Upload
hanga
View
221
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi jurnalis secara global terbagi menjadi delapan sesuai dengan porsi
dan perbedaan tujuannya. Kedelapan fungsi tersebut seperti tertuang dalam buku
Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload karya Bill Kovach
dan Tom Rosenstiel diantaranya yakni konsumen, dalam hal ini audience
memerlukan jurnalis yang bisa memeriksa keautentikan informasi, jurnalis
menerangkan informasi tersebut masuk akal atau tidak, jurnalis terus mengawasi
dan membongkar kejahatan, meneliti dan memantau kembali kejadian tertentu dan
dapat bekerja sama dengan masyarakat sebagai reporter warga, melakukan
pemberdayaan antara jurnalis dan warga untuk berdialog secara berkesinambungan,
jurnalis cerdas harus berbagi informasi dari sumber berita, menjadi poros warga
agar dapat memantau berbagai informasi, dan jurnalis tidak hanya dikenal melalui
karya dan bagaimana menghasilkannya, namun juga tingkah laku jurnalis masuk ke
dalam ranah publik yang wajib dicontoh.1
Namun bukan hanya fungsi, tanggung jawab jurnalis juga memiliki peran
penting dalam hal keberlangsungan informasi sampai ke masyarakat. Seorang
jurnalis, dalam praktek jurnalistiknya, dipayungi oleh sebuah regulasi yakni
Undang-Undang (UU) Pers No. 40 Tahun 1999. Tidak hanya itu, Dewan Pers
selaku lembaga independen yang berfungsi melindungi kehidupan pers dari campur
1 http://www.solopos.com/2012/12/27/ini-dia-8-tugas-wajib-wartawan-362455 (diakses pada 11
Maret 2015 jam 11.40)
2
tangan pihak lain serta melakukan pengkajian untuk perkembangan kehidupan pers
juga membentuk acuan serta batasan dalam kegiatan jurnalistik dalam bentuk Kode
Etik Jurnalistik.2 Salah satu praktek UU Pers yang juga dibahas dalam KEJ adalah
tentang perlindungan identitas sumber berita dalam bentuk hak tolak jurnalis.
Penerapan kode etik jurnalistik tentang hak tolak seorang jurnalis berupa
penerapan perlindungan identitas sumber berita, menjelaskan salah satu fungsi
jurnalistik. Fungsi yang dimaksud yakni fungsi pengawalan hak-hak warga negara
(Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2009:28). Maksudnya, seorang jurnalis
berfungsi mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Dalam suatu pemberitaan,
seorang jurnalis memiliki maksud untuk tidak mencantumkan atau menuliskan
identitas sumber berita secara lengkap ataupun menyebutkan identitas lainnya guna
menghindari efek negatif setelah berita tersebut ditayangkan juga upaya menjaga
nama baik sumber berita.
Untuk mempraktekan hak tolaknya dalam suatu kasus tertentu, seorang
jurnalis juga harus paham tentang asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini,
menghormati asas praduga tak bersalah berarti bahwa wartawan wajib melindungi
tersangka/tertuduh/terdakwa pelaku suatu tindak pidana dengan tidak menyebutkan
nama dan identitasnya dengan jelas. Ini harus dilakukan sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahan pelaku dan keputusan itu sudah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Lazimnya yang digunakan media adalah
menyebut nama pelaku hanya dengan inisalnya atau memuat fotonya dengan
2 https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/dari-kode-etik-wartawan-ke-dewan-pers.pdf
(diakses pada 12 Maret jam 05.25)
3
ditutup matanya atau hanya memperlihatkan foto bagian belakang pelaku saja
(Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2009:118).
Di beberapa media di Indonesia, pelaksanaan kode etik jurnalistik untuk
melindungi identitas sumber berita dalam bentuk hak tolak kerap dilakukan. Lebih
khusus, pada penayangan program berita di media elektronik. Namun, pada
penayangan program berita yang ada di Indonesia seperti Seputar Indonesia
(RCTI), Liputan 6 (SCTV), Topik (ANTV), Fokus (Indosiar), Kabar (TVOne),
hingga Metro TV, sebagai televisi berita di Indonesia dinilai kurang sebagai wadah
untuk jurnalis dalam mempraktekan hak tolaknya tersebut. Hal tersebut
dikarenakan program berita yang disebutkan diatas, content beritanya masih
bersifat umum, seperti ekonomi, sosial, hukum, politik dan budaya.
Pada program acara berita di televisi, jurnalis lebih menggunakan hak
tolaknya pada berita dengan kejadian atau kasus-kasus tertentu. Meliputi tindakan
kriminalistas seperti pembunuhan, penculikan, peredaran narkotika, pelecehan
seksual, hingga segala bentuk tindakan kejahatan. Dalam penggolongan berita
kejahatan, termasuk segala kejadian yang melanggar peraturan dan Undang-
Undang negara. Jadi, dapatlah disebutkan bahwa yang termasuk dalam berita
kriminal yakni berita mengenai segala peristiwa kejadian dan perbuatan yang
melanggar hukum seperti pembunuhan perampokan, pencurian, penodongan,
pemerkosaan, penipuan, korupsi, penyelewengan, dan segala sesuatu yang
bertentangan dengan norma-norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat (Barus,
2010:45).
Tidak hanya diterapkan pada program acara berita di televisi, hak tolak
seorang jurnalis juga dapat diterapkan pada media lainnya. Sebagai contoh menarik
4
mengenai penggunaan hak tolak ini adalah pada kasus cerpen Langit Makin
Mendung karya Kipandjikusmin yang dimuat dalam majalah Sastra Edisi Agustus
1968 silam. Penulisnya sendiri bukanlah nama asli, melainkan nama samaran.
Cerpen tersebut ternyata mengundang reaksi keras dari umat islam dan pemuka
agama. Bahkan, Menteri Agama menuntut agar pemimpin redaksi majalah tersebut
yakni kritikus sastra, HB Jassin, diseret ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan tulisan atau cerpen itu, Dalam kasus tersebut,
diputuskan bahwa HB Jassin divonis satu tahun penjara dengan masa pecobaan dua
tahun.
Hal menarik dalam kasus ini adalah sikap HB Jassin yang kukuh melindungi
sumbernya (Kipandjikusmin) melalui hak tolak. HB Jassin sesungguhnya tidak
mengenal siapa sesungguhnya Kipandjikusmin, ia hanya mengenalnya melalui
kegiatan surat menyurat dan belum sekalipun bertatap muka. Berbagai upaya tetap
dilakukan pihak pengadilan agar HB Jassin mengungkapkan identitas
Kipandjikusmin, namun tetap ditolak (Machmud, 2011:188-189).
Dalam contoh tersebut, penerapan hak tolak jurnalis yang dilakukan media
massa cetak lebih melindungi identitas dari sumbernya melalui hak milik
kepenulisan cerpen. Dalam suatu kebijakan redaksional media cetak, terdapat
sebuah peraturan di perusahaan tersebut bahwa setiap karya yang masuk baik
berupa tulisan maupun foto akan menjadi hak milik perusahaan tersebut. Namun,
adapula perusahaan yang tetap menaruh hak kepemilikan sebuah karya yang sudah
dimuat di media tetap hak kepemilikan dari masyarakat atau orang yang membuat
karya tersebut. Dalam kasus ini, kebijakan majalah Sastra lebih menerapkan
kebijakan yang pertama. Hal tersebut dibuktikan dengan sikap dari pimpinan
5
redaksinya yang tetap mempertahankan efek negatif dari pemuatan cerpen atas
nama pribadi dan perusahaan.
Contoh lainnya saat terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura,
Papua. Pada kejadian tersebut, seorang jurnalis dari Trans TV, Chanry Andrew
Suripati dipanggil oleh Kepala Satuan Resort Kriminal (Kasatreskrim) Polresta
Jayapura Ajun Komisaris Y. Takamully pada 3 Mei 2008 sebagai saksi untuk
memberikan keterangan tentang identitas pelaku pengibaran bendera Bintang
Kejora. Namun, Chanry membuat surat yang berisikan Hak Tolak sebagai
pertanggung jawaban profesi yang didasarkan pada UU Pers Nomor 40 Tahun
1999. Disamping itu, penyidik tidak bisa memanggil jurnalis tersebut secara
individu karena profesi jurnalis atau instansi yang melekat pada individu tersebut.3
Hal yang berbeda dalam kondisi di media elektronik yang menuntut
menayangkan berita atau peristiwa dalam bentuk audio dan visual. Dalam sebuah
penayangan berita di media elektronik, belum cukup jika hanya tidak menyebutkan
nama atau identitas lain sumber berita. Namun, perlu juga untuk menyamarkan
wajah dan suara dari sumber berita tersebut. Dengan catatan, hal tersebut dilakukan
saat sumber berita tersebut statusnya adalah pelaku sebuah tindak pidana atau
narasumber tersebut sebagai orang yang memiliki posisi yang memenuhi delik
dalam suatu tindak pidana. Dalam satu penayangan berita di program berita televisi,
tidak menutup kemungkinan sumber berita yang menjadi subjek hak tolak jurnalis
adalah saksi, korban, hingga pihak-pihak yang terkait lainnya.
3http//:lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/05/05/17381026.wartawan.transtv.buat.surat.hak.tola
k.panggilan.polisi (diakses pada 30 Januari 2015 jam 20.05)
6
Melindungi sumber berita dengan tidak menyebutkan nama atau identitas
lainnya secara lengkap merupakan bentuk aplikasi dari hak tolak jurnalis memiliki
maksud yakni menghindarkan efek-efek negatif yang berpotensi timbul pasca
pemberitaan dan upaya dari jurnalis untuk tetap menjaga nama baik narasumber
atau sumber berita. Hal tersebut berlaku pada narasumber sebagai pelaku, saksi,
korban, dan pihak terkait lainnya.
Penelitian Hak Tolak Oleh Pers sudah pernah dilakukan oleh Ronald Aror,
Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dengan judul “Penerapan
Hak Tolak Oleh Pers dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Hukum Pidana
Indonesia.” Namun, penelitian tersebut mengkaji dari segi ketidakselarasan antara
penerapan hak tolak jurnalis dengan hukum pidana di Indonesia. Secara khusus
penelitian tersebut membahas dari sisi hukum, yakni munculnya kontroversi dan
celah hukum antara pelaksanaan hak tolak yang didasari oleh UU Pers dan KEJ
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 221 Ayat 1. Penelitian
tersebut menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) melalui
penelaahan buku, perundang-undangan, dan berbagai dokumen tertulis lainnya
dengan pendekatan Yuridis Formatif. 4
Penelitian lain yang juga pernah dilakukan oleh Arfian Zazaki. Mahasiswa
Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Surabaya
tersebut membahas mengenai opini masyarakat tentang berita kriminalitas pada
tayangan patroli di indosiar. Namun, pada penelitian ini tidak membahas tentang
4 Aror, Ronald. September 2014. "Penerapan Hak Tolak Oleh Pers dan Akibat Hukumnya Ditinjau
dari Hukum Pidana Indonesia ". Lex et Societatis. Volume 2, No. 8
7
penerapan hak tolak, melainkan hanya kesamaan pengambilan objek penelitian,
yakni program berita Patroli Indosiar.
Penelitian kali ini, peneliti ingin mengkaji tentang “Implementasi Kode Etik
Jurnalistik terhadap Perlindungan Identitas Sumber Berita, pada berita Patroli
Indosiar Bulan Februari 2015 hingga Maret 2015”. Nantinya, penelitian ini hanya
menitik beratkan pada implementasi kode etik jurnalis dalam bentuk hak tolak yang
dilakukan pada program acara berita Patroli Indosiar.
Untuk pemilihan periodisasi waktu yang dipilih antara bulan Februari 2015
hingga Maret 2015 karena dalam setiap hari penayangan program berita, tidak
keseluruhan berita yang ditayangkan adalah berita yang mengandung unsur kode
etik jurnalis dalam bentuk hak tolak dan tidak semua berita yang ditayangkan
adalah berita kriminal. Peneliti beranggapan, dengan menghitung frekuensi
kemunculan implementasi hak tolak tersebut, maka akan memberikan informasi
tertentu tentang seberapa besar implementasi hak tolak diterapkan dalam satu
penayangan program berita Patroli Indosiar.
Peneliti memilih kode etik jurnalis lebih khusus pada pembahasan hak tolak
jurnalis untuk dijadikan sebagai penelitian. Hal ini dikarenakan, penelitian tersebut
masih jarang dilakukan, bahkan di lingkup UMM sekalipun. Selain itu, belum
banyak yang mengetahui tentang hak tolak jurnalis di masyarakat, dan seperti apa
penerapannya. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui penerapan hak tolak
jurnalis saat menghimpun berita di lapangan.
Selain itu, penerapan hak tolak jurnalis juga berpeluang disalahgunakan
oleh beberapa oknum jurnalis dan media yang tidak bertanggung jawab.
Memanfaatkan hak tolak yang dimilikinya untuk tidak menyebutkan identitas
8
narasumber secara lengkap, oknum tersebut mengkonstruksi berita fiktif, dalam
artian tidak ada keterangan valid dari narasumber. Tulisan yang mencantumkan
“menurut sumber yang dapat dipercaya” adalah sebenarnya tulisan dari oknum itu
sendiri. Dalam hal penayangan hak tolak di media televisi, pada program investigasi
contohnya, kerap menayangkan pernyataan narasumber yang menyebutkan nama
samaran atau inisial, serta menyamarkan wajah dan suara. Dikhawatirkan hal
tersebut juga rekayasa awak media yang tidak mendapat narasumber beserta
keterangan yang diinginkan terhadap suatu kasus tertentu.
Hal ini merupakan masalah yang cukup pelik. Persyaratan jurnalisme ialah
fakta-fakta yang siap diverifikasi, terbuka untuk ditelusuri data-datanya, mudah
dikenali berbagai narasumber yang memberikan informasinya, dan berbagai
pertanggungjawaban lainnya. Maka dari itu, jika ada kejadian yang narasumber
tidak mau disebutkan identitasnya, akan mengurangi kredibilitas media tersebut.
Pada momen tertentu malah mengakibatkan persoalan hukum. Penuntutan terhadap
validitas laporan yang telah mencemarkan nama atau pihak tertentu (Kurnia,
2005:214).
Penelitian terdahulu dengan penelitian ini jelaslah berbeda. Perbedaan
tersebut terletak pada fokus penelitian dan objek yang akan diteliti. Fokus penelitian
ini adalah implementasi kode etik jurnalis terhadap perlindungan identitas sumber
berita, dan objek penelitian yang dipilih adalah program berita Patroli Indosiar.
Sedangkan pada penelitian terdahulu, lebih membahas pada ranah hukum dari
penerapan hak tolak pers yang ditinjau dari hukum pidana di Indonesia. Kemudian,
untuk penelitian terdahulu yang kedua, secara jelas terdapat perbedaan
9
pembahasan, hanya terdapat kesamaan dalam mengangkat berita Patroli Indosiar
sebagai subyek penelitian.
Program berita Patroli dipilih untuk dijadikan objek penelitian, karena
program berita Patroli merupakan program berita kriminal yang pertama hadir di
televisi Indonesia pada tahun 1999. Memiliki durasi tayang selama 30 menit setiap
harinya, ditayangkan setiap pukul 11.30 WIB dan 01.00 WIB. Pada awal
kemunculannya di televisi, program Patroli Indosiar mendapat respon positif dari
masyarakat. Sehingga memicu hadirnya tayangan program berita kriminal serupa
di beberapa stasiun televisi lainnya.
Di sisi lain, penayangan program berita Patroli Indosiar juga memunculkan
pendapat kontra serta mengarah pada dilema tersendiri di masyarakat, terlebih pada
sebagian pihak yang terkait dalam salah satu penayangan beritanya. Hal tersebut
dikarenakan program ini mengangkat tema kriminalitas, yang mana keberadaan
narasumber di dalamnya sangat rentan terhadap berbagai faktor lainnya setelah
pemberitaan. Contoh, narasumber atau sumber berita pada salah satu penayangan
kasus diposisikan sebagai pelaku. Hal tersebut berdampak saat masyarakat atau
warga yang mengenalinya menonton tayangan tersebut. Terlebih pihak keluarga
bahkan anak dari pelaku sebuah tindak kejahatan. Mengingat penayangan program
acara Patroli Indosiar ini adalah pukul 11.30 WIB. Waktu dimana mayoritas anak
usia sekolah dasar khususnya, pulang dari sekolah. Juga waktu dimana satu
keluarga istirahat siang dari rutinitas kesehariannya.
Selain itu, program Patroli Indosiar juga tidak lepas dari pelanggaran
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun
2012. Seperti surat yang diturunkan KPI bernomor 297/K/KPI/03/15 pertanggal 26
10
Maret 2015, Patroli melakukan pelanggaran berupa penayangkan secara close up
polisi yang dipukul massa dan adegan polisi yang menendang dan memukul
seorang pria. Tidak hanya itu, KPI juga menemukan pelanggaran pada tanggal 15
Maret 2015 pada pukul 11.42 WIB berupa tayangan aksi demo mahasiswa yang
diiringi aksi pukul oleh seorang pria. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai
pelanggaran atas prinsip-prinsip jurnalistik, muatan kekerasan dan kejahatan serta
kewajiban penyamaran.5
Seperti dikutip dari penelitian Arfian Zazaki, disebutkan bahwa
kemunculan program Buser (SCTV), Sergap (RCTI), Sidik (TPI), Kriminal
(TransTV), TKP (Trans 7), dan Brutal (TVOne) adalah terinspirasi dari kesuksesan
penayangan program berita Patroli Indosiar. Sebelumnya, peneliti telah
membandingkan dengan program berita kriminal serupa yang ada di stasiun televisi
lainnya. Namun, hanya berita Patroli Indosiar yang sejak awal secara konsisten dan
dapat bertahan dengan konsep acaranya, yakni pemberitaan berita kriminalitas di
masyarakat.6
Namun dalam perkembangannya, pada awal kemunculan program Patroli
menayangkan berita bertema kriminalitas secara penuh atau keseluruhan dalam satu
kali tayang dalam sehari. Saat ini, didorong oleh faktor kebutuhan informasi di luar
5 http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/32618-teguran-tertulis-program-siaran-jurnalistik-
patroli (diakses pada 10 April 2015 jam 10.50)
6 Zazaki, Arfian. (2014). "Opini Masyarakat Tentang Tayangan Berita Kriminalitas pada
Tayangan Patroli di Indosiar ". Skripsi Strata-1 pada jurusan Ilmu Komunikasi UPN Surabaya.
11
lingkup berita kriminal, program Patroli Indosiar juga menayangkan beberapa
berita dan peristiwa yang lebih bersifat umum, seperti banjir, kecelakaan, tanah
longsor, hingga kebakaran. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk
mengetahui sejauh mana dan seberapa besar frekuensi kemunculan dari
implementasi kode etik jurnalistik dalam bentuk hak tolak. Melihat perubahan
content berita Patroli Indosiar yang sekarang kerap menyisipkan berita diluar berita
kriminalitas.
Hal penunjang lainnya juga dapat dilihat dari website resmi Indosiar, selain
menayangkan program Patroli setiap harinya, pada halaman website Patroli juga
secara update menayangkan berita beserta naskah yang ditayangkan dalam satu hari
penayangan berita Patroli.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar frekuensi
kemunculan implementasi kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan
terhadap identitas sumber berita, pada program Patroli Indosiar Bulan Februari –
Maret 2015?”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menghitung frekuensi kemunculan implementasi kode etik jurnalis pasal tujuh (7)
tentang perlindungan terhadap identitas sumber berita, pada program Patroli
Indosiar Bulan Februari – Maret 2015.”
12
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.4.1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi berupa kajian
ilmiah pada studi Ilmu Komunikasi, terutama bagi mahasiswa yang khususnya
tertarik dengan kajian tentang Kode Etik Jurnalis lebih khusus yang membahas
mengenai penerapan Hak Tolak Jurnalis pada praktik pemberitaan berita
kriminalitas di media massa.
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat, bahwa penerapan kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang
perlindungan terhadap identitas sumber berita menjamin kerahasiaan identitas
masyarakat yang menjadi sumber berita. Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan sumbangan untuk perusahaan media mengenai
pengimplementasian kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan
terhadap identitas sumber berita agar terus dilaksanakan dan tetap mengacu pada
peraturan yang ada dalam UU Pers dan KEJ.
1.5. TINJAUAN PUSTAKA
1.5.1. Kode Etik Jurnalis dan Etika Profesi
Menurut Ashadi Siregar, dalam bukunya yang berjudul “Etika Komunikasi”
(2008:182-183), etika suatu profesi mengandung orientasi sosial. Pentingnya etika
profesi tidak hanya untuk pergaulan sosial antar perorangan. Namun menyangkut
landasan bagi kehadiran suatu institusi sosial di tengah masyarakat. Etika profesi
13
sama pentingnya bagi institusi pers, kesehatan, institusi yudisial, birokrasi, atau
institusi lain yang memiliki peran sosial. Pekerja profesi masing-masing memiliki
etika yang berbeda, tapi semuanya menuju pada muara yang sama, yaitu memiliki
orientasi sosial dalam menghadirkan profesinya agar punya marwah (vigour) dan
martabat (dignity) di tengah masyarakat.
Ashadi Siregar (2008:188) juga menjelaskan mengenai kode etik.
Menurutnya, kode etik selalu ada dalam setiap profesi, yaitu norma yang berasal
dari suatu komunitas profesional, sebagai acuan nilai bagi pelaku profesi. Nilai ini
diperlukan dalam memelihara keberadaan profesi di tengah masyarakat. Di satu
pihak menjadikan pelaku profesi tetap memiliki orientasi sosial, dan lebih jauh akan
membentuk citra sosial atas komunitas profesionalnya. Seorang pelaku profesi
dapat dibedakan dari pekerja lainnya. Ciri yang terpenting adalah sifat otonomi dari
seorang profesional dan kepercayaan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya.
Sejalan dengan itu, Sumaryono dalam Yadi Purwanto (2007:48)
menjelaskan bahwa kode etik adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para
anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya. Kode etik
ini mengkristalisasikan pandangan moral dan memberi ketegasan perilaku yang
sesuai dengan lapangan khusus.
Terdapat sifat dasar etika menurut Darji Darmodihardjo, dalam Muhammad
Mufid melalui bukunya ”Etika dan Filsafat Komunikasi” (2009:173-174).
Menurutnya, sifat dasar etika adalah bersifat kritis, karenanya etika bertugas:
1. Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah
dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang
dituntut oleh norma itu terhadap norma yang dapat berlaku.
14
2. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma yang
tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan sendirinya
akan kehilangan haknya.
3. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orang tua, sekolah,
Negara, dan gama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus
ditaati.
4. Etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap yang
rasional terhadap semua norma
5. Etika menjadi alat pemikir yang rasional dan bertanggung jawab bagi
seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-ambingkan oleh
norma-norma yang ada
Sedangkan pengertian menurut Yadi Purwanto (2007:49), kode etik
merupakan pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan, yang
merupakan panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang
hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi. Sifat dan
orientasi kode etik hendaknya singkat, sederhana, jelas dan konsisten, masuk akal,
dapat diterima, praktis, dan dapat dilaksanakan, komprehensif dan lengkap, serta
positif dalam formulasinya. Kode etik diciptakan untuk manfaat masyarakat dan
untuk menghindari adanya sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status.
Sementara itu, apabila pembahasan kode etik dikerucutkan kepada profesi
jurnalis, Agus Sudibyo dalam bukunya 50 Tanya Jawab Tentang Pers (2013:3-4)
menjelaskan, kode etik jurnalis secara umum mengatur dua hal, yaitu produk
jurnalistik dan perilaku jurnalistik. Produk jurnalistik mencakup berita dalam
berbagai bentuknya, antara lain surat pembaca, tajuk rencana, artikel opini, analisis
15
pakar, resensi buku, dan resensi dalam bentuk lain. Kemudian, perilaku jurnalistik
mencakup sikap dan tindakan jurnalis ketika menjalankan kerja jurnalistik, saat
berhubungan dengan sumber atau subjek berita.
Di sisi lain, jurnalis Indonesia menetapkan dan menaati kode etik jurnalistik
berdasarkan untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar. Jurnalis juga memerlukan landasan moral dan
etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakan integritas serta profesionalisme. (Sudibyo, 2013:177).
Kode etik jurnalistik sendiri terdiri atas 11 pasal seperti yang ditetapkan
dewan pers. Dari 11 pasal tersebut, juga dijelaskan berbagai hak yang dimiliki
seorang jurnalis dalam menghimpun suatu berita. Salah satunya pada pasal yang
pembahasannya tentang upaya perlindungan dari jurnalis untuk tidak menyebutkan
identitas sumber berita dalam pemberitaan tertentu dalam bentuk hak tolak jurnalis.
1.5.2. Landasan Hak Tolak Jurnalis
Dalam kode etik jurnalis pasal 7 tertulis, jurnalis Indonesia memiliki hak
tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off
the record sesuai dengan kesepakatan. Hak tolak ini ada juga yang menyebutnya
sebagai hak ingkar. Mengenai hak tolak ini dijamin oleh KEJ-PWI, dalam pasal 13
dinyatakan, “Jurnalis harus menyebutkan sumber berita, kecuali atas permintaan
yang bersangkutan untuk tidak disebutkan nama dan identitasnya sepanjang
menyangkut fakta dan data bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita
tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.”
(Machmud, : 2011:187).
16
Disamping itu, hak tolak jurnalis juga diatur dalam beberapa peraturan di
Indonesia, seperti pada UU Pers pasal 1 Ayat 10, ditegaskan bahwa,”Hak tolak
merupakan hak jurnalis karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama
atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya”. Selain itu,
hak tolak jurnalis juga dirumuskan dalam UU Pers Pasal 4. Yakni, “Dalam
mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai
hak tolak”.
Lebih lanjut, dalam pasal tersebut diuraikan,”Tujuan utama hak tolak adalah
agar jurnalis dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika
jurnalis dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi
di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan
negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan (Machmud,
2011:187-188).
Selain diatur dalam peraturan khusus, yakni UU Pers, pelaksanaan hak tolak
jurnalis juga dijamin dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 170 Ayat 1, tertulis bahwa, “Jurnalis yang karena pekerjaannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi dalam sidang pengadilan,” Tidak hanya itu, diluar sidang pengadilan
sesuai pasal 120 KUHAP juga dinyatakan, “Jurnalis termasuk ahli atau memiliki
keahlian khusus sehingga karena pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia,
karena itu dapat menolak memberikan keterangan yang diminta oleh penyidik.”
(Machmud, 2011:188).
17
1.5.3. Pengertian dan Kompetensi Jurnalis
Jurnalis yakni individu-individu yang bekerja, mencari, mengolah,
mengedit, dan menyiarkan informasi. Jurnalis sama dengan wartawan atau orang
yang bertugas melakukan kegiatan jurnalisme. Misalnya bagaimana melakukan
investigasi ke lapangan, proses mengendus berita, dan lain-lain. Bentuk dari
pekerjaan jurnalis bisa tulisan, kata ujaran yang diucapkan seperti seorang penyiar.
Tulisan jurnalisme di antaranya adalah segala bentuk penulisan yang ditulis jurnalis
yang ada dalam media massa, misalnya straight news, depth reporting, features,
dan lain-lain (Nurudin, 2009:9-10).
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat dalam bukunya
“Jurnalistik, Teori dan Praktik” (2009:115) mengutarakan bahwa profesi jurnalis
adalah profesional. Dalam utarannya kata profesional memiliki tiga arti, pertama,
profesional adalah kebalikan dari amatir, kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut
pelatihan khusus, ketiga, norma-norma yang mengatur perilakunya dititikberatkan
pada kepentingan khalayak pembaca. Selanjutnya, terdapat dua norma yang dapat
diidentifikasikan, yaitu: pertama, norma teknis (keharusan menghimpun berita
dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting, dan sebagainya), dan kedua,
norma etis (kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggungjawab,
sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya
harus tercermin dalam produk penulisannya).
Sementara itu, dalam buku The Journalist karya Zaenuddin H. Machmud
(2011:74) menyebutkan jurnalis merupakan ujung tombak redaksi dalam mencari
dan mendapatkan berita. Para jurnalis itulah yang terjun ke lapangan meliput semua
peristiwa yang terjadi untuk dikemas menjadi berita. Dalam tugasnya sehari-hari,
18
selain berhubungan dengan koordinator liputan, para reporter juga berhubungan
dan bertanggung jawab pada redaktur.
Berbeda halnya dengan apa yang ditulis Mondry dalam bukunya
“Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik” (2008:18) memandang jurnalis atau
wartawan berarti dapat dipastikan mereka bekerja di lembaga pers, tetapi itu dengan
pekerjaan yang spesifik, terkait dengan proses penggalian, penulisan, dan seluruh
proses berita termasuk fotografer atau pengambil gambar (camera person). Artinya,
hanya pimpinan redaksi dan jajarannya yang boleh mengaku wartawan dan berhak
mendapat identitas keanggotaan dari organisasi kewartawanan, sedangkan orang
pers yang bekerja diluar bidang pemberitaan, baik di media cetak atau elektronik
tidak boleh mengaku sebagai jurnalis atau wartawan.
Tugas jurnalis memiliki spesifikasi secara khusus. Robin Jones (dalam
brook et.al) reporter The Half Moon Bay Review, koran mingguan di sebuah kota
kecil selatan San Fransisco sebagaimana dikutip dalam buku Jurnalisme
Kontemporer karya Septiawan Santana Kurnia, antara lain menyebutkan:
Most people instinctively want to teach others what they know. And
journalist are no exception. It is our job, after all, to share with our readers,
viewers, and listeners what we discover in the course of our reporting. But
many of us also have an impulse to try to convince others to agree with our
opinions about with we know, and this is the poin at which journalists are
taught to suppress this desire. Just as it is our job to share our finding, it is
also our job to remain neutral in our telling. It was this cluster of ideas that i
brought with me into the classroom last spring when i began working as a
19
teaching assistant for an entry-level journalism class at the University of
Missouri.
Pada sisi inilah, jurnalisme kemudian mematok kompetensi tertentu kepada
profesi jurnalis. Terdapat beberapa persyaratan kemampuan profesional yang perlu
dikuasai seorang jurnalis. Yancheff, dalam Septiawan Santana Kurnia (2005:207)
menilik ukuran profesionalisme jurnalis di era milenium. Menurutnya pada fase
milenium, profesionalisme jurnalis membutuhkan multi-kompetensi. Karakteristik
performanya menekankan kekuatan penulisan dan kemampuan oral, ketekunan
kerja, dan pemilikan dasar pengetahuan yang mengkombinasikan aplikasi lintas
disiplin (penugasan berbagai format media cetak, siaran, interaktif, dan multimedia)
yang dibutuhkan dalam kerja memasok informasi di dunia profesional industri.
Untuk itu, ia mengajukan sepuluh kemampuan jurnalis profesional yang terdiri dari:
1. Writing competencies
Kapasitas untuk melaporkan secara akurat, jelas, kredibel, dan reliabel.
Kemampuan menulis yang mudah dipahami pembaca. Juga terkait dengan
penguasaan dalam memakai tata bahasa, kata-kata, tanda baca, serta
pemahaman terhadap kosa kata (vocabulary).
2. Oral Performance Competencies
Kemampuan menyampaikan pengertian, respon yang baik, percaya diri dan
bertanggung jawab. Kemampuan mewawancara memerlukan berbagai
teknik dan metode ketika mewawancara anak-anak, kelompok etnik, korban
kekerasan, dan sebagainya. Selain itu, kemampuan mengenali nuansa dari
wacana publik.
3. Research and Investigatif Competencies
20
Kemampuan menyiapkan berbagai bahan, pengembangan, akurasi kisah,
atau mengidentifikasi topik-topik potensial, melalui sumber kepustakaan,
refrensi virtual online, dan catatan-catatan publik.
4. Broad-Based Knowledge Competencies
Kemampuan memiliki pengetahuan dasar seperti ekonomi, statistik,
matematika, sejarah, sains, perawatan kesehatan, bisnis, dan struktur
pemerintahan. Dunia kewartawanan mensyaratkan proses belajar seumur
hidup dan keluasan lintas disiplin.
5. Web-based Competencies
Kemampuan menguasai internet, e-mail, mailing list, newsgroup, dan
pemberitaan dalam format on the web. Khususnya pemberitaan yang
bersifat breaking news and information, yang memiliki nilai otentisitas,
akurasi, dan reliabilitas informasi on the web.
6. Audio-Visual Competencies
Kemampuan menggunakan peralatan seperti kamera 35mm, kamera video,
men-scan foto ke dalam komputer, serta audio tape recorder.
7. Skill-Based Computer Aplication Competencies
Kemampuan mengaplikasikan komputer dalam kegiatan melaporkan
pemberitaan, seperti word processing, pengembangan database (terutama
bagi investigative reporting), dan aplikasi multimedia, termasuk pagemaker,
Quark Xpress, Printshop, dan sebagainya bagi kerja kewartawanan.
8. Ethics Competencies
Kemampuan memahami tanggung jawab profesi, seperti kode etik,
pertimbangan nilai-nilai etika, pelanggaran, dan plagiarisme.
21
9. Legal Competencies
Kemampuan memahami ihwal Undang-undang, kebebasan berpendapat,
seperti yang tercantum dalam the Freedom of Information Act (FOIA), the
First Amandement, hak cipta, dan sebagainya. Serta kaitannya dengan
tugas-tugas profesi kewartawanan dan dampaknya terhadap masyarakat.
10. Career Competencies
Kemampuan memahami dunia karir profesional di dalam jurnalisme.
Kemampuan bekerja di dalam manajemen pers, dan bersikap positif di
dalam kerja peliputan. Termasuk aspek-aspek dari komponen manajerial
pasar, analisis khalayak, dan producing and editing the news. Serta
keterlibatan dalam berbagai asosiasi dan jaringan profesional dari dunia
jurnalisme.
Sementara itu, berdasarkan rumusan Dewan Pers (Luswanto dan Gayatri,
2006 dalam Nurudin 2009) ada setidaknya tiga kategori kompetensi yang harus
dipunyai seorang jurnalis, antara lain:
1. Kesadaran (awarness); mecakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir.
2. Pengetahuan (knowledge); mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan
khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.
3. Keterampilan (skills); mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset,
investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti komputer, kamera,
mesin scanned, faksimili dan sebagainya.
Selanjutnya, berdasar pada hal yang pernah dikemukakan oleh The Poynter
Institute (Lembaga kajian media di Amerika) disadur dalam Nurudin pada bukunya
22
yang berjudul Jurnalisme Masa Kini halaman 163, kompetensi jurnalis bisa
digambarkan dalam sebuah bagan dengan nama “piramida kompetensi” sebagai
berikut.
Gambar 1. Piramida Kompetensi
Etika Kesadaran
Hukum Karir
Pengeta- Teori & prinsip Pengeta-
huan umum jurnalistik huan khusus Pengetahuan
Reportase Riset/investi- Penggunaan Teknologi
gasi alat informasi Keterampilan
a. Etika
Etika dan kesadaran etika diharapkan setiap perilaku jurnalis akan mengacu
pada kode perilaku yang berlaku. Sehingga setiap tindakan akan dipertimbangkan
secara matang. Misal, dalam mengangkat isu-isu sensitif. Jurnalis perlu
mempertimbangkan (sebelum melakukan peliputan) apakah isu sensitif itu tidak
bertolak belakang dengan etika. Tanpa kemampuan menerapkan kesadaran etika,
seorang jurnalis rentan terhadap kesalahan. Akibatnya, kerja jurnalistik tidak
akurat, bias kepentingan, melanggar privasi, tidak menghargai narasumber berita,
dan lainnya.
23
Untuk menghindari hal demikian, maka jurnalis wajib memiliki integritas,
tegas dalam berprinsip, kuat dalam suatu nilai-nilai, melayani kepentingan publik,
memantau pihak yang berkuasa agar tetap bertanggung jawab, menyuarakan
mereka yang tidak bersuara, berani dalam keyakinan dan bersikap independen
mempertanyakan otoritas, serta menghargai perbedaan.
b. Hukum
Seorang jurnalis wajib memiliki kesadaran hukum. Hukum tersebut adalah
UU Pers (nomor 40/1999). Dengan UU tersebut, jurnalis tidak hanya memahami
namun juga melaksanakan, menjaga kehormatan, dan melindungi hak-haknya.
Sekadar menyebut contoh, jurnalis perlu tahu hal-hal mengenai penghinaan, trial
by the press (mengadili atau menuduh bersalah seseorang sebelum pengadilan
memutuskan bersalah), privasi, ketentuan dengan narasumber (off the record,
confidental sourches). Kompetensi hukum ini menuntut jurnalis menjunjung tinggi
hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan
yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan tujuan negara
demokrasi.
c. Karir
Kerja menjadi jurnalis juga memiliki jenjang karir di dalamnya. Artinya,
jurnalis harus sadar bahwa dia harus merintis karir dari reporter terlebih dahulu
untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi seperti redaktur. Kesadaran karir ini juga
menuntut kerja jurnalis sebuah profesi yang menjanjikan kepastian kerja dan
kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. Semakin tinggi jabatan jurnalis, akan
semakin tinggi fasilitas yang didapatkannya. Otomatis, kesejahteraan juga
meningkat sejalan dengan peningkatan tanggungjawabnya.
24
d. Pengetahuan Umum
Kompetensi pengetahuan umum mencakup pengetahuan umum dasar,
seperti ilmu budaya, politik, sejarah, sosial, atau ekonomi. Seorang jurnalis dituntut
untuk terus belajar dan menambah pengetahuannya agar mampu mengikuti
perkembangan perubahan sosial dan mampu menyajikan informasi yang layak
kepada pembaca dan audiensnya. Bagi jurnalis, wajib untuk memiliki referensi dan
memperbaharui pengetahuannyadengan menggali pengetahuan dari ensiklopedia,
buku-buku referensi terbitan terbaru, serta jurnal ilmiah, populer, dan penerbitan
berkala.
e. Teori dan Praktik Jurnalistik
Seseorang yang menjadi jurnalis tidak selamanya dan belum tentu berasal
dari lulusan ilmu komunikasi atau ilmu jurnalistik. Namun, mayoritas mereka
paham tentang teori jurnalisme (dalam praktik) dan komunikasi. Sebab, ilmu
jurnalistik tidak sekadar mencari berita dsn informasi, di dalamnya juga mencakup
etika.
f. Pengetahuan Khusus
Kompetensi pengetahuan khusus diperlukan bagi jurnalis yang memilih atau
ditugaskan pada liputan isu-isu spesifik. Jurnalis peliput masalah ekonomi mikro,
masalah keuangan, statistik, dan sejenisnya. Jurnalis yang bekera di media yang
bergerak di bidang politik, tak jauh berbeda harus menguasai permasalahan politik.
Contoh, jurnalis yang meliput di parlemen harus mengetahui seluk-beluk parlemen
dan kedudukannya secara politik.
25
g. Keterampilan Reportase
Kompetensi reportase ini mencakup kemampuan menulis, wawancara, dan
melaporkan informasi secara akurat, jelas, bisa dipertanggungjawabkan, dan layak.
Format dan gaya reportase terkait dengan medium dan audiensnya. Untuk
kompetensi menulis, menyangkut penggunaan tata bahasa, pilihan kata, dan tanda
baca, memiliki pembendaharaan kata yang cukup, serta menyebutkan sumber
informasi secara jelas.
Kompetensi wawancara juga penting dimiliki seorang jurnalis. Hal tersebut
untuk memberikan kesan kepada narasumber bahwa seorang jurnalis benar-benar
memiliki kemampuan merespon dengan baik dan meyakinkan. Kemampuan
wawancara perlu dikembangkan untuk mengeksplorasi teknis dan metode yag layak
digunakan ketika mewawancarai anak-anak, kelompok etnis tertentu, korban
traumatik, dan sebagainya. Dengan demikian, jurnalis diharapkan mampu
berkomunikasi secara efektif menggunakan bahasa yang baik dan benar, mampu
menerapkan teknis dasar wawancara terhadap berbagai anggota masyarakat yang
memiliki perbedaan latarbelakang.
h. Keterampilan Riset dan Investigasi
Kemampuan melakukan riset tentu harus dimiliki jurnalis. Riset yang baik
juga belum tentu lengkap tanpa didukung oleh kemampuan investigasi yang
mumpuni. Bagaimana mengendus pemberitaan, mencari narasumber yang sulit
dilacak, melakukan wawancara secara mendalam, mencari data relevan untuk
mendukung laporan, dan lain-lain. Semua hal tersebut membutuhkan kemampuan
investigasi yang mumpuni. Tak terkecuali, untuk mendukung investigasi jurnalis
juga harus mengetahui dan mampu menggunakan sumber-sumber referensi dan
26
data yang tersedia di perpustakaan dan sumber lainnya. Bahkan, saat ini jurnalis
dituntut untuk mampu memanfaatkan referensi dari internet, dan mampu melacak
data dan informasi dari berbagai sumber yang penting bagi publik.
i. Keterampilan Menggunakan Alat
Keterampilan lain yang tidak kalah penting yakni pengoprasian alat.
Kompetensi mengoprasikan komputer penting dalam proses penyusunan laporan.
Kemampuan itu bukan hanya sekadar mengetik tulisan, melainkan juga menyusun
database (berguna untuk laporan investigasi), dan aplikasi multimedia, termasuk
pagemaker (untuk layout), printshop, photoshop, dan lain-lain.
j. Kemampuan Teknologi Informasi
Diantaranya adalah kemampuan akses internet seperti mengoprasikan
email, mailing list, atau newsgroup. Di samping itu, kemampuan menyusun laporan
dalam format internet juga perlu dimiliki jurnalis. Kemudian, jurnalis juga perlu
memiliki kemampuan menilai otentisitas informasi melalui internet seperti akurasi
dan kesahihan informasi.
Di sisi lain Philip Mayer, dikutip dalam Nurudin (2009:139) mengatakan
prinsip kerja jurnalis dapat di klasifikasikan ke dalam kategori ilmuan. Beberapa
hal yang memperkuat pernyataan tersebut yakni:
1. Sikap skeptis, maksudnya dalam proses kerjanya sifat keragu-raguan
seorang jurnalis menuntutnya untuk terus mencari kebenaran dalam suatu
hal. Sebab, kebenaran adalah sesuatu yang bersifat sementara dan
mempunyai peluang untuk penajaman dan penyempurnaan.
2. Terbuka, yakni terbuka terhadap kebenaran investigasi yang dilakukannya,
juga bisa dilakukan orang lain pula atau terbuka terhadap informasi lain dan
27
tidak meyakini informasinya sendiri yang salah. Dapat juga, dalam hal ini
jurnalis tidak boleh kebal terhadap kritik.
3. Punya insting untuk praktik, jurnalis dan seorang ilmuan juga tak luput dari
proses check and recheck. Proses tersebut bertujuan untuk secara
berkesinambungan memperoleh data yang valid.
4. Keyakinan kebenaran bersifat sementara, seorang jurnalis jelas punya tugas
untuk memperjelas sesuatu yang samar dan bukan menyamarkan sesuatu
yang sudah jelas.
5. Hemat, maksudnya ketika diberi pilihan, manusia umumnya memilih yang
lebih simpel. Tugas ilmuan karenanya membuat sesuatu lebih sederhana dan
mudah dipahami, termasuk juga kerja seorang jurnalis.
1.5.3.1. Pendidikan dan Latihan Jurnalis
Zulkarimen Nasution dalam Nurudin (2009:145) menjelaskan secara
sederhana pendidikan berbasis kompetensi adalah program pendidikan di mana
kinerja yang dituntut telah dispesifikasikan dan disepakati secara mendetail
sebelum pengajaran berlangsung, kemudian kompetensi bukan hanya pengetahuan,
tetapi juga skill dan attitude yang dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu
performance.
Sementara itu, berikut penyajian tabel tentang materi yang biasanya ada
dalam program pendidikan dan latihan jurnalis.
28
Tabel 1.1 Program pendidikan dan latihan jurnalis
Materi Pelatihan Tingkat Dasar Tingkat
Menengah
Tingkat Lanjut
1. Berita Pengertian
Spot/hard news
Feature indepth
reporting
Investigasi
analisis berita
fakta layak berita
2. Wawancara /
meliput
Jenis wawancara,
teknik wawancara
Menyiapkan
bahan wawancara
Pembagian
liputan, menyusun
TOR
3. Menulis Teknis menulis,
transkrip laporan
Menulis opini,
menulis feature
Menulis editorial,
editing naskah
4. Manajemen
pers
Pengenalan
mengelola pers,
proses kerja
Pembagian fungsi
dan peran
pengelolaan
Manajemen
redaksi,
perencanaan
5. Kode etik Pengenalan Simulasi kasus Penilaian,
pengambilan
keputusan, etik
6. Teori pers Sejarah dan peran
pers
Hukum pers Filosofi
komunikasi massa
7. Artistik Pengenalan visual
media dan proses
Rancang grafis,
ilustrasi, foto,dan
sebagainya
Filosofi desain
visual media
Sumber: Lukas Luwarso dan Gati Gayatri, 2006 dalam Nurudin, 2009:150
29
Pada proses kerjanya, maksud dari pendidikan dan pelatihan kepada para
jurnalis yakni untuk meminimalir kekurangan mereka serta untuk menjawab
kebutuhan tenaga jurnalis terampil di media. Setidaknya, terdapat beberapa
persoalan yang menunjukan kekurangan jurnalis di Indonesia. Berdasarkan
pengamatan Marah Sakti Siregar (2006) dalam Nurudin (2009:143)
mengidentifikasikan kelemahan umum yang dimiliki jurnalis, diantaranya:
1. Pengetahuan rata-rata umum kurang. Ini mungkin merepresentasikan
kekurangan mereka dalam membaca atau menyerap informasi yang bersifat
umum yang biasanya bisa diperoleh dari surat kabar atau media informasi
lainnya.
2. Spesifik dan tanggung. Anehnya, dalam hal spesifik, misalnya dalam hal
pengetahuan ekonomi atau olahraga, yang menjadi latar belakang
pendidikannya, jurnalis tetap saja kurang mendalam.
3. Kelemahan dalam bahasa dan tata bahasa, baik bahasa asing hingga bahasa
indonesia. Termasuk ketidakakuratan dalam menuliskan nama, gelar,
jabatan, dan sebagainya.
4. Bekerja secara pas-pasan, kurang gigih, cukup puas jika sudah memenuhi
suatu target penugasan.
5. Kurang ide dan kurang inisiatif.
6. Cepat mapan dan enggan melakukan eksplorasi seperti investigasi dan
membuat laporan pendalaman lainnya (in depth reporting).
Di sisi lain, jurnalis juga mempunyai kelemahan khusus, diantaranya:
30
1. Rata-rata tidak memiliki basis yang kuat dalam penulisan. Baik penulisan
berita biasa (news) maupun artikel khas (features, analisis, dan
semacamnya). Selanjutnya, bentuk tulisan kurang memenuhi unsur-unsur
berita.
2. Umumnya kurang atau tidak menguasai hal-hal yang berkaitan dengan
aturan etika profesi kewartawanan dan hukum.
3. Umumnya memahami persoalan, tidak menguasai masalah, dan tidak
menguasai teknik wawancara yang baik.
4. Bekal pemahaman atas jurnalistik secara komperhensif masih kurang,
sehingga yang muncul sekarang cenderung wartawan instan.
1.5.3.2. Sembilan Elemen Jurnalisme
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menjabarkan tentang sembilan elemen
jurnalisme tersebut dalam bukunya The Elements of Journalism. Di Indonesia,
penjelasan sembilan elemen jurnalis tersebut dijelaskan kembali oleh Andreas
Harsono (2010:15-31) yang mengemasnya dalam buku yang berjudul Agama Saya
Adalah Jurnalisme. Sembilan elemen jurnalis tersebut diantaranya:7
1. Elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran
Sejatinya, elemen kebenaran ini adalah hal yang paling membingungkan.
Hal tersebut karena banyaknya perbedaan sudut pandang tentang kebenaran
bagi berbagai pihak. Persepsi tentang kebenaran dapat berbeda jika dilihat
dari berbedanya latarbelakang seseorang seperti tingkat pendidikan, strata
7 Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 15-31
31
sosial, pekerjaan, kelompok etnik, agama dan lain-lain. Kovach dan
Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional.
2. Loyalitas
Dalam hal ini, loyalitas seorang jurnalis juga masih dipertanyakan, kepada
siapakah mereka memiliki rasa loyalitas? Apakah kepada pemilik media,
perusahaan, pembaca, atau masyarakat? Pertanyaan itu penting karena sejak
tahun 1980-an banyak jurnalis Amerika yang berubah menjadi pebisnis. Ini
memprihatinkan karena jurnalis memiliki tanggungjawab sosial yang tak
jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan dimana mereka bekerja.
3. Disiplin dalam melakukan verifikasi
Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan
yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin
verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda,
fiksi atau seni.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
a. Jangan menambah atau mengarang apa pun
b. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar
c. Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan
motivasi dalam melakukan reportase
d. Bersandarlah terutama pada reportase anda sendiri dan bersikaplah
rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga
menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu.
32
Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris
demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan,
banyak gugatan. Kedua, memeriksa akurasi.
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu
saja. Jurnalis harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin.
David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia
memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-
data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil
adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi,
laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.
Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom
French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis
narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida,
memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya,
baris per baris, kalimat per kalimat
4. Independensi
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan
yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, jurnalis harus bersikap
independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan
pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas.
Namun jurnalis yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-
datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada
kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus
ditaati seorang jurnalis.
33
5. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting,
sebuah jenis reportase dimana jurnalis berhasil menunjukkan siapa yang
salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi
terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media
bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan
investigasi.
6. Jurnalisme sebagai forum publik
Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang
menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik dimana orang-orang
bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Sekarang
teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran
langsung televisi maupun chat room di internet. Namun, kecepatan yang
menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya
distorsi maupun informasi yang menyesatkan.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat
publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat
secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat
berdasarkan fakta-fakta secara memadai.
7. Jurnalisme harus memikat sekaligus relevan
Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap
dua hal yang bertolakbelakang. Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa
34
masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita
ekonomi. Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada
dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan
jurnalisme yang bermutu. Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat,
butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan
selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu
adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
8. Kewajiban jurnalis menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah
pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang
dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara jurnalis dan
pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel
menyebutkan, justru karena subjektif inilah jurnalis harus senantiasa ingat
agar proporsional dalam menyajikan berita.
9. Etika dan tanggung jawab sosial
Setiap jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang
redaksi hingga ruang direksi, semua jurnalis seyogyanya punya
pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Setiap
individu reporter harus menetapkan kode etiknya, standarnya sendiri dan
berdasarkan model itulah dia membangun karirnya.
Membolehkan tiap individu jurnalis menyuarakan hati nurani pada dasarnya
membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Namun, tugas setiap
redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil
keputusan akhir, tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang
35
yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada
mereka.
1.5.4. Narasumber dan Sumber Berita
Narasumber dalam hal ini memegang peranan penting dalam
mendistribusikan informasi atau bisa juga disebut komunikator utama dalam sebuah
peristiwa. Narasumber menurut Bagong suyatna adalah peranan informan dalam
mengambil data yang akan digali dari orang-orang tertentu yang dinilai menguasai
persoalan yang hendak diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup
(Suyatna, 2005:72).
Menurut Strentz dalam Kurnia (2005:213) membagi menjadi dua jenis
sumber berita, yakni sumber berita konvensional dan non konvensioal. Sumber
berita konvensional yakni tempat-tempat dimana biasa wartawan mencari dan
memperoleh berita. Tempat-tempat yang dimaksud seperti kantor pemerintahan,
humas atau sumber promosi, berbagai peristiwa yang bernilai berita dan catatan
publik. Kemudian, sumber berita non konvensional biasanya ditemukan dari cara
pengumpulan berita baru atau kurang sering dipergunakan, seperti teknik precicion
journalism, peliputan ke kelompok minoritas (AIDS, misalnya) dan terorisme.
Terdapat sedikit perbedaan dalam pemaknaan antara sumber berita dengan
narasumber. Sumber berita dalam hal ini yakni siapa saja yang dinilai mempunyai
posisi mengetahui atau berkompeten terhadap suatu fakta, peristiwa atau kejadian,
gagasan, serta data atau informasi yang bernilai berita (Kurnia, 2005:53-54).
Sebaliknya, narasumber lebih tepatnya merujuk pada seseorang yang mana
memiliki kecakapan khusus, baik berupa wawasannya atau terlibat di salah satu
kejadian tertentu untuk dimintai keterangan dan data lainnya.
36
Lain halnya dengan penjelasan Zaenuddin H. Machmud (2009:99) dalam
bukunya The Journalist menjelaskan sedikitnya ada empat sumber berita yang
lazim digunakan wartawan. Pertama, peristiwa atau kejadian. Wartawan
melakukan observasi langsung terhadap fakta-fakta yang ada di lapangan, dengan
melihat, mendengar, dan merasakan apa yang terjadi, kemudian mencatatnya.
Kedua, proses wawancara. Guna mendapatkan informasi sebagai berita, wartawan
melakukan wawancara. Ia menanyai narasumber, yakni orang-orang yang terkait
atau relevan dengan informasinya.
Ketiga, pencarian atau penelitian dokumen. Sebuah berita juga bisa digali
dari dokumen – dokumen yang dianggap menyimpan informasi penting. Banyak
peristiwa yang tidak dapat diungkap berdasarkan fakta-fakta terbuka dan
pernyataan narasumber. Keempat, partisipasi dalam peristiwa. Meskipun bertindak
sebagai mediator, adakalanya jurnalis juga terlibat dalam penciptaan berita. Jurnalis
juga menjadi sumber berita, saat konfrensi pers misalnya. Saat jurnalis lain
mengajukan pertanyaan dan pertanyaan tersebut mengandung sebuah informasi
yang layak dijadikan informasi baru kepada jurnalis lainnya.
1.5.4.1. Tiga Bentuk Sumber Berita
Sumber-sumber berita harus dikelompokan menurut jenis beritanya. Jenis
berita politik tentu berbeda dengan sumber berita jenis kejahatan atau hukum dan
peradilan. Sumber berita pada masing-masing kelompok tersebut haruslah terdiri
atas mereka yang benar-benar berada dalam posisi mengetahui atau berkompeten
untuk berbicara mengenai fakta atau kejadian yang hendak dilaporkan oleh jurnalis.
Jurnalis biasanya selalu menyebut identitas sumbernya dengan jelas.
Kecuali bila sumbernya itu menyatakan tidak ingin disebutkan identitasnya, sesuai
37
dengan kode etik jurnalistik, permintaan itu harus dipenuhi. Untuk jurnalis yang
bersangkutan, bila tetap ingin melaporkan informasi dari sumber demikian, harus
bertanggung jawab sendiri karena dalam posisi mengetahui.
Sedia Wiling Barus dalam bukunya Jurnalistik, Petunjuk Teknis Menulis
Berita (2010:56-57) menjelaskan masing-masing jenis atau bidang pemberitaan
selalu mencakup sumber-sumber sebagai berikut.
1. Sumber berita atas nama pribadi.
Mencakup orang-orang biasa (ordinary man) yang juga biasa disebut dengan
man in the street (seperti pengunjung pameran, preman terminal,orang-orang
berlalu lalang di pasar, petugas parkir, pengantar surat, dan lain-lain). Pakar di
bidang keahlian masing-masing (seperti pakar hukum, olahraga, ilmu politik,
ekonom, ahli forensik, kriminolog, musisi, sutradara, sastrawan/budayawan,
dan narasumber lainnya) atau berdasarkan profesi seperti polisi, petugas
administrasi kesehatan, pegawai kantor pengadilan, sopir, dan lain sebagainya.
2. Sumber berita pribadi atas nama kelompok atau golongan
Mencakup tokoh masyarakat (opinion leader), pimpinan organisasi bisnis,
pimpinan teras partai (the party machinery), anggota parlemen, pemuka agama,
kepala suku dan para pimpinan yang mewakili komunitas tertentu (suku,
bangsa, pemuda, anak remaja, kaum ibu, dan lain-lain).
3. Sumber berita organisasi /lembaga/instansi
Mencakup partai politik, pejabat pemerintahan atau lembaga publik (pejabat
humas-PR), anggota parlemen, lembaga swasta, lembaga swadaya masyarakat
(organisasi non pemerintah), asosiasi dagang, asosiasi industri, dinas
penerangan polisi, dan militer.
38
1.5.4.2. Sumber Anonim
Peliputan jurnalistik kerap menemukan narasumber yang tak disebutkan jati
dirinya. Sementara dari kesaksian, keterlibatan, keterangan yang dimilikinya, nafas
pemberitaan itu bergantung. Oleh karenanya, apabila terdapat suatu kejadian yang
narasumber yang tidak mau disebutkan identitasnya, atau disebut sumber anonim,
hal ini akan mengurangi kredibilitas media.
Melihat pernyataan Andreas Harsono dalam mailing list majalah Pantau
pada 27 Agustus 2003 seperti dikutip dalam Septiawan Santana Kurnia dalam
bukunya Jurnalis Kontemporer halaman 214 menjelaskan, pada dasarnya, sumber
berita yang anonim tidak memberi kesempatan kepada audience (pemirsa,
pembaca, pendengar) untuk menentukan seberapa besar derajat kepercayaan
mereka pada sumber bersangkutan. Lanjutnya, jurnalis harus memberikan
kesempatan kepada pembaca untuk menentukan sendiri seberapa besar tingkat
kepercayaan terhadap suatu keterangan. Seorang sumber anonim juga memiliki
kecendrungan untuk lebih kurang bertanggungjawab dari sumber yang sama tapi
identitasnya disajikan secara lengkap. Sumber anonim cenderung lebih sering
“bernyanyi, kedengarannya merdu, dan sensasional.
Menurut majalah Pantau berdasar pada Warp Speed (1999) dalam bab “The
Rise of Anonymous Sourcing” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam
Nurudin (2009:205) mencoba membahas pemakaian sumber anonim pada kasus
Monica Lewinsky. Seseorang bisa diberi status anonim bila memenuhi ketujuh
syarat sebagai berikut.
39
1. Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama “peristiwa berita” yang
dilaporkan. Artinya, sumber tersebut menyaksikan sendiri, atau terlibat
langsung dalam peristiwa tersebut. Sumber ini bisa masuk dalam kategori
pelaku, korban, atau saksi mata, namun dirinya bukanlah orang yang
mendengar dari orang lain.
2. Keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya dibuka. Dalam hal ini
dikatakan terancam apabila nyawa anggota keluarga juga dirinya terancam.
Bukan terancam dalam hal retaknya keberlangsungan hubungan sosial atau
juga kelangsungan pekerjaan.
3. Motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan
publik. Seorang jurnalis wajib mengukur motivasi sumber dalam memberikan
informasi. Terdapat kasus dimana sumber memberikan informasi dan minta
status anonim untuk menyerang lawan atau orang yang tidak disukainya.
4. Integritas sumber harus diperhatikan. Dalam hal ini narasumber yang
terindikasi mengarang cerita, dihindari untuk menganonimkan identitasnya.
Biasanya, semakin tinggi jabaran seseorang, semakin sulit mempertahankan
integritasnya.
5. Harus seizin atasan. Pemberian sumber anonim harus dilakukan dengan
sepengetahuan dan seizin atasan. Hal tersebut untuk menghindari munculnya
masalah apabila pemberitaan yang mencantumkan sumber anonim digugat
oleh berbagai pihak tertentu.
6. Sumber anonim minimal dua orang. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
pernah dijelaskan Ben Bradlee, redaktur eksekutif harian The Washigton Post
40
pada zaman skandal Watergate. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan
verifikasi terhadap informasi yang sama.
7. Perjanjian dan kejelasan antara jurnalis dengan calon sumber anonim. Bahwa
keanoniman identitas akan batal dan nama narasumber akan dibuka ke hadapan
publik apabila terbukti berbohong atau sengaja menyesatkan dengan
informasinya.
1.5.5. Format Berita Televisi
Dalam dunia televisi, dikenal istilah yang terkait dengan format yang
digunakan dalam menyajikan suatu berita. Kekuatan televisi dibandingkan dengan
media lainnya adalah kemampuannya untuk membawa penonton ke lokasi kejadian
dengan menggunakan gambar. Gambar yang dikombinasikan dengan suara alami
adalah faktor yang membuat televisi memberikan pengaruh atau dampak yang kuat
kepada penonton. Menurut Riswandi dalam bukunya “Dasar – Dasar Penyiaran”
tahun 2009 terdapat beberapa format berita televisi, yakni sebagai berikut ;
1. Reader. Format ini adalah cara paling dasar untuk menyajikan sebuah berita.
Presenter di studio hanya membaca isi berita tanpa ada gambar pendukung.
Format seperti ini biasa digunakan jika sebuah berita penting terjadi pada saat
program berita masih On Air.
2. Grafis. Format berita grafis biasanya digunakan jika sebuah berita penting baru
saja terjadi dan stasiun televisi belum mendapatkan akses untuk mengambil
gambar dan merekamnya.
3. Voice Over. Video atau gambar pendek yang diiringi dengan kata-kata penyiar.
Format berita ini biasanya digunakan untuk menceritakan sebuah topik dalam
waktu singkat.
41
4. Laporan langsung (Live). Dalam format seperti ini, presenter akan langsung
berbicara dengan reporter yang berada di lokasi yang sedang meliput suatu
peristiwa.
5. Live Studio. Dalam suatu berita besar, stasiun televisi mungkin akan
memutuskan mengundang narasumber datang ke studio untuk wawancara
secara langsung.
6. Klip. Petikan langsung pernyataan seseorang yang ditampilkan secara berdiri
sendiri pada suatu program berita yang didahului dengan intro yang dibacakan
presenter.
7. Soundbite on Tape (SOT). Suara dari narasumber atau cuplikan dari
wawancara panjang.
8. Stand Up. Reporter berbicara dengan mengarahkan diri menghadap kamera
dari tempat lokasi pemberitaan.
9. In House Package. Paket yang ditulis oleh penulis berita dan kemudian diedit
oleh redaktur.
10. Promo. Pemberitahuan mengenai rencana penayangan acara lain.
11. Paket. Paket adalah laporan berita lengkap yang diawali dengan Reader ketika
membuka dan menjelaskan program berita. Lalu, dilanjutkan dengan Voice
Over yang narasinya dibacakan oleh pengisi suara (dubber), dan terakhir SOT,
suara dari narasumber atau cuplikan dari wawancara panjang. Kebanyakan
berita televisi dihadirkan dalam format paket ini.
1.5.6. Landasan Teori
Teori yng dapat dijadikan konsep juga acuan penelitian ini adalah teori
kredibilitas sumber (source credibility theory). Teori ini dikembangkan oleh
42
Hovland, Janis, dan Kelly tahun 1953. Teori yang telah lama tercetus ini
menjelaskan bahwa seseorang memungkinkan lebih mudah untuk dibujuk jika
sumber yang memersuasinya memiliki kredibilitas yang cukup. Sebagai contoh,
pada penelitian ini, terdapat beberapa sumber dalam berita selaku penyampai pesan.
Mulai dari masyarakat, tokoh masyarakat, hingga seseorang yang memiliki jabatan
dalam struktur organisasi, baik berupa kementrian, dinas, hingga rumah sakit.
Untuk memahami teori ini akan lebih mudah jika dibahas dalam sebuah contoh
kasus. Audience cenderung percaya dan menerima dengan baik pesan-pesan yang
disampaikan oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas di bidangnya.
Setidaknya terdapat tiga model guna mempersempit ruang lingkup teori
kredibilitas ini, dan juga sebagai cara dalam memfokuskan studi komunikasi, yakni:
a. Model faktor
Membantu menetapkan sejauh mana pihak penerima atau komunikan
menilai suatu kredibilitas sumber.
b. Model Fungsi
Memandang kredibilitas sebagai tingkat dimana suatu sumber mampu
memuaskan kebutuhan berupa pesan individu penerima.
c. Model konstruktivis
Menganalisis apa yang dilakukan penerima atau komunikan dengan adanya
usulan dan pernyataan sumber.