26
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisi Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi dari membran mukosa saluran pencernaan yaitu di lambung, usus halus dan usus besar. Gastroenteritis ditandai dengan gejala utamanya yaitu diare, muntah, mual dan kadang disertai demam dan nyeri abdomen (Beers H. et. al, 2003). Sekiranya tidak ditangani segera dapat mengakibatkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan kematian terutamanya pada anak. Kebanyakan kasus gastroenteritis bersifat infeksius, namun dapat juga terjadi akibat konsumsi obat-obatan dan bahan-bahan toksik seperti plumbum (Marcdante J. et. al, 2011). Penularan gastroenteritis dapat melalui rute fekal-oral dari orang ke orang atau melalui air dan makanan yang terkontaminasi (Cecily Lynn Betz & Linda A. Sowden, ). 2.1.2. Etiologi Gastroenteritis dapat disebabkan oleh banyak hal seperti virus, bakteri, parasit, obat-obatan, alergi makanan dan bahan toksik. Namun, yang paling sering menjadi penyebab adalah virus dan bakteri. Mikroorganisme penyebab gastroenteritis dapat ditularkan dengan pelbagai cara seperti penularan dari orang ke orang dan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Kemampuan suatu organisme untuk menginfeksi berkait rapat dengan cara penyebaran, kemampuan untuk berkolonisasi di saluran pencernaan dan jumlah minimal dari organisme yang dapat menimbulkan penyakit (Marcdante J. et. al, 2011). Kebanyakan kasus gastroenteritis pada anak di seluruh dunia adalah disebabkan oleh infeksi virus (Kasper L. et. al, 2005). Di negara berkembang, 30- 40% dari semua penyakit diare disebabkan oleh virus terutamanya Rotavirus dan Norovirus (Ji Hye Kim & Sung Hee Oh, 2003). Rotavirus dapat menimbulkan endemik sehingga infeksi virus ini mengakibatkan angka kesakitan dan kematian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  • Upload
    hoangtu

  • View
    224

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gastroenteritis

2.1.1. Definisi

Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi dari membran mukosa

saluran pencernaan yaitu di lambung, usus halus dan usus besar. Gastroenteritis

ditandai dengan gejala utamanya yaitu diare, muntah, mual dan kadang disertai

demam dan nyeri abdomen (Beers H. et. al, 2003). Sekiranya tidak ditangani

segera dapat mengakibatkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan gangguan

keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan kematian terutamanya pada

anak. Kebanyakan kasus gastroenteritis bersifat infeksius, namun dapat juga

terjadi akibat konsumsi obat-obatan dan bahan-bahan toksik seperti plumbum

(Marcdante J. et. al, 2011). Penularan gastroenteritis dapat melalui rute fekal-oral

dari orang ke orang atau melalui air dan makanan yang terkontaminasi (Cecily

Lynn Betz & Linda A. Sowden, ).

2.1.2. Etiologi

Gastroenteritis dapat disebabkan oleh banyak hal seperti virus, bakteri,

parasit, obat-obatan, alergi makanan dan bahan toksik. Namun, yang paling sering

menjadi penyebab adalah virus dan bakteri. Mikroorganisme penyebab

gastroenteritis dapat ditularkan dengan pelbagai cara seperti penularan dari orang

ke orang dan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Kemampuan

suatu organisme untuk menginfeksi berkait rapat dengan cara penyebaran,

kemampuan untuk berkolonisasi di saluran pencernaan dan jumlah minimal dari

organisme yang dapat menimbulkan penyakit (Marcdante J. et. al, 2011).

Kebanyakan kasus gastroenteritis pada anak di seluruh dunia adalah

disebabkan oleh infeksi virus (Kasper L. et. al, 2005). Di negara berkembang, 30-

40% dari semua penyakit diare disebabkan oleh virus terutamanya Rotavirus dan

Norovirus (Ji Hye Kim & Sung Hee Oh, 2003). Rotavirus dapat menimbulkan

endemik sehingga infeksi virus ini mengakibatkan angka kesakitan dan kematian

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

5

yang tinggi di kalangan anak yang berusia di bawah lima tahun. Setiap tahun di

seluruh dunia diperkirakan lebih 500 ribu kematian dan 2.4 juta kasus

gastroenteriris akibat Rotavirus yang dirawat inap. Rotavirus merupakan

penyebab gastroenteritis yang menimbulkan diare disertai dehidrasi terutamanya

pada anak yang berumur antara tiga hingga 15 bulan (Kasper L. et. al, 2005).

Bakteri merupakan penyebab gastroenteritis kedua terbanyak setelah virus.

Infeksi bakteri dapat menyebabkan diare inflamasi dan non-inflamasi. Infeksi

bakteri yang menyebabkan diare inflamasi adalah seperti Campylobacter jejuni,

Salmonella sp., Shigella sp., enteroinvasive atau enterohemoragik E. coli dan

Yersinia enterolitica. Diare non-inflamasi biasanya disebabkan oleh

Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Vibrio cholera,

enteropathogenic atau enterotoxigenic E. coli (South-paul E. et. al, 2004).

Selain virus dan bakteri, parasit juga dapat menyebabkan gastroenteritis.

Antaranya ialah Giardia dan Cryptosporidium (South-paul E. et. al, 2004)

2.1.3. Gejala klinis

Umumnya, gejala yang timbul adalah dalam bentuk kombinasi dari

muntah, diare, nyeri abdomen, demam dan kurang nafsu makan. Namun, gejala

utama dari gastroenteritis adalah diare dengan atau tanpa muntah yang dapat

disertai dengan gejala sistemik seperti demam, letargi dan nyeri abdomen (Merck

manuals,2003).

Gastroenteritis yang disebabkan oleh virus biasanya ditandai dengan feses

yang encer tanpa darah atau lendir, muntah dan dehirasi yang lebih menonjol.

Diare dapat menetap sehingga lima sampai tujuh hari manakala demam dan

muntah dapat berlarutan sehingga dua atau tiga hari walaupun hanya demam

ringan (Marcdante J. et. al, 2011).

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

6

2.1.4. Diagnosis

Penyakit gastroenteritis pada kebanyakan anak biasanya berlaku dalam

masa yang singkat dan membaik apabila dehidrasi teratasi. Hal ini menyebabkan

jarang dilakukan pemeriksaan atau tes diagnostik khusus untuk mencari penyebab

dari gastroenteritis (South-paul E. et. al, 2004). Namun, pemeriksaan laboratorium

atau kultur untuk bakteri dan parasit tetap harus dilakukan apabila gejala seperti

demam, tinja berdarah dan diare menetap sampai satu minggu atau lebih. Adanya

leukosit pada tinja menunjukkan adanya infeksi inflamasi. Pada anak yang terlihat

dehidrasi, evaluasi awal pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan

elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan urinalisis dilakukan pada

anak dengan diare sedang sampai berat sebagai indikator hidrasi terutama pada

anak yang dirawat inap dan mendapat terapi cairan (Marcdante J. et. al, 2011).

2.1.5 Penatalaksanaan

Hal utama yang perlu ditangani pada pasien gastroenteritis adalah

dehidrasi. Kebanyakan kasus gastroenteritis yang menyebabkan kematian adalah

disebabkan hidrasi yang tidak ditangani secepatnya (Burkhart M., 1999). Menurut

Kementerian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2011), tatalaksana

penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui lima langkah tuntaskan

diare (LINTAS Diare) telah dilaksanakan sebagai satu strategi dalam

pengendalian penyakit diare. Lima langkah tuntaskan diare termasuklah

pemberian oralit, pemberian obat zinc, pemberian air susu ibu (ASI) / makanan,

pemberian antibiotika hanya atas indikasi dan pemberian nasehat.

1. Pemberian oralit

Menurut American Academy Pediatrics (AAP) (B. Clair Eliason, Lewan

B. Richard,1998), pemberian cepat cairan rehidrasi dalam empat sampai enam jam

dengan elektrolit glukosa oral direkomendasikan untuk mencegah terjadinya

dehidrasi diikuti dengan pemberian susu cair. Cairan oralit yang diberikan adalah

oralit dengan osmolaritas rendah yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah.

Bila penderita tidak dapat minum oralit secara oral, harus segera dibawa ke saran

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

7

kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus (Kemenkes RI, 2011).

Penatalaksanaan diare dengan pemberian oralit perlu didasarkan pada derajat

dehidrasi penderita. Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:

a) Diare tanpa dehidrasi

b) Diare dehidrasi ringan/ sedang

c) Diare dengan dehidrasi berat

2. Pemberian obat zinc

Zinc merupakan mikronutrien yang penting dalam tubuh. Pemberian zinc

selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare,

mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja serta menurunkan

kekambuhan kejadian diare pada tiga bulan berikutnya (Black, 2003). Penelitian

di Indonesia menunjukkan bahawa zinc mempunyai efek protektif terhadap diare

sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc

mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat, 1998 dan Soenarto, 2007).

Berdasarkan ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat menaglami diare.

Dosis pemberian zinc pada balita:

- umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari

- umur > 6 bulan 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara

pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet dalam satu sendok makan

air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes, 2011).

3. Pemberian ASI / makanan

Pemberian makan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada

penderita terutama pada anak agar tetap kuat serta mencegah berkurangnya berat

badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.Anak yang

minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia enam

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

8

bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus

diberikan makananan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih dan lebih

sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama dua

minggu untuk membantu pemulihan berat badan (Kemenkes, 2011).

4. Pemberian antibiotika

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian

diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat

pada penderita diare dengan darah (sebahagian besar karena shigellosis), suspek

kolera. (Eliason Claire & Lewan B, 1998)

Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang

menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak

dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi

ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebahagian besar menimbulkan

efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa

digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia)

(CDC,2003).

5. Pemberian nasehat

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi

nasehat tentang:

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah.

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila diare lebih

sering, muntah berulang, sangat haus, makan / minum sedikit, timbul demam,

tinja berdarah dan tidak membaik dalam tiga hari (Kemenkes, 2011).

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

9

2.2. Antibiotik

2.2.1. Definisi

Istilah antimikroba, antibiotik, dan anti-infeksi mencakup berbagai macam

agen farmasi seperti obat antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiparasit. Antara

berbagai agen tersebut, agen antibakteri adalah yang paling banyak digunakan

(Leekha, 2011). Penggunaan pertama dari antibiotik pada 1940-an telah

mengubah perawatan medis secara dramatis. Hal ini karena, penggunaan

antibiotik dikatakan dapat mengurangi penyakit dan kematian akibat penyakit

menular (CDC, 2011).

Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,

yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik

bukan merupakan “obat peyembuh” penyakit infeksi, tetapi hanyalah obat yang

dapat menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari

suatu penyakit infeksi. (Ganiswara, 1995)

2.2.2. Prinsip Penggunaan Antibiotik

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap obat yang diresepkan

pada pasien haruslah memenuhi kriteria obat yang rasional. Kriteria penggunaan

obat yang rasional menurut International Network Rational use of Drug, 1999

(INRUD) adalah :

a. Tepat indikasi

b. Tepat obat

c. Tepat dosis, durasi dan cara pemberian

d. Tepat pasien

e. Tepat informasi pada pasien

f. Tepat evaluasi atau monitoring

Penggunaan antimikroba yang tepat membutuhkan pemahaman tentang

karakteristik obat, faktor tuan rumah dan patogen, yang semuanya berdampak

pada pemilihan agen antibiotik dan dosisnya.

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

10

Gambar 2.1. Gambaran interaksi antara pasien, patogen dan antibiotik.

Sumber: (McKinnon, 2004)

Pertimbangan penting ketika meresepkan terapi antimikroba adalah

karakteristik dari bakteri termasuk mendapatkan diagnosis infeksi yang akurat,

pola kerentanan terhadap antibiotik, dan kemungkinan konsekuensi bakteri

resisten. Karakteristik pasien harus dipertimbangkan termasuk faktor yang

mempengaruhi interaksi antara pasien dan infeksi, seperti faktor komorbid dan

status kekebalan yang mendasari, serta faktor spesifik pada pasien seperti fungsi

organ dan berat badan, yang akan mempengaruhi farmakokinetik dari antibiotik.

Terakhir, pertimbangan untuk pemilihan antibiotik termasuk aktivitas antibakteri,

kemanjuran klinis, keamanan dan potensi interaksi obat. yang akan mempengaruhi

farmakokinetik dan farmakodinamik obat antimikroba (McKinnon, 2004).

2.2.3 Penggunaan antibiotik pada anak

Antibiotik adalah antara obat yang paling umum diresepkan pada anak dari

berbagai kelompok usia dan merupakan obat yang sebagian besar diresepkan di

pelayanan kesehatan primer. Dalam memilih antibiotik untuk pasien anak,

diperlukan pemahaman farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang akan

digunakan (Ekin-Daukes et al, 2003).

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

11

Terdapat beberapa dasar perbedaan anak dengan orang dewasa pada

penggunaan antibiotik (Sumarmo dkk, 2010). Anak-anak lebih sensitif terhadap

obat yang diberikan berbanding dengan orang dewasa karena berat badan, kondisi

fisik, sistem dan metabolisme tubuh yang belum matang (Ogden & Falharty,

2012).

Terdapat penelitian yang menunjukkan kesilapan dalam pemberian dosis

obat pada anak, dua sampai sepuluh kali lebih besar berbanding dosis yang

direkomendasikan (Lack et al, 1997). Tabel 2.1 menunjukkan 19.2% dari jumlah

keseluruhan anak dalam penelitian tersebut diberikan antibiotik dalam dosis yang

rendah dan 2.2% mendapat antibiotik yang melebihi dosis yang

direkomendasikan.

Age band

(years)

No. Low

dose %

Rate No. High

dose %

Rate Total no. of

antibiotics

0-4 1154 11.8 25.7 243 2.5 5.4 9767

5-11 1604 19.9 22.5 111 1.4 1.6 8055

12-16 1827 30.0 34.9 19 0.3 0.4 6089

Total 4582 19.2 27.1 373 1.6 2.2 23911

Tabel 2.1 penggunaan antibiotik berdasarkan kelompok umur (Ekin-Daukes et al,

2003)

2.2.4 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan

antibiotik pada anak

Penyesuaian dosis pediatrik dapat ditentukan oleh perbedaan

farmakokinetik, farmakodinamik, penyakit atau kombinasi dari faktor-faktor ini.

Farmakokinetik obat pada anak mungkin berbeda dari orang dewasa karena

beberapa alasan antaranya variabilitas usia, komposisi tubuh, fungsi hati dan

ginjal dan pematangan sistem enzimatik (Cella et al., 2010). Oleh karena itu,

pendekatan dosis yang berbeda mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa

konsentrasi antibiotik memenuhi target farmakokinetik atau farmakodinamik

(PK/PD) yang memungkinkan keberhasilan klinis dan sekaligus menentukan dosis

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

12

yang paling tepat untuk neonatus, bayi, anak-anak dan remaja (Johnson, 2005).

Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik seperti waktu paruh, konsentrasi

puncak, waktu penetrasi konsentrasi antibiotik di atas konsentrasi hambat

minimum (KHM) dan tingkat postantibiotic effect (PAE) juga harus

dipertimbangkan dalam penggunaan antibiotik (Haug, 2011). Menurut Sumarmo

dkk, antara faktor yang menentukan keberhasilan pengobatan adalah dosis obat

harus cukup tinggi dan efektif terhadap mikroorganisme, tetapi konsentrasi di

dalam plasma dan jaringan tubuh harus tetap lebih rendah dari dosis toksik.

1. Faktor Farmakokinetik

Efek suatu antimikroba, baik khasiat antimikrobanya maupun efek reaksi

tubuh hospes sangat ditentukan oleh kadar obat (dan metabolitnya yang

aktif/toksik) di biofase tempat kerjanya. Kadar tersebut sangat ditentukan oleh

faktor farmakokinetik (absorpsi, distribusi, ikatan dengan makro-molekul,

biotransformasi dan ekskresi) (Putra, 2008).

Pemberian antimikroba untuk anak memerlukan pertimbangan klinis yang

seksama karena karakteristik farmakokinetik pada anak berbeda dengan orang

dewasa. Kepatuhan makan obat (compliance) dan jenis penyakit infeksi juga

merupakan faktor yang menonjol pada subpopulasi anak (Setiabudy & Istiantoro.,

2003). Beberapa faktor pada pasien bayi dan anak yang berbeda dengan orang

dewasa, yaitu penyerapan, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat (Putra,

2008).

a. Absorpsi

Penyerapan obat pada bayi dan anak mengikut prinsip-prinsip umum yang

sama seperti pada orang dewasa. Faktor unik yang mempengaruhi penyerapan

obat termasuklah aliran darah ke lokasi administrasi, yang ditentukan oleh status

fisiologis bayi atau anak, cara pemberian obat-obatan (secara oral, intramuskular,

dan intravena) dan fungsi saluran cerna (Katzung, 2009).

Pada neonatus dan orang dewasa, proses absorbsi setelah pemberian obat

secara intramuskular (i.m.) atau subkutan tergantung pada laju aliran darah ke

bahagian yang disuntikkan. Terdapat beberapa kondisi fisiologis yang dapat

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

13

mengurangi aliran darah ke daerah ini seperti syok kardiovaskular, vasokonstriksi

akibat agen simpatomimetik dan gagal jantung (Katzung, 2009).

Pemberian obat secara intramuskular juga tidak selamanya menjamin

bahwa absorpsi yang cepat dan lengkap akan terjadi pada pasien anak. Pada

beberapa penyakit, misalnya penurunan curah jantung, respiratory distress

syndrome, dan gangguan sirkulasi darah, terlihat bahwa aliran darah ke otot

berkurang. Pada penyakit-penyakit yang disertai dengan demam berat, misalnya

sindrom nefrotik dan kwashiorkor, bioavailabilitas obat yang diberikan secara i.m.

juga akan berkurang. Pada neonatus, aliran darah ke otot sangat bervariasi

sebelum mencapai usia 2-3 minggu. (Setiabudy & Istiantoro., 2003)

Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada daya absorbsi obat adalah pH

lambung, daya pengosongan lambung, dan luas permukaan saluran

gastrointestinal (Sumarmo dkk, 2010). Kemampuan bayi untuk memproduksi

asam lambung lebih rendah daripada orang dewasa, karena itu penisilin oral yang

mudah dirusak oleh asam lambung diserap lebih lengkap pada pasien kelornpok

usia ini. Setelah usia 3 tahun, eksresi asam lambung per kilogram berat badan

sama dengan ekskresi pada dewasa. Seperti yang terjadi pada pasien dewasa,

penyerapan beberapa antimikroba (misalnya rifampisin, isioniazid, penisilin

berspektrun sempit) terhambat bila diberikan bersama dengan makanan

(Setiabudy & Istiantoro., 2003).

Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi dan konsentrasi plasma

tertinggi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral,

waktu puncaknya mungkin satu sampai tiga jam setelah pemberian obat, tetapi

jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10

menit. Kadar puncak terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks

terapeutik yang sempit dianggap toksik seperti aminoglikosida (Tabel 2.2). Jika

kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi (Kee, 1996).

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

14

Tabel 2.2. Antibiotik Aminoglikosida: Kadar Puncak dan terendah (Sumber: Kee,

1996).

b. Distribusi

Volume distribusi obat dipengaruhi oleh komposisi tubuh. Neonatus

memiliki persentase lebih tinggi dari berat tubuhnya dalam bentuk air (70-75%)

daripada orang dewasa (50-60%). Sementara itu, volume cairan ekstraselular pada

neonatus adalah 40% dari berat badan dibandingkan dengan orang dewasa yang

hanya memiliki 20% (Katzung, 2009). Distribusi antimikroba juga berbeda pada

populasi anak itu sendiri, dari neonatus sehingga remaja (Bradley et al., 2010).

Oleh karena sebagian besar obat-obat yang digunakan dalam bidang pediatri

adalah obat yang larut dalam air, maka volume distribusi obat yang larut dalam air

menjadi lebih besar pada neonatus dan bayi prematur. Akibatnya diperlukan dosis

muatan atau dosis pembebanan (loading dose) yang lebih besar pada kelompok

usia ini (Setiabudy & Istiantoro, 2003).

Dosis pembebanan diberikan untuk mendapatkan efek yang cepat dan

besar dari suatu obat untuk mencapai minimum effective concentration (MEC)

(Kee, 1996). Pada penyakit tertentu, terjadi perubahan pada permeabilitas dari

endotel di mikrovaskular yang berakibat kepada perubahan pada komposisi air di

bahagian ekstraselular. Hal ini akan menyebabkan pertambahan volume distribusi

seterusnya memerlukan dosis pembebanan yang lebih besar. Untuk obat yang

efeknya berdasarkan concentration-dependent killing, diperlukan dosis

pembebanan yang lebih besar untuk mencapai efek bakterisidal yang maksimal.

Contohnya, pemberian aminoglikosida dengan dosis awal yang besar telah

terbukti dapat mengurangkan mortalitas (Mckenzie, 2011). Setelah dosis awal

yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari (Kee, 1996).

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

15

Faktor utama yang menentukan distribusi obat adalah pengikatan obat

pada protein plasma. Albumin merupakan protein plasma dengan kapasitas

pengikatan terbesar. Secara umum, pengikatan protein terhadap obat kurang pada

anak. Hal ini telah terlihat dengan obat ampisilin. Peningkatan konsentrasi obat

yang tidak terikat dengan protein plasma dapat mengakibatkan efek obat yang

lebih besar atau toksisitas meskipun konsentrasi plasma normal atau bahkan

rendah dari jumlah obat (Katzung, 2009).

Pada anak dengan penyakit hati yang berat dan mengalami sindrom

nefrotik, pemberian antimikroba perlu dipantau karena kadar protein plasmanya

yang rendah. Kadar protein yang kurang tersebut dapat menimbulkan dampak

negatif bila terjadi interaksi obat. Contoh klasik untuk ini ialah pemberian

sulfonamid dapat menggeser bilirubin dari ikatannya dengan protein darah dan

mengakibatkan timbulnya kernicterus (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

Pemantauan kadar obat di dalam darah adalah suatu teknik yang

digunakan klinisi untuk mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis

yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target dengan cara mengukur kadar obat

dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat

dalam darah bertujuan untuk membantu meningkatkan penggunaan obat yang

lebih rasional baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita (Elly

Usman, 2007).

Interaksi antibiotik-bakteri biasanya terjadi pada tingkat jaringan. Dengan

demikian, cara pemberian obat yang dapat meningkatkan penetrasi antibiotik ke

dalam jaringan sangat penting dalam memprediksi respons terapi suatu obat.

Konsentrasi antibiotik yang signifikan diperlukan di lokasi infeksi karena

konsentrasi serum tidak selalu mencerminkan konsentrasi jaringan (Aziz et al,

2012). Dosis suatu antimikroba seringkali tergantung dari tempat infeksi,

walaupun kuman penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang

diperlukan untuk mengobati meningitis oleh pneumokokus jauh lebih tinggi

daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran nafas bawah

yang disebabkan oleh kuman yang sama (Ganiswara, 1995).

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

16

Tidak semua bagian tubuh dapat ditembus dengan mudah oleh

antimikroba. Kemampuan antimikroba menembus sawar darah otak merupakan

hal yang penting diperhatikan dalam penatalaksanaan meningitis bakterial.

Antimikroba dapat dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan kemampuannya

menembus sawar darah-otak. Kelompok pertama ialah antimikroba yang dapat

menembus sawar darah otak dengan baik tanpa tergantung dari ada atau tidaknya

radang. Yang termasuk ini ialah kloramfenikol serta kombinasi sulfonamid dan

trimetoprim. Kelompok yang kedua ialah antimikroba yang hanya dapat

menembus sawar darah otak dengan baik bila terjadi radang pada selaput otak.

Antimikroba yang termasuk golongan ini ialah golongan penisilin, golongan

sefalosporin generasi ketiga, rifampisin, dan vankomisin. Kelompok yang ketiga

ialah antimikroba yang sulit menembus sawar darah otak dengan atau tanpa

radang. Antimikroba yang termasuk kelompok ini ialah aminoglikosida,

klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

c. Metabolisme

Proses metabolisme mempengaruhi waktu paruh suatu obat (Kee, 1996).

Kebanyakan obat dimetabolisme di hati, memiliki kadar clearance yang lambat,

dan waktu paruh yang panjang (Setiabudy & Istiantoro., 2003). Contohnya, pada

kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih

sedikit obat yang dimetabolisme (Kee, 1996). Pemberian obat untuk kelompok

usia ini perlu diberi perhatian, terutamanya obat yang diberikan untuk jangka

waktu yang lama (Setiabudy & Istiantoro., 2003).

Kemampuan untuk memetabolisme obat pada anak masih kurang, jika

pemberian dosis obat dan interval dosis tidak dilakukan dengan tepat, maka akan

terjadi efek samping yang tidak diinginkan pada anak (Setiabudy & Istiantoro.,

2003). Lama kerja suatu obat tergantung dari waktu paruhnya, jadi waktu paruh

merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-

obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t1/2 = 2 jam), diberikan

beberapa kali sehari (McKenzie, 2011). Manakala obat-obat dengan waktu paruh

panjang seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika suatu obat dengan

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

17

waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi

penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat

(Kee, 1996).

d. Eksresi atau eliminasi

Secara umumnya, metabolisme dan ekskresi obat oleh ginjal masih belum

sempurna pada neonatus. Tetapi, kemampuan metabolisme dan ekskresi obat pada

anak besar lebih sempurna dan hampir sama dengan orang dewasa. Walaupun

demikian, pada beberapa penyakit, fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu

sebelum pemberian obat antimikroba tertentu (Sumarmo dkk, 2010). Hal ini amat

penting karena anak dengan disfungsi organ tidak dapat mengeliminasi obat

antimikroba dengan efektif sepertimana pada anak dengan organ yang normal.

Contohnya, farmakokinetik vankomisin pada anak dengan gagal ginjal akan

berbeda daripada anak dengan ginjal yang normal (Bradley et al., 2010).

Makin prematur seorang bayi, makin rendah kemampuan ginjalnya untuk

mengekskresi obat sehingga makin panjang pula masa paruh eliminasi obat

(Setiabudy & Istiantoro., 2003). Kadar eliminasi diekspresikan melalui waktu

paruh suatu obat di dalam serum yang dikenal sebagai kadar konsentrasi plasma

terendah. Apabila suatu obat diberikan, interval dosis biasanya dikira tiga hingga

empat kali dari waktu paruh obat. Hal ini membolehkan konsentrasi obat dapat

dipertahankan agar tetap berada di atas KHM. Kebanyakan antimikroba seperti

beta-laktam, aminoglikosida, tetrasiklin, dan sulfonamid diekskresi melaui ginjal

dengan cara filtrasi glomerulus atau sekresi tubular. Obat antibiotik seperti

aminoglikosida, tetrasiklin, florokuinolon dan vankomisin diekskresikan

terutamanya dengan cara filtrasi glomerulus. Dengan cara ini, hanya obat yang

tidak berikatan dengan protein plasma yang akan diekskresikan seterusnya dapat

menyebabkan waktu paruh obat dalam serum lebih panjang. Obat antibiotik lain

seperti eritromisin, klindamisin, rifampin, nafsilin diekskresikan melalui hati dan

obat doksisiklin pula diekskresikan melaui tinja (Hessen & Kaye, 2004).

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

18

2. Faktor farmakodinamik

Farmakodinamik (PD) membahas tentang hubungan antara kadar

antibiotik di dalam tubuh dan efek antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya

ditentukan oleh parameter farmakokinetik sahaja. Namun, ternyata

farmakodinamik obat juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih

penting (Levison, 2004). Pada abad resistensi antibiotik yang terus meningkat ini,

faktor farmakodinamik obat bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-

parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang lebih optimal

untuk melawan atau mencegah resistensi (Menkes RI, 2011).

Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan

aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan

efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang

diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan

kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic

Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah

paparan antibiotik (Menkes RI, 2011).

Setelah suatu mikroorganisme patogen diidentifikasi, langkah berikutnya

yang dilakukan adalah uji kerentanan antimikroba (AST). Uji kerentanan

antimikroba mengukur kemampuan organisme tertentu untuk tumbuh dalam

keadaan adanya obat secara in vitro dan data dilaporkan dalam bentuk konsentrasi

hambat minimum (KHM) yang menjadi ukuran utama aktivitas antibiotik

(Leekha, 2011). KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna

menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM

adalah indikator baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan

apa-apa tentang perjalana waktu aktivitas antibiotik (Menkes RI, 2011).

Berdasarkan kriteria dari Clinical and Laboratory Standards Institute,

kadar hambat minimal diinterpretasikan sebagai “susceptibility”, “resistant” atau

“intermediate” dan disebut sebagai breakpoints. “Susceptible” menunjukkan

bahwa isolasi organisme yang mungkin akan dihambat oleh konsentrasi agen

antimikroba yang tertentu yang biasanya dicapai ketika dosis direkomendasikan

untuk suatu lokasi infeksi tertentu. Breakpoints biasanya ditentukan oleh tahap

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

19

obat yang dapat dicapai dalam serum dan bukan konsentrasi obat di lokasi infeksi

(Leekha, 2011).

Kadar hambat minimal bagi setiap antibiotik terhadapa bakteri yang

susceptible adalah berbeza antara satu dengan yang lain. Antibiotik tertentu

(misalnya INH dan eritromisin) aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik

menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi kadar hambat

minimal (KHM), sebaliknya dosis rendah antibiotik kelompok bakterisid dapat

bersifat bakteriostatik atau tidak bekerja sama sekali (Ganiswarna, 1995).

Terdapat dua faktor penentu utama dalam membunuh bakteri yaitu

konsentrasi dan waktu antimikroba tetap berada di dalam plasma. Setelah

pemberian suatu dosis dari antibiotik, daerah di bawah kurva konsentrasi serum

(AUC) menunjukkan berapa tinggi konsentrasi dan berapa lama tingkat antibiotik

berada tetap berada pada tahap melebihi sasaran KHM selama satu interval dosis.

Pada dasarnya, AUC secara tidak langsung mengukur dua faktor utama

untuk mengeradikasi bakteri dan menunjukkan jumlah paparan dari organisme

terhadap antibiotik selama satu interval dosis (Quintiliani, 2008).

a. Time-Dependent Killing:

Untuk antibiotik tertentu, efek aktivitasnya bergantung kepada masa atau

konsentrasi suatu obat berada pada lokasi pengikatan. Misalnya, antibiotik seperti

beta-laktam (penisilin, sefalosporin, carbapenem, monobactam), klindamisin,

makrolida (eritromisin, clarithromycin), oxazolidinones (linezolid), dapat menjadi

efektif apabila obat dapat berikatan dengan mikroorganisme dalam waktu yang

lama. Oleh karena itu, antibiotik ini disebut sebagai antibiotik yang efek

aktivitasnya tergantung pada waktu. Untuk obat ini, parameter farmakodinamik

yang dapat digunakan adalah konsentrasi di serum tetap melebihi kadar hambat

minimal (KHM) selama interval pemberian dosis (T>KHM) (Quintiliani, 2008).

Contohnya, dosis tinggi dari penisilin dan sefalosporin tidak mengeliminasi

bakteri lebih dari dosis sederhana. Penisilin memiliki waktu paruh yang singkat,

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

20

obat tersebut sering diberikan, sebaiknya empat kali per hari, sehingga konsentrasi

berada di atas MIC lebih dari 50% dari waktu. (Haug,2011)

b. Concentration-dependent killing:

Kelas antibiotik yang lain, seperti aminoglikosida dan florokuinolon,

memiliki konsentrasi yang tinggi pada lokasi pengikatan seterusnya dapat

mengeradikasi mikroorganisme dan karenanya, obat ini dianggap sebagai obat

yang efeknya bergantung pada konsentrasi. Untuk agen yang tergantung

konsentrasi, parameter farmakodinamik yang dapat digunakan adalah rasio

puncak / KHM (Gambar 2.2.). Obat yang tergantung konsentrasi memerlukan

dosis awal yang tinggi untuk mencapai efek terapi yang maksimal yaitu ketika

konsentrasi adalah > 10 kali di atas KHM untuk suatu organisme di tempat infeksi

(Craig, 1993). Efek dari aminoglikosida dan florokuinolon tergantung pada

konsentrasi puncak, yaitu dosis yang lebih tinggi (dalam batas tertentu)

menghilangkan bakteri lebih baik dari dosis rendah. Florokuinolon memiliki

waktu paruh yang panjang dan dapat diberikan dua kali sehari. Aminoglikosida

mempunyai waktu paruh yang panjang dan efek pasca antibiotik yang lama

khususnya terhadap batang gram negatif dan dapat diberikan dalam dosis sekali

sehari (Quintiliani, 2008).

Gambar 2.2 Parameter farmakokinetik/farmakodinamik yang menentukan efek

suatu antibiotik (Sumber: McKinnon, 2004).

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

21

Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan sejauh

mana optimalisasi keseimbangan antara efek terapeutik yang diinginkan dengan

efek samping atau efek toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. (Usman, 2007)

Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI),

memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang

mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal

(mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada

angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya. (Kee, 1996)

TI=LD50

ED50

Gambar 2.3. Indeks terapeutik mengukur batas keamanan dari suatu obat, yaitu

rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif dan dosis letal. (Sumber: Diadaptasi

dari Songer dan Matejski; Nursing Pharmacology, 2/E, Philadelphia, JB

Lippincott, hal 37, 1991.)

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

22

Obat-obat dengan indeks terapeutik yang rendah mempunyai batas

keamanan yang sempit (Gambar 2.4. (A)). Dosis obat mungkin perlu penyesuaian

dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak

keamanan antara dosis efektif dan dosis letal. Obat-obat dengan indeks terapeutik

tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam

menimbulkan efek toksik (Gambar 2.4. (B)). Kadar obat dalam plasma (serum)

tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks

terapeutik yang tinggi. Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma

harus berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk

memperoleh kerja obat yang diinginkan) dan efek toksiknya. Jika batas terapeutik

diberikan, maka ini mencakup baik bagian obat yang berikatan dengan protein

maupun yang tidak (Kee, 1996).

3. Faktor pasien

Penentuan dosis antimikroba tertentu adalah untuk penderita tertentu pula,

ada kalanya perlu dipertimbangkan faktor-faktor khusus. Hal ini terutama

berhubungan dengan keadaan fungsi organ tubuh hospes, khususnya ginjal

sebagai organ untuk ekskresi, dan hepar sebagai organ biotransformasi serta

ekskresi. Toksisitas Karbenisilin ada hubungannya dengan dosis. Untuk penderita

Gambar 2.4. (A) Obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit, dan efek obat harus dipantau dengan ketat.

(B) Obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan kurang menimbulkan risiko toksisitas (Sumber: Diadaptasi dari Songer dan Matejski; Nursing Pharmacology, 2/E, Philadelphia, JB Lippincott, hal 37, 1991).

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

23

dengan gangguan fungsi ginjal, dosis kabenisillin perlu diturunkan. Ekskresi

tetrasiklin, terutama terjadi melalui ginjal, dengan adanya gangguan fungsi ginjal,

jenis tetrasiklin (kecuali doksisiklin) merupakan kontraindikasi karena bersifat

nefrotoksik. Kalaupun diberikan tetrasiklin, dosisnya perlu dikurangi untuk

menghindari tercapainya kadar toksik di dalam darah (Putra, 2008).

Pepatah anak bukanlah orang dewasa kecil tidak hanya berlaku untuk

pemilihan obat dan dosis yang sesuai untuk digunakan pada anak tetapi juga

berlaku untuk kerentanan mereka terhadap reaksi obat yang merugikan (Johnson,

2005). Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat

yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping, baik yang diingini

maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepatpun, efek samping dapat

terjadi. Efek toksik suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas

terapeutik obat tersebut dalam plasma. Tetapi untuk obat-obat yang mempunyai

indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat

yang mempunyai indeks terapeutik yang sempit, seperti antibiotika

aminoglikosida, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Untuk menghindari efek

toksik, adalah perlu mengetahui waktu paruh, persentase pengikatan dengan

protein, efek samping normal dan batas terapeutik suatu obat (Kee, 1996). Efek

samping akibat penggunaan antibiotik dapat dikelompokkan kepada empat yaitu

reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan

metabolik pada hospes.

a. Reaksi Alergi

Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan

sistem imun tubuh hospes, terjadinya tidak tergantung pada besarnya dosis obat.

Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Prognosis reaksi

seringkali sukar diramalkan walaupun didasarkan ata riwayat reaksi alergi pasien.

Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak

selalu mengalami reaksi itu kembali, ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya

orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang

penisilin.

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

24

b. Reaksi idiosinkrasi

Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik

terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam

akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini disebabkan

mereka kekurangan enzim G6PD.

c. Reaksi toksik

Antibiotik umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek

toksik pada hospes dapat ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Contohnya,

golongan tetrasiklin dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan jaringan tulang,

termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam

dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik terutamanya pada pasien pielonefritis

dan pada wanita hamil.

Di samping faktor jenis obat, berbagai faktor lain dalam tubuh dapat turut

menentukan terjadinya reaksi toksik, antara lain fungsi organ atau sistem tertentu

sehubungan dengan biotransformasi dan ekskresi obat.

d. Perubahan biologik dan metabolik

Pada tubuh hospes yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat

populasi mikroflora normal yang penting untuk sistem pertahanan tubuh. Dalam

keadaan yang seimbang, populasi mikroflora tersebut tidak menunjukkan sifat

patogen. Penggunaan antibiotik terutama yang berspektrum lebar, dapat

mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang

meningkat jumah populasinya dapat menjadi patogen. Hal ini dapat terjadi di

beberapa bagian tubuh seperti di saluran cerna, saluran nafas, dan kulit. Contoh,

meningkatnya insidensi strain toksik dari Clostridium difficile yang menyebabkan

lebih tinggi angka kematian dan perlu dirawat inap lebih lama (Ganiswarna,

1995).

Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi

yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu

antibiotik. Antara faktor terjadinya superinfeksi adalah akibat penggunaan

antibiotik yang berspektrum lebar, khususnya tetrasiklin dan penggunaan

antibiotik yang terlalu lama. Makin lebar spektrum suatu antibiotik, maka makin

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

25

besar kemungkinan suatu jenis mikroflora tertentu menjadi dominan (Ganiswarna,

1995).

Selain menimbulkan perubahan biologik, antibiotik juga dapat

menimbulkan gangguan nutrisi atau metabolik, umpamanya gangguan absorpsi

zat makanan oleh neomisin.

4. Resistensi bakteri terhadap antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan

daya kerja antibiotik (Ganiswarna, 1995). Penggunaan antibiotik yang berlebihan

atau kurang pada anak dapat berdampak kepada timbulnya resistensi bakteri

(Togoobaatar, 2010). Penggunaan meluas antibiotik dengan dosis rendah mungkin

dapat meningkatkan potensi terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba

seterusnya memperpanjang durasi perawatan (Nigel, 2003).

2.2.5. Penghitungan dosis obat pada anak

Sebagian besar obat di pasaran awalnya dikembangkan untuk orang

dewasa dan pemilihan dosis didasarkan pada keseimbangan yang optimal antara

efikasi klinis dan keamanan (Johnson, 2005). Normalisasi dosis dewasa menurut

umur, berat badan atau kovariat demografis lain tanpa bukti awal tentang

bagaimana faktor-faktor ini berkontribusi pada perbedaan dalam pajanan obat

dapat menyebabkan penggunaan dosis pediatrik yang tidak aman (Ekins-Daukes

et al, 2003). Namun, pertimbangan etika, praktis dan bahkan ekonomi telah

menyebabkan efektivitas evaluasi dan keamanan obat pada anak harus didasarkan

pada ekstrapolasi empiris dari uji klinis pada orang dewasa. Dengan demikian,

skala empiris dari orang dewasa kepada anak-anak terus menjadi metode utama

untuk pemilihan dosis pada anak-anak, dengan penyesuaian untuk berat badan

sebagai pendekatan yang paling umum digunakan. (Cella et al, 2010) Dua metode

yang aman digunakan adalah metode berdasarkan berat badan dan luas permukaan

tubuh (LPT, atau m2) (Lack, 1997). Dosis anak-anak dapat ditentukan dari dosis

dewasa dengan menggunakan peraturan luas permukaan tubuh (Ogden &

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

26

Fluharty, 2011). Metode yang lebih lama dalam penghitungan dosis anak adalah

rumus Fried dan rumus Young, yang berdasarkan umur anak, dan rumus Clark

yang berdasarkan berat badan anak (Kee, 1996).

a. Dosis berdasarkan berat badan

Penghitungan dosis obat anak adalah penting untuk memastikan bahawa

anak mendapat dosis yang tepat dalam batas terapeutik yang disetujui. Salah satu

metode pemberian dosis yang aman adalah metode berdasarkan berat badan (kg)

(Kee, 1996). Pemberian dosis berdasarkan berat badan harus mempertimbangkan

faktor obesitas. Hal ini karena, obesitas dapat menyebabkan konsentrasi dosis

standard yang diberikan tidak adekuat (Haug, 2011). Selain itu, obesitas juga

dapat menyebabkan perubahan fisiologis termasuk peningkatan massa otot dan

jaringan adiposa. Keadaan ini dapat mempengaruhi distribusi, metabolisme dan

juga clearance dari suatu obat. Pada pasien obesitas juga terjadi peningkatan dari

protein plasma yang boleh menyebabkan komposisi obat yang tidak terikat kepada

protein berkurang, seterusnya efek obat turut berkurang (Grace, 2012).

b. Dosis berdasarkan umur

Proses pemberian dosis pada anak menjadi sulit apabila terdapat variasi

dosis untuk umur yang berbeda. Contohnya, menurut Summary of Product

Charateristics, (SPC) merekomendasikan berbeda usia di mana peningkatan dosis

harus terjadi. Misalnya, peningkatan dosis yang signifikan untuk Amoxycillin

terjadi pada usia 10 tahun, sementara fenoksimetilpenisilin langkah peningkatan

direkomendasikan pada 1 dan 6 tahun. (Ekin-Daukes et al, 2003)

Metode lain untuk penyesuaian dosis berdasarkan usia yaitu anak dibagi

menjadi subkategori (prematur bayi baru lahir, bayi cukup bulan, bayi, balita,

anak-anak dan remaja) dan dosis yang dipilih sesuai dengan usia anak. Metode ini

tidak memperhitungkan perubahan karena pertumbuhan perkembangan yang

terjadi dalam setiap kelompok usia. Meskipun kapasitas metabolisme hepatik dari

seorang anak berusia 5 tahun benar-benar berbeda dari neonatus, pendekatan ini

gagal dalam menggambarkan kematangan metabolisme antara anak umur satu dan

enam bulan. Di sisi lain, mungkin tidak ada perbedaan dalam metabolisme obat di

antara remaja dan orang dewasa. (Cella et al., 2010)

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

27

c. Dosis berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT)

Takaran dosis dari orang dewasa juga dapat dilakukan dengan normalisasi

berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT), dengan asumsi bahwa proses

metabolisme pada manusia adalah konstan bila diekspresikan sebagai fungsi dari

LPT. Namun, beberapa kelemahan membatasi penerapan metode ini yaitu

kesulitan dalam menghitung LPT (karena kompleksitas dan ketidaktelitian dari

rumus yang dapat digunakan) dan kecenderungan untuk overdosis neonatus dan

bayi. Ada juga sedikit pembenaran untuk LPT dari perspektif farmakokinetik:

perubahan parameter farmakokinetik seluruh populasi anak tidak berubah secara

proporsional dengan LPT, karena LPT tidak mendeskripsikan fungsi metabolik

(misalnya skala dengan LPT tidak dapat memprediksi kurangnya enzim saat lahir,

menyebabkan overdosis neonatus) (Lack, 1997).

2.2.6. Lama Pemberian antibiotik

Kepekaan kuman terhadap antimikroba tertentu tidak menjamin efektivitas

klinis suatu pengobatan. Terdapat faktor lain yang dapat menjadi penyebab

kegagalan terapi, salah satunya adalah durasi pemberian obat yang kurang.

Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk tiap jenis infeksi perlu diberikan

antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan

(Ganiswarna, 1995). Pada umumnya para ahli lebih cenderung melakukan

individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapainya respons klinik yang

memuaskan (Esposito, 2012) .

Lama pemberian antimikroba merupakan salah satu dari faktor penting

dalam mencapai penyembuhan infeksi dan pencegahan relaps (Paul, 2006). Waktu

yang diperlukan untuk mencapai kedua tujuan ini sangat bervariasi. Ada infeksi

yang dapat disembuhkan dengan pemberian antimikroba beberapa hari sahaja dan

adapula infeksi yang memerlukan terapi yang lama, misalnya pada pengobatan

tuberkulosis paru. Variasi lama terapi ini dipengaruhi oleh: (Imam, 2008)

a. Kemampuan mikroba melawan mekanisme pertahanan tubuh pasien.

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

28

b. Lokasi infeksi yang cukup untuk menghambat atau mematikan mikroba

tersebut.

c. Potensi daya antimikroba yang ditentukan dengan nilai kadar hambat minimal

(KHM) dan Kadar Bakterisida Minimal (KBM).

d. Frekuensi terjadinya resistensi terhadap antimikroba.

Pemberian antimikroba dalam jangka waktu yang pendek tetapi efektif

mungkin dapat mengurangkan kadar efek samping (Esposito, 2012). Dalam

pemberian antibiotik, perlu difikirkan efek samping suatu obat jika diberikan

dalam jangka waktu yang lama. Contohnya dalam penggunaan obat antimikroba

jenis aminoglikosida, terdapat dua jenis toksisitas yang dapat disebabkan oleh

pemakaian obat tersebut yaitu nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Oleh itu,

pemberian obat aminoglikosida perlu diberikan dalam jangka masa yang singkat

agar tidak terjadi efek toksisitas yang berkepanjangan (McKenzie, 2011).

Lama pemberian antimikroba juga bergantung kepada jenis antimikroba

yang diberikan. Misalnya pada tonsillo-pharyngitis, durasi pengobatan selama 10

hari dengan penisilin merupakan terapi pilihan, tetapi ada penelitian yang

menunjukkan penggunaan obat cephalosporin dan azithromycin dapat

memberikan efek yang lebih baik dalam hal eradikasi bakteri dengan durasi yang

lebih singkat yaitu tiga hari (Esposito, 2012)

Selain itu, lama pemberian juga bergantung kepada jenis penyebab infeksi

yang dialami pasien. Untuk infeksi tertentu seperti infeksi bakterimia oleh

Staphylococcus aureus dan Enterococcal endokarditis, terbukti memerlukan

durasi pengobatan yang lama untuk mencegah terjadinya relaps. Menurut

Moussaoui et al. (2006), durasi pengobatan selama tiga hari adalah mencukupi

bagi community-acquired pneumonia tanpa komplikasi berbanding durasi

pengobatan sekarang yang memerlukan pengobatan selama tujuh hingga 10 hari.

Pada pasien dengan infeksi hospitalized-acquired pneumonia dan ventilator-

acquired pneumonia, kebanyakan pasien menerima pengobatan dalam waktu 10-

14 hari, tetapi bagi pasien yang mengalami infeksi oleh organisme non-fermentasi

laktosa seperti Pseudomonas aeruginosa, durasi pengobatan adalah lebih lama

yaitu 14-21 hari (Esposito, 2012).

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastroenteritis 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter II.pdf · Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan

  

29

Durasi optimal pengobatan tidak hanya berbeda pada setiap individu,

melainkan berbeda antara orang dewasa dan anak (Esposito, 2012). Contohnya

pada pengobatan bakterial sinusitis akut (BSA). Menurut Infectious Diseases

Society of America (IDSA), lama pemberian terapi antibiotik untuk sinusitis akut

bakterial adalah lima hingga tujuh hari pada orang dewasa dan lebih lama pada

anak-anak yaitu 10-14 hari (Chow et al., 2012). Namun, hal ini tidak terjadi pada

semua jenis infeksi, karena terdapat penelitian menyatakan durasi pengobatan

untuk community-acquired pneumonia pada anak dan orang dewasa tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan (Esposito, 2012).

Menurut Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotika yang

disediakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011, lama

pemberian antibiotik berdasarkan efikasi klinis untuk eradikasi mikroba atau

sesuai protokol terapi untuk penyakit tertentu, adalah sebagai berikut:

Sebagian besar infeksi seperti Pneumonia, Septikemia : 5 – 7 hari

Cystitis : 3 hari

Streptococcal pharingitis : 10 hari

Endokarditis : 2 – 6 minggu

Pyelonephritis : 2 minggu

Osteomyelitis : beberapa minggu/bulan

Septic arthritis : 2-6 minggu

Lung abscess : 4-6 minggu

Liver abscess : 1-4 bulan