Upload
others
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Olahraga
2.1.1 Definisi
Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur,
yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan
kebugaran jasmani. Olahraga yang teratur dapat meningkatkan kesehatan jasmani
dan rohani secara menyeluruh. Metabolisme tubuh akan membaik dari segi fisik
dan mental. Perubahan akan dicapai apabila sudah mencukupi waktu yang
diperlukan untuk adaptasi fisiologis yaitu berkisar antara 6-8 minggu (Purwanto,
2011).
2.1.2 Jenis-jenis Olahraga
Olahraga secara umum digolongkan menjadi dua jenis tergantung dari
efek keseluruhannya terhadap tubuh manusia.
a. Olahraga aerobik
Olahraga aerobik adalah olahraga yang meningkatkan konsumsi oksigen
secara dramatis dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik penting
untuk olahraga aerobik adalah intensitas dan durasinya. Berdasarkan segi
intensitas, olahraga aerobik harus meningkatkan denyutan nadi sampai ke
tingkat tertentu. Intensitas untuk olahraga aerobik bervariasi sebanyak 50-
80% dari denyut jantung maksimal. Olahraga aerobik ada 2 macam yaitu
low impact dan high impact, yang fokus pada peningkatan daya tahan
kardiovaskular (Purwanto, 2011).
6
b. Olahraga anaerobik
Olahraga anaerobik membutuhkan banyak energi yang intensif dalam
durasi yang pendek, tetapi tidak memerlukan konsumsi oksigen yang
tinggi. Olahraga anaerobik dapat memperbaiki kecepatan dan daya tahan
otot, tetapi harus berhati-hati karena bisa menjadi bahaya pada orang yang
menderita penyakit jantung koroner, seperti aktivitas yang meningkatkan
kekuatan otot dalam jangka pendek, dan latihan berat badan (Purwanto,
2011).
2.1.3 Olahraga untuk Pasien Hipertensi
Berbagai hal telah diketahui dapat mengontrol tekanan darah, salah satunya
adalah latihan olahraga khususnya jenis aerobik. Senam yang cocok digunakan
untuk orang yang menderita penyakit jantung maupun hipertensi yaitu jenis senam
aerobik low impact karena merupakan senam yang gerakannya ringan dan bisa
dilakukan siapa saja mulai dari usia anak-anak, dewasa bahkan lansia (Roza, Siti,
dan Herlina, 2015). Senam aerobik low impact merupakan suatu aktivitas fisik
aerobik yang terutama bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan dan daya tahan jantung, paru, peredaran darah, otot dan sendi. Senam
ini dapat dilakukan dengan frekuensi latihan 3-5 kali dalam satu minggu minimal
30 menit dalam satu kali latihan (Purwanto, 2011). Senam aerobik low impact
dapat menyebabkan penurunan denyut jantung maka akan menurunkan cardiac
output, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Peningkatan
efisiensi kerja jantung dicerminkan dengan penurunan tekanan sistolik, sedangkan
penurunan tahanan perifer dicerminkan dengan penurunan tekanan diastolik
(Roza, Siti, dan Herlina, 2015). Penurunan tekanan darah yang kecil ternyata
7
sudah dapat mengurangi risiko terhadap kejadian penyakit kardiovaskular dan
stroke. Penurunan tekanan darah sebesar 2 mmHg akan mengurangi risiko
penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 4% dan 6% (Mustafa et al, 2013).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Roza, Siti, dan Herlina (2015)
pada responden hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya Pekanbaru
didapatkan bahwa secara umum distribusi responden berdasarkan usia sebagian
besar adalah responden berusia 45-55 tahun (55,9%), hal ini sejalan dengan teori
yang mengatakan bahwa tekanan darah dewasa meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, setelah umur 45 tahun dinding arteri akan mengalami
penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot,
sehingga pembuluh darah akan menyempit dan kaku. Tekanan darah sistolik dan
diastolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang pada
penambahan umur (Nuraini B, 2015).
2.1.4 Fisiologi Olahraga
Aktivitas olahraga yang dilakukan akan menyebabkan sistem tubuh dalam
keadaan aktif, otot akan bekerja yang menyebabkan peningkatan konsumsi
oksigen. Kebutuhan oksigen pada jaringan yang bekerja menimbulkan pelebaran
pembuluh darah otot, sehingga meningkatkan aliran balik vena dan curah jantung.
Selama latihan sekresi glucagon meningkat, aktivitas juga meningkat,
katekolamin keluar dari medulla adrenal dan hormon-hormonnya (epineprin dan
nonepineprin) bekerja dengan glucagon untuk kemudian meningkatkan
glikogenolisis (Giriwijoyo, 2012).
Gerakan tubuh saat melakukan olahraga dapat terjadi karena otot
berkontraksi. Kontraksi otot memerlukan energi dalam bentuk ATP (Adenosin Tri
8
Phospate). Olahraga aerobik memerlukan energi, energi yang diperlukan didapat
dari energi potensial yaitu energi yang tersimpan dalam makanan berupa energi
kimia, dimana energi tersebut akan dilepaskan setelah bahan makanan mengalami
proses metabolisme dalam tubuh (Giriwijoyo, 2012).
Proses metabolisme energi didalam tubuh adalah untuk meresintesis
molekul ATP dimana prosesnya akan dapat berjalan secara aerobik maupun
anaerobik. Proses hidrolisis ATP yang akan menghasilkan energi ini dapat
dituliskan melalui persamaan reaksi kimia sederhana sebagai berikut :
ATP + H2O ADP + H+ + Pi – 31 KJ per 1 mol ATP
Energi diperlukan untuk proses fisiologis yang berlangsung dalam sel-sel
tubuh. Proses ini meliputi kontraksi otot, pembentukan dan penghantaran impuls
saraf, sekresi kelenjar, produksi panas, mekanisme transport aktif dan berbagai
reaksi sintesis dan degeneratif (Giriwijoyo, 2012).
Pengaruh aktivitas fisik pada sistem kardiovaskular ialah meningkatkan
curah jantung, memperbaiki kontraksi miokardial yang kemudian menguatkan
otot jantung, menurunkan tekanan darah istirahat, dan memperbaiki aliran balik
vena sehingga terjadi penurunan tekanan darah (Purwanto, 2011).
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
Menurut American Heart Association (AHA), hipertensi adalah
penyakit dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau
tekanan darah diastolik >90 mmHg. Menurut WHO, batas tekanan darah masih
dianggap normal ialah <130/85 mmHg, sedangkan bila >140/90 mmHg
dinyatakan sebagai hipertensi (Deiby, Herlina, Hedison, 2016).
9
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Hipertensi yang tidak terkontrol
akan meningkatkan angka mortalitas dan menimbulkan komplikasi ke beberapa
organ seperti jantung (infark miokard, jantung koroner, gagal jantung
kongestif), otak (stroke, enselopati hipertensif), ginjal (gagal ginjal kronis) dan
mata (retinopati hipertensif) (Deiby, Herlina, Hedison, 2016).
2.2.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda, karena ada faktor genetik, ras, regional, sosiobudaya yang juga
menyangkut gaya hidup yang juga berbeda (Yogiantoro M, 2014). Hipertensi
akan meningkat bersama dengan bertambahnya umur. Sekitar 60% dari seluruh
kematian dunia disebabkan karena hipertensi (Yogiantoro M, 2014).
Bertambahnya umur angka kejadian hipertensi makin meningkat,
sehingga diatas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4% (Yogiantoro M,
2014). Faktor asupan garam pada diet juga sangat erat hubungannya dengan
kejadian hipertensi (Yogiantoro M, 2014). Mengkonsumsi alkohol, rokok,
stress kehidupan sehari-hari, kurang olahraga berperan dalam kontribusi
kejadian hipertensi (Yogiantoro M, 2014).
2.2.3 Klasifikasi Hipertensi
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok
normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.
10
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7
Klasifikasi
Tekanan Darah
Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
Normal < 120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat I 140-159 90-99
Hipertensi derajat II ≥ 160 ≥ 100 Dikutip dari: Chris Tanto, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II : Hipertensi. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI; 2014. pp: 635-639
Gejala-gejala mulai adanya kerusakan organ bervariasi pada masing-
masing individu. Gejalanya adalah : otak dan mata (sakit kepala, vertigo,
gangguan penglihatan dan lain-lain), jantung (palpitasi, sesak seteelah bekerja
keras atau mengangkat beban berat, nyeri dada, bengkak kaki), ginjal (haus,
poliuri, nokturia, hematuria), dan arteri perifer (ekstremitas dingin, klaudikasio
intermiten) (Mohani, 2014).
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Hipertensi Primer
Hipertensi primer atau esensial atau idopatik adalah hipertensi yang
tidak jelas etiologinya (Yogiantoro, 2014). Lebih dari 90% kasus
hipertensi merupakan hipertensi primer (Yogiantoro, 2014). Kelainan
hemodinamik utama pada hipertensi primer adalah peningkatan
resistensi perifer. Penyebab hipertensi adalah multifaktor, terdiri dari
faktor genetik dan lingkungan (Yogiantoro, 2014).
b. Hipertensi sekunder.
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Penyebab
hipertenai sekunder antara lain penyakit (sindroma cushing, penyakit
11
ginjal kronik, penyakit tiroid dan lain-lain), makanan (sodium, etanol,
licorice), serta penggunaan obat-obatan (Yogiantoro, 2014).
2.2.4 Faktor Risiko
1. Faktor yang tidak dapat diubah
Hipertensi dapat disebabkan oleh adanya faktor yang secara alami telah
ada pada seseorang. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain adalah
umur, jenis kelamin, genetik dan riwayat keluarga. Karakteristik umur dan
jenis kelamin tersebut pada akhirnya juga berpengaruh terhadap kondisi
fisiologis tubuh.
a. Umur
Menurut Sarasati (2011), penyakit hipertensi umumnya semakin
berkembang ketika mencapai usia paruh baya yaitu ketika berusia lebih
dari 40 tahun bahkan lebih dari usia 60 tahun keatas. Peningkatan
tekanan darah ini merupakan pengaruh dari proses penuaan yang
menyebabkan terjadinya perubahan dan penurunan fungsi pada sistem
kardiovaskuler, seperti katup jantung akan menebal dan menjadi kaku,
kehilangan elastisitas pembuluh darah dan meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer sehingga darah pada setiap denyut jantung
dipaksa melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan darah (Sarasati, 2011).
b. Jenis kelamin
Perbandingan antara perempuan dan laki-laki, terdapat angka yang
cukup bervariasi (Armilawati, 2007). Prevalensi hipertensi pada
perempuan (25%) lebih besar dari pada laki-laki (24%) (Tesfaye et al,
12
2007), sedangkan menurut Singalingging (2011) rata-rata perempuan
akan mengalami peningkatan risiko tekanan darah tinggi (hipertensi)
setelah menopause yaitu usia diatas 45 tahun (Singalingging, 2011).
c. Faktor Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium, individu dengan orang tua yang menderita
hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk menderita
hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan
riwayat hipertensi (Anggraini et al, 2009).
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan kematian kardiovaskular premature (usia laki-
laki kurang dari 55 tahun dan perempuan kurang dari 65 tahun)
(Yogiantoro, 2014). Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit
jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat (Yogiantoro,
2014).
2. Faktor yang dapat diubah
Kejadian hipertensi juga ditentukan oleh faktor yang dapat diubah.
Modifikasi perilaku/gaya hidup melaui pengetahuan dan pendidikan gizi
dapat dilakukan untuk meminimalisir faktor yang dapat memicu dan
meningkatkan faktor yang dapat mencegah hipertensi.
13
a. Aktivitas Fisik
Seseorang dengan aktvitas fisik kurang, memiliki kecenderungan 30-50%
terkena hipertensi (Armilawati, 2007). Latihan aktivitas fisik atau
olahraga akan memberikan pengaruh yang baik terhadap berbagai macam
sistem yang bekerja di dalam tubuh, salah satunya adalah sistem
kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik saat melakukan aktivitas fisik
aerobik dan setelah latihan aerobik selesai tekanan darah akan turun
sampai di bawah normal. Latihan aktivitas fisik senam aerobik yaitu
aerobik intensitas sedang yang dilakukan secara teratur bisa menurunkan
tekanan darah secara efektif (purwanto, 2011).
b. Konsumsi zat berbahaya
Konsumsi zat berbahaya meliputi rokok, konsumsi alkohol berlebih dan
obat-obatan terlarang. Nikotin dapat meningkatkan denyut jantung dan
menyebabkan vasokonstriksi perifer, yang akan meningkatkan tekanan
darah arteri pada jangka waktu yang pendek, selama dan setelah
merokok. Hasil penelitian oleh Roslina (2007) menyatakan bahwa
perokok lebih berisiko mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang
bukan perokok (Roslina, 2007). Penelitian lain yang dilakukan Yashinta,
Yuniar dan Delmi (2015) bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan
merokok dengan kejadian hipertensi pada laki-laki usia 35-
65 tahun di Kota Padang.
c. Nutrisi
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (2007) menunjukkan bahwa
seseorang yang terbiasa mengkonsumsi makanan asin berisiko menderita
14
hipertensi 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak terbiasa
mengkonsumsi makanan asin. Pola makan yang tinggi kalori, natrium
dan lemak, tetapi rendah protein dapat meningkatkan tekanan darah
Sugiharto (2007). Diet tinggi sodium akan menstimulasi pengeluaran
hormon natriuretic dan mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat,
yang akan berkontribusi pada peningkatan tekanan darah Sugiharto
(2007).
d. Status Gizi
Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai IMT ≥
25.0 (Roslina, 2008). Individu yang mengalami obesitas lebih berisiko
menderita hipertensi dibandingkan dengan individu yang tidak
mengalami obesitas (Roslina, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sugiharto (2007) diperoleh hasil bahwa orang dengan obesitas akan
berisiko 4,02 kali menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang
tidak obesitas (Sugiharto, 2007).
e. Stress
Stress mempunyai pengaruh bermakna terhadap tingkat kejadian
hipertensi. Dixon, Jonas dan Karina (2000) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami depresi berisiko 1,78
kali menderita hipertensi dibandingkan dengan yang tidak mengalami
depresi (Sugiharto, 2007). Pada saat stress, system saraf simpati
teraktivasi yang selanjutnya dapat menstimulus pengeluaran hormone
adrenalin dan kortisol (Braverman, 2006). Peningkatan sekresi hormon
15
tersebut menyebabkan peningkatan denyut jantung dan peningkatan
tekanan darah (Klabunde, 2007).
2.2.5 Patofisiologi
Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi yaitu peran
volume intravaskular, peran kendali saraf autonom, peran renin angiotensin
aldosteron (RAA) dan peran dinding vaskular pembuluh darah (Yogiantoro,
2014).
Tubuh memiliki 3 metode pengendalian tekanan darah. Pertama adalah
reseptor tekanan di berbagai organ yang dapat mendeteksi perubahan kekuatan
maupun kecepatan kontraksi jantung, serta resistensi total terhadap tekanan
tersebut. Kedua adalah ginjal yang bertanggung jawab atas penyesuaian
tekanan darah dalam jangka panjang melalui sistem renin-angiotensin yang
melibatkan banyak senyawa kimia, kemudian sebagai respons terhadap
tingginya kadar kalium atau angiotensin, steroid aldosteron dilepaskan dari
kelenjar adrenal, yang salah satunya berada dipuncak setiap ginjal, dan
meningkatkan retensi (penahanan) natrium dalam tubuh (Kowalski, 2010).
Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang dipompakan
oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung. Tahanan
vaskuler perifer berkaitan dengan besarnya lumen pembuluh darah perifer.
Semakin menyempit pembuluh darah, maka semakin meningkat tekanan darah.
Dilatasi dan konstriksi pembuluh darah dikendalikan oleh sistem saraf simpatis
dan sistem renin-angiotensin. Apabila sistem saraf simpatis dirangsang,
katekolamin, seperti epinefrin dan norepinefrin akan dikeluarkan. Kedua zat
kimia ini menyebabkan kontriksi pembuluh darah, meningkatnya curah
16
jantung, dan kekuatan kontraksi ventrikel (Ulfah, 2012). Sama halnya pada
sistem renin-angiotensin, yang apabila distimulasi juga menyebabkan
vasokontriksi pada pembuluh darah (Baradero, 2005). Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat yang merangsang sekresi aldosterone oleh korteks
adrenal. Hormone tersebut menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus
ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Peningkatan volume
intravaskuler akan menyebabkan peningkatan cardiac output (Price dan
Wilson, 2006).
Bertambahnya umur seseorang akan menyebabkan adanya perubahan
structural dan fungsional terutama pada system pembuluh perifer yang
bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut
meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam
relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada akhirnya akan menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Aorta dan arteri besar
akan berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Smeltzer dan Bare, 2010).
18
2.2.6 Diagnosis
Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan
pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana
yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian
Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation for The
Management of Hypertension 2014.
(PERKI 2015)
Gambar 2.2
Diagnosis Hipertensi
Pengukuran TD Klinik
Kunjungan Hipertensi 3
≥160 SBP atau
≥100 DBP
Diagnosis HT
<160/100
Atau ↓
ABPM atau HBPM
Jika tersedia
Kunjungan Hipertensi 4-5
≥140 SBP atau
≥90 DBP
Diagnosis HT
<140/90 Lanjutkan kontrol
Lanjutkan
Kontrol
Diagnosis
Hipertensi
Bila
<135/85
Diagnosis
Hipertensi
TD 140-179/90-109 mmHg
Diagnosis Hipertensi
Hipertensi urgensi/emergensi
Kunjungan Hipertensi 2 dalam 1 bulan
TD ≥180/110 mmHg atau TD 140-179/90-109 mmHg
dengan kerusakan target organ
Lanjutkan
Kontrol
Kunjungan Hipertensi 1 pengukuran TD,
Anamnesis & pemeriksaan fisik
Permintaan uji diagnostic pada kunjungan 1
Kenaikan Tekanan Darah pada pengukuran
diluar klinik
Kenaikan Tekanan Darah pada
pengukuran acak di klinik
ABPM (Jika tersedia)
TD bangun
<135/85
atau
24 jam
<130/80
TD bangun
≥135/85
≥85 DBP
24 jam
≥130 SBP
≥80 DBP
<135/85
HBPM (jika tersedia)
≥135
SBP
atau
≥85
DBP
Ulang
HBPM
Atau
YA
Tidak
19
2.2.7 Komplikasi
Pada jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran
target normo tensi pasti akan merusak organ-organ terkait. Risiko komplikasi
bukan hanya tergantung pada kenaikan tekanan darah yang terus menerus,
tetapi juga tergantung bertambahnya umur penderita (Yogiantoro M, 2014).
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai otak,
ginjal, kardiovaskular, dan mata.
a. Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan
oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial
yang meningkat atau akibat emboli yang terlepas dari pembuluh selain
otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi
kronik apabla arteri-arteri pada daerah otak mengalamin hipertrofi atau
penebalan, sehingga aliran darah ke daerah lain akan berkurang. Arteri
di otak yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisme. Ensefalopati juga
dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau hipertensi dengan
onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke
dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut
dapat menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi
koma bahkan kematian (Nuraini B, 2015).
20
b. Ginjal
Kenaikan tekanan darah yang berangsur lama akan merusak fungsi
ginjal. Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif
akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal dan glomerulus.
Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke bagian
fungsional dari ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan berlanjut
menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membrane
glomerulus juga akan mengakibatkan protein keluar melalui urin
sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotic
koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada
hipertensi kronik (Yogiantoro M, 2014).
c. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri coroner mengalami
arterosklerosis atau apabila terbentuk thrombus yang menghambat
aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut, sehingga
miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan
oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan terjadinya
iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark (Nuraini B,
2015).
d. Mata
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh
darah pada retina, semakin tinggi tekanan darah dan makin lama
hipertensi tersebut berlangsung, maka semakin berat pula kerusakan
yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain pada retina yang terjadi akibat
21
tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optic neuropati atau
kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri
dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena
retina. Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan
gejala, yang pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir
(Nuraini B, 2015).
2.3 Pengaruh Olahraga Terhadap Penurunan Tekanan Darah
Olahraga seperti senam aerobik mempunyai pengaruh yang besar
terhadap tubuh, khususnya terhadap daya tahan paru-jantung, selain itu
mengatur aktivitas sistem saraf otonom, menurunkan stress, meningkatkan
produksi nitrit oksida (NO) di sel endotelial dan bioavaibilitas untuk sel otot
polos pembuluh darah, menurunkan tahanan perifer dan mengatur enzim
antioksidan (Rismayanthi C, 2011). Penurunan tekanan darah berhubungan
dengan penurunan tahanan perifer, dapat dijelaskan dari dua mekanisme yaitu
terjadinya perubahan pada aktivitas sistem saraf simpatik dan respon vaskular
setelah berolahraga. Pertama, secara neurohumoral menurunnya aktivitas
sistem saraf simpatik pada pembuluh darah perifer sebagai petunjuk terjadi
penurunan tekanan darah. Kedua, respon vaskular mempunyai peran penting
pada penurunan tekanan darah setelah berolahraga. Olahraga dapat mengubah
respon vasokonstriktor kuat menjadi vasodilator (Sri, Probosuseno dan Herni,
2011).
Aktivitas fisik menyebabkan penurunan tekanan darah pada orang tua
yang menderita hipertensi dan berhubungan dengan penurunan hypothalamic
norepineprin. Penurunan hypothalamic norepineprin sebagai reaksi
22
menurunnya aktivitas sistem saraf simpatik dan meningkatnya fungsi sistem
kardiovaskular (Sri, Probosuseno dan Herni, 2011). Penelitian yang dilakukan
oleh Nyahmini dan Siti (2016) mendapatkan perbedaan bermakna antara
tekanan darah sistolik dan diastolik pada penderita hipertensi sebelum dan
sesudah melakukan senam aerobik. Pada tekanan darah sistolik sebelum senam
aerobic low impact intensitas sedang rata-rata dengan tekanan darah 152,23
mmHg, setelah melakukan senam aerobik rata-rata tekanan darah sistolik
141,97 mmHg. Pada tekanan darah diastole sebelum senam aerobik rata-rata
dengan tekanan darah 90,40 mmHg, setelah senam aerobik rata-rata dengan
tekanan darah 87,40 mmHg (Nyahmini dan Siti, 2016).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Deiby, Herlina dan Hedison (2016)
dimana senam dilakukan selama 4 minggu dan dilakukan latihan sebanyak 3
kali/minggu. Pada kelompok sebelum melakukan senam didapatkan tekanan
darah sistolik 146 mmHg dan diastolik 88 mmHg. Setelah melakukan senam
selama 3 kali/minggu didapatkan tekanan darah sistolik 123 mmHg dan
diastolik 81 mmHg (Deiby, Herlina dan Hedison, 2016).
2.4 Hubungan Olahraga dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner
Hasil penelitian yang dilakukan Annisa Y.S dan Anjar N (2013)
menunjukkan responden dengan tidak rutin melakukan olahraga sebanyak 30
responden di distribusikan 18 mengalami kejadian jantung koroner dan 12
tidak mengalami jantung koroner. Hal tersebut menunjukkan orang yang tidak
rutin melakukan olahraga lebih berisiko mengalami kejadian penyakit jantung
koroner atau dengan kata lain olahraga rutin dapat mencegah kejadian penyakit
jantung coroner (Annisa dan Anjar, 2013).
23
Menurut hasil penelitian Febriani (2011) bahwa orang yang tidak
mempunyai kebiasaan olahraga beresiko lebih besar terkena penyakit jantuk
coroner (PJK) dari pada orang yang mempunyai kebiasaan olahraga. Olahraga
kuratif pada penderita jantung coroner dimaksudkan untuk memperlebar
pembuluh darah coroner, menambah kapilarisasi jantung, dan memperbaiki
profil lipid, terutama menurunkan LDL kolesterol dan meningkatkan HDL
kolesterol. Olahraga juga meningkatkan kemampuan jantung untuk memompa
darah sehingga mencegah penyakit jantung (Sutaryo, 2011).
2.5 Penelitian lain
Penelitian yang dilakukan oleh Hesty dan Dian (2012) di Rumah Sakit
Baptis Kediri, kasus komplikasi hipertensi yang sering terjadi diantaranya
adalah komplikasi pada otak yaitu cerebrovascular accident (CVA), dan pada
pembuluh darah yaitu penyakit jantung coroner (PJK). Pada penelitian
tersebut responden yang paling banyak adalah pasien yang mengalami
komplikasi yaitu 62% dan responden lama menderita hipertensi mulai dari 2
tahun sampai lebih dari 10 tahun (Hesty dan Dian, 2012). Dampak terjadinya
komplikasi hipertensi yaitu, kualitas hidup menjadi rendah dan kemungkinan
terburuk adalah mortalitas meningkat (Hesty dan Dian, 2012). Terapi non
farmakologi maupun farmakologi dapat digunakan untuk mencegah maupun
meminimalkan terjadinya komplikasi hipertensi (Hesty dan Dian, 2012).
2.6 Penatalaksanaan Hipertensi
2.6.1 Tujuan Terapi
a. Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan
kerusakan organ target (misal: kejadian kardiovaskular atau
24
serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal) (Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, 2006).
b. Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan
pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang
menunjukkan pengurangan resiko (Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, 2006).
2.6.2 Algoritma
Algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yang dari A Statement by
the American Society of Hypertension and the International Society of
Hypertension 2013.
25
(PERKI 2015)
Gambar 2.3
Algoritme Tatalaksana Hipertensi
2.6.3 Terapi Non-farmakologi
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular (PERKI, 2015). Pengobatan hipertensi
secara non farmakologi adalah upaya yang dilakukan untuk menurunkan dan
menjaga tekanan darah dalam batas normal tanpa menggunakan obat-obatan,
yaitu dimulai dengan perubahan gaya hidup (PERKI, 2015). Semua pasien
dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Tekanan darah ≥140/90, dewasa >18 tahun
(Usia >80 tahun, tekanan darah ≥150.90 atau ≥140/90 jika berisiko tinggi (diabetes, penyakit ginjal)
+
ACE-I atau ARB
Jika perlu
Mulai perubahan gaya hidup
(Turunkan berat badan, kurangi garam dan alcohol, stop merokok)
Terapi medikamentosa
(Pertimbangkan untuk tunda pada pasien stage 1 tidak terkomplikasi)* Mulai terapi medikamentosa
(Pada semua pasien)
Kasus
Khusus
Stage 2
≥160/100
Semua
pasien
Mulai dengan
2 obat
CCB atau
Tiazide
CCB + Tiazide + ACEi
(atau ARB)
Penyakit gingal
Diabetes
Penyakit Koroner
Riwayat Stroke
Gagal Jantung
*Pada pasien stage 1
tanpa risiko
kardiovaskuler
lainnya atau temuan
abnormal, beberapa
bulan manajemen
gaya hidup tanpa obat
Jika perlu rujuk ke spesialis hipertensi
Stage 1
140-159/90-99
Usia <60 tahun
Jika perlu, tambah obat lain mis. Spironolactone, agen kerja sentral; B-blocker
Usia >60 tahun
Jika perlu
ACE-I atau ARB
Jika perlu
CCB atau Tiazide
Jika perlu, tambahakan .. Jika perlu, tambahakan ..
CCB + Tiazide + ACEi (atau ARB)
CCB atau Tiazide ACE-I atau ARB
26
Modifikasi gaya hidup yang penting untuk menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan pada individu yang obes atau gemuk; mengadopsi
pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan
kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi
alkohol sedikit saja (PERKI, 2015). Pada sejumlah pasien dengan
pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi;
mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari
menggunakan obat (PERKI, 2015).
Menurut JNC VII aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah
seperti olahraga aerobik seperti jalan kaki secara teratur paling tidak 30
menit/hari, beberapa hari per minggu dapat menurunkan tekanan darah 4-9
mmHg. Mengurangi konsumsi sodium tidak lebih dari 2,4 g/hari dapat
menurunkan tekanan darah 2-8 mmHg (JNC VII, 2003).
2.6.4 Terapi Farmakologi
Pada umumnya untuk target tekanan darah normal adalah 120/80
mmHg. Berdasarkan anjuran The Joint National Commite (JNC) VII
penggunaan obat antihipertensi monoterapi diberikan pada pasien hipertensi
yang tidak disertai dengan komplikasi dan dianjurkan untuk mengatur pola
hidup sehat (PERKI, 2015). Terapi kombinasi diberikan bagi pasien
hipertensi yang disertai dengan komplikasi penyakit kardiovaskular lain
seperti, diabetes mellitus dan gagal jantung (PERKI, 2015). Pengobatan
dengan antihipertensi harus dimulai dengan dosis rendah agar tekanan darah
tidak menurun drastis dan mendadak, kemudian tiap 1-2 minggu dosis
berangsur-angsur dinaikkan sampai tercapai efek yang diinginkan (PERKI,
27
2015). Obat antihipertensi harus diminum seumur hidup dan setelah beberapa
waktu dosis pemeliharaan dapat diturunkan. Tujuan pengobatan secara
keseluruhan adalah menurunkan tekanan darah serendah mungkin dengan
efek samping yang minimal, mengembalikan segala ketidaknormalan yang
terkait dengan hipertensi, memperpanjang masa hidup dan memelihara mutu
kehidupan penderita, sehingga obat harus diketahui untuk menentukan dan
menyesuaikan aturan dosis obat terpilih (Katzung, 2013). Berdasarkan tempat
kerjanya obat antihipertensi dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:
a. Diuretik Tiazid
Obat-obat yang bekerja menurunkan tekanan darah dengan mengeluarkan
natrium tubuh dan mengurangi volume darah. Diuretik tiazid adalah
diuretic yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat
reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan
ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek
vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek
antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral,
terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi
dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam,
sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari (Gormer, 2007). Semua
obat diuretik oral efektif dalam mengobati hipertensi, tetapi tiazid
ternyata yang paling luas digunakan (Harvey et al, 2016). Penggunaan
obat diuretic tiazid dapat mengakibatkan hypokalemia, hiperurisemia,
hipoglikemia, peningkatan kolesterol dan trigliserid (Chris dan Ni Made,
2014).
28
b. Adrenoreseptor-β (β-Bloker)
Penghambat-β menurunkan tekanan darah, terutama dengan penurunan
curah jantung. Obat ini juga dapat menurunkan aliran keluar simpatis dari
sistem saraf pusat (SSP) dan menghambat pelepasan renin dari ginjal
sehingga menurunkan pembentukan angiotensin II dan sekresi
aldosterone. Prototype penghambat-β adalah propranolol, yang bekerja
pada reseptor β1 dan β2. Penghambat selektif reseptor β1, seperti
metoprolol dan atenolol merupakan penghambat-β yang paling sering
diresepkan. Penghambat-β harus diberikan dengan hati-hati dalam terapi
pasien yang mengalami gagal jantung akut atau penyakit vaskuler perifer.
Penghambat-β efektif peroral. Penghambat-β dapat menyebabkan
bradikardia dan efek samping SSP seperti kelelahan, letargi, insomnia
dan halusinasi, obat ini juga dapat menyebabkan hipotensi. Penghambat-
β dapat menurunkan libido dan menyebabkan impotensi (Harvey et al,
2016).
c. Angiotensin Converting Enzime (ACE Inhibitor)
Obat ini berfungsi menurunkan tekanan darah dengan cara
memvasodialatasi pembuluh arteri, efektif dalam menghambat ACE
dalam pembentukan angiotensin I dalam bentuk tidak aktif, dengan
adanya zat renin yang dikeluarkan oleh ginjal diubah menjadi angiotensin
II dalam bentuk aktif. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat
yang memacu pelepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan
perifer, sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Penghambatan
pembentukan angiotensin I ini akan menurunkan tekanan darah. ACE
29
juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin,
yang mempunyai efek vasodilatasi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi
mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk
menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian
ACEI. Dosis pertama ACEI harus diberikan pada malam hari karena
penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi, efek ini akan
meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah (Gormer, 2007).
Efek samping yang lazim meliputi batuk kering, ruam, demam,
perubahan sensasi rasa, hipotensi (pada keadaan hipovolemik) dan
hiperkalemia (Harvey et al, 2016). Batuk kering yang terjadi disebabkan
karena peningkatan kadar bradikinin dalam cabang paru. Angioedema
jarang terjadi, juga dapat disebabkan karena peningkatan kadar
bradikinin. Penghambat ACE bersifat fetotoksik dan tidak boleh
digunakan oleh wanita hamil (Harvey et al, 2016).
d. Calcium Channel Blocker (CCB)
Mekanisme kerja calcium channel blocker adalah mencegah influks
kalsium masuk ke dalam dinding pembuluh darah yang sensitif terhadap
tegangan di otot polos arteriol, yang akhirnya menyebabkan relaksasi
otot polos dan tahanan vaskular perifer yang menurun
(Goodman dan Gilman's, 2011). Kalsium diperlukan otot untuk
melakukan kontraksi. Jika pemasukan kalsium ke dalam sel-sel
dihambat, maka pembuluh darah akan melebar dan akibatnya tekanan
darah akan menurun. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya
nifedipin dan amlodipine); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin
30
(diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang
merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem
mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate
dan mencegah angina. Semua calcium channel blocker dimetabolisme di
hati (Gormer, 2007). Sebagian besar golongan calcium channel blocker
memiliki waktu paruh yang pendek (3-4 jam) pada dosis pemberian oral.
Terapi diperlukan tiga kali sehari untuk mempertahankan control yang
baik terhadap hipertensi. Amlodipin memiliki waktu paruh yang sangat
panjang (Harvey et al, 2016). Efek samping golongan CCB seperti
konstipasi, edema, dan bradikardia (Chris dan Ni Made, 2014).
e. Antagonis Reseptor Angiotensin II
Penghambat reseptor-angiotensin II (angiotensin II-receptor
blockers/ARB) merupakan alternatif penghambat ACE (Harvey et al,
2016). Obat-obat ini menghambat reseptor AT1, contoh obatnya seperti
losartan. Efek farmakologis obat ini serupa dengan efek farmakologis
ACE inhibitor, yaitu menghasilkan dilatasi arteriol dan vena dan
menghambat sekresi aldosteron sehingga menurunkan retensi garam
beserta air. ARB tidak meningkatkan kadar bradikinin sehingga risiko
batuk dan angioedema sangat menurun, namun efek samping lain tetap
ada seperti Hiperkalemia dan azotemia (Chris dan Ni Made, 2014). ARB
menurunkan nefrotoksisitas pada diabetes, sehingga obat ini menjadi
terapi yang disetujui untuk diabetic hipertensi (Harvey et al, 2016).
31
f. Antagonis α1 Adrenergik
Antagonis α1 Adrenergik menghambat adrenoseptor α1 perifer. Antagonis
reseptor α1 adrenergik mula-mula mengurangi tahanan arteriol dan
meningkatkan kapasitas vena, hal ini menyebabkan peningkatan refleks
denyut jantung dan aktivitas renin plasma yang diperantarai saraf
simpatik. Selama terapi kronis, vasodilatasi terus rerjadi, rerapi curah
jantung, denyut jantung, dan aktivitas renin plasma kembali ke normal,
dan aliran darah ginjal tidak berubah. Obat antagonis α1 adrenergik
menyebabkan hipotensi postural secara beragam, bergantung pada
volume plasma. antagonis α1 adrenergik tidak dianjurkan sebagai
monoterapi untuk pasien hipertensi. Obat-obat ini lebih baik digunakan
terurama bersama dengan diuretik, B-bloker dan obat antihipertensi lain
(Goodman dan Gilman's, 2011). Obat ini diindikasikan untuk hipertensi
yang resisten (Gormer, 2007).
g. Vasodilator
Obat yang menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos
kerja-langsung, seperti hydralazine dan minoxidil, biasanya tidak
digunakan sebagai obat-obat primer dalam terapi hipertensi. Vasodilator
bekerja dengan caramenghasilkan relaksasi otot polos vaskuler yang akan
menurunkan resistensi dan kemudian tekanan darah. Agen ini dapat
menghasilkan reflek stimulasi jantung, menyebabkan reflek kompetisi
berupa peningkatan kontraktilitas jantung, denyut jantung, dan konsumsi
oksigen. Kerja ini dapat mendorong kejadian angina pectoris, infakrk
miokardium atau gagal jantung pada pasien yang mempunyai
32
predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan konsentrasi renin plasma,
menyebabkan retensi natrium dan garam. Efek samping yang tidak
diinginkan dapat dihambat dengan penggunaan bersama diuretic dan
penghambat-β (Harvey et al, 2016).
2.7 Profil Penggunaan Obat
Banyak pasien hipertensi yang membutuhkan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai tujuan tekanan darah yang diinginkan (Chobanian,
2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Erni, Retno dan Liana (2014) pasien
yang mendapatkan pengobatan kombinasi sebanyak 50,4% dan monoterapi
49,6%. Pada sebagian besar pasien yang mendapatkan pengobatan monoterapi
dan kombinasi didiagnosis dengan hipertensi tingkat 2. Pada monoterapi, obat
dengan kelas terapi yang paling banyak diresepkan adalah calcium channel
blocker (CCB) (54,4%). Pasien yang mendapatkan pengobatan monoterapi
dengan tekanan darah terkontrol adalah pasien yang menerima CCB (61,1%).
Jenis pengobatan hipertensi, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
untuk kualitas hidup antara pasien yang mendapatkan pengobatan hipertensi
monoterapi dan kombinasi (Erni, Retno dan Liana, 2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yusi et al (2012) juga menunjukkan
CCB merupakan pilihan kedua terbanyak selain diuretic, karena CCB lebih efektif
pada pasien hipertensi yang sensitive terhadap garam. Pasien yang diteliti
sebagian besar usianya diatas 40 tahun yang rentan mengalami hipertensi sistolik
terisolasi (Yusi et al, 2012). Penelitian lain yang dilakukan oleh Pande, Adeanne
dan Paulina (2015) diperoleh bahwa pasien hipertensi yang dirawat di instalasi
rawat inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari-Juni 2014
33
paling banyak menggunakan obat dari golongan CCB (Amlodipin 51,28%)
(Pande, Adeanne dan Paulina, 2015). Efektivitas amlodipin lebih besar
dibandingkan captopril dan hidroklorotiasid yaitu amlodipin dapat menurunkan
tekanan darah pasien hipertensi sebesar 32,94/16,38 mmHg (Baharuddin, Peter
dan Danny, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mutmainah dan Rahmawati (2010)
tentang hubungan antara kepatuhan penggunaan obat dan keberhasilan terapi pada
pasien hipertensi di Rumah Sakit daerah Surakarta tahun 2010, ditemukan adanya
kecenderungan terjadinya penurunan tekanan darah setelah 1 (satu) bulan
penggunaan obat antihipertensi. Pada bulan September - Oktober ketika
dilakukannya penelitian ditemukan adanya pasien dengan tekanan darah kategori
normal dan prehipertensi, dimana pada bulan sebelum penelitian tidak ditemukan
hal tersebut (Mutmainah dan Rahmawati, 2010).