Upload
ajengretmasari
View
189
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal,
berbagai upaya kesehatan telah diselenggarakan. Salah satu bentuk upaya
kesehatan melalui puskesmas dan rumah sakit sebagai rujukannya, yang
merupakan sistem pelayanan kesehatan yang dianut dan dikembangkan
dalam sistem kesehatan nasional dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Beberapa upaya kesehatan masyarakat yang memerlukan dukungan dan peran
serta aktif masyarakat antara lain adalah berbagai pelayanan dasar puskesmas
khususnya dalam hal kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, keluarga
berencana, kesehatan lingkungan, pemberantasan dan pencegahan penyakit
menular, penyuluhan kesehatan dan lain-lain yang mencakup 18 usaha kesehatan
pokok puskesmas dan upaya perawatan kesehatan masyarakat melalui pos
pelayanan terpadu (posyandu) (Effendy, 1995).
Posyandu didirikan untuk mengutamakan pelayanan KB dan Kesehatan,
khususnya untuk pelayanan ibu hamil dan anak-anak. Di harapkan juga
Posyandu nantinya dapat menjadi wadah bagi keluarga untuk
mengoptimalkan delapan fungsi keluarga menurut UU no 10 tahun 1992.
Tenaga yang bekerja di posyandu adalah bidan, perawat, dokter, sukarelawan,
dan petugas dari BKKBN itu sendiri yang nantinya mengatur kegiatan di
lapangan (Suyono, 2007).
Pada saat terjadi krisis di tahun 1997-1998, kegiatan Posyandu dalam
bidang KB dan Kesehatan menurun. Jumlah Posyandu yang aktif menurun
1
dari sekitar 500.000 buah menjadi hanya sekitar setengahnya. Begitu juga
peranan bidan di desa. Jumlah bidan yang aktif dalam Posyandu di desa merosot
dari sekitar 65.000 menjadi hanya sekitar 20.000 sampai 22.000 bidan. Hal
ini berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan bayi. Menurut Direktur
Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Prof. dr. Azrul
Azwar,s MPH, angka kematian ibu mencapai 307 kasus per 1000 kelahiran
hidup dan angka kematian bayi mencapai 35 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Itu berarti setiap tahun ada 13.778 kematian ibu atau setiap dua jam ada dua
ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal karena berbagai penyebab. Bisa
dipastikan hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat
khususnya ibu hamil mengenai cara memelihara kesehatan selama hamil dan
kurang menggunakan pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kehamilan
(Syafrudin, 2008).
Pemerintah berupaya mengaktifkan kembali Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) untuk meningkatkan koordinasi penanganan keluarga berencana
(KB) dan kesehatan di Pedesaan. Koordinasi ini diwujudkan dengan
menggabungkan
pos-pos KB dan pos-pos kesehatan yang telah ada menjadi Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu). Selain itu pemerintah juga mencanangkan program
Revitalisasi Posyandu untuk mengaktifkan kembali kegiatan Posyandu. Program
revitalisasi posyandu mempunyai tujuan agar terjadi peningkatan fungsi
dan
kinerja posyandu, dengan kegiatan utama adalah; 1) pelatihan, untuk
meningkatkan kemampuan dan kualitas kader; 2) pelayanan, mencakup
2
pelayanan lima program pr ioritas yang merupakan paket minimal dengan
sasaran khusus balita dan ibu hamil serta menyusui dan; 3) penggerakan
masyarakat (Ridwan,
2007). Menurut Mangkunegara, (2000) hal yang sangat penting selain program
yang diselenggarakan Posyandu, kinerja petugas posyandu juga sangat
perlu untuk di tingkatkan. Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Dalam hal ini, seorang petugas posyandu berperan besar untuk
meningkatkan kinerja secara optimal. Misalnya dengan mengoptimalkan
jumlah pengguna satu posyandu dengan jumlah petugas pada posyandu
tersebut. Satu unit Posyandu, idealnya melayani sekitar 100 balita (120 kepala
keluarga) atau sesuai dengan kemampuan petugas dan keadaan setempat.
Pelaksanaan kegiatan Posyandu umumnya dibuka satu bulan sekali oleh
anggota masyarakat yang sudah dilatih menjadi kader kesehatan setempat di
bawah bimbingan Puskesmas (suaramerdeka.com;14 September 2009).
Salah satu komponen yang penting dalam kinerja Posyandu adalah
layanan yang diberikan oleh Posyandu tersebut. Pelayanan yang baik dan sesuai
kebutuhan masyarakat, terutama yang menunjang kesehatan dan gizi ibu
dan balita tentu akan mendapatkan respon yang positif. Secara ideal,
layanan Posyandu meliputi: Pemantauan gizi yaitu pemantauan kebutuhan
balita, pendidikan atau penyuluhan gizi, serta pemberian makanan tambahan;
kesehatan ibu dan anak; pengontrolan terhadap diare; immunisasi; serta keluarga
berencana (BKKBN, 2004).
3
Berdasarkan data temuan IFLS (Indonesian Family Life Survey)
tahun 1997-2000, terdapat penurunan kinerja Posyandu yang mempengaruhi
tingkat kepuasan ibu-ibu pengguna Posyandu. Terbukti sejak satu dekade
terakhir terjadi penurunan cakupan kedatangan ibu yang membawa balitanya ke
Posyandu. Data tersebut menyebutkan terjadi penurunan sebesar 12%
terhadap pengguna Posyandu oleh balita baik laki-laki maupun perempuan
dalam rentang tahun 1997 hingga 2000 (Strauss et al, 2002). Menurut Marks
(2003), selain cakupan, kualitas layanan Posyandu itu sendiri juga menurun,
dengan indikasi adanya 14% penurunan cakupan pemantauan pertumbuhan dan
rendahnya kepemilikan KMS (Kartu Menuju Sehat) hingga menurun sebesar
24% pada kurun waktu yang sama (Tria, 2007).
Dari data IFLS diketahui bahwa pada saat terjadinya penurunan cakupan
Posyandu, pemanfaatan terhadap layanan kesehatan pribadi atau swasta
meningkat dengan cukup signifikan sebanyak 10%. Angka ini mengindikasikan
kecenderungan masyarakat untuk menggunakan layanan kesehatan hanya
saat
membutuhkan misalnya saat mereka sakit, bukan untuk mendapatkan
layanan monitoring atau meningkatkan pengetahuan kesehatan dan gizi seperti
yang diberikan di Posyandu. Pergeseran kebutuhan inilah yang menyebabkan
Posyandu makin ditinggalkan (Strauss et al, 2002 dalam Tria, 2007).
Kurangnya pemanfaatan fasilitas yang ada diposyandu kemungkinan
karena masyarakat pengguna Posyandu kurang pengetahuan mengenai
pelayanan dan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka di Posyandu.
4
Sehingga masyarakat masih menganggap bahwa pengobatan itu mahal.
Rendahnya status kesehatan masyarakat dimungkinkan karena kurangnya
pengetahuan, terbatasnya akses pelayanan dan biaya. Secara umum gambaran
kepuasan masyarakat pengguna layanan kesehatan masih rendah. Ini terlihat
dari masalah yang muncul di masyarakat terkait dengan loket pendaftaran yang
berbelit-belit, tidak adanya transparansi, keterbatasan fasilitas, sarana dan
prasarana yang kurang memadai sehingga tidak menjamin kepastian hukum
waktu dan biaya. Berdasarkan masalah
tersebut membuat masyarakat merasa kurang perlu untuk datang ke
pelayanan kesehatan (Retnowati, 2008).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara jumlah
Posyandu pada tahun 2007 ada 14.533 yang terdiri dari Posyandu Pratama 4.960 (
34,13 %), Posyandu Madya 7.054(48,54%), Posyandu Purnama 2.338( 16, 09%)
dan Posyandu Mandiri 181 (1,25%). Sedangkan menurut strata dari tahun 2005-
2007 khusus persentasi Posyandu Purnama dan Mandiri baru mencapai 17,34%,
angka ini masih jauh dari target yaitu 40 %(Dinkes SU, 2007).
Menurut data profil kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan, tahun
2001, diketahui di Kabupaten Asahan berpenduduk berjumlah 961.916 jiwa
dengan 19.238 Kepala keluarga, Puskesmas berjumlah 24, Puskesmas Pembantu
143 sedangkan Posyandu berjumlah 1.411 buah.
Berdasarkan data dari Puskesmas Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan pada
tahun 2012 terdapat 33 Posyandu, dengan strata sebagai berikut : 1 Posyandu
Pratama, 22 Posyandu Madya, dan 10 Posyandu Purnama.
5
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui sejauh mana peran dan fungsi kader dalam peningkatan
strata posyandu
1.2.2 Tujuan Khusus
Untuk melihat sejauh mana peran dan fungsi kader dalam upaya
meningkatkan strata posyandu di Kecamatan Aek Kuasan,
Kabupaten Asahan.
Untuk mengetahui motivasi kader dalam pelaksanaan kegiatan
Posyandu
Mendeskripsikan karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan) kader
yang melaksanakan kegiatan Posyandu.
Memudahkan koordinasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat
( kader ) untuk melaksanakan upaya – upaya kesehatan masyarakat.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat bagi peneliti, mengetahui dan memahami peran serta kader dalam
pelaksanaan posyandu, serta sebagai sarana untuk menerapkan teori dan ilmu
yang telah di peroleh tentang peran dan fungsi kader dalam meningkatkan strata
Posyandu.
Bagi Institusi Pendidikan, hasil penelitian ini di harapkan dapat
memberikan manfaat di bidang ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan
terutama tentang peran dan fungsi kader dalam meningkatkan strata Posyandu.
6
Bagi kader, meningkatkan kapasitas kader dalam membantu melaksanakan
program kegiatan Posyandu secara optimal.
Bagi Masyarakat, memberikan motivasi bagi masyarakat agar berperan
dalam meningkatkan upaya kesehatan yang bersumber dari, oleh ,dan untuk
masyarakat.
Bagi puskesmas, hasil penelitian ini di harapkan dapat dipergunakan
sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam menyusun rencana kegiatan
Puskesmas untuk mendukung keberhasilan kegiatan Posyandu terutama mengenai
Peran dan fungsi kader dalam meningkatkan strata Posyandu.
Bagi pemerintah ( Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan ) , dapat di jadikan
sebagai bahan masukan bagi instansi terkait sejauh mana upaya- upaya pelayanan
kesehatan yang telah dilakukan di Posyandu, dan apa yang perlu di lakukan untuk
meningkatkan pelayanan Posyandu yang menarik minat masyarakat untuk lebih
memanfaatkan Posyandu.
7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Posyandu
2.1.1 Pengertian Posyandu
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat ( UKBM ) yang dikelola dan di selenggarakan dari, oleh, untuk dan
bersama masyarakat dalam penyelenggraan pembangunan kesehatan, guna
memperdayakan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. ( Pedoman Umum
Pengelolaan Posyandu, 2011)
Shakira (2009) menyebutkan, Posyandu adalah suatu forum komunikasi,
alih tehnologi dan pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai nilai
strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Posyandu juga
merupakan tempat kegiatan terpadu antara program Keluarga Berencana–
Kesehatan di tingkat desa. Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dalam
upaya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Posyandu adalah pusat
pelayanan keluarga berencana dan kesehatan yang dikelola dan diselenggarakan
untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan
8
dalam rangka pencapaian NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera).
Istilah Posyandu yang dikenal sebagai Pos Pelayanan Terpadu adalah
suatu tempat yang kegiatannya tidak dilakukan setiap hari melainkan satu
bulan sekali diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dan terdiri dari
beberapa pelayanan kesehatan yaitu :
1. Pelayanan Pemantauan Pertumbuhan Berat Badan Balita
2. Pelayanan Imunisasi
3. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Pelayanan Ibu berupa
pelayanan ANC (Antenatal Care), kunjungan pasca persalianan
(Nifas) sementara Pelayanan Anak berupa Deteksi dan Intervensi
Dini Tumbuh Kembang Balita dengan maksud menemukan secara
dini kelainan-kelainan pada balita dan melakukan intervensi segera.
4. Pecegahahan dan Penanggulangan diare Dan Pelayanan Kesehatan
lainnya (Arali, 2008).
Berdasarkan pelayanan yang diberikan, sasaran Posyandu terdiri atas
pasangan usia subur, ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan balita (Shakira,
2009).
2.1.2 Tujuan Posyandu
Tujuan Posyandu di samping memperluas jangkauan puskesmas juga ada
tujuan khusus yang lain berdasarkan Health Planning for Effective Management,
1994 yaitu :
Mempercepat penurunan angka kematian bayi (infant mortality rate
(IMR)) dan anak balita.
9
Menurunkan angka kelahiran
Meningkatkan pelayanan kesehatan ibu untuk menurunkan IMR
Mempercepat penerimaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
(NKKBS)
Peningkatan dan pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka
alih teknologi untuk swakelola usaha-usaha kesehatan masyarakat.
Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan
kegiatan kesehatan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang
kemampuan hidup sehat.
Pendekatan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
dalam usaha meningkatkan cakupan penduduk dan geografi.
2.1.3 Sasaran Posyandu
Sasaran Posyandu menurut Buku Saku Kader Dinkes Kabupaten Asahan
2012, adalah :
Semua anggota masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan
dasar yang ada di Posyandu terutama :
Bayi dan Anak Balita
Ibu hamil, Ibu Nifas dan Ibu Menyusui
Pasangan Usia Subur
Pengasuh Anak
2.1.4 Kriteria dan Langkah Pembentukan Posyandu
Satu Posyandu sebaiknya melayani 100 Balita atau 120 kepala keluarga,
atau disesuaikan dengan kemampuan petugas dan keadaan setempat seperti
keadaan geografis, jarak antar kelompok rumah, jumlah KK dalam satu
10
kelompok. Dalam satu posyandu minimal memiliki 5 kader, dengan ketentuan
diharapkan satu kader melayani 10 – 20 KK. Para kader ini harus dilatih terlebih
dahulu.(Perawatan Kesehatan Masyarakat, 1995 dan Pos Pelayanan Terpadu,
www.depkes.go.id)
Dalam pembentukan Posyandu seperti halnya dengan PKMD maka
langkah-langkah yang dilakukan adalah :
Pertemuan tingkat kecamatan dimana tim pembina LKMD kecamatan
berperan serta.
Pertemuan tingkat desa dimana LKMD sebagai penanggung jawab
menyusun rencana kegiatan antara lain mengadakan survey mengenai
masalah yang berkaitan dengan kesehatan.
Hasil survey ditabulasi dan selanjutnya dibawa ke Musyawarah
Masyarakat Desa (MMD). Setelah ada rembuk desa maka diadakan
pemilihan calon kader.
Latihan kader.
Pelaksanaan kegiatan. ( Administrasi Kesehatan Masyarakat edisi
pertama, 1997 dan Perawatan Kesehatan Masyarakat, 1995 )
2.1.5 Kegiatan Posyandu
Kegiatan Posyandu pada pelaksanaannya dilakukan anggota masyarakat
yang telah dilatih menjadi kader kesehatan setempat dibawah bimbingan
Puskesmas. Pengelola Posyandu adalah pengurus yang dibentuk oleh ketua RW
atau dusun yang berasal dari kader PKK, tokoh masyarakat formal dan informal
serta kader kesehatan yang ada diwilayah tersebut. (Perawatan Kesehatan
Masyarakat, 1995).
11
Pola kegiatan yang dilaksanakan meliputi 5 program prioritas dan program
tambahan. Lima program prioritas meliputi KB, KIA, Perbaikan gizi, imunisasi
dan Penanggulangan diare. Program tambahan bisa berupa sanitasi dasar,
penyediaan obat esensial, dan lainnya. Lima program prioritas ini dilaksanakan
dengan keterpaduan sistem 5 meja, dimana:
Meja I : Pendaftaran, pelaksana 1 orang kader.
Meja II : Penimbangan, pelaksana 2 orang kader.
Meja III : Pencatatan hasil penimbangan (pengisian KMS), pelaksana
1 orang kader.
Meja IV : Penyuluhan berdasarkan hasil penimbangan dan pencatatan
(KMS). Disamping itu juga diberikan juga makanan tambahan, vitamin A,
Oralit, juga pembagian alat kontrasepsi. Pelaksana 1 orang kader.
Meja V : Pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional meliputi
pemeriksaan kehamilan, nasehat-nasehat, imunisasi, dsb.
Selain kegiatan di atas dapat pula dilakukan kegiatan tambahan berupa
kunjungan ke rumah, kegiatan kebersihan lingkungan dan sebagainya.( Pos
Pelayanan Terpadu, www.depkes.go.id , Administrasi Kesehatan Masyarakat
edisi pertama, 1997 dan Perawatan Kesehatan Masyarakat, 1995).
2.1.6 Pelayanan Kesehatan yang Diberikan
1 Pemelihataan kesehatan bayi dan balita
Penimbangan bulanan
12
Pemberian tambahan makanan bayi yang berat badannya kurang.
Imunisasi bayi 3 – 14 bulan
Pemberian oralit untuk menanggulangi diare
Pengobatan penyakit sebagai pertolongan pertama. (Perawatan
Kesehatan Masyarakat, 1995).
2 Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan pasangan usia
subur
Pemeriksaan kesehatan umum
Pemeriksaan kehamilan dan nifas
Pelayanan peningkatan gizi melalui pemberian vitamin dan pil
penambah darah
Imunisasi TT untuk ibu hamil
Pemberian alat kontrasepsi KB
Pemberian oralit pada ibu yang terkena diare
Pengobatan penyakit sebagai pertolongan pertama
Pertolongan pertama pada kecelakaan. (Perawatan Kesehatan
Masyarakat, 1995).
2.1.7 Tingkat Perkembangan Posyandu
Perkembangan masing-masing posyandu tidak sama. Dengan demikian,
pembinaan yang dilakukan untuk masing-masing posyandu juga bebeda. Untuk
mengetahui tingkat perkembangan posyandu, telah dikembangkan metode dan alat
telaah perkembangan posyandu, yang dikenal dengan nama telaah kemandirian
posyandu. Tujuan telaah adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan
posyandu yang secara umum dibedakan atas 4 tingkat sebagai berikut : ( Pedoman
13
Umum Pengelolaan Posyandu, 2011).
1. Posyandu Pratama
Posyandu pratama adalah posyandu yang belum mantap, yang
ditandai oleh kegiatan bulanan posyandu belum terlaksana secara rutin
serta jumlah kader sangat terbatas yakni kurang dari 5 (lima) orang.
Penyebab tidak terlaksananya kegiatan rutin bulanan posyandu,
disamping karena jumlah kader yang terbatas, dapat pula karena
belum siapnya masyarakat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk
perbaikan peringkat adalah memotivasi masyarakat serta menambah
jumlah kader.
2. Posyandu Madya
Posyandu Madya adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan
kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader
sebanyak lima orang atau lebih, tetapi cakupan kelima kegiatan
utamanya masih rendah, yaitu kurang dari 50%. Intervensi yang dapat
dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah meningkatkan cakupan
dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai motivator serta
lebih menggiatkan kader dalam mengelola kegiatan posyandu. Contoh
intervensi yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pelatihan tokoh masyarakat, menggunakan modul posyandu
dengan metode simulasi.
14
b. Menerapkan SMD dan MMD di posyandu, dengan tujuan untuk
merumuskan masalah dan menetapkan cara penyelesaiannya,
dalam rangka meningkatkan cakupan posyandu.
3. Posyandu Purnama
Posyandu Purnama adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan
kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader
sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya
lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta
telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola
oleh masyarakat yang pesertanya masih terbatas yakni kurang dari
50% KK di wilayah kerja posyandu. Intervensi yang dapat dilakukan
untuk perbaikan peringkat antara lain :
a. Sosialisasi program dana sehat yang bertujuan untuk menetapkan
akan pemahaman masyarakat tentang dana sehat.
b. Pelatihan dana sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh dana
sehat yang kuat, dengan cakupan anggota lebih dari 50% KK.
Peserta pelatihan adalah para tokoh masyarakat, terutama
pengurus dana sehat desa/kelurahan, serta untuk kepentingan
posyandu mengikutsertakan pada pengurus posyandu.
4. Posyandu Mandiri
Posyandu mandiri adalah posyandu yang telah dapat melaksanakan
kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader
sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya
15
lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta
telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola
oleh masyarakat yang pesertanya lebih dari 50%. KK yang bertempat
tinggal di wilayah kerja posyandu. Intervensi yang dilakukan bersifat
pembinaan termasuk pembinaan program dana sehat, sehingga
terjamin kesinambungannya. Selain itu dapat dilakukan intervensi
memperbanyak macam program tambahan sesuai dengan masalah dan
kemampuan masing-masing.
Secara ringkas gambaran tentang strata posyandu adalah sebagai berikut :
(Buku Saku Kader Dinkes Kabupaten Asahan 2012).
Tabel 1Tingkat Kemandirian Posyandu
NO INDIKATORPRATAM
AMADYA PURNAMA
MANDIRI
1.Frekuensi Penimbangan
< 8% ≥8%
2. Rerata Kader tugas <5% >5%
3. Rerata Cakupan D/S <50% >50%
4.Cakupan Kumpulan KB
<50% >50%
5.Cakupan Kumpulan KIA
<50% >50%
6.Cakupan Kumpulan Imnisasi
<50% >50%
7. Program Tambahan (-) (+)
8. Cakupan Dana Sehat <50% >50%
16
2.1.8 Letak/ Lokasi Posyandu
Posyandu berlokasi disetiap desa/ kelurahan /nagari. Bila diperlukan
dan memiliki kemampuan, dimungkinkan untuk didirikan di RW,
dusun atau sebutan lainnya yang sesuai.
Tempat penyelenggaraan kegiatan posyandu sebaiknya berada pada
lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. (Buku Saku Kader
Dinkes Kabupaten Asahan 2012).
2.1.9 Penyelenggara Posyandu
Pada hakikatnya Posyandu didirikan dari, oleh dan untuk
masyarakat dalam mencapai pelayanan kesehatan yang baik.
Penyelenggaraannya dilakukan oleh kader yang telah dilatih di bidang
kesehatan dan KB dan keanggotaannya berasal dari PKK, tokoh
masyarakat, dan pemuda atau pemudi. Pengelola Posyandu sendiri adalah
pengurus yang dibentuk oleh ketua RW yang berasal dari kader PKK,
tokoh masyarakat formal dan informal serta kader kesehatan yang ada di
wilayah tersebut (Effendy, 1998).
2.2 Kader Posyandu
2.2.1 Pengertian
Kader adalah seseorang yang karena kecakapannya atau
kemampuannya diangkat, dipilih atau ditunjuk untuk mengambil peran dalam
kegiatan dan pembinaan Posyandu, dan telah mendapat pelatihan tentang KB dan
Kesehatan (Depkes RI, 1993).
Sebagian besar kader kesehatan adalah wanita dan anggota PKK yang
17
sudah menikah dan berusia 20-40 tahun dengan pendidikan sekolah dasar (Depkes
RI, 1995).
Syarat-syarat untuk memilih calon kader menurut Depkes RI, (1996)
adalah; dapat membaca dan menulis dengan bahasa Indonesia, secara fisik dapat
melaksanakan tugas-tugas sebagai kader, mempunyai penghasilan sendiri dan
tinggal tetap di desa yang bersangkutan, aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial
maupun pembangunan desanya, dikenal masyarakat dan dapat bekerjasama
dengan masyarakat calon kader lainnya dan berwibawa, sanggup membina paling
sedikit 10 KK (Kepala Keluarga) untuk meningkatkan keadaan kesehatan
lingkungan diutamakan mempunyai keterampilan.
Menurut Bagus yang dikutip dari pendapat Zulkifli (2003) bahwa
pendapat lain mengenai persaratan bagi seorang kader antara lain; berasal dari
masyarakat setempat, tinggal di desa tersebut, tidak sering meninggalkan tempat
untuk waktu yang lama, diterima oleh masyarakat setempat, dan masih cukup
waktu bekerja untuk masyarakat disamping mencari nafkah lain. Persyaratan-
persyaratan yang diutamakan oleh beberapa ahli diatas dapatlah disimpulkan
bahwa kriteria pemiihan kader kesehatan antara lain, sanggup bekerja secara
sukarela, mendapat kepercayaan dari masyarakat serta mempunyai kredibilitas
yang baik dimana perilakunya menjadi panutan masyarakat, memiliki jiwa
pengabdian yang tinggi, mempunyai penghasilan tetap, pandai baca tulis, sanggup
membina masyarakat sekitarnya. Kader kesehatan mempunyai peran yang besar
dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat menolong dirinya untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Selain itu peran kader ikut membina
masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan baik
18
di Posyandu.
Sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 1990
ada dua kategori kader yaitu:
1. Kader Pembangunan Desa (KPD) yaitu orang yang mempunyai
kemampuan bekerja secara sukarela untuk kepentingan pembangunan
desanya yang mempunyai jiwa pelopor, pembaharu dan penggerak
pembangunan di desa keseluruhan. KPD merupakan kader yang
bersifat umum yang memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar
melalui latihan kader pembangunan desa.
2. Kader teknis yaitu kader pembangunan desa yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan teknis tertentu dari sektor
pembangunan, yang merupakan “tenaga spesialis” dan dibina oleh
suatu instansi atau lembaga kemasyarakatan.
2.2.2 Tujuan Pembentukan Kader
Pada hakekatnya pelayanan kesehatan dipolakan mengikut sertakan
masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikutsertaan masyarakat dalam
meningkatkan efisiensi pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan dana
didalam operasional pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian
dilibat- aktifkannya masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada
dimasyarakat seoptimal mungkin. Pola pikir yang semacam ini merupakan
penjabaran dari karsa pratama yang berbunyi meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan (Zulkifli.
2004).
Pembentukan kader merupakan salah satu metode pendekatan edukatif,
19
untuk mengaktifkan masyarakat dalam pembangunan khususnya dalam bidang
kesehatan. Disamping itu pula diharapkan menjadi pelopor pembaharuan dalam
pembangunan bidang kesehatan. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat
tersebut, maka dilakukan latihan dalam upaya memberikan keterampilan dan
pengetahuan tentang pelayanan kesehatan disesuaikan dengan tugas yang
diembannya.
Para ahli mengemukakan bahwa untuk menimbulkan partisipasi dan
menggerakkan masyarakat perlu di bentuk wakilnya dalam bidang kesehatan
yang nantinya akan membantu program pelayanan guna mencapai kemampuan
hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang
optimal (Haryuni, dkk, 1997). Pola pikir pembentukan kader kesehatan
berdasarkan prinsip:
Pertama, dari segi pengorganisasian, bentuk pengorganisasian yang seperti
itu diaplikasikan dalam bentuk kegiatan keterpaduan KB kesehatan yang telah
dikenal dengan nama Posyandu. Adapun kegiatan berdasarkan kebutuhan
masyarakat setempat, dapat diterapkan pada masyarakat pedesaan dan perkotaan,
pelayanan yang murah dapat dijangkau oleh setiap penduduk.
Kedua, dari segi kemasyarakatan, perilaku kesehatan tidak terlepas
daripada kebudayaaan masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat. harus pula diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat. Sehingga
untuk mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pembangunan khususnya dalam
bidang kesehatan, tidak akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui
pendekatan instruktif. Akan tetapi lebih berhasil bila proses pendekatan dengan
20
edukatif yaitu berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan
permasalahan dengan memperhitungkan sosial budaya setempat.
Dengan terbentuk kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini
dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan
demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan, tetapi
juga mitra pembangunan itu sendiri. Selanjutnya dengan adanya kader maka
pesan-pesan yang diterima tidak akan terjadi penyimpangan. Sehinga pesan-pesan
yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna berkat adanya kader, jelaslah
bahwa pembentukan kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang
kesehatan (Depkes RI, 2000).
2.2.3 Tugas Kader Posyandu
Mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional
melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan untuk itu pula perlu
adanya pembatasan tugas yang diemban baik menyangkut jumlah maupun jenis
pelayanan. Adapun yang menjadi tugas kader pada kegiatan Posyandu adalah;
Pertama, sebelum hari pelaksanaan Posyandu meliputi kegiatan pencatatan
sasaran yaitu pada bayi dan balita, ibu hamil, ibu menyusui dan PUS,
pemberitahuan sasaran kegiatan Posyandu pada ibu yang mempunyai bayi dan
balita, ibu hamil, ibu menyusui dan PUS. Kedua, kegiatan pada hari Posyandu
meliputi kegiatan pendaftaran pada pengunjung, penimbangan terhadap bayi dan
balita, pencatatan KMS bayi dan balita, penyuluhan pada ibu yang mempunyai
bayi dan balita, ibu hamil dan menyusui dan PUS, pemberian alat kontrasepsi,
pemberian vitamin. Ketiga , kegiatan sesudah hari Posyandu meliputi kegiatan
21
pencatatan dan pelaporan, mendatangi sasaran yang tidak hadir, mendatangi
sasaran yang mempunyai masalah untuk di berikan penyuluhan, memberikan
tindak lanjut kasus yang mempunyai masalah setelah diperiksa dan tidak bisa
ditangani oleh kader ( Depkes, 2001).
2.2.4 Kegiatan kader Posyandu
Kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya
kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan
kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik
menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun kegiatan pokok yang perlu
diketahui oleh dokter kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan
kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun diluar Posyandu antara
lain yaitu:
Pertama, kegiatan yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah;
melaksanakan pendaftaran, melaksanakan penimbangan bayi dan balita,
melaksanakan pencatatan hasil penimbangan, memberikan penyuluhan, memberi
dan membantu pelayanan dan merujuk. Kedua, kegiatan yang dapat dilakukan
kader diluar Posyandu KB-kesehatan adalah bersifat yang menunjang pelayanan
KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulangan diare. Ketiga, Mengajak ibu-
ibu untuk datang para hari kegiatan Posyandu. Keempat, kegiatan yang
menunjang upaya kesehatan lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang ada
yaitu : pemberantasan penyakit menular, penyehatan rumah, pembersihan sarang
22
nyamuk, pembuangan sampah, penyediaan sarana air bersih, menyediakan sarana
jamban keluarga, pembuatan sarana pembuangan air limbah, pemberian
pertolongan pertama pada penyakit dan P3K, dana sehat dan kegiatan
pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.
Selain itu peranan kader diluar posyandu KB-kesehatan; yaitu Pertama,
merencanakan kegiatan, antara lain: menyiapkan dan melaksanakan survei mawas
diri, membahas hasil survei, menentukan masalah dan kebutuhan kesehatan
masyarakat desa, menentukan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan
bersama masyarakat, membahas pembagian tugas menurut jadwal kerja. Kedua,
melakukan komunikasi, informasi dan motivasi tatap muka (kunjungan), alat
peraga dan percontohan. Tiga, menggerakkan masyarakat dengan mendorong
masyarakat untuk gotong royong, memberikan informasi dan mengadakan
kesepakatan kegiatan apa yang akan dilaksanakan dan lain-lain. Keempat,
memberikan pelayanan yaitu; membagi obat, membantu mengumpulkan bahan
pemeriksaan, mengawasi pendatang didesanya dan melapor, memberikan
pertolongan pemantauan penyakit, memberikan pertolongan pada kecelakaan dan
lainnya, melakukan pencatatan, yaitu; KB atau jumlah PUS, jumlah peserta aktif,
KIA : jumlah ibu hamil, vitamin A yang dibagikan, Imunisasi untuk mengetahui
jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan jumlah bayi dan balita yang
diimunisasikan, gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai KMS, balita yang
ditimbang dan yang naik timbangan, diare: jumlah oralit yang dibagikan,
penderita yang ditemukan dan dirujuk, melakukan pembinaan mengenai lama
program keterpaduan KB - kesehatan dan upaya kesehatan lainnya.
Selain itu adanya keluarga binaan yang untuk masing-masing berjumlah 10-
23
20KK atau diserahkan dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan
memberikan informasi tentang upanya kesehatan dilaksanakan, melakukan
kunjungan rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan, melakukan
pertemuan kelompok.
2.2.5 Partisipasi Kader dalam Kegiatan Posyandu
Menurut Terry (1982) bahwa partisipasi didasarkan atas prinsip psikologis
yang menyatakan bahwa orang lebih dimotivasi kearah tujuan-tujuan untuk
membantu dan menetapkannya serta adanya perhatian dalam pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah. Selain itu menurut pendapat Winardi (2006)
bahwa partisipasi secara formal dapat didefenisikan sebagai turut sertanya
seseorang baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbagsih
pada proses pembuatan keputusan, terutama mengenai persoalan-persoalan
dimana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan terdapat dan yang
bersangkutan melaksanakan tanggung jawabnya untuk melakukan hal tersebut.
Menurut Depkes RI (1989) yang dikutip dari pendapat Widiastuti (2006)
bahwa partisipasi kader adalah keikutsertaan kader dalam suatu kegiatan
kelompok, masyarakat atau Pemerintah. Peran kader secara umum yaitu
melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan bersama dalam rangka
meningkatkan kesehatan masyarakat sedangkan peran kader secara khusus
terdapat beberapa tahap yang meliputi:
Pertama, tahap persiapan, yaitu memotivasi masyarakat untuk
24
memanfaatkan pelayanan kesehatan dan bersama-sama masyarakat merencanakan
kegiatan pelayanan kesehatan ditingkat desa.
Kedua, tahap pelaksanaan, yaitu melaksanakan penyuluhan kesehatan
secara terpadu, mengelola kegiatan UKBM 3).Tahap pembinaan, yaitu
menyelenggarakan pertemuan bulanan dengan dasawisma untuk membahas
perkembangan program dan masalah yang dihadapi keluarga, melakukan
kunjungan ke rumah pada keluarga binaannya, membina kemampuan diri melalui
pertukaran pengalaman antar kader.
Partisipasi kader didalam suatu kegiatan posyandu dapat dibagi dalam
beberapa tingkat yaitu; Pertama, adanya kesempatan untuk berperan serta
kesediaan berpartisipasi juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan
untuk berpartisipasi dan kader melihat bahwa memang ada hal-hal yang berguna
dalam kegiatan itu. Kedua, memiliki keterampilan tertentu yang bisa
disumbangkan, yaitu kegiatan yang dilaksanakan membuktikan orang-orang
dengan memiliki keterampilan tertentu, maka hal ini akan menarik bagi orang-
orang yang memiliki keterampilan tersebut, untuk ikut berpartisipasi. Ketiga, rasa
memiliki yaitu suatu kegiatan akan tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat
sudah diikutsertakan. Jika rasa memiliki bisa ditumbuhkan dengan baik, maka
partisipasi kader dalam kegiatan di desa akan dapat dilestarikan. Keempat, faktor
tokoh masyarakat dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat
bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang disegani ikut serta maka mereka akan
tertarik juga untuk berpartisipasi. Kelima, faktor petugas, yaitu memiliki sikap
yang baik seperti akrab dengan masyarakat, menunjukkan perhatian pada
kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh masyarakat untuk
25
berpartisipasi.
2.2.6 Motivasi Kader
Motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti dorongan atau
menggerakkan. Berbagai hal yang biasanya terkandung dalam berbagai defenisi
tentang motivasi antara lain adalah keinginan, kebutuhan, tujuan, sasaran dan
dorongan. Menurut Siagian (1997) bahwa motivasi sebagai keseluruhan proses
pemberian motif bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau
bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan.
Menurut Bernard Berndoom dan Gary A.stainer yang mengutip pendapat
Soedarmayanti (2001) bahwa motivasi merupakan kondisi mental yang
mendorong aktifitas dan member energi yang mengarah kepada pencapaian
kebutuhan memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan. Selain itu
menurut Terry (1997) bahwa motivasi yang berasal dari luar diri seseorang
menyebabkan orang tersebut melakukan pekerjaan sesuai dengan tujuan
organisasi, karena adanya rangsangan dari luar yang dapat berwujud benda
maupun bukan benda.
Ada beberapa motivasi instrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi
kinerja kader posyandu yaitu :
a. Motivasi Instrinsik
Motivasi instrinsik merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri
individu. Motivasi instrinsik kader posyandu meliputi faktor umur, tingkat
pendidikan, lama pekerjaan, lama menjadi kader, minat dan kemampuan.
Umur : Umumnya sangat mempengaruhi di dalam bermasyarakat,
26
karena hal tersebut merupakan suatu ukuran untuk menilai tanggung
jawab seseorang dalam melakukan suatu kegiatan ataupun aktivitas.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (1980) pembagian masa dewasa
diantaranya :
1) Masa dewasa dini : Masa dewasa dini dimulai pada umur 18
tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan
fisik dan psikologis yang menyertai dan berkurangnya
kemampuan reproduktif.
2) Masa dewasa madya : Masa dewasa madya masa dimulai pada
umur 41 tahun sampai pada umur 60 tahun, yaitu saat
menurunnya kemampuan fisik maupun psikologis yang jelas
nampak pada setiap orang.
3) Masa dewasa lanjut (usia lanjut) : Masa dewasa lanjut –
senescence, atau usia lanjut dimulai umur 61 tahun sampai
kematian. Kemampuan fisik maupun psikologis menurun.
Menurut Widayatun (1999) tahapan perkembangan masa dewasa tengah
yaitu pada usia 36 – 45 tahun mengalami perkembangan di dalam mencapai
tanggung jawab sosial sebagai warga negara, mengembangkan kegiatan –
kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa, mencapai dan
mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir dan pekerjaan.
Menurut Bahri (1981), Sumardilah (1985) menyatakan ciri-ciri kader yang
aktif sebaiknya berumur antara 25-35 tahun, karena pada masa muda kader
mempunyai motivasi yang positif, merasa lebih bertanggung jawab dan inovatif.
Umur mempunyai kaitan erat dengan tingkat kedewasaan seseorang
27
yang berarti kedewasaan teknis dalam arti keterampilan melaksanakan
tugas maupun kedewasaan psikologis. Dikaitkan dengan tingkat kedewasaan
teknis, anggapan yang berlaku ialah bahwa makin lama seseorang
bekerja, kedewasaan teknisnya pun mestinya meningkat. Pengalaman
seseorang melaksanakan tugas tertentu secara terus menerus untuk
waktu yang lama biasanya meningkatkan kedewasaan teknisnya (Widiastuti,
2006).
Tingkat Pendidikan : Pendidikan adalah segala cara yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,
kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan
dalam arti formal adalah proses penyampaian materi pada pendidikan
oleh pendidik kepada sasaran guna mencapai perubahan perilaku atau
tindakan. Pendidikan tidak terlepas dari proses belajar, kadang-
kadang antara proses belajar dengan pengajaran disamakan
dengan pendidikan, memang kedua pengertian itu identik, bahwa
proses belajar berada dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Menurut konsep Amerika, pengajaran diperlukan untuk
memperoleh keterampilan yang dibutuhkan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Belajar pada hakekatnya adalah penyempurnaan
potensi atau kemampuan pada organisme biologis dan psikis yang
diperlukan dalam hubungannya dengan manusia luar.
Menurut Azwar (2007) bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang
sengaja dilakukan untuk memperoleh hasil berupa pengetahuan, keterampilan dan
28
sikap seseorang. Menurut L.W .Green (1980) menyatakan bahwa gangguan
terhadap penyakit juga disebabkan oleh manusia itu sendiri, terutama
menyangkut pendidikan, pengetahuan dan sikap seseorang menjaga kesehatan,
sehingga mempunyai kesadaran tinggi terhadap kesehatan, baik kesehatan pribadi
maupun keluarga. Begitu juga dalam mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi
tinggi dan cukup kalori sehingga dapat menjaga kesehatan balitanya.
Pendidikan yang tinggi yang dimiliki seseoarang akan lebih mudah
memahami suatu informasi, bila pendidikan tinggi, maka dalam menjaga
kesehatan sangat diperhatikan, termasuk cara menjaga bayi dan balita,
mengatur gizi seimbang. Sebaliknya dengan pendidikan rendah sangat sulit
menterjemahkan informasi yang didapatkan, baik dari petugas kesehatan maupun
dari media-media lain.
Menurut Grant (1984) yang mengutip dari pendapat Kardjati (2000) pada
pendidikan di 11 negara oleh pusat Demografi Amerika Latin menunjukkan
pengaruh pendidikan ibu terhadap kesempatan hidup anak ternyata lebih kuat
dibandingkan dengan pengaruh tingkat pendapatan di rumah tangga,
pengamatan di Kenya mencatat adanya penurunan tingkat kematian bayi sebesar
86% setelah dilaksanakan program peningkatan pendidikan bagi kaum wanita.
Menurut kajian pelaksanaan revitalisasi posyandu pada masyarakat
nelayan dan petani di Proponsi Jawa Barat, bahwa kader yang diikutsertakan
dalam kegiatan posyandu haruslah berpendidikan SLTA, agar dapat lebih mudah
memahami dan mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan posyandu (Ira,
2002).
Menurut Hartono (1978) dan Sumardilah (1985) di Kebayoran Lama
29
Jakarta menemukan ciri-ciri kader yang aktif adalah berumur 25-34 tahun, ibu
rumah tangga, tidak bekerja, pendidikan tamat SLTP dan sederajaat, mempunyai
rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, dapat mengikuti kegiatan
sosial masyarakat, inovatif, tinggal di RW/RT posyandu berada, mempunyai
motivasi yang positif.
Pekerjaan : Lamanya seseorang bekerja dapat berkaitan dengan
pengalaman yang didapat di tempat kerjanya. Apabila seorang kader
bekerja, maka ia tidak akan mempunyai waktu yang cukup untuk
melaksanakan kegiatan posyandu. Menurut Depkes RI (1996), bahwa
salah satu syarat calon kader adalah wanita yang mempunyai waktu
yang cukup untuk melakukan semua tugas kader yang telah
ditetapkan, dimana kegiatan posyandu biasanya dilaksanakan pada
hari dan jam kerja.Karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan
kader karena kesibukan membuat seseorang terabaikan akan
kesehatannya, termasuk kader posyandu. Kesibukan akan pekerjaan
terkadang seorang ibu lupa terhadap tugas dan tanggungjawab yang
diemban padanya. Sebaiknya kader posyandu tidak mempunyai
pekerjaan tetap dan mempunyai pengalaman menjadi kader sekurang-
kurangnya 60 bulan, dan tidak ada pergantian kader dalam satu tahun,
serta jumlah kader setiap posyandu lima orang (Benny, 2005).
Hubungan antara jenis pekerjaan dengan keaktifan kader dicontohkan
dengan seorang ibu yang dengan kesibukan tertentu akan
mempengaruhi keaktifan posyandu sesuai dengan jadwal yang
ditentukan setiap bulannya (Notoadmodjo,2005).
30
Lamanya menjadi kader : Kinerja masa lalu cenderung
dihubungkan pada hasil seseorang, semakin lama ia bekerja maka
semakin terampil dalam melaksanakan tugasnya sehingga senioritas
dalam bekerja akan lebih terfokus jika dibandingkan dengan orang
yang baru bekerja (Robbins,1996). Penelitian yang dilakukan oleh
Purnomowati (1993) menyatakan bahwa ada pengaruh yang jelas
antara masa kerja seseorang dengan kinerjanya. Studi yang dilakukan
di Kabupaten Garut jawa Barat menunjukkan gambaran lamanya
menjadi kader dikategorikan kurang dari 1 tahun, 1 sampai 5 tahun,
5 sampai 10 tahun, 10 sampai 15 tahun, 15 sampai 20 tahun dan lebih
20 tahun. Dari studi tersebut didapatkan 60% kader bekerja lebih
dari 5 tahun adalah hasil yang menggambarkan lama kerja dengan
kinerja kader (Depkes RI, 1997).
Menurut Widiastuti (2006) yang mengutip pendapat Sondang (2004)
bahwa seseorang dalam bekerja akan lebih baik hasilnya bila memiliki
keterampilan dalam melaksanakan tugas dan keterampilan seseorang dapat
terlihat pada lamanya seseorang bekerja. Begitu juga dengan kader posyandu,
semakin lama seseorang bekerja menjadi kader posyandu maka keterampilan
dalam melaksanakan tugas pada saat kegiatan Posyandu akan semakin
meningkat sehingga nantinya partisipasi kader dalam kegiatan posyandu akan
semakin baik.
Berdasarkan penelitian Anies dan Irawati (2000) di Sukabumi dan
Kerawang yang meneliti masyarakat nelayan dan petani sebanyak 67 posyandu,
170 kader, 50 pembina dan 1.234 pengguna posyandu menemukan bahwa ciri-ciri
31
kader yang aktif sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap, mempunyai
pengalaman menjadi kader sekurangnya 60 bulan, tidak ada pergantian kader
sedikitnya dalam setahun, dan jumlah kader setiap posyandu 5 orang. Layanan
yang diharapkan pengguna posyandu agar mendapatkan PMT untuk balita,
kesediaan pengguna memberi imbalan untuk kader yang bekerja secara
sukarela, pendidikan kader harus SLTA ke atas.
Menurut Razak (2006) dalam penelitiannya di Makasar menemukan
bahwa kader posyandu sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap, mempunyai
pengalaman menjadi kader sekurang-kurangnya 60 bulan. jumlah kader sedikitnya
5 orang, tidak ada pergantian kader sedikitnya dalam setahun.
Minat : Minat menurut JP Chaplin (1995) dalam Dictionary of
Psychology bahwa minat (interest) adalah sebuah perasaan yang
menilai suatu aktivitas, pekerjaan atau objek berharga atau berarti bagi
dirinya. Menurut Greenleaf dalam bukunya Occupations, A Basic
Source for Counselor yang dikutip oleh Efriyani Djuwita (2003),
mengatakan bahwa minat merupakan motivasi yang kuat dalam
bekerja, sedangkan Winkell (1984), membatasi minat sebagai
kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa senang
berkecimpung dalam bidang itu.
Macam-macam minat menurut Dewa Ketut (1988), adalah : (1)
Expressed Interest (minat yang diekspresikan), yaitu minat yang diungkapkan
dengan kata-kata tertentu atau diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukan
seseorang lebih menyukai sesuatu hal dari pada hal lain; (2) Manifest Interest
32
(minat yang diwujudkan), yaitu minat yang diwujudkan dengan tindakan,
perbuatan dan ikut serta berperan aktif dalam aktivitas tertentu; (3) Inventoried
Interest (minat yang diinventarisasikan), yaitu minat yang dapat diukur dan dinilai
melalui kegiatan menjawab sejumlah pernyataan tertentu atau urutan pilihannya
untuk kelompok aktivitas tertentu.
Seseorang dapat mempunyai banyak alasan berminat pada suatu
pekerjaan, tetapi dapat juga hanya karena alasan tertentu. Setiap orang memiliki
perbedaan dalam menjelaskan alasan berminat pada suatu pekerjaan. Mengetahui
minat sama pentingnya dengan mengetahui bakat. Menurut Greenleef, minat
dapat diketahui lewat hobi seorang yang dimiliki. Sebagai contoh, jika seorang
hobi menggambar kemungkinan besar akan berminat dengan bentuk pekerjaan
yang ada kaitannya dengan hobinya itu. Seseorang dapat memiliki dua jenis minat
, yaitu minat yang disadari, seperti hobi dan minat latent (minat yang tidak
disadari). Minat latent ini hanya akan muncul jika kita memberi kesempatan diri
kita untuk mencoba banyak hal atau aktivitas baru. Seseorang dapat memiliki
banyak minat, tetapi sedikit yang menyadari minatnya.
Menurut Hurigck ( 1978 ) dalam Gunarso ( 1985 ) bahwa minat
merupakan salah satu aspek psikologis yang mempunyai pengaruh cukup besar
terhadap sikap perilaku seseorang. Minat merupakan sumber motivasi yang akan
mengarahkan seseorang, melakukan sesuatu yang menyebabkan individu
berhubungan secara aktif dengan objek yang menarik baginya. Oleh karena itu
minat dikatakan sebagai suatu dorongan untuk berhubungan dengan
lingkungannya, kecenderungan untuk memeriksa, menyelidiki atau mengerjakan
33
suatu aktivitas yang menarik baginya. Apabila individu menaruh minat terhadap
sesuatu, hal ini disebabkan obyek itu berguna untuk memenuhi kebutuhannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa minat merupakan suatu kecenderungan
seseorang untuk bertindak dan bertingkah laku terhadap obyek yang menarik
perhatian disertai dengan perasaan senang.
Dalam hal intensitasnya, menurut Chaplin (1995) minat merupakan suatu
sikap yang kekal, mengikutsertakan perhatian individu dalam memilih obyek
yang dirasakan menarik bagi dirinya dan minat juga merupakan suatu keadaan
dari motivasi yang mengarahkan tingkah laku pada tujuan tertentu. Apabila sudah
terbentuk pada diri seseorang maka sesuatu minat cenderung menetap
sepanjang obyek minat tersebut efektif baginya, sehingga apabila obyek minat
tersebut tidak efektif lagi maka minatnya pun cenderung berubah.
Seseorang yang mempunyai minat terhadap sesuatu maka akan
menampilkan suatu perhatian, perasaan dan sikap positif terhadap sesuatu hal
tersebut. Eysenck, dkk (Ratnawati, 1992) mengemukakan bahwa minat
merupakan suatu kecenderungan untuk bertingkah laku yang berorientasi pada
obyek, kegiatan dan pengalaman tertentu, selanjutnya menjelaskan bahwa
intensitas kecenderungan yang dimiliki seseorang berbeda dengan yang lainnya,
mungkin lebih besar intensitasnya atau lebih kecil tergantung setiap orangnya.
Minat Menurut Holland (1985) yang mengutip pendapat Sudjani (2008)
bahwa untuk mengukur minat seseorang berdasarkan pandangan psikologis,
tentunya pemilihan terhadap minat dalam tradisi psikologis dan kepribadian yang
mempelajari tipe-tipe kepribadian yang mengasumsikan bahwa orang yang
34
memiliki minat yang berbeda-beda dan bekerja dalam lingkungan yang berlainan
sebenarnya adalah orang yang berkepribadian lain-lain dan mempunyai sejarah
hidup yang berbeda-beda.
Para ahli mengelompokkan jenis minat berdasarkan aspeknya. Blum
dan Balinsky (Sumarni, 2000) membedakan minat menjadi dua, yaitu minat
subyektif dan obyektif. Minat subyektif adalah perasaan senang atau tidak senang
pada suatu obyek yang berdasar pada pengalaman. Minat obyektif adalah suatu
reaksi menerima atau menolak suatu obyek disekitarnya.
Menurut Jones yang mengutip pendapat Handayani (2000) membagi minat
menjadi minat instrinsik dan ekstrinsik. Minat instrinsik yaitu minat yang
berhubungan dengan aktivitas itu sendiri dan merupakan minat yang tampak
nyata. Minat ekstrinsik yaitu minat yang disertai dengan perasaan senang yang
berhubungan dengan tujuan aktivitas. Antara kedua minat tersebut seringkali sulit
dipisahkan pada minat intrinsik kesenangan itu akan terus berlangsung dan
dianjurkan meskipun tujuan sudah tercapai, sedangkan pada minat ekstrinsik
kemungkinan bila tujuan tercapai, maka minat akan hilang.
Syamsudin yang mengutip pendapat Lidyawati (1998) menyatakan bahwa
minat terbagi menjadi dua jenis, yaitu minat spontan dan minat dengan
sengaja. Minat spontan, yaitu minat yang secara spontan timbul dengan
sendirinya. Minat dengan sengaja, yaitu minat yang timbul karena sengaja
dibangkitkan melalui rangsangan yang sengaja dipergunakan untuk
membangkitkannya.
Kemampuan : Kemampuan berkaitan dengan tingkat kemampuan
individu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
35
tertentu. Dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. menurut
Robbins (1996), Ability is an individual's capacity to perform the
various task in a job. " Kemampuan adalah kapasitas seseorang dalam
mengerjakan berbagai macam tugas dalam pekerjaannya" dengan
kemampuan yang ada diharapkan kegiatan individu tidak akan
menyimpang jauh dari kegiatan badan usaha, sehingga bukan hal yang
aneh apabila badan usaha memberi harapan kepada individu agar
tujuan dapat tercapai. Kinerja akan sangat tergantung pada faktor
kemampuan individu itu sendiri seperti tingkat pendidikan,
pengetahuan, pengalaman dimana dengan tingkat kemampuan yang
semakin tinggi akan mempunyai kinerja semakin tinggi pula. Dengan
demikian tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang
rendah akan berdampak negatif pada kinerja. Kemampuan dapat
dibagi menjadi dua tipe, yaitu kemampuan intelektual dan
kemampuan fisik yang harus disesuaikan dengan pekerjaannya.
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas mental, sedangkan kemampuan fisik
adalah kemampuan yang diperlukan untuk suatu tugas yang
membutuhkan stamina kekuatan, dan keterampilan-keterampilan yang
serupa. Pendapat Fremont yang disadur oleh Moh. Yasin (1986)
mengemukakan bahwa kemampuan digambarkan oleh kapasitas
manusia dan teknik. Seberapa jauh kemampuan dapat diciptakan
tergantung pada tingkat dimana individu dan atau kelompok dapat
dimotivasikan untuk menghasilkan kemampuan.”
36
Menurut Baron dan Greenberg (1990), kemampuan seseorang
akan mempengaruh kinerja. Seseorang yang mempunyai kemampuan
yang rendah, akan menghasilkan kinerja yang lebih rendah dan
seseorang yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi akan
menghasilkan kinerja yang lebih baik. Seperti yang dikemukakan oleh
Thoha (2000) bahwa kemampuan adalah suatu kondisi yang
menunjukkan unsur kematangan yang berkaitan pula dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dapat di peroleh dari pendidikan,
latihan dan pengetahuan”. Kemampuan dalam bekerja disuatu bidang
tertentu dapat dijadikan tombak untuk memudahkan dalam
pencapaian tujuan organisasi (Hartoyo, 2009).
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan yang berasal dari luar diri
individu berpengaruh terhadap kinerja kader, yang meliputi fasilitas
posyandu, pelatihan kader, pembinaan kader, insentif dan dukungan
masyarakat yang diberikan kepada kader.
Fasilitas : Untuk memotivasi pekerjaan hendaknya dilakukan dengan
menyediakan sarana dan prasarana yang baik untuk digunakan
dalam melaksanakan tugas. Seperti yang dikeluhkan oleh pembina
kader tingkat Kecamatan Cipayung, bahwa sarana dan prasarana
kurang memadai seperti meja, kursi, timbangan, alat tulis dan
terutama tempat posyandu akan menghambat kinerja kader posyandu
(Syahmasa, 2003).
37
Menurut Siagian (1998), kegiatan-kegiatan posyandu tidak akan dapat
berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh adanya fasilitas yang
memadai. Penyediaan fasilitas kerja adalah bahwa fasilitas kerja yang
disediakan harus cukup dan sesuai dengan tugas dan fungsi dan harus
dilaksanakan serta tersedia pada waktu dan tempat yang tepat.
Fasilitas posyandu yaitu segala sesuatu yang dapat menunjang
penyelenggaraan kegiatan Posyandu seperti tempat atau lokasi yang tetap, dana
rutin untuk pemberian makanan tambahan (PMT), alat-alat yang diperlukan
misalnya : dacin, KMS, meja, kursi, buku register dan lain-lain.
Keaktifan seorang kader dalam melakukan kegiatan di Posyandu
dipengaruhi oleh adanya sarana, fasilitas Posyandu yang memadai, bentuk
penghargaan kepada kader, sikap petugas kesehatan dan adanya pembinaan,
pelatihan yang diberikan kepada kader ( Warta Posyandu, 1999 ).
Pelatihan : Pelatihan adalah suatu upaya kegiatan yang dilaksanakan
untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan teknis
dan dedikasi kader (Depkes, 2005). Pengetahuan akan bertambah
berkat kemauan dokter dan staf puskesmas untuk memberikan
tambahan pada waktu mereka datang melakukan supervisi.
Pengetahuan dan keterampilan juga didapat dari teman sekerja.
(Junadi, 1990).
Menurut Frank Sherwood dan Wallas Best dalam (Moekijat, 1981),
pelatihan adalah; Training is the process of aiding employes to gain effectiviness
in their present of future work through the development habits of thought and
action, skill, knowlwdge, and attitudes (pelatihan adalah proses membantu
38
pegawai untuk memperoleh efektivitas dalam pekerjaan mereka yang sekarang
atau yang akan datang melalui penggembangan kebiasaan-kebiasaan pikiran,
tindakan dan keterampilan).
Materi pelatihan kader dititik beratkan pada keterampilan teknis menyusun
rencana kegiatan di posyandu, cara yang benar dalam melakukan penimbangan
balita, menilai pertumbuhan anak baik fisik maupun mental, cara menyiapkan
kegiatan pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak dan ibu, menyiapkan beragam
cara pemberian makanan tambahan (PMT), makanan pendamping ASI untuk
yang pertumbuhannya tidak sesuai, membantu pemeriksaan ibu hamil dan
menyusui serta membuat laporan.
Pelatihan bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
sekaligus dedikasi kader agar timbul kepercayaan diri untuk melaksanakan tugas
sebagai kader posyandu dalam melayani masyarakat, baik diposyandu maupun
saat melakukan kunjungan rumah ( Depdagri dan Otda, 2001 ). Menurut Martoyo
(2000) mengutip pendapat Moekijat (1981) tujuan utama pelatihan adalah:
Pertama, untuk mengembangkan keahlian seseorang sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan dengan lebih cepat dan efektif. Kedua, untuk mengembangkan
keahlian dan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional.
Ketiga, mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kemajuan kerja sama
dengan sesama teman sekerja dan diluar kerja serta dengan pemimpin.
Pilippo dalam Moekijat (1981) membedakan antara pelatihan (training)
dengan pendidikan adalah “training is concerrned with increasing knowledge
and skill in doing a particular job, education is concerned with increasing
general knowledge and understanding our total environment”. (pelatihan
39
berhubungan dengan menambah pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu, pendidikan berhubungan dengan penambahan
pengetahuan umum dan pengertian tentang seluruh lingkungan kita).
Pelatihan bagi kader sangat diperlukan dari petugas kesehatan yang
berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Pengetahuan itu bertambah berkat kemauan
dokter dan staf puskesmas untuk memberikan tambahan pada waktu mereka
datang melakukan supervisi. Pengetahuan dan keterampilan juga didapat dari
teman sekerja (Junadi, 1990). Kurangnya kemampuan kader dalam memberikan
penyuluhan kemungkinan menyebabkan ibu balita kurang berminat untuk
mengunjungi posyandu. Ibu balita yang mampu, lebih memilih untuk
mengunjungi dokter untuk memantau pertumbuhan balitanya ( Basyir, dkk 2008).
Agar pelatihan kader berjalan efektif, maka diperlukan unsur pelatih kader yang
mampu berdedikasi dalam memberikan pelatihan secara efektif dan
berkesinambungan, yakni melalui pendampingan dan bimbingan. Pelatihan kader
diberikan secara berkelanjutan berupa pelatihan dasar dan berjenjang yang
berpedoman pada modul (Nilawati, 2008).
Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Tegal Sari II Sumatera utara
menemukan bahwa ciri-ciri kader aktif adalah: sudah menikah,
berpenghasilan, ada sarana dan fasilitas posyandu, adanya pelatihan dan
pembinaan dari tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terkait (Nurhayati, 1997).
Pembinaan : Pembinaan dilakukan dengan tujuan untuk
memantapkan dan meningkatkan pengetahuan, sikap serta
keterampilan terhadap kegiatan yang telah berjalan, juga untuk
40
memberikan motivasi kepada kader supaya keaktifan kader dapat
lestari. Pembinaan sangat penting artinya untuk kelangsungan
kegiatan yang telah dijalankan, karena pada tahap awal latihan kader
hanya sekedar memperoleh informasi sehubungan dengan
peningkatan pengetahuan. Dengan adanya pembinaan-pembinaan
yang dilakukan diharapkan kader berperan aktif dalam kegiatan
posyandu (Junadi, 1990).
Insentif : Pemberian insentif merupakan bayaran pokok untuk
memotivasi para pegawai agar lebih maju dalam pekerjaan dengan
keterampilan dan tanggung jawab yang lebih besar ( Davis, 1995 ).
Insentif adalah salah satu jenis penghargaan yang dikaitkan dengan
prestasi kerja (Mutiara, 2002).
Secara sederhana dinyatakan bahwa biasanya seseorang akan
merasa diperlakukan secara tidak adil apabila perlakuan itu dilihatnya sebagai
suatu hal yang merugikan. Dalam kehidupan bekerja persepsi itu dikaitkan
dengan berbagai hal yaitu mengenai insentif dan jumlah jam kerja (Sondang,
2004).
Sebagai imbalan dari pekerjaanya, kebanyakan para kader tidak menerima
pembayaran tunai untuk pelayanan mereka tetapi mereka mendapat upah dalam
bentuk lain seperti seragam sebagai tanda penghargaan, sertifikat sebagai tanda
jasa, dan peralatan rumah tangga kecil-kecilan. Akan tetapi salah satu faktor
penting dalam keuntungan yang diperoleh para kader adalah setatusnya. Untuk
para kader Posyandu, status ini tidak diperoleh karena partisipasi mereka dalam
program kemasyarakatan yang berprioritas tinggi tersebut tetapi juga karena
41
penghargaan tinggi yang diberikan oleh pihak pemerintah.
Alasan utama penggunaan insentif upah adalah jelas, insentif hampir
selamanya meningkatkan produktifitas. Agar berhasil, insentif hendaknya
cukup sederhana, sehingga mereka yakin prestasi kerja yang akan menghasilkan
imbalan. Insentif yang berhasil dapat menimbulkan imbalan psikologis dan
juga imbalan ekonomi, ada perasaan puas yang timbul dari penyelesaian
pekerjaan yang dilakukan dengan baik insentif yang diberikan kepada kader
sangat memotivasi keaktifannya.
Menurut Aprillia (2009) bahwa rendahnya jumlah insentif yang diterima
kader posyandu, dirasakan masih kurang untuk memotivasi kinerja dan
partisipasi aktif kader dalam kegiatan Posyandu sehingga tanggung jawab
terhadap suksesnya program, cakupan dan kegiatan Posyandu menjadi kurang
maksimal.
Menurut Merry Judd (1997), bentuk insentif yang menurut para kader
membawa dampak positif bagi prestasi mereka adalah: Pertama, seragam, yang
membuat mereka merasa memiliki wewenang dan pembenaran untuk berbicara
serta memberikan instruksi pada penduduk desa untuk melakukan suatu tugas
tertentu. Kedua, penggantian biaya transport. Ketiga, pelayanan kesehatan gratis
di Puskesmas. Keempat, lencana dan sertifikat seperti seragam, lencana
menambah sifat resmi pada pekerjaan mereka. Kelima, honorarium bagi kader
yang agak kaya hanya akan diterima kalau ditawarkan. Keenam, pasokan
peralatan untuk Posyandu seperti alat timbangan, meja, kursi, kertas, buku
laporan, alat tulis, peralatan untuk pemberian makanan tambahan seperti sendok,
mangkok, piring dll. Ketujuh, supervisi teratur dari puskesmas yang dirasakan
42
oleh para kader sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan rasa percaya diri mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penghargaan : Keberadaan kader hendaknya mendapat pengakuan
dan penghargaan yang wajar dan tulus. Semua orang memerlukan
pengakuan atas keberadaannya dan statusnya oleh orang lain.
Keberadaan dan status seseorang tercermin pada berbagai lambang
yang penggunaannya sering dipandang sebagai hak seseorang
(Siagian, 1955). Pengakuan terhadap keberadaan kader dari Pembina
kader di kecamatan perlu diwujudkan dengan prioritas pelayanan
kesehatan gratis, dan adanya pakaian seragam kader (Depkes, 1997).
Teori Maslow dalam Reksohadiprojo dan Handoko (1996), membagi
kebutuhan manusia sebagai berikut:
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang
paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti
makan,minum, perumahan, oksigen, tidur dan sebagainya.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul
kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan
akan rasa aman ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya
kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaannya dan
jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.
3. Kebutuhan Sosial
Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara
43
minimal, maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk
persahabatan, afiliasi dana interaksi yang lebih erat dengan orang lain.
Dalam organisasi akan berkaitan dengan kebutuhan akan adanya
kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama
dan sebagainya.
4. Kebutuhan Penghargaan
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai
atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian
seseorang serta efektifitas kerja seseorang.
5. Kebutuhan Aktualisasi diri
Aktualisasi diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang
paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan
potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk
menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki
seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada
kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang
mengaktualisasikan perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh
kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang
menantang kemampuan dan keahliannya.
Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berkuasa memenuhi
kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (perwujudan diri). Kebutuhan yang lebih
rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi
seperti perwujudan diri mulai mengembalikan perilaku seseorang. Hal yang
44
penting dalam pemikiran Maslow ini bahwa kebutuhan yang telah dipenuhi
memberi motivasi. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia menerima uang yang
cukup untuk pekerjaan dari organisasi tempat ia bekerja, maka uang tidak
mempunyai daya intensitasnya lagi. Jadi bila suatu kebutuhan mencapai
puncaknya, kebutuhan itu akan berhenti menjadi motivasi utama dari perilaku.
Kemudian kebutuhan kedua mendominasi, tetapi walaupun kebutuhan telah
terpuaskan, kebutuhan itu masih mempengaruhi perilaku hanya intensitasnya yang
lebih kecil.
Menurut Ranupandojo dan Husnan (1993) penghargaan terhadap
pekerjaan yang dijalankan, merupakan keinginan dari kebutuhan egoistis,
yang diwujudkan dalam pujian, hadiah (dalam bentuk uang ataupun tidak),
diumumkan kepada rekan-rekan sekerjanya.
Menurut Suryatim (2001) pemberian penghargaan terhadap loyalitas kader
akan sangat membantu untuk mempertahankan keaktifan kader posyandu,
pemberian tugas yang tidak membosankan disertai pujian, melengkapi atribut
saat bertugas akan membuat kinerja kader semakin meningkat.
Dukungan Masyarakat : Dukungan masyarakat dapat dilihat pada
partisipasi masyarakat yang didefinisikan sebagai pengambilan bagian
dalam kegiatan bersama. Partisipasi juga diartikan sebagai kesediaan
untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan
setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Dalam hal ini, menggerakkan partisipasi masyarakat merupakan
usaha untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam rangka
mensukseskan program-program pemerintah. Dukungan masyarakat
45
dapat berupa tanggapan atau respon terhadap informasi yang
diterimanya, keterlibatan dalam perencanaan, keterlibatan dalam
pengambilan keputusan, keterlibatan dalam melakukan hal- hal teknis,
keterlibatan dalam memelihara dan mengembangkan hasil
pembangunan, dan keterlibatan dalam menilai pembangunan.
Dukungan masyarakat dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat,
kepentingan, adat- istiadat dan sifat-sifat komunal yang mengikat
setiap anggota masyarakat. Ndraha (1990) memperlihatkan bahwa
partisipasi masyarakat berfungsi sebagai masukan dan keluaran.
Sebagai keluaran, partisipasi masyarakat dapat digerakkan atau
dibangun. Partisipasi merupakan hasil stimulasi atau motivasi yang
dilakukan oleh penggerak pembangunan. Dukungan suasana (social
support) ditunjukkan oleh masyarakat. Mereka ini adalah tokoh
masyarakat dan pembuat opini umum.
Menurut Widyastuti dan Kristiani (2006) bahwa pemanfaatan pelayanan
kesehatan oleh masyarakat sangat ditentukan oleh peran kader sebagai motor
penggerak dan mendapatkan dukungan oleh tokoh masyarakat (TOMA). Hal
tersebut dikarenakan salah satu tugas utama kader adalah menggerakkan
masyarakat untuk datang ke posyandu. Peran pemerintah, termasuk petugas
kesehatan, hanya sebagai fasilitator untuk lebih memberdayakan masyarakat
dalam kegiatan posyandu. Kegiatan posyandu dikatakan meningkat jika peran
serta masyarakat semakin tinggi yang terwujud dalam cakupan program kesehatan
seperti imunisasi, pemantauan tumbuh kembang balita, pemeriksaan ibu hamil,
dan KB yang meningkat.
46
2.2.7 Kinerja Kader Posyandu
Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggung
jawabnya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara legal
tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika ( Prawira
sentosno, 1999 ). Dengan demikian kinerja merupakan kondisi yang harus
diketahui dan diinformasikan kepada pihak- pihak tertentu untuk mengetahui
sejauh mana tingkat pencapaian suatu instansi dihubungkan dengan visi yang
diemban suatu organisasi.
Menurut Timple (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu
faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, seperti ; kemampuan,
ketrampilan, sikap, perilaku, tanggung jawab. misalnya kinerja seseorang baik
disebabkan karena kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja
keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut
mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak berusaha untuk
memperbaiki kemampuan. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan , seperti
perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan,
fasilitas kerja dan iklim organisasi. Jadi kinerja yang optimal didorong oleh
kuatnya motivasi seseorang.
Menurut Salim (1989) faktor yang mempengaruhi penampilan kerja
sumber daya manusia yang salah satunya kualitas kekaryaan yang dipengaruhi
47
oleh tiga faktor yaitu faktor pribadi seperti kecerdasan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, dan sikap kerja. Faktor lingkungan dalam organisasi
yaitu situasi kerja, kepemimpinan dan tehnologi serta faktor di luar lingkungan
organisasi yaitu seperti nilai sosial ekonomi, sosial budaya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (1992) bahwa
penampilan kerja (performance) itu dipengaruhi oleh faktor fisik dan non
fisik. Istilah yang dikemukannya yaitu: “ACHIVE” , dengan pengertian : Ability
(kemampuan, pembawa), Capacity (kemampuan yang bisa dikembangkan), Help
(dukungan/bantuan untuk mewujudkan perfomance), Incentive (insentif material
dan non material), Environment (lingkungan tempat kerja karyawan), Validity
(pedoman/petunjuk dan uraian kerja), Evaluation (adanya umpan balik hasil
kerja). Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan kader dengan cara
mengikuti kursus, pelatihan dan refreezing secara berkala dari segi pengetahuan,
teknis dari beberapa sektor sesuai dengan bidangnya. Pengetahuan yang dimiliki
oleh kader untuk usaha melancarkan proses pelayanan di posyandu. Proses
kelancaran pelayanan posyandu di dukung oleh keaktifan kader. Aktif tidaknya
kader posyandu dipengaruhi oleh fasilitas (mengirim kader ke pelatihan
kesehatan, pemberian buku panduan, mengikutkan seminar-seminar kesehatan)
penghargaan, kepercayaan yang diterima kader dalam memberikan pelayanan
mempengaruhi aktif/tidaknya seorang kader posyandu. Penghargaan bagi kader
dengan mengikutkan seminar dan pelatihan serta pemberian modul-modul
panduan kegiatan pelayanan kesehatan dengan beberapa kegiatan tersebut
diharapkan kader merasa mampu dalam memberikan pelayanan dan aktif datang
di setiap kegiatan posyandu (Koto dkk,2007).
48
Penurunan kinerja kader disebabkan karena posyandu tidak memiliki
sarana dan prasarana yang lengkap, tidak semua kader mendapat kesempatan
untuk mengikuti pelatihan (Mastuti, 2003).
Untuk itu diperlukan strategi yang berkaitan dengan partisipasi kader
antara lain; Pertama, strategi pemberian insentif akan cukup termotivasikan oleh
gaji atau upah yang memadai dan oleh rasa puas atas pekerjaan yang dilakukan
dengan baik, karena rata-rata pendapatan masyarakat sangat rendah dan penting
memberikan arti kehidupan baginya. Selain ganjaran-ganjaran financial, perlu
juga mencari bentuk penghargaan lain atas usaha dan prestasi untuk
memperkuat sikap-sikap dan perilaku yang diberdayakan (Winardi, 2004). Kedua,
sarana pendukung merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan,
karena merupakan alat yang membuat penting dalam melaksanakan
pekerjaan sehingga dapat memudahkan untuk bekerja dan pekerjaan lebih cepat
serta meningkatkan efektifitas pekerjaan. Dengan memenuhi segala hal yang
mereka perlukan dan keadaaan lingkungan yang memadai untuk menjamin
keberhasilan dalam kegiatan (Dwiantara, 2005). Ketiga, pelatihan untuk
membentuk seseorang menjadi mandiri tersebut meliputi kemandirian berfikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Pelatihan dilakukan
berdasarkan kebutuhan yang akan dicapai berdasarkan identifikasi kebutuhan
yang sesungguhnya (Stewart, 2006). Keempat, faktor budaya, sosial, ekonomi dan
masalah-masalah praktis mempengaruhi kualitas posyandu dan partisipasi
masyarakat.
Menurut pendapat Widagdo (2006) yang merupakan satu-satunya faktor
dari masyarakat yang masih mungkin dapat melakukan dorongan/motivasi secara
49
berkesinambungan dalam pemberdayaan masyarakat adalah faktor tokoh
masyarakat. Peranan pemimpin dan tokoh masyarakat akan sangat penting
apabila mereka aktif untuk mendatangi masyarakat, sering menghadiri
pertemuan-pertemuan, dan dalam setiap kesempatan selalu menjelaskan manfaat
program-program Posyandu. Para pimpinan masyarakat ini aktif pula dalam
mengajak warga masyarakat untuk mengelola kegiatan Posyandu. Apabila
masyarakat melihat bahwa tokoh mereak yang disegani ikut serta dalam kegiatan
tersebut, maka masyarakat pun akan tertarik untuk ikut serta.
Tokoh masyarakat seperti kepala desa selalu mengadakan peninjauan
terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu dan mengikuti kegiatan lain, sehingga
kader akan malu kalau tidak turut serta dan hal ini sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan Melalatoa dan Swasono dalam penelitian Widagdo (2006)
bahwa kades selalu memberi tugas kepada kader dalam pelaksanaan kegiatan
posyandu yang dirasa oleh para kader sebagai suatu perhatian yang dapat
merupakan dorongan bagi kader untuk selalu melakukan kegiatan posyandu. Hal
ini juga sesuai dengan pernyataan dalam penelitian Pramuwito (1998) bahwa
kebiasaan kades untuk selalu mau memperbaiki hubungan dengan kader, misalnya
suatu ketika kader berbuat kesalahan, maka kader tersebut mendapat teguran yang
sangat keras, namun di lain kesempatan kades tersebut telah baik kembali malah
kader tersebut diberinya imbalan.
2.2.8 Penilaian Kinerja Kader Posyandu
Penilaian terhadap kinerja merupakan suatu evaluasi proses terhadap
penentuan dari berbagai nilai dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
50
sebelumnya (Kron,1987). Untuk kinerja kader posyandu, indikator penilaian
kinerja kader telah disusun berdasarkan telaah kemandirian posyandu (TKP)
dalam buku Pedoman ARRIF dikatakan bahwa frekuensi penyelenggaran
posyandu ada 12 kali setiap tahun dan sedikitnya dikatakan posyandu cukup baik
bila frekuensi 8 kali setiap tahun. Jika kurang dari angka tersebut dianggap
Posyandu tersebut masih rawan. Demikian juga keberadaan kader di Posyandu ,
bila kader kurang aktif dinyatakan jika tidak hadir untuk bekerja di Posyandu
kurang dari 8 kali dalam satu tahun.
Selain kehadiran kader penilaian kinerja kader juga dapat dilihat dari
peran dan fungsi kader posyandu yang dijabarkan dalam kegiatan pelaksanaan
posyandu seperti melaksanakan pencatatan dan pelaporan, membuat absensi
kehadiran, melaksanakan penyuluhan kesehatan, melakukan penimbangan balita,
merujuk bila ada masalah kesehatan pada balita dan ibu hamil dan lain
sebagainya.
51
52