Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
127
BAB EMPAT
KEHIDUPAN KOMUNITAS PENGUSAHA
INDUSTRI KECIL BISNIS KELUARGA BORDIR
DI KABUPATEN KUDUS
Kudus sebagai Kota Industri
Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah
bagian utara, di lereng gunung Muria, sekitar 50 km dari Kota
Semarang, ibukota Jawa Tengah. Letak wilayah Kabupaten Kudus di
antara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan
dan Kabupaten Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o 36‟ dan 110o 90‟
Bujur Timur dan antara 6o 51‟ dan 7o16‟ Lintang Selatan, jarak terjauh
dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 32 km.
Berada pada ketinggian rata-rata ± 55 meter di atas permukaan air laut.
Secara umum Kabupaten Kudus yang berada di sebelah selatan Gunung
Muria dipengaruhi iklim tropis, dan bertemperatur sedang, berkisar
antara 18,30(C ) - 29,60 (C ). Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif
rendah, yaitu rata-rata di bawah 2.000mm/tahun, dan berhari hujan
rata-rata 103 hari/tahun.
Berdasarkan luas penggunaan lahan, secara administrasi
Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan (Kaliwungu, Kota, Jati,
Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog, dan Dawe) dan 123 desa serta 9
kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tercatat sekitar 42.516
hektare atau sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah.
Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu 8.584 Ha (20,19
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
128
persen), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas
1.047 Ha (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus.
Sumber: Kudus dalam Angka, 2013
Gambar 4.1
Peta Kabupaten Kudus
Jumlah penduduk Kabupaten Kudus Tahun 2012, berdasarkan
Laporan Kudus dalam Angka 2012/2013 tercatat sebesar 791.691 jiwa,
terdiri dari 390.722 laki-laki (49,47 persen) dan 400.169 perempuan
(50,53 persen). Apabila dilihat penyebarannya, maka kecamatan yang
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
129
paling tinggi persentase jumlah penduduknya adalah Kecamatan Jati
yakni sebesar 12,90 persen dari jumlah penduduk yang ada di
Kecamatan Kudus, kemudian berturut-turut Kecamatan Jekulo 12,76
persen dan Kecamatan Dawe 12,28 persen. Dari jumlah itu, tenaga
kerja terampil yang merupakan gambaran sumber daya manusia di
Kudus sebesar 125.401 orang terdiri dari jumlah tenaga kerja
perempuan sebesar 88.610 orang (70,66 persen), sedangkan laki-laki
sebanyak 36.791 orang (29,34 persen) yang tersebar pada 1.178
perusahaan.
Berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten Kudus (Laporan
Kudus dalam Angka 2012/2013) yang memeluk agama Islam sebanyak
772.473 orang, Kristen Protestan sebanyak 12.657 orang, Kristen
Katolik sebanyak 5.159 orang, Hindu sebanyak 24 orang, Budha
sebanyak 1.114 orang dan lain-lain (aliran kepercayaan) sebanyak 464
orang dan memiliki tempat peribadatan yang beragam, yaitu masjid
657 unit, Mushola/Langgar 1.931 unit, Gereja Kristen 22 unit, Gereja
Katholik sebanyak 2 unit, Vihara Budha 11 unit, Klenteng sebanyak 3
unit. Ini menunjukan suasana kerukunan hidup beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat didambakan
masyarakat, juga menunjukan betapa hidupnya pluralisme masyarakat
Kudus.
Wilayah Kudus Kota dibelah oleh sungai Kaligelis yang
mengalir ke selatan dan membagi kota Kudus menjadi dua bagian yaitu
Kudus Kulon yakni terletak di sebelah barat sungai Kaligelis dan Kudus
Wetan yang terletak di sebelah timur sungai. Keberadaan Kaligelis
sekarang bukan sekedar sungai yang menyimpan cerita masa lalu, atau
tempat bergantung sumber ekonomi sebagian warga Kudus sekarang.
Kaligelis menjadi simbol kultur Kudus menjadi Kudus Kulon dan
Kudus Wetan. Di wilayah Kudus Kulon inilah terletak artefak
peninggalan purbakala yakni Menara Kudus yang berdampingan
dengan Masjid Al-Aqsha yang dikenal dengan sebutan Masjid Menara
Kudus dan di belakangnya terdapat Kompleks Makam Sunan Kudus.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
130
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014
Gambar 4.2
Masjid dan Menara Kudus
Sejarah keberadaan Kota Kudus tidak lepas dari sosok wali yang
dikenal dengan Kanjeng Sunan Kudus dan Sunan Muria, namun Sunan
Kudus pengaruhnya lebih menonjol dibanding Sunan Muria dalam
kiprah dakwahnya di Kudus. Nama Kudus menurut cerita masyarakat,
tidak lepas dari jasa Sunan Kudus atau Ja‟far Shodiq, salah seorang
Walisongo yang menjadi senopati di Demak, yang diperintahkan oleh
penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam,
1977). Namun menurut Graaf dan Pigeaud (1985), perpindahan Ja‟far
Shodiq dari Demak ke Kudus diakibatkan oleh perselisihan tentang
awal bulan Ramadhan dengan raja Demak1 dan terjadi persaingan
antara Ja‟far Shodiq dengan Sunan Kalijaga yang berasal dari Cirebon
datang mengabdi di Kerajaan Demak, maka untuk menghindari
persaingan yang tidak baik Ja‟far Shodiq meminta Sultan Demak agar
hijrah ke Kudus. Sebelum kedatangan Ja‟far Shodiq di Kudus terlebih
dahulu telah datang seorang dari Yunan bernama The Ling Sing yang
kemudian dikenal dengan nama Kyai Telingsing.
Bersama-sama dengan Ja‟far Shodiq, Kyai Telingsing
membangun daerah kecil ini menjadi besar dan berkembang. The Ling
Sing2 seorang seniman pemahat berasal Yunan-Cina dan seorang
pedagang yang kemudian menyerahkan kekuasaan Kota Kudus kepada
Ja‟far Shodiq dan The Ling Sing setelah meninggal dimakamkan di
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
131
kampung Sunggingan-Kudus. Pada waktu Ja‟far Shodiq menunaikan
ibadah Haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab telah terjadi wabah
penyakit yang membahayakan masyarakat Arab pada waktu itu.
Kemudian atas bantuan Ja‟far Shodiq wabah penyakit tersebut bisa
reda. Oleh karena itu Ja‟far Shodiq mendapat hadiah dari salah seorang
amir, namun Ja‟far Shodiq menolak hadiah yang diberikan amir
tersebut, ia hanya meminta batu sebagai kenang-kenangan. Batu3
tersebut menurut sang amir berasal dari kota Baitul Makdis atau
Jeruzalem (Al Quds) yang kemudian batu tersebut dipasang di atas
Mihrab Masjid Kudus sebagai peringatan dimana Ja‟far Shodiq sebagai
penguasa Kudus yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus,
kata “Kudus” berasal dari bahasa arab “Al Quds4” yang berari “suci”.
Geertz (1977) dalam bukunya ”Penjaja dan Raja” meng-
ungkapkan bahwa tenaga pendorong dalam perkembangan kota secara
tetap dan pasti bukanlah perdagangan setempat dan bukan pihak
pembikinan barang setempat, melainkan perdagangan jarak jauh,
bahkan akhirnya perdagangan internasional. Perdagangan jarak jauh
itu telah menyatukan berbagai daerah di Jawa menjadi satu jaringan
perdagangan dan juga menghubungkan Pulau Jawa sebagai
keseluruhan dengan jalan lalu lintas yang vital untuk ekonomi
perdagangan yang meliputi seluruh dunia. Menurut Wikantari (1995),
kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat pada awalnya ketika
Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian di antara
masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang tidak terlalu jauh
dari Demak maupun Jepara sebagai bandar perdagangan yang cukup
ramai5 pada saat itu. Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram, daerah
sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras utama
Kerajaan Mataram. Perdagangan palawija maupun perdagangan
lainnya meningkat pesat yang memberikan banyak keuntungan bagi
para pedagang Kudus khususnya di Kudus Kulon.
Menurut Castles (1982), selama masa penjajahan Belanda
kondisi masyarakat Kota Kudus terbagi menjadi beberapa strata, yaitu
pertama, golongan priyayi yang merupakan pegawai negeri yang bekerja untuk Pemerintah Belanda serta para intelektual dan tinggal di
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
132
kota baru seperti guru, dokter dan pejabat pemda dan sejenisnya;
kedua, golongan pedagang dengan berbagai produk industri rumahan atau pabrikan yang mengambil sikap bersebrangan dengan Pemerintah
Belanda; ketiga, golongan wong cilik, yakni buruh, para penganggur dan petani yang tinggal di daerah-daerah pertanian seputar kota.
Menjelang akhir abad 19, kemakmuran masyarakat kembali meningkat
karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen menjadi barang
perdagangan bagi pedagang-pedagang Kudus. Castles (1982)
mengungkapkan, daerah jelajah pedagang-pedagang Kudus juga
semakin luas walaupun masih terbatas di dalam Pulau Jawa.
Sejak tahun 1906 Industri di Kudus terutama industri rokok
berkembang sangat pesat, semula industri rokok merupakan kerajinan
rumah tangga namun kemudian berkembang menjadi industri besar
sejak kehadiran perusahaan-perusahaan rokok yang didirikan oleh
Nitesemito6. Perkembangan ini menarik kalangan masyarakat Cina
mulai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini memicu
pertentangan antar etnis yang puncaknya terjadi pada tahun 1918
dengan pecahnya “geger pecinan”. Setelah peristiwa tersebut mulailah
perkembangan rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran
dan banyak yang kemudian bangkrut dan tutup, industri rokok ini
kemudian banyak dipegang oleh etnis Cina yang mengembangkan
menjadi industri raksasa. Bahkan The Kian Wee (1994) menyimpulkan
bahwa tidak mengherankan jika industri milik pribumi di Indonesia
sampai tahun 1930-an belum banyak berarti7.
Pada masa Sunan Kudus, kehidupan para saudagar berkembang
dengan baik. Hal ini karena spirit keteladanan Sunan Kudus yang
kebetulan dikenal sebagai seorang “Wali Saudagar” sehingga kekayaan berlimpah namun penggunaan keuntungan diutamakan untuk
kepentingan dakwah agama Islam. Sehingga tidak berlebihan bila
masyarakat Kudus disamping sebagai santri yang taat agama atau kyai
yang mengasuh pesantren, tetapi juga memiliki bermacam-macam
usaha seperti industri atau pedagang yang dikelola dengan
perhitungan–perhitungan ekonomi dan selalu didasarkan norma-
norma atau nilai-nilai agama yang dianut8. Jadi kalau dilihat lebih
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
133
mendalam, pola yang dikembangkan Sunan Kudus ini bersumber dari
kearifan pemahamanya tentang prinsip ekonomi Islam yang
menyatakan bahwa Allah SWT adalah pemilik sumber daya dan
pemberi rejeki bagi semua mahkluk. Karena sumber daya yang dimiliki
oleh Allah SWT di bumi sangat berlimpah dan sangat mencukupi
untuk sekedar memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memenuhi
keinginan semua mahluk di atas bumi ini. Oleh karena itu, bila terjadi
di kehidupan dapat diketahui banyak orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga ada orang miskin dan kaya,
dimana orang kaya semakin kaya maupun orang miskin semakin
miskin, sebenarnya bukan karena persoalan supply melainkan karena distribusi yang tidak adil yang disebabkan adanya ketimpangan sosial
yaitu keserakahan (tidak memenuhi kehidupan sesuai kebutuhan).
Menurut Bapak Deny Nur Hakim, Humas YM3SK9 waktu
ditanya peneliti mengenai sukses bisnis itu karena kodrat
mengungkapkan demikian:
”Setiap orang dalam menjalankan bisnis memiliki kesempatan yang sama dan orang harus kerja keras dan menjalankan ibadah sholat atau dekat dengan Tuhan. Jadi orang-orang yang melarat itu terutama karena orang itu malas, bodoh atau berjudi atau bersenang-senang saja. Sebaliknya orang-orang yang kaya karena mereka bekerja keras, pandai dan tidak lupa dengan Tuhannya dan bukan adanya kodrat Illahi, melainkan arena ikhtiar sekuat tenaga serta wajib bersyukur kepada Allah atas nasib baik yang didapatnya”.
Sampai sekarang masyarakat Kudus banyak dikenal sukses
sebagai pedagang antar-kota maupun antar-pulau, dimana mereka
sudah bisa memasarkan barang-barang dagangannya, seperti kain,
konfeksi, batik, bordir berhari-hari bahkan berminggu-minggu ke
kota-kota lain, khususnya kota –kota di Jawa Tengah dan Jawa Timut.
H.Moch Anshori10, seorang pengusaha bordir menceritakan kepada
peneliti sebagai berikut:
”orang-orang Kudus yang melakukan bisnis sampai ke luar kota dalam waktu berhari-hari, bahkan sampai berbulan-
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
134
bulan, akhirnya telah membentuk komunitas perkampungan orang-orang Kudus di luar kota Kudus, seperti di kota Malang Jawa Timur ada daerah yang dikenal dengan daerah Kudusan, dan jalan yang melintas di tempat itu dikenal dengan Jalan Kudusan. Konon daerah itu tempat komunitas orang-orang Kudus yang merantau melakukan aktivitas bisnis dan bertempat tinggal. Demikian pula sebaliknya pasar Kliwon Kudus yang merupakan pusat perdagangan masyarakat Kudus, sekarang ini sebagai tujuan “kulakan” bagi para pedagang daerah lain seperti para pedagang dari kota Semarang, Pekalongan, Jawa Timur bahkan dari Kalimantan”.
Kehandalan jiwa dagang masyarakat Kudus dapat ditemui dari
penelitian Clifford Geertz11 dan Lace Castles12 yang intinya menya-
takan bahwa masyarakat Kudus telah ”terbiasa” melakukan
perdagangan dari satu kota ke kota lainnya di Jawa. Temuan Castles
dalam penelitiannya, umumnya orang Kudus yang merantau ke Jawa
Timur, mereka hidup mengelompok pada suatu wilayah tertentu yang
oleh mereka telah dijadikan pemukiman para pendahulunya dengan
memberikan nama kampung atau jalan “Kudus” dan umumnya
beraktivitas di sektor industri atau perdagangan pakaian dan bordir,
bahkan terdapat beberapa orang Kudus telah bermukim dan memiliki
toko di Mojokuto dengan sebutan Toko Kudus13 karena orang muda
sebagai pendatang baru yang membuka toko adalah keturunan seorang
pedagang terkemuka dari Kabupaten Kudus-Jawa Tengah.
Pada tahun 2013, industri (industri besar, industri sedang,
industri kecil dan industri rumah tangga) bagi Kabupaten Kudus
merupakan penyangga utama dari perekonomian Kabupaten Kudus
dengan kontribusi sebesar 61,44 persen terhadap PDRB Kabupaten
Kudus. Sektor ini dibedakan dalam kelompok industri besar, industri
sedang, industri kecil dan rumah tangga. Menurut BPS (2013), Industri
besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih,
Industri sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 20 s/d 29
orang dan Industri Rumah tangga memiliki tenaga kerja kurang dari 5
orang. Besarnya kontribusi sektor industri menunjukkan bahwa sektor
ini memegang peranan penting dalam menopang perekonomian di
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
135
Kudus, walaupun secara geografis Kabupaten Kudus merupakan
kabupaten dengan wilayah terkecil, namun dari sisi industri memiliki
potensi dan peluang pasar yang dapat diandalkan, lihat Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Nilai dan Pertumbuhan Sektor dalam PDRB Tahun 2011-2014
Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten Kudus Lapangan Usaha 2011
( Rp) 2012 (Rp)
% 2013* ( Rp)
% 2014* * (Rp)*
%
1. Pertanian. 2. Pertam-
bangan & Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik,Gas & Air Bersih
5. Kontruksi 6. Perdagangan
Hotel & Restoran.
7. Pengangkutan & Komunikasi
8. Keuang, Persewaan & Jasa Perus
9. Jasa-jasa
437,630 4.294
7.938.351
52.597
233.681 3.652.622
279.799
300.049
295.030
461,633 4.760
8.168.626
56.398
245.636 3.878.330
298.910
324.439
315.852
5,48 10,85
3,90
7,23
5,12 6,18
6,83
8.13
7.00
477.142 4.824
8.543.023
60.358
249.786 4.229.973
308.787
330.909
324.128
3,30 1,34
4.58
7.02
1,69 6,23
3.30
1,99
2.62
495.681 4.913
8.969.675
64.232
265.798 4.349.097
324.765
345.451
339.011
3,89 1,84
4,99
6,42
6,41 5,56
5,17
4,39 4,59
Total BDRB 13.184.051 3.754.585 4,33 14.418.932 4.83 15.158.623 5,13
Keterangan : * Angka Sementara
** Angka Sangat sementara
Sumber: BPS Kabupaten Kudus Tahun 2013.
Berdasarkan data Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa, perkembangan
ekonomi masih didominasi sektor industri yang mengalami
peningkatan dari tahun 2011 sebesar 3,75%, tahun 2012 menjadi 3,90%
serta diperkirakan tahun 2014 meningkat 4,99%, ini merupakan sektor
berdaya ungkit tertinggi. Perkembangan kedua sektor industri
mendorong pertumbuhan sektor konstruksi, keuangan dan angkutan.
Sektor perdagangan berkembang hampir merata di berbagai wilayah
baik yang modern maupun tradisional. Maka dapat disimpulkan jika
kedua lapangan kerja itu menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat
Kudus. Dinas Perindagkop dan UKM pada tahun 2012 melaporkan ada
11.483 perusahaan industri dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak
244.330 orang, adapun industri yang berkembang di Kabupaten Kudus
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
136
antara lain industri rokok, garmen, kertas, elektronik, furniture,
kerajinan kuningan, bordir, hiasan dinding (handycraft) maupun tekstil serta industri pusat kuliner (soto kudus, lentog tanjung, dan
jenang kudus). Melihat kondisi perkembangan industri di Kabupaten
Kudus sangat menggembirakan karena dapat menyediakan lapangan
kerja yang kompetitif, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, kondisi itu
sangat mengkuatirkan karena industri yang mendominasi ternyata
industri berskala besar yang sangat tergantung dengan situasi dan
kondisi dunia internasional, misalnya bahan baku, daerah pasaran
internasional maupun gejolak ekonomi internasional yang sangat sulit
dikendalikan sehingga sangat rawan terjadi goncangan dan ketidak-
mandiriannya terhadap kekuatan internasional.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.2 di bawah, yaitu
jumlah Perusahaan Besar sejumlah 80 perusahaan dengan menyerap
tenaga kerja sebanyak 94.822 orang, sedangkan Perusahaan Menengah
89 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3.922 orang.
Tabel 4.2
Jumlah Perusahaan Besar, Menengah serta Daya Serap Tenaga Kerja
di Kabupaten Kudus Tahun 2012 No Kecamatan Besar Naker
Besar Menengah Naker
Menengah Total
Perusa-haan
Total Naker
1 Kaliwungu 16 23.619 16 846 32 24.465
2 Kota Kudus
15 18.614 32 1.260 47 19.874
3 Jati 14 14.559 8 274 22 14.824
4 Undaan - - 7 253 7 253
5 Mejobo 5 4.713 3 95 8 4.808
6 Jekulo 8 8.379 - - 8 8.379
7 Bae 10 11.886 7 383 17 12.269
8 Gebog 11 12.940 14 681 25 13.621
9 Dawe 1 121 2 130 3 251
Total 80 94.822 89 3.922 189 98.744
Sumber: Dinas Perindag & UKM, 2014
Berdasarkan data BPS (2012), aktivitas ekonomi/bisnis di Kudus
cukup berkembang, antara lain: jumlah Pasar Lokal sebanyak 5 unit,
Pasar Desa 22 unit dan Pasar Hewan 1 unit serta mall dan pusat
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
137
pertokoan (ruko) yaitu Ruko Agus Salim, Ruko Jember, pasar swalayan
(Ramayana, Hypermart dan Matahari) serta pasar tradisional (Pasar
Kliwon, pusat kulakan para pedagang), Pasar Bitingan, Pasar Ploso
serta pasar tradisional di setiap kecamatan maupun industri pendukung
yaitu hotel berbintang, 24 unit dan hotel melati sebanyak 18 unit, dan
obyek wisata (Menara Kudus, Colo, Tugu Identitas, Kolam Renang
Pemda dan Notosari, Museum Kretek, air terjun Montel serta Hutan
Wisata Kajar). Ini menunjukkan bahwa industrialisasi, perdagangan,
dan aktivitas bisnis lain di Kudus lebih maju bila dibandingkan dengan
daerah lainnya di eks Karisidenan Pati.
Kudus sebagai Kota Santri
Berbicara tentang lahirnya Kota Kudus tidak lepas dari spirit perilaku dari 2 (dua) Sunan yang menyebarkan agama Islam di Jawa
yaitu Sunan Kudus yang hidup dan tinggal di pusat Kota Kudus dan
Sunan Muria yang hidup dan tinggal di Gunung Muria, dan ini dapat
dibuktikan dari peninggalan berupa artefak yang memiliki nilai sejarah
yang tinggi berupa makam. Sunan Kudus dimakamkan di kompleks
Masjid Menara, sedangkan makam Sunan Muria yang berada di lereng
Gunung Muria. Keberadaan 2 (dua) sunan atau wali di antara sembilan
“Walisanga” di Jawa menunjukkan akar dakwah14 dan pendidikan agama Islam sudah mulai dikembangkan sejak lama, sehingga mampu
mengajarkan masyarakat Kudus mengamalkan ajaran Islam (santri).
Strategi dakwah penyebaran agama Islam yang dilakukan
Sunan Kudus mengedepankan kedamaian dan keharmonisan dengan 2
jalur sekaligus yaitu jalur struktural dan jalur budaya. Jalur struktural,
dengan terlibat dalam sistem pemerintahan di Kusunanan Demak
sebagai senopati Kerajaan Demak sekaligus sebagai pendiri Kota Kudus
merupakan pimpinan yang tangguh, tegas dan berwibawa yang
memiliki kharisma dan figur keteladanan. Jalur kebudayaan (cultural), dengan pendekatan budaya Sunan Kudus sangat toleran dan
menghargai perbedaan latar budaya setempat, dengan cara mencip-
takan ruang budaya yang dijiwai nilai-nilai Islam, seperti membangun
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
138
Menara dan Masjid Kudus yang dijiwai semangat multicultural, mengubah cerita-cerita yang bersifat ketaukhidan maupun
perdagangan. Dampaknya perkembangan agama Islam di Kudus maju
dengan pesat.
Berdasarkan laporan Kudus dalam Angka 2012/2013, di
Kabupaten Kudus terdapat 134 unit pondok pesantren, jumlah Kyai
sebanyak 217 orang, Ustadz sebanyak 1.285 orang, dan jumlah santri
sebanyak 12.372 orang, dengan tempat ibadah masjid sebanyak 657
unit, Mushola/Langgar sebanyak 1931 unit, sedangkan pendidikan MI
sebanyak 138 unit. MTs sebanyak 63 unit dan MA sebanyak 29 unit.
Predikat sebagai “waliyyul ilmy” bagi Sunan Kudus merupakan tanda simbolik untuk merepresentasikan citra yang melekat pada diri
yang dibangun Sunan Kudus secara internal, yaitu sosok wali yang
benar-benar memiliki pengetahuan ilmu agama yang tinggi, terutama
dalam Ilmu agama Tauhid, Sunah, Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-
lebih di dalam Ilmu Fiqih yang sangat dikenal. Pada kenyatannya
predikat tersebut hanya berlaku pada daerah kota lama atau Kudus
Kulon, sementara daerah-daerah lain lebih merupakan daerah sekuler
(Bonnef, 1983). Pada mulanya Sunan Kudus tinggal dan berdakwah
dilakukan di sekitar Masjid Menara di Kudus Kulon, dalam
perkembangannya karena murid (santri) Sunan Kudus sangat banyak
serta mobilitas murid-murid cukup tinggi dan menyebar di luar Masjid
Menara Kudus, melakukan kegiatan sosial ekonomi seperti berdagang,
telah mampu menyebarkan ajaran Sunan Kudus keluar dari Kudus
Kulon sehingga Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan
pembangunan agama Islam yang terkenal di Jawa, bahkan sampai
Nusantara.
Masyarakat yang tinggal di sekitar masjid di Kudus Kulon
sering disebut sebagai orang Kudus Kulon, berbeda dengan masyarakat
pada umumnya yang tinggal di kawasan luar masjid dengan sebutan
orang Kauman. Sebutan orang Kudus Kulon mencerminkan suatu
sistem budaya dan pola kelakuan yang khas yang berbeda dengan
masyarakat yang tinggal di kawasan luar masjid. Pada umumnya,
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
139
mereka dikenal dan percaya memiliki hubungan kekerabatan dengan
pendiri masjid ini, yang dimakamkan di samping masjid Menara.
Masyarakat Kudus Kulon dikenal sebagai masyarakat muslim yang
fanatik dan tertutup.
Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan
menjauhi larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya,
masyarakat Kudus Kulon banyak menjalankan ajaran Sunan Kudus.
Ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan
kegiatan berbau mistik dan sirik, di kalangan masyarakat Kudus Kulon
tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran
wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta
aliran Kepercayaan15. Wayang kulit dalam ajaran Sunan Kalijaga yang
berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak ajaran
Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut
Sardjono (1996), wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan
Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini
dalam hal agama, masyarakat Kudus Kulon merasa sebagai penganut
Islam fanatik sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam
abangan.
Namun dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak
berguru kepada Sunan Kalijaga, sehingga cara berdakwahpun sejalan
dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan
lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat, demikian juga
Sunan Kudus sebagai “waliyyul ilmi” dan sebagai “Guru Akbar” tentu akan bijaksana dan terbuka kepada para murid/santrinya untuk
berguru kepada siapapun termasuk kepada Sunan Kalijaga. Bentuk
toleransi Sunan Kudus yang dipelihara para pengikutnya sampai
sekarang antara lain: Sunan Kudus melarang menyembelih hewan sapi
kepada pengikutnya, meskipun hewan sapi halal bagi kaum muslim
karena masyarakat yang waktu itu menganggap hewan sapi sebagai
hewan suci, membangun pancuran atau padasan yang berjumlah
delapan yang sekarang digunakan sebagai tempat berwudhu dan setiap
pancuran dihiasi relief arca sebagai ornamen dan jumlah pancuran ada
8 (delapan) buah yang mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
140
Sanghika Marga atau delapan jalan utama kehidupan manusia; Membangun menara Kudus yang mirip dengan bangunan Candi Jago
atau bangunan Pura di Bali sebagai akulturasi budaya lokal Hindhu-
Budha.
Sikap tolerensi yang diwariskan Sunan Kudus telah
terinternalisasikan pada diri masyarakat Kudus dan dipratikkan dalam
kehidupan sehari-hari di Kudus, secara empiris dapat diketahui dekat
Menara dan Masjid Kudus yang jaraknya sekitar seratus meter terdapat
bangunan Klenteng “Hok Ling Bio”, di Desa Langgar Dalem,
Kecamatan Kota Kudus merupakan bangunan sejarah yang memiliki
nilai sejarah tinggi. Tempat ibadah umat Tri Dharma diyakini sebagai
klenteng tertua dan bukti toleransi umat beragama yang ada di
Kabupaten Kudus sehingga jamaahnya yang mayoritas kaum Tionghoa
tetap bisa menjalankan ritual keyakinannya tanpa merasa terganggu
sedikitpun. Demikian juga bukti toleransi mayarakat Kudus yang
demikian tinggi diungkapkan dalam prasasti yang dipampangkan di
batu marmer hitam di depan Kantor Bupati Kudus sebelum masuk
pendopo, terukir kata-kata indah yang penuh makna keluhuran jiwa
masyarakat Kudus dengan tulisan:”Lamun siro banter aja nglancangi, Lamun sira landep aja natoni, Lamun siro mandi, aja mateni” yang artinya kurang lebih adalah “Apabila anda memiliki kecepatan jangan
mendahului, Apabila anda memiliki ketajaman janganlah untuk
menyakiti, apabila anda memiliki kesaktian, jangan untuk
membunuh”.
Dalam memposisikan Sunan Kudus sebagai tanda, pada
hubungan simbolik akan mampu membuka peluang untuk melakukan
imajinasi simbolik sehingga makna atas Sunan Kudus dengan predikat
“waliyyul ilmy” bisa jadi akan mengalami perkembangan sesuai dinamika masyarakat yang menafikannya16 dan ini akan melahirkan
anggapan salah satu ciri masyarakat Kudus sebagai masyarakat santri.
Salah satu paradigma yang berkembang di masyarakat Kudus, menurut
Bapak Denny Nur Hakim,17 Pengurus Yayasan Masjid Menara dan
Makam Sunan Kudus (YM3SK) menjelaskan kepada peneliti:
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
141
”untuk bisa disebut wong Kudus, harus bercirikan sebagai santri atau muslim yang taat sekaligus pandai berdagang dan menunaikan ibadah haji, bahkan kalau mampu menjadi pemuka agama (kyai atau ustad) serta mendirikan pesantren setelah kembali dari tanah suci sesuatu yang sangat diidam-idamkan. Gelar haji adalah gelar terhormat yang menjadi idaman bagi setiap muslim masyarakat Kudus, apalagi menjadi Kyai Haji. Haji menjadi puncak perwujudan pelaksanaan rukun Islam terakhir, sedangkan Kyai melambangkan tingginya ilmu agama Islam yang dimiliki manusia untuk diamalkan pada sesamanya”.
Sedangkan Islam borjuis yang berkembang di Kudus juga tidak
lepas dari kesadaran dan menerima dari tanda ”santri saudagar” yang
memiliki spirit kapitalisme meskipun kapitalisme yang dibangun
dengan berbasis nilai-nilai religius (agama Islam). Hal ini tidak lepas
dari spirit Sunan Kudus yang diposisikan sebagai ”wali saudagar” yang
dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu berdagang semata-mata
dengan tujuan berdakwah agama Islam, sehingga Sunan Kudus bila
mendapatkan kelimpahan keuntungan dengan berdagang, maka
keuntungannya akan dipergunakan untuk mempercantik dan
memperindah Menara dan Masjid Kudus.
Perubahan perilaku masyarakat Kudus setelah menerima,
meresapi dan melaksanakan ajaran Sunan Kudus, khususnya mereka
yang beragama Islam bukan suatu proses yang cepat tetapi dalam
jangka panjang. Geertz (1977) menjelaskan:
“perubahan-perubahan masyarakat akan berjalan setahap demi setahap dalam jangka waktu yang lama, yang dimulai dari perubahan-perubahan di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat, dan karakteristik fungsi lembaga masyarakat, yang kemudian merembes melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, organisasi-organisasi ekonomi dan politik, untuk akhirnya muncul sebagai perubahan-perubahan sosial budaya yang besar di masyarakat, perubahan-perubahan inilah yang berada di belakang perubahan-perubahan variabel-variabel ekonomi18”
Dominasi pekerjaan masyarakat Kudus pada umumnya di sektor
perdagangan telah menumbuhkan pola pikir dan cara hidup rasional
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
142
dan ekonomis, sehingga kadang-kadang masyarakat Kudus dikenal
dengan sebutan “uthil” atau “pelit”. Mereka selalu memperhitungkan dengan cermat apa yang akan dilakukan, tekun dan bersaing untuk
memperoleh keuntungan yang banyak dari orang lain. Waktu siang
hari digunakan untuk bekerja dan baru beristirahat pada maham hari,
sehingga membawa pengaruh terhadap kegiatan sosial keagamaan yang
diselenggarakan pada malam hari seperti pengajian, sunatan,
perkawinan maupun pertemuan RT/RW.
Rumah sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi
Secara umum, rumah dapat diartikan sebagai tempat tinggal
untuk melakukan kegiatan disamping sebagai tempat berlindung dari
pengaruh kondisi alam (hujan, panas, angin maupun debu) serta
merupakan tempat beristirahat dari kepenatan bekerja sehari-hari.
Menurut Sarwono (dalam Budihardjo, 1998), dalam bukunya ”Kota
yang Berkelanjutan” menyatakan, rumah merupakan sebuah
bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya.
Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses
sosialisasi pada saat seseorang individu diperkenalkan kepada norma
dan adat kebiasaan yang berlaku bagi warganya. Tempat sosialisasi bagi
manusia membutuhkan suatu ruang yang disebut ruang sosial yaitu
ruang yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu arsitektur maupun
kehidupan manusia19. Pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk sosial
yang menghuni rumah tidak hanya sebagai perlindungan dari
pengaruh alam tetapi juga sebagai ruang aktivitas seperti makan,
beribadat, beristirahat bahkan aktivitas ekonomi.
Masyarakat Kudus pada umumnya dan khususnya masyarakat
sekitar Menara Kudus dalam membangun rumah adat baik itu bentuk
dan fungsinya tidak terlepas dari nilai-nilai agama Islam yang
dianutnya, karena kehidupan ibadah merupakan ikatan sosial yang
tercermin dalam berbagai aspek, antara lain menggambarkan dimensi
sosial kehidupan masyarakat dalam menentukan pengaturan ruang-
ruang di dalam rumah.
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
143
Rumah tradisional masyarakat Kudus tidak merupakan
bangunan tunggal tetapi kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi
untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah.
Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama yaitu: Dalem atau rumah induk berbentuk bujur sangkar atau segi empat digunakan
untuk tidur serta kegiatan yang bersifat privat, di dalamnya dibagi dua
bagian yakni jogan serta sentong. Jogan digunakan untuk kegiatan aktif di dalam rumah yang bersifat pribadi, Sentong terdiri dari 3 ruangan yakni sentong kiwo (kiri) dan tengen (kanan) yang digunakan sebagai ruang tidur pemilik rumah sera sentong tengah (krobongan) yang keseharian dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem, karena merupakan ruang yang bisa dipamerkan pada tamu yang
datang, oleh karena itu kelengkapan dan ornamentasi pada jogosatru paling menonjol dibanding dengan ruang-ruang yang lain. Pawon terletak di samping Dalem yang digunakan untuk kegiatan bersama (ruang keluarga) yang paling sering digunakan dalam kehidupan
keseharian serta tempat memasak pada bagian belakang. Bagian tengah
tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka
(plataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur
(pekiwan). Sumur terbuka tanpa atap dibatasi dinding yang membagi
dua sumur digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudhu. Sisir terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los merupakan tempat
kerja atau tempat menyimpan (gudang) atau ruang serba guna. Kadang-
kadang dipakai sebagai dapur umum ketika ada hajatan atau sebagai
kamar tidur tambahan.
Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan
perumahan yang lain, tergantung pada daerah atau pun keadaan
masyarakat setempat. Sedangkan Tjahyono (2000) mengatakan bahwa,
dalam tradisi Jawa rumah merupakan suatu konsep orang Jawa dalam
mengaktualisasikan diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga
mencerminkan konsep budaya berpenghuni.20 Menurut Bourdieu
(dalam Richard Harker dkk., 2004), rumah sebagai ruang sosial
merupakan ruang dalam kelompok-kelompok status yang dicirikan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
144
berbagai gaya hidup yang berbeda. Pertarungan simbolik atas persepsi
dunia sosial dapat mengambil dua bentuk yang berbeda pada sisi
obyektif dan sisi subyektif. Sisi obyektif, orang dapat bertindak melalui
perepresentasian baik yang bersifat individual maupun sosial agar dapat
mengendalikan berbagai pandangan tertentu yang realitas. Jadi dengan
bahasa lain, sikap, kecenderungan persepsi, berperasaan, bertindak,
dan berpikir seseorang merupakan hasil yang diinternalisasikan berkat
kondisi objektif orang tersebut.21 Sedangkan sisi subyektif, orang dapat
bertindak dengan cara menggunakan strategi presentasi diri atau
dengan mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia
sosial22.
Bourdieu menganalisis praktik budaya didasarkan pada
penetrasi timbal balik antara struktur obyektif dan subyektif dalam
suatu dialektika aktif. Inti prosesnya adalah ”internalisasi eksternalitas
dan ekternalisasi internalitas” dan praktik individu atau kelompok
sosial harus dianalisis sebagai hasil interaksi yaitu habitus23 dan ranah24. Dalam kehidupan sehari-hari, bagi para pengusaha bordir di Kudus dan
khususnya di Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal
merupakan pusat kegiatan sehari-hari. Rumah tempat tinggal
pengusaha bordir bukanlah sekedar tempat berlindung atau
beristirahat dari kesibukkan bekerja dan memproduksi sehari-hari
seperti membordir, mendisain rencana bordir dan kegiatan potong-
memotong sesuai ukuran. Karena itu, rumah pengusaha bordir akan
selalu dipenuhi mesin jahit, mesin bodir komputer, barang-barang
dagangan hasil produksi sendiri, bahkan kebutuhan bordir (kain,
benang dll,) atau produksi orang lain. Rumah mereka selalu ramai
keluar masuk dengan aktivitas para pekerja maupun calon pembeli
yang datang dari desa-desa sekitar Kudus maupun dari luar Kudus.
Pusat kegiatan pengusaha bordir dalam kehidupan sehari-hari
berada di rumah, pasar dan masjid. Rumah bagi masyarakat Kudus bukan sekedar sebagai tempat tinggal dan tempat beristirahat tetapi
juga sebagai tempat bekerja yang bernilai komersial, sekaligus
digunakan kegiatan spiritual seperti sholat. Mereka memiliki
semboyan: ”Rumahku adalah tempat kerjaku”, tempat memproduksi
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
145
barang dagangan seperti konfeksi dan bordir. Hampir seluruh waktu
dihabiskan untuk bekerja di rumah kecuali malam hari untuk kegiatan
keagamaan dan sosial. Setelah kegiatan di rumah sebagai tempat usaha,
pasar mempunyai fungsi yang sangat penting, karena di pasar itulah
pengusaha bordir akan memenuhi kebutuhan bahan baku maupun
menjual produksi bordir, dan ini sangat menentukan nasib usaha dan
hidupnya lebih lanjut. Masjid sebagai tempat untuk melaksanakan
ibadah yaitu sholat, mengaji atau kegiatan keagaman yang lain.
Hal itu dituturkan oleh para informan yang menerangkan
kepada peneliti alasannya membuka usaha bordir di rumah, sebagai
berikut:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah25 mengatakan alasan rumah sebagai tempat
usaha bordir dan tempat tinggal yaitu:
“langkung praktis” injih meniko saget momong lare-lare, lan masakaken bapakipun, amargi bapakipun ngasto perangkat kelurahan Padurenan lan kawulo tetep saget usaha bordir” . Artinya: lebih praktis yaitu bisa menjaga anak-anak dan memasak untuk suami karena suami bekerja sebagai perangkat Kelurahan Padurenan dan masih dapat tetap bisa kegiatan bisnis bordir.
Ibu Nurul Hikmah26, mengatakan rumah sebagai tempat usaha
bordir dan tempat tinggal yaitu:
“yah gimana lagi, sebetulnya ingin sekali punya rumah tempat usaha sendiri dan tidak menjadi satu tempat tinggal, namun karena tidak ada modal maka rumah disamping untuk tempat tinggal juga untuk usaha bordir dan juga untuk usaha suami membuka usaha perbaikan alat-alat rumah tangga, seperti kulkas, mesin cuci, kipas angin maupun televisi ”.
Ibu Mirah27, seorang pengusaha bordir berusia sekitar 53 tahun
dengan 3 orang anak yang tempat tinggalnya di depan rumah
Sekretaris Kelurahan Padurenen, Bapak Achsannudin Ismanto RT
05/RW01 melakukan usaha bordir mulai tahun 1980 dan usaha bordir
ini meneruskan usaha orang tua. Ibu Mirah mengungkapkan kepada
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
146
peneliti alasannya menggunakan rumah tempat tinggalnya sebagai
tempat usaha karena:
“menawi usahanipun dateng griyo sanes injih langkung sae, namun betahaken modal langkung katah lan kaping kalihipun amargi Bapak gerah stroke sampun dangu, usaha bordir injih dateng griyo kemawon, saget merawat Bapak kaliyan ngawasi lare-lare tetep saget usaha,usaha bordir meniko sampun tahun 1980 lan usaha meniko warisan tiyang sepuh lan rumiyen bapak wedal tasih sehat usahanipun konveksi, saksampun ipun gerah injih dateng griyo kemawon”. Artinya: Kalau usahanya di rumah lain ya lebih baik namun membutuhkan modal lebih banyak dan yang kedua disebabkan bapak sakit stroke sudah lama, usaha bordir ya di rumah saja, karena dapat merawat bapak dan ngawasi anak-anak dan tetap masih bisa usaha bordir, usaha bordir dimulai tahun 1980 dan usaha ini merupakan warisan orang tua dan dahulu waktu bapak masih sehat usahanya konveksi, namun setelah sakit stroke hanya di rumah saja.
Bapak H.Hasan28 Pengusaha bordir berusia 31 tahun, lulusan
SMA, memiliki 2 (dua) orang anak dan bertempat tinggal di Kelurahan
Padurenan RT 05/RW 01 Gebog Kudus, membuka usaha bordir
dirintisnya sejak tahun 2006 dengan menggunakan mesin manual dan
tahun 2011 menggunakan mesin komputer untuk memproduksi bordir.
Pengelolaan usaha bordir di rumah dan dibantu oleh keluarga sendiri
yaitu isteri. Mengungkapkan alasannya melakukan usaha di rumah
sebagai berikut:
“Kalau tempat usaha jauh dari rumah, ya siapa yang akan menunggu, repot “wira-wiri” nambah ongkos transport beli bensin dan tidak bisa mengawasi anak-anak”.
Bapak.H. Moch Anshori29 Pengusaha bordir berusia berusia 51
tahun, merupakan salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di
Padurenan RT 1 /RW 1 Kecamatan Gebog, seorang pengusaha bordir
yang cukup berhasil dan salah satu penggerak dan pendiri Koperasi
Simpan Pinjam (KSU) Pedurenan Jaya, menyatakan bahwa tempat
usaha jadi satu dengan rumah tinggal dengan alasan:
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
147
”langkung praktis, lan gampil pengawasanipun, menawi tempat usaha wonten griyo sanes kedhah kagungan modal langkung katah lan meniko saget dipun agem ngembangaken usaha usaha ingkang langkung penting lan ingkang utami amargi dusun Padurenen sampun dipun kenal usaha bordir, konsumen sampun dateng kiambak dateng mriki” Artinya: Lebih praktis dan mudah pengawasan, disamping itu kalau di tempat lain memerlukan modal besar dan itu bisa dipakai untuk pengembangan usaha lebih lanjut dan yang lebih penting Desa Padurenan sudah dikenal konsumen usaha bordir, konsumen sudah datang sendiri ke sini.
Ibu Mufarrikhah30 seorang pengusaha bordir berusia 32 tahun,
pendidikan S1 dan beralamat di Kelurahan Padurenan RT 3 RW 6
Kecamatan Gebog, memulai usaha sejak tahun 2005, merintis produksi
bordir dengan alasan bordir memiliki keunikan dan klasik sehingga
akan terus dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, lebih banyak
memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan
lain-lain sesuai pesanan konsumen. Usaha bordir dimulai dari warisan
leluhur ibunya yang juga seorang pengusaha bordir, kemudian usaha
dikembangkan sendiri dengan bantuan suami dan anak-anaknya dan
masyarakat sudah mengenal Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus
sehingga konsumen yang akan datang ke sini. Alasan rumah tinggalnya
menjadi tempat usaha diungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
”Sebetulnya menginginkan punya bengkel dan showroom
usaha bordir terpisah dengan rumah tempat tinggal, karena
lebih bersih, kehidupan keluarga tidak terganggu dan lebih
berkonsentrasi dalam berusaha, namun karena anak-anak
masih kecil-kecil perlu pengawasan dan modal belum
terkumpul untuk membuka bengkel tersendiri”.
Sedangkan Ibu Islahiyah31, mengungkapkan kepada peneliti
sebagai berikut:
“Saya memiliki 2 (dua) tempat usaha yaitu di Desa Padurenan-Kecamatan Gebog dan di Desa Krandon, Kecamatan kota Kudus. Alasan memiliki 2 tempat usaha adalah “di sini (desa Krandon) tempat tinggal asli suaminya dan dekat dengan Kota Kudus dimana anak-anaknya sekolah
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
148
dan mendekati konsumen, kalau di Desa Padurenan Kecamatan Gebog tempat asli saya, tetap saya pakai untuk usaha, namun keseharian kegiatan usaha bordir Ibu Islahiyah ada di Desa Krandon. Usahanya itu dilakukan sepenuhnya di rumah, baik untuk produksi dan showroom produk bordir”.
Alasannya melakukan usaha di rumah adalah:
“Rumah di Desa Krandon ini cukup besar disamping mudah di cari konsumen/pelanggan, karyawan bordir rata-rata tinggal di Desa Krandon mudah pengawasan dalam proses membordir oleh para karyawan, karyawan masih bisa „nyambi‟ menjaga dan merawat anak-anak, tidak menge-luarkan ongkos dan pemasarannya dengan “getuk tular” dan sering ikut pameran dan bazar di berbagai kota (Semarang, Jepara, Salatiga, Kudus maupun Demak) yang dikoordinir oleh KSU Padurenan Jaya yang bekerja sama dengan Bank Jateng atau Bank Indonesia, karena saya sebagai anggota aktif KSU Padurenanan Jaya”.
Pada umumnya pengusaha bordir membuka usaha bordir di
rumah disamping sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat bekerja
dan berproduksi antara lain: 1) Memilih rumah sebagai tempat usaha
tidak mengeluarkan banyak biaya sewa, dan kontrak atau menyediakan
dana cukup besar kalau membuat/membangun tempat usaha terpisah
dengan rumah tinggal, 2) Kalau rumah juga sebagai tempat usaha
mengurangi wira-wiri tidak jauh dan masih bisa mengerjakan kegiatan domestik di rumah seperti memasak, merawat anak, memantau
kegiatan anak-anak, 3). Desa Padurenan Kecamatan Gebog Kudus
sudah dikenal sebagai pusat Desa Produktif Bordir dan Konfeksi
sehingga menjadi tujuan para calon pembeli dan pelanggan,
menurutnya bagai ”mutiara” pasti akan dicari, 4) Ada keinginan tempat
bengkel bordir atau showroom hasil bordir terpisah dengan kegiatan keluarga di rumah supaya lebih konsentrasi, suasana lebih tertib dan
dapat tertata rapi.
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
149
Profil Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga
Bordir di Kudus
Kehidupan masyarakat Kudus mempunyai karakteristik
perilaku yang berbeda bila dibandingkan dengan perilaku daerah lain
(Jepara, Demak maupun Semarang), dimana perilaku hemat sangat
menonjol, hal ini disebabkan masyarakat Kudus menempatkan masalah
ekonomi atau kekayaan yang dimiliki mempunyai “arti” yang sangat
tinggi. Perilaku ulet dalam berusaha, rajin dan berlaku hemat
merupakan manifestasi dari tata nilai yang hidup di kalangan
masyarakat Kudus. Segala macam tindakan ekonomi dalam sistem nilai
seperti ini akan dipertimbangkan dengan prinsip-prinsip ekonomi.
Hanya dalam keadaan tertentu dan dengan alasan (agama), mereka
baru melakukan suatu tindakan ekonomi untuk kepentingan sosial
misalnya sedekah, zakat, pembangunan Masjid.
Di bawah ini, ungkapan beberapa informan pengusaha bordir
yang diwawancarai peneliti sebagai berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah32, pengusaha bordir “Fadillah Embroider” berusia 50 tahun, memiliki 3 orang anak (2 orang perempuan dan 1
orang laki-laki), beragama Islam dengan suami bernama Bapak
H.Maskan usia 54 tahun yang bekerja sebagai perangkat Kelurahan
Padurenan yang tinggal di Jl.K.Hasyim Padurenan RT 01/RW 01-
Gebog yang mulai usaha sejak tahun 1980 dengan modal awal
pemberian orang tua. Dalam menjalankan usahanya Ibu Hj Sri
Murni‟ah dibantu suami dan anak pertama dan kedua. Memulai
usahanya dengan belajar dari orang tuanya yang juga seorang
pengusaha bordir dan konfeksi dengan menggunakan mesin bordir
manual dan kemudian karena permintaan konsumen sangat banyak
dan produksi mulai menggunakan mesin Komputer. Produksinya
penuh kreativitas dan inovasi sesuai dengan keinginan konsumen
tetapi tetap cengkok bordir Kudus kelihatan, berupa kain motif bordir,
jilbab, baju koko, selendang, baju wanita maupun kebaya yang
diproduksi berdasarkan pesanan maupun untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Namun meskipun saya sibuk mengurusi usaha bordir dan urusan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
150
domestik tetapi tetap melaksanakan ibadah. Pada pagi hari, mulai jam
4.30 sudah bangun dan melaksanakan sholat subuh sebagai umat
Muslim yang taat. Kemudian mempersiapan sarapan pagi untuk suami
dan anak-anak yang mau berangkat sekolah, sedangkan untuk bersih-
bersih kamar dan halaman rumah, mencuci akan dikerjakan sambil
mengerjakan yang lain setelah jam 09.00 WIB karena tidak memiliki
pembantu rumah tangga. Mulai jam 7.00 WIB Ibu Hj.Sri Murni‟ah
sudah menerima para pengrajin yang menyerahkan hasil pekerjaan
bordir yang dikerjakan kemarin dan memberikan pekerjaan pesanan
bordir baru untuk dikerjakan di rumah para pekerja atau para pekerja
langsung ke bengkel bordir di belakang rumah. Ada yang membawa
pulang bahan baku untuk dikerjakan di rumah dan menjadi bahan jadi
Ibu Nurul Hikmah33, seorang pengusaha bordir berusia 36
tahun memulai usaha sejak tahun 2008 yang dirintis sendiri, belajar
dari orang tua. Beralamat di Kelurahan Padurenan RT 4 RW 2,
suaminya juga membuka usaha reparasi kulkas, mesin cuci dan pompa
air juga melakukan usaha di rumah, sehingga depan rumah banyak
barang-barang rumah tangga elektronik yang sedang dan akan diservis
mengatakan: memilih usaha di rumah meskipun kondisi rumah jadi
tidak bisa rapi karena tidak punya modal untuk membuka toko (tempat
usaha) terpisah dengan rumah tinggal, meskipun sebenarnya punya
keinginan memiliki tempat usaha terpisah dengan tempat tinggal, dan
dengan rumah tinggal sebagai tempat usaha bisa “nyambi” pekerjaan
rumah dan merawat anak di rumah. Keluarga Ibu Nurul Hikmah mulai
aktivitas kegiatan setiap hari, dimulai pagi hari jam 4.30 WIB untuk
melaksanakan sholat subuh. Setelah itu mengerjakan pesanan bordir
sebelum para pengrajin sebagai karyawan datang. Jumlah karyawan
sebanyak 5 orang yang berasal dari tetangga sebanyak 3 orang dan
kampung lain sebanyak 2 orang, dan kalau pesanan banyak dan segera
selesai misalnya membuat souvenir pernikahan bisa menggunakan
tenaga kerja lebih dari 10 orang dan semuanya dibayar dengan sistem
borongan. Produksi bordir yang dikelola Ibu Nurul Hikmah
bermacam-macam variasi berupa souvenir, jilbab, kebaya dan baju
koko taqwa masih menggunakan mesin bordir manual maupun mesin
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
151
jahit dengan menggunakan tenaga dinamo listrik. Meskipun setiap hari
sibuk mengurusi usahanya, tidak pernah meninggalkan sholat,
pengajian, zakat atau sedekah.
Ibu Islahiyah34, seorang pengusaha bordir yang bertempat
tinggal di Padurenan RT 1 RW 1 Kecamatan Gebog dan juga memiliki
tempat usaha bordir di Krandon RT 05/RW 1 Kota Kudus. Ibu
Islahiyah mulai usaha sejak tahun 1980 dan merupakan pengusaha
bordir yang mulai belajar usaha bordir dari orang tuanya, kemudian
mengembangkan usaha bordir sendiri dengan nama “La Risma” yaitu
mengerjakan bordir untuk memenuhi pesanan dari para pelanggan
berupa kain bordir, bordir kebaya, jilbab, baju, mukenah, slayer, gamis
dan akesoris dan menyediakan stok hasil produksi bordir untuk
konsumen. Dalam melakukan usaha Ibu Islahiyah dibantu oleh suami
yang bekerja sebagai pengusaha membuat tas, sandal dan sepatu yang
kadang-kadang asesorinya dikombinasikan dengan bordir.
Di dalam memproduksi bordir mengunakan mesin yuki untuk membuat bordir yang rumit-rumit, halus dengan kualitas yang baik
seperti bordir Icik, dan mesin komputer untuk membuat bordir yang cepat jadi. Tenaga kerja sebanyak 9 orang yang terdiri dari tenaga
membordir 7 orang yang mengerjakan di rumahnya masing-masing
dan 2 orang mengerjakan di rumah pengusaha atau bengkel dan bila
pesanan banyak maka tenaga kerja bisa mencapai 20 orang, yang
dibayar dengan sistem borongan dan harian. Tenaga kerja berasal dari
tetangga di sekitar rumah atau tetangga kampung/desa lain, tenaga
kerja terdiri dari tenaga aktif, yang bekerja dari jam 07.00 s/d jam 16.00
bekerja di rumah pengusaha rata-rata tenaga kerja sambilan, yang
mengerjakan “batil” yaitu membersihkan benang-benang bordir yang
tidak terpakai atau melubangi bordir dengan alat listrik solder yang
membutuhkan tenaga kerja yang sabar, teliti, penuh konsentrasi sebab
kalau tidak begitu bisa rusak.
Ibu Mufarrikhah35, pengusaha bordir berusia 32 tahun,
pendidikan S1 dan beralamat di Kelurahan Padurenan RT 3 RW 6
Kecamatan Gebog, dan mulai usaha sejak tahun 2005, mengatakan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
152
mulai merintis produksi bordir dengan alasan, bordir memiliki
keunikan dan klasik sehingga akan terus dapat diterima konsumen.
Oleh karena itu, lebih banyak memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan lain-lain sesuai pesanan konsumen.
Usaha bordir dimulai dari warisan leluhur ibunya yang juga seorang
pengusaha bordir, kemudian usaha dikembangkan sendiri dengan
bantuan suami dan anak-anaknya, dan masyarakat sudah mengenal
Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus sehingga konsumen yang
akan datang ke sini.
Pada umumnya, pengusaha bordir memiliki hubungan sosial
dengan karyawan yang lebih longgar dari hubungan formal majikan-
buruh, kekeluargaan dan harmonis, serta pengusaha rata-rata
memberikan banyak kebebasan kepada karyawannya untuk bekerja
sesuai dengan caranya masing-masing, asal pekerjaannya selesai sesuai
dengan yang diharapkan para majikan, dan rata-rata karyawan sudah
bekerja lebih dari 2 tahun.
Dr.Abdul Jalil.M.Ei.36, staf pengajar STAIN Kudus dan wakil
sekretaris Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah (YAPIQ) Menara
Kudus, mengungkapkan kepada peneliti bahwa:
“Karakteristik hemat dan ulet masyarakat Kudus diyakini berkaitan dengan pengaruh spirit dari Sunan Kudus. Dalam tradisi tersebut digambarkan bahwa selain sebagai seorang penyebar agama Islam yang faqih. Sunan Kudus digambarkan sebagai seorang pedagang yang ulet. Kesuksesan ini, kata Jalil, salah satu faktor pentingnya adalah soal spiritualitas. Spiritualitas seseorang, yang berbasis pada keimanan, dapat diwujudkan dengan sepuluh karakter untuk mengem-bangkan usaha. Sepuluh karakter ini adalah amanah, orientasi jangka panjang, kontrol diri, komparatif, sinergis, emphaty, kreatif, taktis, mandiri, dan belajar dari kegagalan. “Sepuluh karakter ini ditemukan dalam profil pengusaha Kudus yang membuat usahanya terus berkembang dan sukses”
Tradisi lokal yang diwariskan dari Sunan Kudus masih tetap
hidup di kalangan masyarakat, dan figur Sunan Kudus yang patuh
dalam beragama dan ulet, rajin dalam berdagang. Keuletan dan
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
153
rajinnya masyarakat Kudus dalam bidang ekonomi menurut Benjamin
White (1976), disebut sebagai occupational multiplicit37, perilaku tersebut merupakan perilaku dalam bidang ekonomi dari masyarakat
Kudus, sehingga hal yang wajar bila masyarakat Kudus menjadi
masyarakat santri muslim yang taat beragama sekaligus sebagai
pengusaha yang ulung baik kaum laki-laki maupun kaum
perempuannya.
Dalam memilih pekerjaan masyarakat Kudus lebih dominan
memilih pekerjaan di sektor perdagangan dan industri, ini
menumbuhkan cara hidup rasional dan ekonomis dalam masyarakat
Kudus. Mereka selalu memperhitungkan dengan teliti dan cermat
setiap apa yang dilakukan, tekun dan berusaha memperoleh
keuntungan yang lebih banyak daripada dengan orang lain. Setiap
siang hari dilakukan untuk bekerja dan malam hari baru beristirakat
atau digunakan kegiatan sosial keagamaan seperti hajat sunatan,
perkawinan, syukuran dan pengajian maupun pertemuan RT/RW
diselenggarakan malam hari. Pada umumnya keuntungan yang
diperoleh tidak khusus digunakan untuk investasi usaha lebih lanjut
tetapi digunakan untuk kegiatan lain seperti naik haji, sedekah, zakat,
disimpan dalam bentuk membeli emas, memperbaiki rumah, maupun
untuk kegiatan sosial keagamaan lain.
Produk Bordir Kudus
Usaha bordir di Kudus yang dikelola para pengusaha bordir
rata-rata menggunakan rumah sebagai pusat kegiatan usaha bordir
serta dikelola oleh keluarga, sehingga peneliti menyebutnya dengan
Industri Kecil Bisnis Keluarga (IKBK). Dimana suami atau isteri sebagai
pemiliknya dan anggota keluarga yang lain seperti saudara kandung,
anak, menantu dan saudara sekampung saling bekerja sama membantu
dan mengelola proses produksi bordir, pembelian bahan baku, pekerja
membordir sampai pemasarannya.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
154
Bordir sebagai produk sosial-kultural menjadi simbol dan
memberi makna, serta mendiskripsikan kehidupan manusia dari waktu
ke waktu. Produk bordir memiliki nilai-nilai filosofi, simbol dan
makna dari bentuk disain, kombinasi warna benang dan warna kain,
proses pembuatannya, perannya dalam kehidupan sosial, dan sebagai
simbol status bagi pemakainya dan cara penggunaannya seperti busana.
Menurut sejarah, sejak jaman dahulu hiasan bordir memiliki
proses perjalanan panjang dan seni hiasan bordir atau sulam dapat
ditemukan di berbagai daerah di seluruh dunia, namun tiap-tiap daerah
memiliki ciri khas tersendiri. Pada waktu pertama muncul barang
bordir merupakan suatu hiasan barang mewah karena hanya dimiliki
oleh orang-orang tertentu (orang-orang kaya atau raja-raja). Hal ini
terjadi pada tahun 330 Sebelum Masehi sampai abad ke-15 di
Byzantium telah ditemukan hiasan bordir yang dipadukan dengan
ornamen dari emas. Kemudian pada zaman Mesir kuno hiasan bordir
sudah ada, ini dibuktikan pada makam raja-raja telah ditemukan
lukisan yang berindikasi mengenai keberadaan bordir yang
digambarkan dalam hiasan bordir pada pakaian raja-raja, pelapis
tempat duduk, gantungan baju bahkan tenda. Demikian pula pada
bangsa Yunani kuno sekitar abad ke 7 dan ke 6 Sebelum Masehi sudah
mengenal hiasan bordir yang dibuktikan pada lukisan yang terdapat di
vas bunga.
Kemudian hiasan bordir berkembang di Asia khususnya di
China pada masa Dinasti Tang sekitar tahun 618-907 Sesudah Masehi
dan hiasan bordir mencapai puncaknya pada saat Dinasti Cing yang
bertahta pada tahun 1644 – 1912 dimana jubah kerajaan yang terbuat
dari sutera diramaikan oleh hiasan bordir. Perkembangan di Benua
Asia, bordir juga berkembang di India dengan motif hiasan bordir tidak
jauh dari berbagai bentuk aneka tumbuhan dan bunga-bunga maupun
pepohanan yang sedang berbunga serta barang bordir sudah
diperdagangkan sampai masuk ke Eropa (Inggris dan Belanda) pada
abad ke-17 dan abad ke-18. Pada abad ke -16 bordir berkembang di
Turki telah menciptakan bordir yang memadukan emas dengan sutera
berwarna, sampai hiasan bunga tulip. Perkembangan seni bordir juga
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
155
tersebar di seluruh wilayah Indonesia seperti di Tasikmalaya, Padang,
Palembang, Jawa Timur, Madura, Bali dan Jawa Tengah termasuk
Kudus.
Dari uraian tersebut di atas, menimbulkan pertanyaan kapan
bordir mulai dikenal di Kudus. Guna mengetahui perkembangan
hiasan bordir di Kudus tidak lepas dari era perdagangan yang
dikembangkan masa Sunan Kudus, seperti telah diungkapkan pada
bab-bab sebelumnya, karakter Sunan Kudus disamping dikenal
sebagai “wali saudagar”. Posisi Sunan Kudus sebagai ”wali saudagar” menandai bahwa Sunan Kudus memiliki kepekaan keahlian berdagang
serta memiliki etos kerja yang tinggi, ini dibuktikan dari kekayaan
melimpah namun dipergunakan untuk kepentingan jalan dakwah,
dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen dan ragam hias yang
terpasang di menara Kudus berupa piring dan mangkok keramik yang
berasal dari berbagai negara (Tiongkok, Vietnam, India, Arab, maupun
Eropa) disamping itu tentunya yang diperdagangkan bermacam-macam
barang, baik hasil bumi pertanian maupun kain sutera dengan berbagai
motif antara lain bordir. Kekayaan berupa barang-barang keramik dari
berbagai negara termasuk dari Tiongkok tersebut dipasang dan
ditempelkan pada bagian tubuh menara Kudus juga sebagai petanda
bukti persahabatan antara Sunan Kudus dengan mubalig Tiongkok
bernama The Liang Sing yang berasal dari Sun Ging An38, seorang
penyebar agama Islam yang mengajar seni ukir dan lukis pada
penduduk sekitarnya.
Pada dasarnya bordir merupakan seni sulam-menyulam yang
identik dengan seni lukis yang dituangkan dalam media serat, benang,
dan kain. Bordir atau sering dikenal dengan sulaman merupakan
bentuk hiasan yang dibuat di atas kain atau bahan-bahan lain dengan
menggunakan jarum jahit dan benang. Istilah bordir lebih dikenal dari
pada sulam, sehingga orang mendefinisikan bordir sebagai salah satu
kerajinan ragam hias (aksesoris berbagai busana) yang menitikberatkan
pada keindahan dan komposisi warna benang pada media berbagai kain
dengan teknik tusukan.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
156
Ada 4 (empat) jenis teknik bordir yaitu (1) Bordir tangan yaitu
bordir yang proses pembuatannya dikerjakan dengan tangan. Pada
bordir tangan menggunakan jenis tusuk yang dipakai sangat bervariasi
yaitu tusuk balik/tusuk tilam, tusuk batang/tangkai, tusuk rumani
(untuk membuat daun dan bunga-bunga), tusuk veston (buat bunga, lubang kancing, memperkuat dan menghias tepi kain), tusuk bunga,
tusuk rantai (membuat garis pembatas, dahan dan ranting), tusuk datar
(membuat bentuk bunga, daun, dan mengisi bidang), tusuk flane (membuat hiasan tepi dan garis pembatas), tusuk daun (membuat
berbagai bentuk daun), tusuk bullion (membuat bunga kecil dan hiasan bulir-buliran), tusuk lurus (membuat bunga dan rumput), tusuk satin
(membuat helai daun dan bentuk bebas), dan tusuk jelujur (membuat
garis dan menjelujur sambungan dan lipatan kain. (2) Bordir mesin
manual, yaitu bordir yang proses pembuatannya dikerjakan dengan
mesin jahit biasa (manual), yang jika akan dipakai untuk membordir
maka mesin ini harus dilepas “sepatu” dan “gigi” mesinnya.
Jenis tusuk bordir mesin pada dasarnya ada 2 (dua) yaitu
Pertama, tusuk lurus, biasanya digunakan untuk membuat kerangka motif sebelum dibordir, untuk membuat isian pada motif, untuk
mengisi bidang yang lebar dan untuk membuat motif yang berupa garis
lurus maupun melengkung. Kedua, tusuk zig-zag yang digunakan untuk berbagai bentuk motif, baik berupa garis, bentuk geometris,
bentuk flora dan fauna, dan sebagainya. (3) Bordir mesin listrik/dinamo
listrik, yaitu mesin yang proses kerjanya digerakkan dengan
motor/dinamo dan jenis tusuk bordir mesin jahit listrik/dinamo
prinsipnya sama dengan teknik mesin jahit manual, dan (4) Bordir
mesin komputer mulai yang berkepala satu, tiga, enam, sepuluh sampai
berkepala dua belas dan bahkan bisa lebih banyak lagi, proses kerjanya
diatur sesuai program untuk mendapatkan bentuk-bentuk motif yang
diinginkan, sehingga proses membordir tidak membutuhkan
kelincahan tangan manusia sebagaimana pada bordir manual. File
gambar yang dapat dibaca oleh mesin bordir komputer hanyalah file
gambar yang memiliki alur urutan gerakan benang dalam proses
membordir. File gambar itu harus dibuat menggunakan software
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
157
khusus untuk mesin bordir komputer, dan yang paling umum dipakai
adalah Software Wilcom, mesin bordir komputer banyak dipakai oleh para pengusaha di Kudus yang berasal dari China, Korea Selatan, dan
Jepang. Gambar 4.3, berbagai jenis mesin border:
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014
Gambar 4.3
Mesin Bordir Listrik Merk Juki dan Mesin Bordir Komputer
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014.
Gambar 4.4
Mesin Jahit Bordir Manual
Sedangkan bahan bordir, selain benang dari wol, linen, dan
sutra, bordir modern menggunakan benang sulam dari katun atau
rayon. Akibat berbagai kemajuan jaman dan perkembangan mode,
hiasan untuk sulaman atau bordir dapat menggunakan bahan-bahan
seperti potongan logam, pita, mutiara, manik-manik, bulu burung, dan
payet. Demikian pula, aplikasi bordir berkembang sesuai dengan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
158
perkembangan dalam dunia mode, serta didukung oleh sarana dan
prasarana yang lebih baik dengan daya kreatifitas yang tinggi tidak
hanya untuk hiasan busana, tetapi juga untuk perlengkapan seperti
taplak, sarung bantal, seprei, saputangan, dasi, tutup TV, tutup almari
es, alas perangkat minum, maupun diterapkan dalam hiasan interior
dan eksterior rumah.
Pada umumnya para informan yang diwawancarai peneliti
mengungkapkan, dalam memproduksi bordir, ternyata bordir mesin
manual atau bordir “Icik” yang memiliki keunikan, khas Kudus yang
patut dilestarikan, yaitu membordir dengan menggunakan mesin
manual tenaga manusia yang mengayuh dan menimbulkan bunyi “icik-
icik” sehingga membutuhkan proses yang lama, butuh kejelian dan
keterampilan dalam membuatnya, namun sekarang ini banyak generasi
muda yang enggan untuk memproduksi bordir icik karena generasi
muda tidak banyak yang memiliki jiwa telaten dan sabar.
Seperti kata informan Ibu Sa‟adah39 bahwa membutuhkan
waktu setahun untuk belajar bordir icik dengan hasil bordir yang halus. Menurut Ibu Sa‟adah dalam pembuatan satu baju bordir icik, berdasarkan pengalaman memerlukan waktu satu minggu sampai 10
hari, tergantung jenis motif dan hasilnya lebih baik dengan harga yang
cukup mahal. Harga bordir sendiri sebenarnya ditentukan oleh
beberapa hal yaitu: (1) jumlah bahan yang akan dibordir, (2) lama
waktu yang diberikan untuk membuat, (3) jumlah stick pada kain, (4) tingkat kerumitan dari disain gambar maupun tulisan, dan (5) jumlah
warna yang digunakan.
Selanjutnya informan Ibu Sa‟adah pemilik usaha bordir Dalia
mengungkapkan pada peneliti bahwa:
“awal mulanya, bordir icik hanya terdapat di sekitar Menara Kudus. Produksinya dilakukan oleh para gadis pingitan di daerah sekitar Menara kudus. Kemudian masyarakat sekitar setiap pagi sampai sore hari ikut serta bekerja membuat bordir icik bersama para gadis yang telah dipingit tersebut, akhirnya masyarakat sekitar tersebut menjadi pintar dan ahli membuat bordir icik dan setiap pulang kerja pada malam
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
159
harinya mencoba mnerima pesanan bordir icik sebagai tambahan penghasilan, kemudian bordir icik mulai menyebar ke pelosok desa-desa di Kecamatan Kota Kudus, Gebog, Kaliwungu, dan Bae”.
Sedangkan informan yang lain yaitu Bapak H.Moch Anshori40
mengungkapkan:
“Pada awalnya kejayaan bordir termasuk bordir icik di Desa Janggalan, Langgar Dalam, Kajeksan dan Purwasari, Kecamatan Kota Kudus dan dahulunya warga Padurenan Kecamatan Gebog dan desa-desa sekitar yang lain adalah pekerja bordir di desa-desa tersebut, sambil belajar dan bekerja bordir di desa-desa Kecamatan kota tersebut, dan kemudian setelah pintar tentang teknik bordir mengem-bangkan dan membuka usaha bordir sendiri di Desa Padurenan tempat tinggal mereka, karena keuletan, telaten dan sabar lama-kelamaan usaha maju dan berkembang, sementara di desa Janggalan, Kajeksan, Langgar Dalam dan Purwasari sebagai central bordir di Kecamatan Kota justru mengalami kemunduran dan bahkan banyak yang usaha bordir bangkrut (gulung tikar) sebab banyak ditinggalkan karyawannya yang mayoritas dari luar Kecamatan Kota, sedangkan bagi Desa Padurenan Kecamatan Gebog usaha bordir berkembang sampai sekarang”.
Khusus bordir Kudus memiliki keunikan yang berbeda dengan
daerah lain (Tasikmalaya, Padang, Palembang, maupun Pekalongan)
dan merupakan karya asli nenek moyang Kudus yang mempunyai nilai
seni yang sesuai dengan nilai Gus-ji-gang dan memiliki nilai komersial yang tinggi yaitu “bordir icik” yang menurut informan Ibu Islahiyah41
maupun informan lain menyampaikan kepada peneliti bahwa ciri-ciri
bordir icik yang proses pengerjaanya menggunakan mesin jahit biasa,
dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dan hasilnya mempunyai
nilai seni yang tinggi dan eksklusif.
Sehingga dapat disimpulkan antara lain bahwa bordir icik mempunyai ciri: Pertama, warna lembut dan motif kecil-kecil dengan teknik pembuatan butuh kejelian, keterampilan, rumit, teliti, sabar dan
membutuhkan proses lama. Kedua, disain dengan cengkok “kluweran” yang halus dengan bunga melati (lambang keindahan, ketulusan dan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
160
kerendahan hati) kecil-kecil atau titik-titik yang mengelilingi bentuk
bordir yang besar, sebagai “tanda” atau simbol nilai “gus” dan “ji” yang
menggambarkan simbol hubungan manusia yang baik (harmoni,
rukun, tulus dan rendah hati) antara mikro kosmos dan makro kosmos.
Ketiga, bordirnya halus, kecil-kecil, tebal dan kuat, sehingga bila dicuci tidak rusak, bahkan saat kainnya sudah rusak tetapi hiasan bordir
masih tetap baik. Hal ini dapat dilihat dari contoh berbagai jenis bordir
icik pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5
Berbagai Corak Bordir “Icik” Kudus.
Secara garis besar, tahapan proses produksi dan membuat bordir
dengan menggunakan mesin jahit manual dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Persiapkan desain gambar atau tulisan yang diinginkan lalu
dicetak 2 kali, yang satu berwarna agar si tukang bordir dapat
lebih mengerti desain yang diharapkan dan yang satu lagi hitam
putih untuk menjiplakan ke bahan yang akan dibordir.
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
161
2. Mempersiapkan mesin jahit yang akan dipakai untuk membordir
maka mesin ini harus dilepas “sepatu” dan “gigi” mesinnya dan
diganti dengan plat bordir.
3. Kemudian pengrajin bordir akan membuat bordir sesuai dengan
disain yang telah dibuat.
4. Proses selanjutnya melubangi dan membersihkan benang-benang
yang tidak rapi dengan solder atau gunting kecil.
Sedangkan bordir dengan menggunakan mesin bordir komputer
dengan software Wilcom ada 7 (tujuh) langkah yaitu:
1. Aktifkan software Wilson yang telah ter-install pada komputer dan panggil file gambar penuntun yang akan digunakan dan kemudian menentukan batasan area bordir dengan mengikuti
gambar yang diinginkan, maka hasil bordir nanti akan sama
dengan gambar yang diinginkan.
2. Pilih gambar yang diinginkan tersebut karena banyak bagian-
bagian yang sama sehingga area bordir tertentu sudah dibuat dapat
diduplikasi ke tempat lain yang gambarnya sama dengan mengatur
putaran dan kemiringannya sesuai gambar.
3. Menentukan batasan area bordir tetapi pada lokasi beda dengan
bentuk yang berbeda pula. Setelah ditentukan batasan-batasan area
bordirnya, karena kebetulan di lokasi juga ada bentuk-bentuk yang
sama, maka tinggal diduplikasikan saja.
4. Menduplikasikan area bordir yang telah dibuat pada langkah tiga,
pada lokasi tertentu yang memiliki bentuk sama. Dalam duplikasi
dapat dilakukan putaran dan pemiringan gambar sesuai dengan
gambar yang sedang dibuat.
5. Tes uji coba untuk menggambarkan bagaimana alur perjalanan
benang dalam proses bordir yang dilakukan secara otomatis oleh
mesin komputer. Bila benang meloncat ada resiko putus benang,
sehingga mesin harus dimatikan sejenak untuk menyambung
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
162
benang yang putus tersebut dan bila selamat tidak terjadi putus
benang, hasil bordiran akan terdapat loncatan benang yang harus
dirapikan (dipotong manual).
6. Mengatur alur perjalanan benang dalam proses bordir otomatis
yang akan dilakukan oleh mesin bordir komputer, sehingga dapat
ditekan sampai seminimal mungkin terjadinya langkah loncatan
benang jarak jauh yang dapat beresiko putus benang.
7. Melubangi hasil bordir dilakukan dengan menggunakan solder
atau gunting kecil. Finishing-Setelah proses pelubangan selesai,
pola dilepaskan dari hasil bordir dan hasil bordir dirapikan dengan
menggunting sisa-sisa benang.
Hasil berbagai produksi bordir dapat dilihat pada Gambar 4.6 di
bawah.
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014
Gambar 4.6
Berbagai Corak Hasil Produksi Border
Pekerjaan membordir, umumnya para pekerja bordir
menggunakan mesin jahit manual dan mesin jahit dinamo merek juki.
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
163
Mesin jahit menual dengan digerakan dengan tenaga kaki manusia
untuk menjahit bordir icik (halus, kecil-kecil dan tebal), sedangkan mesin jahit merk Juki digunakan untuk bordir sering disebut bordir Juki. Dalam survei yang dilakukan, hanya ditemukan satu pengusaha yang telah memiliki 2 unit mesin Komputer untuk membordir yaitu
Bapak H. Moch Anshori dengan alamat Kelurahan Padurenan RT 1
RW 1 dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Padurenan Jaya memiliki 3
unit mesin bordir komputer dengan 12 “kepala”.
Informan Ketua KSP Padurenan Jaya yaitu Bapak Arif
Chuzaimahtum42 mengatakan:
“Keuntungan dari membordir dengan menggunakan mesin bordir Komputer adalah waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan sekali produksi bisa banyak dengan motif yang sejenis dapat diperoleh dengan hasil yang sama dan pola bordir di buat oleh mesin jahit komputer dengan menggunakan program komputer “Wilcom”. Sedangkan membordir dengan menggunakan mesin manual, pola bordir yang merupakan desain motif yang akan dibordir dibuat di kertas untuk ditempelkan ke kain yang akan dibordir. Atau gambar design bordir langsung digambar di kain yang akan dibordir sesuai dengan kombinasi warna yang diharapkan”
Ciri-ciri bordir yang baik, berkualitas dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi menurut informan Ibu Islahiyah, Bapak H.Much
Anshori, Ibu Hj.Sri Murni‟ah dan beberapa informan lainnya kalau
disimpulkan oleh peneliti yaitu: Kunci membuat bordir yang memiliki
kualitas itu ada 3 yaitu: Pertama, membuat desain bordir. Kedua, mengkombinasikan warna benang dengan dasar warna kain. Ketiga, keahlian pekerja membordir. Oleh karena itu, menurut Ibu Islahiyah
dalam menjaga kualitas mereka awasi sendiri, kalau desain dan
mengkombinasikan warna benang rata-rata saya tentukan sendiri dan
kerjakan sendiri, sedangkan kalau membordirnya dilakukan oleh
karyawan atas arahan saya. Kadang-kadang buatan bordir saya ditiru
orang lain pun hasilnya tetap beda sehingga harga jualnya pun akan
berbeda.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
164
CATATAN-CATATAN KAKI
1 H.J.de Graaf dan Th.G.Th, Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa”, Seri terjemahan Javanologi, (Jakarta: Grafiti Press, 1985). hlm.113.
2 Kapan persisnya orang Cina mulai masuk ke Kudus masih perlu penelusuran lebih lanjut. Namun Kiai The Ling Sing berasal dari Hunan,Tiongkok Selatan. Ia datang bersama teman-teman sekampungnya yaitu Kiai Ageng Wajah, Kiai Ageng Kedangeyan dan Nyi Ageng Klati, karena itu tak mengherankan jika terdapat ukiran burung Hong dan Nagara pada ukiran-ukiran rumah di Kudus. Kudus Kulon masih terdapat perkampungan Cina yang terletak di daerah sekitar pasar bubar, tidak jauh dari kompleks Masjid Menara, terdapat sebuah Klenteng yang dianggap tertua di Kota Kudus. Syafwandi, ”Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur”. (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm 73.
3 Batu prasasti/inskripsi tersebut memberikan landasan dari tabir sejarah kota dan masjid Kudus yang memuat beberapa pokok–pokok mengenai: tahun pendirian masjid, nama tokoh yang mendirikan, nama kota Kudus, nama Masjid Kudus, dan Nama Menara Kudus. Baca, Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam “,(Kudus:Menara Kudus,1977), hal 45. Selanjutnya untuk dibaca juga, Nur Said.”Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa”, (Bandung, Brillian Media Utama, 2010) hlm.110-113.
4 Al Quds yaitu harapan besar agar Kudus benar-benar suci (bersih)- sebagai makna al-Quds, baik dari kemusyikan maupun dari nilai-nilai yang bertentangan dengan sistem Islam. Selanjutnya untuk dibaca Syafwandi, “Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Artitektur” (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1995),hlm.41.
5 Wikantari,Ria R. “Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The Architectureal Conservation of an Historic Islamic District of Kudus Indonesia,” Thesis University of Tasmania, Tasmania.Yogyakarta:UGM,1995
6 Nitisemito cikal bakal pengusaha rokok yang dilahirkan awal tahun 1863 sebagai putra bungsu dari dua bersaudara keluarga Haji Soelaeman,seorang Lurah (Kepala Desa) Janggalan, Kecamatan Kota, pada tahun 1906 mulai menjual rokok buatan sendiri yang bahannya dari rajangan tembakau,cengkeh, dan pembungkus daun jagung sehingga disebut rokok kretek karena kalau disulut api berbunyi kretek-kretek dan banyak dinikmati oleh masyarakat luas. Alex Soemadji Nitisemito, “Radja Kretek Nitisemito”.(Kudus,1980).
7 Pada tahun 1939, derajat keswasembadaan produk rokok dan cerutu menempati posisi nomor 4 dan 5 di Indonesia. The Kian Wee, “Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian” (Jakarta:LP3ES,1994),hlm.16.
8 Wawancara dengan Ketua yayasan Masjid,Menara,dan Makam sunan Kudus (YM3SK), Bapak Kyai Haji Najib Hassan, 15 Nopember 2014.
9 Wawancara, 9 Mei 2014 di Kantor Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK)
Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus
165
10 Wawancara dengan Bapak.H.Moch Anshori tanggal 14 Juni 2014.
11 Clifford Geertz, ”Wawancara, 14 Juni 2014.” Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota”.Cetakan pertama (Jakarta:PT Gamedia,1977).
12 Lance Castles.”Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa:Industri Rokok Kudus‟. Jakarta:Sinar Harapan,1982),hlm.81
13 Ibid., hlm.56
14 Dakwah Walisanga melalui jalan damai dengan strategi rekonsiliasi dengan nilai, kebiasaan dan budaya lokal. “Memahami Metode Dakwah Walisanga” (2009). Online di http://satriopinandito.wordpress.com/2009/01/07memahamimetode-dakwah-walisanga/ diakses 4 Nopember 2014)
15 Wawancara dengan Staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) Bapak Denny Nur Hakim, Selasa 4 Nopember 2014
16 Nur Said. ”Tradisi Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, Tafsir Rumah Adat Kudus” (Brillian Media Utama,2012),hlm.21.
17 Wawancara tanggal 4 Nopember 2014 di Kantor Pusat YM3SK-Kota Kudus.
18 Clifford Geertz. ”Penjaja dan Raja:Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota”. (Jakarta:PT.Gramedia, 1977).hlm.xx
19 Muhammad Rifqi, Anratiksa, Noviani. “Ruang Sosial Rumah Tradisional Baanjungan di Banjarnegara” arsitektur e-Journal Volume 7 Nomor 1 Juni 2014 http://www.academia.edu/7651426/ Ruang_SosialRumah_Tradisional_Baanjungan_di _Banjarmasin, diakses Selasa,11 Nopember 2014.
20 Gunawan Tjahyono. “Kata Pengantar”, dalam Revianto Budi Santoso,Omah: Membaca Makna Rumah Jawa, (Yogyakarta: Benteng Budaya,2000) hlm.vii.
21 Arizal Mutahir, “Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu”,Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset, 2011) hlm.63.
22 Richard Harker,Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). “Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (ed), (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hlm.7-8.
23 Habitus adalah sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah dan berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur. Dengan kata lain habitus, adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas social. Lihat. Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). ”Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”, (Yogyakarta:Jalasutra,2004).hlm 9.
24 Ranah adalah sistem relasi obyektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi obyektif yang terdapat dalam titik simbolik. Pierre Bourdieu, ”Outline of a Theory of Practise”, (Cambridge: Cambridge University Press,1977),hlm.72.
25 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
166
26 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal12 Oktober 2014.
27 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal13 Oktober 2014.
28 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 8 Juli, dan 14 Oktober 2014
29 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Juni,13 Oktober 2014
30 Wawancara dengan Ibu Mufarrikhoh tanggal 10 Oktober 2014.
31 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Oktober 2014
32 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni „ah tanggal 13 Oktober 2014.
33 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 13 Oktober 2014.
34 Wawancara dengan Ibu Islahhiyah tanggal 14 Oktober 2014.
35 Wawancara dengan Ibu Mufarrikhah tanggal 10 Oktober 2014.
36 Wawancara dengan Dr.Abdul Jalil.M.Ei tanggal 7 Pebruari 2015, di rumah jl.Kudus Pati Km 5 Kavling Boto No.9 Golantepus Mejobo Kudus.
37 Proses „ke dalam‟ yaitu proses invilusi yang terjadi pada masyarakat petani, guna menanggulangi kebutuhan ekonomi yang meningkat dengan cara memanfaatkan semaksimal mungkin yang ada untuk berproduksi, dan ini menjadi tanggung jawab kaum laki-laki dan perempuan. Selanjutnya untuk dibaca Benyamin White.1978 “Population, Involution, and Employmen Rural Java”, Development and Change, No7.
38 Pamuji Suptandar.”Menara Masjid al Manar di Kudus”, Harian Kompas,8 September 2002.
39 Wawancara, Ibu Sa‟adah 16 Oktober 2015 di rumah Desa Karang Malang Rt 04 RW II Kecamatan Gebog-Kudus.
40 Wawancara dengan Bapak.H.Noch Anshori tanggal 14 Oktober 2014.
41 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 15 Nopember 2014.
42 Wawancara dengan Bapak Arif Chuzaimahtum tanggal 15 Oktober 2014.