Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hidung dan Sinus Paranasal
2.1.1 Anatomi hidung dan sinus paranasal
2.1.1.1 Anatomi hidung
Hidung adalah organ penting pada wajah yang berguna
untuk mengidentifikasi seseorang dan estetika wajah karena
merupakan hal pertama yang terlihat oleh mata. Hidung memiliki
peran penting sebagai organ pernapasan dan penghidu (AlJulaih &
Lasrado, 2019).
Hidung bagian luar tersusun atas dasar, puncak hidung,
collumela. Sedangkan hidung lainnya tersusun atas ala nasi, alar
sulcus, dan nostril. Semuanya disusun oleh tulang, kartilago, otot,
dan subcutaneous fat (AlJulaih & Lasrado, 2019).
Bagian septum nasi mendapatkan vaskularisasi dari
cabang-cabang arteri sfenopalatina posterior, arteri etmoid anterior,
arteri labialis superior, dan arteri palatina mayor. Bagian lateral
hidung mendapatkan vaskularisasi dari arteri etmoid anterior, dan
arteri sfenopalatina (AlJulaih & Lasrado, 2019).
Persarafan sensorik mendapatkan inervasi dari
n.oftalmikus dan n.maxilaris yang merupakan cabang dari
n.trigeminus (AlJulaih & Lasrado, 2019).
6
2.1.1.2 Anatomi Sinus Paranasal
Salah satu organ tubuh pada manusia yang bentuknya
yang bervariasi pada setiap individu adalah sinus paranasal.
Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga membentuk rongga di dalam tulang. Setiap sinus
memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2017).
Sinus maksila terletak di tulang maksila dan berbentuk
piramid. Dinding superiornya adalah dasar orbita, dinding
inferiornya adalah prosessus alveolaris, dinding medilanya adalah
dinding lateral rongga hidung (Alsaied, 2017).
Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri lebih dari 1
sel. Terbagi menjadi sinus etmoid anterior dan sinus etmoid
posterior. Sinus etmoid anterior memiliki rongga lebih banyak dari
sinus etmoid posterior. Masing-masing sel bermuara melalui
ostiumnya, sinus etmoid anterior bermuara ke meatus medial dan
sinus etmoid posterior bermuara ke meatur superior (Alsaied,
2017).
Sinus frontal terletak diposteromedial dari os sinus.
terbagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dan bentuknya tidak simetris. Drainase sinus
7
frontal melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal (Alsaied,
2017).
Sinus Sfenoid terletak di os sfenoid. Sinus sfenoid terbagi
menjadi 2 bagian yang dipisabkan oleh sekat yang disebut dengann
septum intersfenoid. Sinus sfenoid berdrainase ke resesus
sfenoetmoidal melalui ostium sinus sfenoid yang berada di dinding
anterior sinus (Alsaied, 2017).
Gambar 2.1
8
2.1.2 Fisiologi hidung dan sinus paranasal
2.1.2.1 Fungsi hidung
Hidung memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai organ
respirasi, sebagai penyaring udara dan pertahanan melawan
partikel-partikel dari luar dan alergen, dan sebagai indera penghidu
(Freeman & Kahwaji, 2020).
Sebagai organ respirasi, hidung berfungsi untuk
mempersiapkan pertukaran oksigen dan menyesuaikan dan
melembabkan temperatur udara yang masuk sebelum masuk ke
paru-paru (Freeman & Kahwaji, 2020).
Hidung juga berfungsi untuk mempertahankan jaringan
pada organ pernapasan. Sekresi mukus berfungsi untuk menyaring
partikel dan antigen yang masuk bersamaan dengan udara
pernapasan (Freeman & Kahwaji, 2020).
Sedangkan sebagai indera penghidu, hidung berfungsi
untuk mengidentifikasi sumber yang berbahaya atau nutrisi yang
dapat mempengaruhi mood dan seksualitas (Freeman & Kahwaji,
2020).
2.1.2.2 Klirens mukosilier
Klirens mukosiliar adalah mekanisme pertahanan pertama
dari paru-paru yang berfungsi sebagai pelindung lapisan lendir,
lapisan cairan permukaan jalan pernapasan dan silia pada
permukaan sel silia (Bustamante-Marin & Ostrowski, 2017).
9
Klirens mukosiliar mengandung 2 komponen yaitu
viscoelastic mucus layer yang berfungsi menahan partikel yang
terhirup dan yang terbawa keluar dari paru-paru melalui tekanan
dari pergerakan silia dan low-viscosity perciliary layer yang
memfasilitasi pergerakan silia (Guo & Kanso, 2017).
2.1.2.3 Fungsi sinus paranasal
Sinus paranasal berfungsi sebagai:
1. Sebagai pengatur kondisi udara, melembabkan dan
menghangatkan udara pernapasan
2. Membantu keseimbangan kepala, terutama pada
tengkorak bagian depan dan tulang wajah
3. Membantu menguatkan resonansi suara
4. Peredam perubahan tekanan udara di dalam rongga
hidung
5. Membantu produksi mukus untuk membersihkan
rongga hidung
6. Membantu sistem pertahanan imunologis.
Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi
sinus paranasal adalah patensi kompleks ostiomeatal,
fungsi transpor mukusilier, dan komposisi dari lapisan gel
dan lapisan sol pada palut lendir. Gangguan dari satu
faktor tersebut akan menyebabkan terganggunya
10
keseimbangan atau homeostatis sinonasal
(Mangunkusumo, Balfas. Hermani, 2019).
2.1.3 Pemeriksaan hidung dan sinus paranasal
2.1.3.1 Pemeriksaan fisik
Untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan pada sinus
paranasal dilakukan pemeriksaan sebagai berikut : (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2017)
1. Inspeksi
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
pembengkakan pada bagian muka. Pembengkakan pada
bagian pipi sampai dengan kelopak mata bagian bawah
yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan
rinosinusitis maksilaris akut. Pembengkakan di kelopak
mata atas dapat menunjukkan adanya rinosinusitis frontal
akut.
2. Palpasi
Pada palpasi didapatkan nyeri tekan pada bagian pipi
dan nyeri ketuk pada gigi menunjukkan adanya
rinosinusitis maksila. Pada rinosinusitis frontal didapatkan
nyeri tekan dibagian dasar sinus frontal, yaitu pada bagian
medial atap orbita. Rinosinusitis etmoid menyebabkan
rasa nyeri tekan di daerah kantus medianus.
11
2.1.3.2 Pemeriksaan penunjang
1. Transiluminasi
Transiluminasi memberikan manfaat yang sedikit,
hanya dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila
dan frontal, apabila pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
Apabila pada saat pemeriksaan transiluminasi akan
tampak gelap pada daerah infraorbita, kemungkinan
antrum terisi oleh nanah atau mukosa antrum menebal
atau terdapat neoplasma di dalam antrum.
Apabila terdapat kista yang ukurannya cukup besar di
dalam sinus maksila, maka pada saat pemeriksaan
transiluminasi akan tampak terang, sedangkan pada saat
foto Rontgen terdapat gambaran perselubungan berbatas
tegas di dalam sinus maksila.
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih
meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali
tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus
berkembang dengan baik dan normal, sedangkan
gambaran yang gelap dapat berarti rinosinusitis atau hanya
menunjukkan sinus yang tidak berkembang.
2. Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai terdapat gangguan di sinus paranasal,
maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologik. Posisi yang
12
biasa dipakai ialah posisi Waters, Postero-Anterior (PA)
dan lateral. Posisi Waters paling sering digunakan untuk
melihat adanya kelainan pada sinus maksila, frontal dan
etmoid. Posisi PA digunakan untuk menilai sinus frontal
dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sfenoid dan
etmoid.
Pemeriksaan yang lebih akurat untuk memeriksa
adanya kelainan pada sinus paranasal adalah pemeriksaan
CT Scan. Potongan CT Scan yang biasanya digunakan
adalah koronal dan aksial. Indikasi utama pemeriksaan CT
Scan hidung dan sinus paranasal adalah rinosinusitis
kronik, trauma (fraktur frontobasal), dan tumor.
3. Sinoskopi
Sinoskopi adalah pemeriksaan ke dalam sinus maksila
dengan menggunakan endoskopi. Endoskopi dimasukkan
melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau fosa
kanina.
Sinoskopi dapat menilai keadaan di dalam sinus
seperti ada tidaknya sekret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista, keadaan mukosa dan ostiumnya
terbuka atau tidak.
13
2.2 Rinosinusitis Kronik
2.2.1 Definisi
Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada membran hidung
dan sinus paranasal. Menurut American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery (AAO-NHS), rinosinusitis kronik adalah inflamasi yang
berlangsung lebih dari 12 minggu (Al-Sayed, Agu, & Massoud, 2017)
2.2.2 Etiologi
Rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan dapat disebabkan
oleh infeksi, virus, bakteri, dan jamur serta dapat berhubungan dengan
alergi, nasal polip, dan disfungsi mukosa vasomotor (Espinosa, Genito, &
Ramos, 2018).
2.2.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran dari klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam
kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap kuman yang masuk bersamaan dengan udara saat bernapas.
Organ-organ yang membentuk kompleks ostiomeatal (KOM) letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling
bertemu sehingga silia sulit untuk bergerak dan ostium menjadi tersumbat.
14
Akibatnya akan terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini dapat
dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa adanya pengobatan (Mangunkusumo & Soetjipto,
2017).
Apabila kondisi menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus
menjadi media yang baik untuk pertumbuhan dari bakteri. Sekret tersebut
akan berubah menjadi purulen. Keadaan ini disebut dengan rinosinusitis
akut bakterial dan membutuhkan terapi antibiotik. Apabila dengan terapi
antibiotik tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa akan semakin membengkak dan hal ini merupakan rantai siklus
yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik
yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista. Saat keadaan
ini terjadi mungkin perlu tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto,
2017).
2.2.4 Gejala Klinis
Gejala rinosinusitis dapat dibagi menjadi gejala mayor dan gejala
minor. Gejala mayor rinosinusitis meliputi hidung buntu atau obstruksi
atau kongesti dan pilek (sekret hidung anterior/posterior). Sedangkan
gejala minor untuk rinosinusitis meliputi nyeri wajah atau rasa tertekan,
penurunan atau hilangnya penghidu pada orang dewasa dan terdapat batuk
15
pada anak-anak. Serta pada pemeriksaan endoskopi ditemukan polip dan
atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau
obstruksi mukosa di meatus medius dan atau pada gambaran CT Scan
terdapat perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan atau sinus.
(Fokkens, Lund, & Mullol, 2012).
Rinosinusitis kronik erat kaitannya dengan tingginya beban biaya
pengobatan, menurunkan produktivitas kerja dan buruknya kualitas hidup
(Homood, et al., 2017)
2.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan durasi gejalanya, rinosinusitis dibagi menjadi akut (
berlangsung sampai 1 bulan), subakut (berlangsung selama 1-3 bulan), kronik
( berlangsung lebih dari 3 bulan), atau rekuren ( minimal terjadi 4 episode
pertahun dari akut rinosinusitis dengan tanpa gejala minimal 10 hari) (Zicari,
Castro, Leonardi, & Duse, 2020).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi (pada dewasa) menurut European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps 2012 (EPOS) dapat ditegakkan berdasarkan penilaian
subjektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada penilaian
subjektif akan didapatkan hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti
16
atau pilek (sekret hidung anterior/posterior): nyeri wajah atau rasa tertekan
pada wajah, serta pada dewasa terdapat penurunan atau hilangnya
penghidu dan pada anak terdapat batuk, dan pada salah satu dari temuan
nasoendoskopi dapat ditemukan polip dan atau sekret mukopurulen dari
meautus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius
serta pada gambaran CT Scan didapatkan perubahan mukosa di kompleks
ostiomeatal dan atau sinus (Fokkens, Lund, & Mullol, 2012).
2.2.7 Tatalaksana
Tujuan utama dari tatalaksana pada rinosinusitis kronik adalah
untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. (Sedaghat,
2017). Sasaran dari terapi rinosinusitis kronik ini antara lain untuk
mengontrol edem dan inflamasi dari nasal dan sinus paranasal, menjaga
ventilasi dan drainase sinus, mengurangi infeksi atau kolonisasi dari
mikroorganisme, dan mengurangi jumlah eksaserbasi akut (Kayode &
Orewole, 2019). Pengobatan rinosinusitis kronik meliputi pengobatan
medis, dan bedah sinus endoskopi apabila pengobatan secara medis tidak
berhasil (Sedaghat, 2017).
Pengobatan secara medis yang biasa digunakan antara lain : (Kwon
& O'Rourke, 2018)
1. Nasal steroid dengan atau tanpa irigasi saline hidung. Pengobatan
ini berlangsung selama 8-12 minggu sesuai dengan ketentuan.
17
2. Irigasi saline hidung berfungsi sebagai pengobatan tambahan.
Irigasi nasal volume tinggi lebih efektif daripada teknik semprotan
hidung volume rendah.
3. Antihistamin digunakan apabila ditemukan dicurigai adanya alergi.
4. Dekongestan digunakan untuk mengurangi gejala.
5. Antibiotik dapat diberikan untuk jangka waktu tiga minggu.
Namun, bukti penggunaan rutin pada antibiotik masih kurang.
6. Oral steroid dapat digunakan tetapi tidak dianjurkan untuk
penggunaan rutin.
Sinusitis dengan polip harus diobati dengan steroid hidung topikal.
Apabila sinusitis sudah parah dan tidak responsif terhadap terapi setelah
12 minggu, dapat menggunakan steroid oral atau antagonis leukotrien
(Kwon & O'Rourke, 2018).
Operasi sinus endoskopi fungsional dapat dipertimbangkan untuk
pasien yang gagal dalam pengobatan medis (Kwon & O'Rourke, 2018).
Operasi ini aman, rendah resiko, dan efektif (Odat & Al-Qudah, 2020).
Tujuan dari operasi ini adalah untuk menghilangkan penghalang,
mengembalikan drainase, dan membersihkan mukosiliar serta ventilasi
sinus (Kwon & O'Rourke, 2018).
18
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi berat biasanya ditermukan pada rinosinusitis akut atau
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2017). Kelainan orbita, disebabkan oleh
sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering
adalah sinus etmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Kelainan
intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,
abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Osteomielitis dan abses
subperiostal. Paling sering disebabkan oleh sinusitis frontal dan lebih
sering ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat
timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo & Soetjipto,
2017).
2.3 Rinitis Alergi
2.3.1 Definisi
Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi pada saluran pernapasan
atas yang ditandai dengan minimal salah satu gejala yaitu bersin, rasa
gatal pada hidung, kongesti hidung dan rinorea (Kalmarzi, et al., 2017).
2.3.2 Etiologi
Rinitis alergi dipicu oleh alergen. Alergen dapat ditemukan di luar
dan di dalam ruangan. Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen luar,
19
misalnya jamur, rumput dan serbuk sari gulma sering disebut sebagai
alergi musiman, atau "demam". Rinitis alergi juga dapat dipicu oleh
alergen yang ditemukan di rumah, seperti bulu binatang, jamur dalam
ruangan, atau tungau debu rumah. Klasifikasi rinitis alergi terbaru
mempertimbangkan intensitas gejala dan dampaknya pada kualitas hidup.
Sehingga, dapat dibagi menjadi ringan atau sedang atau berat (WHO,
2019).
2.3.3 Patofisiologi
Pada rinitis alergi beberapa sel inflamasi seperti sel mast, CD4-
positive T cells, sel B, makrofag, dan eosinofil masuk ke dalam lapisan
hidung pada saat terpapar oleh alergen seperti tungau, residu kecoa, bulu
binatang, jamur, dan serbuk sari. Pada individu yang alergi, sel T yang
menginfiltrasi mukosa hidung yang dominan adalah T helper 2 (Th2). Th2
ini akan memproduksi sitokin ( IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13) yang akan
memproduksi Immunoglobulin E (IgE) di plasma darah. Ikatan antara IgE
dengan sel mast akan menghasilkan sel mediator seperti histamin dan
leukotrien yang menyebabkan dilatasi arterioral sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler, gatal, rinore, sekresi mukus dan
kontraksi otot halus pada paru-paru. Sel mediator dan sitokin yang
dihasilkan pada fase awal dari respon imun terhadap alergen akan
menyebabkan respon inflamasi selama 4-8 jam (late-phase inflammatory
20
response) yang akan menghasilkan gejala berulang seperti hidung
tersumbat (Small, Keith, & Kim, 2018).
2.3.4 Gejala Klinis
Rinitis alergi mengacu pada proses peradangan saluran hidung,
gejalanya melibatkan hidung dan dapat meluas sampai memengaruhi mata,
telinga, sinus, dan paru-paru. Gejala-gejala hidung yang umum dilaporkan
adalah gatal-gatal dan hidung tersumbat, hidung berair, dan bersin. Pasien
terkadang mengeluhkan gejala telinga terasa penuh atau tertekan. Rinitis
alergi sering melibatkan konjungtiva, oleh sebab itu pasien mungkin
mengalami gatal, rasa terbakar, atau mata berair. Gejala lain yang sering
muncul adalah rasa gatal pada tenggorokan dan nasal drip (Motosue & Li,
2015). Gejala biasanya terjadi selama dua hari atau lebih berturut-turut
selama lebih dari 1 jam (Sakano, et al., 2018).
2.3.5 Klasifikasi
Rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya diklasifikasikan
menjadi intermitten apabila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu dan persisten apabila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan
lebih dari 4 minggu (Acharya, 2019).
Sedangkan menurut derajat berat ringannya penyakit dibagi
menjadi ringan apabila tidak ditemukan gangguan pada aktivitas harian dan
gangguan lainnya serta dibagi menjadi sedang-berat apabila terdapat satu
21
atau lebih faktor yang terganggu seperti gangguan tidur, aktivitas harian
atau aktivitas kerja yang terganggu, absen sekolah, atau gangguan lainnya
(Acharya, 2019).
2.3.6 Diagnosis
Rinitis alergi didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis mendetail dan terfokus dapat
membantu menegakkan diagnosis dari rinitis alergi, biasanya pertanyaan
yang diberikan fokus pada tipe gejala, waktu, durasi, dan frekuensi dari
gejala tersebut, serta kecurigaan pada pajanan dan faktor yang
memperburuk (Akhouri & House , 2020).
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan pernapasan lewat mulut,
bersin yang berulang dan atau batuk, nasal crease, bayangan gelap dibawah
mata (allergic shiners). Pada pemeriksaan otoskop akan ditemukan edema
basah dan sekret encer yang berlebih. Pemeriksaan endoskopi dapat
dilakukan untuk melihat adanya polip nasal dan kelainan struktural
(Akhouri & House , 2020).
Pemeriksaan pneumatik otoskop digunakan untuk menilai
disfungsi pada tuba eustachius yang biasanya menandakan adanya rinitis
alergi. Palpasi pada sinus menimbulkankan nyeri pada pasien dengan gejala
kronik (Akhouri & House , 2020).
22
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa diagnosis
kepekaan yang akurat yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya
riwayat atopik pada pasien. Metode utama untuk menentukan
hipersensitivitas Ig-E adalah tes kulit yaitu tes cukit kulit (skin prick test)
dan blended techniques) dan tes serum alergen spesifik IgE (Marcus,
Roland, DelGaudio, & Wise, 2019). Sedangkan untuk pemeriksaan
radiologi jarang dilakukan kecuali dicurigai adanya rinosinusitis (Akhouri &
House , 2020).
2.3.7 Tatalaksana
Terapi pilihan untuk rinitis alergi meliputi menghindari kontan
dengan alergen, irigasi hidung, farmakoterapi, dan imunoterapi alergen.
Menghindari kontan dengan alergi sangat penting sebagai terapi tambahan.
Generasi kedua antihistamin oral digunakan sebagai lini pertama untuk
rinitis alergi musiman dan tahunan. Sedangkan intranasal antihistamin
digunakan untuk rinitis alergi sedang dan rinitis non-allergen (Patel, Kem,
Bernstein, Sim, & Peters, 2020).
Intranasal kortikosteroid digunakan sebagai lini pertama pada
rinitis alergi sedang-berat. Kombinasi terapi dengan intranasal azelastine
dan fluticasone lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi (Patel,
Kem, Bernstein, Sim, & Peters, 2020).
23
Immunoterapi alergen biasanya digunakan untuk rinitis alergi
musiman atau tahunan pada pasien yang tidak sembuh dengan pengobatan
lainnya (Patel, Kem, Bernstein, Sim, & Peters, 2020).
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi antara lain adalah Severe chronic upper-
airways disease, penderita dengan rinitis alergi juga akan meningkatkan
resiko terkena asma dan terdapat hubungan antara rinitis alergi atau rinitis
non-alergi terhadap Obstructive sleep apneu (OSA), pada anak-anak dapat
menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian sleep disordered
breathing (SDB) dan kegagalan adenotonsillectomy (Dubey, Vui, & Htay,
2019). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor terbentuknya polip hidung dan kekambuhan pada polip
hidung serta pada anak-anak dapat menyebabkan otitis media efusi yang
sering residif (Irawati & Rusmono, 2017). Selain itu, komplikasi yang
sering terjadi adalah rinosinusitis terutama rinosinusitis kronik. Gejala
klinis saat rinitis alergi dapat menyebabkan sumbatan pada sinus paranasal
yang menyebabkan sinusitis, sehingga menjadi rinosinusitis (Keswani &
Peters, 2016).
1.4. Hubungan Rinitis Alergi dengan Rinosinusitis Kronik
Rinitis alergi, rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik merupakan penyakit
pernapasan bagian atas yang sering ditemui. Salah satu teori mengemukakan
24
bahwa alergi menyebabkan pembengkakan pada mukosa, yang menghalangi
ostium dari sinus dan menganggu transportasi mukosiliar, dan kemungkinan
menginduksi rinosinusitis. Proses patofisiologis yang melibatkan jalan nafas atas
umumnya mempengaruhi penyakit jalan nafas yang lebih rendah. Mukosa di
telinga, hidung, sinus, dan saluran udara bagian bawah sering meradang pada saat
yang sama (Hoffmans, Wagemakers, Drumen, Hellings, & Fokkens, Acute and
Chronic Rhinosinusitis and Allergic Rhinitis in Relation to Comorbidity,
Ethnicity, and Environment, 2018).
Menurut data dari Geisinger Clinic Primary Care Patients, pasien dengan
kronik rinosinusitis memiliki prevalensi premorbid rinitis alergi dan rinitis kronik
yang lebih tinggi. Mengingat tingginya prevalensi atopi pada pasien dengan
kronik rinosinusitis, hal tersebut membuat pernyataan bahwa atopi dan rinitis
alergi berkontribusi terhadap keparahan pada rinosinusitis kronik. Pada pasien
anak-anak yang menjalani operasi sinus endoskopi fungsional, waktu pemulihan
mereka setelah operasi secara signifikan lebih lama jika mereka memiliki riwayat
rinitis alergi dibandingkan dengan mereka yang tidak. Ketika mengukur
keparahan rinosinusitis kronik dengan sinus computed tomography (CT), terdapat
hasil yang beragam terkait dengan atopi. Dalam studi yang melihat rinosinusitis
kronik parah, tingkat penyakit radiografi secara signifikan berkorelasi dengan
eosinofil perifer dan keberadaan atopi (Hoffmans, Wagemakers, Drumen,
Hellings, & Fokkens, Acute and Chronic Rhinosinusitis and Allergic Rhinitis in
Relation to Comorbidity, Ethnicity, and Environment, 2018).
25
Beberapa studi mengemukakan bahwa alergen dan sitokin sebagai
mediator alergi pada rinosinusitis kronis. Diduga bahwa alergen yang terhirup
diproses oleh sel imun hidung yang mengaktifkan limfosit T-helper yang menuju
ke sumsung tulang dan menghasilkan mediator inflamasi tipe 2 seperti IL-4, IL-5,
dan IL-13 yang memproduksi eosinofil, sel mast, dan basofil (Helman, et al.,
2020).
Selain itu, sel mukosa hidung dan paranasal mengeluarkan molekul
permukaan sel yang menarik mediator inflamasi dan memproduksi sitokin
inflamasi yang mengarah ke feedback loop. Pada pasien rinosinusitis kronik.
molekul-molekul adhesi sel permukaan (seperti vascular cell ashesion molecule-1
atau VCAM-1) dan molekul kemotaktik banyak dikeluarkan serta dijadikan dasar
mekanisme rinitis alergi yang mempengaruhi rinosinusitis kronik (Helman, et al.,
2020).