Upload
trinhdat
View
226
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
mengalami perkembangan pesat dalam pembangunan nasional. Provinsi ini lahir
18 Maret 1964 dengan ibu kota Bandar Lampung. Provinsi ini menyimpan
berbagai warisan kearifan lokal yang berharga dan perlu dilestarikan
keberadaannya. Salah satu warisan kearifan lokal tersebut adalah bahasa daerah
yang di dalamnya terdapat berbagai istilah sapaan yang bervariatif dan erat
kaitannya dengan kebudayaan adat istiadat masyarakat Lampung. Munculnya
berbagai istilah sapaan yang bervariatif dalam masyarakat Lampung, dapat dilihat
pada berbagai latar belakang berikut ini.
Menurut Hadikusuma (1996:31), bahwa nenek moyang suku Lampung
berasal dari Pagaruyung (Sumatera Barat) keturunan putri Kayangan dan Kua
Tunggal yang berdiam di daerah Sekala Be’rak, di kaki Gunung Pesagi,
Kecamatan Kenali, Belalau, Lampung Barat. Di daerah ini keturunannya
(cucunya), Umpu Serunting mendirikan Keratuan Pemanggilan. Karena Keratuan
Pemanggilan diserang perompak laut, warganya terpecah meninggalkan Skala
Be’rak menyebar ke daerah dataran rendah wilayah Lampung sekarang. Dalam
perjalanan sejarahnya tersebut, suku Lampung mengalami pengaruh dalam
bidang kebudayaan, keagamaan, dan pemerintahan sesuai dengan periode/jaman
yang masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat Lampung.
2
Periode Hindu Animisme merupakan jaman masuknya ajaran sistem
kebudayaan Hindu Animisme yang berasal dari India, termasuk Budhiisme yang
unsur-unsur ajarannya masuk ke dalam adat budaya suku Lampung. Periode ini
dimulai sejak tahun pertama masehi sampai dengan permulaan abad ke-16. Selain
berasal dari India, ajaran Hindu Animisme juga datang dari kerajaan Majapahit
yang dibawa oleh armada Majapahit yang singgah ke Lampung dan dari kerajaan
Sriwijaya yang menyerang kerajaan Tulang Bawang pada abad ke-7.
Pengaruh ajaran Hinduisme yang masuk ke dalam kebudayaan Lampung
antara lain, adanya perbedaan tingkatan golongan masyarakat adat atau
perbedaan strata sosial yang menganggap golongan masyarakat satu lebih tinggi
daripada golongan masyarakat adat lainnya. Dengan adanya perbedaan tingkatan
golongan tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan sapaan yang digunakan.
Contohnya, sapaan Suttan, Pengiran, Raja, dll.. Selain adanya perbedaan
tingkatan golongan, pengaruh lainnya adalah adanya kebiasaan memasang sesaji
pada waktu mendirikan rumah.
Selain mendapat pengaruh dari India, Majapahit, dan Sriwijaya, suku
Lampung juga mendapat pengaruh dari bangsa Belanda (VOC) dan Inggris.
Bangsa Belanda (VOC) dan Inggris datang ke Lampung pada awalnya untuk
tujuan berdagang (membeli) lada dan mendirikan benteng sebagai tempat
menampung hasil pembelian lada. Akan tetapi, selanjutnya kedua bangsa itu ikut
campur tangan dalam bidang pemerintahan di daerah Lampung. Contohnya, tahun
1808 Daendels mengangkat Raden Intan sebagai Prins Regent dengan pangkat
3
Kolonel untuk daerah Lampung, kemudian dilanjutkan oleh pengakuan Rafles
tahun 1816. Dengan adanya pengangkatan dan pengakuan tersebut, Raden Intan
merasa bangga sebagai pimpinan orang Lampung di Keratuan Darah Putih.
Dengan datangnya kedua bangsa itu pula, suku Lampung mendapat pengaruh
dalam bidang kebahasaan, termasuk dalam istilah-istilah sapaan.
Periode selanjutnya adalah Periode/Jaman Islam. Periode/jaman Islam
masuk ke Lampung sekitar abad ke-15. Pada periode ini ajaran dan kebudayaan
Islam masuk ke Lampung melalui tiga arah, yaitu dari arah barat (Minangkabau)
memasuki dataran tinggi Belalau, dari arah utara (Palembang) memasuki daerah
Komering, dan dari arah Banten memasuki daerah Labuhan Meringgai.
Pengaruh ajaran dan kebudayaan Islam sangat menonjol pada adat
kebudayaan Lampung. Pengaruh ini terlihat misalnya, pada acara kelahiran,
perkawinan, kematian, dan bidang kebahasaan. Pada acara kelahiran ada acara
akhikahan; pada acara perkawinan harus ada ijab kabul antara mempelai pria dan
wali mempelai wanita, pengantin pria harus memakai pakaian haji, dan pengantin
wanita harus berpakaian adat yang menutup aurat; pada acara kematian ada acara
peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari; pada bidang kebahasaan
contohnya, ada kata-kata Muhammad Isya, Siti Halimah, umi, siti, abi, buya,
ustad, imam.
Di samping adanya pengaruh dari berbagai ajaran dan kebudayaan suku
bangsa lain, Provinsi Lampung dihuni oleh dua golongan penduduk yang berbeda
asal usulnya dan berbeda adat istiadatnya. Golongan yang berbeda asal usulnya itu
4
terdiri dari golongan penduduk asli (suku Lampung) dan golongan penduduk
pendatang. Sementara itu, berdasarkan adat istiadatnya, suku Lampung dibedakan
menjadi kelompok masyarakat yang beradat Saibatin (Pesisir) dan masyarakat
yang beradat Pepadun. Berdasarkan kedua dasar itu, lambang daerah Provinsi
Lampung dikenal dengan sebutan Sang Bumi Ruwa Jurai, yang berarti bumi
kediaman mulia dari dua golongan masyarakat yang berbeda asal usulnya dan
berbeda adat istiadatnya.
Kelompok masyarakat Saibatin dan Pepadun mempunyai sifat watak
sebagai falsafah hidup yang dikenal dengan Pi-il Pesenggiri. Dalam Pi-il ini,
salah satunya tercermin ciri Juluk Adek (bernama bergelar). Pi-il ini
menunjukkan keinginan suku Lampung untuk dihormati. Untuk memenuhi
keinginannya tersebut, orang Lampung sekalipun masih kanak-kanak, mereka
memakai nama besar yang disebut Jejuluk/Juluk. Apabila sudah menikah atau
berumah tangga, mereka memakai nama tua atau gelar adat yang disebut
adok/adek/adoq. Jejuluk/Juluk dan adok/adek/adoq ini biasa digunakan sebagai
sapaan dalam bertutur sapa (Hadikusuma; 1996:22). Pi-il Juluk Adek inilah yang
erat hubungannya dengan sapaan bahasa Lampung.
Selain terdapat penduduk yang beraneka ragam, di Provinsi Lampung juga
terdapat bahasa yang beraneka macam, yaitu . bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing. Bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Provinsi ini adalah
bahasa Lampung, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, dan Ogan (Kantor Bahasa Provinsi
Lampung;2008:1). Akan tetapi, pada kenyataannya (menurut pengamatan penulis)
5
masih ada bahasa daerah lain misalnya, bahasa Betawi, Madura, Palembang,
Batak, Semendo, dan Minangkabau. Sementara itu, bahasa- bahasa asing yang
terdapat di provinsi ini antara lain, bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Korea,
Jepang, Arab, India, dan Cina.
Bahasa Lampung merupakan bahasa daerah yang masih hidup dan
dipelihara oleh masyarakat suku Lampung. Bahasa tersebut dipakai untuk
berkomunikasi dengan sesama etnis dalam lingkungan keluarga dan acara-acara
adat. Dengan kenyataan ini, sewajarnyalah jika bahasa Lampung juga mendapat
perhatian dari negara sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 pasal 36. Pernyataan itu
berbunyi bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang
dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda,
Madura, dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.
Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang
hidup. Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Moeliono (1984:35). Moeliono
menjelaskan bahwa bahasa-bahasa Nusantara yang masih befungsi sebagai alat
perhubungan antarwarga masyarakat, bahasa-bahasa itu pun masih dapat
memperkaya bahasa Indonesia, terutama dalam hal perluasan kosa kata dan
bentuk kata yang perlu diamati dan diteliti lebih lanjut.
Di samping mempunyai hak untuk dihormati dan dipelihara oleh negara,
bahasa Lampung juga mempunyai fungsi penting yaitu (1) lambang kebanggaan
daerah Lampung, (2) lambang identitas daerah Lampung, (3) alat komunikasi
6
dalam keluarga serta masyarakat Lampung, (4) sarana pendukung budaya
Lampung dan budaya Indonesia, serta (5) pendukung sastra Lampung dan sastra
Indonesia (Sanusi;2006:4). Di sisi lain, dalam hubungannya dengan fungsi bahasa
Indonesia, bahasa daerah Lampung berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa
nasional; (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat
permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran
lainnya; (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah (Halim;
1984:26).
Meskipun bahasa daerah Lampung mempunyai fungsi yang begitu
penting, keberadaan bahasa Lampung dalam perkembangannya banyak
dikhawatirkan kepunahannya oleh berbagai pihak. Hal ini terlihat pada
berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa Lampung. Bahkan, penutur
asli bahasa Lampung, terutama anak-anak mudanya, khususnya yang berada di
kota-kota tidak mau lagi menggunakan bahasa daerahnya dan banyak yang tidak
mengetahui atau tidak bisa berbahasa daerah Lampung.. Mereka hanya memakai
bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi. Kenyataan ini dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari di kampus, di sekolah, atau di pusat-pusat
keramaian.. Kenyataan tersebut memperkuat pendapat Gunarwan (1994:19) yang
menyebutkan bahwa bahasa Lampung akan punah dalam waktu kurang lebih 75
tahun lagi. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemeliharaan dan pelestarian bahasa
tersebut.
7
Untuk mengatasi kekhawatiran di atas, berbagai upaya dilakukan oleh
masyarakat, pemerintah daerah Lampung, dan pemerintah pusat. Upaya-upaya
tersebut antara lain melalui jalur pendidikan, pemasyarakatan bahasa dan sastra
kepada masyarakat, dan melalui penelitian.
Upaya melalui jalur pendidikan, sejak tahun 1994 telah ditetapkan bahwa
bahasa Lampung sebagai mata pelajaran mulok (muatan lokal) di jenjang SD dan
SMP di seluruh Provinsi Lampung. Melalui jalur pemasyarakatan kepada
masyarakat, telah dilaksanakan acara-acara khusus pengenalan kebudayaan daerah
Lampung melalui siaran televisi, radio, dan festival di daerah Lampung. Melalui
jalur penelitian, telah dihasilkan laporan penelitian antara lain, Morfologi dan
Sintaksis Bahasa Lampung (1983), Bentuk Ulang Bahasa Lampung Dialek
Peminggir (1984), Pronomina Bahasa Lampung Abung (1993), Persebaran
Bahasa-Bahasa di Provinsi Lampung (2008), Pemetaan Dialektal Bahasa
Lampung (2008).
Di samping mengatasi kekhawatiran tentang perkembangan bahasa
Lampung, penelitian-penelitian lainnya telah dilakukan oleh perorangan tentang
bahasa Lampung dalam bentuk tesis dan disertasi. Penelitian-penelitian itu, Een
Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen (Tuuk;1872), Versuch
einer grammatischen Auslegung des Kěměring-Dialektes der Lampong-Sprache
(Schőter; 1937), A Grammar of The Lampung Language: The Pesisir Dialect of
Way Lima (Walker; 1975), Geografi Dialek Bahasa Lampung Komering Ulu di
Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan (Sudirman; 1999),
8
Sistem Sapaan Bahasa Lampung Dialek “O” Subdialek Menggala di Kecamatan
Menggala Kabupaten Tulangbawang (Akhyar; 2003), dan Geografi Dialek
Bahasa Lampung di Wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sudirman; 2006). Dari
beberapa penelitian tadi, hanya penelitian Akhyar (2003) yang mengkaji masalah
sapaan bahasa Lampung dan baru meneliti satu subdialek.
Sapaan merupakan kajian Sosiolinguistik. Wijana (2006:8) menyebutkan
bahwa Sosiolinguistik menggarap masalah-masalah kebahasaaan dalam
hubungannya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kulturalnya. Dalam
Sosiolinguistik, kaitan antara bahasa, masyarakat, dan budaya tidak dapat
terpisahkan.
Selain Wijana, keeratan hubungan antara bahasa, masyarakat, dan budaya
juga dikemukakan oleh Kranch. Kramch (2000:3) menyebutkan terdapat tiga
hubungan antara bahasa dan budaya. Pertama, bahwa bahasa mengekspresikan
realitas budaya (language expresses cultural reality). Maksudnya, bahwa bahasa
atau kata-kata yang diungkapkan penuturnya merujuk pada pengalaman yang
pernah dialami penuturnya. Mereka mengekpresikan fakta- fakta, ide-ide,
perististiwa-peristiwa, sikap, keyakinan, dan pandangan hidupnya melalui bahasa
atau kata-kata. Kedua, bahasa merupakan penjelmaan realitas budaya (language
embodies cultural reality). Maksudnya, melalui bahasa baik aspek verbal maupun
nonverbal anggota masyarakat atau kelompok sosial dapat mengkreasikan
pengalamannya dan merealisasikan budayanya. Misalnya, pada waktu berbicara di
telepon atau bertatap muka, menulis surat atau mengirim e-mail, membaca surat
9
kabar atau menginterpretasi sebuah grafik atau chart. Contoh lainnya, cara-cara
yang digunakan untuk media berbicara, menulis, atau visual mereka
mengkreasikan makna-makna melalui nada suara pembicara, aksen, gaya
percakapan, gestur, dan ekspresi wajah. Ketiga, bahasa merupakan simbol
realitas budaya (language symbolizes cultural reality). Maksudnya, bahwa bahasa
adalah sistem tanda yang mencerminkan nilai budaya masyarakatnya. Identitas
pembicara dapat terlihat melalui bahasa yang mereka gunakan; mereka
memandang bahasanya sebagai simbol dari identitas sosial masyarakatnya.
Di samping pernyataan para ahli di atas, keeratan hubungan bahasa dan
budaya juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990:203--204).
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan karena bahasa merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur
kebudayaan universal (cultural universals). Unsur-unsur kebudayaan universal itu
terdiri dari (1) Bahasa, (2) Sistem pengetahuan, (3) Organisasi sosial, (4) Sistem
peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) Sistem
religi, dan (7) Kesenian. Untuk menurunkan kebudayaan kepada generasi muda
bisa melalui pendidikan. Dalam proses pendidikan, diperlukan bahasa sebagai
medianya. Dengan demikian, menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan
dari kebudayaan.
Berkaitan dengan keeratan hubungan antara bahasa dan kebudayaan, suku
Lampung juga mewujudkan ekspresi, kreativitas, realitas, dan simbol kebudayaan
masyarakatnya melalui bahasa Lampung. Melalui bahasa daerah tersebut
10
masyarakat Lampung mewujudkan salah satu kebudayaannya dalam budaya sapa
menyapa yang disebut tutor/tutur. Istilah Tutor/tutur ini sama dengan istilah
sapaan dalam bahasa Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah
“Bagaimanakah sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung?”
Dari rumusan masalah tersebut dapat diperinci permasalahan penelitian
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
a. Bentuk-bentuk dan jenis sapaaan apa saja yang digunakan oleh penutur
Bahasa Lampung?
b. Faktor-faktor sosial apa saja yang menentukan pemilihan sapaan yang
digunakan oleh penutur Bahasa Lampung?
c. Fungsi-fungsi sapaan apa saja yang digunakan oleh penutur Bahasa
Lampung?
d. Makna-makna sapaan apa saja yang digunakan oleh penutur Bahasa
Lampung?
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Agar penelitian ini terarah, permasalahan penelitian di atas dibatasi dalam
ruang lingkup penelitian sebagai berikut.
a. Bentuk dan jenis sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.
11
b. Faktor-faktor sosial yang menentukan pemilihan sapaan yang digunakan
oleh penutur Bahasa Lampung.
c. Fungsi-fungsi sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.
d. Makna-makna sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.
e. Penutur yang diteliti meliputi empat kelompok penutur dialek yang terdiri
dari kelompok penutur dialek Abung, Pesisir, Pubian, dan Komering yang
berdomisili di Kota Madya Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
a. mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk dan jenis sapaan yang
digunakan oleh penutur Bahasa Lampung;
b. mendeskripsikan dan menjelaskan faktor-faktor sosial yang menentukan
pemilihan sapaan yang digunakan oleh penutur Bahasa Lampung.
c. mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi-fungsi sapaan yang
digunakan oleh penutur Bahasa Lampung;
d. mendeskripsikan dan menjelaskan makna-makna sapaan yang digunakan
oleh penutur Bahasa Lampung.
12
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian sapaan bahasa Lampung ini diharapkan bermanfaat untuk
kajian teoretis dan praktis. Manfaat teoretis yang diharapkan adalah (1) pelengkap
kajian Sosiolinguistik, khususnya tentang teori sapaan baik dalam taraf nasional
maupun internasional; (2) sebagai teori yang dapat mengidentifikasi dan
menemukan sapaan pada suatu suku bangsa, terutama yang ada relasinya dengan
faktor sosial budaya masyarakat; (3) pelengkap data penelitian terdahulu tentang
istilah sapaan bahasa Lampung agar lebih komprehensif. Sementara itu, manfaat
praktis yang diharapkan adalah (1) sebagai masukan dalam upaya pemeliharaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa Lampung; (2) sebagai masukan dalam
upaya pemerkaya, pendukung, dan pengembangan bahasa Nasional; (3) sebagai
masukan untuk bahan ajar pelajaran Bahasa Lampung (Mulok) di SD dan SMP.
1.6. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan sapaan secara umum dan bahasa
Lampung telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berikut ini disajikan
beberapa penelitian yang dimaksud.
Van der Tuuk (1872) mengadakan penelitian tentang bahasa Lampung.
Tuuk membicarakan tata bahasa Lampung secara umum. Di dalam penelitiannya
Tuuk menyebutkan bahwa bahasa Lampung terdiri dari dua dialek, yaitu dialek
Pubiyan dan dialek Pesisir. Dengan adanya pendapat Tuuk ini dikenal adanya
dialek Pubiyan dan dialek Pesisir dalam bahasa Lampung. Penggunaan kedua
13
istilah dialek ini sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat Lampung
meskipun pembagian dialek yang ada sekarang adalah dialek Abung, Pesisir,
Pubiyan, dan Komering. Dalam penelitian itu, Tuuk tidak menjelaskan kata-kata
sapaan yang biasa dipakai oleh masyarakat Lampung.
Schrőter (1937) mengadakan penelitian tentang tatabahasa bahasa
Lampung dialek Komering. Schrőter tidak membicarakan istilah sapaan secara
khusus, tetapi istilah ini terdapat dalam kelompok kata ganti personalia (Die
Pronomina personalia). Ia membagi kata ganti persona dalam kata ganti singular
dan plural. Kata ganti singular terbagi menjadi kata ganti persona pertama
tunggal, yaitu njak „ich” (aku) dan kata ganti persona kedua tunggal, yaitu nikoe
„du” (kamu), kata ganti persona ketiga tunggal ja „er” (ia). Kata ganti persona
pertama jamak (plural) sikam (kita), untuk orang kedua jamak kuti, Tiyan (Anda,
kalian). Kata-kata ganti singular dan plural tersebut ternyata biasa dipakai oleh
masyarakat Lampung sebagai kata sapaan.
Brown dan Gilman (1964) mengadakan penelitian tentang penggunaan
pronominal orang kedua dalam bahasa Perancis. Menurut mereka penggunaan
pronominal pada bahasa Perancis terdapat dua bentuk, yaitu bentuk T (Tu) ‘kamu’
dan bentuk V (Vous) ‘anda’. Penggunaan Tu dan Vous itu ditentukan oleh
kekuasaan (power) dan faktor solidaritas (solidarity). Pelaku yang mempunyai
kekuasaan atau berstatus lebih tinggi, lebih tua, atau lebih berkuasa akan
cenderung menggunakan sapaan ‘Tu’ kepada lawan tutur yang berstatus lebih
14
rendah, lebih muda, dan lebih tidak berkuasa. Sebaliknya, lawan tutur akan
menyapa penutur itu dengan menggunakan sapaan ‘Vous’.
Tahun 1979 Kridalaksana (dalam Kridalaksana;1985:14) meneliti Sistem
Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia. Kridalaksana menyebutkan bahwa semua
bahasa mempunyai sistem tutur sapa, yakni sistem yang mempertautkan
seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan
memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa. Dalam bahasa Indonesia terdapat
sembilan jenis kata sapaan, yaitu (1) kata ganti (aku, engkau, kamu, ia, kami, kita,
mereka, beliau, dsb.); (2) nama diri (nama orang yang dipakai untuk semua
pelaku); (3) istilah kekerabatan (bapak, ibu, saudara, paman, adik, dsb.. Sebagai
kata sapaan istilah kekerabatan tidak hanya dipakai terbatas di antara orang-orang
yang berkerabat, tetapi juga dengan orang lain); (4) gelar dan pangkat ( dokter,
suster, guru, kolonel, jendral, dll.); (5) bentuk pe + V (erbal) atau kata pelaku
(pembaca, pendengar, penonton, penumpang, dll.); (6) bentuk N (ominal) + ku (
Tuhanku, kekasihku, Miraku, bangsaku, dsb.); (7) kata-kata deiksis atau penunjuk
(sini, situ, ini); (8) nominal (kata benda atau yang dibendakan) lain (tuan,
nyonya, nona, encik, Yang Mulia, dsb.); (9) ciri zero atau nol (orang yang
berkata:”Mau ke mana?”—kata sapaan’saudara’ itu tidak disebut tetapi
dimengerti orang. Tiadanya suatu bentuk, tetapi maknanya ada itu disebut ciri
zero). Kesembilan kata sapaan dapat dikombinasikan (saudara pembaca, bapak
guru, dll.).
15
Kridalaksana menambahkan bahwa sistem tutur sapa untuk pelaku kedua
itu harus memperhatikan status dan fungsi pelaku 2 dalam pembicaraan. Yang
dimaksud dengan status ialah posisi sosial dari orang yang diajak bicara (pelaku
2) dalam hubungan dengan pembicara (pelaku 1): apakah ia lebih tinggi/tua,
ataukah sama, ataukah lebih rendah/muda. Yang dimaksud dengan fungsi ialah
jenis kegiatan atau jabatan pelaku 2 dalam pembicaraan. Penggunaan tutur sapa
untuk pelaku kedua mempunyai dimensi resiprokal atau nonresiprokal. Misalnya,
kata bapak dipakai secara resiprokal di kalangan guru (para guru laki-laki
biasanya saling memanggil bapak); tetapi kita memanggil guru kita bapak, sedang
ia tidak (non-resiprokal).
Selanjutnya, Kridalaksana menuliskan bahwa keanekawarnaan kata sapaan
itu ditentukan oleh adanya dialek regional (asal daerah), dialek sosial (perbedaan
kelas sosial), variasi situasi (resmi dan tidak resmi), sifat hubungan di antara
pelaku (akrab, biasa, formal resiprokal, non-resiprokal), serta faktor
multilingualisme di Indonesia.
Danandjaja (1980) mengadakan penelitian Kebudayaan Petani Desa
Trunyan di Bali. Dalam peneltiannya Danandjaja tidak membahas secara khusus
tentang istilah sapaan. Akan tetapi, membahas istilah tersebut pada bagian Sistem
Istilah Kekerabatan. Dalam membahas istilah kekerabatan Danandjaja merujuk
pada teori yang digunakan oleh Koentjaraningrat (1967:137, 1980:137,
1984:269). Danandjaja (1980:135) menyebutkan bahwa orang Trunyan
membedakan istilah kekerabatan (kinship terminology) menjadi istilah menyebut
16
(terms of reference) dan istilah menyapa (terms of address). Istilah kekerabatan
orang Trunyan berjumlah 23 istilah yang terdiri dari: 8 buah untuk istilah
menyebut (nyama, misan, mindon, kurẽnan, ipa, panak, mantu, dan cucu), 7
istilah menyapa (tiang, bli, mbok, adi, nang/guru kemong, men kemong, tiang iwa,
atau disapa dengan nama bujang atau nama gadisnya), dan 8 istilah baik untuk
menyebut maupun menyapa (klakab, kumpi, kaki, yaya, nanang, iwa, mémé, dan
warang).
Tahun 1999 dan 2006 Sudirman telah melakukan penelitian. Tahun 1999
ia mengadakan penelitian Geografi Dialek Bahasa Lampung Komering Ulu di
Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan. Hasil penelitiannya,
menemukan bahwa dialek bahasa Lampung Komering merupakan jenis dialek
yang terpisah dari dialek A dan dialek O yang ada dalam bahasa Lampung.
Penelitian ini tidak membicarakan istilah sapaan, tetapi mencantumkan contoh
kata-kata ini dalam kelompok kata kekerabatan. Kata-kata yang termasuk dalam
kata kekerabatan yang ditemukan adalah ombay (nenek); pak balak, pak tuha,
pak wa, bapak batin, bapak dalom, bapak lunik (kakak laki-laki dari ayah atau
ibu); mak wa, wak sak, uwa, ina balak, ina batin, ina dalom, ina lunik (kakak
perempuan dari ayah); kemaman, minan, mak bayan, mak su, mak ngah, ibu, adik
puadikan (istri adik laki-laki dari ayah); canggah, batin, aju, buyut, gunang,
puari, umpu, kiyai (cucu); induk, ina, umak, amak, mak (ibu); wo (kakak
perempuan); ading, adik (adik); matew (menantu).
17
Tahun 2006 Sudirman mengadakan penelitian Geografi Dialek Bahasa
Lampung di Wilayah Sumatera Bagian Selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa ada hubungan kontak bahasa Lampung dan bahasa Melayu sebagai bahasa
kerabat (language of a family); fonem dan leksikon bahasa Melayu banyak diserap
dan dipinjam oleh bahasa Lampung; bahasa Lampung lebih didominasi pengaruh
bahasa Melayu sehingga penutur bahasa Lampung lebih suka menggunakan
bahasa Melayu sebagai suatu prestise, akibatnya bahasa Lampung kurang dikenal
oleh masyarakat lainnya. Penelitian Sudirman tidak membicarakan kata sapaan
dalam bahasa Lampung, tetapi dia menemukan penutur bahasa Lampung di
daerah Sumatera Selatan yang masih menggunakan istilah-istilah sapaan bahasa
Lampung yaitu: (1) anak, buay, tuah (anak); (2) apak, ubak, ayah, amak, minak,
(bapak); (3) ondok, induk, induy, enduk, umak, mak, emak, ina (ibu); (4) ngoman,
angoman, inggoman, baybay, babay, sabay, bay, bey, kajong, maju (istri); (5)
laki, lakei, kiyai, kajong, ragah, mengian, inggoman (suami); (6) niyay, nyayik,
nyayei, embay, umbay, ombay, ambay, kajong, tamong (nenek); (7) mentuhe,
mantuha, mutuha, metuho (mertua); (8) nakon, nakan, naken (keponakan); (9)
onyak, enyak, nyak, sikam, sikamduwa, sikindiwa, sekenduwa, saya, pusekam,
sekam, ikam; (10) niku, nikeu, nikou, pusekam (engkau); (11) sekam, sikam,
hikam, sikamjou, sikinduwa, ekam, ikam, kite, ram (kami, kita); (12) honti, tian,
metei, meti (mereka).
Akhyar (2003) meneliti Sistem Sapaan dalam Bahasa Lampung Dialek
“O” Subdialek Menggala di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang,
18
Provinsi Lampung. Ia membahas bentuk-bentuk sapaan, konteks penggunaan
sapaan, serta teknik penutur memilih bentuk sapaan dalam suatu konteks bertutur
sapa. Hasil penelitian Akhyar mengelompokkan sapaan dalam bahasa Lampung
Dialek “O” subdialek Menggala menjadi dua, yaitu sapaan kekerabatan dan
sapaan nonkekerabatan. Hubungan kekerabatan dapat membedakan bentuk
sapaan. Sapaan terhadap saudara laki-laki dari ibu berbeda dengan sapaan
terhadap saudara laki-laki dari bapak. Misalnya, ego akan menyapa Menak atau
Om kepada saudara laki-laki dari ibu, sedangkan saudara dari bapak akan disapa
Apak, Apak Hou, Apak Ngah, dan Pak Su. Sapaan nonkekerabatan dikelompokkan
menjadi lima, yaitu (1) kata sapaan bidang agama, (2) kata sapaan bidang adat, (3)
kata sapaan bidang pemerintahan dan masyarakat terpelajar, (4) kata sapaan kata
ganti, dan (5) kata sapaan nama diri.
Hasil penelitian Akhyar lainnya menyebutkan bahwa pemakaian sapaan
pada situasi formal ego akan menggunakan bentuk sapaan lengkap, misalnya apak
hou, apak pengeran, menak, tante, bik su, sedangkan pada situasi nonformal ego
akan menggunakan sapaan tidak lengkap, contohnya pak hou, pak eran, nak, tan,
su atau uncu. Terakhir, ditemukan bahwa sapaan adat dalam situasi resmi wajib
dipakai, misalnya pada musyawarah adat yang dihadiri oleh pemuka-pemuka adat.
Penelitian Akhyar baru meneliti satu subdialek dari dialek O (Abung), yakni
subdialek Menggala.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, terlihat belum ada yang meneliti
sapaan bahasa Lampung dari keempat kelompok penutur bahasa Lampung
19
(Abung, Pesisir, Pubian, dan Komering) yang dilaksanakan di Kota Madya
Bandar Lampung. Dengan demikian, dianggap perlu diadakan penelitian yang
komprehensif daripada penelitian-penelitian sebelumnya.
1.7. Landasan Teori
Kajian tentang sapaan merupakan salah satu kajian dalam bidang
sosiolinguistik. Menurut pendapat Wijana dan Rohmadi (2006:8), Sosiolinguistik
memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan
pemakai bahasa di dalam masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang
dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi di sekitarnya. Dengan demikian, teori-teori yang dibahas dalam disertasi
ini adalah teori-teori yang membahas sapaan, struktur masyarakat pemakai
bahasa yang bersangkutan, serta situasi pemakaian bahasa (sapaan) di sekitar
masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan.
1.7.1. Definisi Sapaan
Fenomena sapaan telah banyak dibahas oleh pakar Antropologi maupun
Linguistik. Koentjaraningrat (1980:137) dikutip Danandjaja (1980:135)
membicarakan istilah sapaan dalam pembahasan istilah kekerabatan.
Koentjaraningrat dan Danandjaja mengemukakan bahwa dalam istilah
kekerabatan pada umumnya, tiap bahasa mempunyai dua macam sistem istilah
yang disebut: a) istilah menyapa, atau term of address, dan b) istilah menyebut,
atau term of reference. Istilah menyapa dipakai Ego untuk memanggil seseorang
20
kerabat apabila ia berhadapan dengan kerabat dalam hubungan pembicaraan
langsung. Sebaliknya, istilah menyebut dipakai oleh Ego apabila ia berhadapan
dengan seseorang lain, berbicara tentang seorang kerabat sebagai orang ketiga.
Contoh dalam bahasa Indonesia istilah menyapa bagi ayah adalah bapak atau pak,
sedangkan istilah menyebut bagi ayah adalah orang tua.
Kridalaksana (1982:14) menuliskan bahwa sapaan (address) adalah
morfem, kata, atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi
pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara itu.
Dalam sapaan ada wujud bahasa yang digunakan. Wujud bahasa itu dapat berupa
morfem, kata, atau frase. Misalnya, Pak, Bapak, Bu, Ibu, Saudara Pemirsa, dsb.
Kata-kata tersebut digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku
tutur ketika mereka melakukan pembicaraan. Selanjutnya, Kridalaksana
(1985:14) menyebutkan bahwa sapaan merupakan seperangkat kata atau
ungkapan yang digunakan untuk menyapa, menyebut, dan memanggil para
pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku itu meliputi pembicara atau
orang yang berbicara, selanjutnya disebut pelaku 1, lawan bicara (pelaku 2), dan
hal yang dibicarakan (pelaku 3).
Suhardi, dkk. (1984/1985:10) menyebutkan bahwa sapaan termasuk
kalimat minor bukan klausa biasanya dihubungkan dengan kalimat berklausa dan
hubungan di antaranya bersifat parataktis, artinya hubungan antara dua kalimat
yang mempunyai tataran sama dan hubungan itu tidak dinyatakan dengan kata
21
penghubung melainkan dengan jeda. Tanda jeda ini dinyatakan dengan tanda
koma.
Contoh penggunaan sapaan dalam kalimat:
1. Bu, tinggal di mana?
2. Anak-anak, jangan ramai!
Kartomihardjo (1988: 27) menuliskan bahwa salam dan sapaan sebagai
Phatic Communication adalah suatu ucapan, biasanya dengan sepatah dua patah
kata, yang tidak menyampaikan suatu pendapat atau gagasan, melainkan hanya
sebagai tanda adanya ikatan sosial.
Contoh: Selamat pagi, Saudara Baderi.
Kalimat di atas menunjukkan bahwa penutur (P1) mengucapkan salam,
“Selamat pagi” yang terdiri dari dua patah kata; dilanjutkan dengan sapaan,
“Saudara Baderi” (P2) terdiri dari dua patah kata; pernyataan ini untuk
menunjukkan adanya ikatan sosial (saling kenal) antara penutur (P1) dengan
lawan tutur (P2).
Istilah sapaan juga dikemukakan oleh Hadikusuma (pakar hukum adat
Lampung). Hadikusuma (1996:181) menyebut istilah sapaan dengan istilah
kekerabatan. Istilah kekerabatan di daerah Lampung disebut tutor atau tutur, yang
berarti panggilan, cara memanggil atau menyapa antara kerabat yang satu dengan
anggota kerabat yang lain. Contoh, suami memanggil isterinya dengan sapaan
gelar atau adik. Sebaliknya, seorang isteri memanggil suaminya dengan sapaan
22
gelar atau kiyai, adin, kakak, abang, atau menurut panggilan anak, misalnya apak,
ayah, buya, papah, papi.
Berdasarkan pendapat para pakar di atas, yang dimaksud dengan sapaan
dalam penelitian ini adalah seperangkat kata yang digunakan untuk menyapa,
memanggil, atau menyebut pelaku tutur bahasa Lampung baik kepada kerabat
maupun nonkerabat sesuai dengan konteks pembicaraan.
1.7.2. Faktor-Faktor Sosial yang Menentukan Pemilihan Sapaan
Dalam kegiatan bebahasa, termasuk dalam kegiatan bertutur sapa
terdapat berbagai faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kegiatan
tersebut. Poedjosoedarmo (1979:16-19) menyebutkan faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam kegiatan bertutur sapa yaitu, tingkat formalitas hubungan
perseorangan antara O1 dan O2; tingkat status sosial yang dimiliki O2;
kehadiran orang ketiga (O3), situasi emosi O1; watak O1; tujuan tutur; materi
percakapan; dan jenis tuturan.
Tingkat formalitas hubungan perseorangan antara O1 dan O2 dibedakan
menjadi tingkat hubungan akrab dan biasa/tidak akrab. Tingkat formalitas
hubungan perseorangan juga ditentukan oleh tingkat keangkeran O2. Tingkat
keangkeran ditentukan oleh latar belakang status sosial O2 (bentuk tubuh dan
ekspresi wajahnya, cara berbahasanya, tinggi rendahnya jabatan dan pangkat,
kekuasaan ekonomi, aluran kekerabatan, jenis kelamin, dan usia. Seseorang yang
memiliki tingkah laku sopan, halus, berpangkat tinggi dalam kepegawaian atau
23
keagamaan, kaya, termasuk tua dalam kekerabatan, biasanya disegani orang
(dianggap angker). Tingkat formalitas hubungan juga ditentukan oleh faktor usia
O2. Misalnya, dalam budaya Jawa, faktor usia sangat dihormati, sehingga banyak
orang yang menggunakan sapaan krama (berbasa) kepada orang yang usianya
lanjut walaupun orang tersebut miskin atau tak berpangkat.
Tingkat sosial menentukan bentuk sapaan yang digunakan. Orang
bangsawan, memiliki tingkat ekonomi tinggi/kaya, berpangkat dalam
pamong/pemerintahan, keagamaan, berpendidikan tinggi, akan disapa dengan
bentuk sapaan krama (tingkat tinggi). Misalnya, Raden atau Den.
Faktor kehadiran orang ketiga menentukan pemilihan sapaan. Pada
umumnya orang akan menggunakan sapaan tingkat tinggi (krama) bila ada orang
lain hadir dalam suatu percakapan. Hal ini biasanya digunakan dengan maksud
untuk menunjukkan kesopanan atau menghormati lawan tutur.
Situasi emosi O1 turut menentukan pemilihan sapaan. Situasi emosi O1
yang sedang marah biasanya menggunakan bentuk sapaan biasa (ngoko) yang
bernada kasar, situasi emosi sedih akan menggunakan sapaan biasa atau halus
(krama) yang bernada sedih, situasi senang biasanya menggunakan sapaan
halus/sopan (krama) dengan nada senang atau bahagia.
Watak O1 juga menentukan pemilihan sapaan. Watak penutur
sombong/congkak biasanya akan menyapa lawan tutur dengan sapaan tingkat
biasa (ngoko) meskipun usia lawan tutur itu lebih tua daripada penutur.
Sebaliknya, watak orang alus ‘halus’ akan menyapa lawan tutur dengan sapaan
24
krama/sopan meskipun lawan tutur berstatus lebih muda, tidak kaya, tidak
berpangkat tinggi, atau tidak berpendidikan.
Tujuan tutur O1 menentukan pemilihan bentuk sapaan. Pada waktu
membujuk atau merayu biasanya menggunakan sapaan krama/sopan supaya
lawan tutur merasa senang dan dihargai sehingga tujuan penutur bisa tercapai.
Materi percakapan juga menentukan pemilihan sapaan. Materi keagaman
atau kebatinan pada umumnya menggunakan bentuk sapaan tingkat tinggi/krama.
Berbeda dengan Poedjosoedarmo, Koentjaraningrat (1980:138)
menuliskan bahwa untuk menganalisis sistem-sistem istilah kekerabatan para ahli
antropologi menggunakan 9 prinsip universel, yaitu (1) angkatan (ayah adalah
angkatan +1 ke atas dari ego), (2) percabangan keturunan (ayah adalah cabang 0,
paman adalah cabang +1), (3) umur (kakak dan adik), (4) sex dari para kerabat
(ayah dan ibu, kakek dan nenek), (5) sex dari para kerabat yang menghubungkan
(saudara laki-laki dari ayah atau dari ibu), (6) sex dari si pembicara, (7) perbedaan
antara kerabat “darah” dan kerabat “karena kawin” (orang- tua dari mertua;
saudara dari ipar), (8) keadaan hidup atau wafat dari kerabat yang
menghubungkan, (9) principle of polarity (dua orang saling menyebut dengan
sebutan yang berbeda). Misalnya, A menyebut saudara laki-laki ayahnya B
dengan istilah paman. Sebaliknya, B menyebut A, anak saudara laki-lakinya
dengan istilah kemenakan, dan (10) prinsip umur dari kerabat penghubung.
Berbeda dengan Koentjaraningrat, Kartomiharjo (1981:89) menuliskan
bahwa faktor-faktor sosial yang menentukan pemilihan sapaan adalah (1) situasi
25
(formal dan informal); (2) etnisitas; (3) hubungan kekerabatan dan
nonkekerabatan; (4) tingkat keintiman; (5) status; (6) umur; (7) jenis kelamin; (8)
status perkawinan; (9) asal.
Berbeda dengan pakar-pakar di atas, Kridalaksana (1985:15-16)
menyebutkan bahwa dalam menggunakan kata sapaan terdapat faktor dialek
regional (latar belakang asal daerah pelaku), dialek sosial (latar belakang tingkat
sosial pelaku), variasi siuasi (formal dan informal), sifat hubungan di antara
pelaku (akrab, biasa, formal, resiprokal, nonresiprokal), serta faktor
multilingualisme. Oleh karena itu, di Indonesia terdapat pemakaian kata-kata
sapaan seperti lu, gue, jij, you, mas, bung, kita (untuk tunggal maupun jamak),
awak, uda, emang, dan lain-lain.
Kridalaksana menambahkan bahwa sistem tutur sapa untuk pelaku kedua
harus memperhatikan status dan fungsi pelaku 2 dalam pembicaraan. Yang
dimaksud dengan status ialah posisi sosial dari orang yang diajak bicara (pelaku
2) dalam hubungan dengan pembicara (pelaku 1): apakah ia lebih tinggi/tua,
ataukah sama, ataukah lebih rendah/muda. Yang dimaksud dengan fungsi ialah
jenis kegiatan atau jabatan pelaku 2 dalam pembicaraan. Penggunaan tutur sapa
untuk pelaku kedua mempunyai dimensi lain, yakni dimensi resiprokal/non-
resiprokal. Misalnya, kata bapak dipakai secara resiprokal di kalangan guru (para
guru laki-laki biasanya saling memanggil bapak); tetapi kita memanggil guru kita
bapak, sedang ia tidak (non-resiprokal).
26
Berbeda dengan pakar-pakar di atas, Wardhaugh (1988:219) menyebutkan
bahwa faktor-faktor yang menentukan penggunaan bahasa, termasuk penggunaan
sapaan dalam sistem kekerabatan terdiri dari faktor jenis kelamin (sex), usia
(age), generasi (generation), hubungan darah (blood), perkawinan (marriage).
Lain halnya dengan Wardhaugh, Holmes (1992:6) menyebutkan bahwa
pada umumnya faktor-faktor yang relevan diperhatikan dalam istilah-istilah
sapaan adalah norma-norma keluarga antara anak dan orang tua pada jenjang yang
berbeda. Contoh, di Inggris kelompok kalangan atas menggunakan mummy,
mater, atau mama; kelompok menengah menggunakan nama pertama ibunya;
kelompok bawah kadang-kadang menggunakan ma; audiens (siapa yang
mendengar); konteks sosial (formal atau umum, atau sendiri dan pribadi).
Romaine (1994:69-95) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap penggunaan bahasa, termasuk penggunaan sapaan adalah
kelas sosial (pendidikan, jabatan, penghasilan), gaya (formal dan informal), jenis
kelamin (laki-laki, perempuan), umur (dewasa, anak-anak), jaringan sosial
masyarakat, dan standarisasi.
Dari beberapa pendapat para pakar di atas, dalam penelitian ini yang
termasuk faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan adalah perbedaan
kerabat/nonkerabat, angkatan/tingkat generasi, jenis kelamin, status usia, status
pendidikan, status perkawinan, latar belakang asal keturunan, asal etnis, tingkat
hubungan, tujuan/fungsi pembicaraan, dan situasi pembicaraan.
27
1.7.3. Bentuk-Bentuk Sapaan
Berdasarkan bentuknya, sapaan terdiri dari seperangkat kata yang dipakai
untuk menyapa, memanggil, dan menyebut pelaku tutur dalam peristiwa bahasa
(lihat definisi sapaan). Yang dimaksud dengan kata adalah satuan atau bentuk
“bebas” dalam tuturan. Bentuk “ bebas” secara morfemis adalah bentuk yang
dapat berdiri sendiri (Verhaar; 1996:97). Sapaan berbentuk kata dibedakan
menjadi kata dasar dan kata jadian atau kata turunan. Sementara itu, kata turunan
terdiri dari kata kata ulang dan kata majemuk.
Kata dasar adalah kata yang belum mengalami perubahan dari betuk
asalnya. Contoh sapaan bentuk kata dasar yaitu bapak, ibu, kakek. Berikut ini
adalah contoh kalimat penggunaan kata dasar.
1. Bapak: Bapak, apakah Bapak sudah sehat?
2. Ibu: Ibu, mau pergi mengajar?
3. Kakek: Kakek, mau makan bubur?
Selain berbentuk kata dasar, sapaan juga bisa berbentuk kata jadian atau
kata turunan. Kata turunan terdiri dari kata ulang (reduplikasi) dan kata majemuk.
Kata ulang adalah kata yang mengalami perulangan. Contoh sapaan yang
berbentuk kata ulang adalah bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, adik-adik. Berikut
ini adalah contoh kalimat yang menggunakan sapaan kata ulang.
1. Bapak-bapak: Bapak-bapak, silakan dinikmati hidangannya!
2. Ibu-ibu: Ibu-ibu, apakah mau ikut jalan-jalan?
3. Anak-anak: Anak-anak, ayo kita mulai belajar!
28
Di samping berbentuk kata dasar dan kata ulang, sapaan juga bisa
berbentuk kata majemuk. Kata majemuk adalah gabungan morfem dengan kata,
atau kata dengan kata yang menimbulkan arti baru. Contoh sapaan untuk
menyebut (sebutan) yang berbentuk kata majemuk adalah orang tua, anak angkat,
anak tiri. Berikut ini adalah contoh kalimat yang menggunakan kata majemuk.
1. Orang tua: Orang tua saya berasal dari Jawa tengah.
2. Anak angkat: Ayah saya mempunyai anak angkat dua orang.
1.7.4. Jenis-Jenis Sapaan
Dalam membahas jenis sapaan masing-masing linguis berbeda dalam
mengklasifikasikannya. Poedjosoedarmo, dkk. (1979:36) menuliskan sapaan
dengan istilah bentuk-bentuk sapaan. Bentuk-bentuk sapaan itu meliputi sapaan
kekeluargaan (pak, bu), istilah gelar kebangsawanan (den, den mas), istilah
pangkat keagamaan (kyahi, romo), istilah pangkat kepegawaian (pak carik,
lurahe, mas juru), istilah kemiliteran (sersan, kapten), istilah kesukuan (bah,
nyah, yuk), istilah akademis (prof, dokter), istilah pemesra ( le untuk anak laki-
laki, nduk atau nok untuk anak perempuan).
Kridalaksana (1982:14) mengelompokkan sapaan menjadi sembilan jenis
yaitu (1) kata ganti ( aku, engkau, kamu, ia, kami, kita, mereka, beliau, dsb.); (2)
nama diri (nama orang yang dipakai untuk semua pelaku); (3) istilah kekerabatan
(bapak, ibu, saudara, paman, adik, dsb.). Sebagai kata sapaan istilah kekerabatan
tidak hanya dipakai terbatas di antara orang-orang yang berkerabat, tetapi juga
29
dengan orang lain. (4) gelar dan pangkat ( dokter, suster, guru, kolonel, jenderal,
dll.); (5) bentuk pe + V (erbal) atau kata pelaku ( pembaca, pendengar, penonton,
penumpang, dll.); (6) bentuk N (ominal) + ku (Tuhanku, kekasihku, Miraku,
bangsaku, dsb.); (7) kata-kata deiksis atau penunjuk (sini, situ, ini); (8) nominal
(kata benda atau yang dibendakan) lain seperti tuan, nyonya, nona, encik, Yang
Mulia, dsb.); (9) ciri zero atau nol (misalnya: orang yang berkata:”Mau ke
mana?”....kata sapaan ‘saudara’ itu tidak disebut, tetapi dimengerti orang.
Kridalaksana menyebutkan bahwa tiadanya suatu bentuk, tetapi maknanya ada itu
disebut ciri zero). Kesembilan kata sapaan ini dapat dikombinasikan
penggunaannya. Misalnya: saudara pembaca, bapak guru, dll.
Antara Poedjosoedarmo dan Kridalaksana terdapat persamaan dan
perbedaan pendapat dalam mengelompokkan sapaan. Persamaan pendapat kedua
pakar tersebut terlihat pada contoh istilah sapaan yang digunakan, yakni pada
contoh kata pak, bu, bapak, ibu, dll. Poedjosoedarmo memberi contoh kata-kata
itu untuk kelompok istilah kekeluargaan, sedangkan Kridalaksana memberi
contoh untuk istilah kekerabatan. Di samping adanya persamaan dalam pemberian
contoh kata sapaan yang dipakai, terdapat perbedaan istilah pengelompokan kata
sapaan. Poedjosoedarmo mengelompokannya menjadi delapan bentuk, sedangkan
Kridalaksana menjadi sembilan jenis. Perbedaan lainnya terlihat pada istilah yang
digunakan. Poedjosoedarmo memisahkan istilah pangkat keagamaan (kyahi,
romo), istilah pangkat kepegawaian (pak carik, lurahe, mas juru), istilah
kemiliteran (sersan, kapten), dan istilah akademis (prof, dokter), sedangkan
30
Kridalaksana menyebutnya dengan istilah gelar dan pangkat (dokter, suster, guru,
kolonel, jendral, dll.). Poedjosoedarmo memasukkan istilah pemesra (le dan nduk
atau nok), sedangkan Kridalaksana tidak memasukkan istilah ini. Poedjosoedarmo
tidak memasukkan istilah kata ganti, nama diri, bentuk pe + V (erbal) atau kata
pelaku (pembaca, pendengar, dll), bentuk N (ominal) + ku, kata-kata deiksis atau
penunjuk, nominal lain, dan ciri zero atau nol, sedangkan Kridalaksana
memasukkan istilah-istilah tersebut.
Wijana (1991:4—5) menyebutkan bahwa sapaan dalam bahasa Indonesia
terdiri dari tujuh kategori, yaitu kata ganti (namely pronouns), contoh, kata kamu;
istilah kekerabatan (kinship terms), contoh, kata bapak; nama (names),contoh,
kata Ali; istilah pekerjaan (ocupation terms), contoh, kata becak untuk menyapa
tukang becak; istilah kata sifat ( transpotitional adjectives), contoh, kata sayang;
istilah pertemanan/persahabatan (friendship terms), contoh, kata teman-teman;
dan istilah keagamaan (religious terms), contoh, kata Tuhan.
Berdasarkan pendapat pakar-pakar di atas, dalam penelitian ini penulis
mengelompokkan jenis sapaan menjadi (1) sapaan kekerabatan (kinship terms),
(2) nonkekerabatan., (3) sapaan nama diri, (4) sapaan kata ganti, (5) sapaan
pekerjaan (ocupation terms), (6) sapaan kesukuan, (7) sapaan menyebut/sebutan
(terms of reference), (8) sapaan pemesra (endearment), (9) sapaan persahabatan
(friendship terms), dan (10) sapaan gelar. Sapaan gelar ini terdiri dari sapaan
kebangsawanan, keagamaan, akademis, jabatan pemerintahan, sapaan pangkat
kemiliteran, sapaan profesi, dan sapaan gelar adat.
31
1.7.4.1. Sapaan Kekerabatan
Kridalaksana (1982:67) menyebut sapaan kekerabatan dengan istilah
kekerabatan (kindship terms, family terms). Yang dimaksud dengan istilah
kekerabatan adalah kata atau frase yang mengungkapkan anggota-anggota dari
suatu kelompok yang secara biologis berhubungan (berkerabat). Misalnya, kata
ayah, abang, ipar, mertua, dsb. Sapaan kekerabatan kadang-kadang juga dipakai
untuk menyapa anggota yang bukan kerabat. Misalnya, sapaan bapak yang
ditujukan untuk menyapa seorang laki-laki yang berusia dewasa; sapaan ibu yang
ditujukan untuk menyapa seorang perempuan berusia dewasa.
Poedjosoedarmo (1978:12) menyebutkan istilah kekerabatan (kin/kinship
terms) adalah sapaan yang digunakan untuk merujuk kata ‘saya’, ‘kamu’, ‘dia
laki-laki’, atau ‘dia perempuan’. Contoh lainnya, kata pak, bu, dik , kak, mas,
bang, oom, nak, mbak, paman, bibi, kakek atau kek, nenek atau nek. Istilah
kekerabatan dapat diikuti oleh nama diri (kak Mahmut), atau ia dapat berdiri
sendiri. sendiri.
Hadikusuma (1996:181) menyebut istilah kekerabatan dalam masyarakat
Lampung dengan istilah tutor atau tutur, yang berarti panggilan, cara memanggil
atau menyapa antara anggota kerabat yang satu dengan anggota kerabat yang lain.
Contoh, dahulu seorang suami memanggil istrinya dengan sapaan gelar, namun
sekarang dengan nama, “adik”. Kadang-kadang di desa masih ada yang
memanggilnya dengan sebutan “wa” atau “ui”. Sebaliknya, istri memanggil
suaminya dengan gelar, sedangkan kini dengan sebutan, kiyai, adin, batin, kakak,
32
atau abang. Kadang-kadang isteri memanggil suaminya juga dengan sebutan
“wa” atau “ui”, atau memanggil menurut panggilan anak, misalnya apak, ayah,
buya, papah, papi.
Yang dimaksud dengan sapaan kekerabatan dalam penelitian ini adalah
kata yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut para pelaku tutur
yang masih berkerabat atau hubungan keluarga. Seseorang disebut berkerabat
apabila ada pertalian darah atau tali perkawinan atau karena saudara akuan.
Contoh, bapak, ubak, apak, buya (bapak/ayah), ibu, ibeu, umak, siti (ibu), kiyai,
kaka, kakak, adin, kanjeng (kakak), anggoman (suami/isteri), sabai (besan),
mentuha, mentuho (mertua).
1.7.4.2. Sapaan Nonkekerabatan
Yang dimaksud dengan sapaan nonkekerabatan adalah sapaan yang
digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur yang tidak ada
hubungan kerabat.
1.7.4.3. Sapaan Nama Diri
Nama diri (proper name, proper noun) nama orang, tempat, atau benda
tertentu (dipertentangkan dengan nama jenis); misal Simon, Kalimantan, Monas
(Kridalaksana; 1972:112).
Di beberapa budaya, orang mempunyai nama yang hanya digunakan dalam
lingkungan keluarga dan mempunyai nama lain untuk di luar keluarga,
33
mempunyai nama yang digunakan hanya pada acara formal, dan kadang-kadang
status perkawinan relevan dipilih untuk bentuk sapaan: Miss vs Mrs (Holmes;
1992:4). Budaya demikian juga terjadi di Indonesia, misalnya dalam budaya
Lampung seseorang mempunyai nama Suttan Penegak Bumi yang dipakai dalam
acara formal atau dalam acara adat, sedangkan nama di luar acara formal nama
orang tersebut adalah Zaenuddin. Contoh lainnya, sapaan Duli Ratu dipakai
sebelum menikah; sapaan Tuan Rajo Sembai dipakai setelah menikah. Nama diri
dalam masyarakat Lampung biasa juga disebut gelar/gelakh.
Sapaan nama diri sering dipergunakan oleh penutur terhadap lawan tutur
yang mempunyai hubungan sudah akrab, atau yang berusia sebaya, atau yang
berusia lebih tua. Penggunaan sapaan nama diri biasanya dalam situasi nonformal.
Yang dimaksud dengan sapaan nama diri dalam penelitian ini adalah
sapaan yang dipakai untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur
yang berbentuk nama diri individu. Contohnya, Budi, Dita, Adi, Astri.
1.7.4.4. Sapaan Kata Ganti (Pronomina)
Kridalaksana (1982:138) menyebutkan yang dimaksud dengan kata ganti
/pronomina (pronoun) dalam bahasa Indonesia adalah kata yang menggantikan
nomina atau frase nominal. Kata ganti (pronomina) dalam bahasa Indonesia
dikelompokkan menjadi tiga, yakni kata ganti orang, kata ganti keterangan waktu,
dan kata ganti tempat. Bentuk kata ganti yang erat kaitannya dengan kegiatan
bertutur sapa adalah bentuk kata ganti orang atau kata ganti persona. Kata ganti
34
persona dibedakan menjadi tiga, yaitu kata ganti/pronomina orang pertama
(penutur), kata ganti orang/pronomina persona kedua (lawan tutur), dan kata ganti
orang/pronomina persona ketiga (orang yang disebut dalam tuturan). Masing-
masing bentuk kata ganti tersebut dibedakan lagi menjadi pronomina persona
tunggal dan pronomina persona jamak. Kata ganti /pronomina persona pertama
(fisrt person) adalah bentuk pronomina persona yang dipakai oleh pembicara
untuk mengacu pada diri pembicara itu sendiri; misal: aku, saya, beta, kami, kita.
Pronomina persona kedua (second person) adalah pronomina persona yang
mengacu pada orang yang diajak bicara/pendengar/pembaca sebagai partisipan
dalam situasi bahasa tertentu; kawan bicara (engkau, kamu, anda, kalian).
Pronomina persona ketiga (third person) adalah pronomina persona yang dipakai
pembicara untuk menunjuk/ mengacu pada orang yang dibicarakan atau pihak lain
di luar pembicara dan kawan bicara; misal ia, dia, mereka, beliau
Kata ganti dalam istilah pragmatik disebut dengan istilah deiksis (Lyons,
1977:636; Levinson, 1983:62; Yule, 1996:15; Fatimah, 1999:43; Nadar, 2009:55;
Wijana, 2010:81--82). Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk
linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan
deiksis. Ungkapan-ungkapan deiksis dibedakan menjadi tiga yaitu deiksis untuk
menunjuk orang (deiksis persona: saya, kamu, aku, ku, kamu, mu, bapak, ibu,
dll.), deiksis untuk menunjuk waktu (deiksis temporal: sekarang, kemudian), dan
deiksis untuk menunjuk tempat (deiksis spasial/lokatif: di sini, di sana).
Ungkapan deiksis yang berkaitan dengan partisipan (orang) dalam suatu situasi
35
bahasa disebut persona (person). Bentuk deiksis persona (person) ini biasa
digunakan dalam bertutur sapa.
Dalam bahasa Lampung juga dikenal kata ganti (pronomina). Nazaruddin,
dkk. (1992:40—43) menyebutkan bahwa pronomina adalah kata yang dipakai
untuk mengacu ke nomina lain. Pronomina yang berkaitan dengan sapaan adalah
pronomina persona. Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk
mengacu kepada orang. Pronomina persona terdiri dari tiga, yaitu pronomina
persona pertama, pronomina persona kedua, dan pronomina persona ketiga.
Contoh, nyak, saya, sikinduwa, sikamduwa (saya), sikam (kami), gham (kita),
niku, pusikam (kamu, anda), ia (dia), beliau (beliau).
Yang dimaksud dengan sapaan kata ganti dalam penelitian ini adalah
sapaan yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut lawan tutur
dengan menggunakan kata ganti /pronomina persona ke-1, pronomina persona ke-
2, atau pronomina persona ke-3.
1.7.4.5. Sapaan Pekerjaan atau Aktivitas
Yang dimaksud dengan sapaan pekerjaan atau aktivitas adalah sapaan
yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur dengan
menggunakan jenis pekerjaan atau aktivitas pelaku tutur. Contoh: sayur (penjual
sayur), jamu (penjual jamu), cak/becak (tukang becak), taksi (sopir taksi), Ojek
(tukang ojek), sate (penjual sate), somay (penjual siomay), pendengar,
pemirsa/penonton.
36
1.7.4.6. Sapaan Kesukuan (Etnis)
Yang dimaksud dengan sapaan kesukuan adalah sapaan yang digunakan
untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur dengan menggunakan
kata atau istilah asal suku (etnis) pelaku tutur. Contoh, bah/babah (etnis Cina),
Mas (etnis Jawa), Neng/Eneng (etnis Sunda), Uda (etnis Minangkabau).
1.7.4.7. Sapaan Menyebut /Sebutan (Term of Reference)
Yang dimaksud dengan sapaan menyebut (Sebutan) adalah sapaan yang
dipakai Ego apabila berhadapan dengan seseorang lain, berbicara tentang seorang
kerabat sebagai orang ketiga. Contoh, anak menyebut ayahnya adalah orang tua,
cucu menyebut orang tua ayah dan ibunya adalah kakek-nenek (Koentjaraningrat;
1980:137).
1.7.4.8. Sapaan Kesayangan/Pemesra (Endearments)
Yang dimaksud dengan sapaan kesayangan/pemesra (endearments) adalah
sapaan yang digunakan untuk menyapa atau memanggil pelaku tutur yang sangat
disayangi atau telah dikenal baik untuk menyatakan rasa sayang yang sangat
dalam. Contohnya, momin’sweetheart, hello love (Holmes; 1992:3); cucunda,
adinda, kakanda, dsb. (Poedjosoedarmo; 1983:13).
37
1.7.4.9. Sapaan Persahabatan (Friendship Terms)
Yang dimaksud dengan sapaan persahabatan atau pertemanan adalah
sapaan yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut lawan tutur
yang mempunyai tingkatan atau status yang sama yang sudah dikenal dekat/akrab.
Contohnya, kawan, teman, sahabat, rekan (Wijana; 1991:32).
1.7.4.10. Sapaan Gelar
Badudu dan Zain (1994:438) menyebutkan yang dimaksud dengan gelar
berarti (1) kata yang ditambahkan kepada nama untuk menunjukkan kasta atau
martabat orang, misal tengku, raden, andi; (2) kata yang ditambahkan di depan
nama seseorang yang menyelesaikan studi di perguruan tinggi; titel: Ir., Drs.,
Dra., Dr.; (3) nama besar atau alias, lawan nama kecil: Osman – Sutan
Makhudum, Rajamin – Mangaraja Bungsu; (4) nama yang diberikan orang
berhubungan dengan keadaan badan atau tabiat seseorang: si jangkung, si bopeng,
si gendut, si mulut besar.
Definisi lain menyebutkan bahwa gelar adalah (1) sebutan kehormatan,
kebangsawanan, atau kesarjanaan yang biasanya ditambahkan pada nama orang
seperti: raden, tengku, doktor, sarjana ekonomi (S.E.); (2) nama tambahan sesudah
seseorang menikah /setelah tua (sebagai kehoramatan). Contoh: ia diberi gelar
Sutan; (3) sebutan/julukan yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang.
Contoh: Si Gendut, Sri Kandi, dsb. (Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI]
38
diunduh dari laman web badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php 18 Maret
2015 pukul 21.00 wib.).
Berdasarkan kedua pendapat di atas, yang dimaksud dengan sapaan gelar
adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku
tutur dengan mengggunakan kata, nama, atau sebutan yang menunjukkan
kehormatan, kebangsawanan, kesarjanaan/akademik, setelah menikah, atau
julukan yang berhubungan dengan keadaan/tabiat orang.
Sapaan gelar dibedakan berdasarkan sapaan gelar kebangsawanan,
keagamaan, kesarjanaan/akademik, jabatan pemerintahan, pangkat kemiliteran,
profesi, dan gelar adat.
a. Sapaan Gelar Kebangsawan
Yang dimaksud sapaan gelar kebangsawan dalam penelitian ini adalah
sapaan yang dipakai untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur
dengan menggunakan kata atau istilah yang menunjukkan keturunan orang mulia
(terutama raja dan kerabatnya; ningrat; orang berbangsa), tingkatan, kasta, atau
martabat seseorang. Contoh: Sultan, Ratu, Pangeran, Permaisuri, Maharaja,
Gusti, Tumenggung.
b. Sapaan Gelar Keagamaan
Yang dimaksud dengan sapaan keagamaan adalah sapaan yang dipakai
untuk menyapa atau memanggil pelaku tutur yang terlibat dalam bidang
keagamaan, yang biasa memberi pelajaran (guru) agama, yang mempunyai tugas
khusus dalam bidang agama, atau orang yang sudah melaksanakan ibadah haji.
39
Sapaan keagamaan biasanya disesuaikan dengan jenis agama masing-masing.
Misalnya, Tuhan, Allah, ustad, ustazah, imam, haji, hajah, penghulu, pendeta,
romo, dan pastur,
c. Sapaan Gelar Kesarjanaan/Akademik
Yang dimaksud dengan sapaan gelar akademik dalam penelitian ini adalah
sapaan yang dipakai untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur
yang sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi; titel. Contoh, Prof., Dr.,
Ph.D., Ir., Drs., Dra., dr.
d. Sapaan Gelar Jabatan Pemerintahan
Yang dimaksud dengan sapaan gelar jabatan adalah sapaan yang
digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur yang
menduduki/memangku/menjabat jabatan dalam suatu lembaga. Contoh, presiden,
menteri, gubernur, bupati, camat, lurah.
e. Sapaan Gelar Pangkat Kemiliteran
Yang dimaksud dengan sapaan gelar pangkat kemiliteran adalah sapaan
yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur yang
menduduki/memangku/menjabat jabatan/status/pangkat dalam bidang militer.
Contoh: jenderal, mayor jenderal (mayjen), brigadir jenderal (brigjen), kapten,
mayor, sersan, komandan, briptu, bripda.
f. Sapaan Gelar Profesi
Yang dimaksud dengan sapaan gelar profesi adalah sapaan yang
digunakan untuk menyapa, memanggil, dan menyebut pelaku tutur yang
40
mempunyai profesi dalam bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan, kejuruan) tertentu. Contoh: dokter, dosen, guru, hakim, jaksa.
g. Sapaan Gelar Adat
Yang dimaksud dengan sapaan gelar adat adalah sapaan yang digunakan
untuk menyapa, memanggil, atau menyebut pelaku tutur dengan menggunakan
gelar/sebutan/julukan yang diberikan oleh lembaga adat.
Dalam masyarakat Lampung sapaan gelar adat terdiri dari dua, yaitu
gelar adat berdasarkan status perkawinan dan gelar adat berdasarkan tingkatan
atau jenjang dalam adat. Gelar adat berdasarkan status perkawinan dibedakan
atas jejuluk/Juluk dan adek/adok/adoq. Gelar jejuluk/Juluk adalah sapaan gelar
adat yang diberikan kepada anak yang baru lahir dan digunakan/berlaku sampai
status anak itu belum menikah. Pemberian gelar jejuluk/Juluk dilaksanakan pada
acara syukuran pemberian nama yang disebut akikahan/marhabanan. Pada acara
tersebut dilaksanakan, orang tua anak harus menyembelih kambing dua ekor
untuk anak laki-laki atau kambing satu ekor untuk anak perempuan. Juluk/jejuluk
merupakan gelar kecil dan bersifat sementara sebelum anak itu menikah. Apabila
anak itu sudah menikah, jejuluk/Juluknya tidak akan dipakai lagi. Orang yang
berhak memberi Jejuluk/Juluk untuk seorang anak adalah orang tua (bapak dan
ibu) anak yang bersangkutan, kakek dan nenek dari bapak dan ibu, dan saudara
laki-laki tertua dari bapak dan ibu. Jejuluk/Juluk untuk seorang anak bisa lebih
dari satu. Dalam memilih jejuluk/Juluk dipakai nama-nama yang mengandung
makna indah dan baik. Menurut keyakinan mereka, nama itu merupakan doa atau
41
harapan, sehingga setiap kali menyebut nama anak itu, berarti orang tua atau
kerabat itu mendoakan dan mengharapkan suatu kebaikan atau keindahan yang
akan terjadi atau dialami dalam kehidupan anak tersebut. Contoh gelar
Jejuluk/Juluk, Mahkota, Intan Baiduri, Putri Anggunan, Sri Maha Raja, Raja
Marga, dll. Gelar adėk/adok/adoq adalah sapaan gelar adat yang diberikan oleh
kerabat atau lembaga adat kepada seseorang yang berstatus sudah menikah
dilaksanakan pada waktu acara pernikahan.
Gelar adek/Adok/Adoq juga digunakan dalam istilah sapaan yang
menunjukkan gelar adat berdasarkan perbedaan jenjang atau tingkatan dalam adat.
Yang dimaksud dengan gelar adat berdasarkan jenjang atau tingkatan dalam adat
adalah gelar adat yang diberikan oleh lembaga adat kepada seseorang berdasarkan
jenjang atau tingkatan adat yang menunjukkan stratifikasi sosial/status/kedudukan
seseorang dalam adat. Gelar adek/adok/adoq diperoleh dengan cara mengadakan
upacara adat khusus yang disebut dengan istilah begawi/begawei atau
dilaksanakan bersamaan dengan upacara perkawinan. Pada masyarakat adat
Saibatin, pemberian gelar adek/adok/adoq bersifat keturunan/menurun,
disesuaikan dengan tingkatan keturunan orang tuanya dari garis bapak. Contoh,
Radin Inten I, Radin Inten 2. Pada masyarakat adat Pepadun, pemberian gelar
adėk/adok/adoq disesuaikan dengan asal usul orang tua (bapak), kemampuan
ekonomi si penerima gelar tersebut, atau status jabatan, fungsi, dan peran
seseorang dalam lembaga adat. Contoh gelar adek/adok/adoq, Suttan Junjungan
42
Mergo, Suttan Rajo Sangun Ratu, Pengiran Asli, Ratu Bangsawan, Raja Singa
Barata, dll.
1.7.5. Konteks Pemakaian Sapaan
Kegiatan bertutur sapa termasuk dalam kegiatan adegan tutur. Dalam
membicarakan konteks pemakaian sapaan tidak bisa terlepas dari konteks
pemakaian bahasa ujaran atau tuturan dalam adegan tutur. Menurut
Poedjosoedarmo (1976:4) konteks yang selalu dipakai sebagai patokan di dalam
sosiolinguistik adalah konteks pemakaiannya. Konteks pemakaian dalam kegiatan
bertutur, yang dianggap sebagai konteks sosial atau faktor ekstralinguistik yang
banyak mempengaruhi wujud wacana yang dituturkan seseorang dalam adegan
tutur dikenal dengan Speech Component (komponen tutur). Speech Component
(John Gumperz and Dell Hymes;1972:6-7, Poedjosoedarmo;1986:4) atau
Components of Speech (Hymes; 1974:53--62), The Ethnography of
Communication (Hymes;1974 dalam Wardhaugh 1988: 238—240). Speech
Component (komponen tutur) ini dikenal dengan formulasi mnemonik
SPEAKING (Inggris) atau PARLANT (Perancis). SPEAKING (Poedjosoedarmo;
1976:4), (Wijana; 2006:9) terdiri dari S= settings, merujuk ke tempat dan waktu
terjadinya pertuturan; P= participants, merujuk ke peserta tutur; E = Ends,
merujuk ke tujuan tutur; A = Acts of sequence, merujuk ke urutan tutur; K = keys,
merujuk ke cara bertutur; I = instrumentalities, merujuk ke saluran dan bentuk
tutur yang dipakai dalam bertutur; N = norm, merujuk ke norma atau aturan
43
dalam bertutur baik norma bahasa maupun norma masyarakat; G = genre,
merujuk ke jenis tuturan. PARLANT: Participants, Actes, Raison (resultat),
Locale, Agents (instrumentalities), Norms, to (key), Types (genres).
Selanjutnya, Poedjosoedarmo (1986:6—7) dalam Nadar (2009:8—10)
mengembangkan formulasi komponen tutur SPEAKING ini menjadi memoteknik
O,O,E,MAU BICARA. O1= Orang ke-1= Pribadi si penutur. O2= Orang ke-2=
lawan tutur. E= Warna Emosi O1 waktu berbicara. M= Maksud dan kehendak si
penutur. A= Adanya O3 yang hadir di dalam pembicaraan. U= Urutan bicara. B=
Bab atau pokok pembicaraan. I= Instrumen atau sarana tutur. C= Citarasa tutur.
A= Adegan tutur = peristiwa tutur. R= Register= tipe wacana. A= Aturan atau
norma kebahasaan.
Komponen tutur di atas, menurut Poedjosoedarmo (1986:4) dapat
dijadikan acuan untuk menentukan faktor penentu adanya variasi tutur yang
berbeda. Komponen tutur ini menjadi konteks dan sekaligus penentu terbentuknya
berbagai variasi tutur. Dengan demikian, komponen-komponen tutur dapat juga
dijadikan unsur pembeda di dalam menentukan pilihan sapaan yang akan
digunakan oleh pelaku tutur.
1.7.6. Fungsi Sapaan
Berbicara mengenai fungsi sapaan tidak bisa terlepas dari pembicaraan
tentang fungsi bahasa. Adapun fungsi bahasa menurut Nida (1975:24) adalah (1)
expressive (ekspresif), (2) informative (informatif), dan (3) imperative (imperatif).
44
Fungsi ekpresif adalah fungsi bahasa untuk mengekpresikan pendapat atau
perasaan; fungsi informatif adalah untuk memberikan informasi; fungsi imperatif
untuk menyatakan permintaan.
Holmes (1992:286) membicarakan dua fungsi bahasa dalam ujaran yang
dipakai dalam interaksi sehari-hari. Fungsi bahasa terdiri dari fungsi afektif atau
sosial dan fungsi referensial. Holmes memberikan contoh percakapan antara
penutur (O1) dengan lawan tutur (O2) yang belum saling kenal bertemu di stasiun
kereta. Mengucapkan salam dan menyampaikan pendapat mengenai cuaca
merupakan penggunaan fungsi sosial yang digunakan untuk membangun kontak
di antara dua partisipan (pelaku tutur); fungsi referensial lebih berorientasi pada
menyampaikan informasi kepada lawan tutur.
Poedjosoedarmo ( 1979:6) menyebut tradisi bertegur sapa dengan istilah
phatic communion. Melalui sapaan akan menentukan tingkat kesopanan dan
tingkat sosial para pelaku tutur dalam tindak tutur. Melalui penggunaan sapaan
pula, ikut menentukan tingkat tutur dalam berbahasa, khususnya dalam berbahasa
Jawa. Dalam tingkat tutur yang berbeda, maka akan berbeda pula menggunakan
bentuk sapaannya. Misalnya, penggunaan sapaan kowe sebagai kata ganti lawan
tutur (O2) menyatakan tingkat kesopanan ngoko (biasa); sampeyan sebagai
sapaan kata ganti lawan tutur (O2) menunjukkan tingkat tutur madya (tingkat
kesopanan sedang), panjenengan sebagai sapaan kata ganti lawan tutur (O2)
menunjukan tingkat tutur krama (tingkat kesopanan tinggi/sopan).
45
Suhardi, dkk. (1984/1985:10) merujuk pendapat Lyons (1978:575)
menyebutkan bahwa sapaan berfungsi mengundang orang lain tertentu untuk
menerima peran sebagai lawan bicara atau memberikan reaksi verbal atau
nonverbal. Fungsi itu disebut sebagai fungsi vokatif.
Berbeda dengan pendapat Suhardi, dkk., Hadikusuma (1988:81)
menyebutkan bahwa sapaan dapat digunakan untuk menunjukan sopan santun dan
dapat menentukan peran seseorang baik sebagai penyapa maupun sebagai pesapa.
Misal, Sapaan Kuti ghumpok digunakan untuk menghormati atau menunjukkan
sopan santun; sapaan Niay digunakan oleh penutur berusia lebih muda (adik)
kepada kakak kandung perempuan. sapaan Kanjeng menunjukkan bahwa pemilik
sapaan yang bersangkutan berperan sebagai anak pertama (laki-laki/perempuan).
Penggunaan sapaan memegang peranan penting dalam adat istiadat masyarakat
Lampung. Bila penggunaan sapaan tidak tepat, seseorang dapat dikatakan tidak
tahu adat istiadat. Di samping itu juga, akan dapat mengganggu kelancaran
komunikasi antara penyapa dan pesapa. Bahkan, suatu komunikasi antara penyapa
dan pesapa dapat terhenti sama sekali atau terputus. Bahkan, lebih fatal lagi, akan
dapat mengakibatkan kemarahan atau merasa terhina atau tersinggung pelaku
tutur. Contohnya, lawan tutur yang bergelar Suttan (gelar untuk jenjang pertama)
disapa dengan sapaan Pengiran (gelar untuk jenjang ketiga). Dengan sapaan yang
salah tersebut, lawan tutur menjadi turun derajat/status, peran, dan hak-haknya.
Kartomihardjo (1988:27) menyebutkan bahwa salam dan sapaan memiliki
makna sosial yang penting. Bila kita lupa menggunakannya, kita bisa dicap
46
sebagai orang yang sombong, lupa diri, dsb. Salam dan sapaan memiliki dua
fungsi, yaitu (1) sebagai tanda bahwa kita memperhatikan orang yang kita sapa
dan (2) sebagai alat yang mengontrol interaksi.
1.7.7. Makna Sapaan
Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tiap-tiap sapaan, tidak
dapat terlepas dari pembicaraan makna secara umum. Yang dimaksud dengan
makna adalah hubungan antara kata dan objek-objek yang ditunjuknya (Wijana;
2010:24).
Di samping untuk menunjuk sesuatu, makna kata dalam bahasa juga
digunakan untuk mengungkapkan berbagai macam sikap atau perasaan
penuturnya sehingga di samping memiliki makna denotatif, dimungkinkan pula
leksem-leksem yang diungkapkan oleh seseorang mengandung makna konotatif
(Wijana; 2010:25). Makna denotatif adalah makna sauan-satuan kebahasaan yang
dapat diidentifikasikan tanpa satuan itu bergabung dengan satuan lingual yang
lain. Misalnya, kata ayah memiliki makna ‘orang tua laki-laki’, ibu ‘orang tua
perempuan’. Sementara itu, yang dimaksud dengan makna konotatif adalah makna
emotif yang dapat dibangkitkan oleh sebuah kata. Contoh, kata suami adalah
seorang laki-laki yang sudah menikah dan bermakna sopan (konotasi positif),
sedangkan kata laki adalah seorang laki-laki yang sudah menikah dan bermakna
tidak sopan/biasa (berkonotasi negatif).
47
Selain Wijana, pakar lain yang membicarakan makna adalah
Poedjosoedarmo. Poedjosoedarmo (2000:5) membicarakan tentang makna yang
dipakai dalam kajian Sosiolinguistik. Makna dalam kajian Sosiolinguistik
berhubungan dengan makna dalam variasi tutur atau variasi bahasa. Makna dalam
variasi tutur mempunyai makna variasional. Makna variasional mengacu pada
latar belakang si penutur, suasana (santai atau formal), hubungan antarpelaku tutur
(akrab atau berjarak), perasaan (sopan atau biasa), dan sebangsanya. Di samping
itu, variasi tutur juga mempunyai makna umum dan makna rincian. Makna umum
mencerminkan perbedaannya dengan makna kata atau kode yang lain, sedangkan
makna rincian timbul sebagai akibat dijalinnya kata (kode) itu dengan konteksnya.
Makna umum mengandung beberapa raut semantik (semantic features). Adapun
jumlah raut semantik ini sama dengan jumlah jenis konteks yang biasa
menjalinnya.
Berbeda dengan pakar sebelumnya, Fatimah (2008;1) mengemukakan
bahwa makna dapat ditinjau dari pendekatan analitik atau referensial, yakni
pendekatan yang mencari esensi makna dengan cara menguraikannya atas unsur-
unsur utama. Dalam pendekatan analitik makna kata dapat dirinci, seperti pada
kata gadis, secara analitik dapat dirinci sebagai berikut:
gadis -- + bernyawa + manusia
+ dewasa + belum kawin
+ perempuan + berambut panjang.
48
Untuk mengetahui makna-makna sapaan yang biasa dipakai dalam istilah
kekerabatan dipergunakan analisis komponensial (Componential Analysis of
Meaning) berdasarkan teori Nida (1975). Nida (1975:33) mencontohkan makna
kata bapak (father) adalah nama dari leluhur/nenek moyang pertama, berjenis
kelamin laki-laki, satu generasi di atas ego, dan garis langsung dari keturunan ego.
Makna kata dalam istilah kekerabatan bisa dibedakan berdasarkan komponen sex
(jenis kelamin), generation (generasi), dan lineality (garis keturunan) (Nida;
1975:34). Gambaran tentang makna kekerabatan dapat dilihat pada bagan di
bawah ini.
Lin. 1 Lin. 2 Lin.3
M F M F M or F
(Nida; 1975:34)
Keterangan:
Makna kata Ego merujuk pada generasi 0 (gen 0), seorang laki-laki atau
perempuan (M/F), garis keturunan 1 (lin. 1). Father (ayah) merujuk pada seorang
laki-laki (M), generasi I di atas ego ( gen. +1), dan garis keturunan 1 (Lin. 1).
Mother (ibu) merujuk pada seorang perempuan (F), generasi 1 di atas ego ( gen.
+1), dan garis keturunan 1 ( Lin. 1). Son (anak, laki-laki) merujuk pada seseorang
yang termasuk generasi 1 di bawah ego (gen -1), dan garis keturunan 1 ( Lin. 1),
dst.
Generation +1
Father
Mother Uncle Aunt
cousin
Generation 0
Ego Brother Sister
Generation -1
Son
Daughter Nephew Niece
49
Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, yang dimaksud dengan
makna sapaan dalam penelitian ini adalah makna variasional yang mengacu pada
latar belakang pelaku tutur berdasarkan jenis kelamin, tingkat generasi, usia,
urutan lahir, jenjang/tingkatan adat, status perkawinan, asal garis keturunan,
situasi pembicaraan, tingkat hubungan, jenis sapaan, dan tujuan pembicaraan.
1.8. Metode Penelitian
Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Metode ini digunakan karena data yang disajikan dalam penelitian ini
adalah data secara akurat (apa adanya) sesuai dengan sifat alamiah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Fatimah (1993:15), sedangkan metode penelitian yang
digunakan secara khusus, yang berkaitan dengan kajian Sosiolinguistik adalah
metode simak (pengamatan/observasi) dan metode cakap (wawancara) menurut
Mahsun (2009:242—250). Metode simak digunakan pada waktu penulis
mengamati dan mengobservasi tuturan yang digunakan oleh penutur (informan)
pada waktu mereka berkomunikasi, sedangkan metode cakap (wawancara)
digunakan untuk mewawancarai informan ketika menanyakan hal ihwal yang
berkaitan dengan sapaan (istilah-istilah sapaan, faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam menentukan dan menggunakan sapaan, dan adat istiadat
pemberian serta penggunaan sapaan).
50
1.9. Sumber Data
Yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer berupa bahasa lisan atau berupa tuturan lisan yang
dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari oleh penutur asli bahasa Lampung.
Penetapan bahasa lisan sebagai data penelitian karena (1) bahasa lisan merupakan
bentuk bahasa yang aktual (berupa parole) sebagai realisasi sistem secara
individual; (2) bahasa lisan dapat memenuhi perian bahasa secara deskriptif atau
empiris masih hidup; (3) bahasa lisan Bahasa Lampung masih digunakan sebagai
alat komunikasi dan interaksi sehari-hari masyarakat asli Lampung. Sementara itu,
data sekunder dalam penelitian in adalah berupa buku-buku yang berkaitan
dengan Bahasa Lampung baik berupa kamus maupun buku pelajaran/materi
perkualiahan Bahasa Lampung, dan hasil-hasil penelitian tentang Bahasa
Lampung.
1.10. Informan
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, data diperoleh dari informan
penutur asli bahasa Lampung. Sebagaimana yang disebutkan oleh Samarin
(1988:34) bahwa informan sebagai sumber data primer dapat memberikan data
satuan lingual yang diketahui dan diteliti bagaimana bahasa itu dituturkan, apa
artinya, dan bagaimana bahasa tersebut digunakan. Sementara itu, informan yang
dijadikan sasaran penelitian adalah informan yang mempunyai kriteria (1) penutur
yang berusia dewasa ke atas sampai taraf belum pikun; (2) penutur asli bahasa
51
Lampung; (3) penutur bahasa tersebut yang memiliki pengetahuan berbahasa
dengan baik; (4) penutur bahasa tersebut tidak cacat alat bicaranya.
Informan yang dipilih terdiri dari dua kelompok, yakni kelompok tokoh
adat dan kelompok masyarakat biasa yang menggunakan bahasa Lampung.
Kelompok tokoh adat Lampung dipilih berdasarkan asumsi bahwa mereka
mempunyai wawasan luas dan mengetahui hal ihwal sapaan, adat istiadat bertutur
sapa, dan budaya pemberian dan penggunaan sapaan bahasa Lampung. Kelompok
masyarakat pemakai bahasa Lampung diasumsikan bahwa mereka benar-benar
yang masih biasa menggunakan istilah-istilah sapaan bahasa Lampung dalam
berkomunikasi sehari-harinya. Adapun jumlah informan yang diwawancarai
berjumlah seratus (100) orang. Dasar penentuan informan tersebut berdasarkan
pendapat Samarin (1988:152) yang menyebutkan bahwa dalam menentukan
informan hendaknya ditentukan jumlah sebanyak-banyaknya sampai ditemukan
istilah-istilah yang dipakainya dianggap cukup jenuh. Dari seratus (100) informan
tersebut penulis sudah dapat menemukan istilah-istilah sapaan yang sejenis.
Sapaan sejenis ini penulis anggap sudah cukup jenuh.
1.11. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data tentang sapaan yang biasa dipakai oleh suku
Lampung, penelitian ini dilaksanakan di lingkungan penutur bahasa Lampung
Abung, Pubiyan, Pesisir, dan Komering yang bertempat tinggal di wilayah Kota
Madya Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Daerah ini merupakan wilayah ibu
52
kota Provinsi Lampung. Daerah ini dianggap refresentatif untuk penelitian karena
wilayah ini merupakan wilayah miniatur Provinsi Lampung yang dihuni oleh
berbagai suku bangsa, termasuk keempat kelompok penutur bahasa Lampung.
Wilayah penelitian meliputi enam kecamatan dari tiga belas kecamatan yang
terdapat di Bandar Lampung. Wilayah-wilayah penelitian tersebut meliputi
Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kemiling, Kedaton, Sukarame, Sukabumi, dan
Rajabasa.
1.12. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Penelitian sapaan bahasa Lampung ini menggunakan (1) Teknik Observasi
Partisipan dengan Cara Catat dan Rekam. Teknik ini digunakan dalam rangka
mengobservasi partisipan (informan) pada waktu informan berkomunikasi; (2)
Teknik Wawancara. Teknik ini digunakan pada waktu mewawancarai informan
menanyakan hal ihwal tentang sapaan.
Alat bantu yang digunakan untuk penelitian berupa tape recorder, hand
phone (hp), dan daftar pertanyaan (questioner). Tape Recorder dan hp digunakan
untuk merekam suara informan pada waktu peneliti mewawancarai informan.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengantisipasi bila peneliti lupa atau terlewati
mencatat data yang diperoleh dari informan. Daftar pertanyaan digunakan untuk
mengumpulkan data dengan cara mengajukan daftar pertanyaan tentang istilah-
istilah sapaan yang biasa digunakan oleh informan. Daftar pertanyaan ini
digunakan bila informan tidak bisa langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan
53
peneliti atau bila informan tidak bisa ditemui langsung oleh peneliti karena
keterbatasan waktu informan. Daftar pertanyaan tersebut diberikan kepada
informan atau dititipkan kepada anggota keluarga informan lebih dahulu,
kemudian diambil oleh peneliti setelah diisi oleh informan.
1.13. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah metode
analisis komponensial menurut Nida (1975) dan Poedjosoedarmo (1979). Data
sapaan yang sudah terkumpul dibandingkan satu sama lain, dan hasil
perbandingan itulah merupakan fitur semantik pembeda (distinctive feature). Fitur
semantik pembeda itu berupa komponen tutur yang menjadi faktor eksternal atau
sosial yang melatari munculnya berbagai istilah sapaan. Faktor-faktor eksternal
yang melatari munculnya berbagai istilah sapaan itu pula menjadi unsur pembeda
masing-masing makna sapaan yang dipakai oleh penutur. Faktor-faktor tersebut
disesuaikan dengan faktor-faktor penentu yang terdapat dalam budaya masyarakat
Lampung. Faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor jenis kelamin (laki-
laki/perempuan), tingkat generasi, usia (lebih tua/di atas, lebih muda/di bawah, di
tengah, sebaya (1,2,3,4, dst.), gelar adat (kelembagaan adat, status perkawinan),
urutan kelahiran, asal lingkungan/keturunan keluarga (keluarga biasa/umum,
agamis, bangsawan, atau bukan bangsawan), tingkat formalitas hubungan (akrab
atau biasa), situasi pembicaraan (formal atau nonformal), tujuan pembicaraan,
jenis sapaan (pemesra, keagamaan).
54
1.14. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian Linguistik terdiri
dari dua, yaitu metode formal dan metode informal. Metode formal adalah metode
penyajian hasil dengan menggunakan simbol-simbol (simbol-simbol linguistik),
sedangkan metode informal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan
menggunakan kata-kata biasa bukan dengan rumus-rumus (Sudaryanto; 1993).
Penelitian ini menggunakan metode penyajian data informal (menggunakan kata-
kata biasa yang berupa data lingual yang digunakan oleh informan).
1.15. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini disusun dengan urutan: Bab I
(Pendahuluan) meliputi latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah,
ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka
(penelitian terdahulu), landasan teori, sumber data, informan, lokasi penelitian,
metode penelitian, teknik dan alat pengumpulan data, metode analisis data,
metode penyajian hasil analisis data, dan sistematika penyajian hasil penelitian.
Bab II: Deskripsi Daerah Penelitian meliputi, wilayah Kotamadya Bandar
Lampung dan wilayah-wilayah penelitian. Bab III: Penyajian Hasil Penelitian
meliputi, bentuk-bentuk dan jenis-jenis sapaan Bahasa Lampung. Bab IV: Faktor-
Faktor Sosial yang Menentukan Pemilihan Sapaan Bahasa Lampung. Bab V:
Fungsi-Fungsi Sapaan Bahasa Lampung. Bab VI Makna-Makna Sapaan Bahasa
55
Lampung. Bab VII: Penutup, berisi Kesimpulan. Daftar Pustaka dan Lampiran-
Lampiran.