16
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman etnis yang ada di Indonesia, terdapat etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan kebudayaan dengan identitas yang khas, yang hidup dan berkembang bersama etnis pribumi lainnya di Nusantara. Hidup dan berkembangnya etnis dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsah hidup mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya 1 . Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa sebagai golongan minoritas di Indonesia memunculkan berbagai pandangan dan respon yang dikonstruksi oleh orang-orang non-Tionghoa tentang identitas orang-orang beretnis Tionghoa. Salah satunya adalah terdapat stereotip umum perihal etnis Tionghoa dalam persepsi orang-orang “Pribumi”. Stereotip tersebut dapat diringkas sebagai berikut: Mereka (baca: orang-orang Tionghoa) adalah kelompok yang kaya karena menguras ekonomi kita. Mereka adalah kelompok yang homogen dan tidak berubah. Mereka merasa lebih hebat dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia layak dipertanyakan. Mereka enggan berbaur 2 . Dalam pengamatan historis, dapat ditelusuri bahwa secara umum dalam pandangan orang- orang “Pribumi”, orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang mengungkapkan 1 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 1. 2 Stereotip ini telah merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Indonesia sejak zaman colonial. Ungkapan- ungkapan lazim seperti “sekali China, tetap China”; “Tionghoa yang 3% menguasai 70% ekonomi kita”;”Mereka mengira lebih hebat daripada kita”; “Mereka tidak perduli siapa yang menguasai sapi perah asal mereka bisa memerahnya”; dan “Mereka tidak ingin berbaur dengan kita”, menunjukan pandangan yang esensial tentag orang Tionghoa sebagai kelompok yang minoritas dan homogen (Copple 1983: 5-27)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang · 2016. 11. 24. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang

    tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman etnis yang ada di

    Indonesia, terdapat etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan kebudayaan dengan identitas yang

    khas, yang hidup dan berkembang bersama etnis pribumi lainnya di Nusantara. Hidup dan

    berkembangnya etnis dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsah hidup

    mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya1.

    Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa sebagai golongan minoritas di Indonesia

    memunculkan berbagai pandangan dan respon yang dikonstruksi oleh orang-orang non-Tionghoa

    tentang identitas orang-orang beretnis Tionghoa. Salah satunya adalah terdapat stereotip umum

    perihal etnis Tionghoa dalam persepsi orang-orang “Pribumi”. Stereotip tersebut dapat diringkas

    sebagai berikut:

    Mereka (baca: orang-orang Tionghoa) adalah kelompok yang kaya karena menguras ekonomi

    kita. Mereka adalah kelompok yang homogen dan tidak berubah. Mereka merasa lebih hebat

    dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia layak dipertanyakan. Mereka enggan

    berbaur2.

    Dalam pengamatan historis, dapat ditelusuri bahwa secara umum dalam pandangan orang-

    orang “Pribumi”, orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia diidentikan atau

    dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis.

    Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang mengungkapkan

    1 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 1.

    2 Stereotip ini telah merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Indonesia sejak zaman colonial. Ungkapan-

    ungkapan lazim seperti “sekali China, tetap China”; “Tionghoa yang 3% menguasai 70% ekonomi kita”;”Mereka

    mengira lebih hebat daripada kita”; “Mereka tidak perduli siapa yang menguasai sapi perah asal mereka bisa

    memerahnya”; dan “Mereka tidak ingin berbaur dengan kita”, menunjukan pandangan yang esensial tentag orang

    Tionghoa sebagai kelompok yang minoritas dan homogen (Copple 1983: 5-27)

  • 2

    bahwa di Indonesia, orang-orang Tionghoa walau hanya berjumlah 3-4% di negeri ini dari 210

    juta jiwa ternyata berhasil menguasai 70% dari sektor swasta dalam perekonomian negeri ini3.

    Berangkat dari data tersebut menurut Skiner orang Tionghoa membuktikan bahwa mereka

    paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang

    mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan

    ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali

    disesuaikan dan digunakan4.

    Sehingga tidak jarang kita dapat menemukan banyak dari orang-orang beretnis Tionghoa

    di Indonesia, lebih memilih untuk berkerja hanya pada sektor ekonomi dengan menjadi pedagang,

    pengusaha dan pembisnis. Sebaliknya, sangat jarang ditemukan orang-orang beretnis Tionghoa di

    Indonesia, yang terlibat dalam sektor lain, selain sektor ekonomi. Dapat dilacak melalui

    pengamatan sejarah bahwa yang menjadi salah satu penyebab terciptanya kondisi ini karena

    sebelum masa reformasi, selama di Indonesia orang-orang beretnis Tionghoa dibatasi ruang

    geraknya dibidang lain, seperti bidang pendidikan , politik dan agama. Bahkan bahasa Mandarin

    pada masa orde baru tidak boleh diajarkan di sekolah umum5. Stereotip perihal orang-orang etnis

    Tionghoa di Indonesia adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikonstruksikan oleh

    Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata

    merasuk begitu mendalam6.

    Namun pasca rezim Orde Baru, ruang baru telah dibuka berkat kebijakan

    multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas ke dalam semua

    sektor kehidupan. Hasil yang paling berarti adalah pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan

    3 Melly G. Tan. Etnis Tionghoa Di Indonesia: Kumpulan Tulisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 274.

    4 Melly G. Tan. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia. 1979), vii-xix.

    5 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 3.

    6 Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto: Budaya, Politik, dan Media (Jakarta: Yayasan Nabil. 2012),

    261.

  • 3

    yang baru, yakni UU Nomor 12 tahun 2006, yang disetujui oleh Presiden Susilo Bambang

    Yudhoyono pada 1 Agustus 2006, yang mendefenisikan ulang istilah “Indonesia asli”

    mencangkup semua warga negara yang tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan asing atas

    kehendak sendiri7. Dengan adanya pengesahan Undang-undang tersebut memungkinkan orang-

    orang beretnis Tionghoa di Indonesia mulai memiliki akses dan membuka diri untuk terlibat aktif

    di bidang lain selain dalam bidang ekonomi.

    Dalam realita saat ini ditemukan salah satu keterlibatan orang-orang beretnis Tionghoa di

    sektor lain, selain sektor ekonomi, terlihat dari keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa yang

    menjadi Pendeta jemaat dari sebuah gereja, terutama pada gereja-gereja aliran Pentakosta.

    Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa di sektor lain selain sektor ekonomi, dengan memilih

    menjadi pemimpin dalam sebuah institusi keagamaan seperti gereja, menjadi fakta yang melawan

    stereotipe etnis Tionghoa sebagai “binatang ekonomi”8. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat

    kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas,

    tetapi hal ini tidak menjamin diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas

    non-Tionghoa. Orang-orang etnis Tionghoa masih terus dipandang sebagai orang asing di negeri

    yang telah mereka angggap sebagai rumah sendiri9. Seiiring dengan pendapat tersebut maka

    perlunya mengonseptualisasikan dan merekonstruksi ketinghoaan atau identitas Tionghoa di

    Indonesia, salah satunya melalui studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

    Selama ini keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia yang berprofesi

    sebagai pendeta belum pernah secara khusus tergambarkan dan terekam melalui sebuah penelitian

    ilmiah. Dengan melakukan penelitian ilmiah, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam

    upaya merekonstruksi kembali identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia. Hal ini

    7 Ibid., 256.

    8 Ibid., 257.

    9 Ibid.

  • 4

    dikarenakan stereotip yang telah lama melekat kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di

    Indonesia, yang dipandang hanya memiliki kemampuan dalam sektor ekonomi saja. Pandangan

    yang telah berakar secara mendalam tersebut tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi

    atau pun opini semata.

    Berkaitan dengan hal tersebut maka menarik untuk melihat keterlibatan orang-orang

    beretnis Tionghoa di Indonesia dalam kepemimpinan mereka pada institusi keagamaan seperti

    gereja, dalam hal ini peranan mereka sebagai Pendeta jemaat. Hal tersebut menjadi menarik bagi

    peneliti karena pembahasan tentang kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting dalam sejarah

    kehidupan manusia, bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau

    organisasi, termasuk suatu jemaat. Tanpa ada pemimpin dan kepemimpinan yang baik dan benar,

    suatu kelompok bahkan negara sekalipun akan kacau kerena tidak adanya sosok yang

    mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan10

    .

    Pembahasan mengenai kepemimpinan dan pemimpin bukanlah hal yang mudah. Hal ini

    dikarenakan setiap pemimpin tentu mempunyai gaya atau tipe kepemimpinan yang tersendiri dan

    berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kondisi ini disebabkan karena adanya faktor eksternal

    maupun internal yang turut mempengaruhi dan menentukan kepemimpinan seseorang. Salah satu

    wujud dari faktor yang mempengharuhi kepemimpinan seseorang adalah berkaitan dengan kultur

    dari pemimpin tersebut. Pengertian kultural atau budaya yang dimaksudkan mengacu pada

    perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu

    kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan atau kultur membentuk perilaku, sikap, dan nilai

    manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku manusia adalah hasil dari proses sosialisasi dan

    10 Retnowati, “Kepemimpinan dan Perubahan Budaya:Refleksi Gaya Kepemimpinan di Era Global, Perpektif

    Teori Kebudayaa” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat(Vol. IV No.1, Oktober 2012), 37.

  • 5

    sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultur tertentu11

    . Kondisi ini

    dikarenakan kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok

    manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan

    perilaku kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan serta mempengaruhi

    gaya kepemimpinan dan hubungan interpersonal seseorang12

    .

    Bagian yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukan betapa gereja-gereja sebagai salah

    satu lembaga atau institusi keagamaan juga membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang

    baik, tidak terkecuali bagi gereja-gereja beraliran Pentakosta. Dalam realita, berdasarkan tinjauan

    dilapangan (pra penelitian) yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan banyak Pendeta beretnis

    Tionghoa yang menjadi pemimpin jemaat atau gembala di gereja-gereja aliran Pentakosta. Dapat

    diidentifikasi bahwa dibawah kepemimpinan mereka, gereja-gereja beraliran Pentakosta tersebut

    dari segi kuantitas jemaat yang dipimpin mengalami pertumbuhan jumlah jemaat yang sangat

    pesat dan gejala peningkatan tersebut berlangsung secara terus menerus. Gereja-gereja tersebut

    berkembang dengan signifikan dan memperluas pelayanan mereka dengan membuka cabang-

    cabang gereja diberbagai daerah yang telah menjadi gereja dewasa. Sehingga kemunculan gereja-

    gereja aliran Pentakosta dipandang memiliki perkembangan paling spektakuler pada abad ini13

    .

    Gereja-gereja aliran Pentakosta yang sering dikenal sebagai gereja-gereja dengan corak

    baru dan merupakan bagian dari Keristenan gelombang ketiga. Dalam menjalankan

    kepemimpinan dan manajemen gereja-gereja aliran Pentakosta tidak terikat pada wadah-wadah

    bersama seperti sinode. Kalau pun ada sinode, biasanya komitmennya sangat longgar. Setiap

    gereja dalam hal ini pendeta yang merupakan pemimpin jemaat mempunyai kebebasan yang

    sangat besar dalam hal mengatur gerejanya. Pemimpin memiliki ruang yang besar dan cenderung

    11 Zakiyuddin Baidhaiwy. Pendidikan Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), 24.

    12 A. Nahavandi. The art and science of leadership (2

    nd Ed). New Jersey: Prentice Hall, 2000.

    13

    Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: Erlangga, 1995), 166.

  • 6

    bebas dalam menentukan berbagai kebijakan dalam gereja, serta bisa mengembangkan

    “teologi”nya sendiri. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dari pemimpin

    yang cenderung berlebihan sehigga tidak jarang membuat gereja-gereja aliran ini mudah

    terpecah14

    .

    Selanjutnya, dengan mengacu kepada bagian yang diungkapkan di atas, maka identitas

    kultural atau budaya yang khas, yang membentuk perilaku, karakter dan sistim nilai yang dimiliki

    oleh pendeta beretnis Tionghoa akan mempengaruhi bagaimana kepemimpinannya dalam sebuah

    jemaat. Pendeta beretnis Tionghoa termasuk dalam kelompok yang dikenal sebagai orang-orang

    yang menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri

    sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi

    sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan. Sistem nilai, perilaku, karakter dalam kultur

    yang dimiliki tersebut dimungkinkan menjadi bagian-bagian yang dapat mempengaruhi gaya atau

    tipe dan karakter kepemimpinan.

    Bertitiktolak dari permasalahan tersebut melalui tulisan ini peneliti berupaya melakukan

    studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan melihat bahwa kultur yang khas

    yang membentuk perilaku, karakter dan sistem nilai yang kemudian dimiliki sebagai orang

    Tionghoa, dihubungkan dengan kepemimpinan dalam peranannya sebagai Pendeta jemaat dalam

    sebuah lembaga atau institusi keagamaan seperti gereja. Untuk mewujudkan hal tersebut, peneliti

    melakukan penelitian pada gereja-gereja aliran pentakosta di kota Salatiga. Peneliti memilih

    Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga sebagai lokasi penelitian.

    Alasan pemilihan kedua gereja ini, karena kedua gereja tersebut termasuk gereja-gereja beraliran

    Pentakosta dengan jumlah jemaat yang terbesar di daerah Salatiga. Selain itu kedua gereja

    14 Rijn van Kooij dan Yam'ah Tsalatsa A. Bermain dengan Api: Relasi Antara Gereja-gereja Mainstream dan

    Kalangan Kharismatik dan Pentakosta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), xvi.

  • 7

    tersebut dipimpin oleh Pendeta beretnis Tionghoa. Berdasarkan penjelasan di atas, maka

    penelitian ini diberi judul: KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA (Studi

    Kasus Pada Gereja-gereja Aliran Pentakosta di Kota Salatiga)

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang dari penelitian yang diungkapkan di atas, rumusan masalah

    dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kepemimpinan Pendeta

    beretnis Tionghoa dalam gereja-gereja aliran Pentakosta di kota Salatiga?

    Rumusan masalah di atas dijabarkan dalam fokus penelitian sebagai berikut:

    A. Gaya atau tipe kepemimpinan yang merujuk pada pemetaan, sbb: (a) Gaya

    kepemimpinan yang menekankan pada relasi dan tugas, yang kemudian dijabarkan dan

    dijelaskan dalam 4 (empat) gaya kepemimpinan dasar yang yaitu: (1) kekompakan

    tinggi dan kerja rendah, (2) kerja tinggi dan kekompakan rendah, (3) kerja tinggi dan

    kekompakan tinggi, (4) kerja rendah dan kekompakan rendah. (b) 3 (tiga) gaya

    kepemimpinan utama dan 6 (enam) gaya kepemimpinan pelengkap. Gaya atau tipe

    kepemimpinan yang dimaksud antara lain: (1) gaya atau tipe kepemimpinan otoriter,

    (2) kepemimpinan bebas/Laissez Faire, (3) gaya atau tipe kepemimpinan demokratis,

    serta beberapa tipe kepemimpinan pelengkap yang terdiri dari (4) gaya atau tipe

    kepemimpinan kharismatik, (5) gaya atau tipe kepemimpinan simbol, (6) gaya atau

    tipe pengayom, (7) gaya atau tipe pemimpin ahli, (8) gaya atau tipe kepemimpinan

    organisatotoris dan administrator dan (9) gaya atau tipe kepemimpinan agitator.15

    15 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada University

    Press, 1996, 94-109.

  • 8

    (c) gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard,

    (d) gaya kepemimpinan transformatif serta (e) gaya kepemimpinan transaksional16

    .

    B. Karakter kepemimpinan (Leadership Character) dari Pendeta beretnis Tionghoa

    ditinjau dari konsep karakteristik pemimpin yang melayani (Characteristics of the

    Servant-Leader).

    C. Pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan.

    D. Kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin.

    1.3.Tujuan Penelitian

    Tujuan umum dalam penelitian ini ialah mendekripsikan dan menganalisa kepemimpinan

    Pendeta beretnis Tionghoa dalam Gereja-geeja aliran Pentakosta di Kota Salatiga. Tujuan umum

    tersebut disesuaikan dengan fokus penelitian, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan yang

    bersifat khusus sebagai berikut:

    A. Gaya atau tipe kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa

    B. Karakter Kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa ditinjau dari konsep karakteristik

    pemimpin yang melayani (Characteristics of the Servant-Leader).

    C. Pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan.

    D. Kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin.

    16 Jony Oktavian Haryanto. KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Tinjauan Teoritis dan Contoh Penerapan

    (Salatiga: Fakultas Ekonomi UKSW, 2004), 5-46.

  • 9

    1.4. Manfaat Penelitian

    Sebagai suatu karya ilmiah maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

    secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis, secara umum diharapkan pembahasan tentang

    kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa akan memberikan sumbangan pemikiran untuk tipe dan

    gaya kepemimpinan Kristen dan secara umum dapat mengembangkan secara konseptual dalam

    bidang teologi kepemimpinan.

    Selain itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada kegiatan praktis dalam pelaksanaan

    kepemimpinan pendeta yang menjadi pemimpin jemaat. Bagi para pendeta beretnis Tionghoa,

    sebagai masukan agar dengan menyadari pentingnya peran yang diemban sebagai pemimpin

    jemaat, yang bersangkutan mampu mengembangkan sumber daya manusia dan mengelola gereja

    yang dipimpin agar memiliki kualitas yang lebih. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

    berkontribusi bagi upaya rekonstruksi identitas orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang

    selama ini hanya diidentikan mampu bergerak dalam sektor ekonomi saja.

    1.5. Metode Penelitian

    1.5.1. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan

    kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang bagian yang dialami oleh subjek

    penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain–lain secara holistik17

    .

    Pendekatan kualitatif menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-

    angka. Dapat juga berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

    diamati18

    .

    17 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), 6.

    18

    Robert C. Bogdan & Sari Bikien, Quality Research for Education: An Introduction to Theory and Mathods

    (Boston: Allyn and Bacon, 1985), 5.

  • 10

    Berkaitan dengan karakteristik seorang peneliti kualitatif, menurut Bogdan & Biklen memiliki

    5 aspek penting yaitu: (1) setting dalam pendekatan kualitatif merupakan suatu kondisi yang alami

    dan peneliti merupakan instrument utama bagi pengumpulan dan analisa data, (2) penyusun

    deskripsi, harus menekankan proses, makna dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata

    atau gambar, (3) lebih mengutamakan proses (aktivitas) dari pada out come atau produk, (4)

    proses induktif, dalam arti peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis dan teori dari hal-hal

    yang detail di lapangang, (5) lebih menekankan pada penemuan makna; di samping itu benar-

    benar terjun ke lapangan19

    .

    Dari ungkapan aspek-aspek yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

    penelitian yang dilakukan ini membutuhkan pendekatan kualitatif karena memerlukan

    pengamatan yang mendalam sesuai dengan latar belakang yang dihadapi. Di sini peneliti sebagai

    intrumen utama, dan harus turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data maupun

    menganalisanya sesuai dengan pendapat Bogdan & Biklen tersebut.

    Dalam penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus (Case Study), yang merupakan upaya

    penyelidikan yang sistematis atas suatu kejadian khusus dan berusaha memberikan penjelasan

    yang jujur dan saksama tentang suatu kasus tertentu sedemikian rupa, sehingga memungkinkan

    pembacanya untuk menembus ke dalam apa yang tampak di permukaan20

    . Jadi dapat dikatakan

    studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam

    terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang

    sempit.

    19 Ibid., 27-30

    20 J. Nisbet & J. Watt, Studi Kasus (Sebuah Panduan Praktis) (Jakarta: PT. Grasindo dan Satya Wacana

    University Press, 1994), 4.

  • 11

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara21

    mendalam (depth interview) dengan para informan kunci yaitu Pendeta beretnis Tionghoa dan

    beberapa informan pendukung. Selain itu untuk mengumpulkan data-data di lapangan, peneliti

    juga menggunakan teknik observasi, sebagai teknik yang dilakukan dengan pengamatan secara

    sistematik terhadap kejadian yang diteliti. Observasi dalam penelitian ini, dilakukan terutama

    untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kepemimpinan pendeta beretnis Tionghoa. Dalam

    penelitian ini peneliti menempatkan diri sebagai partisipan, dengan turut terlibat dalam kurun

    waktu tertentu untuk mengamati bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Observasi

    partisipan ini dilakukan untuk menjaga mutu data dalam penelitian kualitatif.

    1.5.2. Data Analisa

    Data-data yang diperoleh melalui teknik wawancara, dan observasi lapangan tersebut kemudian

    akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan landasan teori

    sebagai alat bedah analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian

    ini

    1.5.3. Unit Analisa, Unit Amatan dan Subjek Penelitian

    Unit analisis adalah suatu unit tentangnya peneliti menghimpun atau mencari informasi

    dan membuat kesimpulan terhadapnya. Sedangkan unit amatan adalah suatu unit yang darinya

    informasi diperoleh guna menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisa22

    . Berdasarkan

    penjelasan ini, maka unit analisa dalam penelitian ini kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

    21

    Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 90.

    22

    Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada, University Press, 1999), 29.

  • 12

    Sedangkan unit amatannya adalah jemaat Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan jemaat

    Gereja Bethany Salatiga.

    Konsekwensi logis dari unit analisis dan unit amatan adalah penentuan informasi kunci

    (subjek penelitian). Dalam penelitian ini subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-

    variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya23

    . Dalam penelitian ini sampling

    menggunakan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini

    misalnya, orang tersebut dianggap memenuhi kriteria yang kita harapkan yang akan memudahkan

    peneliti menjelajahi subjek atau permasalahan yang diteliti24

    .

    Untuk itu penentuan informan kunci dalam penelitian ini pertama-tama dipilih informan yang

    memiliki pengetahuan khusus, mempunyai informasi memadai, dan dekat dengan situasi yang

    menjadi fokus penelitian, di samping itu orang tersebut memiliki status tertentu. Untuk tujuan ini

    maka yang menjadi informan kunci yang ditetapkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

    subjek dengan karakteristik berikut ini:

    a) Subjek adalah Pendeta yang beretnis Tionghoa, yang memimpin sebuah jemaat dari satu

    gereja aliran Pentakosta.

    b) Subjek adalah pendeta laki-laki maupun perempuan yang belum atau sudah menikah.

    c) Subjek telah menduduki posisi sebagai pemimpin jemaat tidak kurang dari dua tahun.

    d) Berdomisili di Salatiga.

    1.5.4. Lokasi Penelitian

    Lokasi yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini adalah Gereja Bethel lndonesia

    (GBI) Salatiga yang beralamat di Jalam Hasanudin 3B Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga yang

    beralamat di Jalan Jenderal Sudirman 105 Salatiga. Mengapa peneliti memilih Gereja Bethel

    23

    Sudarwan Danim,. Menjadi Peneliti kualitatif (Bandung : Pustaka Setia, 2002), 55. 24

    Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D (Bandung: Alfabeta2007), 246-247.

  • 13

    lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga? Alasannya, kedua gereja tersebut

    merupakan gereja yang memiliki jemaat terbesar di lingkungan gereja-gereja beraliran Pentakosta

    se-Salatiga. Selain itu dalam melaksanakan tugas kepemimpianannya, GBI Salatiga dan Gereja

    Bethany Salatiga memiliki Pendeta beretnis Tionghoa yang memenuhi kriteria untuk menjadi

    informan kunci dalam penelitian ini.

    1.6. Urgensi Penelitian

    Yang menjadi urgensi dalam penelitian ini adalah adanya stereotip umum perihal etnis

    Tionghoa bahwa orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia selalu diidentikan atau

    dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis.

    Stereotip ini berdampak dalam menciptakan ruang gerak yang terbatas bagi orang-orang beretnis

    Tionghoa di Indonesia untuk aktif terlibat dalam sektor lain. Sehingga dengan melakukan

    penelitian ini, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam upaya merekonstruksi kembali

    identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia, karena stereotip yang telah lama melekat

    kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang dipandang hanya memiliki

    kemampuan dalam sektor ekonomi saja yang tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi

    atau pun opini semata. Inilah yang menjadi urgensi mengapa penelitian ini penting untuk

    dilakukan.

    1.7. Output

    Dalam melakukan penelitian ini, output penelitian yang diharapkan untuk diperoleh adalah

    dihasilkannya model dan gaya kepemimpinan yang khas dari Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan

    identitas kultural yang khas sebagai orang beretnis Tionghoa menjadi salah satu faktor yang akan

    mempengaruhi bagaimana kepemimpinan seseorang. Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang

    telah membuktikan diri mereka sebagai golongan yang sukses dan cocok untuk perkembangan

  • 14

    ekonomi karena menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan

    pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip

    organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan, diharapkan juga memiliki

    kualitas sebagai seorang pemimpin jemaat. Sehingga model dan gaya kepemimpinan yang

    dihasilkan akan menjadi referensi bagi pemimpin-pemimpin jemaat lainnya.

    1.8. Kajian Pustaka

    Berdasarkan penelusuran literatur, maka peneliti tidak menemukan kajian yang secara khusus

    membahas tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Belum banyak peneliti yang tertarik

    membahas tentang keterlibatan orang-orang etnis Tionghoa dalam sektor lain, selain sektor

    ekonomi dan bisnis, dalam hal ini termasuk pembahasan tentang kepemimpinan Kristen.

    Namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang kepemimpinan

    Kristen. Salah satunya dalam tesis yang ditulis oleh Eko Purwanto yang berjudul

    KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Studi Tentang Pandangan Jemaat Terhadap Implementasi

    Kepmimpinan Yang Melayani Oleh Majelis Jemaat di Gereja Indonesia (Salatiga). Perhatian

    utama atau fokus dalam dalam penelitian ini pada karekter servant leadership yang meliputi

    kesadaran diri sebagai pelayan, peran pemimpin dalam mentransformasikan pengaruh melalui

    visi, kepercayaan, keteladanan, pemberdayaan SDM dan mentoring.

    Kesimpulan dalam penelitian ini adalah secara keseluruhan konsep kepemimpinan yang

    melayani telah diimplementasikan oleh Majelis Jemaat GKI Salatiga dengan sangat baik.

    Kesimpulan ini didukung oleh pandangan atau jawaban mayoritas responden yang mencapai

    sebanyak 90.4% pada kategori sedang sampai tinggi. Demikian juga untuk pandangan jemaat

    terhadap aspek-aspek dari kepimpinan yang melayani menunjukan hasil bahwa Majelis GKI

    Salatiga sudah mengimplementasikan aspek-aspek tersebut dengan baik.

  • 15

    Penelitian lain yang ditulis dalam bentuk tesis oleh Icclesia Ratri Kurnia yang berjudul

    KOSISTENSI PERAN PENDETA TERHADAP PANGGILANNYA: Studi Kasus Pendeta Gereja-

    Gereja Kristen Jawa), tesis ini secara khusus menguaraikan tentang penilaian perihal konsistensi

    peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap panggilan sebagai Pendeta Jemaat. Dalam

    melihat dan mengetahui mengenai konsistensi peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap

    panggilannya, penulis menggunakan teori dramaturgi dan konsistensi sebagai teori utama. Teori

    ini dijadikan penulis sebagai alat ukur dalam melihat penilaian para pendeta Gereja-gereja Kristen

    Jawa terhadap dirinya sendiri secara jujur. Teori dramaturgi dari Erving Goffman, yang

    menjelaskan tentang gambaran seseorang yang memainkan peranan ganda sebagai bentuk

    ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri, mampu menjadi teori patokan atau arahan sebagai

    landasan berpikir bagi pembaca untuk memahami tesis ini. Sehingga dari penggunaan teori ini

    dapat memberikan pengarahan dan perhatian agar tujuan penelitian terstruktur dengan baik.

    Dalam kesimpulannya dijelaskan dengan terbuka dan lugas bahwa sebagian besar pendeta

    GKJ dalam melakukan pelayanan dan kepemimpianan tidak memiliki konsistensi diri yang

    mengakibatkan sebagaian besar pendeta mengalami kelelahan dan sering nampak konflik-konflik

    yang terjadi antar pendeta dan jemaat

    Selain itu terdapat banyak sekali studi yang membahas tentang identitas orang-orang

    Tionghoa di Indonesia. Pembahasan yang paling mutahir terdapat dalam disertasi yang ditulis

    oleh Chang Yau Hoon yang memilih Jakarta sebagai lokasi penelitian. Penelitian lapangan

    dilakukan Hoon selama setahun di Jakarta pada tahun 2004. Disertasi ini kemudian dijadikan buku

    dengan judul Identitas Tionghoa Pasca- Suharto: Budaya, Politik, dan Media. Buku ini membahas

    perihal kebangkitan identitas etnis Tionghoa yang dimungkinkan terjadi karena berakhirnya

  • 16

    pemerintahan otoriter Suharto, dan munculnya kembali demokrasi serta tumbuhnya civil society di

    Indonesia.

    Dalam buku ini, Hoon sampai kepada kesimpulan bahwa perlunya mengonseptualisasikan dan

    mengkonstruksi kembali ketinghoaan atau identitas Tionghoa. Dijelaskan dalam buku ini bahwa,

    stereotip etnis Tionghoa adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikontruksikan oleh

    Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata

    merasuk begitu dalam. Akar dari stereotip yang bertahan lama in terletak pada konsepsi yang

    esensial tentang identitas. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme

    yang memungkinkan ketinghoaan terekspresikan secara bebas, tetapi hal ini tidak menjamin

    diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas non-Tionghoa. Dan jika wacana

    yang esensial tentang identitas tidak dikonseptualisasikan kembali dan digugat, orang Indonesia

    Tionghoa senangtiasa akan terus dipandang sebagai orang asing di negeri yang telah mereka

    angggap sebagai rumah sendiri.

    Selain itu disimpulkan bahwa kerusuhan anti-China pada Mei 1998 yang menghancurkan

    bahwa kebijakan asimilasi rezim Suharto telah gagal mewadahi ketionghoaan di Indonesia. Proses

    reformasi dan demokrasi dan demokratisasi pasca-Suharto membuka ruang artikulasi identitas

    Tionghoa. Namun dijelaskan juga bahwa kejadian-kejadian anti-China masih hidup dan

    terpelihara di Indonesia, buktinya dengan adanya kejadian Mei 2006, dimana ratusan mahasiswa

    dilaporkan tengah mengancam akan melakukan oprasi penyisiran terhadap orang-orang Indonesia-

    Tionghoa di Makasar, Sulawesi Selatan.