Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada masa pembangunan saat ini Bangsa Indonesia sedang menuju
proses demokratisasi dan transparansi dalam proses menuju masyarakat
adil dan makmur yang merata, materiil dan sepiritual serta guna
peningkatan kesejahteraan dan harkat martabat manusia, yang berdasarkan
Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945.
Permasalahan mengenai jumlah tenaga kerja yang ada di Indonesia yang
tidak simbang dangan jumlah lapangan kerja yang tersedia menjadi topik yang
sering didengar. Terlebih lagi terjadinya pergeseran lapangan pekerjaan
masyarakat Indonesia dari sektor agraris menuju ke sektor industri dan jasa.
Karena adanya perubahan jenis pekerjaan mengakibatkan adanya perubahan
paradigma yang semula bersifat material ( physical asset ) bergeser menuju
persaingan pengembangan pengetahuan ( knowledge based competition ).1
Perubahan tersebut menuntut adanya efisiensi dan efektifitas penggunaan
sumber daya manusia sebagai landasan bagi setiap organisasi / institusi agar
mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif.2
1Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi Cetakan ke 3, Jakarta Sinar Grafika,
2013, hlm 75 2Lancort & Ulrich dalam wahibur Rokhman, 2002, Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya
Mencapai Kesuksesan Organisasi dalam Menghadapi Persaingan Global, Amara Books,
Jogjakarta, hlm.122
Berdasarkan data Tingkat Pengangguran Terbuka dari Badan Pusat Statistik
tahun 2018 mengalami penurunan berupa :3
Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 131,01 juta orang,
naik 2,95 juta orang dibanding Agustus 2017.Penduduk yang bekerja sebanyak
124,01 juta orang, bertambah 2,99 juta orang dari Agustus 2017, dan
ketersediaan lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase
penduduk yang bekerja terutama pada Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum (0,47 persen poin), Industri Pengolahan (0,21 persen poin), dan
Transportasi (0,17 persen poin). Sementara lapangan pekerjaan yang
mengalami penurunan utamanya pada Pertanian (0,89 persen poin), Jasa
Lainnya (0,11 persen poin), dan Jasa Pendidikan (0,05 persen poin).
Akan tetapi masih ada permasalahan mengenai kedudukan yang tidak
seimbang antara pengusaha dan pekerja masih terjadi dan menjadi faktor yang
menyebabkan posisi tawar menawar tidak efektif dan cenderung tidak
seimbang. Selain itu pengusaha sering beranggapan bahwa pekerja hanya
sebagai objek dalam hubungan kerja. Pekerja dianggap sebagai faktor ekstern
yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli
yang berfungsi menunjang keberlangsungan perusahaan dan bukan faktor
intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutif
yang menjadikan perusahaan.4 Sehingga keadaan ini menimbulkan
kecenderungan pengusaha untuk berbuat sewenang – wenang kepada
pekerjanya. Menurut buku Asri Wijayanti, “Pekerja dianggap sebagai faktor 3www.bps.com, diakses pada tanggal 3 Desember 2018, pukul 00.30.
4Asri Wijayanti, op.,cit , hlm 76
http://www.bps.com/
ekstern yang berkedudukan sama dengan pemasok atau pelanggan yang
berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan sebagai bagian
faktor intern yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutif yang
menjadikan perusahaan”5.
Mengingat hal tersebut, pengawasan dan perlindungan hukum bagi
tenaga kerja sangat diperlukan, dimana dengan adanya pengawasan dan
perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang tidak hanya diukur secara yuridis
saja tetapi juga harus diukur secara sosiologis dan filosifis6, karena pada
dasarnya setiap pembangunan selalu disertai dengan perubahan-
perubahan termasuk perubahan dalam pengambilan keputusan oleh
pemerintah, pengambilan keputusan tersebut ternyata telah mengubah
sikap dan perilaku masyarakat termasuk pekerja atau buruh dalam
menyampaikan aspirasinya.
Dalam Pasal 28 E Ayat (3) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 secara tegas dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, dan Pasal
tersebut pula juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
melalui Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi,dimana Konvensi ILO Nomor 98
membahas mengenai berlakunya Dasar – dasar untuk Berorganisasi dan untuk
5Ibid., hlm 9
6Zainal Asikin, Dasar – Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.
5.
Berunding Bersama.7Maka dari itu kedua konvensi tersebut dapat dijadikan
landasan pekerja untuk berorganisasi dengan mendirikan Serikat Pekerja8. Hal
ini diatur lebih lanjut pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja, dengan adanya pengaturan ini diharapan memberikan perlindugaan
hukum terhadap pekerja.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 17 Undang – Undang Nomor 13
Tahun 2003 junto Pasal 1 Angka 1 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja,Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan mapun diluar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela, serta melindungi kepentingan pekerja serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Di dalam penjabaran tersebut dapat ditarik pemahaman bawasanya setiap
pekerja boleh mendirikan suatu serikat pekerja di perusahaan dan Serikat
Pekerja di luar perusahaan. Serikat Pekerja di perusahaan yaitu serikat
pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu
perusahaan atau di beberapa perusahaan (Pasal 1 Aangka 2 Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja). Sedangkan yang dimaksud
Serikat Pekerja di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang
didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan (Pasal 1
angka 3 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja).
7Zaeni Asyhadie , Hukum Kerja ( Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja ), Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2012, hlm 20 8Ibid.,hlm 19
Berdasarkan sifat dari Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh memiliki sifat yakni: bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab yang bertujuan utuk memberikan
perlindungan , pembelaan hak dan kepentigan serta mengkatkan kesejahteraan
yang layak bagi pekerja dan keluarganya .9
Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja,
menganut multi union system yaitu memberikan kebebasan kepada
pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja, menegaskan bahwa pembentukan serikat pekerja dapat dilakukan
jika10
:
- Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang pekerja/buruh atas kehendak bebas tanpa tekanan atau
campur tangan pengusaha , pemerintah dan pihak manapun dan setiap
pekerja dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjan, atau
bentuk lain sesuai kehendak pekerja, ( Pasal 5 Undang-Undang Nomor
21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja );
- Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh atas kehendak bebas
tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha , pemerintah dan pihak
manapun dan setiap pekerja dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha,
9Koesparmono Irsan, Hukum Tenaga Kerja ( Suatu Pengnntar ), Jakarta, Erlangga, 2016, hlm 33
10Maimun,SH, Hukum Ketenagakerjaan ( Suatu Pengantar),Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2003,
hlm29
jenis pekerjan, atau bentuk lain sesuai kehendak pekerja ( Pasal 6
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja );
- Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh atas kehendak
bebas tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha , pemerintah dan
pihak manapun dan setiap pekerja dapat dibentuk berdasarkan sektor
usaha, jenis pekerjan, atau bentuk lain sesuai kehendak pekerja ( Pasal 7
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
Serikat Pekerja juga dapat dibentuk berdasarkan kesamaan sektor usaha,
jenis usaha, atau lokasi tempat kerja dan dapat berafiliasi dengan serikat
pekerja Internasional atau orgnisasi Internasional lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku.11
Berdasarkan hal tersebut pembentukan serikat pekerja/serikat buruh dapat
dilakukan jika : “ Setiap serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga dimana sekurang-kurangnya memuat ( Pasal
11 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja) :
1. Nama dan lambang;
2. Dasar negara, asas, dan tujuan;
3. Tanggal pendirian;
4. Tempat kedudukan;
11
Abdul Rachmad Budiono,SH,MH, Hukum Perburuhan di Indonesia, jakarta, PT Raja Grafindo
persada,1995,hlm 45
5. Keanggotaan dan kepengurusan;
6. Sumber dan pertanggung jawaban keuangan; dan
7. Ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga.
Serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat buruh harus terbuka untuk
menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku dan jenis
kelamin, sedangkan pasal 13 dalam Undang - Undang Nomor 21 tentang
Serikat Buruh memberikan kebebasan bagi serikat pekerja / serikat buruh
untuk mengatur tentang keanggotaan berdasarkan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga masing-masing serikat buruh, meskipun begitu
Undang - Undang juga memberikan syarat berkaitan dengan keanggotaan
serikat buruh, sebagai berikut:
1. Seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh di satu perusahaan.
2. Dalam hal seorang pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan ternyata
tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang
bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat
buruh yang dipilihnya.
Demikian halnya jika buruh hendak berhenti dari keanggotaan suatu
serikat buruh, maka Serikat Pekerja menyatakan bahwa pekerja yang
bersangkutan harus membuat pernyataan pengunduran dirinya secara tertulis.
Dan dalam ketentuan Pasal 25 Ayat 1 Huruf C dalam Undang – Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentangSerikatPekerja “ Serikat pekerja/ serikat
buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh yang telah
berhak mempunyai nomor bukti pencataan berhak mewakili pekerja / buruh
dalam lembaga ketenaga kerjaan,” maka dari itu serikat pekerja harus di
daftarkan ke Dinas Ketenagakerjaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setelah dibentuknya serikat pekerja,
federasi serikat pekerja, konfederasi serikat pekerja harus didaftarkan dan
dicatatkan di Dinas Ketenagakerjan Kabupaten atau Kota setempat wilayah
domisili dari serikat pekerja, federasi serikat kerja maupun konfederasi
serikat pekerja. Jika serikat pekerja, Federasi maupun Konfederasi serikat
kerja telah di catatkan dan daftarkan maka serikat pekerja akan memperoleh
bukti pencatatan dan sudah memiliki hak dan kewajiban sebagai serikat
pekerja salah satunya berhak mewakili anggotanya beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial.
Terkait dengan persoalan keabsahan Serikat Pekerja mewakili anggotanya
terdapat kasus dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat I
Nomor 42/PDT.SUS-PHI/2016/PN SMG dan Putusan Kasasi Nomor
349.K/PDT-SUS-PHI/2017, yang mana dihasilkan putusan yang berbeda
terhadap tersebut, uraikan singkat kasus sebagai berikut:
1. Pihak yang ada dalam Perkara Perselisihan Hubungan Industrial ini antara
lain yakni: Mochmad Nasori selaku Penggugat , umur 46 tahun, laki – laki,
yang merupakan karyawan PT Sinar Mas Multifinace yang bertempat tinggal
di Dukuh Karangwidoro RT 001/RW. 006, Kelurahan Karang Asem Utara,
Kabupaten Batang, yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya M.A Tholib,
selaku anggota DPC PPMI ( Dewan Pengurus Cabang Persaudaraan Pekerja
Muslim Indonesia ) Kota Pekalongan yang beralamat di Jalan Terinasi Nomor
9 Pajang Wetan, Kota Pekalongan, yang telah di tunjuk dan berwenang untuk
dan atas nama organisasi sesuai Surat keputusan DPP PPMI Nomor
77/KPTS/DPPPPMI/XII/2015 melawan PT Sinar Mas Multifinance selaku
Tergugat, yang berkedudukan di jalan Jendral Soedirman Kabupaten Batang.
Dalam kasus ini Mochamad Nasori selaku Penggugat yang merupakan
pekerja yang bekerja di perusahaan Tergugat dengan status hubungan kerja
karyawan tetap sejak bulan Juli 2011 dibagian Marketing Motor di Outlet
Batang kurang lebih 4 bulan, kemudian bulan Oktober 2011 dimutasi secara
lisan di bagian Debtcollector Divisi Motor Outlet Batang selama kurang lebih 1
tahun, dan dimutasi kembali secara lisan ke bagian Marketing sampai dengan
gugatan ini diajukan. Penggugat merasa diputus hubungan kerja secara
sepihak oleh Tergugat pada tanggal 28 April 2015. Penggugat telah
mengupayakan musyawarah melalui perundingan bipartit dengan Tergugat atas
Pemutusan Hubungan Kerja sepihak tersebut, namun perundingan yang telah
diupayakan tidak menghasilkan persetujuan maka Penggugat mengajukan
Permohonan Perselisihan Hubungan Industrial pada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Batang, dimana tidak mencapai kesepakatan antara
Penggugat dan Tergugat, sehingga pihak Mediator mengeluarkan Anjuran
Tertulis Nomor: 560/1234, tertanggal 18 Agustus 2015.
Karena tidak memperoleh kesepakatan maka diajukanlah gugatan a quo
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang
guna mendapatkan penyelesaian dan kepastian hukum atas Perselisihan
Hubungan Industrial yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat, dalam
Putusan Tingkat I Nomor 42/PDT.SUS-PHI/2016/PN SMG mengenai legal
standing kuasa hukum penggugat dalam mewakili pekerja di Pengadilan
Hubungan Industrial, Majelis Hakim memberikan putusan berupa menolak
eksepsi Tergugat untuk seluruhnya , dimana dalam hal ini Majelis berpendapat
bahwa eksepsi mengenai legal standing kuasa Pengugat dalam sudah masuk
dalam materi pokok perkara sehingga tidak perlu diperiksa lagi.
Akan tetapi dalam Putusan Kasasi Nomor 349.K/PDT-SUS-PHI/2017
berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah Agung berpendapat,
menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 yang berhak
menerima kuasa dari Pekerja yang ingin mengajukan gugatan dalam perkara
Perselisihan Hubungan Industrial adalah pengurus dari serikat pekerja yang
tercatat pada instasi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada
perusahaan yang bersangkutan dimana pekerja telah menjadi anggotanya, dan
dalam hal ini Kuasa Penggugat tidak dapat menunjukkan bukti pencatatan
organisasinya pada Instasi Bidang Ketenagakerjaan pada perusahaan yang
bersangkutan, dengan demikian kuasa Penggugat memiliki tidak legal standing
untuk mewakili Penggugat. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut eksepsi
Tergugat diterima dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena,
eksepsi Tergugat diterima dan Majelis Hakim Kasasi mengabulkan
Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi PT Sinar Mas Multifinance
tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Semarang Nomor 42/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa dalam kasus gugatan
anatara Muhamad Nasori ( Pengugat ) melawan PT Sinar mas Multifinance (
Tergugat ) mengandung unsur, yaitu perbedaan pendapat Majelis Hakim
Tingkat Pertama dan Tingkat Kasasi mengenai eksepsi legal standing federasi
serikat pekerja Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia ( TPPMI ) dalam
mewakili anggotanya. Unsur dalam kasus tersebut menimbulkan persoalan
mengenai keabsahan Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia ( TPPMI )
dalam mewakili anggotanya, sehingga menarik untuk diteliti.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penulis menyusun pokok – pokok permasalahan yang akan dibahas yakni :
Apa dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim pada Putusan Tingkat
Pertama Nomor 42/PDT-SUS-PHI/2016/PN SMG sehingga berbeda
dengan Putusan Kasasi Nomor 349.K/PDT-SUS-PHI/2017?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui apakah dasar pertimbangan
Majelis Hakim Putusan Tingkat Pertama Nomor 42/PDT-SUS-PHI/2016/PN
SMG dan Putusan Kasasi Nomor 349.K/PDT-SUS-PHI/2017 mengenai
Eksepsi Tergugat mengenai keabsahan Serikat Pekerja mewakili
anggotanyasudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –undangan
yang berlaku.
4. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.12
Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga
12
JohnnyIbrahim,2006,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Malang: Bayumedia
Publishing,hlm. 295
atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum
sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup, dan
terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.13
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute aproach) dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan
perundang -undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan
peraturan hukum khususnya hukum ketengakerjaan di Indonesia.
Pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari penerapan norma -
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum,
terutama mengenai kasus - kasus yang telah diputus, sebagaimana
yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang
menjadi fokus peneltian,yaitu perkara Ketenagakerjaan .14
2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder. Data Sekunder yang terdiri dari :
1. Bahan HukumPrimer:
- Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/ Serikat Buruh;
- Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
13
Ronny HanitijoSoemitro,1988,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta:
GhaliaIndonesia, hlm. 13-14
14
JohnnyIbrahim,op. cit,hlm. 321
- Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
- Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat Pertama
Nomor 42/PDT.SUS-PHI/2016/PN SMG;
- Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat Kasasi Nomor
349.K/PDT-SUS-PHI/2017;
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Nomor
Kep.16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
2. Bahan hukum sekunder, berupa: skripsi, thesis, disertasi hukum,
jurnal – jurnal hukum, disamping itu juga, kamus – kamus hukum
dan kometar – komentar atas putusan pengadilan.
b. Teknik pengumpulan data pada skripsi ini melalui studi pustaka.