21
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung dan sinus paranasal 2.1.1.1 Anatomi hidung Hidung adalah organ penting pada wajah yang berguna untuk mengidentifikasi seseorang dan estetika wajah karena merupakan hal pertama yang terlihat oleh mata. Hidung memiliki peran penting sebagai organ pernapasan dan penghidu (AlJulaih & Lasrado, 2019). Hidung bagian luar tersusun atas dasar, puncak hidung, collumela. Sedangkan hidung lainnya tersusun atas ala nasi, alar sulcus, dan nostril. Semuanya disusun oleh tulang, kartilago, otot, dan subcutaneous fat (AlJulaih & Lasrado, 2019). Bagian septum nasi mendapatkan vaskularisasi dari cabang-cabang arteri sfenopalatina posterior, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatina mayor. Bagian lateral hidung mendapatkan vaskularisasi dari arteri etmoid anterior, dan arteri sfenopalatina (AlJulaih & Lasrado, 2019). Persarafan sensorik mendapatkan inervasi dari n.oftalmikus dan n.maxilaris yang merupakan cabang dari n.trigeminus (AlJulaih & Lasrado, 2019).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/66254/3/BAB 2.pdf · 2020. 9. 9. · Hidung adalah organ penting pada wajah yang berguna untuk mengidentifikasi seseorang dan estetika wajah

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Hidung dan Sinus Paranasal

    2.1.1 Anatomi hidung dan sinus paranasal

    2.1.1.1 Anatomi hidung

    Hidung adalah organ penting pada wajah yang berguna

    untuk mengidentifikasi seseorang dan estetika wajah karena

    merupakan hal pertama yang terlihat oleh mata. Hidung memiliki

    peran penting sebagai organ pernapasan dan penghidu (AlJulaih &

    Lasrado, 2019).

    Hidung bagian luar tersusun atas dasar, puncak hidung,

    collumela. Sedangkan hidung lainnya tersusun atas ala nasi, alar

    sulcus, dan nostril. Semuanya disusun oleh tulang, kartilago, otot,

    dan subcutaneous fat (AlJulaih & Lasrado, 2019).

    Bagian septum nasi mendapatkan vaskularisasi dari

    cabang-cabang arteri sfenopalatina posterior, arteri etmoid anterior,

    arteri labialis superior, dan arteri palatina mayor. Bagian lateral

    hidung mendapatkan vaskularisasi dari arteri etmoid anterior, dan

    arteri sfenopalatina (AlJulaih & Lasrado, 2019).

    Persarafan sensorik mendapatkan inervasi dari

    n.oftalmikus dan n.maxilaris yang merupakan cabang dari

    n.trigeminus (AlJulaih & Lasrado, 2019).

  • 6

    2.1.1.2 Anatomi Sinus Paranasal

    Salah satu organ tubuh pada manusia yang bentuknya

    yang bervariasi pada setiap individu adalah sinus paranasal.

    Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus

    frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus

    paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

    sehingga membentuk rongga di dalam tulang. Setiap sinus

    memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto &

    Mangunkusumo, 2017).

    Sinus maksila terletak di tulang maksila dan berbentuk

    piramid. Dinding superiornya adalah dasar orbita, dinding

    inferiornya adalah prosessus alveolaris, dinding medilanya adalah

    dinding lateral rongga hidung (Alsaied, 2017).

    Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri lebih dari 1

    sel. Terbagi menjadi sinus etmoid anterior dan sinus etmoid

    posterior. Sinus etmoid anterior memiliki rongga lebih banyak dari

    sinus etmoid posterior. Masing-masing sel bermuara melalui

    ostiumnya, sinus etmoid anterior bermuara ke meatus medial dan

    sinus etmoid posterior bermuara ke meatur superior (Alsaied,

    2017).

    Sinus frontal terletak diposteromedial dari os sinus.

    terbagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang dipisahkan oleh tulang

    yang relatif tipis dan bentuknya tidak simetris. Drainase sinus

  • 7

    frontal melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal (Alsaied,

    2017).

    Sinus Sfenoid terletak di os sfenoid. Sinus sfenoid terbagi

    menjadi 2 bagian yang dipisabkan oleh sekat yang disebut dengann

    septum intersfenoid. Sinus sfenoid berdrainase ke resesus

    sfenoetmoidal melalui ostium sinus sfenoid yang berada di dinding

    anterior sinus (Alsaied, 2017).

    Gambar 2.1

  • 8

    2.1.2 Fisiologi hidung dan sinus paranasal

    2.1.2.1 Fungsi hidung

    Hidung memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai organ

    respirasi, sebagai penyaring udara dan pertahanan melawan

    partikel-partikel dari luar dan alergen, dan sebagai indera penghidu

    (Freeman & Kahwaji, 2020).

    Sebagai organ respirasi, hidung berfungsi untuk

    mempersiapkan pertukaran oksigen dan menyesuaikan dan

    melembabkan temperatur udara yang masuk sebelum masuk ke

    paru-paru (Freeman & Kahwaji, 2020).

    Hidung juga berfungsi untuk mempertahankan jaringan

    pada organ pernapasan. Sekresi mukus berfungsi untuk menyaring

    partikel dan antigen yang masuk bersamaan dengan udara

    pernapasan (Freeman & Kahwaji, 2020).

    Sedangkan sebagai indera penghidu, hidung berfungsi

    untuk mengidentifikasi sumber yang berbahaya atau nutrisi yang

    dapat mempengaruhi mood dan seksualitas (Freeman & Kahwaji,

    2020).

    2.1.2.2 Klirens mukosilier

    Klirens mukosiliar adalah mekanisme pertahanan pertama

    dari paru-paru yang berfungsi sebagai pelindung lapisan lendir,

    lapisan cairan permukaan jalan pernapasan dan silia pada

    permukaan sel silia (Bustamante-Marin & Ostrowski, 2017).

  • 9

    Klirens mukosiliar mengandung 2 komponen yaitu

    viscoelastic mucus layer yang berfungsi menahan partikel yang

    terhirup dan yang terbawa keluar dari paru-paru melalui tekanan

    dari pergerakan silia dan low-viscosity perciliary layer yang

    memfasilitasi pergerakan silia (Guo & Kanso, 2017).

    2.1.2.3 Fungsi sinus paranasal

    Sinus paranasal berfungsi sebagai:

    1. Sebagai pengatur kondisi udara, melembabkan dan

    menghangatkan udara pernapasan

    2. Membantu keseimbangan kepala, terutama pada

    tengkorak bagian depan dan tulang wajah

    3. Membantu menguatkan resonansi suara

    4. Peredam perubahan tekanan udara di dalam rongga

    hidung

    5. Membantu produksi mukus untuk membersihkan

    rongga hidung

    6. Membantu sistem pertahanan imunologis.

    Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi

    sinus paranasal adalah patensi kompleks ostiomeatal,

    fungsi transpor mukusilier, dan komposisi dari lapisan gel

    dan lapisan sol pada palut lendir. Gangguan dari satu

    faktor tersebut akan menyebabkan terganggunya

  • 10

    keseimbangan atau homeostatis sinonasal

    (Mangunkusumo, Balfas. Hermani, 2019).

    2.1.3 Pemeriksaan hidung dan sinus paranasal

    2.1.3.1 Pemeriksaan fisik

    Untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan pada sinus

    paranasal dilakukan pemeriksaan sebagai berikut : (Soetjipto &

    Mangunkusumo, 2017)

    1. Inspeksi

    Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah

    pembengkakan pada bagian muka. Pembengkakan pada

    bagian pipi sampai dengan kelopak mata bagian bawah

    yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan

    rinosinusitis maksilaris akut. Pembengkakan di kelopak

    mata atas dapat menunjukkan adanya rinosinusitis frontal

    akut.

    2. Palpasi

    Pada palpasi didapatkan nyeri tekan pada bagian pipi

    dan nyeri ketuk pada gigi menunjukkan adanya

    rinosinusitis maksila. Pada rinosinusitis frontal didapatkan

    nyeri tekan dibagian dasar sinus frontal, yaitu pada bagian

    medial atap orbita. Rinosinusitis etmoid menyebabkan

    rasa nyeri tekan di daerah kantus medianus.

  • 11

    2.1.3.2 Pemeriksaan penunjang

    1. Transiluminasi

    Transiluminasi memberikan manfaat yang sedikit,

    hanya dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila

    dan frontal, apabila pemeriksaan radiologik tidak tersedia.

    Apabila pada saat pemeriksaan transiluminasi akan

    tampak gelap pada daerah infraorbita, kemungkinan

    antrum terisi oleh nanah atau mukosa antrum menebal

    atau terdapat neoplasma di dalam antrum.

    Apabila terdapat kista yang ukurannya cukup besar di

    dalam sinus maksila, maka pada saat pemeriksaan

    transiluminasi akan tampak terang, sedangkan pada saat

    foto Rontgen terdapat gambaran perselubungan berbatas

    tegas di dalam sinus maksila.

    Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih

    meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali

    tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus

    berkembang dengan baik dan normal, sedangkan

    gambaran yang gelap dapat berarti rinosinusitis atau hanya

    menunjukkan sinus yang tidak berkembang.

    2. Pemeriksaan Radiologik

    Bila dicurigai terdapat gangguan di sinus paranasal,

    maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologik. Posisi yang

  • 12

    biasa dipakai ialah posisi Waters, Postero-Anterior (PA)

    dan lateral. Posisi Waters paling sering digunakan untuk

    melihat adanya kelainan pada sinus maksila, frontal dan

    etmoid. Posisi PA digunakan untuk menilai sinus frontal

    dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sfenoid dan

    etmoid.

    Pemeriksaan yang lebih akurat untuk memeriksa

    adanya kelainan pada sinus paranasal adalah pemeriksaan

    CT Scan. Potongan CT Scan yang biasanya digunakan

    adalah koronal dan aksial. Indikasi utama pemeriksaan CT

    Scan hidung dan sinus paranasal adalah rinosinusitis

    kronik, trauma (fraktur frontobasal), dan tumor.

    3. Sinoskopi

    Sinoskopi adalah pemeriksaan ke dalam sinus maksila

    dengan menggunakan endoskopi. Endoskopi dimasukkan

    melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau fosa

    kanina.

    Sinoskopi dapat menilai keadaan di dalam sinus

    seperti ada tidaknya sekret, polip, jaringan granulasi,

    massa tumor atau kista, keadaan mukosa dan ostiumnya

    terbuka atau tidak.

  • 13

    2.2 Rinosinusitis Kronik

    2.2.1 Definisi

    Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada membran hidung

    dan sinus paranasal. Menurut American Academy of Otolaryngology-Head

    and Neck Surgery (AAO-NHS), rinosinusitis kronik adalah inflamasi yang

    berlangsung lebih dari 12 minggu (Al-Sayed, Agu, & Massoud, 2017)

    2.2.2 Etiologi

    Rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan dapat disebabkan

    oleh infeksi, virus, bakteri, dan jamur serta dapat berhubungan dengan

    alergi, nasal polip, dan disfungsi mukosa vasomotor (Espinosa, Genito, &

    Ramos, 2018).

    2.2.3 Patofisiologi

    Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

    kelancaran dari klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam

    kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi

    antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan

    tubuh terhadap kuman yang masuk bersamaan dengan udara saat bernapas.

    Organ-organ yang membentuk kompleks ostiomeatal (KOM) letaknya

    berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling

    bertemu sehingga silia sulit untuk bergerak dan ostium menjadi tersumbat.

  • 14

    Akibatnya akan terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang

    menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini dapat

    dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam

    beberapa hari tanpa adanya pengobatan (Mangunkusumo & Soetjipto,

    2017).

    Apabila kondisi menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus

    menjadi media yang baik untuk pertumbuhan dari bakteri. Sekret tersebut

    akan berubah menjadi purulen. Keadaan ini disebut dengan rinosinusitis

    akut bakterial dan membutuhkan terapi antibiotik. Apabila dengan terapi

    antibiotik tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),

    inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.

    Mukosa akan semakin membengkak dan hal ini merupakan rantai siklus

    yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik

    yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista. Saat keadaan

    ini terjadi mungkin perlu tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto,

    2017).

    2.2.4 Gejala Klinis

    Gejala rinosinusitis dapat dibagi menjadi gejala mayor dan gejala

    minor. Gejala mayor rinosinusitis meliputi hidung buntu atau obstruksi

    atau kongesti dan pilek (sekret hidung anterior/posterior). Sedangkan

    gejala minor untuk rinosinusitis meliputi nyeri wajah atau rasa tertekan,

    penurunan atau hilangnya penghidu pada orang dewasa dan terdapat batuk

  • 15

    pada anak-anak. Serta pada pemeriksaan endoskopi ditemukan polip dan

    atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau

    obstruksi mukosa di meatus medius dan atau pada gambaran CT Scan

    terdapat perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan atau sinus.

    (Fokkens, Lund, & Mullol, 2012).

    Rinosinusitis kronik erat kaitannya dengan tingginya beban biaya

    pengobatan, menurunkan produktivitas kerja dan buruknya kualitas hidup

    (Homood, et al., 2017)

    2.2.5 Klasifikasi

    Berdasarkan durasi gejalanya, rinosinusitis dibagi menjadi akut (

    berlangsung sampai 1 bulan), subakut (berlangsung selama 1-3 bulan), kronik

    ( berlangsung lebih dari 3 bulan), atau rekuren ( minimal terjadi 4 episode

    pertahun dari akut rinosinusitis dengan tanpa gejala minimal 10 hari) (Zicari,

    Castro, Leonardi, & Duse, 2020).

    2.2.6 Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

    dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip

    nasi (pada dewasa) menurut European Position Paper on Rhinosinusitis

    and Nasal Polyps 2012 (EPOS) dapat ditegakkan berdasarkan penilaian

    subjektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada penilaian

    subjektif akan didapatkan hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti

  • 16

    atau pilek (sekret hidung anterior/posterior): nyeri wajah atau rasa tertekan

    pada wajah, serta pada dewasa terdapat penurunan atau hilangnya

    penghidu dan pada anak terdapat batuk, dan pada salah satu dari temuan

    nasoendoskopi dapat ditemukan polip dan atau sekret mukopurulen dari

    meautus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius

    serta pada gambaran CT Scan didapatkan perubahan mukosa di kompleks

    ostiomeatal dan atau sinus (Fokkens, Lund, & Mullol, 2012).

    2.2.7 Tatalaksana

    Tujuan utama dari tatalaksana pada rinosinusitis kronik adalah

    untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. (Sedaghat,

    2017). Sasaran dari terapi rinosinusitis kronik ini antara lain untuk

    mengontrol edem dan inflamasi dari nasal dan sinus paranasal, menjaga

    ventilasi dan drainase sinus, mengurangi infeksi atau kolonisasi dari

    mikroorganisme, dan mengurangi jumlah eksaserbasi akut (Kayode &

    Orewole, 2019). Pengobatan rinosinusitis kronik meliputi pengobatan

    medis, dan bedah sinus endoskopi apabila pengobatan secara medis tidak

    berhasil (Sedaghat, 2017).

    Pengobatan secara medis yang biasa digunakan antara lain : (Kwon

    & O'Rourke, 2018)

    1. Nasal steroid dengan atau tanpa irigasi saline hidung. Pengobatan

    ini berlangsung selama 8-12 minggu sesuai dengan ketentuan.

  • 17

    2. Irigasi saline hidung berfungsi sebagai pengobatan tambahan.

    Irigasi nasal volume tinggi lebih efektif daripada teknik semprotan

    hidung volume rendah.

    3. Antihistamin digunakan apabila ditemukan dicurigai adanya alergi.

    4. Dekongestan digunakan untuk mengurangi gejala.

    5. Antibiotik dapat diberikan untuk jangka waktu tiga minggu.

    Namun, bukti penggunaan rutin pada antibiotik masih kurang.

    6. Oral steroid dapat digunakan tetapi tidak dianjurkan untuk

    penggunaan rutin.

    Sinusitis dengan polip harus diobati dengan steroid hidung topikal.

    Apabila sinusitis sudah parah dan tidak responsif terhadap terapi setelah

    12 minggu, dapat menggunakan steroid oral atau antagonis leukotrien

    (Kwon & O'Rourke, 2018).

    Operasi sinus endoskopi fungsional dapat dipertimbangkan untuk

    pasien yang gagal dalam pengobatan medis (Kwon & O'Rourke, 2018).

    Operasi ini aman, rendah resiko, dan efektif (Odat & Al-Qudah, 2020).

    Tujuan dari operasi ini adalah untuk menghilangkan penghalang,

    mengembalikan drainase, dan membersihkan mukosiliar serta ventilasi

    sinus (Kwon & O'Rourke, 2018).

  • 18

    2.2.8 Komplikasi

    Komplikasi berat biasanya ditermukan pada rinosinusitis akut atau

    kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial

    (Mangunkusumo & Soetjipto, 2017). Kelainan orbita, disebabkan oleh

    sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering

    adalah sinus etmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Kelainan

    intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,

    abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Osteomielitis dan abses

    subperiostal. Paling sering disebabkan oleh sinusitis frontal dan lebih

    sering ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat

    timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo & Soetjipto,

    2017).

    2.3 Rinitis Alergi

    2.3.1 Definisi

    Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi pada saluran pernapasan

    atas yang ditandai dengan minimal salah satu gejala yaitu bersin, rasa

    gatal pada hidung, kongesti hidung dan rinorea (Kalmarzi, et al., 2017).

    2.3.2 Etiologi

    Rinitis alergi dipicu oleh alergen. Alergen dapat ditemukan di luar

    dan di dalam ruangan. Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen luar,

  • 19

    misalnya jamur, rumput dan serbuk sari gulma sering disebut sebagai

    alergi musiman, atau "demam". Rinitis alergi juga dapat dipicu oleh

    alergen yang ditemukan di rumah, seperti bulu binatang, jamur dalam

    ruangan, atau tungau debu rumah. Klasifikasi rinitis alergi terbaru

    mempertimbangkan intensitas gejala dan dampaknya pada kualitas hidup.

    Sehingga, dapat dibagi menjadi ringan atau sedang atau berat (WHO,

    2019).

    2.3.3 Patofisiologi

    Pada rinitis alergi beberapa sel inflamasi seperti sel mast, CD4-

    positive T cells, sel B, makrofag, dan eosinofil masuk ke dalam lapisan

    hidung pada saat terpapar oleh alergen seperti tungau, residu kecoa, bulu

    binatang, jamur, dan serbuk sari. Pada individu yang alergi, sel T yang

    menginfiltrasi mukosa hidung yang dominan adalah T helper 2 (Th2). Th2

    ini akan memproduksi sitokin ( IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13) yang akan

    memproduksi Immunoglobulin E (IgE) di plasma darah. Ikatan antara IgE

    dengan sel mast akan menghasilkan sel mediator seperti histamin dan

    leukotrien yang menyebabkan dilatasi arterioral sehingga terjadi

    peningkatan permeabilitas kapiler, gatal, rinore, sekresi mukus dan

    kontraksi otot halus pada paru-paru. Sel mediator dan sitokin yang

    dihasilkan pada fase awal dari respon imun terhadap alergen akan

    menyebabkan respon inflamasi selama 4-8 jam (late-phase inflammatory

  • 20

    response) yang akan menghasilkan gejala berulang seperti hidung

    tersumbat (Small, Keith, & Kim, 2018).

    2.3.4 Gejala Klinis

    Rinitis alergi mengacu pada proses peradangan saluran hidung,

    gejalanya melibatkan hidung dan dapat meluas sampai memengaruhi mata,

    telinga, sinus, dan paru-paru. Gejala-gejala hidung yang umum dilaporkan

    adalah gatal-gatal dan hidung tersumbat, hidung berair, dan bersin. Pasien

    terkadang mengeluhkan gejala telinga terasa penuh atau tertekan. Rinitis

    alergi sering melibatkan konjungtiva, oleh sebab itu pasien mungkin

    mengalami gatal, rasa terbakar, atau mata berair. Gejala lain yang sering

    muncul adalah rasa gatal pada tenggorokan dan nasal drip (Motosue & Li,

    2015). Gejala biasanya terjadi selama dua hari atau lebih berturut-turut

    selama lebih dari 1 jam (Sakano, et al., 2018).

    2.3.5 Klasifikasi

    Rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya diklasifikasikan

    menjadi intermitten apabila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang

    dari 4 minggu dan persisten apabila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan

    lebih dari 4 minggu (Acharya, 2019).

    Sedangkan menurut derajat berat ringannya penyakit dibagi

    menjadi ringan apabila tidak ditemukan gangguan pada aktivitas harian dan

    gangguan lainnya serta dibagi menjadi sedang-berat apabila terdapat satu

  • 21

    atau lebih faktor yang terganggu seperti gangguan tidur, aktivitas harian

    atau aktivitas kerja yang terganggu, absen sekolah, atau gangguan lainnya

    (Acharya, 2019).

    2.3.6 Diagnosis

    Rinitis alergi didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

    fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis mendetail dan terfokus dapat

    membantu menegakkan diagnosis dari rinitis alergi, biasanya pertanyaan

    yang diberikan fokus pada tipe gejala, waktu, durasi, dan frekuensi dari

    gejala tersebut, serta kecurigaan pada pajanan dan faktor yang

    memperburuk (Akhouri & House , 2020).

    Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan pernapasan lewat mulut,

    bersin yang berulang dan atau batuk, nasal crease, bayangan gelap dibawah

    mata (allergic shiners). Pada pemeriksaan otoskop akan ditemukan edema

    basah dan sekret encer yang berlebih. Pemeriksaan endoskopi dapat

    dilakukan untuk melihat adanya polip nasal dan kelainan struktural

    (Akhouri & House , 2020).

    Pemeriksaan pneumatik otoskop digunakan untuk menilai

    disfungsi pada tuba eustachius yang biasanya menandakan adanya rinitis

    alergi. Palpasi pada sinus menimbulkankan nyeri pada pasien dengan gejala

    kronik (Akhouri & House , 2020).

  • 22

    Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa diagnosis

    kepekaan yang akurat yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya

    riwayat atopik pada pasien. Metode utama untuk menentukan

    hipersensitivitas Ig-E adalah tes kulit yaitu tes cukit kulit (skin prick test)

    dan blended techniques) dan tes serum alergen spesifik IgE (Marcus,

    Roland, DelGaudio, & Wise, 2019). Sedangkan untuk pemeriksaan

    radiologi jarang dilakukan kecuali dicurigai adanya rinosinusitis (Akhouri &

    House , 2020).

    2.3.7 Tatalaksana

    Terapi pilihan untuk rinitis alergi meliputi menghindari kontan

    dengan alergen, irigasi hidung, farmakoterapi, dan imunoterapi alergen.

    Menghindari kontan dengan alergi sangat penting sebagai terapi tambahan.

    Generasi kedua antihistamin oral digunakan sebagai lini pertama untuk

    rinitis alergi musiman dan tahunan. Sedangkan intranasal antihistamin

    digunakan untuk rinitis alergi sedang dan rinitis non-allergen (Patel, Kem,

    Bernstein, Sim, & Peters, 2020).

    Intranasal kortikosteroid digunakan sebagai lini pertama pada

    rinitis alergi sedang-berat. Kombinasi terapi dengan intranasal azelastine

    dan fluticasone lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi (Patel,

    Kem, Bernstein, Sim, & Peters, 2020).

  • 23

    Immunoterapi alergen biasanya digunakan untuk rinitis alergi

    musiman atau tahunan pada pasien yang tidak sembuh dengan pengobatan

    lainnya (Patel, Kem, Bernstein, Sim, & Peters, 2020).

    2.3.8 Komplikasi

    Komplikasi rinitis alergi antara lain adalah Severe chronic upper-

    airways disease, penderita dengan rinitis alergi juga akan meningkatkan

    resiko terkena asma dan terdapat hubungan antara rinitis alergi atau rinitis

    non-alergi terhadap Obstructive sleep apneu (OSA), pada anak-anak dapat

    menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian sleep disordered

    breathing (SDB) dan kegagalan adenotonsillectomy (Dubey, Vui, & Htay,

    2019). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa alergi hidung merupakan

    salah satu faktor terbentuknya polip hidung dan kekambuhan pada polip

    hidung serta pada anak-anak dapat menyebabkan otitis media efusi yang

    sering residif (Irawati & Rusmono, 2017). Selain itu, komplikasi yang

    sering terjadi adalah rinosinusitis terutama rinosinusitis kronik. Gejala

    klinis saat rinitis alergi dapat menyebabkan sumbatan pada sinus paranasal

    yang menyebabkan sinusitis, sehingga menjadi rinosinusitis (Keswani &

    Peters, 2016).

    1.4. Hubungan Rinitis Alergi dengan Rinosinusitis Kronik

    Rinitis alergi, rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik merupakan penyakit

    pernapasan bagian atas yang sering ditemui. Salah satu teori mengemukakan

  • 24

    bahwa alergi menyebabkan pembengkakan pada mukosa, yang menghalangi

    ostium dari sinus dan menganggu transportasi mukosiliar, dan kemungkinan

    menginduksi rinosinusitis. Proses patofisiologis yang melibatkan jalan nafas atas

    umumnya mempengaruhi penyakit jalan nafas yang lebih rendah. Mukosa di

    telinga, hidung, sinus, dan saluran udara bagian bawah sering meradang pada saat

    yang sama (Hoffmans, Wagemakers, Drumen, Hellings, & Fokkens, Acute and

    Chronic Rhinosinusitis and Allergic Rhinitis in Relation to Comorbidity,

    Ethnicity, and Environment, 2018).

    Menurut data dari Geisinger Clinic Primary Care Patients, pasien dengan

    kronik rinosinusitis memiliki prevalensi premorbid rinitis alergi dan rinitis kronik

    yang lebih tinggi. Mengingat tingginya prevalensi atopi pada pasien dengan

    kronik rinosinusitis, hal tersebut membuat pernyataan bahwa atopi dan rinitis

    alergi berkontribusi terhadap keparahan pada rinosinusitis kronik. Pada pasien

    anak-anak yang menjalani operasi sinus endoskopi fungsional, waktu pemulihan

    mereka setelah operasi secara signifikan lebih lama jika mereka memiliki riwayat

    rinitis alergi dibandingkan dengan mereka yang tidak. Ketika mengukur

    keparahan rinosinusitis kronik dengan sinus computed tomography (CT), terdapat

    hasil yang beragam terkait dengan atopi. Dalam studi yang melihat rinosinusitis

    kronik parah, tingkat penyakit radiografi secara signifikan berkorelasi dengan

    eosinofil perifer dan keberadaan atopi (Hoffmans, Wagemakers, Drumen,

    Hellings, & Fokkens, Acute and Chronic Rhinosinusitis and Allergic Rhinitis in

    Relation to Comorbidity, Ethnicity, and Environment, 2018).

  • 25

    Beberapa studi mengemukakan bahwa alergen dan sitokin sebagai

    mediator alergi pada rinosinusitis kronis. Diduga bahwa alergen yang terhirup

    diproses oleh sel imun hidung yang mengaktifkan limfosit T-helper yang menuju

    ke sumsung tulang dan menghasilkan mediator inflamasi tipe 2 seperti IL-4, IL-5,

    dan IL-13 yang memproduksi eosinofil, sel mast, dan basofil (Helman, et al.,

    2020).

    Selain itu, sel mukosa hidung dan paranasal mengeluarkan molekul

    permukaan sel yang menarik mediator inflamasi dan memproduksi sitokin

    inflamasi yang mengarah ke feedback loop. Pada pasien rinosinusitis kronik.

    molekul-molekul adhesi sel permukaan (seperti vascular cell ashesion molecule-1

    atau VCAM-1) dan molekul kemotaktik banyak dikeluarkan serta dijadikan dasar

    mekanisme rinitis alergi yang mempengaruhi rinosinusitis kronik (Helman, et al.,

    2020).