43
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau RTRW adalah hasil perencanaan ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif (Permen PU No. 16/PRT/M/2009). Rencana tata ruang dibuat karena pada dasarnya ruang memiliki keterbatasan, oleh karena itu dibutuhkan peraturan untuk mengatur dan merencanakan ruang agar dapat dimanfaatkan secara efektif. Produk atau hasil dari perencanaan tata ruang wilayah dituangkan dalam bentuk dokumen berupa peta rencana tata ruang wilayah. Dokumen tata ruang sebagai produk hasil dari kegiatan perencanaan ruang berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan mencegah terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, selain itu juga bertujuan untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya lingkungan yang mungkin timbul akibat pengembangan fungsi ruang pada lokasi yang tidak sesuai peruntukan. Konsep penyusunan dokumen rencana tata ruang bersifat hierarkis, tujuannya agar fungsi yang ditetapkan antar dokumen tata ruang tetap sinergis dan tidak saling bertentangan karena dokumen tata ruang yang berlaku pada lingkup mikro merupakan penjabaran dan pendetilan dari rencana tata ruang yang berlaku pada wilayah yang lebih makro. Dokumen tata ruang yang memiliki tujuan untuk mengatur ruang agar dapat dimanfaatkan secara efektif dan untuk mencegah terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, serta untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya lingkungan, untuk itu perlu dilakukan evaluasi agar dokumen tata ruang dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya. Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai kesesuaian antara tujuan dan hasil dari suatu kegiatan yang didasarkan pada suatu pedoman khusus.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rencana tata ruang wilayah atau RTRW adalah hasil perencanaan ruang

pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur

terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif

(Permen PU No. 16/PRT/M/2009). Rencana tata ruang dibuat karena pada

dasarnya ruang memiliki keterbatasan, oleh karena itu dibutuhkan peraturan

untuk mengatur dan merencanakan ruang agar dapat dimanfaatkan secara

efektif. Produk atau hasil dari perencanaan tata ruang wilayah dituangkan

dalam bentuk dokumen berupa peta rencana tata ruang wilayah.

Dokumen tata ruang sebagai produk hasil dari kegiatan perencanaan

ruang berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan mencegah

terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, selain itu

juga bertujuan untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari

bahaya-bahaya lingkungan yang mungkin timbul akibat pengembangan

fungsi ruang pada lokasi yang tidak sesuai peruntukan.

Konsep penyusunan dokumen rencana tata ruang bersifat hierarkis,

tujuannya agar fungsi yang ditetapkan antar dokumen tata ruang tetap

sinergis dan tidak saling bertentangan karena dokumen tata ruang yang

berlaku pada lingkup mikro merupakan penjabaran dan pendetilan dari

rencana tata ruang yang berlaku pada wilayah yang lebih makro.

Dokumen tata ruang yang memiliki tujuan untuk mengatur ruang agar

dapat dimanfaatkan secara efektif dan untuk mencegah terjadinya konflik

antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, serta untuk melindungi

masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya lingkungan, untuk

itu perlu dilakukan evaluasi agar dokumen tata ruang dapat berfungsi sesuai

dengan tujuannya.

Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai kesesuaian antara tujuan dan

hasil dari suatu kegiatan yang didasarkan pada suatu pedoman khusus.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

2

Kegiatan evaluasi tata ruang wilayah pada prinsipnya adalah untuk menilai

keselarasan antara tujuan, strategi, dan kebijakan yang termuat dalam

dokumen RTRW. Evaluasi RTRW didasarkan pada masing-masing pedoman

yang disesuaikan dengan masing-masing tujuan kegiatan evaluasi. Tujuan

kegiatan evaluasi secara umum adalah menilai sejauh mana RTRW

Kabupaten telah/dapat dilaksanakan, atau sebagai upaya menilai efektifitas.

Hasil dari evaluasi dapat berupa suatu informasi yang akan dipergunakan

sebagai dasar terbentuknya suatu kebijakan sehubungan dengan kemungkinan

adanya perbaikan/revisi rencana atau penyusunan rencana yang baru.

Evaluasi pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian kawasan

di daerah rawan bencana Merapi agar masyarakat terlindung dari bahaya

lingkungan (bencana).

Fungsi rencana tata ruang pada daerah rawan bencana sejatinya adalah

sebagai instrumen pengurangan risiko bencana, karena perencanaan tata

ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum terjadi. Rencana tata ruang

juga berfungsi sebagai kebijakan pembangunan. Menurut Brody, 2004 dalam

Sagala dan Bisri, 2011, keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan

dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk risiko, baik

menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, dan memperkuat

kapasitas.

Tujuan perencanaan ruang pada daerah rawan bencana adalah untuk

mengendalikan pengembangan dan pembangunan di daerah-daerah yang

rawan terhadap bahaya bencana. Dampak positif dari pembatasan

pembangunan pada daerah yang rawan terhadap bencana akan meminimasi

potensi paparan (exposure) dan mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian

jiwa serta kerusakan harta benda di daerah-daerah rawan bencana.

Pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kebencanaan dapat berakibat

pada besarnya risiko bencana yang timbul (Sagala dan Bisri, 2011).

Berdasarkan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

penataan ruang pada konsepnya harus memperhatikan potensi, kondisi,

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

3

permasalahan sosial dan budaya serta memperhatikan daerah kawasan rawan

bencana sebagai basis dalam pengembangan dan pengelolaan suatu wilayah.

Kesadaran akan pentingnya peranan perencanaan tata ruang untuk

pengurangan risiko bencana di Indonesia termasuk cukup lambat.

Perencanaan ruang berbasis pengurangan risiko bencana belum mendapatkan

tempat terpenting sebagai salah satu instrumen untuk usaha mengurangi

risiko bencana yang dibuktikan dengan usaha penanggulangan bencana

dilakukan melalui mekanisme koordinasi yang dibentuk ketika bencana

terjadi. Konsep pengurangan risiko bencana yang diterapkan secara umum di

Indonesia pada saat ini yang dilakukan melalui koordinasi yang dibentuk

ketika bencana terjadi merupakan konsep yang kurang efektif untuk

menghadapi bencana, karena risiko yang ditimbulkan kemungkinan akan

lebih besar. Risiko yang terjadi tersebut timbul akibat kurangnya persiapan

yang seharusnya dipersiapkan pada saat bencana tidak/belum terjadi.

Pengurangan risiko bencana yang juga merupakan kegiatan mitigasi bencana

salah satunya dapat diwujudkan dalam perencanaan tata ruang berbasis

pengurangan risiko bencana. Konsep pengurangan risiko bencana melalui

perencanaan tata ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum terjadi,

sehingga risiko yang diperkirakan akan timbul akibat bencana sedapat

mungkin dapat diminimalkan.

Pengurangan risiko bencana dapat dilakukan pada tahap pra bencana

dan pasca bencana. Pengurangan risiko pada tahap pra bencana dapat

dilakukan dengan usaha mitigasi bencana. Mitigasi bencana dibedakan

menjadi dua berdasarkan kegiatannya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.

Pada konteks penataan ruang, kegiatan mitigasi bencana yang bertujuan untuk

usaha pengurangan risiko bencana dalam tata ruang dikategorikan pada

kegiatan mitigasi pasif, yaitu melalui pengkajian/analisis risiko bencana.

Kajian/analisis risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk

mengetahui potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan sebagai akibat

dari terjadinya suatu bencana. Potensi dampak negatif yang ditimbulkan dapat

dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda, dan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

4

kerusakan lingkungan. Kajian tentang risiko bencana menjadi sangat penting

dalam kegiatan evaluasi tata ruang berbasis risiko bencana, karena

berdasarkan kajian risiko akan diketahui informasi tentang wilayah-wilayah

yang memiliki tingkat risiko tinggi ataupun rendah.

Kabupaten Sleman merupakan kabupaten dengan wilayah yang

memiliki potensi ancaman bencana gunung berapi yang sangat tinggi. Hal ini

diakibatkan karena di wilayah ini terdapat salah satu gunung berapi teraktif di

dunia, yaitu Gunung Merapi. Erupsi Merapi pada tahun 2010 telah

mengakibatkan kerugian harta benda dan jiwa yang cukup besar. Berdasarkan

data hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dikumpulkan oleh Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai dengan tanggal 31

Desember 2010, bencana erupsi tersebut telah mengakibatkan kerusakan dan

kerugian sebesar Rp 3,557 triliun.

Tujuan penataan ruang Kabupaten Sleman adalah mewujudkan ruang

kabupaten yang tanggap terhadap bencana dan berwawasan lingkungan dalam

rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera, demokratis, dan berdaya

saing. Sedangkan permasalahan penting yang sedang dihadapi oleh

Kabupaten Sleman yang dimasukkan dalam agenda riset daerah tahun 2011-

2015 pada point 14 tentang kebencanaan dan masalah lingkungan adalah

“kegiatan penanggulangan bencana masih pada tahapan tanggap darurat dan

rehabilitasi rekonstruksi sehingga belum menjadikan kegiatan pengurangan

risiko bencana sebagai prioritas”. Konsep tujuan penataan ruang tersebut

apabila diintegrasikan dengan permasalahan kebencanaan tentang rendahnya

kegiatan pengurangan risiko bencana maka permasalahan baru yang muncul

adalah RTRW Kabupaten Sleman yang belum mampu mewujudkan tujuan

utamanya yaitu untuk mewujudkan ruang kabupaten yang tanggap terhadap

bencana.

Untuk mencapai tujuan penataan ruang Kabupaten Sleman yaitu ruang

kabupaten yang tanggap bencana dapat diwujudkan melalui penataan

kawasan, khususnya penataan kawasan budidaya karena kawasan budidaya

merupakan kawasan pembangunan dan ruang bagi masyarakat untuk

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

5

melakukan aktivitas sosial ekonominya sehari-hari. Selain itu upaya yang

dapat dilakukan adalah pembatasan pembangunan di kawasan budidaya.

Penataan kawasan budidaya dapat dilakukan dengan mengevaluasi

RTRW Kabupaten Sleman. Hasil evaluasi RTRW dapat menghasilkan

informasi terkait tingkat risiko pada masing-masing kawasan budidaya

sehingga dapat dilakukan pembatasan pembangunan ataupun relokasi pada

daerah yang memiliki risiko tinggi. Hasil evaluasi RTRW juga dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun rencana tata ruang

yang baru sebagai upaya pengurangan risiko bencana, karena pengurangan

risiko bencana dapat dilakukan salah satunya melalui rencana tata ruang

wilayah.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi RTRW Kabupaten Sleman

Berdasarkan Analisis Risiko Bencana Gunung Merapi”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakangnya, maka permasalahan dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) bagaimana sebaran tingkat risiko bencana Gunung Merapi secara spasial di

Kabupaten Sleman?,

2) apakah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) peruntukan kawasan

budidaya di Kabupaten Sleman sudah sesuai dengan penataan ruang

berbasis kebencanaan?, dan

3) bagaimana peran aspek kebencanaan dalam penataan ruang di Kabupaten

Sleman?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) mengetahui sebaran tingkat risiko bencana Gunung Merapi di Kabupaten

Sleman;

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

6

2) mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) peruntukan kawasan

budidaya di Kabupaten Sleman agar diketahui daerah-daerah kawasan

rencana budidaya yang sesuai dan tidak sesuai dengan perencanaan

kawasan berbasis kebencanaan; dan

3) mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam penataan ruang di

Kabupaten Sleman.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan sumbangsih

terhadap :

1. Pemikiran bagi pengembangan khasanah ilmu dan tambahan pustaka yang

berkaitan dengan penataan ruang berbasis mitigasi bencana khususnya

dalam konteks evaluasi tata ruang di kawasan rawan bencana gunungapi,

dan

2. Masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah atau instansi terkait di

Kabupaten Sleman dalam rangka pengambilan keputusan dan pembuatan

kebijakan untuk pengembangan wilayah khususnya di daerah kawasan

rawan bencana agar mempertimbangkan aspek kebencanaan.

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya

1.5.1 Sifat, Karakteristik dan Bahaya Letusan Gunung Merapi

Kawasan Gunung Merapi memiliki kekhasan ekosistem dan

sosiosistem yang bernuansa volcano. Gunung ini merupakan gunungapi

aktif, bahkan teraktif di dunia karena periodisitas letusannya relatif pendek

(3 sampai 7 tahun). Geofisik Gunung Merapi memiliki tipe khas

stratolandesit dan punya bentuk lereng yang konkaf. Merapi juga

merupakan pertemuan persilangan dua buah sesar transversal yang

membentengi wilayah tengah Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi D.I.Y, dan

sesar longitudional yang melewati Pulau Jawa (Habibi dan Buchori, 2013).

Sejak awal sejarah letusan Gunung Merapi sudah tercatat bahwa tipe

letusannya adalah pertumbuhan kubah lava kemudian gugur dan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

7

menghasilkan awan panas guguran yang dikenal dengan tipe Merapi

(Merapi Type). Kejadiannya adalah kubah lava yang tumbuh di puncak

dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma

dari dalam dan runtuh yang diikuti oleh guguran lava pijar. Dalam volume

besar akan berubah menjadi awanpanas guguran (rock avalance), atau

penduduk sekitar Merapi mengenalnya dengan sebutan wedhus gembel,

berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi

(>700˚ C) dalam terjangan turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi

(100 km/jam) ke dalam lembah. Puncak letusan umumnya berupa

penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai awan

panas guguran akibat hancurnya kubah dan secara bertahap akan terbentuk

kubah lava yang baru.

Bahaya letusan gunungapi terdiri atas bahaya primer dan bahaya

sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk

ketika letusan berlangsung, misalnya: awan panas, udara panas (surger)

sebagai akibat samping awan panas, dan lontaran material berukuran balok

(bom) hingga kerikil. Bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi secara

tidak langsung dan umumnya berlangsung purna letusan, misalnya lahar,

kerusakan lahan pertanian/perkebunan atau rumah.

Tingkat bahaya/risiko dari suatu gunung api sangat tergantung dari

kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di

sekitar gunung api tersebut, untuk mengurangi korban jiwa manusia

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menerbitkan Peta

Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Peta Kawasan Rawan Bencana

Merapi adalah peta yang berisi informasi pembagian kawasan zona rawan

bahaya bencana erupsi Merapi.

1.5.2 Tata Ruang Berbasis Bencana

Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 pengertian penataan ruang tidak

hanya berdimensi perencanaan pemanfaatan ruang, tetapi juga termasuk

dimensi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

8

diharapkan dapat membantu mengurangi dampak dari suatu risiko bencana

alam, seperti gempa, tsunami, banjir, letusan gunungapi dan bencana alam

lainnya. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang wilayah

dan kota atau kawasan semestinya harus mempertimbangkan faktor bencana

alam, khususnya pada kota dan kawasan yang berlokasi pada wilayah rawan

bencana alam, hal ini bertujuan agar dampak negatif akibat bencana dapat

diminimalkan. Hyogo Framework for Action (HFA Kerangka Aksi Hyogo)

dan UNISDR tahun 2005, juga mengamanatkan peran tata ruang (land use

planning) dalam pengurangan risiko bencana termasuk melakukan

pembatasan pembangunan di kawasan rawan bencana.

Pada konsep HFA, terdapat 5 fokus integrasi perencanaan tata ruang

dengan pengurangan risiko bencana (Sagala dan Bisri, 2011 dalam Muta’ali,

2014), yakni :

a) integrasi kajian risiko bencana ke dalam perencanaan perkotaan,

termasuk di dalamnya perhatian khusus terhadap permukiman yang

rentan terhadap bencana,

b) pengarusutamaan pertimbangan risiko bencana terhadap kegiatan

pembangunan infrastruktur vital,

c) Pengembangan dan penggunaan alat pemantauan untuk mengukur aspek

pengurangan aspek pengurangan risiko yang diperoleh atas suatu

kebijakan perencanaan tata ruang,

d) integrasi kajian risiko bencana terhadap perencanaan pembangunan

pedesaan, terutama di daerah pegunungan dan pesisir, serta

e) revisi ataupun pengembangan terhadap building code serta praktik

rekonstruksi dan rehabilitasi tingkat nasional dan lokal.

Proses integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam

penyelenggaraan tata ruang juga terlihat dan didukung oleh keterkaitan

antara UU 24/2007 mengenai Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007

mengenai Penataan Ruang.

Perencanaan dan pemanfaatan tata ruang seharusnya dilaksanakan

berdasarkan keberadaan kawasan rawan bencana. Penerapan kawasan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

9

bencana dalam rencana tata ruang merupakan konsep yang seharusnya

dilaksanakan, terutama pada kawasan yang memiliki ancaman bencana.

Integrasi aspek kebencanaan dalam penataan ruang harus memuat dua

komponen yaitu aspek tahapan penataan ruang dan tahap manajemen

bencana :

Aspek penataan ruang yang terdiri atas : perencanaan ruang, pemanfataan

ruang dan pengendalian pemanfataan ruang

Aspek manajemen bencana yang terdiri atas : penanganan pra bencaana

(preventif, mitigasi, kesiapsiagaan), penanganan saat bencana (peringatan

dini, tanggap darurat), penanganan pasca bencana (rehabilitasi,

rekonstruksi).

Sagala dan Bisri (2011) dengan mengutip pendapat Godschalk (1991)

menyampaikan bahwa perencanaan tata ruang sangat penting dalam

kegiatan mitigasi risiko bencana seperti perencanaan tata guna lahan,

building codes, pengaturan zonasi sebagaimana disajikan pada tabel 1.1. di

bawah ini. Mileti (1999) menyampaikan “tidak ada pendekatan yang

mewujudkan mitigasi bahaya secara berkelanjutan yang lebih menjanjikan

dibanding peningkatan pemanfaatan dari manajemen penataan ruang yang

tangguh”.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

10

Tabel 1.1 Berbagai Jenis Kegiatan Mitigasi dan Tujuan Penggunaannya

Jenis Kegiatan Mitigasi Tujuan Mitigasi

o Perencanaan tata guna lahan

o Building codes

o Pengaturan zonasi

o Pengaturan sub divisi

o Analisis Bahaya/ Pemetaan Resiko

o Sistem informasi bahaya

o Edukasi publik

o Pemantauan/ inspeksi

o Pengambilalihan lahan yang berbahaya

o Relokasi

o Insentif dan disintentif pajak

o Asuransi bencana

o Pengaturan pembangunan

di lokasi yang aman

o Penguatan terhadap tekanan

bahaya

o Pembatasan terhadap

penggunaan area berbahaya

o Penguatan infrastruktur

terhadap bahaya

o Indentifikasi area bahaya

o Peningkatan kesadaran

terhadap risiko

o Peningkatan pengetahuan

mengenai bencana

o Pemantauan implementasi

peraturan

o Pengalihan fungsi menjadi

ruang terbuka/ rekreasi

o Pemindahan kondisi rentan

ke lokasi aman

o Penciptaan motivasi untuk

pindah ke lokasi aman

o Pemberian kompensasi

terhadap kerugian ekonomi

Sumber : Godschalk (1991) dalam Muta’ali (2014)

a. Perencanaan Tata Ruang

Rencana tata ruang yang memuat dua komponen utama yaitu

struktur ruang dan pola ruang yang meletakkan kawasan rawan bencana

menjadi bagian dari kawasan lindung. Dradak (2006 dalam Muta’ali, 2014),

mengidentifikasi beberapa faktor yang perlu dijadikan landasan dalam

penataan ruang kawasan rawan bencana. Faktor-faktor tersebut adalah

sebagai berikut.

Pendekatan kesatuan unit eko-region dalam perencanaan kawasan rawan

bencana, dimana dalam pendekatan ini, suatu wilayah/kawasan dalam

satu eco-region harus dipandang sebagai satu sistem interaksi yang

komplementaer antara ekosistem, tatanan budaya, dan potensi sumber

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

11

daya alam. Kejadian bencana alam adalah hasil interaksi komponen

ekosistem.

Berdasarkan perhitungan neraca lingkungan sebagai dasar alokasi

pemanfaatan sumberdaya untuk mengurangi dampak negative terhadap

lingkungan;

Berdasarkan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Rencana kawasan rawan bencana tidak sampai melampaui batas-batas

kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung

aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan;

Alokasi ruang yang sesuai antara jenis kegiatan dan karakteristik

ruang/lokasi, dimana kawasan rawan bencana berada di kawasan lindung.

Pada kawasan-kawasan yang secara fisik harus dilindungi atau

memberikan perlindungan terhadap bagian wilayah lain harus ditetapkan

sebagai kawasan lindung. Sebaliknya kegiatan-kegiatan yang bersifat

intensif harus diletakkan pada lokasi yang aman dari ancaman bencana

seperti tanah longsor, banjir, tsunami, dan sebagainya;

Penyusunan rencana detail tata ruang untuk operasionalisasi rencana

umum. Pada kawasan-kawasan rawan bencana perlu disusun rencana

detail tata ruang yang didasarkan pada pertimbangan penyelamatan

lingkungan dari ancaman bencana seperti zoning regulation. Dimana

arahan pengembangan kegiatan budidaya betul-betul disesuaikan dengan

karakteristik kawasan. Selain itu, rencana detail tata ruang juga memuat

arahan pembangunan infrastruktur pengendali bencana;

Konsistensi antar tingkat rencana, mulai dari Nasional-Regional-Lokal-

detail. Terkait dengan pengelolaan kawasan rawan bencana, rencana tata

ruang di semua tingkatan harus memuat aturan yang konsisten yang

terkait kriteria dan penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan

kawasan rawan bencana. Konsistensi rencana tata ruang juga perlu

dilakukan lintas wilayah, karena umumnya kawasan rawan bencana tidak

mengikuti batas-batas administrasi;

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

12

Keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyusunan tata ruang.

Menjadikan rencana tata ruang sebagai dokumen kesepakatan antar

pemangku kepentingan sehingga manajemen kawasan rawan bencana

mudah dan efektif untuk dilakukan.

Produk kerja perencanaan tata ruang lebih banyak berada pada

domain tahap pra bencana. Hal ini memang benar dalam konteks bahwa

perangkat seperti perencanaan tata guna lahan, pengaturan building codes,

peraturan zonasi, kajian risiko, dan sebagainya dapat dikerjakan pada saat

tidak terjadi bencana.

b. Pemanfataan Ruang

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan kawasan

rawan bencana sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan

pelaksanaan program beserta pembiyaannya. Beberapa hal penting dalam

perlindungan kawasan rawan bencana diantaranya : (a) Peningkatan

kepatuhan terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan, (b) Penerapan

rekayasa (sipil-teknis) perlindungan kawasan dari ancaman bencana, dan (d)

Rehabilitasi lingkungan hidup.

c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana

yang telah ditetapkan merupakan upaya untuk mengarahkan pemanfaatan

ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi,

perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan

ruang.

1.5.3 Hubungan Penataan Ruang dan Risiko Bencana

a. Pola Ruang dan Risiko Bencana

Pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu

wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan

peruntukan ruang untuk fungsi budidaya, sedangkan risiko bencana adalah

potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

13

kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit jiwa, jiwa

terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan

harta, dan gangguan kegiatan mayarakat. Hubungan antara pola ruang dan

risiko bencana adalah seberapa jauh dampak dan kerugian serta risiko suatu

bencana terjadi menurut pola peruntukan ruang yang telah direncanakan.

Risiko secara umum dapat diprediksikan menurut pola peruntukan ruang.

Model hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

14

Tabel 1.2. Prediksi Tingkat Risiko Bencana Pada Masing-Masing Tipe

Bencana dan Pola Ruang (Peruntukan Kawasan)

Pola Ruang (Peruntukan Kawasan)

Risiko Bencana

H V C R

nH H

Kawasan Lindung

1. Hutan Lindung A - o + R

2. Perlindungan setempat

(sempadan sungai, laut, danau,

mata air)

A - o + R

3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) A - + R

4. Suaka Alam/ Margasatwa/

Cagar Alam

A - o + R

5. Cagar Budaya dan Ilmu

Pengetahuan

A - o + R

6. Taman Nasional A - o + R

7. Kawasan Bencana Alam

(longsor, banjir, gelombang

pasang)

A

8. Lindung Geologi A - o + R

9. Rawan Bencana Alam Geologi

(Gunungapi, Gempa, Patahan

Aktif, Tsunami, Abrasi, Gas

Beracun)

A

10. Perlindungan air tanah A - o + R

11. Lindung lainnya A - o + R

Kawasan Budidaya

1. Hutan (Produksi) A

2. Pertanian A

a. Pertanian lahan basah A - -1 + S

b. Pertanian lahan kering A - -1 + R

c. Perkebunan A - -1 + S

d. Peternakan A - -1 + S

e. Perikanan (darat dan pesisir) A - -1 + S

3. Pertambangan A - -1 + S

4. Industri A - -1 + T

5. Permukiman A - -1 + ST

6. Pariwisata A - -1 + ST

7. Bisnis dan Perdagangan Jasa A - -1 + ST

8. Budidaya Lainnya A - -1 -

Sumber : Muta’ali, 2014

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

15

Keterangan :

H = Hazard (Ancaman Bahaya), nH = non Hazard. V = Vulnarability

(Kerentanan) C = Capacity (Kapasitas), dan R = Risk (Risiko)

A = Aman, o = netral, r = Rendah, S = Sedang, T = Tinggi, ST = Sangat

Tinggi

Berdasarkan Tabel 1.2 tipe ancaman dapat terjadi disemua tipe

kawasan baik kawasan lindung maupun budidaya. Kawasan yang tidak ada

ancaman bahaya tergolong aman untuk dikembangkan. Sedangkan kawasan

yang memiliki ancaman bencana dalam pengembangannya harus

memperhatikan pengurangan risiko bencana. Dengan asumsi bahwa

ancaman terjadi dengan intensitas dan kekuatan merata di semua kawasan,

maka kerentanan menjadi komponen penentu besar kecilnya risiko bencana

menurut pola ruang. Kawasan yang dicirikan dengan pemusatan paparan

penduduk, aset ekonomi masyarakat, dan infrastruktur, seperti kawasan

permukiman, industri, pariwisata, perdagangan dan jasa akan memiliki

tingkat kerentanan (fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang tinggi,

sehingga jika kapasitas pemerintah dan masyarakat relatif sama, maka

tingkat risiko bencana tinggi sampai sangat tinggi, sebaliknya kawasan yang

intesitas budidaya rendah seperti kegiatan kawasan pertanian tergolong

sedang, bahkan untuk kawasan lindung yang terbatas pembangunannya,

maka risiko bencana rendah.

b. Kawasan Rawan Bencana dan Risiko Bencana

Kawasan rawan bencana bukan sebuah kawasan yang steril dan

bersih dari berbagai macam kegiatan manusia termasuk peruntukannya.

Banyak dijumpai kasus, areal yang ditetapkan sebagai kawasan rawan

banjir, namun dipergunakan untuk permukiman, industri dan pertanian.

Kawasan rawan bencana gunungapi dimanfaatkan untuk pertanian dan

permukiman serta pariwisata, bahkan di zona patahan aktif berkonsterasi

penduduk dan perkotaan. Terkait dengan prediksi tingkat risiko bencana di

masing-masing kawasan rawan bencana jika peruntukan ruang (khususnya

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

16

kawasan budidaya) untuk kegiatan lain, maka dapat dikelompokkan

beberapa tipe risiko yang akan dihadapi yaitu :

1. Risiko tinggi, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang

alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan-kegiatan industri,

permukiman, pariwisata, dan perdagangan jasa. Pada lokasi tersebut

terdapat konsentrasi elemen terdampak bencana seperti penduduk, aset

masyarakat, infrastruktur, dan lain-lain. Lokasi ini memiliki tingkat

kerentanan tinggi;

2. Risiko sedang, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang

alokasi peruntukan ruangnya untk kegiatan-kegiatan pertanian, seperti

pertanian lahan basah, perkebunan, perikanan, peternakan dan

pertambangan. Lokasi tersebut dicirikan dengan kepadatan penduduk

yang sedang dan jumlha aset serta infrastruktur yang lebih rendah

dibandingkan dengan peruntukan permukiman, industri dan perdagangan

jasa. Lokasi ini memiliki tingkat kerentanan bencana yang relatif

menengah (sedang);

3. Risiko rendah, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang

alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan pertanian, khusunya

pertanian lahan kering yang umumnya dicirikan dengan kepadatan

rendah dan produktivitas lahan yang rendah pula, sehingga tingkat

kerentanan bahaya juga rendah. Pada wilayah tipe ini tingkat ancaman

yang paling tinggi adalah bahaya kekeringan;

4. Risiko sangat rendah, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana

yang alokasi perutukan ruangnya untuk kegiatan hutan produksi, dimana

pada areal hutan umumnya tidak berpenghuni atau sangat rendah jumlah

penduduk didalamnya. Jika terdapat penduduk umumnya di areal sekitar

hutan yang jumlahnya sedikit dan terpencar. Selain itu aset produksi

hutan tidak rusak akibat bencana atau masih dapat dimanfaatkan, kecuali

jika yang terjadi adalah bencana kebakaran hutan. Dengan kata lain di

luar bencana kebakaran hutan, tingkat risiko bencana (lainnya) pada

lokasi ini dapat digolongkan tingkat sangat rendah.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

17

Prediksi tingkat risiko bencana pada masing-masing tipe kawasan

rawan bencana yang dimanfaatkan untuk kepentingan kawasan budidaya

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.3. Prediksi Tingkat Risiko Pemanfaatan Ruang di masing-masing

Kawasan Rawan Bencana

Kawasan Rawan

Bencana (KRB)

Peruntukan Ruang Kawasan Budidaya

Ht Plb Plk Pk Pt Pr Ptb In Prk Pw Pj

1. Banjir SR S R S S S S T T T T

2. Longsor dan

Banjir

Bandang

SR S R S S S S T T T T

3. Gelombang

Pasang

SR S R S S S S T T T T

4. Kekeringan SR S T S S S S T T T T

5. Angin Badai SR S R S S S S T T T T

6. Gunungapi SR S R S S S S T T T T

7. Gempa SR S R S S S S T T T T

8. Zona

Patahan

Aktif

SR S R S S S S T T T T

9. Tsunami SR S R S S S S T T T T

10. Abrasi SR S R S S S S T T T T

11. Gas Beracun SR S R S S S S T T T T

12. Kebakaran

Hutan

T S R S S S S T T T T

13. Endemi

Penyakit

SR S R S S S S T T T T

14. Konflik

Sosial

SR S R S S S S T T T T

Sumber : Muta’ali, 2014

Keterangan : Kawasan Budidaya : Ht = Hutan (Produksi), Plb = Pertanian

lahan basah, Plk = Pertanian lahan Kering, Pk = Perkebunan,

Pt = Peternakan, Pr = Perikanan (darat dan pesisir), Ptb =

Pertambangan, In = Industri, Prk = Permukiman, Pw =

Pariwisata, Pj = Bisnis Perdagangan dan Jasa. Tingkat

Risiko: SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang, T =

Tinggi.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

18

Berdasarkan tabel 1.3 dan jika digunakan sebagai bahan prediksi

untuk menyusun arahan pemanfaatan ruang yang baru (bukan existing),

maka dibuat tiga kelompok, yaitu :

1. Diperbolehkan pemanfaatannya, jika risiko rendah sampai sangat rendah,

seperti pemanfaatan kawasan rawan bencana untuk kegiatan di areal

hutan produksi dan pertanian lahan kering.

2. Diperbolehkan terbatas, jika risiko bencana sedang, seperti kawasan

rawan bencana untuk kegiatan-kegiatan pertanian lahan basah,

perkebunan, peternakan, perkikanan, dan pertambangan.

3. Dilarang, jika risiko bencana tinggi, khususnya pemanfaatan kawasan

rawan bencana untuk kegiatan-kegiatan permukiman, industri,

pariwisata, perdagangan dan jasa.

Prediksi arahan pemanfaatan ruang tersebut bersifat sangat umum dan

sebagai langkah awal dan kehati-hatian dalam memanfaatkan kawasan

rawan bencana khususnya untuk kegiatan-kegiatan yang baru akan

dilakukan supaya tidak meningkatkan risiko bencana. Arahan pemanfaatan

kawasan rawan bencana dapat berubah jika disertai dengan manajemen

kebencanaan yang baik.

c. Hubungan Struktur Ruang dengan Pengurangan Resiko Bencana

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem

jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegitan

sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan

fungsional. Struktur ruang terdiri dari elemen hirarki (demografis dan sosial

ekonomi), fungsi (pusat-pinggiran), keterkaitan, dan infrastruktur.

Semakin tinggi hirarki wilayah ditandai dengan pemusatan

penduduk dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi, memiliki fungsi sebagai

pusat kegiatan dengan cakupan luas pengaruh yang luas, keterkaitan

wilayah yang kuat dan infrastruktur yang lengkap. Jika dikaitkan dengan

analisis risiko bencana, maka apabila ancaman bencana terjadi pada wilayah

dengan tingkat hirarki tinggi, maka tingkat risiko semakin besar

dikarenakan kerentanan (sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan) yang

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

19

tinggi, namun kapasitas yang tidak berbeda jauh dengan wilayah hirarki

lainnya. Sebaliknya jika ancaman terjadi pada hirarki rendah, maka risiko

bencana juga relatif lebih rendah. Tabel di bawah ini memberikan ilustrasi

hubungan struktur ruang dengan risiko bencana dalam penataan ruang.

Tabel 1.4. Hubungan Struktur Ruang dan Risiko Bencana Dalam Penataan

Ruang

Risiko

Bencana Zona

Struktur Ruang Wilayah

PKN PKW PKL PPK PPL

Ancaman Kawasan

Rawan

Bencana

- - - -

Non

Kawasan

Rawan

Bencana

Zona Aman

Kerentanan -4 -3 -2 -1 -

Kapasitas +4 +3 +2 +1 Zona

Aman

Risiko Tinggi Sedang Rendah Sangat

rendah

Sangat

rendah

Sumber : Muta’ali, 2014

Arahan pengembangan wilayah berdasarkan tingkat hirarki dan

risiko bencana dapat direncanakan dengan baik jika telah dilakukan analisis

risiko dengan menyusun tingkat risiko bencana (tinggi-sedang dan rendah)

yaitu dengan menyusun tipologi atau crosstab antara hirarki dengan risiko

bencana untuk menentukan skala prioritas pengembangan wilayah

khususnya pada wilayah dengan risiko bencana rendah hirarki tinggi,

sebagaimana diilustrasikan pada tabel berikut.

Tabel 1.5. Penentuan Prioritas Pengembangan Wilayah Berdasarkan Hirarki

Struktur Ruang dan Tingkat Risiko Bencana

Risiko

Bencana

Hirarki Struktur Ruang (Perkembangan Wilayah)

I II III IV

Risiko Tinggi nP(a) nP(b) nP(c) nP(d)

Risiko Sedang P2 P4 P6 P8

Risiko Rendah P1 P3 P5 P7

Sumber : Muta’ali, 2014

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

20

Keterangan :

nP = non Prioritas (bukan prioritas), dihindari untu dikembangkan.

Pn = urutan prioritas, misalnya P1 (Prioritas pertama)

Berdasarkan tabel 1.6 diatas, maka berlaku hukum berkebalikan

antara prioritas pengembangan wilayah dan prioritas penanganan bencana.

Prioritas pengembangan wilayah yang mempertimbangkan tingkat risiko

bencana terdapat pada P1 dan P2, yaitu wilayah hirarki tinggi (I) namun

tingkat risiko rendah sampai sedang. Demikian seterusnya tingkat risiko

bencana menjadi dasar pengembangan wilayah. Sebaliknya, wilayah yang

memiliki risiko tinggi, apalagi pada hirarki I dan II, yaitu nP(a) dan nP(b)

maka sebaliknya wilayah tersebut diprioritaskan pada aspek kebencanaan

dengan sistem manajeman bencana dan mitigasi yang menyeluruh, sehingga

jika terpaksa dikembangkan maka risikonya bisa dikurangi.

1.5.4 Analisis Risiko

a. Tahap Analisis Risiko

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat

bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa

kematian, ancaman, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan

kegiatan masyarakat (Muta’ali, 2014). Risiko dapat dinilai secara kuantitatif

dan merupakan probabilitas dari dampak atau konsekuensi suatu bahaya.

Indikator risiko merupakan komposit (gabungan) dari indikator ancaman,

kerentanan, dam kapasitas sesuai dengan formula risiko bencana.

International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) memberikan

pengertian analisis risiko bencana sebagai metodologi dalam menentukan

risiko melalui suatu analisis ancaman bencana dan evaluasi terhadap kondisi

eksisting. Beberapa tahap yang dilakukan dalam analisis risiko bencana

antara lain :

1. Konsepsi Risiko

Langkah awal dalam analisis risiko adalah menetapkan konsep dan

formula risiko yang digunakan. Terdapat banyak formula perhitungan risiko

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

21

bencana, namun dalam bagian ini konsep risiko yang ditulis adalah konsep

risiko yang digunakan dalam Peraturan Kepala BNBP Nomor 4 Tahun 2008

tentang Pedoman Perencanaan Mitigasi Risiko Bencana yaitu :

R = H x V / C

Keterangan : R = Disaster Risk (Risiko Bencana)

H = Hazard Threat (Ancaman)

V = Vulnerability (Kerentanan)

C = Capacity (Kapasitas)

2. Penentuan Objek Kedetilan

Objek analisis risiko terdiri dari wilayah, kawasan, komunitas, rumah

tangga dan personal :

1) Wilayah, khususnya wilayah administratif (daerah), mulai dari tingkat

nasional, regional, lokal. Misalnya unit analisis Propinsi, Kabupaten,

Kecamatan, desa Padukuhan.

2) Kawasan, adalah wilayah fungsional yang berbasis keterkaitan

fungsional baik keterkaitan fisik maupun lingkungan. Batas kawasan

dapat berada pada satu wilayah administrasi ataupun lebih dari satu.

Sebagai contoh, analisis risiko bencana pada kawasan perkotaan, daerah

aliran sungai, dan sebagainya.

3) Komunitas, adalah kelompok masyarakat yang mendasarkan pada

karakteristik sosial ekonomi. Misalnya analisis risiko bencana pada

masyarakat adat, kelompok pekerjaan, dan sebagainya.

4) Rumah tangga, adalah bagian dari masyarakat yang terdiri dari kumpulan

keluarga yang umumnya terdiri dari orangtua dan anak. Unit rumah

tangga yang menjadi objek analisis risiko biasanya diwakili oleh kepala

rumah tangga.

5) Personal, bagian dari masyarakat yang mewakili masing-masing

individu.

3. Penentuan Indikator

Penentuan indikator risiko bencana terdiri dari indikator ancaman

(hazard), indikator kerentanan, dan indikator kapasitas. Masing-masing

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

22

indikator memiliki variabel atau alat ukur yang memiliki asumsi yang jelas

tentang kontribusinya terhadap pengurangan risiko bencana. Penentuan

indikator yang digunakan tergantung pada objek atau unit penelitian dan

ketersediaan data, khususnya yang menggunakan data sekunder. Semakin

sempit daerah kajian, semakin detil indikator yang digunakan.

b. Penyusunan Peta Risiko Bencana

Semua data yang memiliki referensi geografi dapat dilakukan

pemetaan. Analisis risiko bencana dengan menggunakan unit analisis

wilayah atau kawasan dapat dilakukan pemetaan terhadap hasil-hasil

klasifikasi yang telah dianalisis sebelumnya. SIG dapat membantu pemetaan

agar proses dilakukan dengan mudah. Pemetaan dapat dilakukan terhadap

unsur risiko, seperti peta bahaya, peta kerantanan, dan peta kapasitas, dan

peta komposit yaitu peta risiko bencana. Gambar di bawah ini menunjukkan

proses penyusunan peta risiko bencana, yang merupakan hasil

penggabungan (komposit) serta overlay dari peta bahaya, kerentanan dan

kapasitas yang disusun oleh Muta’ali, 2014.

Gambar 1.1 Tahapan Pemetaan Risiko Bencana

1.5.5 Peraturan-Peraturan Terkait Sebagai Acuan Normatif dalam

Penyelengaraan Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana

a. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

INDEKS ANCAMAN

KEMUNGKINAN TERJADI VS BESARAN DAMPAK TERCATAT

INDEKS KERUGIAN

KOMPONEN EKONOMI, FISIK DAN LINGKUNGAN

INDEKS KAPASITAS

KOMPONEN KELEMBAGAAN PERINGATAN DINI, PENDIDIKAN,

MITIGASI, KESIAPSIAGAAN

PETA

ANCAMAN

PETA

KAPASITAS

PETA

KERENTANAN

PETA RISIKO

BENCANA INDEKS PENDUDUK TERPAPAR

KOMPONEN SOSIAL BUDAYA

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

23

Undang-Undang ini membuat terobosan sangat mendasar

dengan menyatakan dalam konsideran “menimbang” bahwa penataan

ruang seharusnya berbasis mitigasi bencana (Linda Tandobala, 2011).

Amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

menekankan bahwa secara garis besar dalam penyelenggaraan

penataan ruang diharapkan :

Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan

berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan

hidup yang berkelanjutan;

Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang;

Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.

Dengan demikian tentunya penataan ruang dalam mempertimbangkan

potensi, kondisi, permasalahan, prospek suatu daearah dan berbagai

tantangan yang dihadapi termasuk pula memperhatikan daerah rawan

bencana sebagai basis dalam mengembangkan dan mengelola suatu

daerah.

b. UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana memuat definisi bencana yang lebih komprehensif, selain itu

juga diatur pengelolaan dan kelembagaan di tingkat pusat sampai

daerah beserta pembagian tanggung jawabnya. Termasuk dalam

komponen utama di dalam rencana aksi dalam Undang-Undang

Penanggulangan Bencana yaitu, melakukan identifikasi, asesmen, dan

pemantauan terhadap risiko bencana dan pemantauan terhadap

berbagai risiko bencana dan meningkatkan kemampuan deteksi dini.

Salah satu fokus dalam penanggulangan bencana yang

dicantumkan dalam undang-undang ini adalah penguatan Penataan

Ruang, dalam hal ini berarti domain pengelolaan dampak bencana

sesungguhnya tidak hanya bergerak pada segi penanggulangan saja,

melainkan harus pula memasukkan segi antisipasi.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

24

c. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Gunung

Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi

Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung

Berapi dan Kawasan Gempa Bumi disusun dalam rangka melengkapi

norma, standar, prosedur dan manual bidang penataan ruang yang

telah ada. Disamping untuk melengkapi pedoman bidang penataan

ruang yang telah ada, pedoman ini juga ditujukan untuk memberi

acuan bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam

melaksankan penataan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi

dan kawasan gempa bumi.

Berdasarkan acuan pada pedoman ini diharapkan dapat

meminimalkan kerugian yang terjadi akibat letusan gunung berapi dan

gempa bumi, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan

melalui penataan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan

kawasan rawan gempa bumi sehingga dapat dipertahankan konsistensi

kesesuaian antara pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan rencana tata

ruang kawasan yang dimaksud.

Ruang lingkup pedoman ini mencakup : (1) perencanaan tata ruang

kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa

bumi, (2) pemanfaatan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi

dan kawasan rawan gempa bumi, (3) pengendalian pemanfaatan ruang

kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa

bumi, dan (4) penatalaksanaan penataan ruang kawasan rawan letusan

gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi.

1.5.6 Sistem Informasi Geografis (SIG)

a. Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Aronoff, 1989 SIG adalah sistem informasi yang

didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola,

memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian. Secara

umum pengertian SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

25

perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumberdaya

manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan,

menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,

mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu

informasi berbasis geografis.

b. Data Spasial

Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan

data spasial, yaitu data yang bereferensi dan berorientasi geografi,

memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan

mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data

lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif

(attribute) yang dijelaskan sebagai berikut :

1. Informasi lokasi (spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik

koordinat geografi (lintang dan bujur) dan koordinat x,y,z,

termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi.

2. Informasi deskriptif (attribute) atau informasi non spasial, suatu

lokasi yang memiliki beberapa keterangan yang berkaitan

dengannya, misalnya jenis vegetasi, penduduk, luas wilayah, dan

lain sebagainya.

SIG memiliki dua format data spasial. Format data spasial

adalah bentuk dan kode penyimpanan data. Format data spasial dalam

SIG dapat dibedakan menjadi :

1. Data Raster

Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang

dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, obyek

geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut

dengan pixel (picture element).

Pada data raster, resolusi tergantung pada ukuran pixel-nya.

Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran

sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada

citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

26

direpresentasikan oleh satu sel, maka semakin tinggi resolusinya.

Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang

berubah secara gradual, seperti data jenis tanah, kelembaban tanah,

vegetasi, dan lain sebagainya. Keterbatasan dari data raster adalah

besarnya ukuran file; semakin tinggi ukuran resolusi gridnya maka

semakin pula ukuran filenya dan ini sangat berpengaruh pada

kapasitas penyimpanan perangkat keras yang tersedia.

2. Data Vektor

Data vektor merupakan representasi bentuk permukaan bumi yang

disajikan dalam bentuk kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi

oleh garis yang berawal dan berakgir pada titik yang sama), titik

dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis).

Keuntungan dari format data vektor adalah ketepatan dalam

merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus. Hal ini sangat

berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi,

misalnya pada basis data batas-batas kadaster. Kelemahan data

vektor adalah ketidakmampuannya dalam mengakomodasi

perubahan gradual.

Salah satu syarat untuk melakukan pengolahan dalam SIG

adalah harus menggunakan data spasial. Data spasial dapat diperoleh

dari beberapa sumber antara lain peta analog, data penginderaan jauh,

data hasil pengukuran terestrial, dan data GPS (Global Positioning

System).

c. Keunggulan SIG

Kemampuan utama yang dimiliki oleh SIG jika dibandingkan

dengan sistem informasi lainnya adalah mampu untuk

menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di permukaan

bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan

hasilnya serta dapat melakukan analisis keruangan. SIG juga dapat

menciptakan protokol pengambilan keputusan untuk manajemen lahan

dengan mengembangkan model hubungan antara environmental

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

27

values (termasuk komponen pembentuk kerentanan) dengan berbagai

data layer pada suatu wilayah perencanaan.

Analisis keruangan dalam SIG terdiri dari beberapa jenis

antara lain adalah overlay, union, merge, intersect, clip, buffer,

dissolve, dan lain-lain. Masing-masing analisis keruangan memiliki

fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, fungsi analisis

SIG tergantung tujuan pada analisis yang akan dilakukan. Analisis

keruangan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari overlay,

intersect, dan dissolve. Disamping dapat melakukan analisis

keruangan, SIG juga dapat dilakukan untuk analisis visual (biasanya

untuk studi sosial ekonomi), analisis tematikal/topical, dan analisis

temporal.

Teknologi SIG dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang

keilmuan, antara lain bidang sumberdaya, perencanaan, lingkungan,

kesehatan, militer, pariwisata, ekonomi, perpajakan, kelautan, geologi,

pertambangan, perminyakan, dan lain sebagainya. Dalam penelitian

ini SIG diaplikasikan untuk keperluan evaluasi, yaitu mengevaluasi

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman. Salah satu alasan

penggunaan teknologi SIG adalah karena SIG memiliki kemampuan

untuk memvisualkan data spasial beserta atributnya.

Konsep penyajian data dalam SIG ada empat yaitu deksripsi,

tabular, diagram, dan peta. Konsep penyajian data yang dilakukan

pada penelitian ini adalah berupa peta, karena peta dapat menunjukkan

pola penyebaran secara spasial. Konsep penyajian data yang bersifat

spasial memiliki beberapa kelebihan diantaranya yaitu data mengenai

pola penyebaran secara keruangan lebih mudah untuk dipahami dan

data ilimiah yang mempunyai komponen spasial mudah untuk

dianalisis.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

28

1.5.7 Penelitian Sebelumnya

Tabel 1.6 Penelitian Sebelumnya

No. Nama

Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

1. Danang

Dwi

Wahyujati

Rencana Tata

Ruang Kawasan

Terdampak Erupsi

Gunung Merapi

2010 Di Kabupaten

Sleman

1. Membuat peta dasar yang terdiri dari peta peta

kerawanan, peta kerentanan, peta mitigasi, peta

potensi risiko bencana, dan peta zonasi potensi

bencana, untuk kajian perencanaan tata ruang

kawasan rawan bencana Merapi di Kabupaten

Sleman.

2. Melakukan tinjauan pembangunan kawasan rawan

bencana Gunung Merapi di kabupaten Sleman.

3. Perencanaan tata ruang kawasan rawan bencana

letusan gunungapi beserta rekomendasi untuk

pemanfaatan dan pengendalian ruang.

Pengharkatan (skoring) dan

tumpang susun (overlay). Metode

pengharkatan (skoring) dilakukan

pada penyusunan peta

kerentanan, sedangkan metode

tumpang susun (overlay)

dilakukan untuk pembuatan peta

kapasitas dan peta risiko.

1. Hasil penelitian berupa peta kerawanan,

peta kerentanan, peta mitigasi, peta potensi

risiko bencana, dan peta klasifikasi zona

potensi bencana Gunung Merapi

Kabupaten Sleman.

2. Daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi

adalah Kecamatan Cangkringan, Kalasan,

Ngaglik, Ngemplak, Pakem, Tempel, dan

Turi. Wilayah dengan tingkat risiko

bencana tinggi diarahkan untuk kawasan

lindung dan budidaya terbatas, sedang

wilayah dengan risiko sedang dan rendah

dapat dimanfaatkan sebagai kawasan

budidaya dan permukiman dengan

persyaratan tertentu.

2. Yoga

Toyibulah

Evaluasi Rencana

Tata Ruang

Wilayah

Berdasarkan Indeks

Potensi Lahan

Melalui Sistem

Informasi Geografis

Di Kabupaten

Sreagen

Mengaplikasikan SIG untuk indeks potensi lahan

dengan mengetahui kesesuaian Rencana Tata

Ruang Wilayah terhadap indeks potensi lahan di

Kabupaten Sragen.

Pengharkatan (skoring) dan

tumpang susun (overlay). Metode

tumpang susun (overlay)

dilakukan untuk mengetahui

kesesuaian Rencana Tata Ruang

Wilayah terhadap indeks potensi

lahan.

1. Klasifikasi indeks potensi lahan di

Kabupaten Sragen terdiri dari klasifikasi

sangat tinggi (13,84km2), tinggi

(399,79km2), sedang (364,62km2), dan

rendah (197,06 km2)

2. Kesesuaian RTRW tata guna lahan tahun

2010-2030 terhadap indeks potensi lahan

menunjukkan lokasi sesuai seluas

786,27km2 (83,50%) dan lokasi tidak sesuai seluas 155,28km2 (16,49%)

3. Teresita

Oktavia

Rosari

Evaluasi RTRW

Kabupaten Sleman

Berdasarkan

Analisis Risiko

Bencana Gunung

Merapi

1. Mengetahui sebaran tingkat risiko bencana

Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.

2. Mengevaluasi RTRW Kabupaten Sleman agar

diketahui daerah-daerah kawasan perencanaan

yang sesuai dan tidak sesuai dengan perencanaan

kawasan berbasis kebencanaan.

3. Mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam

penataan ruang di Kabupaten Sleman.

Pengharkatan (skoring) dan

tumpang susun (overlay).Metode

pengharkatan (skoring) untuk

menghasilkan peta kerentanan

bencana. Metode tumpang susun

(overlay) untuk menghasilkan

peta risiko bencana dan peta

kesesuaian kawasan.

1. Peta sebaran tingkat ancaman, peta sebaran

tingkat kerentanan sosial, dan peta sebaran

tingkat risiko bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Sleman.

2. Evaluasi kesesuaian perencanaan kawasan

budidaya di Kabupaten Sleman berdasarkan analisis risiko bencana.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

29

1.6 Kerangka Penelitian

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di Indonesia,

bahkan di dunia, karena memiliki periodisitas erupsi pendek yaitu 4 sampai 5

tahun. Karakteristik letusan Merapi adalah lelehan yang dimulai dengan

pertumbuhan kubah lava, kemudian gugur dan menghasilkan awan panas.

Letusan Merapi membawa ancaman primer dan sekunder bagi

masyarakat sekitar lereng Gunung Merapi maupun bagi masyarakat yang

tidak berada pada sekitar lereng Merapi. Ancaman primer seperti awan panas,

aliran lava, aliran piroklastik, guguran batu, lontaran batu (pijar), dan lahar

letusan terjadi pada wilayah sekitar lereng Merapi khususnya pada kawasan

rawan bencana zone III dan II. Ancaman sekunder seperti banjir lahar dan

kemungkinan dapat terjadi perluasan awan panas dan aliran lava terjadi pada

kawasan rawan bencana zone I, sedangkan pada kawasan non rawan bencana

umumnya dapat terjadi hujan abu vulkanik tipis, seperti bencana erupsi

Merapi tahun 2010. Dampak yang ditimbulkan akibat bencana erupsi Gunung

Merapi adalah gangguan kegiatan masyarakat, kerugian harta benda dan

korban jiwa.

Penataan ruang merupakan salah satu alat atau instrumen pengurangan

risiko bencana. Penataan ruang yang mempertimbangkan aspek kebencanaan

bertujuan untuk mengurangi dampak atau risiko yang ditimbulkan oleh

kejadian bencana, dalam penelitian ini yaitu bencana erupsi Gunung Merapi.

Pengurangan risiko bencana yang juga disebut dengan kegiatan mitigasi

bencana adalah kegiatan yang dilakukan pada saat sebelum bencana terjadi,

yang salah satunya dapat diwujudkan dalam rencana tata ruang wilayah.

Upaya pengurangan risiko bencana yang diwujudkan melalui tata ruang

wilayah dilakukan dengan perencanaan kawasan, khususnya kawasan

budidaya, karena aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dilakukan pada

kawasan tersebut. Pengurangan risiko bencana melalui penataan ruang

dilaksanakan dengan cara pengintegrasian komponen bencana dengan

rencana tata ruang di Kabupaten Sleman.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

30

Kabupaten Sleman merupakan salah satu wilayah yang memiliki

ancaman terhadap bahaya erupsi Gunung Merapi. Rencana tata ruang wilayah

Kabupaten Sleman diharapkan dapat membantu dalam upaya pengurangan

risiko bencana Gunung Merapi, oleh karena itu evaluasi tata ruang diperlukan

dengan tujuan untuk mengetahui kesesuaian rencana tata ruang wilayah dan

mengetahui peran aspek kebencanaan dalam rencana tata ruang wilayah di

Kabupaten Sleman.

Peran aspek kebencanaan dalam rencana tata ruang dan kesesuaian

rencana tata ruang diketahui melalui analisis risiko bencana. Analisis risiko

bencana menghasilkan peta sebaran tingkat risiko yang dijadikan sebagai

acuan untuk mengevaluasi rencana tata ruang Kabupaten Sleman.

Sebaran tingkat risiko bencana Gunung Merapi dalam penelitian ini

dianalisis dengan menggunakan dua komponen bencana yaitu komponen

ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Masing-masing komponen

bencana memiliki indikator yang dijadikan sebagai variabel pembentuk

komponen tingkat risiko. Komponen ancaman dibentuk dari indikator

kawasan rawan bencana Merapi. Komponen kerentanan sosial dibentuk dari

indikator kepadatan penduduk dan jumlah penduduk usia rentan (anak-anak

dan usia lanjut).

Informasi mengenai sebaran tingkat risiko bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Sleman dalam penelitian ini merupakan acuan untuk

mengevaluasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sleman. Evaluasi

rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sleman memiliki tujuan untuk

mengetahui kesesuaian rencana kawasan budidaya. Kesesuaian rencana

kawasan budidaya diketahui melalui overlay peta sebaran tingkat risiko

bencana Merapi di Kabupaten Sleman dengan peta rencana kawasan budidaya

sehingga didapatkan informasi tentang kawasan perencanaan budidaya yang

sesuai dan tidak sesuai. Informasi mengenai kesesuaian rencana budidaya

kemudian dianalisis untuk mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam

penataan ruang di Kabupaten Sleman.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

31

Gambar 1.2 Kerangka Penelitian

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif

berjenjang dengan teknik pengharkatan/skoring. Pengharkatan/skoring

dilakukan pada setiap indikator pada tiap komponen yang mempengaruhi

tingkat risiko bencana. Proses yang digunakan untuk memperoleh peta tingkat

risiko bencana Merapi adalah dengan proses analisis data sekunder berupa

overlay atau penggabungan peta-peta tematik yang menjadi komponen dalam

penentuan tingkat risiko bencana, yaitu peta kerentanan dan peta ancaman.

Peta tingkat risiko bencana yang menyajikan informasi mengenai sebaran

tingkat risiko bencana Merapi di Kabupaten Sleman digunakan sebagai acuan

untuk mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman. Semua

proses dilakukan dengan bantuan software berbasis Sistem Informasi

Geografis (SIG) yaitu ArcGIS 9.3.

1.7.1 Alat dan Bahan

a. Alat

Seperangkat komputer

Software ArcGIS 9.3

RTRW

GUNUNG MERAPI

DAMPAK ERUPSI :

Gangguan Kegiatan Masyarakat

Kerusakan/ Kerugian Harta

Benda

Korban Jiwa

ANALISIS RISIKO BENCANA

EVALUASI RTRW

(Rencana Kawasan Budidaya)

MENGETAHUI KESESUAIAN RTRW KAB. SLEMAN

MENGETAHUI PERANAN ASPEK KEBENCANAAN

DALAM RTRW KAB. SLEMAN

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

32

Printer

b. Bahan

Data shapefile Administrasi Kabupaten Sleman

Data shapefile Kawasan Rawan Bencana Merapi di Kabupaten

Sleman

Data shapefile Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman

Tahun 2011-2031 (Kawasan Rencana Budidaya)

Data Statistik Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan

Penduduk per Km2 Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman

Tahun 2010

Data Statistik Banyaknya Jumlah Penduduk Menurut Kelompok

Umur per Kecamatan Tahun 2010

1.7.2 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data

Tahap persiapan dilakukan dengan mencari literatur dan studi

pustaka yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu penataan ruang

berbasis pengurangan risiko bencana. Tahap persiapan penelitian juga

meliputi penetapan metode penelitian yang akan digunakan dalam proses

penelitian serta penentuan dan pengumpulan data-data yang akan

digunakan untuk kebutuhan penelitian.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang berkaitan

dengan komponen yang mempengaruhi tingkat risiko bencana Merapi

dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman (Kawasan

Rencana Budidaya). Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari data

shapefile dan data statistik. Data statistik terdiri dari data jumlah

penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, dan jumlah penduduk

menurut kelompok umur per kecamatan, sedangkan data shapefile yang

digunakan terdiri dari data shapefile kawasan rawan bencana Merapi,

data shapefile administrasi Kabupaten Sleman, dan data shapefile

rencana kawasan budidaya Kabupaten Sleman. Semua data yang

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

33

digunakan merupakan data sekunder dan diperoleh dari beberapa instansi

terkait di lingkungan pemerintahan yaitu Bappeda Kabupaten Sleman

dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi D.I. Yogyakarta.

1.7.3 Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan merupakan tahap lanjutan dari sebuah

penelitian. Dalam penelitian ini pengolahan data terdiri dari beberapa

tahapan, tahap dasar yaitu meliputi pembuatan peta ancaman bencana

Merapi dan peta kerentanan bencana Merapi. Kedua peta tersebut

digunakan untuk menghasilkan peta sebaran tingkat risiko bencana

Merapi di Kabupaten Sleman.

Pembuatan peta tingkat risiko bencana erupsi Merapi bertujuan

untuk mengetahui sebaran tingkat risiko bencana erupsi Merapi di

Kabupaten Sleman sehingga diketahui informasi tingkat risiko pada

masing-masing wilayah di Kabupaten Sleman. Peta risiko bencana

Merapi diolah dengan cara tumpang susun (overlay) peta-peta komponen

penentu risiko bencana. Komponen penentu risiko bencana terdiri dari

komponen ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability).

Proses pengolahan peta ancaman bencana dilakukan dengan

menggunakan satu indikator yaitu didasarkan pada kawasan rawan

bencana Merapi. Indikator komponen ancaman bencana Merapi

diturunkan dari Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi yang diterbitkan

oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Peta

Kawasan Rawan Bencana Merapi berisi informasi mengenai pembagian

zona kawasan rawan bencana Merapi. Pembagian zona kawasan rawan

bencana Merapi tersebut didasarkan pada beberapa karakteristik wilayah

yang juga umumnya digunakan untuk mengetahui tingkat ancaman, yaitu

karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, dan

sosial.

Menurut Muta’ali (2014), ancaman merupakan kondisi atau

karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis,

sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu kawasan untuk

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

34

jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan untuk mencegah,

meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk

menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Basis analisa atau cara

analisa yang digunakan untuk mendalami ancaman bencana yaitu sumber

penyebab terjadinya ancaman, kekuatan ancaman, kecepatan ancaman,

intensitas bencana, durasi/ lama kejadian, dan luas cakupan wilayah.

Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi menyajikan informasi

yang berkaitan dengan basis analisa untuk mengetahui ancaman bencana.

Basis analisa yang dapat diperoleh dari informasi Peta Kerawanan

Bencana Merapi yaitu sumber penyebab terjadinya ancaman, kekuatan

bencana, dan luas cakupan wilayah. Sumber penyebab terjadinya

ancaman dapat dilihat dari keberadaan objek Gunung Merapi. Kekuatan

bencana dapat diketahui melalui batas zona kawasan rawan bencana

Gunung merapi. Zona III dan zona II adalah kawasan yang memiliki

kekuatan bencana sangat tinggi karena jaraknya yang dekat dengan

sumber bencana dan material hasil erupsi yang dikeluarkan pada kawasan

zone III dan II sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa. Luas cakupan

wilayah dapat diketahui dari sebaran zona kawasan rawan bencana

Gunung Merapi. Beberapa informasi yang terdapat dalam Peta Kawasan

Rawan Bencana Merapi dapat dijadikan sebagai basis analisa ancaman,

maka penulis menggunakan indikator kawasan rawan bencana Merapi

untuk membuat peta ancaman bencana Merapi.

Peta ancaman bencana Merapi diharkatkan sesuai dengan tingkat

bahaya bencana yang terjadi. Tingkat bahaya bencana yang terjadi

disesuaikan dengan zona kawasan rawan bencana yang terdapat pada

Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi.

Kabupaten Sleman terdiri dari satu kawasan non rawan bencana

dan tiga kawasan rawan bencana Gunung Merapi, yaitu kawasan rawan

bencana zona I, kawasan rawan bencana zona II, dan kawasan rawan

bencana zona III. Harkat tingkat ancaman bencana didasarkan pada

besarnya pengaruh ancaman di suatu kawasan rawan bencana. Semakin

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

35

tinggi ancaman bencana pada suatu kawasan rawan bencana maka harkat

yang diberikan juga tinggi pula, sebaliknya semakin rendah ancaman

bencana maka harkat yang diberikan pada kawasan tersebut juga rendah.

Kawasan rawan bencana zona III memiliki ancaman bencana

yang sangat tinggi. Kawasan ini terletak dengan sumber bahaya yang

sering terlanda awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar

dan hujan abu lebat, karena kawasan rawan bencana zona III memiliki

ancaman bencana tinggi maka kawasan rawan bencana zona III diberi

harkat 3. Kawasan rawan bencana zona II memiliki ancaman bencana

sedang, kawasan ini berpotensi terlanda aliran massa berupa awan panas,

aliran lava dan lahar, sehingga kawasan rawan bencana zone II diberikan

harkat 2. Kawasan rawan bencana zona I memiliki ancaman bencana

rendah, pada kawasan rawan bencana zona I hanya berpotensi terlanda

banjir lahar, dan kemungkinan aliran lava serta awan panas, pada

kawasan rawan bencana zona I diberi harkat 1. Kawasan non rawan

bencana adalah kawasan yang tidak memiliki ancaman bencana, adapun

ancaman bencana yang terdapat pada kawasan ini sangat rendah yaitu

hujan abu vulkanis tipis yang dapat mengganggu kesehatan pernafasan

masyarakat. Pembagian harkat ancaman bencana pada tiap zona kawasan

rawan bencana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.7 Harkat Kawasan Rawan Bencana Merapi

Sumber : Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)

Kawasan Rawan Bencana Keterangan Harkat

Kawasan Non Rawan Bencana

Ancaman

Bencana Sangat

Rendah

0

Kawasan Rawan Bencana Zona I Ancaman

Bencana Rendah 1

Kawasan Rawan Bencana Zona II Ancaman

Bencana Sedang 2

Kawasan Rawan Bencana Zona III Ancaman

Bencana Tinggi 3

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

36

Komponen kerentanan untuk membuat peta kerentanan bencana

terdiri dari dua indikator, yaitu kepadatan penduduk dan jumlah

penduduk usia rentan. Indikator jumlah penduduk usia rentan dihitung

dari jumlah penduduk yang memiliki usia 0-14 tahun dan penduduk usia

65 tahun keatas. Komponen kerentanan bencana diukur melalui indikator

kerentanan sosial, karena penduduk adalah objek sangat rentan yang

dapat terluka bahkan meninggal akibat kejadian bencana.

Indikator kepadatan penduduk dan jumlah penduduk usia rentan

selanjutnya diharkatkan untuk menghasilkan peta kerentanan bencana

sosial. Pemberian harkat pada masing-masing indikator kerentanan

disesesuaikan dengan tingkat pengaruh masing-masing indikator

terhadap kerentanan bencana.

Indikator kepadatan penduduk diklasifikasikan menjadi 3 kelas

sesuai dengan klasifikasi kepadatan penduduk yang bersumber dari

Bappeda. Pengharkatan indikator kepadatan penduduk disesuaikan

dengan pengaruh tingkat kepadatan penduduk terhadap kerentanan suatu

bencana. Kepadatan penduduk tinggi diberi harkat 3, karena wilayah

dengan kepadatan penduduk tinggi sangat rentan terhadap kejadian

bencana. Hal ini diakibatkan karena semakin tinggi kepadatan penduduk

di suatu wilayah maka semakin tinggi pula jumlah penduduk dan

aktivitas penduduk yang terjadi pada wilayah tersebut, sehingga

menyebabkan semakin tingginya kerentanan bencana di wilayah tersebut

karena apabila bencana terjadi di wilayah tersebut akan semakin banyak

mengakibatkan korban jiwa. Kepadatan penduduk sedang yaitu dengan

rentang 2.130-3.659 jiwa/km2 diberi harkat 2. Sedangkan kepadatan

penduduk rendah yaitu dengan jumlah 600-2.129 jiwa/km2 diberi harkat

1, karena wilayah dengan kepadatan penduduk rendah memiliki jumlah

penduduk yang tidak banyak sehingga memiliki kerentanan terhadap

bencana rendah karena kemungkinan korban jiwa yang ditimbulkan

akibat bencana juga rendah. Pengharkatan indikator kepadatan penduduk

selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

37

Tabel 1.8 Harkat Kepadatan Penduduk

Sumber : Bappeda Kabupaten Sleman, 2010

Indikator jumlah penduduk rentan diambil dari jumlah penduduk

yang berusia 0-14 tahun dan penduduk usia 65 tahun keatas. Penetapan

usia rentan tersebut disesuaikan dengan data yang diperoleh dari BPS

Provinsi D.I. Yogyakarta. Penduduk yang berusia 0-14 tahun dan usia

lebih dari 65 tahun dianggap rentan terhadap bencana karena mereka

tergolong dalam penduduk yang belom mampu (anak-anak) dan tidak

mampu (lansia) untuk menyelamatkan diri saat kemungkinan bencana

sewaktu-waktu dapat terjadi.

Pembagian harkat indikator penduduk usia rentan dilakukan

dengan membagi jumlah usia rentan kedalam tiga kelas. Penetapan

rentang nilai untuk masing-masing kelas pada indikator usia rentan

dilakukan berdasarkan rumus :

Hasil dari perhitungan rumus tersebut kemudian mendapatkan

rentang nilai untuk masing-masing kelas pada indikator usia rentan.

Harkat 3 diberikan pada kelas tingkat kerentanan tinggi, yaitu pada

wilayah yang memiliki jumlah penduduk usia rentan yang jumlahnya

paling banyak, karena semakin banyak jumlah penduduk usia rentan

semakin tinggi pula kerentanan di wilayah tersebut. Hal ini diakibatkan

karena semakin tinggi jumlah penduduk usia rentan di suatu wilayah

maka semakin menambah jumlah penduduk yang tidak dapat

menyelamatkan diri sehingga kemungkinan risiko terhadap jatuhnya

korban jiwa di wilayah tersebut tinggi. Harkat 2 diberikan pada kelas

kerentanan sedang, dan harkat 1 diberikan pada kelas dengan kerentanan

Kepadatan Penduduk Keterangan Harkat

Rendah (600-2.129 jiwa/km2) Kerentanan Rendah 1

Sedang (2.130-3.659 jiwa/km2) Kerentana Sedang 2

Tinggi (>= 3.660 jiwa/km2) Kerentanan Tinggi 3

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

38

rendah. Pembagian harkat dan rentang masing-masing kelas indikator

penduduk usia rentan selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.9 Harkat Penduduk Usia Rentan

Jumlah Penduduk Usia Rentan Keterangan Harkat

9.622 – 18.200 jiwa Kerentanan Rendah 1

18.201 – 26.778 jiwa Kerentanan Sedang 2

26.779 – 35.377 jiwa Kerentanan Tinggi 3

Sumber : Pengolahan Data

Peta kerentanan yang dibuat pada penelitian ini tidak hanya berlaku

untuk untuk bencana Merapi, tetapi juga dapat digunakan untuk bencana

lainnya karena tingkat kerentanan hanya dinilai dari faktor kependudukan

tanpa memperhatikan kekuatan ancaman bencana Merapi. Kekuatan

(magnitude) bencana dianggap sama pada semua wilayah.

Setelah pengharkatan untuk masing-masing komponen bencana

dilaksanakan maka akan dihasilkan dua peta yaitu, peta sebaran tingkat

ancaman bencana Merapi di Kabupaten Sleman, yang dihasilkan dari

komponen ancaman dan peta tingkat kerentanan bencana Merapi di

Kabupaten Sleman, yang dihasilkan dari komponen kerentanan. Dua peta

komponen bencana tersebut kemudian dioverlay untuk menghasilkan

peta sebaran tingkat risiko bencana.

Peta sebaran tingkat risiko bencana dihasilkan dari proses overlay

dan perkalian harkat ancaman dan kerentanan. Perkalian harkat ancaman

dan kerentanan bertujuan untuk mendapatkan nilai skor total risiko.

Untuk mendapatkan nilai skor total risiko didasarkan pada rumus risiko

yaitu

Tingkat risiko bencana dibagi menjadi empat kelas yaitu, risiko

sangat rendah, risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi. Pembagian

rentang nilai untuk tiap kelas risiko bencana didasarkan pada nilai skor

total hasil overlay peta ancaman dan peta kerentanan.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

39

Rentang nilai untuk tiap kelas risiko bencana adalah sebagai berikut :

Kelas 1 (Risiko Sangat Rendah) = 0

Kelas 2 (Risiko Rendah) = 1 – 2

Kelas 3 (Risiko Sedang) = 3 – 4

Kelas 4 (Risiko Tinggi) = 5 – 6

Evaluasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sleman dilakukan

dengan cara menganalisis peta kesesuaian kawasan perencanaan

budidaya. Peta kesesuaian perencanaan kawasan budidaya adalah hasil

overlay peta tingkat risiko bencana Merapi dengan peta rencana tata

ruang wilayah untuk kawasan perencanaan budidaya di Kabupaten

Sleman. Hasil overlay peta akan menunjukkan informasi mengenai

kesesuaian perencanaan kawasan budidaya, sehingga diketahui kawasan

budidaya mana saja yang masuk dalam kategori sesuai (berada pada area

berisiko sangat rendah) dan tidak sesuai (berada pada area berisiko

tinggi). Informasi mengenai kategori kesesuaian daerah kawasan

perencanaan budidaya tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui

daerah kawasan perencanaan budidaya mana saja yang sudah ataupun

belum didasarkan pada aspek kebencanaan sehingga dapat diberikan

masukan terhadap masing-masing kawasan tersebut yang berkaitan

dengan tata ruang berbasis pengurangan risiko bencana.

Peranan aspek kebencanaan dalam rencana tata ruang wilayah

Kabupaten Sleman diketahui melalui hasil evaluasi rencana tata ruang

wilayah untuk perencanaan kawasan budidaya di Kabupaten Sleman.

Hasil evaluasi kemudian dianalisis dan diambil kesimpulan secara

keseluruhan untuk mengetahui sejauh mana aspek kebencanaan telah

diterapkan dalam rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Sleman.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

40

1.7.4 Analisis

Analisis dilakukan melalui pembahasan proses yang telah

dilakukan terhadap masing-masing parameter. Metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode

pendekatan kuantitatif. Hasil pengolahan data dianalisis berdasarkan

nilai-nilai atau angka yang diperoleh secara matematis melalui hasil

skoring dan overlay peta-peta parameter penelitian.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

1.7.5 Diagram Alir Penelitian

Keterangan :

= Input

= Proses

= Output

Gambar 1.3 Diagram Alir Penelitian

Data shapefile

Administrasi

Kabupaten Sleman

Peta Tingkat Risiko

Bencana Merapi Di

Kab. Sleman

Data shapefile Peta

Rencana Tata Ruang Kab.

Sleman Tahun 2011-2031

Peta Kesesuaian Perencanaan Kawasan

Budidaya di Kabupaten Sleman

Overlay

Data shapefile Kawasan Rawan

Bencana Merapi

Peta Tingkat

Ancaman Merapi Di

Kab. Sleman

Pengharkatan

Overlay

Data Kepadatan

Penduduk Kab. Sleman

Peta Tingkat Kerentanan

Bencana Merapi Di Kab. Sleman

Data Jumlah Penduduk

Usia Rentan Kab. Sleman

Overlay

Penambahan

Informasi data

Attribut

Peta Tingkat Jumlah

Penduduk Usia Rentan

Di Kab. Sleman

Peta Tingkat

Kepadatan Penduduk

Di Kab. Sleman

Pengharkatan Pengharkatan

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

42

1.8 Batasan Operasional

1. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa

bumi, tsunami, gunung meletys, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah

longsor (Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi

dan Kawasan Rawan Gempa Bumi).

2. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang (UU No. 26 Tahun

2007).

3. Penataan Ruang adalah sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan

ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26 Tahun 2007).

4. Strukur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan

prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial

ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional (UU

No. 26 Tahun 2007).

5. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang

meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk

fungsi budidaya (UU No. 26 Tahun 2007).

6. Mitigasi Bencana adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi risiko

bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan terhadap

bencana (Lutfi Muta’ali, 2014).

7. Ancaman/Bahaya Bencana adalah kondisi atau karakteristik biologis,

geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi masyarakat di suatu

wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan

mencegah, meredam, mencapai kesiapsiagaan, dan mengurangi kemampuan

untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Lutfi Muta’ali, 2014).

8. Kerentanan Bencana adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau

masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam

menghadapi ancaman bencana (Lutfi Muta’ali, 2014).

9. Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana

pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/32331/2/4. Bab 1 - E100130079.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana tata ruang wilayah atau

43

luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mangungsi, kerusakan atau

kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Lutfi Muta’ali, 2014).

10. Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Berapi adalah kawasan yang

sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana letusan gunung berapi

(Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan

Kawasan Rawan Gempa Bumi).

11. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,

sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (UU No. 26 Tahun 2007).

12. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan/atau aspek fungsional (Pedoman Penataan Ruang Kawasan

Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi).

13. Sistem informasi geografis adalah suatu sistem berbasis komputer yang

memberikan empat bagian kemampuan untuk menangani data bereferensi

geografi yang meliputi (1) input, (2) menejemen data termasuk penyimpanan

dan pemanggilan kembali, (3) manipulasi dan analisis serta (4) output

(Aronoff, 1989)