Upload
hathuan
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
91
BAB 7
ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA
PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) merupakan salah satu produsen
listrik untuk PLN yang tergabung dalam interkoneksi Jawa dan Bali. Produk
utamanya dalam pengelolaan PLTA adalah : (1). Kesiapan operasi unit
pembangkit dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada
pelanggan yang dinyatakan dengan EAF (Equivalent Availability Factor) declare;
(2). Energi listrik (kWh) dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung
kepada pelanggan melalui transmisi tenaga listrik berdasarkan kontrak jual beli;
(3). Jasa Operation dan Maintenance (O&M) pembangkit, dengan mekanisme
penyampaian langsung kepada pelanggan melalui layanan pengoperasian dan
pemeliharaan pembangkit berdasarkan kontrak (Buku Saku Panduan Magang PT.
PJB, 2010)
Kesiapan operasi unit pembangkit yang dinyatakan melalui EAF
merupakan indikator perusahaan dalam mewujudkan pelayanan kepada
pelanggan. EAF tahun 2010 untuk UP. Cirata sebesar 95,98 persen. Artinya
bahwa pembangkit siap beroperasi sebesar 95,98 persen dari total kemampuan
daya yang dihasilkan. Penjualan energi listrik diakui berdasarkan kilo watt hour
(KwH) yang dipasok kepada PT. PLN (Persero) dengan menggunakan formula
tarif yang ditetapkan melalui perjanjian jual beli tenaga listrik. Formula tarif
mencangkup perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan
pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya.
Disamping usaha utama, PT. PJB juga mengembangkan usaha penunjang tenaga
listrik yaitu unit jasa operasi dan pemeliharaan (O&M) pembangkit. Unit jasa ini
berada di bawah anak perusahaan PJB yaitu PT. Pembangkitan Jawa Bali Services
dan PT. Rekadaya Elektrika.
Untuk dapat menghasilkan produk utama ini, kinerja staf PT. PJB sangat
dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi internal
berkaitan dengan hal-hal tehnis pembangkit antara lain adalah kesiapsiagaan staf
PJB selama dua puluh empat jam dalam merawat dan mengoperasikan alat-alat
pembangkit sehingga berfungsi efesien dan bertahan dalam jangka panjang.
Faktor eksternal pembangkit listrik tenaga air adalah tata kelola waduk yang
92
menjadi bahan bakar bagi alat pembangkit untuk menghasilkan listrik. Bahan
bakar berupa air tersebut ditampung dalam suatu waduk dan menjadi sumber
bahan bakar dalam jangka panjang. Tata kelola waduk tersebut dipengaruhi oleh
seberapa besar aktivitas penunjang yang memanfaatkan waduk, tekanan
lingkungan dari sekeliling waduk, dan limpasan erosi dan limbah dari hulu
sungai-sungai yang bermuara di waduk. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi
air di waduk adalah besarnya curah hujan, evaporasi dan besarnya sedimen
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Alat-alat pembangkit listrik
membutuhkan air dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yag baik. Jika
kualitas air di waduk dalam keadaan buruk, misalnya mengandung unsur logam
tinggi tentunya akan mempengaruhi efesiensi alat-alat pembangkit.
Untuk memahami lebih jauh mengenai ketersediaan air dengan produksi
listrik yang menjadi produk utama PLTA, maka perlu dipelajari hubungan antara
tinggi muka air, sedimentasi dan produksi listrik seperti pembahasan dibawah ini :
7.1 Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk
terhadap Sedimentasi
Waduk diperlukan untuk menampung air pada saat musim hujan, apabila
terjadi kemarau, maka air tetap tersedia dan listrik tetap dapat dihasilkan.
Tampungan air di waduk pada prinsipnya sama dengan tampungan air ditempat
penampungan lainnya. Hal yang membedakan adalah tampungan di waduk selalu
dalam skala besar dan air yang ditampung sangat bermakna bagi kepentingan
pengairan di daerah hilir dan bahkan bernilai ekonomi bila dapat membangkitkan
tenaga listrik seperti di PLTA. Penambahan dan pengurangan volume air waduk
dapat dikontrol melalui perubahan atau fluktuasi elevasi muka air waduk. Luas
permukaan waduk juga sangat tergantung pada elevasi muka air. Luas permukaan
waduk diperlukan untuk analisis perubahan tampungan, evaporasi waduk dan
menghitung volume curah hujan yang langsung jatuh ke waduk.
Pada umumnya, air yang ditampung di waduk tidak semua dapat
dimanfaatkan. Hal ini berhubungan dengan perencanaan struktur awal sebuah
waduk. Biasanya sebuah waduk memiliki batas air tertinggi disebut dengan
elevasi normal (normal pool level) sedangkan batas air terendah disebut elevasi
minimum (minimum pool level). Pada elevasi normal, permukaan air waduk tepat
93
mencapai mercu bangunan pelimpah (spillway) dan elevasi minimum tercapai
pada saat permukaan air tepat mencapai dasar dari bangunan penyadap (intake,
gambar lihat lampiran). Ruang antara elevasi normal sampai pada elevasi
minimum disebut sebagai kapasitas tampungan efektif yaitu air yang dapat
dimanfaatkan untuk operasi waduk selama musim kemarau. Ruang dibawah
elevasi minimum disebut dengan kapasitas tampungan mati (dead storage).
Dalam sebuah waduk, ruang tersebut haus disediakan untuk menampung kadar
lumpur yang tersuspensi pada saat air masuk ke dalam waduk. Besarnya kapasitas
tampungan mati pada sebuah waduk didasarkan pada data kadar sedimen
melayang dari semua sungai yang masuk ke waduk pada saat perencanaan.
Semakin besar sedimen melayang dari sungai-sungai yang direncanakan masuk ke
waduk, semakin besar pula kapasitas tampungan mati yang harus disediakan oleh
seorang perencana. Untuk Waduk Cirata, posisi elevasi normal terletak pada
+220 m sedangkan elevasi minimum terletak pada +185 m. Mengingat
pertimbangan teknis operasional dan keamanan dari keempat turbin (sebelum
tahun 1997) maka elevasi muka air minimum dalam Pola Operasi Minimum
Waduk Cirata ditetapkan pada elevasi +205 m. Hal ini dilakukan untuk
melindungi turbin-turbin dari kemungkinan terjadinya gangguan cavitasi.
Ketersediaan air dalam waduk menjadi komponen paling penting dalam
pembangkit listrik tenaga air, sehingga debit dan jumlah air harus tersedia dalam
jumlah yang cukup dan memenuhi standarisasi untuk dapat menghasilkan listrik.
Jika muka air mencapai elevasi terendah, maka dapat mempengaruhi efesiensi
turbin. Waduk bisa mencapai elevasi terendah bisa disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain curah hujan dan sedimentasi yang tinggi. Jika curah hujan
tinggi, maka waduk dapat menampung air hujan dan muka air waduk akan
meningkat. Jika curah hujan rendah maka muka air waduk dapat berkurang.
Sedimentasi berkaitan dengan erosi dan limbah yang diperoleh dari anak-anak
sungai yang bermuara ke waduk. Jika erosi tinggi di hulu sungai atau di sekeliling
waduk, dapat terbawa sampai ke badan waduk, begitu pula jika air sungai
membawa limbah dan sampah, dapat menyebabkan sedimentasi di badan waduk.
Hal yang mampu ditangani oleh manusia adalah tingkat sedimentasi. Oleh karena
94
itu, penghitungan sedimentasi dan kualitas air waduk terus dipantau secara rutin
minimal setahun sekali.
Berdasarkan penelitian yang panjang yang dilakukan oleh PT PJB dapat
dicari hubungan antara elevasi dengan volume air waduk dalam bentuk persamaan
matematis. Berdasarkan persamaan matematis tersebut ditentukan elevasi normal
(+220 m) dengan volume kumulatif 1827 juta m3, dan elevasi minimum (+205 m),
dengan volume kumulatif sebesar 1060 juta m3, sehingga volume efektif yang
merupakan selisih antara elevasi normal dan elevasi minimum sebesar 767 juta
m3. Volume ini lebih kecil dibandingkan dengan saat perencanaan yaitu sebesar
796 juta m3. Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi sedimentasi dan sampah
anorganik lainnya di dasar waduk yang terus berlangsung dari sejak Waduk Cirata
beroperasi di tahun 1988 sampai dengan saat ini.
Berdasarkan data perencanaan waduk, elevasi muka air dasar pintu
pengambilan (intake) ditetapkan pada +185 m, dengan volume sekitar 491 juta m3
dan rencana cadangan pada +205 dengan kapasitas tampungan sebesar 1177 m3.
Setelah dilakukan pengukuran sedimentasi di tahun 2007, ternyata akumulasi
sedimen di Waduk Cirata pada elevasi +185 m setelah 20 tahun beroperasi
diperkirakan sebesar 123 juta m3 dan pada elevasi +205 m diperkirakan sebesar
117 juta m3. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas tampungan mati yang tersisa
pada elevasi +185 m tinggal 368 juta m3 dan pada elevasi +205 m tinggal 1060
juta m3. Oleh karena itu kapasitas tampungan mati Waduk Cirata masih cukup
besar meskipun telah beroperasi selama 20 tahun.
Laju sedimentasi waduk merupakan kecepatan penambahan sedimen di
waduk. Perkiraan laju sedimen waduk dapat diketahui dengan cara
membandingkan perbedaan kapasitas tampungan efektif awal pada saat
perencanaan dengan kapasitas tampungan hasil perhitungan terakhir. Perbedaan
tersebut merupakan kondisi volume sedimen yang diendapkan di dasar waduk dan
tingkat laju sedimentasi waduk dapat dihitung berdasarkan total volume sedimen
dibagi dengan lamanya waktu operasi, dalam satuan m3/tahun.
Berdasarkan hasil perhitungan sedimentasi tahun 2007 diperoleh volume
sedimen yang diendapkan selama periode 20 tahun dari 1988 – 2007 sebesar 146
juta m3 atau 7,28 juta m
3/tahun. Volume total sedimen tersebut setara dengan
95
kehilangan tebal lapisan tanah di seluruh permukaan daerah alisan sungai lokal
Cirata sebesar 3,96 mm (Luas DAS lokal 1.836 Km2). Dengan asumsi berat jenis
sedimen di Waduk Cirata sebesar 0,6 ton/m3 maka besar volume sedimen di
Waduk Cirata sekitar 4,37 juta ton per tahun. Pengurangan kapasitas tampungan
waduk dari sejak perencanaan sampai tahun 2007 bervariasi untuk setiap elevasi.
Adapun pengurangan kapasitas tampungan untuk setiap elevasi dapat dilihat dari
perbedaan kapasitas tampungan antara hasil pengukuran sedimen dengan
perencanaan seperti pada Tabel 23.
Sesuai hasil penelitian sedimentasi diatas, maka pada kondisi saat ini
produksi listrik Cirata masih dalam status aman. Yang patut diperhatikan adalah
tingkat sedimentasi yang harus dijaga, bahkan dikurangi untuk bisa
memperpanjang umur waduk dan tetap menjaga kontinuitas pasokan listrik.
Tabel 24. Perbedaan Kapasitas Tampungan antara Perencanaan vs Pengukuran
Elevasi Vol
Perencanaan
Vol
Pengukuran
Pengurangan Kapasitas
Tampungan (m) (Juta m3) (Juta m
3) (Juta m
3) %
220 1973 1827 146 7,4
215 1677 1548 129 7,7
210 1411 1292 119 8,5
205 1177 1060 117 10
200 971 851 120 12,4
195 790 666 124 5,7
190 630 505 125 19,8
185 491 368 123 25,1
180 373 254 119 31,8
175 277 186 91 32,7
170 200 134 66 33,1
165 140 90,1 50 35,6
160 100 55,3 45 44,7
150 50 12 38 76
140 20 4,06 16 79,7
130 0 0,011 0
Sumber : Data Pengukuran Sedimentasi PT PLN PJB (2008)
Apabila terjadi musim kemarau yang panjang, dan tinggi muka air sampai
pada elevasi terendah maka sistem pola operasi waduk kaskade berlaku. Misalnya
dengan meminta pasokan air dari Waduk Saguling di hulu sungai. Permintaan
96
tersebut harus melalui sistem dan prosedur yang dibangun oleh PT PLN untuk
kaskade tiga bendungan yaitu PLTA Saguling, Cirata dan jatiluhur, serta masing-
masing otorita. Sistem ini yang disebut P3B (Penyaluran Pusat Pengatur Beban).
Setiap bulan anggota P3B mengadakan rapat rutin untuk menentukan berapa
target yang diwajibkan untuk Cirata, Saguling dan Jatiluhur dalam produksi
listrik, penggunaan air irigasi, air minum, dan peruntukkan lainnya berdasarkan
data curah hujan dari Meteorologi dan data-data pendukung lain dari BPPT. Hasil
rapat ini harus disepakati, tidak boleh dilanggar dan menjadi indikator
performance masing-masing otorita pembangkit.
7.2 Perhitungan Produksi Listrik
Dalam perhitungan produksi listrik yang dikaitkan dengan ketersediaan
pasokan air, berlaku ilmu mekanika fluida, dimana terdapat 4 (Empat) perubahan
energi yang diperlukan dari air menjadi listrik yaitu : energi ketinggian (potensial)
menjadi energi kecepatan (kinetik). Dari energi kecepatan dirubah menjadi energi
mekanik atau energi putar dan terdapat generator di dalam turbin yang berfungsi
merubah energi putar menjadi energi listrik. Kerugian yang diperoleh bisa terjadi
pada saat perubahan energi kinetik, karena daya yang dihasilkan oleh listrik
berhubungan dengan banyaknya air yang dibutuhkan.
Perhitungan produksi listrik berdasarkan, ketinggian air (h) yang diperoleh
dari selisih elevasi air di bendungan, di tampungan air dan di pembuangan; flow
atau debit air (Q); efesiensi turbin ( massa jenis air ( seperti rumus dibawah
ini, berdasarkan Simanjuntak (2011) :
H adalah ketinggian air pada elevasi normal dikurangi elevasi di bendungan dan
dikurangi elevasi di pembuangan. Elevasi standar di tail race atau dipembuangan
adalah 113 m, elevasi efektif = 103 meter dan elevasi rendah berada pada 97
meter, sehingga didapatkan hasil :
H = 215 – 103 – 5,2
H = 106,8 meter
Berkaitan dengan operasional waduk untuk kebutuhan pembangkitan listrik, jika
batasan TMA (tinggi muka air) sudah terpenuhi (antara 205 s/d 220 m), maka
97
pengaturan untuk daya yang dibangkitkan adalah melalui pengaturan debit air
yang masuk ke turbin (mekanisme pembukaan Guide Vane), yang berarti bahwa
flow atau debit air sudah diatur sesuai dengan kapasitas turbin dan listrik yang
ingin dihasilkan. Nilai debit ait tersebut adalah :
Q = 135 m3/s
Maka :
Oleh karena adanya efesiensi generator, maka hasil produksi listrik tersebut akan
dikalikan dengan efesiensi generator sebesar 98%, sehingga :
Dengan perhitungan elevasi standar inilah maka produksi listrik Cirata yang
mampu dihasilkan sebesar 126 MW per turbin. Oleh karena PLTA Cirata
memiliki 8 turbin, sehingga total kapasitas listrik terpasang yang mampu
dihasilkan sebesar 1.008 MW.
Jadi TMA sangat mempengaruhi produksi listrik, selama batasan TMA
terpenuhi (elevasi normal 205 – 220 m), maka operasional pembangkit bisa
difungsikan. Ketika TMA semakin menurun dan alat pembangkit terus menerus
difungsikan, disinilah peran P3B dalam sistem kaskade Citarum mengatur
permintaan produksi listrik. TMA ini sangat dipengarui oleh curah hujan. Oleh
karena itu kondisi curah hujan menjadi pantauan yang mutlak dilakukan dalam
perencanaan produksi listrik. Bekerjasama dengan lembaga meteorologi, PT. PJB
melakukan pantauan perkiraan curah hujan di daerah Jawa Barat dan sekitarnya.
Berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan seperti pada gambar dibawah ini,
menunjukkan bahwa selama tahun 1994 - 2011 rata-rata curah hujan sebesar
1959,67 mm/tahun. Angka curah hujan relatif rendah di tahun 1997, 1999, 2006
98
dan 2009, dan curah hujan yang cukup tinggi di tahun 2011 seperti yang terlihat
dalam Gambar 20.
Gambar 20. Data Curah Hujan Rata-rata dari tahun 1994 s/d 2011
Gambar 21. Data Produksi Gross Listrik Tahunan dari 1988 s/d 2011 (MwH)
Jika data curah hujan dibandingkan dengan produksi listrik seperti yang
terlihat pada Gambar 21, maka trend produksi listrik mengikuti alur curah hujan.
Oleh karena peningkatan/penurunan curah hujan dapat mempengaruhi tinggi
muka air waduk yang pada akhirnya mempengaruhi produksi listrik. Selain curah
hujan yang pengukurannya di anak-anak sungai yang bermuara ke waduk, tinggi
99
muka air waduk juga dipengaruhi oleh keluaran Waduk Saguling (yang
merupakan inflow Waduk Cirata) dan tingkat sedimentasi di waduk. Jika
sedimentasi di waduk tinggi maka mempengaruhi kapasitas tampungan waduk
yang pada akhirnya mempengaruhi tinggi muka air waduk. Oleh karena cuaca
sulit diprediksi dan siklus musim tidak teratur sehingga produksi listrik setiap
tahun akan berbeda. Selain itu kesiapan pembangkit thermal (base load) juga
mempengaruhi pengoperasian PLTA Cirata. Jika pembangkit thermal berkapasitas
besar dalam kondisi outage (keluar dari sistem) atau ada gangguan transmisi 500
kV (sutet tegangan tinggi) maka PLTA Cirata akan dioperasikan base load
sehingga produksi akan meningkat.
Terjadinya penurunan curah hujan yang drastis pada tahun 1997
dipengaruhi oleh musim, adanya gejala el nino menyebabkan beberapa wilayah di
Indonesia mengalami kekeringan. PLTA Cirata pun mendapat dampak dari
adanya gejala el nino tersebut, sehingga produksi listrik turun drastis pada level
858.040 MwH. Di tahun 2010-2011, terjadi gejala yang berkebalikan, dimana
pada tahun tersebut curah hujan saat tinggi, dan PLTA difungsikan maksimum.
Bagian terpenting dari suatu waduk adalah besarnya kapasitas tampungan
mati (dead storage). Kapasitas tampungan mati tersebut mempunyai batas masa
layan yang telah direncanakan sejak awal pembangunannya. Apabila batas masa
layan ini terlampaui berarti kapasitas tampungan matinya diperkirakan sudah
tertutup penuh oleh sedimen dan waduk berfungsi sebagai waduk runoff.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari PT. PJB dalam Laporan
pengukuran sedimentasi, maka dapat diprediksi umur layanan waduk. Untuk
menghitung perkiraan sisa umur layan waduk menggunakan rumus sebagai
berikut:
Vs = Vp – Va
Dimana : Vs = Volume sedimen yang diendapkan (m3)
Vp = Volume waduk pada saat perencanaan (m3)
Va = Volume waduk aktual (m3)
100
Berdasarkan rumus diatas, dapat dihitung besarnya volume sedimen yang
diendapkan pada elevasi +185 yaitu sebesar 123 juta m3, pada elevasi +205 m
sebesar 117 juta m3 dan pada elevasi +220 m sebesar 146 juta m
3. Dengan rumus
tingkat laju sedimentasi waduk, maka dapat dihitung pada elevasi +185 m sebesar
6,15 juta m3/tahun, pada elevasi +205 sebesar 5,85 juta m
3/tahun dan pada elevasi
+220 m sebesar 7,3 juta m3/tahun. Dengan rumus diatas maka dapat diperkirakan
bahwa sisa umur layan waduk pada elevasi +185, +205 dan +220 adalah berturut-
turut 60 tahun, 180 tahun dan 250 tahun. Perhitungan tersebut didasarkan pada
asumsi bahwa laju sedimentasi tidak bertambah dari tahun ke tahun dan kondisi
hutan, tata guna lahan di daerah aliran sungai Citarum hulu dan wilayah sabuk
hijau (green belt) di sekeliling Waduk Cirata tidak lebih buruk dari kondisi
sekarang. Berikut ini adalah matriks perhitungan umur layanan waduk :
Gambar 22. Ilustrasi Umur Layan Waduk Setelah Pengukuran Sedimentasi 2007
7.3 Perhitungan Estimasi Kerugian
Perhitungan estimasi kerugian PLTA akibat sedimentasi dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu productivity approach dan Benefit Cost Analysis.
Benefit cost analysis merupakan pendekatan dengan membandingkan ratio antara
keuntungan yang dihasilkan, dalam hal ini produksi listrik dan biaya yang
dikeluarkan untuk memproduksi listrik. Pendekatan ini membutuhkan data-data
berbagai macam pengeluaran (cost) dalam memproduksi listrik dan benefit yang
101
diperoleh dalam usaha penjualan produksi listrik. Productivity approach
membutuhkan data produksi dan analisis dilakukan dengan melihat trend produksi
yang dihasilkan. Adanya gap atau penurunan/peningkatan produksi
mengindikasikan adanya potensi kerugian/keuntungan. Dalam penelitian ini
dilakukan kombinasi diantara dua pendekatan tersebut, produktivity approach dan
benefit cost analysis. Hal ini karena produktivitas listrik yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh curah hujan, kesepakatan dalam kelompok P3B, sistem
interkoneksi Jawa-Bali, faktor-faktor managemen dan politis. Sementara itu
benefit cost analysis membutuhkan data-data keuangan yang kemungkinan sulit
diperoleh secara lengkap dan berurutan sesuai waktu beroperasinya pembangkit.
7.3.1 Analisis Benefit
Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data benefit adalah dengan
melihat data produksi listrik dan mencari data harga jual listrik dari produsen ke
perusahaan listrik. PT. PJB memiliki dokumentasi data produksi yang lengkap,
customize dan bisa diakses pihak luar. Data yang diperoleh untuk produksi listrik
tersedia dari mulai awal pembangkit beroperasi ditahun 1988 sampai dengan
tahun 2011 dalam satuan MwH. Data produksi listrik tersebut merupakan data
gross yang belum mempertimbangkan susut trafo (kehilangan energi dalam
transmisi distribusi) dan pemakaian sendiri. Berdasarkan hasil analisis data
produksi, rata-rata susut trafo dan pemakaian sendiri kurang dari 10 persen
terhadap produksi gross. Oleh karena itu Tabel 25 dibawah ini berisi data produksi
gross, produksi net, rata-rata produksi dan data penjualan.
Data penjualan diperoleh dengan mengalikan produksi listrik net dan harga
jual listrik kepada PT. PLN (Persero). Penjualan listrik ini dilakukan melalui
hubungan kerjasama yang istimewa. Penentuan harga ditetapkan berdasarkan
perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan
pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya.
Menurut Laporan Tahunan PT. PJB Tahun 2010, harga jual listrik Rp679,00/KwH
lebih rendah dibandingkan harga tahun 2009 yang ditetapkan sebesar
Rp680,00/KwH. Berdasarkan data rata-rata harga jual listrik dalam 10 tahun
terakhir (2000-2010), diperoleh rata-rata harga jual Rp399,00/KwH. Oleh karena
102
itu untuk perhitungan benefit perusahaan ditetapkan harga jual listrik sebesar
Rp350,00/KwH.
Tabel 25. Data Produksi Listrik Gross, Estimasi Produksi Listrik Netto dan
Penjualan Listrik dari Tahun 1988-2011
TAHUN
Prod. Gross
(MwH)
Prod. Netto
(MwH)
Rata-rata
(MwH) Data Penjualan (Rp)
1988 797.464 717.718 72.497 251.201.160.000
1989 1.258.056 1.132.250 104.838 396.287.640.000
1990 1.253.904 1.128.514 104.492 394.979.760.000
1991 1.106.550 995.895 92.213 348.563.250.000
1992 1.799.207 1.619.286 149.934 566.750.205.000
1993 1.607.459 1.446.713 133.955 506.349.585.000
1994 1.488.516 1.339.664 124.043 468.882.540.000
1995 1.402.533 1.262.280 116.878 441.797.895.000
1996 1.481.659 1.333.493 123.472 466.722.585.000
1997 858.040 772.236 71.503 270.282.600.000
1998 1.731.668 1.558.501 144.306 545.475.420.000
1999 1.357.189 1.221.470 113.099 427.514.535.000
2000 1.292.114 1.162.903 107.676 407.015.910.000
2001 1.691.325 1.522.193 140.944 532.767.375.000
2002 1.369.796 1.232.816 114.150 431.485.740.000
2003 956.810 861.129 79.734 301.395.150.000
2004 1.140.901 1.026.811 95.075 359.383.815.000
2005 1.374.487 1.237.038 114.541 432.963.405.000
2006 891.707 802.536 74.309 280.887.705.000
2007 1.110.929 999.836 92.577 349.942.635.000
2008 1.216.975 1.095.278 101.415 383.347.125.000
2009 1.291.748 1.162.573 107.646 406.900.620.000
2010 2.401.036 2.160.932 200.086 756.326.340.000
2011 1.068.098 961.288 89.008 336.450.870.000
Rata-rata 1.331.174 1.198.056 111.183 419.319.744.375
Sumber : Data PT. PJB yang diolah (2012)
Untuk mendapatkan gambaran benefit sampai dengan akhir proyek, maka
dilakukan ektrapolasi data berdasarkan data benefit diatas. Ektrapolasi dilakukan
dengan membuat model regresi variabel tunggal yaitu waktu. Model yang
diperoleh dapat memberikan gambaran estimasi benefit yang diperoleh PT. PJB
sampai dengan akhir proyek. Hasil ektrapolasi benefit sampai dengan tahun 2075
(87 tahun) dapat dilihat pada Lampiran 10.
103
7.3.2 Analisis Cost
Identifikasi selanjutnya adalah identifikasi cost/biaya operasional dan
maintenance yang harus dikeluarkan oleh PT. PJB untuk kegiatan produksi listrik.
Komponen biaya operasional secara keseluruhan meliputi : pemeliharaan saluran
air, pemeliharaan instalasi, pemeliharaan saluran, pemeliharaan unit umum dan
pemeliharaan unit bisnis. Komponen biaya maintenance meliputi pembelian suku
cadang, pemakaian umum, pembelian alat kontrol/instrumen dan pembelian suku
cadang mesin.
Tabel 26. Estimasi Cost Operasional&Maintenance vs Cost Karena Sedimentasi
Tahun Pemeliharaan
Saluran Air Biaya Operasional BPWC Total Ops&Maint Cost
2000 33.265.008 11.000.000.000 66.259.872.801
2001 32.380.000 11.550.000.000 81.071.635.377
2002 - 12.127.500.000 937.969.435.328
2003 - 12.733.875.000 283.015.367.013
2004 - 13.370.568.750 261.525.906.695
2005 - 14.039.097.188 265.840.403.730
2006 239.804.100 14.741.052.047 291.854.686.832
2007 1.262.209.854 15.478.104.649 270.217.636.678
2008 667.491.400 16.252.009.882 284.391.251.046
2009 - 17.064.610.376 265.824.163.151
2010 - 17.917.840.895 283.846.488.948
2011 2.956.764.047 18.813.732.939 279.710.170.503
Rata-rata 432.659.534 14.590.699.310 297.627.251.509
Sumber : Data Primer yang diolah (2012)
Berdasarkan hasil wawancara dengan staf keuangan, jenis biaya yang
harus dikeluarkan berkaitan dengan akibat sedimentasi adalah pembersihan
saluran air. Biaya pembersihan saluran air ini bukanlah merupakan pengeluaran
rutin setiap tahun, hanya pengeluaran tentatif yang diperlukan jika terjadi
sumbatan atau kerusakan saluran air. Oleh karena tingkat sedimentasi berkaitan
dengan tata kelola waduk, maka PT. PJB memberikan kewenangan kepada
BPWC sebagai anak perusahaan PT PJB UP Cirata untuk mengatur dan
memastikan kualitas dan kuantitas air waduk dengan biaya operasional rutin
BPWC berasal dari PT. PJB sebesar Rp. 11-15 milyar/tahun. Informasi ini akan
dimasukkan dalam operasional cost untuk menangani sedimentasi. Tabel 25 diatas
104
merupakan data simulasi dari biaya yang dikeluarkan dalam rangka mengatasi
sedimentasi dan biaya-biaya operasional dan maintenance secara keseluruhan
berdasarkan hasil wawancara dengan staf keuangan dan staf BPWC.
Berdasarkan Tabel 26 diatas, pengeluaran untuk pembersihan saluran air
pada tahun 2007 cukup besar oleh karena adanya kerusakan pada salah satu turbin
sehingga mempengaruhi saluran air; sedangkan pada tahun 2011 juga terdapat
pengeluaran yang cukup besar karena adanya kegiatan overhaul/pemeriksaan dan
penggantian secara menyeluruh alat pembangkit termasuk pembersihan dan
perawatan saluran air.
Komposisi biaya operasional BPWC pada kolom kedua, berdasarkan hasil
wawancara dengan staf BPWC, yang berkaitan dengan kegiatan mengatasi
sedimentasi terdiri dari biaya penghijauan sekitar waduk sebesar
Rp250.000.000,00/tahun yang terdiri dari biaya pengadaan bibit sebesar
Rp150.000.000,00 dan biaya pemeliharaan sebesar Rp80.000.000,00. Biaya
penanggulangan sampah sebanyak Rp200.000.000 – 300.000.000,00/bulan atau
sekitar 3 milyar rupiah/tahun. Dana penanggulangan sampah tersebut dikeluarkan
untuk menggaji tenaga sukarelawan yang memungut/mengambil sampah di danau
di 7 titik lokasi, pengadaan perahu dan motor tempel.
Kolom ke-4 (Empat) pada tabel diatas, merupakan biaya keseluruhan yang
dikeluarkan oleh PT PJB dalam memproduksi listrik. Biaya tersebut terdiri dari
biaya operasional, biaya pemeliharaan pembangkit, termasuk beban biaya
penyusutan, beban pegawai dan beban lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara dan
verifikasi Laporan Tahunan PT. PJB secara cooperate, beban biaya penyusutan,
beban pegawai dan beban lain-lainnya berkisar 40-60 persen dari beban biaya
maintenance dan operasional. Menurut keterangan staf enjinering, biaya
pemeliharaan pembangkit mengalami trend yang meningkat dari tahun ke tahun.
Pada pemeriksaan menyeluruh alat pembangkit (over haul) yang dilaksanakan
pada tahun 2011, beberapa bagian alat pembangkit mengalami korosivitas yang
lebih cepat dari spesifikasi pabrik. Hal ini terjadi karena kualitas air yang buruk
dan banyak mengandung unsur logam berat.
105
Untuk melihat perbandingan biaya secara umum, biaya pemeliharan
saluran air, biaya maintenance dan operasional pembangkit, dan biaya BPWC
dalam mengatasi sedimentasi, dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Gambar 23. Perbandingan Biaya Penanggulanan Sedimentasi vs Total Biaya
Operational&Maintenance
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa biaya operasional dan maintenance
cenderung meningkat sepanjang sepuluh tahun terakhir. Begitu pula dengan biaya
yang dikeluarkan oleh PT. PJB dalam mengatasi sedimentasi juga menunjukkan
trend peningkatan. Ekstrapolasi cost juga dilakukan untuk mengestimasi biaya
yang dikeluarkan sampai dengan akhir proyek, yang dilampirkan pada Lampiran
11 (Sebelas).
7.3.3 Analisis Kerugian
Secara umum biaya operasional dan maintenance memang mengalami
trend peningkatan, namun hal ini tidak bisa dijadikan dasar untuk perhitungan
kerugian spesifik karena sedimentasi. Oleh karena biaya operasional dan
maintenance merupakan kumulatif dari seluruh pembiayaan yang terjadi termasuk
dalam mengatasi korosivitas dan beban lain.
Sesuai hubungan antara elevasi, sedimentasi dan produksi listrik, serta
analisis biaya yang dikeluarkan PT. PJB berkaitan dengan sedimentantasi maka
106
dapat disimpulkan bahwa PLTA sampai dengan saat ini belum mengalami
kerugian akibat sedimentasi, oleh karena TMA masih dalam batasan yang wajar
(elevasi normal), sehingga produksi listrik tetap dapat berjalan. Namun akumulasi
sedimentasi sebesar 146 juta m3 tersebut berpotensi mengurangi produksi listrik
karena masa layan waduk yang berkurang. Jika laju sedimentasi berdasarkan
pengukuran 2007 dianggap konstan, artinya laju sedimentasi tidak bertambah dari
tahun ke tahun, maka diperkirakan dead storage waduk terisi penuh oleh lapisan
sediment dalam waktu 60 tahun lagi. Oleh karena umur waduk dari mulai
beroperasi (1988-2012) telah berumur 19 tahun, dan laju sedimentasi berdasarkan
perencanaan sebesar 5,3 juta m3/tahun, maka dengan kapasitas 491 juta m
3,
direncanakan umur waduk mencapai 87 tahun (lihat perhitungan gambar). Dengan
perencanaan 87 tahun dan umur waduk saat ini sudah berlangsung 19 tahun, maka
umur waduk tahun 2012 ini tinggal 68 tahun. Berdasarkan perhitungan umur
layan waduk tahun 2007 dalam Laporan Hasil Sedimentasi PT. PJB (2008) yang
hanya tinggal 60 tahun, maka waduk mengalami 8 (Delapan) tahun masa
layanannya. Berikut ini tabel yang memudahkan perhitungan masa layan yang
hilang dari hasi data sedimentasi yang diperoleh dari PT. PJB :
Tabel 27. Data Perhitungan Masa Layan Waduk yang Hilang Akibat Sedimentasi
Parameter Perencanaan 1988 Pengukuran Sedimentasi 2007
Volume waduk (Juta m3) 491 368
Sediment Rate (m3/tahun) 5,6 6,16
Umur layan (tahun) 87 60
Masa layan yang hilang (thn) 8 Sumber : Data PJB dan hasil analisis (2012)
Berdasarkan perhitungan berkurangnya masa layan waduk, maka dapat
dihitung kerugian PLTA akibat sedimentasi karena berpeluang tidak dapat
berproduksi selama Delapan tahun, dengan cara melakukan ektrapolasi pada data
benefit dan cost diatas, sehingga diperoleh benefit dan cost dari awal tahun
beroperasinya waduk (1988) sampai berakhirnya waduk di tahun 2075.
Perhitungan ektrapolasi dapat dilihat pada lampiran 10 dan 11. Hasil ektrapolasi
cost dan benefit kemudian di buat NPV untuk mengetahui nilai uang pada masa
sekarang. Perhitungan NPV hasil ektrapolasi dapat dilihat pada lampiran 12 dan
13. Delapan tahun terakhir yaitu 2068-2075 merupakan potensi kerugian PLTA
107
karena tidak bisa beroperasi. Nilai benefit yang hilang pada tahun tersebut
dijumlahkan dan dikurangi dengan data cost yang diperoleh dengan cara yang
sama. Maka diperoleh nilai penjumlahan benefit dari tahun 2068 – 2075 sebesar
Rp12.257.461.933,00 dan nilai penjumlahan cost pada tahun 2068 – 2075 sebesar
Rp445.425.748,00. Hasil pengurangan penjumlahan benefit dan cost merupakan
nilai kerugian PLTA karena sedimentasi yaitu sebesar Rp11.812.036.184,00
(11 milyar rupiah).
Nilai diatas dapat dijadikan acuan bagi pemegang kebijakan PT. PJB
dalam mengatasi masalah sedimentasi saat ini, misalnya dengan melakukan
pengerukan. Jika biaya pengerukan saat ini lebih kecil dari nilai diatas, maka hal
tersebut dapat dilakukan agar perusahaan dapat memperpanjang umur waduk
selama 8 tahun dan mengantisipasi kerugian. Jika nilai pengerukan sedimentasi
melebihi nilai diatas, maka perlu dipertimbangkan upaya-upaya lain untuk
menekan laju sedimentasi agar bisa memperpanjang umur waduk.
Jika upaya-upaya mengatasi sedimentasi tidak membuahkan hasil, apa
yang akan terjadi jika dead storage sudah terisi penuh dengan sedimen?
Berdasarkan hasil wawancara dengan staf PT. PJB, untuk mengantisipasi
keamanan bendungan maka produksi listrik akan dihentikan. Pada masa itulah
waduk saatnya ditutup dan mulai perencanaan membuka waduk baru. Berikut ini
adalah analisis financial untuk pertimbangan pembangunan waduk baru
berdasarkan data benefit dan cost diatas :
Tabel. 28 Analisis Financial Pembangunan Waduk Baru
KETERANGAN BIAYA
Biaya Pembangunan Cirata 1 dan 2 8.786.123.965.355
Benefit selama 60 tahun 44.397.183.828.022
Cost selama 60 tahun 567.700.535.048
Net surplus : Benefit - cost 43.829.483.292.974
Sisa surplus - biaya pembangunan 35.043.359.327.639 Sumber : Hasil Analisis Data Discounting Benefit dan Cost
Berdasarkan data diatas, jika perusahaan tidak melakukan upaya apapun
dalam mengatasi sedimentasi saat ini, maka diperkirakan waduk akan tutup
ditahun 2067 atau 60 tahun lagi. Pada masa tersebut terdapat net surplus dari
perhitungan benefit dikurangi dengan cost sebesar Rp43.829.483.292.974,00
108
(43 triliun rupiah). Biaya pembangunan waduk pada tahun 1988 diperkirakan
sebesar Rp8.786.123.965.355,00 (8 triliun rupiah); maka jika net surplus
dikurangi biaya untuk membangun waduk baru, diperkirakan masih terdapat sisa
surplus sebesar Rp35.043.359.327.639,00 (35 triliun rupiah)
Pembangunan waduk baru ini sangat penting karena relevansi
pembangunan bendungan baru seringkali dikaitkan dengan peningkatan ekonomi
suatu negara. Fungsi bendungan selain untuk penerangan, juga memenuhi pasokan
listrik yang memiliki arti penting dalam pertumbuhan ekonomi. Konsumsi listrik
akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berdampak pada output
perekonomian. Pertumbuhan output ini pada akhirnya akan mendorong
peningkatan permintaan akan energi listrik. Untuk itu ketersediaan sumber-
sumber listrik masih terus diperlukan untuk meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat. Belum lagi ditambah dengan jumlah penduduk yang
terus meningkat membutuhkan lebih banyak pasokan listrik terutama yang berasal
dari sumber terbaharukan seperti air.
Energi listrik yang berasal dari tenaga air cenderung lebih diutamakan
karena beberapa keuntungan antara lain : (i) Bahan bakar jenis air ini sama sekali
tidak habis terpakai ataupun berubah menjadi sesuatu yang lain, seperti PLTU
contohnya yang menggunakan bahan bakar batu bara akan menghadapi masalah
pembuangan limbahnya berupa abu batu bara. Air yang merupakan bahan bakar
untuk listrik ini melimpas melalui turbin, tanpa kehilangan kemampuan pelayanan
untuk wilayah di hilirnya. Air masih mampu mengairi sawah-sawah ataupun
bahan baku air minum. (ii) Biaya pengoperasian PLTA lebih rendah jika
dibandingkan dengan PLTN atau PLTU. (iii) Turbin-turbin pada PLTA bisa
dioperasikan ataupun dihentikan pengoperasiannya setiap saat. Hal ini tidak
mungkin pada PLTU dan PLTN. Dengan tehnik perencanaan yang baik
pembangkit listrik dapat menghasilkan tenaga dengan efesiensi yang sangat tinggi
meskipun fluktuasi beban cukup besar. (iv) Teknologi PLTA cukup sederhana,
dapat dimengerti dan mudah untuk dioperasikan. Ketangguhan sistemnya dapat
lebih diandalkan dibandingkan sumber-sumber daya lainnya. (v) Peralatan PLTA
yang mutakhir, umumnya memiliki peluang yang besar untuk bisa dioperasikan
selama lebih dari 50 tahun. Hal ini cukup bersaing jika dibandingkan dengan umur
109
efektif dari PLTN yang sekitar 30 tahun. (vi) Pengembangan PLTA dengan
memanfaatkan arus sungai dapat menimbulkan manfaat lain seperti pariwisata,
perikanan, irigasi pertanian dan pengendali banjir (Dandekar&Sharma, 1991).
Tentu saja berbagai keuntungan diatas tidak terlepas dari beberapa
kelemahan dalam proses pembangunannya, antara lain yang paling menonjol
adalah : Pertama, semua program PLTA merupakan program padat modal,
sehingga laju pengembalian modal proyek PLTA rendah. Kedua, masa persiapan
suatu proyek PLTA pada umumnya memakan waktu yang cukup lama, kurang
lebih sepuluh sampai dengan lima belas tahun dari mulai persiapan hingga
pengoperasiannya. Ketiga, PLTA sangat tergantung pada aliran sungai secara
alamiah, sedangkan aliran sungai tersebut sangat bervariasi, banyak faktor yang
menyebabkan variasi tersebut, misalnya adanya erosi di hulu, limbah rumah
tangga/indutri/perikanan, dan lain sebagainya. Keempat, timbulnya dampak sosial
dari pembangunan bendungan besar jika harus merelokasi masyarakat dari
wilayah tempat tinggal mereka (Dandekar&Sharma, 1991).
Goldsmith&Hilyard (1993) pernah meneliti dampak sosial dan lingkungan
dari pembangunan bendungan-bendungan raksasa di seluruh dunia. Mereka
mengatakan bahwa lebih banyak kerugian yang diderita oleh masyarakat maupun
lingkungan akibat pembangunan bendungan besar, dibandingkan keuntungan
jangka pendek yang dihasilkan dari bendungan-bendungan tersebut. Dampak
sosial yang dikaji dari pembangunan bendungan besar di negara-negara maju dan
berkembang antara lain : masalah pembebasan lahan yang biasanya tidak
menguntungkan masyarakat, masalah pemukiman kembali bagi masyarakat yang
terkena dampak genangan, karena biasanya mereka mendapatkan tanah yang
kurang subur; kehancuran sosial dan budaya masyarakat setempat.
Pokok masalah yang disampaikan oleh Goldsmith&Hilyard (1993) dalam
penelitian tentang pembangunan bendungan-bendungan besar di seluruh dunia
ternyata pembangunan bendungan yang dibuat dengan tujuan irigasi tidaklah
sepenuhnya memberikan peningkatan produksi pangan, karena dalam jangka
panjang program irigasi tersebut telah mengubah areal luas tanah subur menjadi
gurun pasir yang berlapis garam dan betapa industri yang bertenaga bendungan ini
selanjutnya mengacaukan suplai bahan pangan karena terjadinya pencemaran dan
110
merusak tanah pertanian. Sejumlah orang terpaksa harus dipindahkan dari rumah-
rumah mereka agar di tempat itu dapat dibangun waduk; kehidupan sosial mereka
menjadi berantakan dan kebudayaan mereka dihancurkan. Kesehatan mereka pun
dipertaruhkan karena mendapat ancaman baru berupa bahaya penyakit-penyakit
yang ditimbulkan oleh air waduk seperti malaria, schistosomiasis, filariasis, diare,
dll. Selain itu dewasa ini bendungan-bendungan tersebut dicurigai memicu
terjadinya gempa dan gagal mengendalikan banjir dan malah menurunkan kualitas
air yang diperlukan oleh ratusan orang. Pada akhirnya ahli waris yang
sesungguhnya dari program bendungan besar dan pengembangan air ini adalah
perusahaan-perusahaan multinasional besar, elit-elit di dunia ketiga dan para
politisi negara.
Dari sisi lingkungan, keberadaan bendungan besar menurut
Goldsmith&Hilyard (1993) telah menghilangkan tanah dan kehidupan
margasatwa di bagian hulu, menghilangkan endapan lumpur dan kesuburan di
bagian hilir. Plasma nutfah yang hilang dari keunikan wilayah tropis dan
biodiversitas berbagai tumbuhan dan hewan yang ikut punah terendam air waduk.
Ekosistem yang harus berubah digantikan dengan ekosistem baru dimana
beberapa spesies harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Seringkali
yang terjadi spesies endemik atau asli setempat tidak dapat menyesuaikan diri dan
akhirnya punah digantikan oleh spesies invasif yang memang sengaja dimasukkan
dalam ekosistem baru tersebut untuk kepentingan kehidupan manusia. Contohnya
adalah budidaya ikan mas telah menggantikan ikan-ikan endemik seperti ikan
nilem, benter, kalawak, dan tawes.
Masalah lingkungan lain yang kemudian akan timbul dalam jangka
panjang adalah salinitas yang tinggi dan sedimentasi di waduk. Banyak studi yang
menerangkan bahwa masalah utama waduk terutama di daerah tropis lebih rentan
mengalami sedimentasi karena tingkat konversi hutan dan penggundulan hutan
yang menyebabkan tingkat erosi lebih tinggi dibandingkan yang telah
direncanakan. Waduk Peligre di Haiti yang memanfaatkan sungai Artibonite
diperkirakan dapat bertahan untuk masa 50 tahun, namun dalam 30 tahun
bendungan tersebut harus ditutup karena sedimentasi. Bendungan tersebut akan
meninggalkan tanah berlumpur luas yang tidak bisa ditanami. Sedimentasi
111
sebelum waktunya sangat mempengaruhi nilai ekonomis bendungan. Biaya akhir
pembangunan bendungan sangatlah besar, jika terjadi penutupan waduk lebih
cepat, tentunya pengembalian hutang pembangunan tidak tercapai.
Walaupun terdapat net surplus dari pembangunan waduk baru, dan adanya
kebutuhan yang mendesak terhadap energi seiring dengan pertumbuhan ekonomi
dan penduduk, namun dalam pembangunannya kita perlu juga
mempertimbangkan dampak-dampak sosial seperti diatas.