BAB I Auto Saved)

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bau mulut yang secara medis disebut halitosis, dapat muncul akibat tidak teraturnya kegiatan membersihkan gigi. Bisa juga merupakan pertanda adanya masalah kesehatan serius.1 Halitosis telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan selama berabad-abad, hal ini dapat diketahui dari tulisan-tulisan peninggalan seperti di Timur tengah atau Romawi kuno. Sejak tahun 1550 SM, orang Mesir bahkan telah menganjurkan perawatan untuk mengatasi halitosis dengan cara mengunyah bahan-bahan alami atau rempah-rampah yang baunya wangi. Bahkan Hipocrates (460-337 SM) telah membuat diagnosis dan perawatan bau mulut.2 Halitosis sudah seharusnya dipertimbangkan sebagai suatu tanda dan bukan suatu penyakit. Tidak diragukan lagi, halitosis merupakan keadaan sosial yang menghambat dan dapat menyebabkan pengucilan sosial. Keadaan ini sering terjadi pada orang-orang yang dalam pekerjaannya lebih banyak berhubungan dengan publik sehingga mereka harus tetap menjaga kebersihan serta kesehatan mulutnya agar terhindar dari bau nafas yang tidak menyenangkan yang dapat mengurangi keyakinan dan rasa percaya diri, sedang menurut para ahli sebelumnya, faktor penyebab halitosis ini ada yang bersifat fisiologis dan patologis. Halitosis dapat dikurangi dengan beberapa agen, misalnya berbagai macam pasta gigi, oxidizing lozenge maupun obat kumur. Agen-agen ini memiliki khasiat masing-masing dalam mengurangi halitosis.3

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Halitosis adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan ketidaklayakan atau adanya bau yang tidak enak dalam pernafasan. Halitosis juga dikenal dengan nama fetor ex ore atau fetor oris. Beberapa peneliti melaporkan bahwa senyawa volatile sulfur (VSC) seperti hidrogen sulfida, metil merkaptan, dan dimetil sulfida merupakan gas-gas yang berhubungan dengan halitosis. Peninggian konsentrasi sulfur di dalam rongga mulut diakibatkan oleh reaksi metabolik yang menghasilkan gas H2S dan NH2 dari pembusukan sisa-sisa makanan dan jaringan nekrotik yang terbentuk dan suplai darah yang berkurang menyebabkan kadar O2 juga berkurang di daerah infeksi. Bau mulut dapat berbeda setiap hari bahkan setiap jamnya tergantung pada aliran saliva, sisa makan, populasi bakteri di dalam mulut dan kondisi hormonal fisiologis.4

2.2 Etiologi Halitosis dapat terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis dan patologis yang berasal dari kondisi lokal atau intra oral dan kondisi sistemik atau `ekstra oral.2,5 2.2.1 Faktor Fisiologis Intra Oral Bau mulut serta nafas yang normal pada pagi hari biasanya lebih berat dan kurang sedap bila dibandingkan pada siang hari. Kemudian ini disebabkan karena berkurangnya aliran saliva dan aktivitas pipi maupun lidah untuk menghilangkan epitelium yang menghilangkan deskuamasi dan sisa makanan selama tidur. Di samping itu, kebiasaan bernafas melalui mulut atau mendengkur selama tidur dapat memperparah keadaan tersebut. Biasanya bau tersebut akan hilang setelah makan atau menyikat gigi. Pada saat makan, aktivitas mengunyah yang

2

melibatkan lidah, pipi, gigi dan struktur-struktur lainnya akan dapat meningkatkan aliran saliva dan membantu menyingkirkan sisa-sisa makanan sehingga intensitas halitosis akan berkurang. Intensitas dan kualitas bau mulut akan berubah sejalan dengan pertambahan usia. Pada usia muda bau mulut biasanya lebih menyenangkan, namu pada usia lanjut bau mulut akan bertambah parah dan terasa semakin asam dan tidak nyaman bahkan pada individu yang oral higiennya baik. Di dalam rongga mulut banyak sekali dijumpai bakteri flora normal, bakteri-bakteri tersebut bukanlah bakteri yang merugikan melainkan berguna untuk membantu prose pencernaan (terutama untuk memecah protein), sehingga disebut sebagai helpful bacterial. Adapun bakteri utama penyebab halitosis dalam rongga mulut adalah bakteri anaerob penghasil sulfur yang secara normalnya terdapat di dasar dari permukaan lidah dan paling banyak di jumpai pada bagian dorsum lidah. Bakteri ini merupakan bakteri yang normal. Menurut penelitian yang dipelopori oleh Prof. Dr. Joseph Tozentich dari Universitas of British Columbia, Vancouver, berhasil mendeteksi bahwa terdapat suatu senyawa sulfur yang mudah menguap dan berbau tidak sedap sebagai hasil produk penguraian protein oleh bakteri anaerob di dalam mulut. Senyawa sulfur yang mudah menguap ini disebut sebagai Volatile Sulphur Compounds (VSC) yang mengandung hidrogen sulfid, metil merkaptan, dimetil sulfid yang merupakan penyebab utama halitosis yang berasal dari rongga mulut. Pemakaian protesa terutama yang terbuat dari vulkanit dapat menyebabkan bau mulut dikarenakan adanya poreus-poreus halus yang terdapat dipermukaan basis protesa, di mana sisa-sisa makanan dapat melekat dan membusuk. Berbeda dengan protesa yang terbuat dar akrilik yang tidak selamanya menimbulkan bau mulut walaupun sudah lama dipakai. Oleh sebab itu, perlu ditekankan kepada pasien yang memakai protesa terutama yang terbuat dari bahan vulkanit untuk menjaga kebersihan mulutnya.

3

2.2.2 Faktor Fisiologis Ekstra Oral Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari dapat menyebabkan bau tidak sedap. Makanan yang banyak mengandung bumbu seperti bawang putih dan bawang merah dapat menimbulkan bau yang bertahan selama 10-12 jam. Bahkan bau tersebut masih dapat terasa setelah gigi-gigi dibersihkan. Bau ini timbul karena bahan makanan tersebut diabsorpsi oleh saluran pencernaan melalui pembuluh darah dan dikeluarkan dengan lambat melalui paru-paru. Bahan makanan yang berprotein tinggi seperti susu, keju, ikan, kopi dengan atau tanpa kafein juga dapat menimbulkan halitosis karena mengandung asam amino kadar tinggi yang selanjutnya akan diperoleh oleh bakteri anaerob sehingga menghasilkan VSC. Selain itu, orang yang gemar mengkonsumsi daging cendrung memiliki halitosis karena asam lemak jenuh yang terkandung di dalamnya akan diabsorpsi ke dalam pembuluh darah dan akhirnya diekskresikan pada saluran pernafasan. Dalam hal ini, halitosis dapat diatasi secara sederhana dengan cara mengurangi konsumsi makanan berprotein tinggi dan berlemak serta lebih banyak mengkonsumsi sayuran dan buah. Umumnya makanan yang dikonsumsi hanya bertahan selama kurang lebih 2 jam di dalam saluran pencernaan dan selama itu pula perut akan tetap kenyang dan nafas terasa menyenangkan. Namun setelah itu, rasa lapar kembali menyerang dan nafas mulai berbau. Hal ini disebabkan karena pelepasan getah lambung ke rongga perut melalui usus halus, sementara menunggu masuknhya kembali makanan. Hal ini sering terjadi pada pagi hari terutama jika individu tidak sarapan. Bau yang timbul tidak akan hilang walaupun dengan cara menyikat gigi atau memakai obat kumur. Akan tetapi nafas akan normal kembali apabila individu memakan sesuatu yang tidak beraroma seperti roti atau buah. Selain bahan makanan, substansi minuman seperti alkohol juga dapat merangsang terbentuknya halitosis. Pada orang yang peminum berat, populasi flora normal di dalam mulutnya akan berubah sehingga akan menyebabkan perkembangan organisme pembusuk yang bisa menimbulkan bau mulut.

4

Disamping faktor makanan dan hormonal, bau mulut juga berasal dari lambung, di mana hal ini tidak akan terjadi kecuali jika terjadi muntah, oleh karena gas dan bau tersebut tidak akan keluar apabila kondisi esofagus dalam keadaan tertutup sempurna. Kondis ini telah dibuktikan oleh blakenberg dan Richards, Crohn dan Drosd bahwa bau yang bersumber dari is lambung tidak akan terasa pada udara pernafasan kecuali jika terjadi muntah (vomitus).

2.2.3 Faktor Patologis Intra Oral Faktor penyebab halitosis yang paling sering terlihat adalah disbebakan karena kurang terjaganya kebersihan dan kesehatan rongga mulut. Pada pasien yang oral higiennya buruk cendrung terjadi pembusukan sisa-sisa makanan yang menunpuk di sela-sela gigi oleh bakteri yang ada di dalam rongga mulut. Keadaan ini akan bertambah parah pada pasien yang memiliki kecendrungan untuk membentuk kalkulus dengan cepat. Di samping itu, letak gigi yang tidak teratur juga merupakan faktor pendukung terjadinya halitosis. Demikian pula halnya dengan karies gigi yang besar atau dalam, papila interdental yang hilang akibat adanya resesi gingiva dan terbentuknya pseudopoket pada gigi yang sedang erupsi terutama pada gigi molar tiga. Kelainan-kelaianan pada lidah seperti hairy tounge, coated tounge, maupun fissured tongue juga dapagt mengeluarkan bau busuk karena partikel-partikel makanan dan sisa-sisa epitel mudah terperangkap pada permukaan lidah yang demikian. Penyakit jaringan lunak mulut dan proses keganasan yang dapat menyebabkan nekrosis jaringan seperti stomatitis gangraenous dan noma atau cancrum oris serta lesi-lesi ulseratif yang berhubungan dengan kelaianan darah juga dapat menimbulkan bau busuk yang spesifik pada mulut. Degenerasi darah dan mulut, baik perdarahan gusi, pasca bedah mulut maupun di daerah bekas pencabutan gigi, dapat menimbulkan rasa asin dan bau mulut yang tidaksedap. Bau ini timbul dikarenakan berkurangnya fungsi pengunyahan yang normal pada

5

masa-masa tersebut disamping harus mengkonsumsi makanan yang lunak, adanya perdarahan ringan serta populasi bakteri yang meningkat di dalam mulut. Pada penyakit periodontal seperti gingivitis dan periodontitis kronis yang disertai pembentukan saku, hawa pernafasan yang keluar dari dalam mulut terasa berbau busuk. Selain karena pembusukan sisa-sisa makanan yang terperangkap di dalam saku, pada kondisi ini cairan ludah juga dapat cepat membusuk sehingga menambah parah bau mulut individu. Di samping itu, jaringan nekrotik yang terbentuk dan suplai darah yang berkurang menyebabkan kadar oksigen di daerah infeksi juga berkurang. Dengan demikian bakteri akan berkembang terus dan membebaskan zat-zat yang berfungsi sebagai virulensi serta dapat menimbulkan eksudat purulen yang keluar melalui sulkus gingiva. Reaksi metabolik timbul menghasilkan gas H2S dan NH2 (amino) sehingga terjadi peninggian konsentrasi sulfur yang mudah menguap dalam udara di rongga mulut. Gangren pulpa termasuk faktor lokal yang dapat menimbulkan bau busuk yang sangat menusuk pada hawa nafas. Dalam hal ini bau yang timbul merupakan hasil fermentasi bakteri Klostridium sehingga terjadi reaksi metabolisme yang menghasilkan asam dan gas gangren, akibatnya hawa nafas yang keluar dari mulut akan berbau gangren.pada penderita pyorrhea atau kista dentigerous yang disertai dengan fistel di rongga mulut akan timbul bau nanah busuk dikarenakan nanah atau pus yang terbentuk mengalir ke dalam mulut.

2.2.4 Faktor Patologis Ekstra Oral Keadaan septik hidung dan struktur-struktur yang berhubungan dengannya menimbulkan ozena atau rinitis atropik yang ditandai dengan rasa kering dam atrofi membrana sehingga rongga hidung menjadi besar, berkerak dan menimbulkan bau. Hanya saja rinitis atropik jarang dijumpai. Sedang sinusitis maxilaris kronis, terutama karena disebabkan gigi terinfeksi oleh bakteri streptokokus viridans yang mampu mengeluarkan bau tidak sedap. Septik adenoid dan tonsilitis dapat menyebabkan penyumbatan pada hidung yang disertai dengan6

fetor ex ore. Bedah tonsilektomi sendiri dapat menghasilkan bau yang serupa dengan bau darah busuk yang terjadi setelah dilakukan operasi mulut. Banyak penyakit paru-paru dan bronkus yaang dapat membuat nafas bau. Bahkan penyakit paru-paru serta bronkus ini dianggap sebagai halitosis sebebnarnya. Keadaan-keadaan seperti abses atau gangren paru, yang dapat menimbulkan kavitas pada paru-paru akan menyebabkan bau nafas tidak sedap. Proses ulserogangrenous maupun tumor pada trakea termasuk faktor penyebab yang dapat memperburuk bau nafas si penderita. Diabetes dan penyakit ginjal merupakan contoh kondisi sistemik yang paling dikenal. Kalau pada pasien dengan diabetes terkontrol tidak terdeteksi adanya bau mulut, maka sebaliknya nafas yang berbau aseton akan tercium pada pasien dengan diabetic acidosisi akan cendrung mengalami koma hiperglikemia. Pada penyakit gagal ginjal kronis terjadi penumpukan urea dalam sekret-sekret antara lain dalam keringat dan saliva yang akan menimbulkan bau amonia pada udara pernafasan yang menunjukan suatu keadaan uremia. Pada pasien uremia yang parah, urea dikeluarkan melalui saliva setelah dipecah terlebih dahulu oleh urease yang dihasilkan oleh mikroorganisme mulut menjadi amonia bebas. Sementara pada penderita kegagalan hati yang sangat akut dapat tercium bau yang dikenal dengan fetor hepaticum dan biasanya selalu diikuti dengan koma nhepatikum. Halitosis juga bisa timbul pada keadaan di mana terdapat gangguan saluran pencernaan seperti adanya perdarahan intestinal yang baunya menyerupai bau kotoran. Keadaan saluran pencernaan bagian atas seperti peptik ulserasi sering dikatakan dapat menimbulkan halitosis. Sedangkan keadaan patologi yang luas dari perut seperti karsinoma, hanya sedikit bau yang timbul dari esofagus.

2.3 Pemeriksaan dan Pengukuran Halitosis.6,7,8,9 Halitosis bi6asanya didiagnosa dengan menggunakan dua metode, yaitu pemeriksaan subjektif organoleptik dan pemeriksaan secara kuantitatif VSC.

7

2.3.1 Pemeriksaan Subjektif Organoleptik Cara yang paling sederhana dan paling banyak dilakukan untuk pemeriksaan subjektif organoleptik ini adalah pernafasan secara langsung melalui mulut, di mana penilaian organileptik ini dipengaruhi oleh faktor psikologi maupun keadaan fisiologis seperti rasa lapar, siklus menstruasi, posisi kepala atau tingat pendidikan seseorang. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pemeriksaan yang bersifat konsisten, bila penilaian bau mulut berdasarkan pemeriksaan subjektif organoleptik ini berbeda dari satu penilai dengan penilai lainnya. Untuk mengurangi variasi-variasi yang timbul, perlu dibentuk suatu kelompok peneliti yang menentukan level bau mulut berfdasarkan nilai rata-rata. Metode organoleptik ini sangat populer, tetapi mempunyai beberapa masalah. Sebagai contoh, bernafas secara langsung di depan si penilai merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan memalukan bagi si pasien. Namun metode ini dapat dipakai untuk pengukuran secara kuantitatif di mana jumlah populasinya banyak. Pada awal penyelidikan haliotosis ini, osmoskop dan cyriokop telah dipakai sebagai alat pendeteksi. Ketepatan dan keberhasilan dari pemeriksaan metode ini dapat bertambah baikj jika si peneliti terlatih untuk mengenal dan menilai bau mulut tersebut. 2.3.2 Pemeriksaan Secara Kuantitatif VSC Keanekaragaman dari pemeriksaan halitosis dan kesulitan dalam penilaiannya secara langsung dari rongga mulut pasien, telah menyebabkan para peneliti mempergunakan metode secra tidak langsung yaitu pemeriksaan senyawa volatile sulphur (VSC) yang terdapat pada saliva. Melalui pemeriksaan kuantitatif VSC ini dapat dikemukakan bahwa metil merkaptan dan hidrogen sulfida adalah komponen utama VSC penyebab halitosis. Perbandingan metil merkaptan dan hidrogen sulfida dengan dimetil sulfida dapat ditunjukkan melalui kedalaman probing, yaitu 4mm lebih melalui metode gas kromatografi. Pengukuran dengan kromatografi ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengukuran organoleptik diantaranya mencakup8

: 1) pemisahan dan pengukuran jumlah gas-gas masing-masing individu; 2) kemampuan mengukur konsentrasi gas-gas yang sangat rendah sehingga memberikan hasil yang konsisten. Namun ada juga kerugian dari pemakaian alat ini, yaitu : 1)harganya relatif mahal; 2) memerlukan keterampilan si peneliti; 3) tidak praktis, tidak mudah dibawa; dan 4) memerlukan waktu untuk pencarian dan pengukuran. Demikian halnya dengan gas kromatografi, monitor VSC juga memiliki keuntungan, yaitu 1) biayanya relatif rendah dibandingkan dengan gas kromatografi; 2) tidak memerlukan keahlian dari peneliti; 3) praktis dibawa; 4) pengukuran dapat dilakukan dengan cepat. Adapun kerugiannya antara lain, yaitu : 1) ketidakmampuan untuk membeda-bedakan antara sulfida itu sendiri; 2) pengukuran tidak dapat dibuat pada keadaan dimana terdapat minyak esensial atau etanol dalam tingkat yang tinggi, jadi dihindarkan penilaian dari kemajuan obat kumur sampai komponen-komponen ini tidak teratur; dan 3) alat ini mungkin menunjukkan sedikit kehilangan sensitifitas waktu, mengharuskan pengujian kembali secara berkala. Bana test, tes ini diarahkan untuk mengetahui tingkat enzim dari saliva yang menunjukkan keberadaan daripada bakteri yang berhubungan dengan halitosis. Uji -galaktosidase: tingkat saliva enzim ini ditemukan berhubungan dengan malodor mulut.

2.4 Pencegahan Halitosis.10,11,12 Pada dasarnya, perawatan halitosis merupakan perawatan dari keadaan penyebab. Terutama terhadap kebersihan mulut settiap selesai makan. Ada berbagai macam pasta gigi maupun agen lain seperti oxidizing lozenge dan obat kumur yang dapat menyamarkan atau mengurangi halitosis ini. Untuk mencegah munculnya bau tidak sedap pada mulut, tindakan-tindakan menjaga kebersihan mulut sangat dianjurkan. Hal ini untuk mencegah sisa-sisa

9

makanan tertinggal di dalam mulut sehingga tidak memungkinkan bakteri anaerob penghasil bau bekerja. Pembersihan mulut yang paling efektif saat ini adalah menyikat gigi. Yang perlu diperhatikan pertama-tama adalah waktu menyikat gigi. Banyak orang yang menyikat giginya pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal ini tidak berarti banyak, bila sarapan dilakukan setalah itu dan dilanjutkan dengan aktivitas sehari-hari. Menyikat gigi pada saat demikian hanya menghilangkan bau tidak sedap yang disebabkan oleh kekeringan mulut akibat tidur pada malam hari. Bakteri tidak dapat dibasmi sama sekali, termasuk dengan menyikat gigi. Bila setelah sarapan tidak dilakukan pembersihan lagi, sisa-sisa makanan ini akan diuraikan oleh bakteri menjadi zat yang asam dan berbau. Jadi, waktu yang terbaik untuk menyikat gigi adalah pagi hari setelah sarapan dan malam hari menjelang tidur. Yang kedua, pada saat menyikat gigi sebaiknya lakukan juga penyikatan pada permukaan lidah bagian belakang. Seperti disebutkan di atas, bakteri banyak hidup di daerah ini. Lakukan penyikatan dengan saksama, tetapi dengan gerakan lembut untuk mencegah terjadinya iritasi. Pemakai geligi tiruan juga harus melakukan hal yang sama pada geligi tiruannya. Selain dengan sikat gigi, pembersihan mulut dapat dilakukan dengan cara berkumur-kumur di antara kedua waktu menyikat gigi. Banyak produk larutan kumur yang beredar di pasaran dan pada umumnya mampu menurunkan jumlah bakteri dalam mulut. Tetapi, penggunaan obat kumur secara rutin tidak dianjurkan karena hal ini justru akan mengganggu keseimbangan flora dalam mulut. Dengan menurunnya jumlah bakteri dalam mulut, jamur akan tumbuh dan akibatnya muncul masalah baru dalam mulut. Selain itu, beberapa zat yang terkandung dalam obat kumur justru menyebabkan bau mulut. Karena itu, sebaiknya berkumur dengan air biasa saja. Selain dengan menjaga kebersihan mulut, pencegahan bau mulut dapat dilakukan dengan minum air paling sedikit delapan gelas sehari. Mengonsumsi makanan berserat juga banyak manfaatnya, karena proses mengunyah makanan berserat akan merangsang produksi air liur dan mempunyai efek self-cleansing pada mulut. Kalau semua usaha pencegahan telah dilakukan, tetapi bau mulut tidak sedap masih ada, pemeriksaan oleh dokter gigi mungkin akan membantu mengatasinya.

10

Gigi berlubang atau kelainan lain dalam mulut juga berperan dalam menciptakan bau mulut.

Lima strategi mungkin disarankan : 1. Membersihkan permukaan lidah dengan lembut dua kali sehari adalah cara yang paling efektif untuk menjaga bau mulut dalam kontrol; yang dapat dicapai dengan menggunakan pembersih lidah atau sikat lidah / scraper untuk menyeka dari biofilm bakteri, puing-puing, dan lendir. Sebuah sendok teh terbalik juga dapat digunakan; sikat gigi yang harus dihindari, karena bulu/sikat hanya menyebarkan bakteri di mulut, dan pegangan lidah, menyebabkan refleks tersedak. Menggores atau merusak lidah harus dihindari, dan Scraping dari baris berbentuk V-tunas rasa yang ditemukan di belakang ekstrim lidah juga harus dihindari. 2. Sarapan yang sehat dengan makanan berat membantu membersihkan bagian paling belakang lidah. 3. Permen karet : Sejak kering-mulut dapat meningkatkan penumpukan bakteri dan menyebabkan atau memperburuk bau mulut, mengunyah permen karet dapat membantu dengan produksi air liur, dan dengan demikian membantu mengurangi bau mulut. Mengunyah dapat membantu terutama saat mulut kering, atau ketika orang tidak dapat melakukan prosedur kebersihan mulut setelah makan (terutama makanan kaya protein). Hal ini membantu dalam penyediaan air liur, yang menyapu bakteri mulut, memiliki sifat antibakteri dan mempromosikan kegiatan mekanis yang membantu membersihkan mulut. Beberapa permen karet mengandung bahan khusus anti-bau. Mengunyah biji adas, kayu manis, damar wangi permen karet, atau peterseli segar adalah solusi rakyat umum. 4. Berkumur tepat sebelum tidur dengan obat kumur yang efektif. Beberapa jenis obat kumur komersial telah terbukti mengurangi malodor selama berjam-jam. 5. Menjaga kebersihan mulut yang tepat, termasuk membersihkan lidah, menyikat gigi, flossing, dan periodik kunjungan ke dokter gigi dan Hiegenis. Flossing

11

sangat penting dalam menghilangkan sisa-sisa makanan yang membusuk dan plak bakteri dari antara gigi, terutama pada gumline itu. Gigi palsu harus dibersihkan dan direndam semalam dalam larutan antibakteri (kecuali jika disarankan oleh dokter gigi Anda).

Menurut pengobatan Ayurvedic tradisional, mengunyah buah pinang dan daun sirih adalah obat yang sangat baik melawan bau mulut. Di Asia Selatan, kebiasaan mengunyah sirih pinang atau kacang dan daun sirih diantara para pencinta karena menyegarkan nafas. Baik kacang dan daun adalah stimulan ringan dan dapat menjadi ketagihan dengan penggunaan berulang. Sirih juga akan menyebabkan kerusakan gigi dan gigi pewarna seseorang merah terang saat dikunyah. Kedua buah pinang dan daun sirih diakui memiliki faktor risiko untuk karsinoma sel skuamosa. Dan penggunaannya tidak dianjurkan.

12

BAB III KESIMPULAN

Halitosis merupakan bau yang tidak biasa atau bau busuk menusuk yang keluar dari rongga mulut. Keadaan ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung pada faktor penyebabnya. Sebagian besar penyebab halitosis adalah faktor intra oral, namun harus tetap dipertimbangkan faktor-faktor lain khususnya faktor ekstra oral misalnya jenis makanan dan substansi makanan yang dikonsumsi sehari-hari juga penyakitpenyakit tetentu yang dapat menimbulkan halitosis. Halitosis ini kebanyakan berpengaruh pada orang-orang dewasa dimana dapat kita ketahui hwa intensitas dan kualitas bau mulut akan berubah sejalan dengan pertambahan usia. Semakin lanjut usia, bau mulut akan trasa lebih asam dan tdak nyaman. Dalam mendiagnosis halitosis, ada 2 metode yang dilakukan. Diagnosis melalui pemeriksaan secara kuantitatif VSC merupakan metode yang paling tepat. Melalui metode ini dapat dikemukakan bahwa metil markaptan dan hirogen sulfida adalah komponen utama VSC penyebab halitosis. Halitosis ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, diantaranya dengan memakai pasta gigi, oxiding lozenge atau obat kumur yang sering dipergunakan yaitu klorheksidin 0,2%. Obat kumur yang mengandung klorheksidin 0,2% ini dapat menghambat pertumbuhan plak. Namun harus tetap diingat bahwa pemeliharaan higien oral yang baik akan mengurangi sebagian besar keluhan halitosis. Tetapi jika faktor penyebabnya adalah ekstra oral, pasien dianjurkan untuk segera berkonsultasi atau melakukan rujukan ke dokter umum atau spesialis yang sesuai.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamsafir,

E.

(2010,

Juni

01).

Dipetik

November

18,

2010,

dari

http://www.infogigi.com/masalah-bau-mulut-menimbulkan-rasa-kurang-percayadiri 2. Aotharika, V. (2003). Penyakit Gastrointestinal Sebagai Penyebab Timbulnya Halitosis.halaman 30- 45.

3. Djaya A.2000.Halitosis.Majalah Dental Horizon;1: 19-20 4. Loesche WJ, Kazor C. 2002. Microbiology and treatment of halitosis. Periodontology2000;28: 256-79.

5. Simorangkir J.(2001).Halitosis. halaman 9-15 6. Rosenberg M, McCulloch CA. (1992, September). Measurement of oral malodor: currentmethods and future prospects. J Periodontol ;63(9):776-82

7. Murata T, Rahardjo A, Fujiyama Y, Yamaga T, Hanada M, Yaegaki K, Miyazaki H. (2006, Juli)Development of a compact and simple gas chromatography for oral malodor measurement. J Periodontol ;77(7):1142-7.

8. Kozlovsky A, Gordon D, Gelernter I, Loesche WJ, Rosenberg M. Correlation between theBANA test and oral malodor parameters. J Dent Res. 1994 May; 73(5):1036-42

9. Sterer N, Greenstein RB, Rosenberg M. Beta-galactosidase activity in saliva is associatedwith oral malodor. J Dent Res. 2002 Mar;81(3):182-5.

10. Rosenberg M. The science of bad breath. Sci Am. 2002 Apr;286(4):72-9. 11. Tonzetich J. Production and origin of oral malodor: a review of mechanisms and methodsof analysis. J Periodontol. 1977 Jan;48(1):13-20.

12. Scully C, Rosenberg M. Halitosis. Dent Update. 2003 May;3

14