Upload
hoangtu
View
224
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gastroenteritis
2.1.1. Definisi
Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi dari membran mukosa
saluran pencernaan yaitu di lambung, usus halus dan usus besar. Gastroenteritis
ditandai dengan gejala utamanya yaitu diare, muntah, mual dan kadang disertai
demam dan nyeri abdomen (Beers H. et. al, 2003). Sekiranya tidak ditangani
segera dapat mengakibatkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan gangguan
keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan kematian terutamanya pada
anak. Kebanyakan kasus gastroenteritis bersifat infeksius, namun dapat juga
terjadi akibat konsumsi obat-obatan dan bahan-bahan toksik seperti plumbum
(Marcdante J. et. al, 2011). Penularan gastroenteritis dapat melalui rute fekal-oral
dari orang ke orang atau melalui air dan makanan yang terkontaminasi (Cecily
Lynn Betz & Linda A. Sowden, ).
2.1.2. Etiologi
Gastroenteritis dapat disebabkan oleh banyak hal seperti virus, bakteri,
parasit, obat-obatan, alergi makanan dan bahan toksik. Namun, yang paling sering
menjadi penyebab adalah virus dan bakteri. Mikroorganisme penyebab
gastroenteritis dapat ditularkan dengan pelbagai cara seperti penularan dari orang
ke orang dan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Kemampuan
suatu organisme untuk menginfeksi berkait rapat dengan cara penyebaran,
kemampuan untuk berkolonisasi di saluran pencernaan dan jumlah minimal dari
organisme yang dapat menimbulkan penyakit (Marcdante J. et. al, 2011).
Kebanyakan kasus gastroenteritis pada anak di seluruh dunia adalah
disebabkan oleh infeksi virus (Kasper L. et. al, 2005). Di negara berkembang, 30-
40% dari semua penyakit diare disebabkan oleh virus terutamanya Rotavirus dan
Norovirus (Ji Hye Kim & Sung Hee Oh, 2003). Rotavirus dapat menimbulkan
endemik sehingga infeksi virus ini mengakibatkan angka kesakitan dan kematian
5
yang tinggi di kalangan anak yang berusia di bawah lima tahun. Setiap tahun di
seluruh dunia diperkirakan lebih 500 ribu kematian dan 2.4 juta kasus
gastroenteriris akibat Rotavirus yang dirawat inap. Rotavirus merupakan
penyebab gastroenteritis yang menimbulkan diare disertai dehidrasi terutamanya
pada anak yang berumur antara tiga hingga 15 bulan (Kasper L. et. al, 2005).
Bakteri merupakan penyebab gastroenteritis kedua terbanyak setelah virus.
Infeksi bakteri dapat menyebabkan diare inflamasi dan non-inflamasi. Infeksi
bakteri yang menyebabkan diare inflamasi adalah seperti Campylobacter jejuni,
Salmonella sp., Shigella sp., enteroinvasive atau enterohemoragik E. coli dan
Yersinia enterolitica. Diare non-inflamasi biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Vibrio cholera,
enteropathogenic atau enterotoxigenic E. coli (South-paul E. et. al, 2004).
Selain virus dan bakteri, parasit juga dapat menyebabkan gastroenteritis.
Antaranya ialah Giardia dan Cryptosporidium (South-paul E. et. al, 2004)
2.1.3. Gejala klinis
Umumnya, gejala yang timbul adalah dalam bentuk kombinasi dari
muntah, diare, nyeri abdomen, demam dan kurang nafsu makan. Namun, gejala
utama dari gastroenteritis adalah diare dengan atau tanpa muntah yang dapat
disertai dengan gejala sistemik seperti demam, letargi dan nyeri abdomen (Merck
manuals,2003).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh virus biasanya ditandai dengan feses
yang encer tanpa darah atau lendir, muntah dan dehirasi yang lebih menonjol.
Diare dapat menetap sehingga lima sampai tujuh hari manakala demam dan
muntah dapat berlarutan sehingga dua atau tiga hari walaupun hanya demam
ringan (Marcdante J. et. al, 2011).
6
2.1.4. Diagnosis
Penyakit gastroenteritis pada kebanyakan anak biasanya berlaku dalam
masa yang singkat dan membaik apabila dehidrasi teratasi. Hal ini menyebabkan
jarang dilakukan pemeriksaan atau tes diagnostik khusus untuk mencari penyebab
dari gastroenteritis (South-paul E. et. al, 2004). Namun, pemeriksaan laboratorium
atau kultur untuk bakteri dan parasit tetap harus dilakukan apabila gejala seperti
demam, tinja berdarah dan diare menetap sampai satu minggu atau lebih. Adanya
leukosit pada tinja menunjukkan adanya infeksi inflamasi. Pada anak yang terlihat
dehidrasi, evaluasi awal pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan
elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan urinalisis dilakukan pada
anak dengan diare sedang sampai berat sebagai indikator hidrasi terutama pada
anak yang dirawat inap dan mendapat terapi cairan (Marcdante J. et. al, 2011).
2.1.5 Penatalaksanaan
Hal utama yang perlu ditangani pada pasien gastroenteritis adalah
dehidrasi. Kebanyakan kasus gastroenteritis yang menyebabkan kematian adalah
disebabkan hidrasi yang tidak ditangani secepatnya (Burkhart M., 1999). Menurut
Kementerian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2011), tatalaksana
penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui lima langkah tuntaskan
diare (LINTAS Diare) telah dilaksanakan sebagai satu strategi dalam
pengendalian penyakit diare. Lima langkah tuntaskan diare termasuklah
pemberian oralit, pemberian obat zinc, pemberian air susu ibu (ASI) / makanan,
pemberian antibiotika hanya atas indikasi dan pemberian nasehat.
1. Pemberian oralit
Menurut American Academy Pediatrics (AAP) (B. Clair Eliason, Lewan
B. Richard,1998), pemberian cepat cairan rehidrasi dalam empat sampai enam jam
dengan elektrolit glukosa oral direkomendasikan untuk mencegah terjadinya
dehidrasi diikuti dengan pemberian susu cair. Cairan oralit yang diberikan adalah
oralit dengan osmolaritas rendah yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
Bila penderita tidak dapat minum oralit secara oral, harus segera dibawa ke saran
7
kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus (Kemenkes RI, 2011).
Penatalaksanaan diare dengan pemberian oralit perlu didasarkan pada derajat
dehidrasi penderita. Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
a) Diare tanpa dehidrasi
b) Diare dehidrasi ringan/ sedang
c) Diare dengan dehidrasi berat
2. Pemberian obat zinc
Zinc merupakan mikronutrien yang penting dalam tubuh. Pemberian zinc
selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare,
mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada tiga bulan berikutnya (Black, 2003). Penelitian
di Indonesia menunjukkan bahawa zinc mempunyai efek protektif terhadap diare
sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc
mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat, 1998 dan Soenarto, 2007).
Berdasarkan ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat menaglami diare.
Dosis pemberian zinc pada balita:
- umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
- umur > 6 bulan 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara
pemberian tablet zinc adalah dengan melarutkan tablet dalam satu sendok makan
air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes, 2011).
3. Pemberian ASI / makanan
Pemberian makan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat serta mencegah berkurangnya berat
badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia enam
8
bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus
diberikan makananan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih dan lebih
sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama dua
minggu untuk membantu pemulihan berat badan (Kemenkes, 2011).
4. Pemberian antibiotika
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian
diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat
pada penderita diare dengan darah (sebahagian besar karena shigellosis), suspek
kolera. (Eliason Claire & Lewan B, 1998)
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak
dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi
ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebahagian besar menimbulkan
efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia)
(CDC,2003).
5. Pemberian nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi
nasehat tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah.
2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila diare lebih
sering, muntah berulang, sangat haus, makan / minum sedikit, timbul demam,
tinja berdarah dan tidak membaik dalam tiga hari (Kemenkes, 2011).
9
2.2. Antibiotik
2.2.1. Definisi
Istilah antimikroba, antibiotik, dan anti-infeksi mencakup berbagai macam
agen farmasi seperti obat antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiparasit. Antara
berbagai agen tersebut, agen antibakteri adalah yang paling banyak digunakan
(Leekha, 2011). Penggunaan pertama dari antibiotik pada 1940-an telah
mengubah perawatan medis secara dramatis. Hal ini karena, penggunaan
antibiotik dikatakan dapat mengurangi penyakit dan kematian akibat penyakit
menular (CDC, 2011).
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik
bukan merupakan “obat peyembuh” penyakit infeksi, tetapi hanyalah obat yang
dapat menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari
suatu penyakit infeksi. (Ganiswara, 1995)
2.2.2. Prinsip Penggunaan Antibiotik
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap obat yang diresepkan
pada pasien haruslah memenuhi kriteria obat yang rasional. Kriteria penggunaan
obat yang rasional menurut International Network Rational use of Drug, 1999
(INRUD) adalah :
a. Tepat indikasi
b. Tepat obat
c. Tepat dosis, durasi dan cara pemberian
d. Tepat pasien
e. Tepat informasi pada pasien
f. Tepat evaluasi atau monitoring
Penggunaan antimikroba yang tepat membutuhkan pemahaman tentang
karakteristik obat, faktor tuan rumah dan patogen, yang semuanya berdampak
pada pemilihan agen antibiotik dan dosisnya.
10
Gambar 2.1. Gambaran interaksi antara pasien, patogen dan antibiotik.
Sumber: (McKinnon, 2004)
Pertimbangan penting ketika meresepkan terapi antimikroba adalah
karakteristik dari bakteri termasuk mendapatkan diagnosis infeksi yang akurat,
pola kerentanan terhadap antibiotik, dan kemungkinan konsekuensi bakteri
resisten. Karakteristik pasien harus dipertimbangkan termasuk faktor yang
mempengaruhi interaksi antara pasien dan infeksi, seperti faktor komorbid dan
status kekebalan yang mendasari, serta faktor spesifik pada pasien seperti fungsi
organ dan berat badan, yang akan mempengaruhi farmakokinetik dari antibiotik.
Terakhir, pertimbangan untuk pemilihan antibiotik termasuk aktivitas antibakteri,
kemanjuran klinis, keamanan dan potensi interaksi obat. yang akan mempengaruhi
farmakokinetik dan farmakodinamik obat antimikroba (McKinnon, 2004).
2.2.3 Penggunaan antibiotik pada anak
Antibiotik adalah antara obat yang paling umum diresepkan pada anak dari
berbagai kelompok usia dan merupakan obat yang sebagian besar diresepkan di
pelayanan kesehatan primer. Dalam memilih antibiotik untuk pasien anak,
diperlukan pemahaman farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang akan
digunakan (Ekin-Daukes et al, 2003).
11
Terdapat beberapa dasar perbedaan anak dengan orang dewasa pada
penggunaan antibiotik (Sumarmo dkk, 2010). Anak-anak lebih sensitif terhadap
obat yang diberikan berbanding dengan orang dewasa karena berat badan, kondisi
fisik, sistem dan metabolisme tubuh yang belum matang (Ogden & Falharty,
2012).
Terdapat penelitian yang menunjukkan kesilapan dalam pemberian dosis
obat pada anak, dua sampai sepuluh kali lebih besar berbanding dosis yang
direkomendasikan (Lack et al, 1997). Tabel 2.1 menunjukkan 19.2% dari jumlah
keseluruhan anak dalam penelitian tersebut diberikan antibiotik dalam dosis yang
rendah dan 2.2% mendapat antibiotik yang melebihi dosis yang
direkomendasikan.
Age band
(years)
No. Low
dose %
Rate No. High
dose %
Rate Total no. of
antibiotics
0-4 1154 11.8 25.7 243 2.5 5.4 9767
5-11 1604 19.9 22.5 111 1.4 1.6 8055
12-16 1827 30.0 34.9 19 0.3 0.4 6089
Total 4582 19.2 27.1 373 1.6 2.2 23911
Tabel 2.1 penggunaan antibiotik berdasarkan kelompok umur (Ekin-Daukes et al,
2003)
2.2.4 Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan
antibiotik pada anak
Penyesuaian dosis pediatrik dapat ditentukan oleh perbedaan
farmakokinetik, farmakodinamik, penyakit atau kombinasi dari faktor-faktor ini.
Farmakokinetik obat pada anak mungkin berbeda dari orang dewasa karena
beberapa alasan antaranya variabilitas usia, komposisi tubuh, fungsi hati dan
ginjal dan pematangan sistem enzimatik (Cella et al., 2010). Oleh karena itu,
pendekatan dosis yang berbeda mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa
konsentrasi antibiotik memenuhi target farmakokinetik atau farmakodinamik
(PK/PD) yang memungkinkan keberhasilan klinis dan sekaligus menentukan dosis
12
yang paling tepat untuk neonatus, bayi, anak-anak dan remaja (Johnson, 2005).
Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik seperti waktu paruh, konsentrasi
puncak, waktu penetrasi konsentrasi antibiotik di atas konsentrasi hambat
minimum (KHM) dan tingkat postantibiotic effect (PAE) juga harus
dipertimbangkan dalam penggunaan antibiotik (Haug, 2011). Menurut Sumarmo
dkk, antara faktor yang menentukan keberhasilan pengobatan adalah dosis obat
harus cukup tinggi dan efektif terhadap mikroorganisme, tetapi konsentrasi di
dalam plasma dan jaringan tubuh harus tetap lebih rendah dari dosis toksik.
1. Faktor Farmakokinetik
Efek suatu antimikroba, baik khasiat antimikrobanya maupun efek reaksi
tubuh hospes sangat ditentukan oleh kadar obat (dan metabolitnya yang
aktif/toksik) di biofase tempat kerjanya. Kadar tersebut sangat ditentukan oleh
faktor farmakokinetik (absorpsi, distribusi, ikatan dengan makro-molekul,
biotransformasi dan ekskresi) (Putra, 2008).
Pemberian antimikroba untuk anak memerlukan pertimbangan klinis yang
seksama karena karakteristik farmakokinetik pada anak berbeda dengan orang
dewasa. Kepatuhan makan obat (compliance) dan jenis penyakit infeksi juga
merupakan faktor yang menonjol pada subpopulasi anak (Setiabudy & Istiantoro.,
2003). Beberapa faktor pada pasien bayi dan anak yang berbeda dengan orang
dewasa, yaitu penyerapan, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat (Putra,
2008).
a. Absorpsi
Penyerapan obat pada bayi dan anak mengikut prinsip-prinsip umum yang
sama seperti pada orang dewasa. Faktor unik yang mempengaruhi penyerapan
obat termasuklah aliran darah ke lokasi administrasi, yang ditentukan oleh status
fisiologis bayi atau anak, cara pemberian obat-obatan (secara oral, intramuskular,
dan intravena) dan fungsi saluran cerna (Katzung, 2009).
Pada neonatus dan orang dewasa, proses absorbsi setelah pemberian obat
secara intramuskular (i.m.) atau subkutan tergantung pada laju aliran darah ke
bahagian yang disuntikkan. Terdapat beberapa kondisi fisiologis yang dapat
13
mengurangi aliran darah ke daerah ini seperti syok kardiovaskular, vasokonstriksi
akibat agen simpatomimetik dan gagal jantung (Katzung, 2009).
Pemberian obat secara intramuskular juga tidak selamanya menjamin
bahwa absorpsi yang cepat dan lengkap akan terjadi pada pasien anak. Pada
beberapa penyakit, misalnya penurunan curah jantung, respiratory distress
syndrome, dan gangguan sirkulasi darah, terlihat bahwa aliran darah ke otot
berkurang. Pada penyakit-penyakit yang disertai dengan demam berat, misalnya
sindrom nefrotik dan kwashiorkor, bioavailabilitas obat yang diberikan secara i.m.
juga akan berkurang. Pada neonatus, aliran darah ke otot sangat bervariasi
sebelum mencapai usia 2-3 minggu. (Setiabudy & Istiantoro., 2003)
Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada daya absorbsi obat adalah pH
lambung, daya pengosongan lambung, dan luas permukaan saluran
gastrointestinal (Sumarmo dkk, 2010). Kemampuan bayi untuk memproduksi
asam lambung lebih rendah daripada orang dewasa, karena itu penisilin oral yang
mudah dirusak oleh asam lambung diserap lebih lengkap pada pasien kelornpok
usia ini. Setelah usia 3 tahun, eksresi asam lambung per kilogram berat badan
sama dengan ekskresi pada dewasa. Seperti yang terjadi pada pasien dewasa,
penyerapan beberapa antimikroba (misalnya rifampisin, isioniazid, penisilin
berspektrun sempit) terhambat bila diberikan bersama dengan makanan
(Setiabudy & Istiantoro., 2003).
Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi dan konsentrasi plasma
tertinggi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral,
waktu puncaknya mungkin satu sampai tiga jam setelah pemberian obat, tetapi
jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10
menit. Kadar puncak terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks
terapeutik yang sempit dianggap toksik seperti aminoglikosida (Tabel 2.2). Jika
kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi (Kee, 1996).
14
Tabel 2.2. Antibiotik Aminoglikosida: Kadar Puncak dan terendah (Sumber: Kee,
1996).
b. Distribusi
Volume distribusi obat dipengaruhi oleh komposisi tubuh. Neonatus
memiliki persentase lebih tinggi dari berat tubuhnya dalam bentuk air (70-75%)
daripada orang dewasa (50-60%). Sementara itu, volume cairan ekstraselular pada
neonatus adalah 40% dari berat badan dibandingkan dengan orang dewasa yang
hanya memiliki 20% (Katzung, 2009). Distribusi antimikroba juga berbeda pada
populasi anak itu sendiri, dari neonatus sehingga remaja (Bradley et al., 2010).
Oleh karena sebagian besar obat-obat yang digunakan dalam bidang pediatri
adalah obat yang larut dalam air, maka volume distribusi obat yang larut dalam air
menjadi lebih besar pada neonatus dan bayi prematur. Akibatnya diperlukan dosis
muatan atau dosis pembebanan (loading dose) yang lebih besar pada kelompok
usia ini (Setiabudy & Istiantoro, 2003).
Dosis pembebanan diberikan untuk mendapatkan efek yang cepat dan
besar dari suatu obat untuk mencapai minimum effective concentration (MEC)
(Kee, 1996). Pada penyakit tertentu, terjadi perubahan pada permeabilitas dari
endotel di mikrovaskular yang berakibat kepada perubahan pada komposisi air di
bahagian ekstraselular. Hal ini akan menyebabkan pertambahan volume distribusi
seterusnya memerlukan dosis pembebanan yang lebih besar. Untuk obat yang
efeknya berdasarkan concentration-dependent killing, diperlukan dosis
pembebanan yang lebih besar untuk mencapai efek bakterisidal yang maksimal.
Contohnya, pemberian aminoglikosida dengan dosis awal yang besar telah
terbukti dapat mengurangkan mortalitas (Mckenzie, 2011). Setelah dosis awal
yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari (Kee, 1996).
15
Faktor utama yang menentukan distribusi obat adalah pengikatan obat
pada protein plasma. Albumin merupakan protein plasma dengan kapasitas
pengikatan terbesar. Secara umum, pengikatan protein terhadap obat kurang pada
anak. Hal ini telah terlihat dengan obat ampisilin. Peningkatan konsentrasi obat
yang tidak terikat dengan protein plasma dapat mengakibatkan efek obat yang
lebih besar atau toksisitas meskipun konsentrasi plasma normal atau bahkan
rendah dari jumlah obat (Katzung, 2009).
Pada anak dengan penyakit hati yang berat dan mengalami sindrom
nefrotik, pemberian antimikroba perlu dipantau karena kadar protein plasmanya
yang rendah. Kadar protein yang kurang tersebut dapat menimbulkan dampak
negatif bila terjadi interaksi obat. Contoh klasik untuk ini ialah pemberian
sulfonamid dapat menggeser bilirubin dari ikatannya dengan protein darah dan
mengakibatkan timbulnya kernicterus (Setiabudy & Istiantoro., 2003).
Pemantauan kadar obat di dalam darah adalah suatu teknik yang
digunakan klinisi untuk mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis
yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target dengan cara mengukur kadar obat
dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian dosis. Pemantauan kadar obat
dalam darah bertujuan untuk membantu meningkatkan penggunaan obat yang
lebih rasional baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu penderita (Elly
Usman, 2007).
Interaksi antibiotik-bakteri biasanya terjadi pada tingkat jaringan. Dengan
demikian, cara pemberian obat yang dapat meningkatkan penetrasi antibiotik ke
dalam jaringan sangat penting dalam memprediksi respons terapi suatu obat.
Konsentrasi antibiotik yang signifikan diperlukan di lokasi infeksi karena
konsentrasi serum tidak selalu mencerminkan konsentrasi jaringan (Aziz et al,
2012). Dosis suatu antimikroba seringkali tergantung dari tempat infeksi,
walaupun kuman penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang
diperlukan untuk mengobati meningitis oleh pneumokokus jauh lebih tinggi
daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran nafas bawah
yang disebabkan oleh kuman yang sama (Ganiswara, 1995).
16
Tidak semua bagian tubuh dapat ditembus dengan mudah oleh
antimikroba. Kemampuan antimikroba menembus sawar darah otak merupakan
hal yang penting diperhatikan dalam penatalaksanaan meningitis bakterial.
Antimikroba dapat dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan kemampuannya
menembus sawar darah-otak. Kelompok pertama ialah antimikroba yang dapat
menembus sawar darah otak dengan baik tanpa tergantung dari ada atau tidaknya
radang. Yang termasuk ini ialah kloramfenikol serta kombinasi sulfonamid dan
trimetoprim. Kelompok yang kedua ialah antimikroba yang hanya dapat
menembus sawar darah otak dengan baik bila terjadi radang pada selaput otak.
Antimikroba yang termasuk golongan ini ialah golongan penisilin, golongan
sefalosporin generasi ketiga, rifampisin, dan vankomisin. Kelompok yang ketiga
ialah antimikroba yang sulit menembus sawar darah otak dengan atau tanpa
radang. Antimikroba yang termasuk kelompok ini ialah aminoglikosida,
klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Setiabudy & Istiantoro., 2003).
c. Metabolisme
Proses metabolisme mempengaruhi waktu paruh suatu obat (Kee, 1996).
Kebanyakan obat dimetabolisme di hati, memiliki kadar clearance yang lambat,
dan waktu paruh yang panjang (Setiabudy & Istiantoro., 2003). Contohnya, pada
kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih
sedikit obat yang dimetabolisme (Kee, 1996). Pemberian obat untuk kelompok
usia ini perlu diberi perhatian, terutamanya obat yang diberikan untuk jangka
waktu yang lama (Setiabudy & Istiantoro., 2003).
Kemampuan untuk memetabolisme obat pada anak masih kurang, jika
pemberian dosis obat dan interval dosis tidak dilakukan dengan tepat, maka akan
terjadi efek samping yang tidak diinginkan pada anak (Setiabudy & Istiantoro.,
2003). Lama kerja suatu obat tergantung dari waktu paruhnya, jadi waktu paruh
merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-
obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t1/2 = 2 jam), diberikan
beberapa kali sehari (McKenzie, 2011). Manakala obat-obat dengan waktu paruh
panjang seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika suatu obat dengan
17
waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi
penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat
(Kee, 1996).
d. Eksresi atau eliminasi
Secara umumnya, metabolisme dan ekskresi obat oleh ginjal masih belum
sempurna pada neonatus. Tetapi, kemampuan metabolisme dan ekskresi obat pada
anak besar lebih sempurna dan hampir sama dengan orang dewasa. Walaupun
demikian, pada beberapa penyakit, fungsi ginjal harus diperiksa terlebih dahulu
sebelum pemberian obat antimikroba tertentu (Sumarmo dkk, 2010). Hal ini amat
penting karena anak dengan disfungsi organ tidak dapat mengeliminasi obat
antimikroba dengan efektif sepertimana pada anak dengan organ yang normal.
Contohnya, farmakokinetik vankomisin pada anak dengan gagal ginjal akan
berbeda daripada anak dengan ginjal yang normal (Bradley et al., 2010).
Makin prematur seorang bayi, makin rendah kemampuan ginjalnya untuk
mengekskresi obat sehingga makin panjang pula masa paruh eliminasi obat
(Setiabudy & Istiantoro., 2003). Kadar eliminasi diekspresikan melalui waktu
paruh suatu obat di dalam serum yang dikenal sebagai kadar konsentrasi plasma
terendah. Apabila suatu obat diberikan, interval dosis biasanya dikira tiga hingga
empat kali dari waktu paruh obat. Hal ini membolehkan konsentrasi obat dapat
dipertahankan agar tetap berada di atas KHM. Kebanyakan antimikroba seperti
beta-laktam, aminoglikosida, tetrasiklin, dan sulfonamid diekskresi melaui ginjal
dengan cara filtrasi glomerulus atau sekresi tubular. Obat antibiotik seperti
aminoglikosida, tetrasiklin, florokuinolon dan vankomisin diekskresikan
terutamanya dengan cara filtrasi glomerulus. Dengan cara ini, hanya obat yang
tidak berikatan dengan protein plasma yang akan diekskresikan seterusnya dapat
menyebabkan waktu paruh obat dalam serum lebih panjang. Obat antibiotik lain
seperti eritromisin, klindamisin, rifampin, nafsilin diekskresikan melalui hati dan
obat doksisiklin pula diekskresikan melaui tinja (Hessen & Kaye, 2004).
18
2. Faktor farmakodinamik
Farmakodinamik (PD) membahas tentang hubungan antara kadar
antibiotik di dalam tubuh dan efek antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya
ditentukan oleh parameter farmakokinetik sahaja. Namun, ternyata
farmakodinamik obat juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih
penting (Levison, 2004). Pada abad resistensi antibiotik yang terus meningkat ini,
faktor farmakodinamik obat bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-
parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang lebih optimal
untuk melawan atau mencegah resistensi (Menkes RI, 2011).
Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan
aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan
efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang
diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan
kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic
Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah
paparan antibiotik (Menkes RI, 2011).
Setelah suatu mikroorganisme patogen diidentifikasi, langkah berikutnya
yang dilakukan adalah uji kerentanan antimikroba (AST). Uji kerentanan
antimikroba mengukur kemampuan organisme tertentu untuk tumbuh dalam
keadaan adanya obat secara in vitro dan data dilaporkan dalam bentuk konsentrasi
hambat minimum (KHM) yang menjadi ukuran utama aktivitas antibiotik
(Leekha, 2011). KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna
menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM
adalah indikator baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan
apa-apa tentang perjalana waktu aktivitas antibiotik (Menkes RI, 2011).
Berdasarkan kriteria dari Clinical and Laboratory Standards Institute,
kadar hambat minimal diinterpretasikan sebagai “susceptibility”, “resistant” atau
“intermediate” dan disebut sebagai breakpoints. “Susceptible” menunjukkan
bahwa isolasi organisme yang mungkin akan dihambat oleh konsentrasi agen
antimikroba yang tertentu yang biasanya dicapai ketika dosis direkomendasikan
untuk suatu lokasi infeksi tertentu. Breakpoints biasanya ditentukan oleh tahap
19
obat yang dapat dicapai dalam serum dan bukan konsentrasi obat di lokasi infeksi
(Leekha, 2011).
Kadar hambat minimal bagi setiap antibiotik terhadapa bakteri yang
susceptible adalah berbeza antara satu dengan yang lain. Antibiotik tertentu
(misalnya INH dan eritromisin) aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik
menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi kadar hambat
minimal (KHM), sebaliknya dosis rendah antibiotik kelompok bakterisid dapat
bersifat bakteriostatik atau tidak bekerja sama sekali (Ganiswarna, 1995).
Terdapat dua faktor penentu utama dalam membunuh bakteri yaitu
konsentrasi dan waktu antimikroba tetap berada di dalam plasma. Setelah
pemberian suatu dosis dari antibiotik, daerah di bawah kurva konsentrasi serum
(AUC) menunjukkan berapa tinggi konsentrasi dan berapa lama tingkat antibiotik
berada tetap berada pada tahap melebihi sasaran KHM selama satu interval dosis.
Pada dasarnya, AUC secara tidak langsung mengukur dua faktor utama
untuk mengeradikasi bakteri dan menunjukkan jumlah paparan dari organisme
terhadap antibiotik selama satu interval dosis (Quintiliani, 2008).
a. Time-Dependent Killing:
Untuk antibiotik tertentu, efek aktivitasnya bergantung kepada masa atau
konsentrasi suatu obat berada pada lokasi pengikatan. Misalnya, antibiotik seperti
beta-laktam (penisilin, sefalosporin, carbapenem, monobactam), klindamisin,
makrolida (eritromisin, clarithromycin), oxazolidinones (linezolid), dapat menjadi
efektif apabila obat dapat berikatan dengan mikroorganisme dalam waktu yang
lama. Oleh karena itu, antibiotik ini disebut sebagai antibiotik yang efek
aktivitasnya tergantung pada waktu. Untuk obat ini, parameter farmakodinamik
yang dapat digunakan adalah konsentrasi di serum tetap melebihi kadar hambat
minimal (KHM) selama interval pemberian dosis (T>KHM) (Quintiliani, 2008).
Contohnya, dosis tinggi dari penisilin dan sefalosporin tidak mengeliminasi
bakteri lebih dari dosis sederhana. Penisilin memiliki waktu paruh yang singkat,
20
obat tersebut sering diberikan, sebaiknya empat kali per hari, sehingga konsentrasi
berada di atas MIC lebih dari 50% dari waktu. (Haug,2011)
b. Concentration-dependent killing:
Kelas antibiotik yang lain, seperti aminoglikosida dan florokuinolon,
memiliki konsentrasi yang tinggi pada lokasi pengikatan seterusnya dapat
mengeradikasi mikroorganisme dan karenanya, obat ini dianggap sebagai obat
yang efeknya bergantung pada konsentrasi. Untuk agen yang tergantung
konsentrasi, parameter farmakodinamik yang dapat digunakan adalah rasio
puncak / KHM (Gambar 2.2.). Obat yang tergantung konsentrasi memerlukan
dosis awal yang tinggi untuk mencapai efek terapi yang maksimal yaitu ketika
konsentrasi adalah > 10 kali di atas KHM untuk suatu organisme di tempat infeksi
(Craig, 1993). Efek dari aminoglikosida dan florokuinolon tergantung pada
konsentrasi puncak, yaitu dosis yang lebih tinggi (dalam batas tertentu)
menghilangkan bakteri lebih baik dari dosis rendah. Florokuinolon memiliki
waktu paruh yang panjang dan dapat diberikan dua kali sehari. Aminoglikosida
mempunyai waktu paruh yang panjang dan efek pasca antibiotik yang lama
khususnya terhadap batang gram negatif dan dapat diberikan dalam dosis sekali
sehari (Quintiliani, 2008).
Gambar 2.2 Parameter farmakokinetik/farmakodinamik yang menentukan efek
suatu antibiotik (Sumber: McKinnon, 2004).
21
Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan sejauh
mana optimalisasi keseimbangan antara efek terapeutik yang diinginkan dengan
efek samping atau efek toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. (Usman, 2007)
Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI),
memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang
mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal
(mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada
angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya. (Kee, 1996)
TI=LD50
ED50
Gambar 2.3. Indeks terapeutik mengukur batas keamanan dari suatu obat, yaitu
rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif dan dosis letal. (Sumber: Diadaptasi
dari Songer dan Matejski; Nursing Pharmacology, 2/E, Philadelphia, JB
Lippincott, hal 37, 1991.)
22
Obat-obat dengan indeks terapeutik yang rendah mempunyai batas
keamanan yang sempit (Gambar 2.4. (A)). Dosis obat mungkin perlu penyesuaian
dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak
keamanan antara dosis efektif dan dosis letal. Obat-obat dengan indeks terapeutik
tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam
menimbulkan efek toksik (Gambar 2.4. (B)). Kadar obat dalam plasma (serum)
tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks
terapeutik yang tinggi. Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma
harus berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk
memperoleh kerja obat yang diinginkan) dan efek toksiknya. Jika batas terapeutik
diberikan, maka ini mencakup baik bagian obat yang berikatan dengan protein
maupun yang tidak (Kee, 1996).
3. Faktor pasien
Penentuan dosis antimikroba tertentu adalah untuk penderita tertentu pula,
ada kalanya perlu dipertimbangkan faktor-faktor khusus. Hal ini terutama
berhubungan dengan keadaan fungsi organ tubuh hospes, khususnya ginjal
sebagai organ untuk ekskresi, dan hepar sebagai organ biotransformasi serta
ekskresi. Toksisitas Karbenisilin ada hubungannya dengan dosis. Untuk penderita
Gambar 2.4. (A) Obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit, dan efek obat harus dipantau dengan ketat.
(B) Obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan kurang menimbulkan risiko toksisitas (Sumber: Diadaptasi dari Songer dan Matejski; Nursing Pharmacology, 2/E, Philadelphia, JB Lippincott, hal 37, 1991).
23
dengan gangguan fungsi ginjal, dosis kabenisillin perlu diturunkan. Ekskresi
tetrasiklin, terutama terjadi melalui ginjal, dengan adanya gangguan fungsi ginjal,
jenis tetrasiklin (kecuali doksisiklin) merupakan kontraindikasi karena bersifat
nefrotoksik. Kalaupun diberikan tetrasiklin, dosisnya perlu dikurangi untuk
menghindari tercapainya kadar toksik di dalam darah (Putra, 2008).
Pepatah anak bukanlah orang dewasa kecil tidak hanya berlaku untuk
pemilihan obat dan dosis yang sesuai untuk digunakan pada anak tetapi juga
berlaku untuk kerentanan mereka terhadap reaksi obat yang merugikan (Johnson,
2005). Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat
yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping, baik yang diingini
maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepatpun, efek samping dapat
terjadi. Efek toksik suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas
terapeutik obat tersebut dalam plasma. Tetapi untuk obat-obat yang mempunyai
indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat
yang mempunyai indeks terapeutik yang sempit, seperti antibiotika
aminoglikosida, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Untuk menghindari efek
toksik, adalah perlu mengetahui waktu paruh, persentase pengikatan dengan
protein, efek samping normal dan batas terapeutik suatu obat (Kee, 1996). Efek
samping akibat penggunaan antibiotik dapat dikelompokkan kepada empat yaitu
reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan
metabolik pada hospes.
a. Reaksi Alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan
sistem imun tubuh hospes, terjadinya tidak tergantung pada besarnya dosis obat.
Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Prognosis reaksi
seringkali sukar diramalkan walaupun didasarkan ata riwayat reaksi alergi pasien.
Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak
selalu mengalami reaksi itu kembali, ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya
orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang
penisilin.
24
b. Reaksi idiosinkrasi
Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik
terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam
akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini disebabkan
mereka kekurangan enzim G6PD.
c. Reaksi toksik
Antibiotik umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif. Efek
toksik pada hospes dapat ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Contohnya,
golongan tetrasiklin dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan jaringan tulang,
termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam
dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik terutamanya pada pasien pielonefritis
dan pada wanita hamil.
Di samping faktor jenis obat, berbagai faktor lain dalam tubuh dapat turut
menentukan terjadinya reaksi toksik, antara lain fungsi organ atau sistem tertentu
sehubungan dengan biotransformasi dan ekskresi obat.
d. Perubahan biologik dan metabolik
Pada tubuh hospes yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat
populasi mikroflora normal yang penting untuk sistem pertahanan tubuh. Dalam
keadaan yang seimbang, populasi mikroflora tersebut tidak menunjukkan sifat
patogen. Penggunaan antibiotik terutama yang berspektrum lebar, dapat
mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang
meningkat jumah populasinya dapat menjadi patogen. Hal ini dapat terjadi di
beberapa bagian tubuh seperti di saluran cerna, saluran nafas, dan kulit. Contoh,
meningkatnya insidensi strain toksik dari Clostridium difficile yang menyebabkan
lebih tinggi angka kematian dan perlu dirawat inap lebih lama (Ganiswarna,
1995).
Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi
yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu
antibiotik. Antara faktor terjadinya superinfeksi adalah akibat penggunaan
antibiotik yang berspektrum lebar, khususnya tetrasiklin dan penggunaan
antibiotik yang terlalu lama. Makin lebar spektrum suatu antibiotik, maka makin
25
besar kemungkinan suatu jenis mikroflora tertentu menjadi dominan (Ganiswarna,
1995).
Selain menimbulkan perubahan biologik, antibiotik juga dapat
menimbulkan gangguan nutrisi atau metabolik, umpamanya gangguan absorpsi
zat makanan oleh neomisin.
4. Resistensi bakteri terhadap antibiotik
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan
daya kerja antibiotik (Ganiswarna, 1995). Penggunaan antibiotik yang berlebihan
atau kurang pada anak dapat berdampak kepada timbulnya resistensi bakteri
(Togoobaatar, 2010). Penggunaan meluas antibiotik dengan dosis rendah mungkin
dapat meningkatkan potensi terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba
seterusnya memperpanjang durasi perawatan (Nigel, 2003).
2.2.5. Penghitungan dosis obat pada anak
Sebagian besar obat di pasaran awalnya dikembangkan untuk orang
dewasa dan pemilihan dosis didasarkan pada keseimbangan yang optimal antara
efikasi klinis dan keamanan (Johnson, 2005). Normalisasi dosis dewasa menurut
umur, berat badan atau kovariat demografis lain tanpa bukti awal tentang
bagaimana faktor-faktor ini berkontribusi pada perbedaan dalam pajanan obat
dapat menyebabkan penggunaan dosis pediatrik yang tidak aman (Ekins-Daukes
et al, 2003). Namun, pertimbangan etika, praktis dan bahkan ekonomi telah
menyebabkan efektivitas evaluasi dan keamanan obat pada anak harus didasarkan
pada ekstrapolasi empiris dari uji klinis pada orang dewasa. Dengan demikian,
skala empiris dari orang dewasa kepada anak-anak terus menjadi metode utama
untuk pemilihan dosis pada anak-anak, dengan penyesuaian untuk berat badan
sebagai pendekatan yang paling umum digunakan. (Cella et al, 2010) Dua metode
yang aman digunakan adalah metode berdasarkan berat badan dan luas permukaan
tubuh (LPT, atau m2) (Lack, 1997). Dosis anak-anak dapat ditentukan dari dosis
dewasa dengan menggunakan peraturan luas permukaan tubuh (Ogden &
26
Fluharty, 2011). Metode yang lebih lama dalam penghitungan dosis anak adalah
rumus Fried dan rumus Young, yang berdasarkan umur anak, dan rumus Clark
yang berdasarkan berat badan anak (Kee, 1996).
a. Dosis berdasarkan berat badan
Penghitungan dosis obat anak adalah penting untuk memastikan bahawa
anak mendapat dosis yang tepat dalam batas terapeutik yang disetujui. Salah satu
metode pemberian dosis yang aman adalah metode berdasarkan berat badan (kg)
(Kee, 1996). Pemberian dosis berdasarkan berat badan harus mempertimbangkan
faktor obesitas. Hal ini karena, obesitas dapat menyebabkan konsentrasi dosis
standard yang diberikan tidak adekuat (Haug, 2011). Selain itu, obesitas juga
dapat menyebabkan perubahan fisiologis termasuk peningkatan massa otot dan
jaringan adiposa. Keadaan ini dapat mempengaruhi distribusi, metabolisme dan
juga clearance dari suatu obat. Pada pasien obesitas juga terjadi peningkatan dari
protein plasma yang boleh menyebabkan komposisi obat yang tidak terikat kepada
protein berkurang, seterusnya efek obat turut berkurang (Grace, 2012).
b. Dosis berdasarkan umur
Proses pemberian dosis pada anak menjadi sulit apabila terdapat variasi
dosis untuk umur yang berbeda. Contohnya, menurut Summary of Product
Charateristics, (SPC) merekomendasikan berbeda usia di mana peningkatan dosis
harus terjadi. Misalnya, peningkatan dosis yang signifikan untuk Amoxycillin
terjadi pada usia 10 tahun, sementara fenoksimetilpenisilin langkah peningkatan
direkomendasikan pada 1 dan 6 tahun. (Ekin-Daukes et al, 2003)
Metode lain untuk penyesuaian dosis berdasarkan usia yaitu anak dibagi
menjadi subkategori (prematur bayi baru lahir, bayi cukup bulan, bayi, balita,
anak-anak dan remaja) dan dosis yang dipilih sesuai dengan usia anak. Metode ini
tidak memperhitungkan perubahan karena pertumbuhan perkembangan yang
terjadi dalam setiap kelompok usia. Meskipun kapasitas metabolisme hepatik dari
seorang anak berusia 5 tahun benar-benar berbeda dari neonatus, pendekatan ini
gagal dalam menggambarkan kematangan metabolisme antara anak umur satu dan
enam bulan. Di sisi lain, mungkin tidak ada perbedaan dalam metabolisme obat di
antara remaja dan orang dewasa. (Cella et al., 2010)
27
c. Dosis berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT)
Takaran dosis dari orang dewasa juga dapat dilakukan dengan normalisasi
berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT), dengan asumsi bahwa proses
metabolisme pada manusia adalah konstan bila diekspresikan sebagai fungsi dari
LPT. Namun, beberapa kelemahan membatasi penerapan metode ini yaitu
kesulitan dalam menghitung LPT (karena kompleksitas dan ketidaktelitian dari
rumus yang dapat digunakan) dan kecenderungan untuk overdosis neonatus dan
bayi. Ada juga sedikit pembenaran untuk LPT dari perspektif farmakokinetik:
perubahan parameter farmakokinetik seluruh populasi anak tidak berubah secara
proporsional dengan LPT, karena LPT tidak mendeskripsikan fungsi metabolik
(misalnya skala dengan LPT tidak dapat memprediksi kurangnya enzim saat lahir,
menyebabkan overdosis neonatus) (Lack, 1997).
2.2.6. Lama Pemberian antibiotik
Kepekaan kuman terhadap antimikroba tertentu tidak menjamin efektivitas
klinis suatu pengobatan. Terdapat faktor lain yang dapat menjadi penyebab
kegagalan terapi, salah satunya adalah durasi pemberian obat yang kurang.
Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk tiap jenis infeksi perlu diberikan
antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan
(Ganiswarna, 1995). Pada umumnya para ahli lebih cenderung melakukan
individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapainya respons klinik yang
memuaskan (Esposito, 2012) .
Lama pemberian antimikroba merupakan salah satu dari faktor penting
dalam mencapai penyembuhan infeksi dan pencegahan relaps (Paul, 2006). Waktu
yang diperlukan untuk mencapai kedua tujuan ini sangat bervariasi. Ada infeksi
yang dapat disembuhkan dengan pemberian antimikroba beberapa hari sahaja dan
adapula infeksi yang memerlukan terapi yang lama, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis paru. Variasi lama terapi ini dipengaruhi oleh: (Imam, 2008)
a. Kemampuan mikroba melawan mekanisme pertahanan tubuh pasien.
28
b. Lokasi infeksi yang cukup untuk menghambat atau mematikan mikroba
tersebut.
c. Potensi daya antimikroba yang ditentukan dengan nilai kadar hambat minimal
(KHM) dan Kadar Bakterisida Minimal (KBM).
d. Frekuensi terjadinya resistensi terhadap antimikroba.
Pemberian antimikroba dalam jangka waktu yang pendek tetapi efektif
mungkin dapat mengurangkan kadar efek samping (Esposito, 2012). Dalam
pemberian antibiotik, perlu difikirkan efek samping suatu obat jika diberikan
dalam jangka waktu yang lama. Contohnya dalam penggunaan obat antimikroba
jenis aminoglikosida, terdapat dua jenis toksisitas yang dapat disebabkan oleh
pemakaian obat tersebut yaitu nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Oleh itu,
pemberian obat aminoglikosida perlu diberikan dalam jangka masa yang singkat
agar tidak terjadi efek toksisitas yang berkepanjangan (McKenzie, 2011).
Lama pemberian antimikroba juga bergantung kepada jenis antimikroba
yang diberikan. Misalnya pada tonsillo-pharyngitis, durasi pengobatan selama 10
hari dengan penisilin merupakan terapi pilihan, tetapi ada penelitian yang
menunjukkan penggunaan obat cephalosporin dan azithromycin dapat
memberikan efek yang lebih baik dalam hal eradikasi bakteri dengan durasi yang
lebih singkat yaitu tiga hari (Esposito, 2012)
Selain itu, lama pemberian juga bergantung kepada jenis penyebab infeksi
yang dialami pasien. Untuk infeksi tertentu seperti infeksi bakterimia oleh
Staphylococcus aureus dan Enterococcal endokarditis, terbukti memerlukan
durasi pengobatan yang lama untuk mencegah terjadinya relaps. Menurut
Moussaoui et al. (2006), durasi pengobatan selama tiga hari adalah mencukupi
bagi community-acquired pneumonia tanpa komplikasi berbanding durasi
pengobatan sekarang yang memerlukan pengobatan selama tujuh hingga 10 hari.
Pada pasien dengan infeksi hospitalized-acquired pneumonia dan ventilator-
acquired pneumonia, kebanyakan pasien menerima pengobatan dalam waktu 10-
14 hari, tetapi bagi pasien yang mengalami infeksi oleh organisme non-fermentasi
laktosa seperti Pseudomonas aeruginosa, durasi pengobatan adalah lebih lama
yaitu 14-21 hari (Esposito, 2012).
29
Durasi optimal pengobatan tidak hanya berbeda pada setiap individu,
melainkan berbeda antara orang dewasa dan anak (Esposito, 2012). Contohnya
pada pengobatan bakterial sinusitis akut (BSA). Menurut Infectious Diseases
Society of America (IDSA), lama pemberian terapi antibiotik untuk sinusitis akut
bakterial adalah lima hingga tujuh hari pada orang dewasa dan lebih lama pada
anak-anak yaitu 10-14 hari (Chow et al., 2012). Namun, hal ini tidak terjadi pada
semua jenis infeksi, karena terdapat penelitian menyatakan durasi pengobatan
untuk community-acquired pneumonia pada anak dan orang dewasa tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (Esposito, 2012).
Menurut Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotika yang
disediakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011, lama
pemberian antibiotik berdasarkan efikasi klinis untuk eradikasi mikroba atau
sesuai protokol terapi untuk penyakit tertentu, adalah sebagai berikut:
Sebagian besar infeksi seperti Pneumonia, Septikemia : 5 – 7 hari
Cystitis : 3 hari
Streptococcal pharingitis : 10 hari
Endokarditis : 2 – 6 minggu
Pyelonephritis : 2 minggu
Osteomyelitis : beberapa minggu/bulan
Septic arthritis : 2-6 minggu
Lung abscess : 4-6 minggu
Liver abscess : 1-4 bulan