QUALITY

    < 25 Very Poor

    25-50 Poor

    50-75 Fair

    75-90 Good

    90-100 Excellent

    - Joint Spacing

    Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidang-bidang

    diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga) yang

    berurutan sepanjang garis pengukuran (scanline).

    - Joint Condition

    Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam

    memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter

    tersebut antara lain :

  • 20

    - Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu

    merupakan parameter yang penting untuk menentukan kondisi

    bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar dapat mencegah

    terjadi pergeseran antara dua permukaan bidang diskontinu.

    - Apertur merupakan lebar bukaan antar kedua permukaan bidang

    diskontinu yang biasanya diisi oleh material lainnya (filling

    material). Makin besar lebar bukaan maka semakin lemah bidang

    diskontinu tersebut.

    - Persistence merupakan kemenerusan dari sebuah bidang

    diskontinu.

    - Weathering menunjukan derajat kelapukan permukaan diskontinu.

    - Infilling (gouge) merupakan material pengisi antara dua permukaan

    bidang diskontinu. Stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi oleh

    ketebalan, menerus atau tidaknya dan sifat material pengisi

    tersebut. Filling yang tebal dan memiliki sifat mudah mengembang

    apabila terkena air akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi

    lemah.

    Gambar 2.6 Parameter bidang diskontinuitas (Hudson, 1989)

  • 21

    - Kondisi air tanah

    Debit air tanah akan mempengaruhi kekuatan massa batuan.

    Tabel 2.4 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut Bieniawski (1976)

    Kekasaran Permukaan

    Deskripsi Pembobotan

    Klasifikasi

    Sangat kasar

    (very rough)

    Apabila diraba permukaan sangat

    tidak rata, membentuk punggungan

    dengan sudut terhadap bidang datar

    mendekati vertikal,

    6

    Kasar (rough)

    Bergelombang, permukaan tidak rata,

    butiran pada permukaan terlihat jelas,

    permukaan kekar terasa kasar.

    5

    Sedikit kasar

    (slightly rough)

    Butiran permukaan terlihat jelas, dapat

    dibedakan, dan dapat dirasakan

    apabila diraba

    3

    Halus (smooth)

    Permukaan rata dan terasa halus bila

    diraba

    1

    Licin berlapis

    (slikensided)

    Permukaan terlihat mengkilap

    0

  • 22

    Tabel 2.5 Tingkat pelapukan batuan menurut Bieniawski, 1976 (Sumber: Rock

    Mass Classification; B. Singh)

    Pada Tabel RMR tersebut ditunjukkan bahwa parameter-

    parameter itu mempunyai rating tertentu. Rating yang lebih tinggi

    menunjukkan kondisi massa batuan yang lebih baik. Kondisi massa

    batuan dievaluasi untuk setiap set bidang diskontinu yang ada

    (Bieniawski,1989). Dengan menjumlahkan semua rating dari lima

    parameter pada bagian A Tabel, akan diperoleh nilai RMR dasar yang

    belum memperhitungkan orientasi bidang diskontinu.

    Pengaruh dari orientasi bidang diskontinu selanjutnya

    diperhitungkan berdasarkan bagian B. Tabel adjusment terhadap orientasi

    bidang diskontinu ini dipisahkan dalam perhitungan nilai RMR karena

    pengaruh dari bidang diskontinu tersebut tergantung pada aplikasi

    engineering-nya, seperti terowongan, lereng atau pondasi (Edelbro,

    2003). Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan

    Pelapukan Keterangan

    Tidak terlapukkan Tidak terlihat tanda-tanda pelapukan, batuan segar,

    butiran kristal terlihat jelas dan terang

    Sedikit terlapukkan Kekar terlihat berwarna atau kehitaman, biasanya terisi

    dengan lapisan tipis material pengisi. Tanda kehitaman

    biasanya akan nampak mulai dari permukaan sampai ke

    dalam batuan sejauh 20% dari spasi

    Terlapukkan

    Tanda kehitaman nampak pada permukaan batuan dan

    sebagian material batuan terdekomposisi.

    Sangat terlapukkan

    Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna atau

    kehitaman. Menyerupai tanah namun tekstur batuan

    masih utuh, namun butiran batuan telah terdekomposisi

    menjadi tanah

  • 23

    mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh sumbu

    dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau sejajar strike

    penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip atau berlawanan

    arah dengan dip dari bidang diskontinu. RMR dapat digunakan sebagai

    panduan memilih penyangga terowongan, seperti terlihat pada tabel.

    Panduan ini tergantung pada beberapa faktor seperti kedalaman lubang

    bukaan dari permukaan, ukuran dan bentuk terowongan serta metode

    penggalian yang dipakai (Bieniawski,1989)

    Tabel 2.6 Petunjuk penggalian dan penyanggaan (terowongan dengan span 10 m),

    Bieniawski,1989 (Sumber: Rock Mass Classification; B. Singh)

    RMC EXCAVATION Rock Bolts (20 mm

    diameter, fully grouted) Shotcrete Steelsets

    I Very good rock RMR: 81-100

    Full face, 3 m advance.

    II Good rockRMR: 61-80

    Full face , 1-1.5 m advance. Complete

    support 20 m from face.

    Locally, bolts in crown 3 m long, spaced 2.5 m with occasional wire

    mesh.

    50 mm in crown where required.

    None.

    III Fair rock RMR: 41-60

    Top heading and bench 1.5-3 m advance in top heading. Commence

    support after each blast. Complete support 10 m

    from face.

    Systematic bolts 4 m long, spaced 1.5 - 2 m in

    crown and walls with wire mesh in crown

    50-100 mm in crown and 30 mm in sides.

    None.

    IV Poor rock RMR: 21-40

    Top heading and bench 1.0-1.5 m advance in top heading. Install support

    concurrently with excavation, 10 m from

    face.

    Systematic bolts 4-5 m long, spaced 1-1.5 m in

    crown and walls with wire mesh.

    100-150 mm in crown and 100 mm in sides.

    Light to medium ribs spaced 1.5 m where required.

    V Very poor rock RMR: < 21

    Multiple drifts 0.5-1.5 m advance in top heading.

    Install support concurrently with excavation. Shotcrete

    as soon as possible after blasting.

    Systematic bolts 5-6 m long, spaced 1-1.5 m in

    crown and walls with wire mesh. Bolt invert.

    150-200 mm in crown, 150 mm in sides, and 50

    mm on face

    Medium to heavy ribs spaced 0.75

    m with steel lagging and forepoling if

    required. Close invert.

  • 24

    Tabel 2.7 Parameter klasifikasi RMR beserta ratingnya (Modifikasi Wickham et al, 1972)

  • 25

    Tabel 2.8 Desain Parameter & Engineering Properties of rock mass ( Bieniawski, 1979)

    Ratings

    100 81 80 61 60 41 40 21 < 20

    Class number

    I II III IV V

    Description Very good

    rock Good rock

    Moderate rock

    Poor rock Very poor rock

    Average stand-up time

    10 yrs for 15 m span

    6 months year for 8 m

    span

    1 week for 5 m span

    10 hrs for 2.5 m span

    30 min for 1 m span

    Cohesion of rock mass (kPa)

    > 0,4 0,3 0,4 0,2 0,3 0,1 0,2 < 0,1

    Friction angle of rock mass (deg)

    > 45 35 45 25 35 15 25 < 15

    b) Q-System

    Rock Mass Quality (Q)-System pertama kali diusulkan oleh Barton, Lien dan

    Lunde pada Athun 1974 di Norwegian Geotechnical Institute (NGI) sehingga

    disebut juga NGI Classification System. Merupakan fungsi dari enam

    parameter yang dinyatakan dengan persamaan berikut :

    Dengan,

    RQD = Rock Quality Designation

    Jn = Joint set number

    Jr = Joint roughness number

    Ja = Joint alteration number

    SRF

    Jx

    J

    Jx

    J

    RQDQ w

    a

    r

    n

  • 26

    Jw = Joint water reduction number

    SRF = Stress reduction fact

    Tabel 2.9 Parameter Q-system beserta ratingnya (Barton et al, 1974)

    - RQD

    RQD adalah persentase yang menunjukan perbandingan antara inti

    batuan utuh yang memiliki panjang lebih dari 10 cm terhadap panjang

    NGI Q-System Rating for Rock Masses (Barton, Lien, & Lunde, 1974)

    Norwegian Classif ication for Rock Masses

    Q - Value Quality of Rock Mass

    < 0.01 Exceptionally Poor 4. Discontinuity Condition & Infilling = Ja 0.01 to 0.1 Extremely Poor 4.1 Unfilled Cases

    0.1 to 1 Very Poor Healed 0.75

    1 to 4 Poor Stained, no alteration 1

    4 to 10 Fair Silty or Sandy Coating 3

    10 to 40 Good Clay coating 4

    40 to 100 Very Good 4.2 Filled Discontinuities

    100 to 400 Extremely Good Sand or crushed rock inf ill 4

    < 400 Exceptionally Good Stif f clay inf illing < 5 mm 6

    Sof t clay inf ill < 5 mm thick 8

    PARAMETERS FOR THE Q-Rating of Rock Masses Swelling clay < 5 mm 12

    Stif f clay inf ill > 5 mm thick 10

    1. RQD = Rock Quality Designation = sum of cored pieces Sof t clay inf ill > 5 mm thick 15

    > 100 mm long, divided by total core run length Swelling clay > 5 mm 20

    2. Number of Sets of Discontinuities (joint sets) = Jn 5. Water Conditions

    Massive 0.5 Dry 1

    One set 2 Medium Water Inf low 0.66

    Two sets 4 Large inf low in unf illed joints 0.5

    Three sets 9 Large inf low with f illed joints

    Four or more sets 15 that wash out 0.33

    Crushed rock 20 High transient f low 0.2 to 0.1

    High continuous f low 0.1 to 0.05

    3. Roughness of Discontinuities* = Jr

    Noncontinuous joints 4 6. Stress Reduction Factor** = SRF

    Rough, wavy 3 Loose rock with clay inf ill 10

    Smooth, wavy 2 Loose rock with open joints 5

    Rough, planar 1.5 Shallow rock with clay inf ill 2.5

    Smooth, planar 1 Rock with unf illed joints 1

    Slick and planar 0.5

    Filled discontinuities 1 **Note: Additional SRF values given

    *Note: add +1 if mean joint spacing > 3 m for rocks prone to bursting, squeezing

    and swelling by Barton et al. (1974)

    SRF

    J

    J

    J

    J

    RQDQ w

    a

    r

    n

  • 27

    total keseluruhan core (Deere, 1964). Priest dan Hudson (1976)

    memberikan hubungan antara nilai RQD dengan jarak antar bidang

    diskontinu yang ada di dalam massa batuan (Joint Spacing/Js) dengan

    persamaan sebagai berikut :

    Keterangan: Js = jarak antar diskontinu (m)

    = frekuensi diskontinu per meter

    Jarak antar diskontinu merupakan parameter penting dalam menilai

    struktur massa batuan. Semakin banyak kehadiran bidang diskontinu

    akan mengakibatkan berkurangnya kekuatan massa batuan.

    - Joint set (Jn)

    Didapat dari jumlah set joint yang muncul pada jarak pengukuran

    tertentu

    - Joint alteration (Ja)

    Merupakan derajat alterasi atau pengisian sepanjang kekar yang paling

    lemah

    - Joint roughness (Jr)

    Merupakan kondisi permukaan bidang rekahan (kekasaran).

    - Joint water (Jw)

    Kandungan air yang terdapat dalam batuan.

  • 28

    2.5.2 Metode Analitik

    Metode analitik dikembangkan berdasarkan model-model matematika

    dengan berbagai idealisasi.

    a) Analisis Kinematik

    Metode stereografi banyak digunakan untuk membantu

    mengidentifikasi arah tegasan dari semua data kekar yang nantinya akan

    dikelompokan menjadi famili berdasarkan kesamaan arah tegasannya.

    Gambar 2.7 Contoh sebaran arah tegasan diskontinu pada lokasi penelitian dengan

    menggunakan program Dips

    b) Ground Supporting

    Penyanggaan berfungsi untuk menyangga batuan yang berpotensi

    runtuh serta untuk menahan atau menghentikan perpindahan lubang

    bukaan. Tujuan dari pemasangan penyanggaan pada umumnya adalah

    untuk mempertahankan luas dan bentuk bidang penampang yang cukup

  • 29

    serta melindungi pekerja dari resiko tertimpa reruntuhan. Jenis

    penyanggaan dapat dikelompokan sebagai penyangga primer dan

    penyangga sakunder. Penyangga primer dipasang sesaat setelah penggalian

    untuk menjamin keselamatan kerja bagi penggalian selanjutnya.

    Penyangga sekunder dipasang pada tahap yang leih lanjut.

    Didasarkan pada proses pembebanan, jenis penyangga dapat dibagi

    menjadi dua yaitu penyangga pasif dan penyangga aktif. Penyangga aktif

    apabila penyangga langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang.

    Sedangkan penyangga pasif apabila penyangga tidak langsung

    mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Penyangga akan mendapatkan

    pembebanan setelah massa batuan terdeformasi.

    Pada tambang bawah tanah Gudang Handak L.500 rock bolt yang

    dipakai berjenis splitset dengan panjang 2,4 meter dan ultimate tensile

    stress (UTS) maksimal 5 ton.

    Gambar 2.8 Surface support Gudang Handak Mine L500; splitset and weld mesh

    splitset

    Weld mesh

  • 30

    2.6 Analisis UNWEDGE

    Bentuk dan ukuran dari potensi Baji dalam massa batuan dan sekitar

    bukaannya tergantung pada ukuran, bentuk dan orientasi bukaan (azimuth tunnel)

    serta pada orientasi joint set yang signifikan. Geometri tiga dimensi dari masalah

    pemodelan Baji memerlukan perhitungan yang efisien dengan memanfaatkan

    program komputer yang telah tersedia. Salah satu contoh dari program komputer

    tersebut adalah UNWEDGE yang dikembangkan khusus untuk digunakan dalam

    penambangan bawah tanah.

    Dengan mempertimbangkan massa batuan dimana terdapat beberapa

    kumpulan bidang diskontinu (joint set) akan menghasilkan kemungkinan

    kombinasi joint set yang berpotensi membentuk Baji. Data yang diperlukan ialah

    dip dan dip direction dari setiap joint set dalam satu lokasi domain.

    Gambar 2.9 Contoh input data pada UNWEDGE dengan hasil berupa lingkaran yang

    menunjukan tiga arah diskontinu pembentuk Baji. Data yang diperlukan berupa dip dan

    dip direction.

  • 31

    Diasumsikan bahwa semua bidang diskontinu adalah planar dan menerus,

    dan kekuatan geser (shear strength) pada permukaan bisa direpresentasikan

    dengan friction angle, dan kohesi = 0. Setelah data joint set yang didapat

    dari penggunaan DIPS dimasukan kemudian akan muncul kombinasi-kombinasi

    joint yang berpotensi membentuk Baji. Kombinasi joint yang berpotensi

    membentuk Baji dipilih berdasarkan required support pressure dengan FS < 1,

    dan hanya muncul pada roof saja.

    Gambar 2.10 Contoh Combination Analyzer pada UNWEDGE yang menunjukan

    kumpulan kombinasi dari tiga arah diskontinu yang berpotensi membentuk Baji.

    Terowongan di dalam tambang Gudang Handak memiliki bukaan (span)

    selebar 3,5 meter dengan tinggi 4 meter. Ukuran terowongan sangat berpengaruh

    terhadap potensi jatuhnya Baji serta teknik penyanggaan yang akan dipakai.

  • 32

    Gambar 2.11 Bukaan terowongan tambang bawah tanah Gudang Handak L.

    500, UBPE Pongkor PT. Antam (Persero) Tbk.

    Baji bisa terbentuk di atap, dinding maupun lantai terowongan. Disetiap

    tempat Baji yang terbentuk memiliki nilai faktor keamanan yang berbeda. Pada

    umumnya Baji yang tidak stabil terbentuk di atap dan dinding terowongan. Pada

    atap terowongan Baji berpotensi untuk jatuh akibat gaya grafitasi karena tidak ada

    bidang yang menahan bongkahan Baji tersebut. Pada dinding terowongan, Baji

    yang terbentuk berpotensi untuk sliding pada satu atau lebih joint akibat dari

    adanya joint-joint pada dinding terowongan sebagai bidang gelincir yang

    menghambat jatuhnya bongkahan Baji tersebut.

    Gambar 2.12 Contoh Baji yang terbentuk dari perpotongan 3 struktur

    beserta detail analisisnya (Tyler et al, 1991)

  • 33

    2.7 Pendekatan Metode Viability Index

    Diederichs et al dalam papernya; A Semi-Empirical Hazard Assessment

    Approach To Wedge Instability In Underground Mine Opening mengungkapkan

    bahwa Viability Index (Iv) adalah sebuah usaha untuk memprediksi

    kemungkinan potensi runtuhan baji yang lebih mendetail sehingga penyanggaan

    yang tadinya full-span demand (S) bisa lebih diefektifkan menjadi Effective Span

    (S*). Viability Index didapat dari akar hasil perkalian antara Occurence Index (Io)

    dengan Instability Index (Is).

    .......................................................................(1)

    Occurence index (Io) didapat dari mengkarakteristikan atau

    membandingkan potensi kemunculan baji yang didapat dari pemetaan bidang

    diskontinu secara mendetail serta hasil dari analisi pemograman UNWEDGE.

    Instability Index (Is) untuk mengkarakteristikan potensi baji yg runtuh akibat dari

    pertemuan struktur atau bidang diskontinu berdasarkan klasifikasi massa batuan

    (Q-System).

    ...........................................(2)

    ..........................................(3)

    Dimana;

    Io = Occurence Index

    FD = Joint Dominance Factor

    FL = Joint Length Factor

    FS = Joint Spacing Factor

  • 34

    I s = Instability Index

    FJ = Joint Factor based on Jr/Ja

    FG = Gravity Factor

    FC = Clamping Factor

    2.7.1 Parameter Viability Index

    Terdapat enam parameter yang mempengaruhi nilai Viability Index

    (Iv), yaitu:

    2.7.1.1 Joint Factor Dominance (FD)

    Merupakan nilai dari famili kekar yang paling sering muncul.

    Orientasi kekar yang memiliki nilai sama dikelompokan ke dalam setiap

    famili kemudian selanjutnya ditentukan nilai paling sering muncul, nilai

    tengah dan yang paling jarang muncul. Untuk keluarga kekar yang

    memiliki frekuensi kemunculan paling sering diberikan nilai 4, untuk

    keluarga kekar yang memiliki kemunculan rata-rata diberi nilai 2,5. Untuk

    keluarga kekar yang frekuensi kemunculannya di atas rata-rata namun di

    bawah yang paling sering diberi nilai 3 sedangkan untuk keluarga kekar

    yang memiliki frekuensi kemunculan dibawah rata-rata diberi nilai 1,5.

    Joint

    Dominance

    Most

    Dominant Dominant Intermediate Minor/Random

    (1 set only) Always present

    Frequently

    present

    Typically

    absent

    FD 4 3 2,5 1,5

  • 35

    2.7.1.2 Joint Length Factor (FL)

    Didapat dari kemenerusan bidang diskontinuitas (persistence).

    Untuk joint dengan panjang > 6 m diberi nilai 3. Joint dengan panjang 2-

    6 m diberi nilai 2,5, untuk panjang 2-0,8 m diberi nilai 2 dan untuk joint

    dengan panjang < 0,8 m diberi nilai 1.

    Joint Trace Lenght

    Shear, bedding

    >1.5 x span or Joint Trace

    Lenght

    0.5-1.5 x span or 1 end visible

    2-0.5 x span or 2 end visible

    6 2 - 6 2-0,8 < 0,8

    2.7.1.3 Joint Spacing Factor (FS)

    Merupakan jarak antara kekar yang memiliki arah orentasi sama

    (strike/dip 30).

    Joint Spacing 1.5 x span

    FS 3.3 3 2.5 2 1

    Untuk besar jarak antar joint (m)

    0,4 0,4 - 1 1 - 2 2 - 6 >6

    2.7.1.4 Joint Factor (FJ) atau Jr/Ja

    Joint factor menunjukan kekasaran dan karakteristik geser dari

    permukaan bidang diskontinu atau filling material dari bidang diskontinu

    tersebut. Suatu bidang diskontinu dengan permukaan kasar dan tidak

    mengalami alterasi serta mengalami kontak dengan permukaan bidang lain

    akan mempunyai kuat geser tinggi dan menguntungkan untuk kestabilan

    lubang bukaan. Nilai FJ berdasarkan Jr/Ja adalah sebagai berikut :

  • 36

    Jr/Ja < 0,1 0,1-0,3 0,3-0,6 0,6-1 1-1,5 1,5-2,5 2,5-4 >4

    FJ 10 9 8 7 6 5 4 3

    Tabel 2.10 Nilai Jr berdasarkan klasifikasi Q-System (Barton et al,1974)

    Description Value Notes

    a. Rock wall contact

    b. Rock wall contact before 10 cm shear

    1. Add 1.0 if the mean spacing of the relevant

    joint set is greater than 3

    m.

    2. Jr = 0.5 can be used for planar, slickensided

    joints having lineations,

    provided that the

    lineations are oriented

    for minimum strength.

    A Discontinuous joints 4

    B Rough and irregular,

    undulating 3

    C Smooth undulating 2

    D Slickensided undulating 1.5

    E Rough or irregular, planar 1.5

    F Smooth, planar 1.0

    G Slickensided, planar 0.5

    c. No rock wall contact when sheared

    H

    Zones containing clay

    minerals thick 1.0

    enough to prevent rock

    wall contact (nominal)

    J

    Sandy, gravely or crushed

    zone thick 1.0

    enough to prevent rock

    wall contact (nominal)

  • 37

    Tabel 2.11 Nilai Ja berdasarkan klasifikasi Q-System (Barton et al,1974)

    2.7.1.5 Gravity Factor (FG)

    Merupakan tipe keruntuhan baji yang didapat melalui pemograman

    UNWEDGE. Untuk Baji yang memiliki potensi jatuhan free falling

    Description Value r (deg)

    Notes (approx.)

    a. Rock wall contact Values of r, the residual

    friction

    A

    Tightly healed, hard, non-softening,

    0.75 angle, are intended as an

    impermeable filling approximate guide to the

    B Unaltered joint

    walls, surface staining only

    1.0 25 35 mineralogical properties

    of the

    C

    Slightly altered joint walls, non-softening

    2.0 25 30

    alteration products, if present.

    mineral coatings, sandy particles, clay-free

    disintegrated rock, etc.

    D

    Silty-, or sandy-clay coatings, small clay-

    3.0 20 25

    fraction (non-softening)

    E

    Softening or low-friction clay mineral coatings,

    4.0 8 16

    i.e. kaolinite, mica. Also chlorite, talc, gypsum

    and graphite etc., and small quantities of swelling

    clays. (Discontinuous coatings, 1 - 2 mm or less)

  • 38

    biasanya terbentuk di roof sedangkan untuk baji yang berpotensi sliding

    kebanyakan terbentuk di dinding. Untuk Baji yang memiliki potensi

    runtuhan akibat gravitasi (tidak ada bidang diskontinu yang menahan)

    diberi nilai 10, untuk Baji yang berpotensi jatuh dengan satu bidang

    diskontinu (bidang gelincir) tegak lurus (dip = 90) diberi nilai 9, untuk

    Baji yang berpotensi jatuh maupun tergelincir akibat adanya joint sebagai

    bidang gelincir dengan dip hampir tegak lurus (70-80) diberi nilai 7 dan

    untuk Baji yang berpotensi tergelincir diberi nilai 4.

    Wedge Behaviour

    Free Falling

    Falling with 1 joint Falling-Sliding with 1 Pure Sliding

    or edge vertical near-vert. Joint

    inverted no rotation

    FG 10 9 7 4

    2.7.1.6 Clamping Factor (FC)

    Didasarkan kepada efek jepitan (clamping) dari gaya kompresi

    pada tunnel. Tinggi Baji yang terbentuk (apex height) dibagi dengan lebar

    bukaan terowongan.

    Tabel 2.12 Nilai Clamping Factor

    Wedge Height/Span & Cone Angle

    Stress State, FC

    Med - High Stress Low - Zero Tensile / Open Joint

    2+

  • 39

    2.8 Geometry Support Demand

    Geometri Baji yang didapat melalui pemetaan struktur dan pemograman

    UNWEDGE (tinggi baji, berat, luas dll) digunakan untuk memperkirakan

    permintaan penyanggaan (support demand) untuk liner dan bolt. Liner demand

    yang didapat dari hasil bagi antara berat Baji dengan keliling mencerminkan nilai

    ketebalan shotcrete yang diperlukan untuk penyanggaan terowongan. Untuk bolt

    demand yang didapat dari hasil bagi antara berat Baji dengan luas permukaannya

    mencerminkan nilai UTS (ultimate tensile strength) rock bolt yang dapat dipakai

    dengan panjang H.

    Gambar 2.13 Bolt demand (massa Baji / luas permukaan Baji) and Liner demand

    (massa Baji / keliling Baji), Diederichs et al (2003)

    Tabulasi nilai liner dan bolt demand yang ditampilkan menunjukan

    kapasitas kebutuhan penyanggaan minimum untuk kestabilan dengan lebar

    bukaan (span) 3,5 meter. Namun efektivitas dari sistem bolt dibatasi oleh panjang

    bolt itu sendiri. Idealnya panjang bolt harus lebih panjang dari pada tinggi puncak

    Baji. Apabila tinggi Baji melebihi panjang bolt maka harus digunakan tambahan

    penyanggaan lain.

    Bolt Demand, BD = weight wedge / face area wedge (ton/m)...........(1)

    Liner Demand, LD = weight wedge / perimeter (ton/m) .....................(2)

  • 40

    Factor of Safety, FS = 1 / Iv..............................................................(3)

    Span Effectife, S* = S x Iv x FS..............................................................(4)

    Wedge Height Effectife, H* = (S*/S) x H............................................(5)

    Bolt Demand Effectife, BD* = (S*/S) x BD...........................................(6)

    Liner Deman Effectife, LD* = (S*/S) x LD...........................................(7)

    Dengan;

    Iv = Viability Index maksimum dari setiap domain

    S = full span, 3,5 meter

    2.9 Full-span dan Scalled-span Wedge

    Kasus terburuk untuk ketidakstabilan Baji adalah full-span wedge atau

    Baji terbesar yang dapat terbentuk di bukaan (span) tertentu dari perpotongan

    struktur dimana-mana. Dalam kebanyakan kasus bagaimanapun kemungkinan

    terjadinya tiga atau lebih joint saling berpotongan untuk membentuk full-span -

    Baji sangat jarang karena sifat asli joint yang tidak menerus dan variasi jarak

    antar joint.

    Data groundfall sebenarnya menunjukan bahwa tinggi Baji maksimum

    relatif berkurang secara signifikan dibanding dengan yang diperkirakan oleh

    analisis full-span wedge.

  • 41

    (A)

    (B)

    Gambar 2.14 (A) Full-span predictions for unwedge geometries (B) Actual wedge-fall

    geometries for domain 1, block central (Diederichs et al, 2013)

    Pada Gambar 2.14 prediksi full-span wedge ditunjukan berdasarkan

    keberadaan perpotongan tiga joint. Baji dengan geometri bidang yang besar

    dan curam terbentuk oleh dominansi dipping joint yang curam pula.

    Analisis full-span cenderung lebih memprediksi kebutuhan

    penyanggaan (kebutuhan kapasitas) untuk penggalian bawah tanah. Kebutuhan

    penyanggaan yang sebenarnya adalah scaled-span yang nilainya lebih rendah

    0%

    20%

    40%

    60%

    80%

    100%

    120%

    0,00 0,50 1,00Cu

    mm

    ula

    tive

    Fre

    qu

    ency

    Failure Height / (span or failure width)

    Actual Wedge-fall geometries

    failure height/span

    failure height/width

    Height/span = 1,6 Height/span=1,1 Height/span=0,05

  • 42

    karena kemungkinan joint formasi Baji full-span tidak benar-benar melekat

    secara penuh pada terowongan. Pendekatan Viability Index digunakan untuk

    menghitung faktor-faktor tersebut dalam perencanaan, sehingga sistem

    penyanggaan bisa lebih efisien dalam bidang pertambangan.