Upload
shintyadewi
View
50
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bab 8 ijtihat
A. Pengertian
Ditinjau dari etimologi, kata Ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk
mashdar yang terbentuk dari kata jahada, yaitu : pertama, kata had, yang
mengandung arti kesungguhan . arti ini sejalan dengan firman Allah dalam
surah al-An’am (6) : 109 :
Kedua kata juhd, dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya
terkandung makna sulit, berat, dan susah. Pengertian yang kedua ini sejalan
dengan firman Allah pada surah at-Taubah (9): 79 :
Adapun kata ijtihad secara terminlogi, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian yang
hampir sama, dan antara satu definisi dengan lainnya bersifat saling
melengkapi. Definisi-definisi tersebut, antara lain :
1. Menurut ibnu as-subkti
2. Menruut al-amidi
3. Menurut asy-syaukani
4. Menurut Muhammad Abu Zahrah
4. PERKEMBANGAN IJTIHAD
Sebagaimana diketahui, pada masa rasululah sumber hukum Islam adalah Al-
Qur’an dan sunah. Namun demikian, ijtihad, pada kenyataan nya telah tumbuh
sejak masa-masa awal islam, yakni pada zaman nabi Muhammad, dan kemudian
berkembang pada masa-msa sahabya dan tabi’in serta masa-masa generasi
selanjutnya hingga kini dan yang akan datang.
Banyak riwayat yang menjelaskan betapa rasululah memberikan wewenang
kepada para sahabat beliau untuk melakukan ijtihad. Salah satu yang paling sering
diungakpan dalam kitab-kitab ushul fiqh ialah kisah pengatusan mu’az bin jabal
ke Yaman. Dalam riwayat tersebut metode ijtihad, di mana sumber hukum secara
berturut-turut ialah Al-Qur’an. Sunnah dan ar-ray (penalaran hukum). Dalam hal
ini ia berkata : ajtahid ra yi (saya berijtihad menggunakan nalar saya).
Wewenang untuk berijtihad yang diberikan rasululah kepada sahabat itu,
ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang
timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi pada masa Rasulullah ijtihad yang
dilakukan para sahabat beliau ijtihad yang dilakukan para sahabat selalu
dikonfirmasi hasilnya kepada beliau untuk mendapat pengesahan, ataupun
mendapat koreksi dari Rasulullah jika ternyata hasil ijtihad mereka keliru.
Setelah Rasulullah wafat, sejalan perluasanya wilayah islam dan banyak
pemeluk islam yang berlatar belakang budaya dan kebiasaan yang beragama, para
sahabat banyak menemukan kasus-kasus hukum yang sama sekali tida disebutkan
ketentuan hukumnya di dalam al-quran maupun sunnah. Kenyataan ini sikapi para
sahabat untuk menerapkan pengalaman ijtihad yang mereka praktik pada masa
Rasulullah yaitu dengan menggunakan ra’y. metode yang ditempuah dalam p
enggunaan ra’y ini ialah, meneltiai persamaan ilah kasus-kasus yang mereka
hadapi dengan kasus-kasus yang terdapat ketentuan hukumnya dalam al-qur’an
dan sunnah. Berdasarkan persamaan ilah itu kemudian menerapkan hukum yang
sama. Metode ini belakangan dikenal dengan istilah al-qiyas . Apabila metode ini
tidak dapat diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan kasus yang
mereka hadapi dengan yang terdapat dalam nashsh alquran dan sunah, maka
mereka menggunakan metode mshlahah dalam menetapkan hukum.
Sahabat yang paling terkenal menggunakan ar-ra’y melalui metode qiyas dan
mashlahah adalah umar bin al-khatab. Diantara hasil ijtihad umar yang kemduain
membuat terkenal dengan ijtihad melalui metode mashlahah ialah, tidak
memberikan hak menerima zakat kepada muallaf. Dan tidak memotong tangan
pencuri pada musim paceklik, dalam pada itu, ketika menjadi khlaifah, umar
memerintahkan kepada para hakim yang diutusnya ke beberapa wilayah islam
agar menyelesaikan suatu perkara dengan menggunakan ar-ra’y, apabila mereka
tidak menemukan nashsh alquran dan sunnah yang menjelaskan ketentuan hukum
tas masalah-masalah yang mereka hadapi.
B. DASAR HUKUM IJTIHAD
Sebagai salah satu dasar penetapan hukum syara’, keberadaan ijtihda ditopang
oleh banyak ddalil, baik ayat-ayat alquran m aupun sunah, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang mendukungnya. Dari al-quran, antara lain, firman
Allah pada surah an-nisa (4) : 59 :
Pada ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah
yang menjadi objek perbedaan pendapat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Cara yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami
kandungan makna dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat
Alquran dan hadis, kemudian menerapkan makna, dan prinsip tersebut pada
persoalan yang sedang dihadapi bersama itu.
Demikian juga firman Allah it- pada surah an-Nisa' (4): 105:
Ayat tersebut secara tidak langsung mengandung perintah untuk
melakukan ijtihad melalui giyas.
Di samping itu, banyak sekali ayat-ayat Alquran yang memerintahkan dan
mengajarkan untuk menggunakan akal dan pikiran, yang semuanya
merupakan dorongan melakukan ijtihad. Misalnya:
5. OJEK IJTIHAD
Sebagaimana diketahui, ditinjau dari segi keberadaannya, semua ayat-ayat
Alquran yang terdapat dalam mushhaf 'Utsmini bersifat Utsmani bersifat (pasti
keberadaannya). Artinya, tidak satu pun ayat-ayat Alquran tersebut yang
diragukan bahwa ia tidak benar-benar berasal dari wahyu Allah yang diturunkan
kepada Rasulullah semuanya berasal dari Allah Sedangkan ayat-ayat Alquran
yang tidak tercantum dalam mushhaf Utsmani. yaitu ayat-ayat yang
diriwayatkan secara tidak mutawatir, bersifat zhanniats-tsubut(tidak pasti
keberadaannya). Artinya, terdapat kemungkinan bahwa ayat-ayat tersebut tidak
benar-benar berasal dari wahyu Allah Ayat-ayat tersebut adalah yang tercantum
dalam kelompok qira’ah masyurah atau qira’ah syadzdzah.
Demikian juga halnya dengan hadis-hadis mutawitir, semuanva bersifat qath
ial-wurud (pasti datangnya). Artinya, semua hadis mutarvatir diyakini secara pasti
benar dinisbahkan kepada Nabi Sedangkan hadis-hadis yang diriwayatkan secara
tidak mutawatir, seperti: hadis masyhur dan ahad bersifat zhanni al-wurud (tidak
pasti datangnya). Artinya, terdapat kemungkinan bahwa hadis-hadis tersebut
tidak benar-benar dinisbahkan kepada Rasulullah.
Adapun ditinjau dari segi kepastian tunjukan makna (dalalah)-nya, baik ayat-
ayat Alquran maupun sunnah, juga dapat dibagi dua:
Pertama, qath i ad-dalalah (pasti tunjukan maknanya) yaitu, ayatayat dan
hadis-hadis yang kandungan maknanya sangat jelas dan tegas. sehingga tidak
mengandung kemungkinan makna lain yang dimaksud ayat atau hadis tersebut
selain makna itu. Contoh ayat-ayat Alquran dan hadis yang bersifat qath’I ad-
dalalah (yang pati tunjukkan maknanya) ialah- ayat-ayat dan hadis yang
menjelaskan tentang dua kalimah syahadah, kewajiban sholat lima waktu, zakat,
haji; tetnang haramnya zina, membunuh, mencuri; tentang ancaman hukuman yag tlah
ditentukan ukurannya (al-uqubat wa al-muqaddarat), dan semua ketentauan hukum
islam yang diketahui secara mudah dan jelas (ma ulima min al-din bi al-dharurah).
Kedua, zhanniad-dalalah (tidak pasti tunjukan maknanya) yaitu, ayat-ayat dan
hadis-hadis yang maknanya tidak secara tegas dan jelas menunjuk makna
tertentu, sehingga mengandung kemungkinan makna lain yang dimaksudkannya
selain makna yang segera terbayang pada benak kita, ketika memahami
redaksi ayat atau hadis tersebut. Ketidakpastian makna ayat atau hadis
tersebut disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain, meskipun tunjukan
makna suatu ayat atau hadis yang bersifat `umum menunjuk pengertian yang
`umum, tetapi terkadang ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian
yang dimaksudkannya bersifat khusus; atau tunjukan maknanya bersifat
muthlaq, tetapi terkadang ada dalil lain yang menunjuk maknanya yang di-qaid
kan kepada sesuatu yang lain. Demikian juga, meskipun pada dasarnya suatu
redaksi ayat Alquran atau hadis yang berbentuk perintah menunjuk pengertian
wajib, tetapi terkadang ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertiannya
tidak menunjuk pengertian wajib, melainkan menunjuk pengertian an-nadab atau
al-mubah. Sebaliknya, meskipun suatu larangan menunjuk pengertian haram,
namun terkadang ada ayat atau hadis yang menggunakan redaksi larangan yang
tidak menunjuk pengertian haram, tetapi hanya menunjuk hukum makruh atau
mubah.
6. MACAM-MACAM IJTIHAD
Imam asy-Syafi'i membatasi ijtihad hanya dalam pengertian menggali
hukum dari nashsh Alquran dan sunnah melalui cara al-qiyas saja, bukan yang
lain. Ketika ada yang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksud dengan al-
qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad ataukah keduanya berbeda? la menjawab:
"huma isman 1i-ma `na wahid (keduanya adalah dua nama untuk satu
pengertian).' Dengan demikian, asy-Syafi'i menggunakan istilah ijtihad dalam
pengertian sempit, hanya pada pengertian al-qiyas saja, dan tidak memakai
metode penalaran hukum yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah
al-mursalah.
Akan tetapi, para imam mazhab lainnya memaknai ijtihad dengan
pengertian yang luas. Mereka menggunakan istilah ijtihad untuk menggambarkan
penalaran hukum (or-ra;v) melalui metode al-qiyas dan metode istinbath hukum
lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami penalaran hukum tidak terbatas hanya
pada pengertian al-qiyas. yaitu adanya kasus-kasus hukum yang memiliki nashsh
yang dapat dijadikan landasan hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada
nashsh-nya, dengan cara menyamakan hukum keduanya. karena adanya kesamaan
'illah. Menurut mereka, penalaran hukum juga dapat dilakukan terhadap kasus-
kasus yang sama sekali tidak ada acuan nashsh-nya. Dengan demikian. menurut
para imam mazhab selain asy-Syafi'i. yang disebut ijtihad menggunakan
penalaran hukum ialah, melakukan penemuan hukum yang dipandang paling
dapat menghasilkan kemaslahatan, dan yang paling mendekati sernangat
pensyariatan hukum Islam. Oleh karena itu, ditir)jau dari segi metodenya.
sebagaimana yang dirumuskan ad-Duwaiiibi, ijtihad dapat dibagi kepada tiga
macam, yaitu sebagai berikut.
1. AI-Ijtihad al-baydni. yaitu suatu kegiatan ijtihad yang ber-tujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara' yang terdapat dalam nashsh Alquran dan
sunnah.
2. Al-Ijtihad al-qiyasi: yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum
syard atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh Alquran maupun
hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya kepada hukum-hukum 'syard yang
ada nashsh-nya.
3. AI-Ijtihad al-istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum
syara' atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashshnya, baik dari
Alquran maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-
istishlah (kemaslahatan).
Adapun ditinjau dari segi jumlah ornag yang melaukan ijtihad (mujtahid), ijtihad
dapat dibagi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa
orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang
belum diketahui ketentuan hukum nya. Di masa lalu, ijtihad model ini
yang palin banyak dialakukan.
b. Ijtihad jam’I yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid
untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, di mana ijtihad ini
menghasilkan kesepakatan besama. Ijtihad model inilah yang disebut
dengan ima’al ulama.
7. HUKUM BERIJTIHAD
Sebagiamana diketahui, setiap perbuatan mukallah tidak terlepas dari kemungkinan
diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah),
yaitu : wajib, atau sunnah, atau haram atau makruh dan atau mubah. Karena kegiatan
melaksanakan ijtihad juga termasuk perbuatan mukallaf, maka perbuatan tersebut
juga memiliki kemungkinan diberi predikat salah satu hukum tersebut, sesuai
dengan sabab, syarat dan mani`-nya serta tergantung pada ada atau tidak `illah
hukumnya. Hukum melakukan kegiatan ijtihad adalah sebagai berikut.
1. Apabila seseorang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan dirinya
menghadapi masalah hukum yang perlu segera mendapat jawaban hukum,
maka ia wajib (fardhu ain) melakukan kegiatan ijtihad. la wajib
mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid
lainnya.
2. Demikian juga, jika hanya ia yang memenuhi persyaratan ijtihod dan tidak ada
yang lainnya, sedangkan ia ditanya orang tentang masalah hukum yang
memerlukan jawaban hukum yang sifatnya segera, yang jika ia tidak berijtihad,
akan terjadi kesalahan dalam penerapan hukum syarat. Hukum melakukan ijtihad
pada keadaan seperti itu adalah wajib baginya. Akan tetapi, jika ada orang lain
yang memenuhi syarat berijtihad selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad
menjadi wajib kifayah baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut jika
kegiatan ijtihad dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang
melaksanakannya, maka semua mereka yang memenuhi syarat berijtihad
menjadi berdosa.
3. Hukum berijtihad adalah sunnah, apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui
hukum masalah-masalah yang belum terjadi, baik masalah itu ditanyakan
orang kepada si mujtahid ataupun tidak. Demikian juga terhadap masalah-
masalah yang sudah terjadi, tetapi tidak memerlukan jawaban hukum yang
bersifat segera.
4. Hukum melakukan kegiatan ijtihad menjadi haram, apabila ditujukan terhadap
masalah-masalah yang telah jelas hukumnya berdasarkan nashsh Alquran
maupun sunnah yang bersifat qath i ats-tsubut wa ad-dalalah.
5. Sedangkan terhadap masalah-masalah yang tidak didasarkan atas nashsh
yang bersifat qath i ats-ts ut/al-wurud wa ad-dalzilah, maka hukumnya adalah
mubah.
8. TINGKATAN IJTIHAD DAN MUJTAHID
Terdapat variasi pendapat ulama, baik dalam menjelaskan tingkatan-tingkatan
ijtihad I dan mujtahid, maupun dari segi istilah-istilah yang mereka gunakan. Ah,)n
tetapi, variasi pendapat tersebut tidak sampai mengubah substansi tingkatan ijtihad
dan mujtahid itu sendiri. Pada umumnya mereka mengelompokkan ijtihad dan
mujtahid menjadi beberapa tingkatan sebagai berikut.
1. Ijtihad Muthlaq
Adapun yang dimaksud dengan ijtihad muthlaq ialah, kegiatan seorang mujtahid
yang bersifat mandiri dalam berijtihad menemukan illah- illah hukum dan
ketentuan hukumnya dari nashsh Alquran dan sunnah, dengan menggunakan
rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syarat, baik rumusan-rumusan
tersebut merupakan hasil karyanya sendiri ataupun karena mengikuti (ittiba I
metode mujtahid lain, serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan-persoalan
hukum, dengan bantuan disiplin ilmuilmu lain. Dengan kata lain, al-ijtihad al-
muthlaq ialah, kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang bersifat parsial
(furu' dari dalil-dalilnya, dan kemampuan untuk menggunakan perangkat ushul
fiqh yang dijadikan landasan ijtihadnya. Orang yang memiliki kemampuan
tersebut disebut dengan mujtahid muthlaq.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa suatu kegiatan ijtihad
diistilahkan dengan ijtihad muthlaq, jika ijtihad tersebut melahirkan hukum syara'
secara mandiri, tanpa bertaqlid kepada mujtahid lain, baik ijtihad itu dilakukan
dengan menggunakan ushul fiqh yang dirumuskan secara mandiri oleh orang yang
berijtihad, maupun dengan menggunakan metode ijtihad dari mujtahid lainnya.
Dengan demikian, yang menjadi kata kunci dalam al-ijtihad al-muthlaq ialah
kemandirian dalam menemukan hukum syara'. Berdasarkan pemahaman ini pula,
maka mujtahid itu sendiri, yaitu orang yang melakukan ijtihad muthlaq, dapat
dibagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.
a. Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu mujtahid yang secara mandiri
merumuskan dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh mazhabnya, tanpa
bertaqlid dan mengikuti (duna taqlid wa la ittiba) kepada mujtahid lainnya. Di
samping itu, ia berijtihad menemukan hukum syarat dengan cara menerapkan
sendiri ushul fiqh yang dirumuskannya itu..Yang termasuk dalam kelompok
mujtahid muthlaqmustaqil ini, antara lain, imam mazhab yang empat (Imam Abu
Hanifah, Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal), Imam al-Laits bin Sa'ad,
alAwza'i, dan Sufyan ats Tsauri. ,
b. Mujtahid Muthlaq Muntasib, yaitu mujtahid yang melakukan ijtihad secara
mandiri dalam menemukan hukum-hukum syara' yang bersifat parsial, tanpa
taqlid dan mengikuti mujtahid lainnya, tetapi tidak merumuskan sendiri metode
istmbath hukumnya, melainkan mengikuti metode istinbath hukum yang telah
dirumuskan mujtahid kelompok pertama (mujtahid muthlaq mustaqi4. Yang
termasuk dalam kelompok kedua ini, antara lain: dari mazhab Hanafi: Abu
Yusuf, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, dan Zufar. Dari mazhab Maliki:
Abdurrahman bin al-Qasim dan Abdullah bin Abdul Wahhab. Dari mazhab asy-
Syafi'i: al-Buwaithi, az-Za'farani, dan al-Muzani. /
2. Ijtihad fi al-Madzhab
Adapun yang dimaksud deng b an J i"tihad f al-madzhab ialah, suatu kegiatan
ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara', dengan
menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh ujtahid
muthlaq mustaqil (imam mazhab), baik yang berkaitan dengan masalah-
masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya,
meneliti pendapat yang paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut,
maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan masyarakat. Secara
lebih sempit, ijtihad fi al-madzhab dikelompokkan kepada tiga tingkatan
sebagai berikut.
a. Ijtihad at-Takhrij, yaitu: kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam roazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara' yang tidak terdapat
dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada
kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Berbeda
dengan kegiatan ijtihad pada tingkatan di atas, pada tingkatan ini
kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah
difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan
murid-murid imam mazhabnya. Pelaku ijtihad pada tingkatan ini disebut
mujtahid attakhrij. Ulama yang termasuk dalam tingkatan ini, antara lain,
dari kalangan mazhab Hanafi: al-Hasan bin Ziyad, al-Karakhi, dan ath-
Thahawi. Dari kalangan mazhab Maliki: al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid.
Sedangkan dari kalangan mazhab asy-Syafi'i: Abu Ishaq asy-Syairazi dan
al-Maruzi.
b. Ijtihad at-T-~ijih. yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah
pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam
mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid sang
imam mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam
mazhab lainnya. Jadi, berbeda dengan tingkatan yang pertama, kegiatan
ulama pada tinqkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak
melakukan istinbath hukum syara'. Orang yang melaksanakan ijtihad pada
tingkatan ini disebut mujtahid at-taijih.
c. IjtihJd al-FttVi, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk beluk
pendapat-pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang
dianutnya. dan memfatwakan pendapat-pendapat tersebut kepada
masyarakat. Berbeda dengan tingkatan kedua di atas, kegiatan yang
dilakukan ulama pada tingkatan ketiga ini terbatas hanya pada
memfatwakan pendapat-pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan
sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah
pendapat yang ada dalam mazhabnya. Orang yang termasuk ke dalam
tingkatan ini disebut mujtahid al-futya.
9. METODE IJTIHAD
Dalam mencair hukum yang ada dalam al-qur’an, ulama ushul menempuh
dengan jalan : 1) istinbath, dengan memahami nash yang jelas (qath’i), 2) ijthad,
terhadap nash yang belum menunjukkan hukum satu maslah, dan 3) ijthad juga
dalam memahami malah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nash, yakni
kemaslahatan.
Rumusna itu dituangkan ke dalam bentuk istilah : 1) ijtihad bayani, 2).
Ijtihad qiyasi dan 3). Ijtihad istishlahi :
1. Ijthad bayani
Menurut ulama Hnafiah, ada lima bayan / keternagna dan menurut
sbagian ulama mentapkan hanya satu saja, karna bayan taghyir dengan
bayan tabdil itu dapat dijadikan satu, namum demikian, perlu penjelasan
agar satu persatu bayan tersebut dapat dipahami :
1. Bayan tagfir, adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan susatu
makna dengan dasar-dasar lain, yang memberikan tambah jelasnya
yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkpana dalma
nash atau dalil.
2. Bayan tafsir, adalah penjelasan uatu lafal atau kata-kata, sehingga nash
tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.
3. Bayan taghir, adalah keterangan-keterangan yang mengubah dari makna
zahrir menjadi makna yang di tuju, seperti kata-kata yang mengandung
pengecualian istitsna. Dalam hal ini, usaha yang dilaukan adalah
mencari mukhasis dari makna yang umum tdai.
4. Bayan tabdil, adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan maskh.
Maksudnya mencari pakaha ada masikh mansukh dalam ukum masalah
yang dicari oleh seorang mujthaid.
5. Bayan dlarurah, yaitu keterangan yang tidak disebutkan, tetpai tidak
boleh tidak harus diungkapkan. Bayan itu tidak berupa kata-kata, tetapi
sesuatu yang didiamkan.
Ijtihad qiysai dalam menafsirkan ayat al-qur’an
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak
ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetpai ada nash al-
qur’an maupun al-sunnah yang menunjukkan kehamrannya seperti
keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya, seperti
menghisap ganja itu tidak didapati pd aal-qur’an maupun al-sunnah, yang
ada kesamaan adalah larangan al-qur’an tentang khamr. Menyamakan
hukum keharaman ganja dengan hukum keharaman khamr, menurut alhi
ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyas (analogi, menurut
ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-qur’an dengan menggunakan
metode ini , dapat saja dilakukan dengan nama ijtihad qiyasi, dengan
syarat-syarat tertentu.
Ijtihad istishlahi dalam menafsirkan ayat al-qur’an
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum maslah yang dicari, dengan
mendasarkan masalah yang dicari, dengan mendsarakan masalah yang
akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi.