Upload
hoangliem
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator
implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh
rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam
pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik
mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri
dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah
pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau
minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi
politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan
sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon
legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).
Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai
Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib,
jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat
partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan
demokrasi.
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta
demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan
tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih
(golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi
politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai
Universitas Sumatera Utara
dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari
Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa
sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi
Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di
kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat
sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan
Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is
Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi
tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput
dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup
mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi
Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan
demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin
pembangkit partisipasi politik.
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.
Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang
berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi
partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di
Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai :
By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.1
Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara
1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa :2
Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.
The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.
Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai
partisipasi politik adalah:
3
Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah
penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat
dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Salah
satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah tingginya angka
Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut
diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core
political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela
untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat
publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan
kebijakan publik.
2 McClosky, Political Participation, International Encyclopedia of The Social Science, (2nd ed.). New York : The Macmilan Company and Free Press. 1972, hal. 20 3 Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183
Universitas Sumatera Utara
pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Tingkat partisipasi politik pada Pemilu
rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi
(periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan
tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas
kewajaran).
Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu
tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu
1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %,
Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan
jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik
pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%,
pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah
Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004
tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%,
pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2%
dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%. Pada
Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun
yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1%
dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan
jumlah Golput mencapai 28,3%.
Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik
yang sukarela;
Universitas Sumatera Utara
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah
adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan;4
Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan
kontribusi hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi
pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh
masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi
pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar.
Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat
Golput.
Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka
penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi
realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di
sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik,
seperti dikemukakan oleh McClosky bahwa:
Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji.5
Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin
banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau
biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting
tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan
untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran
belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam
momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua,
golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai.
Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya
4 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, op.cit, Hal. 11 5 Arbi Sanit (Eds), op.cit, hal.20
Universitas Sumatera Utara
mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini
mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam
pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa
bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru
hal ini menjadi bumerang bagi golput.
Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu :
yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat
memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan
budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua
kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi
politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan
memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.
Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah
golput (golongan putih). Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap
dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena
dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena golput ini memiliki
keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik.6
6 Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal. 7
Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan sebagai cara protes
terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga
menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971
tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga
pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi
bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat
kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih Cuma
bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan
ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah
mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa
memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih
untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seirimg dengan perubahan paradigma
tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang
yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu
atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil
pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak
ikut memilih, atau memilih secara salah.
Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu
Legislatif di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan
menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang hingga saat ini belum
ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih
tidak menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di
Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan
pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap
melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih.
Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan
berdasarkan hasil riset.
Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para
pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama,
administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan
prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar
dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak
ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari
pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan
sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political
engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan
politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting.
Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak
Universitas Sumatera Utara
pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu
legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti.
Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.7
7 Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, dikutip dari www.lsi.co.id
Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih (golput) terbagi
atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada
pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak
menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti
masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak
menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif. Faktor-faktor apa yang
mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya
pada pemilu legislatif.
Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi
latar belakang peneliti untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa
yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa
sajakah yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian
ini.
Pemilu legislatif secara langsung pada tanggal 09 April 2009 berlangsung
serentak di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kecamatan Medan Amplas.
Kecamatan Medan Amplas yang merupakan salah satu kecamatan di kota Medan
juga melaksanakan pemilu legislatif secara bersamaan. Dalam hasil pemilihan,
ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi
tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif yaitu sekitar
51.83 %. Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat
berpengaruh pada hasil pemilihan umum legislatif tersebut. Sedangkan rakyat
telah diberikan hak untuk memilih secara langsung calon anggota legislatif
periode 2009–2014.
Universitas Sumatera Utara
Tingginya angka golput di Kecamatan Medan Amplas disebabkan oleh
menurunnya tingkat kepercayaan kepada penyelenggaraan pemilu dan peserta
pemilu. Sehingga masyarakat di Medan Amplas beranggapan ikut atau tidak
dalam Pemilu tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan keluarga.
Dengan alasan inilah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan
Medan Amplas sebagai lokasi penelitian.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan bagian pokok dari kegiatan penelitian,
sehingga perumusannya perlu tegas dan jelas agar proses penelitian bisa benar-
benar terarah dan terfokus ke permasalahn yang jelas. Perumusan masalah juga
diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang
diperlukan dalam suatu penelitian.8
8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta : Bina Aksara, 1996, hal. 19
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis
membuat perumusan masalah sebagai berikut:
“Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih
di Kecamatan Medan Amplas pada Pemilu Legislatif 2009”.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang
mempengaruhi Munculnya Golput di Kecamatan Medan Amplas dalam
Pemilihan Umum Legislatif 2009.
Universitas Sumatera Utara
3.2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui
karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis
dapatkan selama dalam masa perkuliahan.
2. Berfungsi sebagai referensi tambahan bagi Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan
sebagai aplikasi teori perwakilan politik.
3. Memberikan bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah
dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih
4. Untuk menambah referensi mengenai Golongan Putih.
4. Kerangka Teori
Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah
teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial
atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian
asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep.9
Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori-
teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah
penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah
penelitian ini antara lain:
9 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES 1989, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
4.1. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi
merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang
bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo mengatakan,
“Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya.”10
“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga
negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam
pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group
participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah
(citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara
langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice :
Political participation in developing :
11
Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.
12
10 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 11 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo. 12 Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal,
yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak
memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik,
keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap
dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-
pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai
pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar
biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk
mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya
membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-
aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan
bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat
disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua
kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,
berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak
langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara,
tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat
menyalurkan ke pemerintah.
Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang
dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan
dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara
mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif
kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan
kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar
pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
Universitas Sumatera Utara
b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran
suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah,
menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.13
Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang
menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung
dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang
yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme,
alienasi, dan anomie.
1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak
punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari
manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang
kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam
bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik
dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai
pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk
oranng lain tidak adil.
4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan
nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami
perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli
yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi
untuk bertindak.14
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali
berpartisipasi politik:
15
13 Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74 14 Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131 15 ibid
Universitas Sumatera Utara
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput
1. Faktor Sosial Ekonomi
Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan
perilaku non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi,
variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel
independen untuk menjelaskan perilaku non-voting tersebut. Namun, pada
sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk
mengukur karakteristik pemilih non-voting itu sendiri. Setidaknya ada
empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial
ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan
pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan
untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan
proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut
sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting.
Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran
Universitas Sumatera Utara
memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan
ketidakhadiran pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi
dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :
a. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai partisipasi warga.
Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang
berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih
tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang
bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak
mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan
tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain.
Sebab, mereka sering terkena langsung dengan kebijakan
pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan hubungan
kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan yang sangat
berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan pemerintah,
khususnya tentang besarnya tunjangan pensiun kesehatan,
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan lainnya.
b. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku
pemilih masyarakat di Kecamatan Medan Amplas. Faktor
pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan,
sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meningkatkan
kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta mampu untuk
menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai
tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku
partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi
pendidikan seseorang, maka ketajaman dalam menganalisa
informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial yang
Universitas Sumatera Utara
diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan
kemampuannya dalam berpolitik.
c. Pengaruh Keluarga
Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada
masyarakat Kecamatan Medan Amplas dalam hal tidak ikut
memilih pada Pemilu Legislatif, kuatnya pengaruh pimpinan
keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga. Secara
umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan
memberikan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk
tidak ikut memilih.
2. Faktor Psikologis
Penjelasan nonvoting dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan
dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian
seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan
pertama melihat bahwa perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian
yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan
khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan
semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau
tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan
kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan
peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut
kepentingan umum yang lebih luas.
Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian
tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari percaturan politik
langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya.
Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih
bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku.
Faktor lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini
Universitas Sumatera Utara
adalah kefektifan personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan atau
ketidakmampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya.
Misalnya, seberapa jauh seseorang merasa mampu memimpin teman-
teman sepermainan, organisasi-organisasi sosial, profesi atau okupasi di
mana mereka bekerja, dan sebagainya.
Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi
kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku nonvoting
disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual
menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi.16
Secara teoritis, perasaan apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau
pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana
ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal
ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus)
politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak
menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi
merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas
politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin
mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijaksanaan politik. Bagi para
pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai
pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada
diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya menggunakan
logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan
dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para pemilih.
Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan
alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan
keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam
banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh
terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah
16 Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, The Social Bases of Politics , California : A Division of Wodsworth Inc, 1987, hal. 208-209
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap
kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan
mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan,
kekacauan, demonstrasi dan semacamnya.
3. Faktor Pilihan Rasional
Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi
untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih
dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan,
tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak
mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat
pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk
membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama
untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.
Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan
politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh
ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja
mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-
variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam
mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu,
pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak
terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak.
Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang
dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa
membawa perubahan yang lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah
akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya.
Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan
lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih
sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada
situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan
lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu
dalam mempengaruhi keputusannya.17
“Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”.
4.3. Partai Politik
4.3.1. Defenisi Partai Politik
Secara umum Miriam Budiardjo mengatakan bahwa:
18
“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.”
Sedangkan menurut Carl J. Friedrich, seperti yang dikutip oleh Miriam
Budiardjo mengatakan bahwa:
19
17 Muhammad, Asfar, Presiden Golput, Jakarta : Jawa Pos Press, 2004, hal. 35-51 18 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 160-161 19 Ibid., hal. 161
Berdasarkan defenisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tujuan
utama dari partai politik adalah merebut ataupun mempertahankan kekuasaan
guna mewujudkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan cita-cita partai politik
tersebut. Hal tersebut dapat dicapai oleh partai politik melalui keikutsertaan
mereka dalam pemilihan umum dengan jalan merebut dukungan rakyat untuk
menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat.
Universitas Sumatera Utara
4.3.2. Fungsi Partai Politik
Dalam bukunya Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Koirudin
menuliskan beberapa fungsi dari partai politik yaitu :20
Sosialisasi politik merupakan suatu caraa untuk memperkenalkan nilai-
nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh
suatu negara. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam
pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu
partai politik akan berusaha menciptakan citra bahwa ia memperjuangkan
1. Fungsi Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai
kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil partai politik yang
masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan
kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan publik.
Dengan fungsi artikulasi kepentingan ini partai politik melalui wakil-wakilnya di
parlemen dapat meningkatkan pengeluaran kebijakan-kebijakan yang menolong
masyarakat dan meminimalisir kebijakan-kebijakan yang menyulitkan rakyat.
2. Fungsi Agregasi Kepentingan
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang
dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi
alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik. Agregasi kepentingan dari partai
politik dapat dilihat juga ketika partai menawarkan program politik dan
menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan
untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining)
pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut
mendukung calon yang diajukan.
3. Fungsi Sosialisai Politik
20 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 86-103
Universitas Sumatera Utara
kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas dengan partai, partai
politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan
tanggungjawabnya sebagai warga Negara dan menempatkan kepentingan sendiri
di bawah kepentingan nasional. Di setiap Negara-negara, partai-partai politik
selalu berperan untuk memupuk identitas nasional dan integrasi nasional.
4. Fungsi Rekruitmen Politik
Rekruitmen politik adalah suatu proses seleksi atau rekruitmen anggota-
anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan
administratif maupun politik. Setiap partai politik memiliki pola rekruitmen yang
berbeda. Anggota partai politik yang direkrut atau diseleksi adalah yang memiliki
suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau
fungsi politik.
5. Fungsi Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai
politik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi,
isu dan gagasan politik. Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat komunikasi
politik agar anggota partai dapat mengetahui pandangan dan prinsip-prinsip partai,
program kerja partai, gagasan partai, dan sebagainya.
4.4. Perilaku Golongan Putih (Golput)
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde
Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief
Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka
didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,
cenderung diinjak-injak.21
Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak
memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar
21 Fadillah Putra, Partai politik dan kebijakan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 104
Universitas Sumatera Utara
putih. Namun pemilu 1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen
pemilih. Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena golput adalah
merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap
tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap
eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.
Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan
kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan
PDI. Namunn jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi
pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29
Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak
menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap
sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot
pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu,
jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.22
Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang
berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.
Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku
atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum
golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk
lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara.
Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan
hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban
mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara
Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena
pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan
demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang
sangat menentukan.
22 http//www.kompas.com
Universitas Sumatera Utara
bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan
pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu
kontestan pemilu.23
Dalam artikelnya di KOMPAS 28 Juli 2004
Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja
dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam
pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat
Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau
terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula
persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki
rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua
golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai
kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya
pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
24
Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional
betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan
, Indra J. Piliang
menyatakan bahwa golongan putih (golput) dianggap sebagai bentuk perlawanan
atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai
dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi
3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa
pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput
era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah
bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi
kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU
pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini
mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999,
sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak
bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu.
23 http//www.kompas.com 24 http//www.kompas.com
Universitas Sumatera Utara
berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang
proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.
Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan
politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu,
tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya
secara sebagian merugikan mereka.
Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok
golput.25
25 Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 22
Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak
mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan
ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak
sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik.
Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka
menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.
Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan
berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi
disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik
yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat
evaluasi.
4.5. Sistem Pemilihan Umum
Konsep yang berkaitan erat dengan badan perwakilan rakyat ialah berupa
sistem pemilihan umum. Hal ini disebabkan salah satu fungsi sistem pemilihan
umum ialah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan
perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan. Oleh karena itu, berikut ini
diuraikan sistem pemilihan umum.
Universitas Sumatera Utara
Setiap sistem pemilihan umum, yang biasanya diatur dalam peraturan
perundang-undangan, setidak-tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu
penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula
pemilihan.26
Amerika Serikat mempertimbangkan kedua faktor itu. Setiap negara
bagian tidak peduli luas wilayah dan jumlah penduduknya mempunyai dua kursi
untuk Senat. Jumlah Dewan Perwakilan Rakyat (House of Refresentatives) per
negara bagian ditentukan berdasarkan jumlah penduduk. Walaupun demikian,
pemilihan anggota kedua badan ini dilakukan menurut prinsip satu kursi per
Pertama, penyuaraan. Artinya, tata cara yang harus diikuti pemilih yang
berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan memilih salah
satu alternatif (categorical) atau pemilih diperkenankan mendistribusikan
suaranya kepada beberapa alternatif sesuai dengan peringkat yang dikehendaki
(ordinal). Pilihan yang dihadapi pemilih terdiri atas tiga kemungkinan, yakni
memilih partai, memilih calon, atau keduanya (partai politik dengan daftar
calonnya). Variabel penyuaraan ini terdapat di negara-negara yang menganut
sistem politik demokrasi yang menjamin kemajemukan (pluralism), sedangkan
pemilihan umum di negara-negara komunis tidak mempunyai alternatif terhadap
partai politik ataupun calon. Dalam sistem politik yang terakhir ini, pemilih
dihadapkan pada seorang calon dari satu partai sehingga pemilih menentukan ”ya”
atau ”tidak” terhadap calon tunggal.
Kedua, daerah pemilihan (electoral district). Artinya, ketentuan yang
mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah
satu kursi per distrik (single member district) atau lebih dari satu kursi per daerah
pemilihan. Dalam menentukan daerah pemilihan ini setidak-tidaknya dua faktor
selalu dipertimbangkan, yakni wilayah administrasi pemerintahan dan jumlah
penduduk.
26 Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967, hal. 6-39
Universitas Sumatera Utara
distrik. Namun, luas wilayah distrik untuk Senat berbeda dengan luas distrik
untuk anggota DPR.
Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 1985
Indonesia menganut ketentuan banyak kursi per daerah pemilihan. Dalam
Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan badan-badan perwakilan rakyat
sudah ditentukan jumlah anggota DPR/DPRD I/DPRD II per daerah pemilihan.
Partai politik peserta pemilihan umum akan mendapat kursi sesuai dengan jumlah
suara yang diperoleh di daerah pemilihan. Variabel yang kedua ini berkaitan erat
dengan variabel ketiga, yaitu variabel formula pemilihan.
Ketiga, formula pemilihan. Artinya, rumus yang digunakan untuk
menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah
pemilihan. Formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yakni formula pluralitas,
formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang (proportional
refresentation). Apabila menggunakan formula pluralitas maka seseorang atau
suatu partai dapat dikatakan menang pada suatu daerah pemilihan manakala
orang/partai tersebut berhasil memperoleh suara lebih banyak daripada calon-
calon atau partai-partai lain tidak peduli apakah bedanya satu suara atau lebih.
Pemilihan anggota Kongres di Amerika Serikat menggunakan formula pluralitas.
Apabila menggunakan formula mayoritas maka seseorang calon atau partai harus
mencapai suara terbanyak dengan rumus : 50%+1. Rumus ini berguna untuk dapat
ditetapkan sebagai memenangkan satu kursi di satu daerah pemilihan. Atau dalam
bahasa yang lebih abstrak, kalau menggunakan formula mayoritas seorang calon
atau partai harus mencapai suatu jumlah suara yang melebihi kombinasi jumlah
suara yang diperoleh calon-calon atau partai lain. Lalu menurut formula
perwakilan berimbang, setiap partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan
jumlah suara yang diperoleh. Apabila lebih dahulu (jumlah pemilih yang
menggunakan haknya dibagi dengan jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah
pemilihan yang bersangkutan), untuk kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah
suara yang diperoleh oleh setiap partai peserta pemilihan umum.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga variabel itu bersifat saling berhubungan. Dari ketiga variabel ini,
variabel ketiga yang terpenting karena kedua variabel lainnya adakalanya
merupakan konsekuensi logis dari yang pertama. Itu sebabnya, setiap sistem
pemilihan umum ditandai dengan formula pemilihan yang digunakan. Apabila
formula pemilihan pluralitas yang digunakan maka sistem penyuaraan yang
digunakan cenderung bersifat kategoris, dan daerah pemilihan yang digunakan
biasanya sistem distrik (satu kursi per distrik).
Sebaliknya, apabila formula perwakilan berimbang yang digunakan maka
daerah pemilihan yang digunakan cenderung banyak kursi per distrik, sedangkan
sistem penyuaraan yang digunakan dapat keduanya. Dalam sistem pemilihan yang
menggunakan formula pluralitas, pemilih biasanya memilih calon-calon dari
berbagai partai politik (seorang calon per partai). Lalu yang menggunakan
formula perwakilan berimbang, para pemilih yang memilih partai politik yang
telah menyusun program dan calon-calonnya. Italia menggunakan cara yang
terakhir ini. Namun, pemilih diminta menuliskan nama calon yang dikehendaki
dari partai politik yang dipilih.
Sementara itu, sistem pemilihan umum di Indonesia menggunakan
formula perwakilan berimbang, tetapi pemilih memilih partai politik yang telah
menyusun program dan daftar urutan calon sehingga pemilih praktis tidak
memilih nama calon yang dikehendaki. Keterangan di atas merupakan pola
umum, sebab dalam kenyataan hampir semua negara memiliki kekhususan dalam
sistem pemilihan umum sesuai dengan karakteristik sistem politik yang
bersangkutan. Karakteristik formula pluralitas ialah secara perhitungan jumlah
dapat dikatakan kurang adil (karena suara yang dikumpulkan calon-calon lain
dapat saja melebihi perolehan suara pemenangnya), tetapi secara praktis lebih
mudah dilaksanakan, cenderung mematikan partai kecil sehingga cenderung
menciptakan sistem dua partai bersaingan. Partai yang secara nasional
memperoleh minoritas suara dapat memperoleh mayoritas kursi di badan
Universitas Sumatera Utara
perwakilan rakyat atau sebaliknya. Selain itu, cenderung menciptakan
pemerintahan yang mayoritas.27
Formula mayoritas biasanya diterapkan dengan negara yang mempunyai
banyak partai, dan negara yang mempunyai partai tunggal. Pemilihan umum
dalam negara yang menganut sistem banyak partai cenderung menghasilkan
pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini dianggap rapuh dan kurang
menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, formula mayoritas
sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan pemerintahan yang didukung
mayoritas sehingga stabil.
Karena cenderung menciptakan sistem dua partai bersaingan maka
alternatif yang muncul bagi para pemilih menjadi terbatas. Formula pluralitas
dapat diterapkan dengan baik apabila memenuhi kondisi-kondisi berikut ini.
Pertama, distribusi jumlah pemilih untuk setiap distrik (daerah pemilihan)
relatif seimbang, dan penetapan batas wilayah distrik yang relatif adil. Kedua,
tidak terdapat suatu golongan etnis, ras atau agama yang secara jumlah merupakan
mayoritas menguasai partai politik tertentu. Apabila terdapat ”mayoritas
terkristalisasi” ini maka komunikasi dan kompromi diantara partai politik
cenderung tidak mungkin terjadi karena partai yang mayoritas dari golongan
tertentu cenderung memaksakan kehendaknya seperti yang terjadi di Afrika
Selatan. Dengan kata lain, masyarakat secara kultural harus relatif homogen.
Ketiga, bangsa-negara yang bersangkutan memiliki peserta pemilihan umum
(partai politik) pada dasarnya tidak lagi memiliki perbedaan ideologi yang tajam,
melainkan perbedaan dalam titik berat (program) saja seperti Amerika Serikat dan
Inggris. Keempat, para pemilih dan wakil rakyat memiliki hubungan yang intim
karena setiap wakil rakyat memiliki batas wilayah dan para pemilih yang jelas.
Pemilih mengetahui dengan jelas kepada siapa ia harus menyampaikan tuntutan
dan dukungan, sedangkan wakil rakyat juga mengetahui kepada siapa ia harus
bertanggung jawab.
27 Milnor, A.J, Elections and Political Stability, Boston, MA : Little, Brown and Company, 1969, hal. 18-38
Universitas Sumatera Utara
Dalam undang-undang pemilihan umum ditetapkan ketentuan bahwa
seorang kandidat dari partai tertentu dapat ditetapkan sebagai pemenang apabila ia
berhasil mengumpulkan jumlah suara mayoritas (mayoritas sederhana (50% + 1)
atau mayoritas mutlak (75%). Dalam undang-undang itu pula ditetapkan
ketentuan lain apabila dalam pemilihan umum pertama tidak tercapai suara
mayoritas maka akan diadakan pemilihan umum kedua dengan peserta yang lebih
terbatas (biasanya dua besar).
Formula pemilihan yang diterapkan pada pemilihan umum tahap kedua ini
biasanya bukan lagi formula mayoritas, melainkan pluralitas sehingga
kemungkinan besar akan terbentuk pemerintahan yang sah. Prancis adalah satu
dari sedikit negara yang menerapkan formula ini. Negara yang menerapkan
bentuk partai tunggal totaliter (negara-negara komunis) cenderung menggunakan
formula mayoritas untuk menentukan pemenang dalam pemilihan umum yang
bersifat meminta persetujuan massa akan calon tunggal yang ditawarkan partai
komunis. Karena tidak ada alternatif pilihan yang ditawarkan kepada massa maka
formula pluralitas dan perwakilan berimbang tidak mungkin diterapkan dalam
negara totaliter seperti ini.
Tujuan utama penerapan formula perwakilan berimbang untuk
menghasilkan suatu badan perwakilan rakyat yang merupakan replika kehendak
rakyat pada waktu pemilihan umum diselenggarakan. Formula ini mencakup
masyarakat pemilih yang lebih luas karena para pemilih yang buta huruf
sekalipun, dapat dengan mudah memberikan suaranya. Sistem pemilihan ini
cenderung menempatkan partai dalam kedudukan berdaulat sebab dalam
pemilihan umum para pemilih memilih partai bukan memilih calon. Di samping
itu, sistem ini memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki formula pluralitas dan
mayoritas. Maksudnya, tidak ada suara yang terbuang atau suara yang terabaikan
sebab setiap partai mendapatkan kursi sejumlah suara yang diperolehnya dalam
pemilihan umum. Titik lemah sistem ini, yakni sukar mencapai pemerintahan
yang mayoritas.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum.28
Pertama,
sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif
kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang
berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi
perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau
partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus
ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa
negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian
kebijakan umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan
”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah.
Pemilihan umum untuk menentukan kebijakan umum yang fundamental ini
disebut referendum.
Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme
memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan
perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-
partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal
ini didasarkan atas anggapan di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan
yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang malahan saling
bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan
kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses
musyawarah (deliberation).
Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau
menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut
serta dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-
negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang menganut demokrasi
liberal (negara-negara industri maju), kendati sifatnya berbeda.
28 Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987, hal. 138-147.
Universitas Sumatera Utara
5. Metodologi Penelitian
5.1. Jenis Penelitian
Menurut Hadari Nawawi,29
29 Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63
metode penelitian deskriptif dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan
lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan
data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan
disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori,
data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil
penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh
karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
5.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kecamatan Medan
Amplas.
5.3 Populasi dan Sampel
5.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data
Pemilih Tetap pada Pemilihan Presiden 2009.
Universitas Sumatera Utara
5.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan
cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat yang
tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam Pilpres 2009 di kecamatan Medan
Amplas. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis
menggunakan rumus Taro Yamane30
n =
Keterangan:
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%
Pada masyarakat Kecamatan Medan Amplas, jumlah golput di Kecamatan
Medan Amplas sebanyak 45239 jiwa. Maka sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak :
n =
n =
n =
n = 99,8
Jadi, sampel yang digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian
ini dibulatkan menjadi 100 orang.
, sebagai berikut:
30 Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
5.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis
mlakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang
diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang
dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara
menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai
sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban
yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.
b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui
buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian
ini.
5.5 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan
untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada.
Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya
akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.
6. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi
penelitian di Kecamatn Medan Amplas.
Universitas Sumatera Utara
BAB III : Pembahasan
Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis
secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.
BAB IV : Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara