19
Bab 8 ijtihat A. Pengertian Ditinjau dari etimologi, kata Ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk mashdar yang terbentuk dari kata jahada, yaitu : pertama, kata had, yang mengandung arti kesungguhan . arti ini sejalan dengan firman Allah dalam surah al-An’am (6) : 109 : Kedua kata juhd, dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya terkandung makna sulit, berat, dan susah. Pengertian yang kedua ini sejalan dengan firman Allah pada surah at-Taubah (9): 79 : Adapun kata ijtihad secara terminlogi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian yang hampir sama, dan antara satu definisi dengan lainnya bersifat saling melengkapi. Definisi-definisi tersebut, antara lain : 1. Menurut ibnu as-subkti 2. Menruut al-amidi 3. Menurut asy-syaukani 4. Menurut Muhammad Abu Zahrah

Bab 8 Ijtihat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab 8 Ijtihat

Bab 8 ijtihat

A. Pengertian

Ditinjau dari etimologi, kata Ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk

mashdar yang terbentuk dari kata jahada, yaitu : pertama, kata had, yang

mengandung arti kesungguhan . arti ini sejalan dengan firman Allah dalam

surah al-An’am (6) : 109 :

Kedua kata juhd, dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya

terkandung makna sulit, berat, dan susah. Pengertian yang kedua ini sejalan

dengan firman Allah pada surah at-Taubah (9): 79 :

Adapun kata ijtihad secara terminlogi, terdapat beberapa definisi yang

dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian yang

hampir sama, dan antara satu definisi dengan lainnya bersifat saling

melengkapi. Definisi-definisi tersebut, antara lain :

1. Menurut ibnu as-subkti

2. Menruut al-amidi

3. Menurut asy-syaukani

4. Menurut Muhammad Abu Zahrah

Page 2: Bab 8 Ijtihat

4. PERKEMBANGAN IJTIHAD

Sebagaimana diketahui, pada masa rasululah sumber hukum Islam adalah Al-

Qur’an dan sunah. Namun demikian, ijtihad, pada kenyataan nya telah tumbuh

sejak masa-masa awal islam, yakni pada zaman nabi Muhammad, dan kemudian

berkembang pada masa-msa sahabya dan tabi’in serta masa-masa generasi

selanjutnya hingga kini dan yang akan datang.

Banyak riwayat yang menjelaskan betapa rasululah memberikan wewenang

kepada para sahabat beliau untuk melakukan ijtihad. Salah satu yang paling sering

diungakpan dalam kitab-kitab ushul fiqh ialah kisah pengatusan mu’az bin jabal

ke Yaman. Dalam riwayat tersebut metode ijtihad, di mana sumber hukum secara

berturut-turut ialah Al-Qur’an. Sunnah dan ar-ray (penalaran hukum). Dalam hal

ini ia berkata : ajtahid ra yi (saya berijtihad menggunakan nalar saya).

Wewenang untuk berijtihad yang diberikan rasululah kepada sahabat itu,

ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang

timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi pada masa Rasulullah ijtihad yang

dilakukan para sahabat beliau ijtihad yang dilakukan para sahabat selalu

dikonfirmasi hasilnya kepada beliau untuk mendapat pengesahan, ataupun

mendapat koreksi dari Rasulullah jika ternyata hasil ijtihad mereka keliru.

Setelah Rasulullah wafat, sejalan perluasanya wilayah islam dan banyak

pemeluk islam yang berlatar belakang budaya dan kebiasaan yang beragama, para

sahabat banyak menemukan kasus-kasus hukum yang sama sekali tida disebutkan

ketentuan hukumnya di dalam al-quran maupun sunnah. Kenyataan ini sikapi para

sahabat untuk menerapkan pengalaman ijtihad yang mereka praktik pada masa

Rasulullah yaitu dengan menggunakan ra’y. metode yang ditempuah dalam p

enggunaan ra’y ini ialah, meneltiai persamaan ilah kasus-kasus yang mereka

hadapi dengan kasus-kasus yang terdapat ketentuan hukumnya dalam al-qur’an

dan sunnah. Berdasarkan persamaan ilah itu kemudian menerapkan hukum yang

sama. Metode ini belakangan dikenal dengan istilah al-qiyas . Apabila metode ini

tidak dapat diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan kasus yang

mereka hadapi dengan yang terdapat dalam nashsh alquran dan sunah, maka

mereka menggunakan metode mshlahah dalam menetapkan hukum.

Page 3: Bab 8 Ijtihat

Sahabat yang paling terkenal menggunakan ar-ra’y melalui metode qiyas dan

mashlahah adalah umar bin al-khatab. Diantara hasil ijtihad umar yang kemduain

membuat terkenal dengan ijtihad melalui metode mashlahah ialah, tidak

memberikan hak menerima zakat kepada muallaf. Dan tidak memotong tangan

pencuri pada musim paceklik, dalam pada itu, ketika menjadi khlaifah, umar

memerintahkan kepada para hakim yang diutusnya ke beberapa wilayah islam

agar menyelesaikan suatu perkara dengan menggunakan ar-ra’y, apabila mereka

tidak menemukan nashsh alquran dan sunnah yang menjelaskan ketentuan hukum

tas masalah-masalah yang mereka hadapi.

B. DASAR HUKUM IJTIHAD

Sebagai salah satu dasar penetapan hukum syara’, keberadaan ijtihda ditopang

oleh banyak ddalil, baik ayat-ayat alquran m aupun sunah, baik secara langsung

maupun tidak langsung yang mendukungnya. Dari al-quran, antara lain, firman

Allah pada surah an-nisa (4) : 59 :

Pada ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah

yang menjadi objek perbedaan pendapat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Cara yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami

kandungan makna dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat

Alquran dan hadis, kemudian menerapkan makna, dan prinsip tersebut pada

persoalan yang sedang dihadapi bersama itu.

Demikian juga firman Allah it- pada surah an-Nisa' (4): 105:

Ayat tersebut secara tidak langsung mengandung perintah untuk

melakukan ijtihad melalui giyas.

Di samping itu, banyak sekali ayat-ayat Alquran yang memerintahkan dan

mengajarkan untuk menggunakan akal dan pikiran, yang semuanya

merupakan dorongan melakukan ijtihad. Misalnya:

Page 4: Bab 8 Ijtihat

5. OJEK IJTIHAD

Sebagaimana diketahui, ditinjau dari segi keberadaannya, semua ayat-ayat

Alquran yang terdapat dalam mushhaf 'Utsmini bersifat Utsmani bersifat (pasti

keberadaannya). Artinya, tidak satu pun ayat-ayat Alquran tersebut yang

diragukan bahwa ia tidak benar-benar berasal dari wahyu Allah yang diturunkan

kepada Rasulullah semuanya berasal dari Allah Sedangkan ayat-ayat Alquran

yang tidak tercantum dalam mushhaf Utsmani. yaitu ayat-ayat yang

diriwayatkan secara tidak mutawatir, bersifat zhanniats-tsubut(tidak pasti

keberadaannya). Artinya, terdapat kemungkinan bahwa ayat-ayat tersebut tidak

benar-benar berasal dari wahyu Allah Ayat-ayat tersebut adalah yang tercantum

dalam kelompok qira’ah masyurah atau qira’ah syadzdzah.

Demikian juga halnya dengan hadis-hadis mutawitir, semuanva bersifat qath

ial-wurud (pasti datangnya). Artinya, semua hadis mutarvatir diyakini secara pasti

benar dinisbahkan kepada Nabi Sedangkan hadis-hadis yang diriwayatkan secara

tidak mutawatir, seperti: hadis masyhur dan ahad bersifat zhanni al-wurud (tidak

pasti datangnya). Artinya, terdapat kemungkinan bahwa hadis-hadis tersebut

tidak benar-benar dinisbahkan kepada Rasulullah.

Adapun ditinjau dari segi kepastian tunjukan makna (dalalah)-nya, baik ayat-

ayat Alquran maupun sunnah, juga dapat dibagi dua:

Pertama, qath i ad-dalalah (pasti tunjukan maknanya) yaitu, ayatayat dan

hadis-hadis yang kandungan maknanya sangat jelas dan tegas. sehingga tidak

mengandung kemungkinan makna lain yang dimaksud ayat atau hadis tersebut

selain makna itu. Contoh ayat-ayat Alquran dan hadis yang bersifat qath’I ad-

dalalah (yang pati tunjukkan maknanya) ialah- ayat-ayat dan hadis yang

menjelaskan tentang dua kalimah syahadah, kewajiban sholat lima waktu, zakat,

haji; tetnang haramnya zina, membunuh, mencuri; tentang ancaman hukuman yag tlah

ditentukan ukurannya (al-uqubat wa al-muqaddarat), dan semua ketentauan hukum

islam yang diketahui secara mudah dan jelas (ma ulima min al-din bi al-dharurah).

Kedua, zhanniad-dalalah (tidak pasti tunjukan maknanya) yaitu, ayat-ayat dan

hadis-hadis yang maknanya tidak secara tegas dan jelas menunjuk makna

tertentu, sehingga mengandung kemungkinan makna lain yang dimaksudkannya

selain makna yang segera terbayang pada benak kita, ketika memahami

Page 5: Bab 8 Ijtihat

redaksi ayat atau hadis tersebut. Ketidakpastian makna ayat atau hadis

tersebut disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain, meskipun tunjukan

makna suatu ayat atau hadis yang bersifat `umum menunjuk pengertian yang

`umum, tetapi terkadang ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian

yang dimaksudkannya bersifat khusus; atau tunjukan maknanya bersifat

muthlaq, tetapi terkadang ada dalil lain yang menunjuk maknanya yang di-qaid

kan kepada sesuatu yang lain. Demikian juga, meskipun pada dasarnya suatu

redaksi ayat Alquran atau hadis yang berbentuk perintah menunjuk pengertian

wajib, tetapi terkadang ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertiannya

tidak menunjuk pengertian wajib, melainkan menunjuk pengertian an-nadab atau

al-mubah. Sebaliknya, meskipun suatu larangan menunjuk pengertian haram,

namun terkadang ada ayat atau hadis yang menggunakan redaksi larangan yang

tidak menunjuk pengertian haram, tetapi hanya menunjuk hukum makruh atau

mubah.

6. MACAM-MACAM IJTIHAD

Imam asy-Syafi'i membatasi ijtihad hanya dalam pengertian menggali

hukum dari nashsh Alquran dan sunnah melalui cara al-qiyas saja, bukan yang

lain. Ketika ada yang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksud dengan al-

qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad ataukah keduanya berbeda? la menjawab:

"huma isman 1i-ma `na wahid (keduanya adalah dua nama untuk satu

pengertian).' Dengan demikian, asy-Syafi'i menggunakan istilah ijtihad dalam

pengertian sempit, hanya pada pengertian al-qiyas saja, dan tidak memakai

metode penalaran hukum yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah

al-mursalah.

Akan tetapi, para imam mazhab lainnya memaknai ijtihad dengan

pengertian yang luas. Mereka menggunakan istilah ijtihad untuk menggambarkan

penalaran hukum (or-ra;v) melalui metode al-qiyas dan metode istinbath hukum

lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami penalaran hukum tidak terbatas hanya

pada pengertian al-qiyas. yaitu adanya kasus-kasus hukum yang memiliki nashsh

yang dapat dijadikan landasan hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada

nashsh-nya, dengan cara menyamakan hukum keduanya. karena adanya kesamaan

'illah. Menurut mereka, penalaran hukum juga dapat dilakukan terhadap kasus-

Page 6: Bab 8 Ijtihat

kasus yang sama sekali tidak ada acuan nashsh-nya. Dengan demikian. menurut

para imam mazhab selain asy-Syafi'i. yang disebut ijtihad menggunakan

penalaran hukum ialah, melakukan penemuan hukum yang dipandang paling

dapat menghasilkan kemaslahatan, dan yang paling mendekati sernangat

pensyariatan hukum Islam. Oleh karena itu, ditir)jau dari segi metodenya.

sebagaimana yang dirumuskan ad-Duwaiiibi, ijtihad dapat dibagi kepada tiga

macam, yaitu sebagai berikut.

1. AI-Ijtihad al-baydni. yaitu suatu kegiatan ijtihad yang ber-tujuan untuk

menjelaskan hukum-hukum syara' yang terdapat dalam nashsh Alquran dan

sunnah.

2. Al-Ijtihad al-qiyasi: yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum

syard atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh Alquran maupun

hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya kepada hukum-hukum 'syard yang

ada nashsh-nya.

3. AI-Ijtihad al-istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum

syara' atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashshnya, baik dari

Alquran maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-

istishlah (kemaslahatan).

Adapun ditinjau dari segi jumlah ornag yang melaukan ijtihad (mujtahid), ijtihad

dapat dibagi dua, yaitu sebagai berikut :

a. Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa

orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang

belum diketahui ketentuan hukum nya. Di masa lalu, ijtihad model ini

yang palin banyak dialakukan.

b. Ijtihad jam’I yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid

untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, di mana ijtihad ini

menghasilkan kesepakatan besama. Ijtihad model inilah yang disebut

dengan ima’al ulama.

Page 7: Bab 8 Ijtihat

7. HUKUM BERIJTIHAD

Sebagiamana diketahui, setiap perbuatan mukallah tidak terlepas dari kemungkinan

diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah),

yaitu : wajib, atau sunnah, atau haram atau makruh dan atau mubah. Karena kegiatan

melaksanakan ijtihad juga termasuk perbuatan mukallaf, maka perbuatan tersebut

juga memiliki kemungkinan diberi predikat salah satu hukum tersebut, sesuai

dengan sabab, syarat dan mani`-nya serta tergantung pada ada atau tidak `illah

hukumnya. Hukum melakukan kegiatan ijtihad adalah sebagai berikut.

1. Apabila seseorang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan dirinya

menghadapi masalah hukum yang perlu segera mendapat jawaban hukum,

maka ia wajib (fardhu ain) melakukan kegiatan ijtihad. la wajib

mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid

lainnya.

2. Demikian juga, jika hanya ia yang memenuhi persyaratan ijtihod dan tidak ada

yang lainnya, sedangkan ia ditanya orang tentang masalah hukum yang

memerlukan jawaban hukum yang sifatnya segera, yang jika ia tidak berijtihad,

akan terjadi kesalahan dalam penerapan hukum syarat. Hukum melakukan ijtihad

pada keadaan seperti itu adalah wajib baginya. Akan tetapi, jika ada orang lain

yang memenuhi syarat berijtihad selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad

menjadi wajib kifayah baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut jika

kegiatan ijtihad dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang

melaksanakannya, maka semua mereka yang memenuhi syarat berijtihad

menjadi berdosa.

3. Hukum berijtihad adalah sunnah, apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui

hukum masalah-masalah yang belum terjadi, baik masalah itu ditanyakan

orang kepada si mujtahid ataupun tidak. Demikian juga terhadap masalah-

masalah yang sudah terjadi, tetapi tidak memerlukan jawaban hukum yang

bersifat segera.

4. Hukum melakukan kegiatan ijtihad menjadi haram, apabila ditujukan terhadap

masalah-masalah yang telah jelas hukumnya berdasarkan nashsh Alquran

maupun sunnah yang bersifat qath i ats-tsubut wa ad-dalalah.

5. Sedangkan terhadap masalah-masalah yang tidak didasarkan atas nashsh

Page 8: Bab 8 Ijtihat

yang bersifat qath i ats-ts ut/al-wurud wa ad-dalzilah, maka hukumnya adalah

mubah.

Page 9: Bab 8 Ijtihat

8. TINGKATAN IJTIHAD DAN MUJTAHID

Terdapat variasi pendapat ulama, baik dalam menjelaskan tingkatan-tingkatan

ijtihad I dan mujtahid, maupun dari segi istilah-istilah yang mereka gunakan. Ah,)n

tetapi, variasi pendapat tersebut tidak sampai mengubah substansi tingkatan ijtihad

dan mujtahid itu sendiri. Pada umumnya mereka mengelompokkan ijtihad dan

mujtahid menjadi beberapa tingkatan sebagai berikut.

1. Ijtihad Muthlaq

Adapun yang dimaksud dengan ijtihad muthlaq ialah, kegiatan seorang mujtahid

yang bersifat mandiri dalam berijtihad menemukan illah- illah hukum dan

ketentuan hukumnya dari nashsh Alquran dan sunnah, dengan menggunakan

rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syarat, baik rumusan-rumusan

tersebut merupakan hasil karyanya sendiri ataupun karena mengikuti (ittiba I

metode mujtahid lain, serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan-persoalan

hukum, dengan bantuan disiplin ilmuilmu lain. Dengan kata lain, al-ijtihad al-

muthlaq ialah, kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang bersifat parsial

(furu' dari dalil-dalilnya, dan kemampuan untuk menggunakan perangkat ushul

fiqh yang dijadikan landasan ijtihadnya. Orang yang memiliki kemampuan

tersebut disebut dengan mujtahid muthlaq.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa suatu kegiatan ijtihad

diistilahkan dengan ijtihad muthlaq, jika ijtihad tersebut melahirkan hukum syara'

secara mandiri, tanpa bertaqlid kepada mujtahid lain, baik ijtihad itu dilakukan

dengan menggunakan ushul fiqh yang dirumuskan secara mandiri oleh orang yang

berijtihad, maupun dengan menggunakan metode ijtihad dari mujtahid lainnya.

Dengan demikian, yang menjadi kata kunci dalam al-ijtihad al-muthlaq ialah

kemandirian dalam menemukan hukum syara'. Berdasarkan pemahaman ini pula,

maka mujtahid itu sendiri, yaitu orang yang melakukan ijtihad muthlaq, dapat

dibagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.

a. Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu mujtahid yang secara mandiri

merumuskan dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh mazhabnya, tanpa

bertaqlid dan mengikuti (duna taqlid wa la ittiba) kepada mujtahid lainnya. Di

samping itu, ia berijtihad menemukan hukum syarat dengan cara menerapkan

sendiri ushul fiqh yang dirumuskannya itu..Yang termasuk dalam kelompok

Page 10: Bab 8 Ijtihat

mujtahid muthlaqmustaqil ini, antara lain, imam mazhab yang empat (Imam Abu

Hanifah, Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal), Imam al-Laits bin Sa'ad,

alAwza'i, dan Sufyan ats Tsauri. ,

b. Mujtahid Muthlaq Muntasib, yaitu mujtahid yang melakukan ijtihad secara

mandiri dalam menemukan hukum-hukum syara' yang bersifat parsial, tanpa

taqlid dan mengikuti mujtahid lainnya, tetapi tidak merumuskan sendiri metode

istmbath hukumnya, melainkan mengikuti metode istinbath hukum yang telah

dirumuskan mujtahid kelompok pertama (mujtahid muthlaq mustaqi4. Yang

termasuk dalam kelompok kedua ini, antara lain: dari mazhab Hanafi: Abu

Yusuf, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, dan Zufar. Dari mazhab Maliki:

Abdurrahman bin al-Qasim dan Abdullah bin Abdul Wahhab. Dari mazhab asy-

Syafi'i: al-Buwaithi, az-Za'farani, dan al-Muzani. /

2. Ijtihad fi al-Madzhab

Adapun yang dimaksud deng b an J i"tihad f al-madzhab ialah, suatu kegiatan

ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara', dengan

menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh ujtahid

muthlaq mustaqil (imam mazhab), baik yang berkaitan dengan masalah-

masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya,

meneliti pendapat yang paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut,

maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan masyarakat. Secara

lebih sempit, ijtihad fi al-madzhab dikelompokkan kepada tiga tingkatan

sebagai berikut.

a. Ijtihad at-Takhrij, yaitu: kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid

dalam roazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara' yang tidak terdapat

dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada

kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Berbeda

dengan kegiatan ijtihad pada tingkatan di atas, pada tingkatan ini

kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah

difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan

murid-murid imam mazhabnya. Pelaku ijtihad pada tingkatan ini disebut

mujtahid attakhrij. Ulama yang termasuk dalam tingkatan ini, antara lain,

dari kalangan mazhab Hanafi: al-Hasan bin Ziyad, al-Karakhi, dan ath-

Page 11: Bab 8 Ijtihat

Thahawi. Dari kalangan mazhab Maliki: al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid.

Sedangkan dari kalangan mazhab asy-Syafi'i: Abu Ishaq asy-Syairazi dan

al-Maruzi.

b. Ijtihad at-T-~ijih. yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah

pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam

mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid sang

imam mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam

mazhab lainnya. Jadi, berbeda dengan tingkatan yang pertama, kegiatan

ulama pada tinqkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak

melakukan istinbath hukum syara'. Orang yang melaksanakan ijtihad pada

tingkatan ini disebut mujtahid at-taijih.

c. IjtihJd al-FttVi, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk beluk

pendapat-pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang

dianutnya. dan memfatwakan pendapat-pendapat tersebut kepada

masyarakat. Berbeda dengan tingkatan kedua di atas, kegiatan yang

dilakukan ulama pada tingkatan ketiga ini terbatas hanya pada

memfatwakan pendapat-pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan

sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah

pendapat yang ada dalam mazhabnya. Orang yang termasuk ke dalam

tingkatan ini disebut mujtahid al-futya.

9. METODE IJTIHAD

Dalam mencair hukum yang ada dalam al-qur’an, ulama ushul menempuh

dengan jalan : 1) istinbath, dengan memahami nash yang jelas (qath’i), 2) ijthad,

terhadap nash yang belum menunjukkan hukum satu maslah, dan 3) ijthad juga

dalam memahami malah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nash, yakni

kemaslahatan.

Rumusna itu dituangkan ke dalam bentuk istilah : 1) ijtihad bayani, 2).

Ijtihad qiyasi dan 3). Ijtihad istishlahi :

1. Ijthad bayani

Menurut ulama Hnafiah, ada lima bayan / keternagna dan menurut

sbagian ulama mentapkan hanya satu saja, karna bayan taghyir dengan

Page 12: Bab 8 Ijtihat

bayan tabdil itu dapat dijadikan satu, namum demikian, perlu penjelasan

agar satu persatu bayan tersebut dapat dipahami :

1. Bayan tagfir, adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan susatu

makna dengan dasar-dasar lain, yang memberikan tambah jelasnya

yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkpana dalma

nash atau dalil.

2. Bayan tafsir, adalah penjelasan uatu lafal atau kata-kata, sehingga nash

tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.

3. Bayan taghir, adalah keterangan-keterangan yang mengubah dari makna

zahrir menjadi makna yang di tuju, seperti kata-kata yang mengandung

pengecualian istitsna. Dalam hal ini, usaha yang dilaukan adalah

mencari mukhasis dari makna yang umum tdai.

4. Bayan tabdil, adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan maskh.

Maksudnya mencari pakaha ada masikh mansukh dalam ukum masalah

yang dicari oleh seorang mujthaid.

5. Bayan dlarurah, yaitu keterangan yang tidak disebutkan, tetpai tidak

boleh tidak harus diungkapkan. Bayan itu tidak berupa kata-kata, tetapi

sesuatu yang didiamkan.

Ijtihad qiysai dalam menafsirkan ayat al-qur’an

Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak

ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetpai ada nash al-

qur’an maupun al-sunnah yang menunjukkan kehamrannya seperti

keharaman khamr.

Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya, seperti

menghisap ganja itu tidak didapati pd aal-qur’an maupun al-sunnah, yang

ada kesamaan adalah larangan al-qur’an tentang khamr. Menyamakan

hukum keharaman ganja dengan hukum keharaman khamr, menurut alhi

ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyas (analogi, menurut

ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-qur’an dengan menggunakan

metode ini , dapat saja dilakukan dengan nama ijtihad qiyasi, dengan

syarat-syarat tertentu.

Page 13: Bab 8 Ijtihat

Ijtihad istishlahi dalam menafsirkan ayat al-qur’an

Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum maslah yang dicari, dengan

mendasarkan masalah yang dicari, dengan mendsarakan masalah yang

akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi.