39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan roh menjadi sebuah teka-teki bagi manusia; sejak dari masa sebelum Al-masih, masalah jiwa manusia atau roh ini menjadi bahan pembahasan pokok dalam dunia filosofi. Dimulai dari masa Socrates, Plato, Aristoteles, sampai Neo-Platonik, manusia berusaha untuk menerka apa dan bagaimana hakikat dari roh itu? Apakah itu riil ada atau hanya sebuah kiasan kata yang tidak mempunyai bentuk makna sama sekali. Adalah Socrates yang beranggapan bahwa badan manusia adalah alat dari jiwa manusia yang diibaratkan dengan kapal dan nahkodanya: nahkodanya adalah jiwa dan kapalnya badan, dan badan tidak lebih dari sekedar alat bahkan dianggap sebagai penjara bagi jiwa, karena dengan adanya jiwa dalam tubuh itu membuat jiwa tidak bebas bergerak dan berfikir. Alasan inilah yang menyebabkan dia

BAB I - Kumpulan Pikiran – Dengan Berpikir Kita … · Web viewBerdasarkan masalah di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah gejala umum kejiwaan manusia

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan roh menjadi sebuah teka-teki bagi manusia; sejak dari masa

sebelum Al-masih, masalah jiwa manusia atau roh ini menjadi bahan pembahasan

pokok dalam dunia filosofi. Dimulai dari masa Socrates, Plato, Aristoteles, sampai

Neo-Platonik, manusia berusaha untuk menerka apa dan bagaimana hakikat dari roh

itu? Apakah itu riil ada atau hanya sebuah kiasan kata yang tidak mempunyai bentuk

makna sama sekali.

 Adalah Socrates yang beranggapan bahwa badan manusia adalah alat dari

jiwa manusia yang diibaratkan dengan kapal dan nahkodanya: nahkodanya adalah

jiwa dan kapalnya badan, dan badan tidak lebih dari sekedar alat bahkan dianggap

sebagai penjara bagi jiwa, karena dengan adanya jiwa dalam tubuh itu membuat jiwa

tidak bebas bergerak dan berfikir. Alasan inilah yang menyebabkan dia tidak

menolak atau lari dari hukuman yang dijatuhkan kepadanya untuk minum racun, dan

ia malah menyambutnya dengan senang hati karena ia akan terlepas dari penjara

badan dan akan bebas untuk berfikir.

Plato adalah murid dari Socrates yang memiliki pandangan yang tidak jauh

berbeda dengan Socrates, dia menganggap bahwa dunia ini dan segala yang ada

hanyalah bayangan dari sebuah alam, alam lain, yang terpisah dari alam ini, yang

disebut alam ideal (alam hakiki), dan segala yang ada di alam ini adalah semu.

Dengan demikian badan kita bukanlah badan sebenarnya, menurut dia, karena masih

ada alam lain yang merupakan alam sebenarnya.

Datang setelah Plato, sebuah aliran baru yang bernama aliran Aristoteles,

yang lebih rasionalis dan mengembalikan pikiran manusia dari dunia khayal atau

dunia langit ke bumi, karena dia memandang segala sesuatu atas apa yang terjadi

atau fakta, dia tidak meyakini akan adanya alam ideal, dan ia menganggapnya ia

hanyalah sebuah istilah yang tidak ada dalam realita. maka diapun beranggapan

bahwa jiwa itu mati setelah badannya mati.

Demikian asumsi-asumsi atau pandangan para pendahulu filosof tentang jiwa

manusia. Dan pikiran inilah yang pertama kali menjadi perbincangan para pendahulu

Eropa yang mengambil pemikiran filsafat Yunani dari terjemahan dan karangan

bangsa Muslim Arab, terutama Ibnu Rusydi (Averroes) dan Ibnu Sina (Avicenna)

yang masuk Eropa lewat Andalusia (Spanyol) ketika masa ekspansi Islam yang

dilakukan oleh Daulah Umawiyah yang terkenal dengan masa kejayaan Islam dengan

budaya ilmiyahnya dan melahirkan banyak tokoh berpengaruh dalam permulaan

pengembangan ilmu pengetahuan Eropa yang sebelumnya sempat macet selama

berada dalam masa kegelapan, dan ilmu pengetahuan hanya terbatas pada kaum

gereja.

Terdapatlah sebuah gerakan terkenal dengan nama Averroeism di Eropa, yang

beraliran Aristotelian, disamping yang dibawa oleh St. Thomas Equinas. Diantara

pengikut dan pembela Averroism ini adalah Seagar Baraban; dia beranggapan bahwa

jiwa itu ikut mati dengan matinya jasad, dan dia beranggapan bahwa balasan

perbuatan manusia tidak harus di akhirat, bisa terjadi di dunia; namun demikian, dia

tidak sampai berpendapat sebagaimana John Scout Eurigiena yang beranggapan

bahwa siksa dan pahala itu adalah perasaan yang kita rasakan di dunia ini: perasaan

menyesal dan tersiksa ketika kita melakukan kesalahan, dan perasaan senang dan

bahagia ketika melakukan kebaikan.

Namun, perdebatan tentang asal usul roh dan jiwa ini mengalami masa surut

dan hampir terhapus, tepatnya menjelang memasuki abad 14. dimulai dari

munculnya seorang filosof yang bernama William Okam yang mengkritik pendapat

St. Thomas Aquinas dan kaum Skolastik tentang bukti adanya Tuhan dan yang

sejenisnya, dia tidak mempercayai kecuali apa yang ada dan bisa disaksikan, dia

menganggap bahwa jiwa manusia tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Dengan

demikian dia tidak mempercayai adanya jiwa atau roh manusia maupun kekelannya

untuk mendapatkan pembalasan atas apa yang telah dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah gejala umum kejiwaan manusia dan proses berpikir manusia

dalam pemecahan masalah.

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gejala umum

kejiwaan manusia dan proses berpikir manusia dalam pemecahan masalah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Jiwa Manusia

Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah

(immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan

kepribadian dan sinonimous dengan roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi, jiwa

dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama

mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda

mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.

Penggunaan istilah jiwa dan roh seringkali sama, meskipun kata yang pertama

lebih sering berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua. Jiwa dan

psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi

fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama. Sedangkan

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa memiliki arti roh manusia (yang

ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa.

B. Gejala Umum Kejiwaan Manusia

Manusia diciptakan oleh Allah SWT melalui fase-fase pertumbuhan dan

perkembangan, yang dalam prosesnya mengalami interaksi (saling mempengaruhi)

antara kemampuan dasar (pembawaan) dengan kemampuan yang diperoleh (hasil

belajar/pengaruh lingkungan). Terdapat perbedaan pendapat dalam pengertian

pertumbuhan perkembangan pertumbuhan diartikan ahli biologi sebagai suatu

penambahan dalam ukuran bentuk, berat atau ukuran dimensi tubuh, perkembangan

dimaksudkan untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam bentuk atau bagian

tubuh dan integrasi berbagai bagiannya ke dalam suatu kesatuan fungsional, bila

pertumbuhan itu berlangsung.

Langfeld dan boring, menggunakan pengairan kematangan untuk

pertumbuhan, sedang, perkembangan, diterapkan pada baik sebelum tingkah laku

yang tidak dipelajari itu terjadi, maupun sebelum terjadinya proses belajar dari

tingkah laku yang khusus. Istilah “kematangan” mencakup didalamnya pengertian

pertumbuhan dan perkembangan, maka seseorang telah dianggap “matang”, apabila

fisik dan psikisnya masalah pertumbuhan dan perkembangan, telah mengalami

pertumbuhan dan perkembangan sampai pada tingkat-tingkat tertentu.

Sedangkan istilah “perkembangan” adalah berhubungan erat dengan pertumbuhan

maupun kemampuan-kemampuan pembawaan dari tingkah laku yang pekat terhadap

rangsangan-rangsangan sekitar.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pertumbuhan berkenaan dengan

penyempurnaan, sedangkan perkembangan dengan penyempurnaan fungsi. Baik

pada pertumbuhan maupun pada perkembangan tersangkut pula perihal kematangan

yang merupakan masa yang terbaik bagi berfungsinya/perkembangannya dengan

cepat aspek “kepribadian tertentu”. Pada proses perkembangan manusia, perubahan

meliputi beberapa aspek baik fisik maupun psikis, perubahan tersebut dapat dibagi

menjadi empat kategori utama, yaitu: 1) perubahan dalam ukuran, 2) perubahan

dalam perbandingan, 3) berubah untuk mengganti hal-hal yang lam, 4) berubah

untuk memperoleh hal-hal yang baru.

1. Perkembangan Jiwa Manusia

Di dalam psikologi, proses sensasi dan persepsi berbeda sensasi ialah

penerimaan stimulus melalui ialah indera, sedangkan persepsi adalah menafsirkan

stimulus yang telah ada dalam otak. Sensasi tanpa persepsi/sensasi murni jarang

terjadi sensasi murni mungkin terjadi dalam peristiwa dimana rangsang warna

ditunjukkan untuk pertama kali kepada seseorang yang sejak lahirnya buta dan

tiba-tiba dapat melihat. Pada bayi yang baru lahir, bayangan-bayangan yang

sampai ke otak masih bercampur aduk, sehingga belum dapat membedakan

benda-benda dengan jelas. Makin besar anak itu makin baiklah struktur susunan

syarat otaknya sehingga mampu mengenali obyek satu persatu.

2. Belajar dan Berfikir

Belajar adalah suatu proses dimana suatu tingkah laku ditimbulkan atau

diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi/rangsang yang terjadi. Pada

manusia proses belajar tidak hanya menyangkut aktifitas berfikir saja, tetapi

terutama menyangkut kegiatan otak, yaitu berfikir. Ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi prose belajar yaitu;

a. Waktu istirahat, dalam waktu istirahat sebaiknya tidak banyak melakukan

kegiatan yang mengganggu pikiran,

b. Pengetahuan tentang materi yang dipelajari secara menyeluruh. Untuk

melakukan hal ini diperlukan taraf kecerdasan yang relatif tinggi.

c. Pengertian terhadap materi yang dipelajari, tanpa pengertian kita akan

mendapat kesulitan.

d. Pengetahuan akan prestasi sendiri. Pengetahuan dan prestasi sendiri akan

mempercepat kita dalam mempelajari sesuatu.

3. Transfer

Transfers dapat bersifat positif. Jika hal yang lalu mempermudah proses belajar

yang sekarang/dapat juga bersifat negatif jika proses belajar yang lalu justru

mempersulit proses belajar yang sekarang. Sudah dikatakan diatas, bahwa proses

belajar pada manusia erat sekali hubungannya dengan proses berfikir, yaitu

tingkah laku yang menggunakan ide. Macam-macam kegiatan berfikir dapat kita

golongkan sebagai berikut :

a. Berfikir asosiasi, yaitu proses berfikir dimana suatu ide merangsang

timbulnya ide lain secara bebas

b. Berfikir terarah yaitu berfikir yang sudah ditentukan sebelumnya dan

diarahkan pada pemecahan suatu masalah. Kesimpulan seseorang berfikir

bukan saja dengan otaknya, tetapi dengan seluruh tubuhnya.

4. Mengingat

Ingatan adalah bukti bahwa seseorang telah belajar, semua orang mengingat

banyak hal setiap harinya, tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pengalaman

masa lalu yang di ingatnya karena itu, mengingat dapat didefinisikan sebagai

pengetahuan sekarang tentang pengalaman masa lampau. Mengingat dapat terjadi

dalam beberapa bentuk :

a. Rekognisi adalah mengingat sesuatu apabila sesuatu itu dikembangkan pada

indera.

b. Redall adalah apabila kita sadar bahwa kita telah mengalami sesuatu dimasa

lampau tanpa mengenakan pada indera kita

c. Reproduksi adalah mengingat dengan cukup tepat untuk memproduksi bahan

yang pernah dipelajari.

d. Performance adalah mengingat kebiasaan,-kebiasaan yang sangat otomatis.

Untuk melakukan semua itu pertama-tama kita harus memperoleh materinya

yang merupakan langkah utama dalam keseluruhan proses yang bertitik puncak

pada mengingat.

5. Emosi

Menurut English and English, emosi adalah “A com plex feeling state

accompanied by characteristic motor dan glandular act ivies” (suatu keadaan

perasaan yang kompleks ang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris).

Emosi merupakan warna efektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku

individu, baik pada tingkat yang lemah maupun tingkat yang kuat. Warna efektif

pada seseorang mempengaruhi pula pandangan orang tersebut terhadap obyek

atau situasi di sekelilingnya ia dapat menyukai atau tidak menyukai sesuatu.

Emosi dapat dikelompokkan keadaan 2 bagian, yaitu:

a. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar

terhadap tubuh

b. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, meliputi:

perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan susila, perasaan keindahan,

perasaan ketuhanan

Emosi sebagai suatu peristiwa psikologi mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

a. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologi lainnya seperti

pengamatan dan berfikir

b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap)

c. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.

6. Fase dan Ciri-Ciri Perkembangan dan Pertumbuhan

Pertumbuhan dan perkembangan ini sudah mulai sejak bertemunya sel

telur dengan sperma dalam kandungan, lahir sampai dewasa. Pertumbuhan dan

perkembangan ini menyangkut bidang jasmani dan rohani. Istilah pertumbuhan

dan perkembangan, meskipun saling melengkapi, sebenarnya mempunyai arti

yang berbeda. Pertumbuhan mengandung asli adanya perubahan dalam

ukuran/fungsi mental-mental dan akan tampil adanya penambahan jumlah/ukuran

dari hal-hal yang telah ada, sedangkan perkembangan mengandung makna

pemunculan hal yang baru dan akan tampak adanya sifat-sifat yang baru, berbeda

dari sebelumnya.

Dalam peristiwa pertumbuhan hanya menumbuhkan apa yang telah ada

dan banyak bergantung pada faktor luar. Sedangkan pada perkembangan telah

ada suatu potensi yang menentukan arah perkembangannya kelak, dengan

demikian, yang dikeluarkan dalam perkembangan adalah waktu dan perawatan

agar potensi yang lelah ada terealisasi.

Meskipun demikian, antara dua peristiwa tersebut, harus ada

keseimbangan yang sehat, kalau tidak akan menimbulkan ketidak

normalan/penyimpangan-penyimpangan. Selama perkembangannya, kehidupan

individu itu tidak statis melainkan dinamis, dan pengalaman belajar harus seusai

dengan sifat-sifatnya dalam masa perkembangan tersebut.

C. Proses Berpikir

Mengenai soal berpikir ini terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang

menganggap sebagai suatu proses asosiasi saja; pandangan semacam ini

dikemukakan oleh kaum Asosiasionist. Sedangkan Kaum Fungsionalist memandang

berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons.

Diantaranya ada yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan

psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Secara sederhana,

berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih

formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi

dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory.

Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item

(Khodijah, 2006:117). Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip

Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan

seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah,

2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk

melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental

seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.

Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang

berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran

tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang

melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir

diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan

pada solusi.Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan

konsep di dalam diri seseorang.

Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan

hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang

yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir

pada dasarnya adalah proses psikologisKemampuan berfikir pada manusia alamiah

sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya

memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang relatif berbeda.

Ada berbagai jenis dan tipe berpikir. Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah,

2006: 118) membagi dua jenis berpikir, yaitu berpikir autistik dan berpikir langsung.

Berpikir autistik (autistic thinking) yaitu proses berpikir yang sangat pribadi

menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi.

Berpikir langsung (directed thinking) yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.

Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir,

yaitu:1. Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat

tertentu2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa

dibesarkan atau disempurnakan keluasannya.3. Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir

menganai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu.4. Berpikir

analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar

kemiripannya.5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan

pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.6. Berpikir pendek,

yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan

seringkali tidak logis.Sedangkan menurut De Bono (1989 dalam Khodijah,

2006:119) mengemukakan dua tipe berpikir, sebagai berikut.1. Berpikir vertikal

(berpikir konvergen) yaitu tipe berpikir tradisional dan generatif yang bersifat logis

dan matematis dengan mengumpulkan dan menggunakan hanya informasi yang

relevan.2. Berpikir lateral (berpikir divergen) yaitu tipe berpikir selektif dan kreatif

yang menggunakan informasi bukan hanya untuk kepentingan berpikir tetapi juga

untuk hasil dan dapat menggunakan informasi yang tidak relevamn atau boleh salah

dalam beberapa tahapan untuk mencapai pemecahan yang tepat.

D. Proses Berpikir Manusia Dalam Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan

perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil

yang diinginkan (Hunsaker, 2005).  Salah satu bagian dari proses pemecahan

masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan

sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker,

2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil

dari pemecahan masalah yang dilakukan. 

Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang

dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang

sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari-hari.

Pekerjaan seorang manajer, secara khusus,  merupakan pekerjaan yang mengandung

unsur pemecahan masalah di dalamnya. Bila tidak ada masalah di dalam banyak

organisasi, mungkin tidak akan muncul kebutuhan untuk mempekerjakan para

manajer. Untuk itulah sulit untuk dapat diterima bila seorang yang tidak memiliki

kompetensi untuk menyelesaikan masalah, menjadi seorang manajer (Whetten &

Cameron, 2002). 

Ungkapan di atas memberikan gambaran yang jelas kepada kita semua bahwa

sulit untuk menghindarkan diri kita dari masalah, karena masalah telah menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, baik kehidupan sosial, maupun

kehidupan profesional kita. Untuk itulah penguasaan atas metode pemecahan

masalah menjadi sangat penting, agar kita terhindar dari tindakan Jump to

conclusion, yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap suatu masalah tanpa melalui

proses analisa masalah secara benar, serta didukung oleh bukti-bukti atau informasi

yang akurat. Ada kecenderungan bahwa orang-orang, termasuk para manajer

mempunyai kecenderungan alamiah untuk memilih solusi pertama yang masuk akal

yang muncul dalam benak mereka (March & Simon, 1958; March, 1994; Koopman,

Broekhuijsen, & Weirdsma, 1998). Sayangnya, pilihan pertama yang mereka ambil

seringkali bukanlah solusi terbaik.  Secara tipikal, dalam pemecahan masalah,

kebanyakan orang menerapkan solusi yang kurang dapat diterima atau kurang

memuaskan, dibanding solusi yang optimal atau yang ideal (Whetten & Cameron,

2002). Pemecahan masalah yang tidak optimal ini, bukan tidak mungkin dapat

memunculkan masalah baru yang lebih rumit dibandingkan dengan masalah awal.

Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui dua metode yang berbeda, yaitu

analitis dan kreatif. Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang

pemecahan masalah secara analitis dan kreatif, serta perbedaan-perbedaan yang ada

diantara keduanya, maka pada bagian berikut , saya akan  menjelaskan secara singkat

hal tersebut di atas. 

1. Pemecahan Masalah Secara Analitis

Metode penyelesaian masalah secara analitis merupakan pendekatan yang

cukup terkenal dan digunakan oleh banyak perusahaan, serta menjadi inti dari

gerakan peningkatan kualitas (quality improvement). Secara luas dapat diterima

bahwa untuk meningkatan kualitas individu dan organisasi, langkah penting yang

perlu dilakukan adalah mempelajari dan menerapkan metode pemecahan masalah

secara analitis (Juran, 1988; Ichikawa, 1986; Riley, 1998).  Banyak organisasi

besar (misalnya : Ford Motor Company, General Electric, Dana) menghabiskan

jutaan Dolar untuk mendidik para manajer mereka tentang metode pemecahan

masalah ini sebagai bagian dari proses peningkatan kualitas yang ada di

organisasi mereka (Whetten & Cameron, 2002). Pelatihan ini penting agar para

manajer dapat berfungsi efektif, yang salah satu cirinya adalah pada

kemampuannya untuk memecahkan masalah.  Hal ini sejalan dengan pendapat

dari Hunsaker (2005) yang menyatakan bahwa manajer yang efektif, seperti

halnya Pemimpin Eksekutif Porsche, Wendelin Wiedeking, mengetahui cara

mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang dapat menerangkan tentang

masalah yang terjadi, mengetahui manfaatnya bila kita memiliki lebih dari satu

alternatif pemecahan masalah, dan memberikan bobot kepada semua implikasi

yang dapat terjadi dari sebuah rencana, sebelum menerapkan rencana yang

bersangkutan.

2. Definisikan Masalah  

Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan metode analitis adalah

mendefinisikan masalah yang terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan

diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan

perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang

muncul. Sebagai contoh : Seorang manajer yang mempunyai masalah dengan

staf-nya yang kerapkali tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya pada waktu

yang telah ditentukan. Masalah ini bisa terjadi karena, cara kerja yang lambat dari

staf yang bersangkutan. Cara kerja yang lambat, bisa saja hanya sebuah gejala

dari permasalahan yang lebih mendasar lagi, seperti misalnya masalah kesehatan,

moral kerja yang rendah, kurangnya pelatihan atau kurang efektifnya proses

kepemimpinan yang ada.

Agar kita dapat memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya,

dan bukan pada gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mendefiniskan

suatu masalah, diperlukan upaya untuk mencari informasi yang diperlukan

sebanyak-banyaknya, agar masalah dapat didefinisikan dengan tepat.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari pendefinisian masalah yang

baik:

a. Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif dipisahkan dari

persepsi

b. Semua pihak yang terlibat diperlakukan sebagai sumber informasi

c. Masalah harus dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal ini seringkali dapat

menghindarkan kita dari pembuatan definisi yang tidak jelas

d. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian

antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya  dan kenyataan

yang terjadi.

e. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak-pihak yang

terkait  atau berkepentingan dengan terjadinya masalah.

Definisi yang dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Contoh:

Masalah yang kita hadapi adalah melatih staf yang bekerja lamban.

3. Buat Alternatif Pemecahan Masalah.

  Langkah kedua yang perlu kita lakukan adalah membuat alternatif

penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan dapat menunda untuk

memilih hanya satu solusi, sebelum alternatif solusi-solusi yang ada diusulkan.

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan pemecahan

masalah (contohnya oleh March, 1999) mendukung pandangan bahwa kualitas

solusi-solusi yang dihasilkan akan lebih baik bila mempertimbangkan berbagai

alternatif (Whetten & Cameron, 2002).

Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif

masalah yang baik:

a. Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih

dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.

b. Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam

penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan

alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.

c. Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau

kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses

organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.

d. Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi

yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.

e. Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya.

Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila

dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan

jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan

paket kompensasi yang menarik.

f. Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang

telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga

penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi

pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.

4. Evaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah

Langkah ketiga dalam proses pemecahan masalah adalah melakukan

evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang diusulkan atau tersedia. Dalam tahap

ini , kita perlu berhati-hati dalam memberikan bobot  terhadap keuntungan dan

kerugian dari masing-masing alternatif yang ada, sebelum membuat pilihan

akhir.  Seorang yang terampil dalam melakukan pemecahan masalah, akan

memastikan bahwa dalam memilih alternatif-alternatif yang ada dinilai

berdasarkan:

a. Tingkat kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa

menyebabkan terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.

b. Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat di dalamnya

c. Tingkat kemungkinan penerapannya

d. Tingkat kesesuaiannya dengan batasan-batasan yang ada di dalam organisasi;

misalnya budget, kebijakan perusahaan, dll.

Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi alternatif-alternatif 

pemecahan  masalah yang baik:

a. Alternatif- alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar 

yang optimal, dan bukan sekedar standar yang memuaskan

b. penilaian terhadap alternative-alternatif yang ada dilakukan secara sistematis,

sehingga semua alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan,

c. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan

tujuan organisasi dan mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang

terlibat didalamnya.

d. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mungkin

ditimbulkannya, baik secara langsung, maupun tidak langsung

e. Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara eksplisit/tegas.

5. Terapkan Solusi dan Tindak- Lanjuti

Langkah terakhir dari metode ini adalah menerapkan dan menindak-lanjuti

solusi yang telah diambil. Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap

suatu masalah, kita perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya

resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan

tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi. Karena itulah seorang

yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih

strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi

pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan

penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron,

2002).

Berikut adalah karakteristik dari penerapan dan langkah tindak lanjut yang

efektif:

a. Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar.

Penerapan tidak mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan

terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan.

b. Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan strategi “sedikit-demi

sedikit” dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya resistensi dan

meningkatkan dukungan.

c. Proses penerapan solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik.

Berhasil tidaknya penerapan solusi, harus dikomunikasikan ,  sehingga terjadi

proses pertukaran informasi

d. Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena dampak dari penerapan

solusi dianjurkan dengan tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen

e. Adanya sistim monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara

berkesinambungan. Dampak jangka pendek, maupun jangka panjang diukur.

Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi didasarkan atas

terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang

diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini. Sebuah solusi tidak dapat

dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama tidak

terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif lainnya.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang.

Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonimous dengan

roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah

seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah

pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa,

kepercayaan ini disebut animisme. Berpikir adalah penyusunan ulang atau

manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang

disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol

dari beberapa peristiwa atau item.

Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan

perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil

yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah

pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih

solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang

tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang

dilakukan. 

B. Saran

Perkembangan jiwa manusia berpengaruh pada proses berpikir sehingga

makin baik kondisi kejiwaan seseorang maka cara berpikirnya akan lebih baik pula.

Pola pikir yang baik akan membantu seseorang dalam memecahkan suatu masalah.

Pengambilan keputusan atas alternatif-altertanatif pilihan yang dihasilkan oleh proses

berpikir dalam menyelesaikan sebuah masalah sangat tepat jika didorong oleh cara

berpikir yang baik dari kondisi jiwa yang tenang.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad (1976), Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia, Jakarta : Bulan Bintang.

Khodijah, Nyayu. 2006. Psikologi Belajar. Palembang: IAIN Raden Fatah Press

Suriasumantri (ed), 1983. Psikologi Pendidikan.

Suryabarata, Sumadi. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Wagito, Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Whiterington. 1982. Psikologi Pendidikan. Diakses dari http://www.andragogi.com

Rochmah, Elfi Yuliana (2005), Psikologi Perkembangan, Ponorogo : Teras.

Fauzi, Ahmad (2004), Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia.

Yusuf, Syamsu (2004), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Rosda.

Kartono, Kartini (1995), Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung : Mandar Maju.

Sukmadinata, Nana Syaodih (2003), Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : Rosda.

Soesilowindradini (tt), Psikologi Perkembangan (Masa Remaja), Surabaya : Usaha.

Singgah (2002), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta ; BPK Gunung Mulia

TUGAS MAKALAH

GEJALA UMUM KEJIWAAN DAN PROSES BERPIKIR DALAM PEMECAHAN MASALAH

OLEH :

NAMA : ROSTINAHNIM :KELAS : 1 A

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AVICENNA

KENDARI

2009